Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 29 Desember 2021 : KATEKESE TENTANG SANTO YOSEF (BAGIAN 5) - SANTO YOSEF, MIGRAN YANG TERANIAYA DAN PEMBERANI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kepadamu saya ingin menghadirkan Santo Yosef sebagai seorang migran yang teraniaya dan pemberani. Inilah cara Penginjil Matius menggambarkannya. Peristiwa khusus dalam kehidupan Yesus ini, yang juga melibatkan Yosef dan Maria, secara tradisional dikenal sebagai "penyingkiran ke Mesir" (bdk. Mat 2:13-23). Keluarga Nazaret menderita penghinaan seperti itu dan mengalami langsung kegentingan, ketakutan, dan kepedihan karena harus meninggalkan tanah air mereka. Saat ini begitu banyak saudara dan saudari kita masih dipaksa untuk mengalami ketidakadilan dan penderitaan serupa. Penyebabnya hampir selalu berupa kecongkakan dan kekerasan dari orang-orang yang berkuasa. Hal ini juga terjadi pada Yesus.

 

Raja Herodes belajar dari para Majus tentang kelahiran "Raja Orang Yahudi", dan berita itu mengejutkannya. Ia merasa tidak aman, ia merasa bahwa kekuasaannya terancam. Jadi, ia mengumpulkan seluruh pemimpin Yerusalem untuk mencari tahu tempat kelahiran Raja itu, dan memohon kepada para Majus untuk memberitahunya perincian yang tepat, sehingga - ia mengatakan dengan berpura-pura - ia juga bisa pergi untuk menyembah-Nya. Tetapi ketika ia menyadari bahwa para Majus telah mengambil jalan lain, ia menyusun rencana jahat : membunuh semua anak Betlehem yang berusia di bawah dua tahun, yang merupakan kurun waktu, menurut perhitungan para Majus, Yesus dilahirkan.

 

Sementara itu, seorang malaikat memerintahkan Yosef, ”Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia" (Mat 2:13). Hari ini pikirkanlah banyak orang yang merasakan dorongan hati ini : “Ayo lari, ayo lari, karena ada bahaya di sini”. Rencana Herodes mengingatkan pada rencana Firaun untuk melemparkan semua anak laki-laki orang Ibrani ke sungai Nil (bdk. Kel 1:22). Penyingkiran ke Mesir membangkitkan seluruh sejarah Israel yang dimulai dengan Abraham, yang juga tinggal di sana (bdk. Kej 12:10); hingga Yusuf, anak Yakub, yang dijual oleh saudara-saudaranya (bdk. Kej 37:36) sebelum menjadi "penguasa negeri" (bdk. Kej 41:37-57); dan Musa, yang membebaskan bangsanya dari perbudakan orang Mesir (bdk. Kel 1:18).

 

Penyingkiran Keluarga Kudus ke Mesir menyelamatkan Yesus, tetapi sayangnya tidak dapat menghalangi Herodes melakukan pembantaian. Dengan demikian kita dihadapkan pada dua kepribadian yang berlawanan : di satu sisi, Herodes dengan keganasannya, dan di sisi lain, Yusuf dengan perhatian dan keberaniannya. Herodes ingin mempertahankan kekuasaannya, keningratannya, dengan kekejaman yang tak mengenal belaskasihan, sebagaimana terbukti dengan mengeksekusi salah seorang istrinya, beberapa anaknya dan ratusan seterunya. Ia adalah orang yang kejam : untuk memecahkan masalah, ia hanya punya satu jawaban : membunuh. Ia adalah lambang dari banyak penguasa lalim di masa lalu dan hari ini. Dan bagi mereka, bagi para penguasa lalim ini, rakyat tidak diperhitungkan; kekuasaan adalah yang terpenting, dan jika mereka membutuhkan ruang untuk kekuasaan, mereka menyingkirkan rakyat. Dan ini terjadi hari ini : kita tidak perlu melihat sejarah kuno, itu terjadi hari ini. Manusia menjadi “serigala” bagi manusia lain. Sejarah penuh dengan tokoh-tokoh, yang hidup dalam belas kasihan ketakutan mereka, berusaha menaklukkan ketakutan tersebut dengan menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang dan melakukan tindakan kekerasan yang berperikemanusiaan. Tetapi kita tidak boleh berpikir bahwa kita hidup menurut pandangan Herodes hanya jika kita menjadi penguasa lalim, tidak; sesungguhnya, dengan sikap tersebut kita semua bisa menjadi mangsa, setiap kali kita berusaha untuk menghilangkan ketakutan kita dengan kecongkakan, bahkan meski hanya secara lisan, atau melakukan sedikt umpatan yang dimaksudkan untuk mempermalukan orang-orang yang dekat dengan kita. Kita juga memiliki dalam hati kita kemungkinan untuk menjadi Herodes-herodes kecil.

 

Yosef adalah kebalikan dari Herodes : pertama-tama, ia adalah "seorang yang tulus hati" (Mat 1:19), dan Herodes adalah seorang diktator. Selanjutnya, ia membuktikan bahwa ia berani mengikuti perintah Malaikat. Orang dapat membayangkan perubahan-perubahan yang harus ia hadapi selama perjalanan panjang dan berbahaya serta kesulitan tinggal di negeri asing, dengan bahasa yang berbeda : banyak kesulitan. Keberaniannya juga muncul pada saat ia kembali, ketika, diyakinkan oleh Malaikat, ia mengatasi ketakutannya yang dapat dimengerti dan menetap di Nazaret bersama Maria dan Yesus (bdk. Mat 2:19-23). Herodes dan Yosef adalah dua karakter yang berlawanan, mencerminkan dua wajah kemanusiaan yang selalu ada. Kesalahpahaman umum menganggap keberanian sebagai keutamaan eksklusif seorang pahlawan. Pada kenyataannya, kehidupan sehari-hari setiap orang membutuhkan keberanian. Cara hidup kita – kamu, saya, semua orang : kita tidak dapat hidup tanpa keberanian, keberanian untuk menghadapi kesulitan setiap hari. Di segala zaman dan budaya, kita menemukan manusia pemberani yang, agar selaras dengan keyakinan mereka, telah mengatasi segala macam kesulitan, dan telah menanggung ketidakadilan, kutukan, dan bahkan kematian. Keberanian identik dengan ketabahan, yang bersama-sama dengan keadilan, kehati-hatian dan kesederhanaan adalah bagian dari kelompok keutamaan manusia yang dikenal sebagai "keutamaan pokok".

 

Inilah pelajaran yang diberikan Yosef kepada kita hari ini : hidup selalu menyimpan kemalangan bagi kita, ini benar, di mana kita mungkin juga merasa terancam dan takut dalam menghadapinya. Tetapi bukan dengan mengeluarkan yang terburuk dalam diri kita, seperti yang dilakukan Herodes, kita dapat mengatasi saat-saat tertentu, justru dengan bertindak seperti Yosef, yang bereaksi terhadap rasa takut dengan keberanian untuk percaya pada penyelenggaraan Allah. Hari ini saya pikir kita butuh mendoakan seluruh migran; para migran dan semua orang yang teraniaya, dan semua orang yang menjadi korban keadaan yang merugikan : baik keadaan politik, sejarah maupun pribadi. Tetapi, marilah kita pikirkan banyak orang yang menjadi korban perang, yang ingin melarikan diri dari tanah air mereka tetapi tidak bisa; marilah kita pikirkan para migran yang berangkat di jalan itu untuk bebas, sehingga banyak dari mereka meninggal di jalan atau di laut; marilah kita memikirkan Yesus dalam pelukan Yosef dan Maria, menyingkir, dan marilah kita melihat di dalam Dia masing-masing migran hari ini. Migrasi hari ini adalah kenyataan yang tidak bisa membuat kita tutup mata. Migrasi hari ini adalah skandal sosial kemanusiaan.

 

Santo Yosef, engkau yang telah mengalami penderitaan orang-orang yang harus menyingkir. Engkau yang terpaksa menyingkir untuk menyelamatkan nyawa orang yang paling engkau sayangi, lindungilah semua orang yang menyingkir karena perang, kebencian, kelaparan. Dukunglah orang-orang yang berada dalam kesulitan, kuatkan mereka dalam harapan, serta perkenankan mereka menemukan sambutan dan kesetiakawanan. Bimbinglah langkah mereka dan bukalah hati orang-orang yang bisa membantu mereka. Amin.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris. Dalam damai Tuhan kita Yesus Kristus, semoga kamu masing-masing, dan keluargamu, menghargai sukacita Masa Natal ini, dan dalam doa mendekat kepada Sang Juruselamat yang telah datang untuk tinggal di antara kita. Semoga Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang Santo Yosef, kita sekarang membahas keberanian Yosef dalam menghadapi penganiayaan. Seperti banyak saudara dan saudari kita yang menghadapi ketidakadilan atau kekerasan hari ini, Yosef dan Maria terpaksa bermigrasi dari tanah air mereka, melarikan diri dari murka Raja Herodes. Diperdaya oleh para Majus mengenai tepatnya tempat kelahiran Kristus, Herodes berusaha membunuh semua anak laki-laki Betlehem yang berusia di bawah dua tahun. Menanggapi pesan malaikat, Yosef dengan berani membawa Keluarga Kudus dalam perjalanan berbahaya ke Mesir. Sekembalinya mereka ke tanah Israel, Yosef membawa mereka ke Galilea untuk mendirikan rumah di Nazaret, aman dari ancaman penerus Herodes. Sementara Herodes mewujudkan kekejaman, kecongkakan dan penyerangan, Yosef justru menunjukkan kepada kita bagaimana menanggapi tantangan dan kesulitan kita dengan kasih yang luhur, dengan berani percaya pada penyelenggaraan Allah. Saat kita mengingat ketabahan dan kasih yang ditunjukkan oleh Yosef dalam penyingkiran ke Mesir, marilah kita mendoakan semua orang yang, seperti Keluarga Kudus, menemukan diri mereka terpaksa meninggalkan tanah air mereka, agar mereka sudi diberkati dengan keberanian Santo Yosef.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 29 Desember 2021)

SURAT PAUS FRANSISKUS UNTUK PARA PASUTRI DALAM RANGKA TAHUN “KELUARGA AMORIS LAETITIA” 2021-2022

Para pasutri terkasih di seluruh dunia!

 

Dalam Tahun “Keluarga Amoris Laetitia” ini, saya menulis untuk mengungkapkan kasih sayang dan kedekatan saya yang mendalam denganmu pada waktu yang sangat istimewa ini. Keluarga senantiasa berada dalam pikiran dan doa saya, tetapi terutama selama pandemi, yang telah menguji semua orang, terutama yang paling rentan di antara kita. Situasi dewasa ini telah membuat saya ingin menyertai dengan kerendahan hati, kasih sayang dan keterbukaan setiap pribadi, pasutri dan keluarga dalam segala situasi yang di dalamnya kamu menemukan dirimu.

 

Kita sedang diminta untuk menerapkan pada diri kita panggilan Tuhan yang diterima Abraham untuk berangkat dari negerinya dan rumah bapanya menuju negeri asing yang akan ditunjukkan Allah sendiri kepadanya (bdk. Kej 12:1). Kita juga pernah mengalami ketidakpastian, kesepian, kehilangan orang-orang terkasih; kita juga telah dipaksa untuk meninggalkan kepastian kita, “zona nyaman” kita, cara kita melakukan sesuatu dan ambisi kita, dan bekerja demi kesejahteraan keluarga kita dan masyarakat secara keseluruhan, yang juga bergantung pada diri kita dan tindakan kita.

 

Hubungan kita dengan Allah membentuk kita, menyertai kita dan mengutus kita sebagai pribadi dan, pada akhirnya, membantu kita untuk "berangkat dari negeri kita", meskipun dalam banyak kasus dengan kegentaran dan bahkan ketakutan tertentu dalam menghadapi hal yang tidak diketahui. Namun iman Kristiani membuat kita menyadari bahwa kita tidak sendirian, karena Allah berdiam di dalam kita, bersama kita dan di antara kita : dalam keluarga kita, lingkungan kita, tempat kerja dan sekolah kita, di kota tempat tinggal kita.

 

Seperti Abraham, dengan tanpa syarat seluruh pasutri “berangkat” dari negeri mereka pada saat, sebagai tanggapan atas panggilan kasih suami-istri, mereka memutuskan untuk saling memberikan diri. Bertunangan sudah berarti berangkat dari negerimu, karena memanggilmu untuk berjalan bersama di sepanjang jalan yang mengarah ke jenjang perkawinan. Beragam situasi kehidupan, perjalanan waktu, kehadiran anak-anak, pekerjaan dan penyakit, semuanya menantang pasutri untuk merangkul kembali komitmen mereka satu sama lain, meninggalkan kebiasaan yang sudah mapan, kepastian dan keamanan, serta berangkat menuju negeri yang dijanjikan Allah : menjadi dua di dalam Kristus, dua di dalam satu. Hidupmu menjadi satu kehidupan; kamu menjadi "kita" dalam persekutuan penuh kasih dengan Yesus, hidup dan hadir di setiap saat keberadaanmu. Allah senantiasa berada di sampingmu; Ia mengasihimu tanpa syarat. Kamu tidak sendirian!

 

Para pasutri terkasih, ketahuilah bahwa anak-anakmu – terutama yang lebih muda – memperhatikanmu dengan penuh perhatian; di dalam kamu mereka mencari tanda-tanda kasih yang kokoh dan dapat diandalkan. “Betapa pentingnya bagi kaum muda untuk melihat dengan mata kepala sendiri kasih Kristus yang hidup dan hadir dalam kasih pasutri, yang bersaksi melalui kenyataan hidup mereka bahwa kasih untuk selama-lamanya adalah mungkin!”[1] Anak-anak senantiasa merupakan karunia; mereka mengubah sejarah setiap keluarga. Mereka haus akan kasih, rasa terima kasih, penghargaan, dan kepercayaan. Menjadi orangtua memanggilmu untuk memberikan kepada anak-anakmu sukacita menyadari bahwa mereka adalah anak-anak Allah, anak-anak seorang Bapa yang senantiasa mengasihi mereka dengan lembut dan yang memegang tangan mereka setiap hari. Saat mereka mengetahui hal ini, anak-anakmu akan bertumbuh dalam iman dan percaya kepada Allah.

 

Yang pasti, membesarkan anak-anak bukan tugas mudah. Namun janganlah kita lupa bahwa mereka juga “membesarkan” kita. Keluarga tetap menjadi lingkungan utama tempat berlangsungnya pendidikan, melalui gerakan-gerakan kecil yang lebih fasih daripada kata-kata. Mendidik pertama-tama berupa menyertai proses pertumbuhan, hadir untuk anak-anak dalam berbagai cara, membantu mereka menyadari bahwa mereka senantiasa dapat mengandalkan orangtua mereka. Seorang pendidik adalah seseorang yang secara rohani “melahirkan” orang lain dan, terutama, secara pribadi terlibat dalam pertumbuhan mereka. Bagi orangtua, berhubungan dengan anak-anak dengan kewenangan yang bertumbuh dari hari ke hari adalah penting. Anak-anak membutuhkan rasa aman yang dapat memungkinkan mereka untuk memiliki kepercayaan pada dirimu maupun keindahan kebersamaan hidupmu, serta kepastian bahwa mereka tidak akan pernah sendirian, apa pun yang akan terjadi.

 

Seperti telah saya catat, kita menjadi semakin sadar akan jatidiri dan perutusan kaum awam dalam Gereja dan masyarakat. Kamu memiliki perutusan untuk mengubah rupa masyarakat dengan kehadiranmu di tempat kerja dan memastikan diperhitungkannya kebutuhan keluarga. Para pasutri juga harus mengambil langkah pertama (primerear)[2] dalam komunitas paroki dan keuskupan mereka melalui prakarsa dan kreativitas mereka, sebagai ungkapan saling melengkapi karisma dan panggilan dalam pelayanan persekutuan gerejawi. Hal ini terutama berlaku bagi para pasutri yang, bersama dengan para gembala Gereja, “berjalan berdampingan dengan keluarga lain, membantu mereka yang lebih lemah, mewartakan bahwa, bahkan di tengah kesulitan, Kristus senantiasa hadir bagi mereka”.[3]

 

Oleh karena itu, saya mendorongmu, para pasutri yang terkasih, untuk aktif dalam Gereja, terutama dalam pelayanan pastoral keluarga. “Tanggung jawab bersama untuk perutusan Gereja menuntut agar para pasutri dan para pelayan tertahbis, terutama para uskup, bekerjasama dengan cara yang bermanfaat dalam merawat dan memelihara Gereja rumah tangga”.[4] Jangan pernah lupa bahwa keluarga adalah “sel dasar masyarakat” (Evangelii Gaudium, 66). Perkawinan adalah bagian penting dari rencana pembangunan “budaya perjumpaan” (Fratelli Tutti, 216). Keluarga dengan demikian dipanggil untuk menjembatani generasi-generasi dalam mewariskan nilai-nilai yang membentuk kemanusiaan sejati. Kreativitas baru diperlukan, untuk mengungkapkan, di tengah tantangan dewasa ini, nilai-nilai yang membentuk kita sebagai umat, baik dalam masyarakat kita maupun dalam Gereja, Umat Allah.

 

Perkawinan, sebagai panggilan, memanggilmu untuk mengemudikan perahu kecil – diombang-ambingkan ombak namun kokoh, berkat kenyataan sakramen – melintasi lautan yang terkadang berbadai. Seberapa sering kamu ingin mengatakan, atau lebih baik, berseru, seperti para rasul : "Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?" (Mrk 4:38). Namun, marilah kita tidak pernah lupa bahwa berdasarkan sakramen perkawinan, Yesus hadir di dalam perahu itu; Ia peduli padamu dan tetap berada di sampingmu di tengah badai. Dalam perikop Injil yang lain, ketika mereka mendayung dengan susah payah, para murid melihat Yesus datang kepada mereka di atas air dan menyambut-Nya ke dalam perahu mereka. Kapan pun kamu diterpa angin kencang dan badai, lakukan hal yang sama : sambutlah Yesus ke dalam perahumu, karena sekali Ia “naik ke perahu mendapatkan mereka ... angin pun redalah” (Mrk 6:51). Bersama-sama, kamu tetap menatap Yesus adalah penting. Hanya dengan cara ini, kamu akan menemukan kedamaian, mengatasi perselisihan dan menemukan penyelesaian untuk banyak permasalahanmu. Permasalahan tersebut tentu saja tidak akan lenyap, tetapi kamu akan dapat melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.

 

Hanya dengan menyerahkan dirimu ke dalam tangan Tuhan kamu akan dapat melakukan apa yang mungkin tampak mustahil. Kenalilah kelemahan dan ketidakberdayaanmu dalam menghadapi begitu banyak situasi di sekitarmu, tetapi pada saat yang sama yakinlah bahwa kuasa Kristus dengan demikian akan diwujudnyatakan dalam kelemahanmu (bdk. 2Kor 12:9). Justru di tengah badai itulah para rasul mengetahui ke-raja-an dan keilahian Yesus, serta belajar untuk percaya kepada-Nya.

 

Dengan mengingat ayat-ayat biblis ini, saya sekarang ingin bercermin pada beberapa kesulitan dan peluang yang dialami keluarga selama pandemi saat ini. Misalnya, penguncian berarti ada lebih banyak waktu untuk bersama, dan ini membuktikan peluang unik untuk memperkuat komunikasi dalam keluarga. Tentu, ini menuntut latihan kesabaran tertentu. Tidak mudah untuk bersama sepanjang hari, ketika semua orang harus bekerja, belajar, berekreasi dan beristirahat di rumah yang sama. Jangan biarkan rasa lelah menguasai dirimu : semoga kekuatan kasih membuatmu lebih memperhatikan orang lain – pasanganmu, anak-anakmu – daripada kebutuhan dan kekhawatiranmu sendiri. Perkenankan saya mengingatkanmu tentang apa yang saya katakan dalam Amoris Laetitia (bdk. No. 90-119), yang diilhami oleh madah kasih Santo Paulus (bdk. 1Kor 13:1-3). Panjatkanlah karunia kasih dari Keluarga Kudus dan baca ulang perayaan kasih Paulus, sehingga dapat mengilhami keputusan dan tindakanmu (bdk. Rm 8:15; Gal 4:6).

 

Dengan cara ini, waktu yang kamu habiskan bersama, jauh melebihi penebusan dosa, akan menjadi perlindungan di tengah badai. Semoga setiap keluarga menjadi tempat penerimaan dan pengertian. Pikirkanlah nasihat yang saya berikan kepadamu tentang pentingnya tiga kata sederhana berikut : "tolong, terima kasih, maaf".[5] Setelah setiap pertengkaran, “jangan biarkan hari berakhir tanpa berdamai”.[6] Jangan malu untuk bersujud bersama di hadapan Yesus dalam Ekaristi, menemukan beberapa saat kedamaian serta saling memandang dengan kelembutan dan kebaikan. Atau ketika salah seorang dari kamu sedikit marah, peganglah tangannya dan paksakan dia untuk tersenyum. Kamu juga dapat melafalkan doa singkat bersama setiap malam sebelum tidur, dengan Yesus di sampingmu.

 

Bagi beberapa pasutri, kondisi keterpaksaan hidup selama karantina sangat sulit. Permasalahan yang sudah ada sebelumnya diperparah, menciptakan perselisihan yang dalam beberapa kasus menjadi hampir tak tertahankan. Bahkan banyak yang mengalami perceraian yang harus menghadapi krisis yang mereka rasakan sulit atau tidak mungkin untuk dikelola. Saya ingin mereka juga merasakan kedekatan dan kasih sayang saya.

 

Perceraian menyebabkan penderitaan yang luar biasa, karena banyak harapan yang pupus, serta kesalahpahaman dapat menyebabkan pertengkaran dan luka yang tidak mudah disembuhkan. Anak-anak akhirnya harus menderita rasa sakit melihat orangtua mereka tidak lagi bersama. Teruslah mencari pertolongan, sehingga kamu dapat mengatasi perselisihan dan mencegah lebih banyak lagi lukamu dan anak-anakmu. Tuhan Yesus, dalam belas kasih-Nya yang tak terbatas, akan mengilhamimu untuk terus berjalan di tengah banyak kesulitan dan kesedihanmu. Tetaplah berdoa memohon pertolongan-Nya, dan carilah pada-Nya perlindungan dan terang untuk perjalanan. Temukan juga, dalam komunitasmu, sebuah “rumah Bapa, di mana senantiasa tersedia tempat bagi setiap orang dengan semua permasalahan hidup mereka” (Evangelii Gaudium, 47).

 

Ingatlah juga bahwa pengampunan menyembuhkan setiap luka. Saling mengampuni adalah buah keputusan batin yang mencapai kedewasaan dalam doa, dalam hubungan kita dengan Allah. Saling mengampuni adalah karunia yang lahir dari rahmat yang dicurahkan Kristus kepada pasutri setiap kali mereka berpaling kepada-Nya dan memperkenankan-Nya bertindak. Kristus “tinggal” dalam perkawinanmu dan Ia senantiasa menantimu untuk membuka hati kepada-Nya, sehingga Ia dapat menopangmu, seperti yang Ia perbuat kepada para murid di perahu, dengan kuasa kasih-Nya. Kasih manusiawi kita lemah; kasih manusiawi kita membutuhkan kekuatan kasih setia Yesus. Bersama-Nya, kamu sungguh dapat membangun "rumah di atas batu" (Mat 7:24).

 

Di sini saya ingin menyampaikan sepatah kata kepada kaum muda yang sedang mempersiapkan perkawinan. Bahkan sebelum pandemi, tidak mudah bagi pasangan yang bertunangan untuk merencanakan masa depan mereka, karena sulitnya mencari pekerjaan tetap. Sekarang pasar tenaga kerja bahkan semakin tidak terjamin, saya mendesak pasangan yang bertunangan untuk tidak merasa putus asa, tetapi memiliki “keberanian kreatif” yang ditunjukkan oleh Santo Yosef, yang untuk mengingatnya saya ingin hormati dalam Tahun yang didedikasikan untuknya ini. Dalam perjalananmu menuju perkawinan, senantiasalah percaya pada penyelenggaraan Allah, betapapun terbatasnya kemampuanmu, karena “terkadang justru kesulitan menumbuhkan sumber-sumber daya dari dalam diri kita yang tidak pernah kita pikirkan bahwa kita memilikinya” (Patris Corde, 5). Jangan ragu-ragu untuk mengandalkan keluarga dan sahabatmu, di komunitas gerejawi, di parokimu, untuk menolongmu mempersiapkan perkawinan dan kehidupan keluarga dengan belajar dari mereka yang telah berjalan maju di sepanjang jalan yang sedang kamu jalani sekarang.

 

Sebelum mengakhiri, saya ingin menyapa kakek-nenek, yang selama penguncian tidak dapat melihat atau menghabiskan waktu bersama cucu-cucu mereka, serta semua orang lanjut usia yang merasa terasing dan sendirian selama bulan-bulan itu. Keluarga sangat membutuhkan kakek-nenek, karena mereka adalah ingatan yang hidup umat manusia, ingatan yang “dapat membantu membangun dunia yang semakin manusiawi dan ramah”.[7]

 

Semoga Santo Yosef mengilhami kepada seluruh keluarga keberanian yang kreatif, yang sangat penting untuk masa-masa perubahan penting ini. Semoga dalam kehidupan perkawinanmu Bunda Maria menolongmu untuk memupuk budaya perjumpaan yang sangat kita butuhkan untuk menghadapi permasalahan dan kesukaran dewasa ini. Tidak ada kesulitan yang dapat mengenyahkan sukacita orang-orang yang tahu bahwa mereka sedang berjalan bersama Tuhan di samping mereka. Jalani panggilanmu dengan antusias. Jangan biarkan wajahmu menjadi sedih atau muram; suami atau istrimu membutuhkan senyumanmu. Anak-anakmu membutuhkan penampilanmu yang memberi semangat. Para imammu dan keluarga-keluarga lainnya membutuhkan kehadiran dan sukacitamu : sukacita yang datang dari Tuhan!

 

Saya menyapa kamu semua dengan kasih sayang, dan saya mendorongmu untuk melaksanakan perutusan yang telah dipercayakan Yesus kepada kita, bertekun dalam doa dan “pemecahan roti” (Kis 2:42).

 

Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya, sama seperti saya mendoakanmu setiap hari.

 

 

Salam persaudaraan,

Roma, Santo Yohanes Lateran, 26 Desember 2021, Pesta Keluarga Kudus

 

Fransiskus

 



[1]Pesan Video untuk Para Peserta Forum “Di mana Kita Berdiri Bersama Amoris Laetitia?” (9 Juni 2021).

[2]Bdk. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 24.

[3]Pesan Video untuk Para Peserta Forum “Di mana Kita Berdiri Bersama Amoris Laetitia?” (9 Juni 2021).

[4]Pesan Video untuk Para Peserta Forum “Di mana Kita Berdiri Bersama Amoris Laetitia?” (9 Juni 2021).

[5]Amanat Kepada Peserta Peziarahan Keluarga Selama Tahun Iman (26 Oktober 2013); bdk. Amoris Laetitia, 133.

[6]Katekese 13 Mei 2015; bdk. Amoris Laetitia, 104.

[7]Pesan untuk Hari Kakek-nenek dan Lansia Sedunia 2021 : “Aku senantiasa besertamu” (25 Juli 2021).

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 26 Desember 2021 : PESTA KELUARGA KUDUS

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita merayakan Pesta Keluarga Kudus Nazaret. Allah memilih keluarga yang rendah hati dan sederhana untuk datang ke tengah-tengah kita. Marilah kita renungkan dengan keheranan keindahan misteri ini, dengan menekankan dua aspek nyata bagi keluarga kita.

 

Aspek pertama : keluarga adalah cerita yang daripadanya kita berasal. Kita memiliki cerita masing-masing. Tak seorang pun dari kita dilahirkan secara ajaib, dengan tongkat ajaib. Kita semua memiliki cerita kita masing-masing dan keluarga adalah cerita yang daripadanya kita berasal. Bacaan Injil liturgi hari ini mengingatkan kita bahwa bahkan Yesus pun merupakan putra dari kisah keluarga. Kita melihat-Nya melakukan perjalanan ke Yerusalem bersama Maria dan Yusuf untuk merayakan Paskah; kemudian Ia membuat ibu dan bapa-Nya khawatir ketika mereka tidak menemukan-Nya; setelah diketemukan, Ia pulang ke rumah bersama mereka (bdk. Luk 2:41-51). Sungguh indah melihat Yesus disertakan ke dalam lingkup kasih sayang keluarga yang lahir dan tumbuh dalam belaian dan perhatian kedua orangtua-Nya. Hal ini juga penting bagi kita : kita berasal dari sebuah cerita yang terdiri dari ikatan kasih, dan orang yang kita lahirkan hari ini tidak sebegitu banyak benda-benda yang kita gunakan, tetapi dari kasih yang telah kita terima, dari kasih di dalam hati keluarga. Kita mungkin tidak dilahirkan dalam keluarga yang luar biasa, yang tanpa masalah, tetapi ini adalah kisah kita – semua orang harus berpikir : ini adalah kisahku – ini adalah akar kita : jika kita memangkasnya, kehidupan akan mengering! Allah tidak membuat kita mengembara sendirian, tetapi berjalan bersama. Marilah kita bersyukur kepada-Nya dan berdoa kepada-Nya untuk keluarga kita. Allah memikirkan kita dan menghendaki kita bersama : bersyukur, bersatu, mampu memelihara akar kita. Kita perlu memikirkan hal ini, cerita kita.

 

Aspek kedua : setiap hari kita perlu belajar bagaimana menjadi sebuah keluarga. Dalam Bacaan Injil, kita melihat bahkan dalam Keluarga Kudus segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik : ada masalah yang tak terduga, kecemasan, penderitaan. Keluarga Kudus di kartu suci tidak ada. Maria dan Yusuf kehilangan Yesus dan mencari-Nya dengan cemas, dan baru menemukan-Nya tiga hari kemudian. Dan ketika, sedang duduk di tengah-tengah alim ulam di Bait Allah, Ia menjawab bahwa Ia harus berurusan dengan Bapa-Nya, mereka tidak mengerti. Mereka butuh waktu untuk belajar mengenal Putra mereka. Begitu pula dengan kita: setiap hari, sebuah keluarga perlu belajar bagaimana saling mendengarkan untuk saling memahami, berjalan bersama, menghadapi perselisihan dan kesulitan. Sebuah tantangan sehari-hari yang harus diatasi dengan sikap yang benar, melalui tindakan sederhana, memperhatikan rincian hubungan kita. Dan hal ini juga sangat membantu kita untuk berbicara dalam keluarga, berbicara di meja, berdialog antara orangtua dan anak, berdialog antarsaudara kandung. Ini membantu kita mengalami akar keluarga kita yang berasal dari kakek-nenek kita. Berdialog dengan kakek-nenek!

 

Lalu bagaimana hal ini dilakukan? Marilah kita melihat Maria, yang dalam Bacaan Injil hari ini berkata kepada Yesus : “Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau” (ayat 48). Bapa-Mu dan aku; tidak mengatakan, aku dan Bapa-Mu. Sebelum "aku", "kamu" lebih dulu! Marilah kita mempelajari hal ini: sebelum "aku", "kamu" lebih dulu. Dalam bahasa saya ada kata sifat untuk orang-orang yang menempatkan "aku" sebelum "kamu": "Aku, diriku dan aku, untuk diriku dan kebaikanku sendiri". Orang-orang adalah semacam ini – pertama “aku” dan kemudian “kamu”. Tidak, dalam Keluarga Kudus, pertama "kamu" dan kemudian "aku". Untuk memelihara keharmonisan dalam keluarga, kediktatoran "aku" perlu ditentang - ketika "aku" membusung. Berbahaya, ketika, alih-alih saling mendengarkan, kita saling menyalahkan; ketika, alih-alih menunjukkan saling peduli, kita terpaku pada kebutuhan kita sendiri; ketika, alih-alih berdialog, kita mengasingkan diri dengan gawai kita – menyedihkan, ketika makan malam dalam keluarga, semuanya menggunakan gawai mereka tanpa saling berbicara, semuanya berbicara di gawai mereka sendiri; ketika kita saling menuduh, selalu mengulang kalimat yang sama, menghidupkan kembali adegan lama di mana setiap orang ingin menjadi benar dan selalu berakhir dengan keheningan yang dingin, keheningan yang bisa kamu potong dengan pisau, dingin, setelah diskusi keluarga. Ini mengerikan, benar-benar mengerikan! Saya ulangi sebuah nasihat : di malam hari, ketika semuanya selesai, selalulah berdamai. Jangan pernah tidur tanpa berdamai, jika tidak maka akan terjadi “perang dingin” keesokan harinya! Dan ini berbahaya karena memicu serangkaian omelan, serangkaian kebencian. Sayangnya, berapa kali perselisihan berasal dan tumbuh di dalam tembok rumah tangga karena kurun waktu keheningan yang berkepanjangan dan dari keegoisan yang tidak terkendali! Bahkan terkadang berujung pada kekerasan fisik dan moral. Ini merusak keharmonisan dan membunuh keluarga. Marilah kita mengubah diri kita dari "aku" menjadi "kamu". Seyogyanya, apa yang lebih penting dalam sebuah keluarga adalah "kamu". Dan tolong, setiap hari, marilah kita sedikit berdoa bersama – jika kamu dapat mengusahakannya – untuk memohonkan kepada Allah karunia perdamaian. Dan marilah kita semua berkomitmen – orangtua, anak-anak, Gereja, masyarakat – untuk menopang, membela, dan melindungi keluarga yang merupakan harta kita!

 

Semoga Perawan Maria, suami Yusuf, ibu Yesus, melindungi keluarga kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sekarang saya beralih ke para pasutri di seluruh dunia. Hari ini, pada Pesta Keluarga Kudus, sebuah Surat yang saya tulis tentang kamu sedang diterbitkan. Surat tersebut adalah hadiah Natal saya untukmu, para pasutri – sebuah dorongan, tanda kedekatan saya, dan juga kesempatan untuk bermeditasi. Pentingnya merenungkan dan mengalami kebaikan dan kelembutan Allah yang, dengan tangan kebapaan-Nya, membimbing langkah para pasutri di jalan kebaikan. Semoga Tuhan memberikan kekuatan kepada para pasutri untuk melanjutkan perjalanan yang telah dijalani.

 

Hari ini saya juga ingin mengingatkan bahwa kita semakin dekat dengan Pertemuan Keluarga Sedunia. Saya mengundang kamu semua untuk mempersiapkan diri untuk acara ini terutama melalui doa dan menghayatinya di keuskupanmu bersama dengan keluarga-keluarga lainnya.

 

Dan berbicara tentang keluarga, saya memiliki perhatian, perhatian nyata, setidaknya di sini di Italia : musim dingin demografis. Tampaknya banyak pasutri memilih untuk tidak memiliki anak atau hanya memiliki satu anak. Pikirkan tentang hal ini. Ini adalah sebuah tragedi. Beberapa menit yang lalu, saya melihat di Sua Immagine bagaimana mereka sedang berbicara tentang masalah serius ini, musim dingin demografis. Marilah kita melakukan segala yang mungkin untuk mendapatkan kembali kesadaran untuk mengatasi musim dingin demografis yang bertentangan dengan keluarga kita, tentang negara kita, bahkan terhadap masa depan kita.

 

Saya menyapa kamu semua para peziarah yang datang dari Italia dan berbagai negara. Saya melihat orang Polandia ini, orang Brasil, dan saya melihat orang Kolombia di sana… keluarga, kelompok paroki, lembaga. Saya kembali mengharapkan agar permenungan akan Bayi Yesus, jantung dan pusat perayaan Natal, dapat mengobarkan sikap persaudaraan dan berbagi dalam keluarga dan komunitas. Dan untuk sedikit merayakan Natal, ada baiknya berkunjung ke 100 Adegan Kelahiran yang berada di bawah barisan tiang. Ini akan membantu kita juga.

 

Pada hari-hari ini, saya telah menerima pesan Natal dari Roma dan pelbagai belahan dunia. Sayangnya, tidak mungkin bagi saya untuk menanggapi semuanya, tetapi saya mendoakan semua orang dan terutama berterima kasih atas banyaknya doa-doa yang telah kamu janjikan untuk diucapkan. Doakan saya! Jangan lupakan ini! Terima kasih banyak, dan Selamat Pesta Keluarga Kudus! Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa!

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Desember 2021)

PESAN "URBI ET ORBI" PAUS FRANSISKUS PADA HARI RAYA NATAL 25 Desember 2021

Saudara-saudari terkasih, selamat Natal!

 

Sabda Tuhan, yang menciptakan dunia serta memberi makna pada sejarah dan perjalanan umat manusia, menjadi daging dan tinggal di antara kita. Ia datang bagaikan bisikan, bagaikan desiran angin sepoi-sepoi basa, untuk memenuhi dengan keheranan hati setiap manusia yang terbuka terhadap misteri ini.

 

Sabda menjadi daging untuk berdialog dengan kita. Allah tidak ingin bermonolog, tetapi berdialog. Bagi Allah sendiri, Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah dialog, persekutuan kasih dan kehidupan yang abadi dan tak terbatas.

 

Dengan kedatangan Yesus, Pribadi Sabda yang menjadi manusia, ke dalam dunia kita, Allah menunjukkan kepada kita jalan perjumpaan dan dialog. Sungguh, Ia menjadikan jalan itu menjelma dalam diri-Nya, sehingga kita dapat mengenalnya dan mengikutinya, dalam kepercayaan dan harapan.

 

Saudara-saudari, “akan seperti apa dunia tanpa dialog yang sabar dari begitu banyak orang yang murah hati yang telah menjaga kesatuan keluarga dan komunitasnya?” (Fratelli Tutti, 198). Di masa pandemi ini, kita semakin menyadari hal ini. Kemampuan kita untuk berhubungan sosial sangat diuji; ada kecenderungan yang berkembang untuk menarik diri, melakukan semuanya sendirian, berhenti berusaha untuk berjumpa orang lain dan melakukan sesuatu bersama-sama. Di tingkat internasional pun, ada risiko menghindari dialog, risiko bahwa krisis yang rumit ini akan mengarah pada mengambil jalan pintas ketimbang mengambil jalur dialog yang lebih lama. Namun hanya jalan-jalan tersebut yang dapat mengarah pada penyelesaian pertikaian dan manfaat yang langgeng bagi semua orang.

 

Memang, bahkan ketika pesan tentang kelahiran Sang Juruselamat, sumber kedamaian sejati, bergema di dalam hati kita dan di seluruh dunia, kita terus menyaksikan sejumlah besar pertikaian, krisis dan perselisihan. Hal ini sepertinya tidak pernah berakhir; sekarang kita bahkan hampir tidak memperhatikannya. Kita telah menjadi begitu terbiasa dengannya sehingga kini tragedi-tragedi besar dilewatkan dalam keheningan; kita berisiko tidak mendengar jeritan kesakitan dan kesusahan dari begitu banyak saudara dan saudari kita.

 

Marilah kita memikirkan rakyat Suriah, yang selama lebih dari satu dekade telah mengalami peperangan yang telah memakan banyak korban dan pengungsi yang tak terhitung jumlahnya. Marilah kita memandang Irak, yang masih berjuang untuk pulih dari pertikaian yang berkepanjangan. Marilah kita mendengarkan tangisan anak-anak yang muncul dari Yaman, di mana sebuah tragedi besar, yang diabaikan oleh semua orang, telah berlangsung secara diam-diam selama bertahun-tahun, menyebabkan kematian setiap hari.

 

Marilah kita mengingat juga, ketegangan yang terus berlanjut antara Israel dan Palestina yang berlarut-larut tanpa penyelesaian, dengan konsekuensi sosial dan politik yang semakin serius. Kita juga tidak boleh melupakan Betlehem, tempat kelahiran Yesus, yang juga sedang mengalami kesulitan akibat dampak ekonomi dari pandemi, menghalangi para peziarah mengunjungi Tanah Suci dan berdampak buruk pada kehidupan orang-orang. Marilah kita memikirkan Lebanon, yang sedang mengalami krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, disertai dengan kondisi ekonomi dan sosial yang sangat meresahkan.

 

Namun, di tengah malam, lihatlah! Tanda harapan! Hari ini, "Sang Kasih yang menggerakkan matahari dan bintang-bintang lainnya" (Paradiso, XXXIII, 145), seperti dikatakan Dante, menjadi daging. Ia datang dalam rupa manusia, Ia ambil bagian dalam penderitaan kita dan meruntuhkan tembok ketidakpedulian kita. Di malam yang dingin, Ia mengulurkan tangan-Nya yang mungil ke arah kita : Ia membutuhkan segalanya, namun Ia datang untuk memberi kita segalanya. Marilah kita memohon kepada-Nya kekuatan untuk terbuka terhadap dialog. Pada hari raya ini, marilah kita memanjatkan kepada-Nya untuk membangkitkan dalam hati setiap orang kerinduan akan pendamaian dan persaudaraan. Sekarang marilah kita berpaling kepada-Nya dalam doa.

 

Bayi Yesus, anugerahkanlah kedamaian dan kerukunan di Timur Tengah dan seluruh dunia. Topanglah semua orang yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada orang-orang yang terpaksa mengungsi dari tanah air mereka; hiburlah rakyat Afghanistan, yang selama lebih dari empat puluh tahun telah diuji dengan keras oleh pertikaian yang telah mendorong banyak orang untuk meninggalkan negara itu.

 

Raja segala bangsa, tolonglah otoritas politik membawa perdamaian kepada masyarakat yang digoyahkan oleh ketegangan dan pertikaian. Topanglah rakyat Myanmar, di mana intoleransi dan kekerasan yang tak jarang menyasar komunitas Krisiani dan tempat ibadahnya mengaburkan wajah penuh kedamaian bangsa itu.

 

Jadilah sumber terang dan dukungan bagi semua orang yang percaya dan berjuang, terlepas dari segala rintangan, untuk mengembangkan perjumpaan dan dialog. Di Ukraina, halangilah pecahnya pertikaian baru yang berkepanjangan.

 

Pangeran Perdamaian, tolonglah Etiopia untuk sekali lagi menemukan jalan pendamaian dan perdamaian melalui perjumpaan yang jujur yang menempatkan kebutuhan rakyat di atas segalanya. Dengarkanlah permohonan orang-orang yang tinggal di wilayah Sahel, yang mengalami kekerasan terorisme internasional. Palingkanlah pandangan-Mu kepada rakyat di negara-negara Afrika Utara, yang tersiksa oleh perpecahan, pengangguran, dan kesenjangan ekonomi. Ringankanlah kesakitan banyak saudara-saudari kita yang menderita akibat pertikaian internal di Sudan dan Sudan Selatan.

 

Anugerahkanlah agar, melalui dialog, saling menghormati serta pengakuan hak dan nilai budaya setiap manusia, nilai kesetiakawanan, pendamaian dan hidup berdampingan secara damai dapat berlaku di hati masyarakat Amerika.

 

Putra Allah, hiburlah para korban kekerasan terhadap perempuan yang meningkat di masa pandemi ini. Tawarkanlah harapan kepada anak-anak dan remaja yang menderita intimidasi dan pelecehan. Tunjukkanlah penghiburan dan kehangatan kepada kaum tua, terutama mereka yang merasa paling sendirian. Berikanlah ketenangan dan persatuan kepada keluarga, pendidik pertama anak-anak mereka dan dasar tatanan masyarakat.

 

Allah beserta kita, anugerahkanlah kesehatan kepada kaum lemah dan ilhamilah segenap manusia yang berkehendak baik untuk mengusahakan cara terbaik guna mengatasi krisis kesehatan dewasa ini dan dampaknya. Bukalah hati untuk memastikan perawatan medis yang diperlukan – dan khususnya vaksin – diberikan kepada orang-orang yang paling membutuhkannya. Ganjarlah mereka yang dengan murah hati mengabdikan diri untuk merawat anggota keluarga, yang sakit dan yang paling rentan di tengah-tengah kita.

 

Kanak Betlehem, anugerahkanlah agar banyak tahanan militer dan sipil perang dan pertikaian baru-baru ini, dan semua orang yang dipenjara karena alasan politik, dapat segera kembali ke rumah. Jangan biarkan kami acuh tak acuh di hadapan situasi tragis para migran, orang terlantar dan pengungsi. Mata mereka memohon kita untuk tidak melihat ke arah lain, mengabaikan kemanusiaan kita bersama, tetapi sebaliknya membuat kisah mereka menjadi kisah kita dan memperhatikan penderitaan mereka.[1]

 

Sabda Kekal yang menjadi daging, buatlah kami memperhatikan rumah kami bersama, yang menderita karena kecerobohan yang sering kami lakukan. Ilhamilah para pemimpin politik untuk mencapai kesepakatan yang efektif, sehingga generasi mendatang dapat hidup dalam lingkungan yang menghargai kehidupan.

 

Saudara-saudari terkasih, di tengah banyak masalah zaman kita, harapan tetap ada, “sebab seorang anak telah lahir untuk kita” (Yes 9:5). Ia adalah sabda Allah, yang menjadi bayi, hanya mampu menangis, dan membutuhkan bantuan untuk segala sesuatunya. Ia ingin belajar berbicara, seperti anak lainnya, sehingga kita dapat belajar mendengarkan Allah, Bapa kita, mendengarkan satu sama lain dan berdialog sebagai saudara-saudari.

 

Ya Kristus, lahir demi kami, ajarilah kami untuk berjalan di samping-Mu di jalan damai.

 

Selamat Natal untuk semua!

 ________


(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2021)

 



[1] Bdk. Wejangan di “Pusat Penerimaan dan Identifikasi”, Mytilene, 5 Desember 2021.