Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM DI LAPANGAN SAN DAMASO, ROMA, 30 Juni 2021 : KATEKESE TENTANG SURAT SANTO PAULUS KEPADA JEMAAT GALATIA (BAGIAN 2) - PAULUS, RASUL SEJATI

Saudara dan saudari, selamat pagi!

 

Marilah kita masuk ke dalam Surat kepada Jemaat Galatia sedikit demi sedikit. Kita telah melihat bahwa jemaat Kristiani ini mendapati diri mereka dalam perselisihan tentang bagaimana menghayati iman. Rasul Paulus mulai menulis suratnya untuk mengingatkan mereka tentang hubungan masa lalu mereka, kegelisahannya karena jauh dari mereka, dan kasihnya yang tidak berubah yang ia pelihara terhadap mereka masing-masing. Namun, ia tidak urung menunjukkan keprihatinannya bahwa jemaat Galatia hendaknya mengikuti jalan yang benar : keprihatinan seorang bapa, yang telah menghasilkan komunitas dalam iman. Niatnya sangat jelas : perlunya mengulangi kebaruan Injil, yang telah diterima jemaat Galatia melalui pewartaannya, membangun jatidiri yang sesungguhnya yang menjadi landasan keberadaan mereka. Dan inilah prinsipnya : menegaskan kembali kebaruan Injil, yang telah diterima jemaat Galatia dari dirinya.

 

Kita segera menemukan bahwa Paulus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang misteri Kristus. Sejak awal suratnya ia tidak mengikuti pembelaan murahan yang digunakan oleh para pencelanya. Rasul Paulus “terbang tinggi” dan menunjukkan kepada kita juga, bagaimana berperilaku ketika perselisihan muncul di dalam komunitas. Sesungguhnya, hanya menjelang akhir suratnya, tersurat inti celaan yaitu persoalan sunat, oleh karena sunat merupakan adat istiadat utama orang Yahudi. Paulus memilih untuk masuk lebih dalam, karena yang dipertaruhkan adalah kebenaran Injil dan kebebasan orang Kristiani, yang merupakan bagian terpadu daripadanya. Ia tidak berhenti di permukaan persoalan, permukaan perselisihan, seperti yang sering kita lakukan untuk menemukan penyelesaian segera yang menipu kita dengan berpikir bahwa kita semua bisa sepakat dengan berkompromi. Paulus mengasihi Yesus dan tahu bahwa Yesus bukanlah manusia, Allah kompromi. Ini bukanlah cara kerja Injil, dan Rasul Paulus memilih untuk mengambil jalan yang lebih menantang. Ia menulis, ”Adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah?” Ia tidak berusaha berdamai dengan semua orang. Dan ia melanjutkan : “Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus” (Gal 1:10).

 

Pertama, Paulus merasa berkewajiban untuk mengingatkan jemaat Galatia bahwa ia adalah rasul sejati bukan karena kemampuannya, tetapi karena panggilan Allah. Ia menceritakan kisah panggilan dan pertobatannya, yang bertepatan dengan penampakan Kristus yang bangkit selama perjalanan menuju Damsyik (bdk. Kis 9:1-9). Sangat menarik untuk mengamati apa yang ia tegaskan tentang hidupnya sebelum peristiwa itu. Dan inilah yang ia katakan, tentang hidupnya “dahulu” : “tanpa batas aku menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya. Dan di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku” (Gal 1:13-14). Paulus berani menegaskan bahwa di dalam agama Yahudi ia melampaui semua orang lainnya, ia adalah seorang Farisi yang benar-benar bersemangat, "tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat" (Flp 3:6). Dua kali ia menekankan bahwa ia adalah pembela "adat istiadat nenek moyang" dan "penegak hukum yang gigih". Inilah kisah Paulus.

 

Di satu sisi, ia bersikeras dengan menggarisbawahi bahwa ia telah dengan kejam menganiaya Gereja dan telah menjadi "seorang penghujat, seorang penganiaya dan seorang ganas" (1 Tim 1:13). Ia tidak menghindarkan kata sifat : ia sendiri menggambarkan dirinya dengan cara ini. Di sisi lain, ia menyoroti belas kasihan Allah kepadanya, yang membawanya mengalami perubahan rupa yang radikal, yang diketahui semua orang. Ia menulis : “Tetapi rupaku tetap tidak dikenal oleh jemaat-jemaat Kristus di Yudea. Mereka hanya mendengar, bahwa ia yang dahulu menganiaya mereka, sekarang memberitakan iman, yang pernah hendak dibinasakannya” (Gal 1:22-23). Ia bertobat, ia berubah, ia mengubah hatinya. Dengan demikian Paulus menyoroti kebenaran panggilannya melalui kontras yang mencolok yang telah tercipta dalam hidupnya : dari seorang penganiaya orang Kristiani karena tidak mematuhi tradisi dan hukum, ia dipanggil menjadi rasul untuk mewartakan Injil Yesus Kristus. Tetapi kita melihat bahwa Paulus bebas : ia bebas untuk mewartakan Injil dan ia juga bebas untuk mengakui dosa-dosanya. “Aku seperti itu” : kebenaran memberikan kebebasan pada hati, dan merupakan kebebasan Allah.

 

Memikirkan kembali kisah ini, Paulus penuh dengan keheranan dan rasa syukur. Seolah-olah ia ingin memberitahu orang-orang Galatia bahwa ia bisa saja bukan seorang rasul. Ia telah dibesarkan sebagai seorang anak laki-laki untuk menjadi pemerhati yng tak bercacat dari Hukum Musa, dan keadaan telah menuntunnya untuk menentang murid-murid Kristus. Namun, sesuatu yang tidak terduga telah terjadi : kepadanya, Allah, dengan kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Putra-Nya yang telah wafat dan bangkit, sehingga ia dapat menjadi seorang pemberita di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi (bdk. Gal 1:15-6).

 

Alangkah tidak dapat terpahami jalan Tuhan! Kita mengalami hal ini setiap hari, tetapi terutama jika kita mengingat kembali saat-saat ketika Tuhan memanggil kita. Kita tidak boleh melupakan waktu dan cara Allah memasuki hidup kita : marilah kita tetap teguh dalam hati dan pikiran bahwa perjumpaan dengan kasih karunia, ketika Allah mengubah keberadaan kita. Alangkah sering, dalam menghadapi karya agung Allah, muncul pertanyaan : tetapi bagaimana mungkin Allah menggunakan orang berdosa, orang yang lemah dan rapuh, untuk melakukan kehendak-Nya? Namun, semua ini tidak terjadi secara kebetulan, karena semuanya telah dipersiapkan dalam rencana Allah. Ia menjalin sejarah kita, kisah kita masing-masing : Ia menjalin sejarah kita dan, jika dengan kepercayaan kita sesuai dengan rencana keselamatan-Nya, kita menyadarinya. Panggilan selalu menyiratkan perutusan yang menjadi tujuan kita; itulah sebabnya kita diminta untuk mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, memahami bahwa Allah sendiri yang mengutus kita, Allah sendiri yang mendukung kita dengan kasih karunia-Nya. Saudara dan saudari, marilah kita memperkenankan diri kita dipimpin oleh kesadaran ini : keutamaan kasih karunia mengubah rupa keberadaan dan menjadikannya layak ditempatkan dalam pelayanan Injil. Keutamaan kasih karunia menutupi segala dosa, mengubah hati, mengubah hidup, dan membuat kita melihat jalan baru. Jangan sampai kita melupakan hal ini. Terima kasih.

 

[Sapaan khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Saya berdoa semoga liburan musim panas yang akan datang dapat menjadi waktu penyegaran dan pembaruan rohani bagi kalian dan keluarga kalian. Atas kalian semua saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan. Semoga Allah memberkati kalian!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang Surat Santo Paulus kepada Jemaat Galatia, sekarang kita berkaca pada pelaksanaan kewenangan kerasulan Paulus. Dengan kepedulian kebapaan, Paulus mengingatkan Jemaat Galatia tentang pewartaannya berkenaan dengan kehidupan baru yang dibawa oleh Kristus, dan mengulangi pesan Injil tentang kebebasan dari perintah hukum Musa. Paulus membela kewenangannya sebagai seorang Rasul, menggambarkan dengan jujur perjalanan pertobatannya – dari penganiaya Gereja yang kejam hingga panggilannya berkat belas kasihan Allah untuk mengenal Yesus yang bangkit, dan menjadi Rasul bangsa-bangsa. Dengan menekankan kuasa belas kasihan Tuhan yang bekerja dalam hidupnya, Paulus mengajak kita untuk berkaca pada bagaimana Allah masuk ke dalam hidup kita, mengejutkan kita, memperbarui dan secara radikal mengubah rupa kita berkat Roh Kudus, dan menguatkan kita untuk menjadi murid misioner bagi penyebaran Injil dan pesannya yang membebaskan.

____


(Peter Suriadi - Bogor, 30 Juni 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 29 Juni 2021 : HARI RAYA SANTO PETRUS DAN PAULUS

Saudara-saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Inti dari Bacaan Injil hari ini (Mat 16:13-19) Tuhan mengajukan pertanyaan yang memastikan kepada para murid-Nya : “Apa katamu, siapakah Aku ini?” (ayat 15). Pertanyaan penting yang diulangi Yesus kepada kita hari ini : “Apa katamu, siapakah Aku ini?”. Apa katamu, yang telah menerima iman tetapi masih takut untuk berlayar di atas sabda-Ku, siapakah Aku ini? Apa katamu, yang telah menjadi orang Kristiani begitu lama tetapi, karena kebiasaan, telah kehilangan cinta pertamamu, siapakah Aku ini? Apa katamu, yang sedang mengalami masa sulit dan perlu membangunkan diri untuk memulai lagi, siapakah Aku ini? Yesus bertanya : Apa katamu, siapakah Aku ini? Marilah hari ini kita memberikan kepada-Nya jawaban, tetapi jawaban yang berasal dari hati. Kita semua, marilah kita memberikan kepada-Nya jawaban yang berasal dari hati.

 

Sebelum pertanyaan ini, Yesus bertanya kepada para murid-Nya satu sama lain : "Kata orang, siapakah Aku itu?" (bdk. ayat 13). Ujian untuk mengetahui pendapat tentang Dia dan ketenaran yang Ia dapati, tetapi ketenaran tidak menarik minat Yesus, ketenaran bukan ujian semacam itu. Jadi, mengapa Ia mengajukan pertanyaan tersebut? Untuk menggarisbawahi perbedaan, yang merupakan perbedaan mendasar kehidupan Kristiani. Ada yang berhenti pada pertanyaan, pendapat, dan pembicaraan pertama tentang Yesus; dan ada orang-orang yang, justru, berbicara kepada Yesus, membawa hidup mereka kepada-Nya, menjalin hubungan dengan-Nya, membuat langkah yang menentukan. Inilah yang menarik perhatian Tuhan : menjadi pusat pikiran kita, menjadi titik acuan kasih sayang kita; menjadi, singkatnya, kasih kehidupan kita. Bukan pendapat yang kita miliki tentang diri-Nya; yang tidak menarik bagi-Nya. Ia tertarik pada kasih kita, apakah Ia ada di dalam hati kita.

 

Kedua santo yang kita rayakan hari ini mengambil langkah itu dan menjadi saksi. Langkah dari pendapat memiliki Yesus dalam hati mereka : kesaksian. Mereka bukan pengagum, tetapi peneladan Yesus. Mereka bukan penonton, melainkan pelaku Injil. Mereka tidak percaya pada perkataan, tetapi perbuatan. Petrus tidak berbicara tentang perutusan, ia melaksanakan perutusan, ia adalah seorang penjala manusia; Paulus tidak menulis buku-buku pengajaran, tetapi surat-surat tentang apa yang ia jalani ketika ia bepergian dan memberikan kesaksian. Keduanya menghabiskan hidup mereka untuk Tuhan dan saudara-saudara mereka. Dan mereka menghasut kita, karena kita menghadapi resiko terhenti pada pertanyaan pertama : memberikan pandangan dan pendapat, memiliki gagasan besar dan mengucapkan kata-kata indah, tetapi tidak pernah mewujudkannya. Dan Yesus ingin kita mempertaruhkan diri kita. Seberapa sering, misalnya, kita mengatakan bahwa kita menginginkan Gereja yang semakin setia kepada Injil, semakin dekat dengan sesama, semakin kenabian dan misioner, tetapi kemudian, dalam pelaksanaannya, kita tidak melakukan apa-apa! Sangat menyedihkan melihat banyak yang berbicara, berkomentar dan berdebat, tetapi hanya sedikit yang menjadi saksi. Saksi tidak kehilangan diri dalam perkataan, tetapi menghasilkan buah. Saksi tidak berkeluh kesah tentang orang lain dan dunia, tetapi ia mengalami dengan dirinya. Saksi mengingatkan kita bahwa Allah tidak untuk dipertontonkan, tetapi diperlihatkan, oleh kesaksian itu sendiri; tidak diberitakan dengan pewartaan tetapi diperlihatkan dengan teladan. Inilah yang disebut "mempertaruhkan hidupmu".

 

Namun, melihat kehidupan Petrus dan Paulus, keberatan mungkin muncul : mereka berdua adalah saksi, tetapi mereka tidak selalu menjadi teladan - mereka adalah orang berdosa! Petrus menyangkal Yesus dan Paulus menganiaya jemaat Kristiani. Tetapi - inilah intinya - mereka juga menjadi saksi atas kegagalan mereka. Santo Petrus, misalnya, bisa saja berkata kepada para Penginjil : “Jangan menulis kesalahan yang telah kuperbuat”, buatlah Injil untuk bersenang-senang. Tetapi tidak, ceritanya keluar dengan telanjang, keluar mentah-mentah dalam keempat Injil, dengan segala kesengsaraannya. Santo Paulus melakukan hal yang sama, menceritakan kesalahan dan kelemahan dalam surat-suratnya. Di sinilah kesaksiannya dimulai : dengan kebenaran tentang dirinya, dengan perjuangan melawan sikap bermuka dua dan kepalsuannya. Tuhan dapat melakukan hal-hal besar melalui diri kita ketika kita tidak dengan seksama mempertahankan citra kita, tetapi transparan dengan Dia dan sesama. Hari ini, saudara dan saudari terkasih, Tuhan sedang menanyai kita. Dan pertanyaan-Nya adalah pertanyaan yang sama - Kata orang, siapakah Aku itu? Pertanyaan-Nya menyelidiki diri kita. Melalui saksi-saksi-Nya Petrus dan Paulus Ia mendesak kita untuk menanggalkan topeng kita, meninggalkan sikap setengah-setengah, alasan yang membuat kita suam-suam kuku dan biasa-biasa saja. Semoga Bunda Maria, Ratu Para Rasul, membantu kita dalam hal ini. Semoga ia menyalakan dalam diri kita keinginan untuk bersaksi tentang Yesus.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Lusa, 1 Juli, hari khusus doa dan refleksi akan diadakan di Vatikan. Bersama-sama dengan para pemimpin seluruh Gereja yang hadir di Tanah Cedar, kita akan memperkenankan diri diilhami oleh Sabda Kitab Suci yang mengatakan : “Tuhan merancangkan damai sejahtera” (Yer 29:11). Saya mengundang kalian semua untuk bergabung secara rohani dengan kami, berdoa agar Lebanon dapat pulih dari krisis serius yang sedang dialaminya dan sekali lagi menunjukkan kepada dunia wajah perdamaian dan harapannya.

 

Tanggal 1 Juli akan diperingati 160 tahun edisi pertama "L'Osservatore Romano", "surat kabar partai", begitu saya menyebutnya. Salam hangat dan banyak terima kasih atas pelayanan kalian. Lanjutkan karya kalian dengan kesetiaan dan kreativitas.

 

Dan hari ini merupakan peringatan yang menyentuh hati kita semua : 70 tahun yang lalu, Paus Benediktus ditahbiskan sebagai imam. [Tepuk tangan] Kepadamu, Benediktus, bapa dan saudara yang terkasih, tertuju kasih sayang kami, perasaan syukur kami dan kedekatan kami. Beliau tinggal di biara, tempat yang dimaksudkan untuk menampung komunitas kontemplatif di sini di Vatikan, agar mereka dapat mendoakan Gereja. Beliau sekarang adalah seorang kontemplatif Vatikan, yang menghabiskan hidupnya untuk mendoakan Gereja dan Keuskupan Roma, tempat beliau menjadi uskup emeritusnya. Terima kasih, Benediktus, bapa dan saudara yang terkasih. Terima kasih atas kesaksianmu yang dapat dipercaya. Terima kasih atas tatapanmu, terus-menerus terarah ke cakrawala Allah : terima kasih!

 

Dengan hangat saya menyapa kalian semua, para peziarah dari Italia dan berbagai negara; tetapi hari ini secara khusus saya mengamanatkan diri saya kepada umat Roma, pada pesta kedua santo pelindung kita. Saya memberkati kalian, umat Roma yang terkasih! Saya mengharapkan segala yang baik untuk kota Roma : agar, berkat komitmen kalian semua, seluruh warga, kota ini dapat layak huni dan ramah, agar tidak ada seorang pun boleh dikecualikan, agar anak-anak dan orang tua dapat dirawat, agar ada kemungkinan pekerjaan dan dapat bermartabat, dan agar orang miskin dan orang yang terbelakang dapat menjadi pusat proyek-proyek politik dan sosial. Saya mendoakan ini. Dan kalian juga, umat Roma yang terkasih, doakanlah Uskup kalian. Terima kasih.

 

Kepada kalian semua, saya mengucapkan selamat hari raya! Selamat menikmati makan siang, dan sampai jumpa.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 27 Juni 2021 : YESUS MENYEMBUHKAN HATI KITA YANG TERLUKA KARENA KETIADAAN CINTA

Saudara-saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini dalam Bacaan Injil (bdk. Mrk 5:21-43) Yesus menghadapi dua situasi kita yang paling dramatis, kematian dan penyakit. Ia membebaskan dua orang dari situasi tersebut : seorang gadis kecil, yang meninggal tepat ketika ayahnya pergi untuk meminta bantuan Yesus; dan seorang perempuan, yang mengalami sakit pendarahan selama bertahun-tahun. Yesus memperkenankan diri-Nya dijamah oleh penderitaan dan kematian kita, dan Ia mengerjakan dua tanda penyembuhan untuk memberitahu kita bahwa baik penderitaan maupun kematian tidak memiliki kata akhir. Ia memberitahu kita bahwa kematian bukanlah akhir. Ia mengalahkan musuh ini, yang daripadanya kita sendiri tidak mampu membebaskan diri kita.

 

Tetapi, dalam kurun waktu ini di mana penyakit masih menjadi berita utama, kita akan berfokus pada tanda lain, penyembuhan perempuan itu. Melebihi kesehatannya, kasih sayangnya ternoda. Mengapa? Ia mengalami pendarahan dan oleh karena itu, menurut pola pikir saat itu, ia dianggap najis. Ia adalah seorang perempuan yang terpinggirkan; ia tidak bisa memiliki hubungan yang langgeng; ia tidak bisa memiliki suami; ia tidak bisa memiliki keluarga, dan tidak bisa memiliki hubungan sosial yang normal, karena ia "najis", penyakit yang membuatnya "najis". Ia hidup sendirian, dengan hati yang terluka. Apa penyakit terbesar dalam kehidupan? Tuberkulosis? Pandemi? Bukan. Penyakit terbesar dalam kehidupan adalah ketiadaan cinta; tidak mampu mencintai. Perempuan malang ini sakit, ya, dengan mengalami pendarahan, tetapi akibatnya, dengan ketiadaan cinta, karena secara sosial ia tidak bisa bersama orang lain. Dan penyembuhan yang paling penting adalah kasih sayang. Tetapi bagaimana kita menemukannya? Kita dapat memikirkan kasih sayang kita : apakah kasih sayang kita sakit atau dalam keadaan sehat? Apakah kasih sayang kita sakit? Yesus mampu menyembuhkan kasih sayang kita.

 

Kisah perempuan tanpa nama ini – marilah kita menyebutnya seperti itu, “perempuan tanpa nama” –, yang di dalam dirinya kita semua dapat melihat diri kita sendiri, adalah teladan. Teks mengatakan bahwa ia telah berulang-ulang mengusahakan pengobatan, "telah dihabiskannya semua yang ada padanya, namun sama sekali tidak ada faedahnya malah sebaliknya keadaannya makin memburuk" (ayat 26). Kita juga, seberapa sering kita mencampakkan diri ke dalam pengobatan yang keliru untuk memuaskan ketiadaan cinta kita? Kita berpikir bahwa kesuksesan dan uang membuat kita bahagia, tetapi cinta tidak bisa dibeli; cinta itu cuma-cuma. Kita bersembunyi di dunia maya, tetapi cinta itu nyata. Kita tidak menerima diri kita apa adanya dan kita bersembunyi di balik muka bangunan lahiriah, tetapi cinta bukanlah penampilan. Kita mengusahakan penyelesaian dari para pesulap dan pakar, untuk kemudian mendapati diri kita tanpa uang dan tanpa kedamaian, seperti perempuan itu. Akhirnya, ia memilih Yesus dan mencampakkan dirinya ke dalam kerumunan orang banyak untuk menjamah jubah Yesus. Dengan kata lain, perempuan itu mengusahakan kontak langsung, kontak fisik dengan Yesus. Apalagi saat ini, kita memahami alangkah pentingnya kontak dan hubungan. Hal yang sama berlaku untuk Yesus : kadang-kadang kita puas menjalankan beberapa aturan dan mengulangi doa – berkali-kali, seperti burung beo –, tetapi Tuhan menunggu kita menjumpai-Nya, membuka hati kepada-Nya, menunggu kita, seperti perempuan itu, menjamah jubah-Nya untuk disembuhkan. Karena, berkat akrab dengan Yesus, kita disembuhkan dalam kasih sayang kita.

 

Yesus menginginkan hal ini. Pada kenyataannya, kita membaca bahwa, bahkan ketika terdesak oleh orang banyak, Ia melihat sekeliling untuk menemukan siapa yang menjamah-Nya. Murid-murid-Nya berkata, "Engkau melihat bagaimana orang-orang ini berdesak-desakan dekat-Mu, dan Engkau bertanya: Siapa yang menjamah Aku?”. Inilah pandangan Yesus : ada banyak orang, tetapi Ia mencari wajah dan hati yang penuh iman. Yesus tidak melihat keseluruhan, seperti yang perbuat-Nya terhadap kita, justru Ia melihat pribadi. Ia tidak berhenti pada luka dan kesalahan masa lalu, tetapi melampaui dosa dan prasangka. Kita semua memiliki sejarah, dan kita masing-masing, dengan rahasia kita, mengetahui dengan baik hal-hal buruk dari sejarah kita. Tetapi Yesus melihatnya perlu disembuhkan. Sebaliknya, kita suka melihat hal-hal buruk orang lain. Seberapa sering kita berbicara, entah kita terjerumus ke dalam obrolan, yaitu menjelek-jelekkan orang lain, “mengejek” orang lain. Tetapi lihatlah : apakah cakrawala kehidupan adalah hal ini? Tidak seperti Yesus, yang selalu mencari cara untuk menyelamatkan kita; Ia melihat hari ini; niat baik bukanlah sejarah buruk yang kita miliki. Yesus melampaui dosa. Yesus melampaui prasangka. Yesus tidak berhenti pada penampilan, tetapi menggapai hati. Dan justru Ia menyembuhkan perempuan itu, yang telah ditolak oleh semua orang, seorang perempuan yang najis. Dengan lembut Ia memanggilnya "anak" (ayat 34) - gaya Yesus adalah kedekatan, kasih sayang dan kelembutan : "Anak ..." - dan ia memuji imannya, memulihkan kepercayaan dirinya.

 

Saudari, saudara, kamu berada di sini, perkenankan Yesus melihat dan menyembuhkan hatimu. Saya juga harus melakukan hal ini : memperkenankan Yesus melihat hati saya dan menyembuhkannya. Dan jika kamu telah merasakan tatapan-Nya yang lembut, teladanilah Dia, dan perbuatlah seperti yang Ia perbuat. Lihatlah sekelilingmu : kamu akan melihat bahwa banyak orang yang tinggal di sampingmu merasa terluka dan sendirian; mereka perlu merasa dicintai : ambil langkah. Yesus memintamu untuk menatap tidak berhenti pada penampilan lahiriah, tetapi masuk ke hati : tatapan yang tidak menghakimi, tetapi menyambut - marilah kita berhenti menghakimi orang lain - Yesus meminta kita untuk menatap tanpa menghakimi. Karena hanya cinta yang menyembuhkan kehidupan. Semoga Bunda Maria, Sang Penghibur penderitaan, membantu kita untuk membelai mereka yang hatinya terluka yang kita temui dalam perjalanan kita. Dan jangan menghakimi; jangan menilai pribadi, kenyataan sosial orang lain. Allah mengasihi semua orang! Jangan menghakimi; perkenankan orang lain hidup dan usahakan mendekati mereka dengan cinta.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari yang terkasih! Hari ini, menjelang Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, saya meminta kalian untuk mendoakan Paus. Berdoalah secara khusus : Paus membutuhkan doa-doa kalian! Terima kasih. Saya tahu kalian sudi melakukannya.

 

Hari ini, pada kesempatan Hari Doa Perdamaian di Timur Tengah, saya mengundang semua orang untuk memohonkan kerahiman dan damai Allah di wilayah tersebut. Semoga Allah mendukung upaya mereka yang memperjuangkan dialog dan hidup berdampingan penuh persaudaraan di Timur Tengah, tempat iman Kristiani lahir dan hidup, meskipun menderita. Bagi penduduk yang terkasih tersebut, semoga Allah selalu memberikan kedamaian, ketekunan, dan keberanian.

 

Saya memastikan kedekatan saya dengan penduduk sebelah Barat Daya Republik Ceska yang dilanda badai yang kuat. Saya mendoakan mereka yang meninggal dan yang terluka serta mereka yang harus meninggalkan rumah mereka yang rusak parah.

 

Dengan tulus saya mengucapkan selamat datang kepada kalian semua, yang datang dari Roma, dari Italia dan dari negara-negara lainnya. Saya melihat orang Polandia, orang Spanyol…. Begitu banyak di sana dan di sana .... Semoga kunjungan ke makam Santo Petrus dan Paulus memperkuat cinta kalian kepada Kristus dan Gereja.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada semuanya. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang. Sampai jumpa! Bagus sekali, kaum muda dari Sang Tak Bernoda!

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 28 Juni 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM DI LAPANGAN SAN DAMASO, ROMA, 23 Juni 2021 : KATEKESE TENTANG SURAT SANTO PAULUS KEPADA JEMAAT GALATIA (BAGIAN 1) – PENGANTAR

Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Setelah perjalanan panjang yang didedikasikan untuk doa, hari ini kita memulai siklus katekese yang baru. Saya berharap dengan perjalanan doa ini kita berhasil berdoa sedikit lebih baik, sedikit lebih berdoa. Hari ini saya ingin bercermin pada beberapa tema yang diusulkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat Galatia. Surat kepada Jemaat Galatia sangat penting, saya bahkan dapat mengatakannya menentukan, tidak hanya untuk mengenal Rasul Paulus dengan lebih baik, tetapi terutama menelaah beberapa tema yang ia bahas secara mendalam, menunjukkan keindahan Injil. Dalam Surat ini, Paulus membuat banyak acuan biografis yang memungkinkan kita untuk memahami pertobatannya dan keputusannya untuk menempatkan hidupnya demi melayani Yesus Kristus. Ia juga membahas beberapa tema iman yang sangat penting, seperti kebebasan, rahmat dan cara hidup Kristiani, yang sangat aktual karena menyentuh banyak aspek kehidupan Gereja dewasa ini. Surat ini sangat aktual. Surat ini rasanya ditulis untuk zaman kita.

 

Ciri pertama yang muncul dari Surat ini adalah karya besar penginjilan yang dilakukan oleh Rasul Paulus, yang telah mengunjungi jemaat Galatia setidaknya dua kali selama perjalanan misinya. Paulus berbicara kepada jemaat Kristiani di wilayah itu. Kita tidak tahu persis wilayah geografis mana yang ia maksudkan, kita juga tidak bisa menyebutkan dengan pasti tanggal ia menulis Surat ini. Kita tahu bahwa orang Galatia adalah penduduk Celtic kuno yang, setelah banyak perubahan, menetap di wilayah luas Anatolia yang beribu kota Ancyra, hari ini Ankara, ibu kota Turki. Paulus hanya menceritakan bahwa, karena sakit, ia terpaksa tinggal di wilayah itu (bdk. Gal 4:13). Santo Lukas, dalam Kisah Para Rasul, malah menemukan motivasi yang lebih rohani. Ia mengatakan bahwa “mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia” (16:6).

 

Kedua fakta itu tidak bertentangan: sebaliknya, mereka menunjukkan bahwa jalan penginjilan tidak selalu bergantung pada kehendak dan rencana kita, tetapi membutuhkan kesediaan untuk membiarkan diri kita dibentuk dan mengikuti jalan lain yang tidak diramalkan sebelumnya. Di antaramu ada sebuah keluarga yang menyambut saya : mereka mengatakan bahwa mereka harus belajar bahasa Latvia, dan saya tidak tahu bahasa apa lagi, karena mereka akan pergi sebagai misionaris ke negeri itu. Hari ini Roh Kudus berlanjut membawa banyak misionaris meninggalkan tanah air mereka dan pergi ke negara lain untuk menjalankan misi mereka. Tetapi, apa yang kita lihat yakni dalam karya penginjilannya yang tak kenal lelah, Rasul Paulus berhasil mendirikan beberapa jemaat kecil yang tersebar di seluruh wilayah Galatia. Paulus, ketika ia tiba di sebuah kota, di suatu wilayah, tidak segera membangun sebuah katedral yang besar, tidak. Ia menciptakan jemaat kecil yang merupakan ragi budaya Kristiani kita dewasa ini. Ia mengawali dengan mendirikan jemaat kecil. Dan jemaat kecil ini tumbuh, mereka tumbuh dan berkembang. Dewasa ini juga, metode pastoral ini digunakan di setiap wilayah misioner. Pekan lalu saya menerima sepucuk surat, dari seorang misionaris di Papua Nugini, yang memberitahu saya bahwa ia sedang memberitakan Injil di hutan, kepada orang-orang yang bahkan tidak mengenal siapa Yesus Kristus. Indahnya! Salah satunya dimulai dengan membentuk jemaat kecil. Bahkan dewasa ini metode penginjilan ini adalah metode penginjilan yang pertama.

 

Apa yang harus kita perhatikan adalah perhatian pastoral Paulus, yang seluruhnya berapi-api. Setelah mendirikan Gereja-Gereja ini, ia menyadari bahaya besar bagi pertumbuhan iman mereka - gembala seperti seorang ayah atau ibu yang segera menyadari bahaya bagi anak-anak mereka. Mereka tumbuh, dan bahaya muncul dengan sendirinya. Seperti dikatakan seseorang, “Burung nasar datang untuk membuat kekacauan dalam jemaat”. Memang, beberapa orang Kristiani yang berasal dari Yudaisme telah menyusup ke gereja-gereja ini, dan mulai menaburkan teori-teori yang bertentangan dengan ajaran Rasul Paulus, bahkan sampai merendahkannya. Mereka mengawali dengan ajaran - "Ini tidak boleh, itu boleh", dan kemudian mereka merendahkan Rasul Paulus. Metode yang lumrah : melemahkan kewenangan Rasul. Seperti dapat kita lihat, kadang kala menampilkan diri sebagai satu-satunya pemilik kebenaran, kemurnian, dan bertujuan untuk meremehkan karya orang lain, bahkan dengan fitnah, adalah praktek kuno. Para penentang Paulus ini berargumen bahwa bahkan orang bukan Yahudi pun harus disunat dan hidup menurut aturan Hukum Musa. Mereka kembali ke perayaan-perayaan sebelumnya, yang telah digantikan oleh Injil. Oleh karena itu, jemaat Galatia harus meninggalkan jatidiri budaya mereka untuk tunduk pada norma, aturan dan kebiasaan khas orang Yahudi. Tidak hanya itu, para penentang itu berargumen bahwa Paulus bukanlah rasul sejati dan karenanya tidak memiliki wewenang untuk memberitakan Injil. Marilah kitamemikirkan bagaimana jemaat kristiani atau keuskupan, pertama-tama dimulai dengan cerita-cerita, dan kemudian diakhiri dengan menjelek-jelekkan imam atau uskup. Justru inilah cara si jahat, cara orang-orang ini memecah belah, yang tidak tahu bagaimana membangun. Dan dalam Surat kepada Jemaat Galatia ini kita melihat proses tersebut.

 

Jemaat Galatia mendapati diri mereka berada dalam situasi krisis. Apa yang harus mereka lakukan? Mendengarkan dan mengikuti apa yang telah dikhotbahkan Paulus kepada mereka, atau mendengarkan para pengkhotbah baru yang menuduhnya? Sangat mudah untuk membayangkan keadaan ketidakpastian yang memenuhi hati mereka. Bagi mereka, setelah mengenal Yesus dan percaya pada karya keselamatan yang dicapai melalui wafat dan kebangkitan-Nya, benar-benar merupakan awal kehidupan baru, kehidupan kebebasan. Mereka telah memulai jalan yang memungkinkan mereka untuk bebas pada akhirnya, meskipun faktanya sejarah mereka terjalin dengan aneka macam bentuk perbudakan yang kejam, paling tidak yang telah menundukkan mereka kepada Kekaisaran Romawi. Oleh karena itu, menghadapi kritik dari para pengkhotbah baru tersebut, mereka merasa tersesat dan mereka merasa tidak yakin tentang bagaimana harus bersikap : “Tetapi siapa yang benar? Paulus ini, ataukah orang-orang yang sekarang datang mengajarkan hal-hal lain ini? Siapa yang seharusnya aku dengarkan?” Singkatnya, ada banyak yang dipertaruhkan!

 

Situasi ini tidak jauh dari pengalaman banyak orang Kristiani dewasa ini. Memang, dewasa ini juga tidak ada kekurangan pengkhotbah yang, terutama melalui sarana komunikasi baru, dapat meresahkan masyarakat. Mereka menampilkan diri bukan terutama untuk mewartakan Injil Allah yang mengasihi manusia di dalam Yesus, yang disalibkan dan bangkit, tetapi bersikeras, sebagai "penjaga kebenaran" sejati - demikian mereka menyebut diri mereka - sehubungan dengan cara terbaik untuk menjadi orang Kristiani. Dan mereka dengan tegas menyatakan bahwa kekristenan sejati adalah kekristenan yang mereka anut, sering kali diidentikkan dengan bentuk-bentuk tertentu dari masa lalu, dan bahwa penyelesaian untuk krisis dewasa ini adalah berjalan mundur agar tidak kehilangan keaslian iman. Dewasa ini juga, seperti dulu, ada godaan untuk menutup diri dalam beberapa kepastian yang diperoleh dalam tradisi masa lalu. Tetapi bagaimana kita bisa mengenali orang-orang ini? Misalnya, salah satu jejak cara melanjutkan ini adalah ketidakluwesan. Dihadapkan dengan pemberitaan Injil yang membebaskan kita, yang membuat kita bersukacita, orang-orang ini kaku. Selalu kaku : kamu harus melakukan ini, kamu harus melakukan itu ... Ketidakluwesan adalah ciri khas orang-orang ini. Mengikuti ajaran Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat Galatia akan membantu kita memahami jalan mana yang harus diikuti. Jalan yang ditunjukkan oleh Rasul Paulus adalah jalan Yesus, yang disalibkan dan bangkit, yang membebaskan dan selalu baru; jalan pemberitaan yang dicapai melalui kerendahan hati dan persaudaraan - para pengkhotbah baru tidak mengenal apa itu kerendahan hati, apa itu persaudaraan. Jalan kepercayaan yang lemah lembut dan taat - para pengkhotbah baru tidak mengenal kelembutan maupun ketaatan. Dan jalan yang lemah lembut dan taat ini menuntun ke depan dalam kepastian bahwa Roh Kudus bekerja di dalam Gereja di setiap zaman. Pada akhirnya, iman dalam Roh Kudus yang hadir dalam Gereja membawa kita maju dan akan menyelamatkan kita.

 

[Salam Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Semoga perayaan Hari Raya Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis besok mengilhami kita untuk meneladan kesaksiannya yang rendah hati bagi Sang Anak Domba Allah. Atas kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan. Semoga Allah memberkati kalian!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih, hari ini kita memulai siklus katekese baru tentang tema-tema penting dalam surat Santo Paulus kepada Jemaat Galatia. Surat ini sangat penting untuk menghargai pribadi Rasul Paulus dan ajarannya berkenaan aspek-aspek utama pesan Kristiani, seperti kasih karunia Kristus, kebebasan yang dibawanya dan tuntutan kehidupan baru kita dalam Roh Kudus. Paulus mengawali dengan menegaskan kembali Injil, yang telah ia wartakan kepada Jemaat Galatia. Surat itu juga mengungkapkan keberanian kepedulian pastoral Paulus untuk Gereja muda ini, yang telah diguncang oleh orang-orang yang meyakini bahwa para petobat yang berasal dari bangsa bukan Yahudi wajib mematuhi ketentuan hukum Musa. Sebagai tanggapan, Rasul Paulus mewartakan kebaruan yang dibawa oleh Kristus dan ungkapannya dalam buah-buah Roh Kudus dalam kehidupan kita. Dengan bercermin pada Surat kepada Jemaat Galatia, kita akan melihat bahwa cara otentik untuk ambil bagian dalam pembebasan yang dibawa oleh Sang Juruselamat yang disalibkan dan bangkit adalah melalui kasih yang rendah hati dan penuh persaudaraan, percaya pada bimbingan Roh Kudus di setiap saat peziarahan Gereja melalui sejarah.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 23 Juni 2021)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KAKEK-NENEK DAN LANSIA SEDUNIA I 25 Juli 2021


“Aku menyertai kamu senantiasa”

Kakek-nenek yang terkasih,

 

Sahabat lansia yang terkasih,

 

“Aku menyertai kamu senantiasa” (Mat 28:20) : inilah yang dijanjikan Tuhan kepada murid-murid-Nya sebelum Ia naik ke surga. Kata-kata tersebut Ia ulangi kepadamu hari ini, kakek-nenek yang terkasih, sahabat lansia yang terkasih. “Aku menyertai kamu senantiasa” juga merupakan kata-kata yang saya, sebagai Uskup Roma dan lansia seperti kamu, ingin sampaikan kepadamu pada Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia I ini. Seluruh Gereja dekat denganmu – dengan kita – dan peduli denganmu, mengasihimu dan tidak ingin meninggalkanmu sendirian!

 

Saya sangat menyadari bahwa Pesan ini datang kepadamu pada saat yang sulit : pandemi melanda kita laksana badai yang tak terduga dan ganas; pandemi yang melanda merupakan masa pencobaan bagi semua orang, tetapi terutama bagi kita para lansia. Banyak dari kita jatuh sakit, lainnya meninggal atau mengalami kematian pasangan atau orang yang dikasihi, sementara lainnya lagi menemukan diri mereka terasing dan sendirian untuk waktu yang lama.

 

Tuhan menyadari semua yang telah kita lalui selama ini. Ia dekat dengan orang-orang yang merasa terasing dan sendirian, perasaan yang menjadi semakin akut selama pandemi. Tradisi mengatakan bahwa Santo Yoakim, kakek Yesus, merasa terasing dari orang-orang di sekitarnya karena ia tidak memiliki anak; hidupnya, seperti hidup Ana,  istrinya, dianggapnya sia-sia. Maka Tuhan mengutus seorang malaikat untuk menghiburnya. Sementara ia termenung sedih di luar gerbang kota, seorang utusan Tuhan muncul kepadanya dan berkata, “Yoakim, Yoakim! Tuhan telah mendengar desakan doamu”.[1] Giotto, dalam salah satu lukisan dindingnya yang terkenal,[2] tampaknya mengatur adegan di malam hari, salah satu dari banyak malam tanpa tidur, penuh dengan ingatan, kekhawatiran dan kerinduan yang telah terbiasa bagi kebanyakan dari kita.

 

Bahkan di saat-saat tergelap, seperti di bulan-bulan pandemi ini, Tuhan terus mengutus para malaikat untuk menghibur kesepian kita dan mengingatkan kita : “Aku menyertai kamu senantiasa”. Ia mengatakan hal ini kepadamu, dan Ia mengatakannya kepada saya. Itulah makna Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia I ini, yang ingin saya rayakan untuk pertama kalinya di tahun khusus ini, karena masa keterasingan yang panjang berakhir dan kehidupan sosial perlahan-lahan dimulai kembali. Semoga setiap kakek, setiap nenek, setiap lansia, terutama orang-orang yang paling sendirian di antara kita, menerima kunjungan seorang malaikat!

 

Terkadang para malaikat itu akan memiliki wajah cucu kita, juga wajah anggota keluarga, sahabat seumur hidup atau orang-orang yang telah kita kenal selama masa-masa sulit ini, ketika kita telah belajar betapa pentingnya pelukan dan kunjungan bagi kita masing-masing. Betapa sedihnya saya bahwa di beberapa tempat hal ini masih tidak memungkinkan!

 

Namun, Tuhan juga mengutus kepada kita para pembawa pesan melalui sabda-Nya, yang senantiasa siap sedia. Marilah kita mencoba membaca satu perikop Injil setiap hari, berdoa dengan kitab Mazmur, membaca kitab para nabi! Kita akan dihibur oleh kesetiaan Tuhan. Kitab Suci juga akan membantu kita untuk memahami apa yang sedang diminta Tuhan dari hidup kita hari ini. Karena pada setiap jam dalam sehari (bdk. Mat 20:1-16) dan dalam setiap masa kehidupan, Ia terus mengutus para pekerja ke kebun anggur-Nya. Saya dipanggil untuk menjadi Uskup Roma ketika saya telah mencapai, bisa dikatakan, usia purnabakti dan berpikir saya tidak dapat melakukan sesuatu yang baru. Tuhan senantiasa – senantiasa – dekat dengan kita. Ia dekat kepada kita dengan kemungkinan baru, gagasan baru, penghiburan baru, tetapi senantiasa dekat kepada kita. Kamu tahu bahwa Tuhan itu kekal; Ia tidak pernah, tidak pernah memasuki masa purnabakti.

 

Dalam Injil Matius, Yesus memberitahu para Rasul, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu" (28:19-20). Kata-kata ini juga ditujukan kepada kita hari ini. Kata-kata tersebut membantu kita semakin memahami bahwa panggilan kita adalah melestarikan akar kita, mewariskan iman kepada kaum muda, dan peduli terhadap orang-orang kecil. Pikirkanlah : apa panggilan kita hari ini, di usia kita? Melestarikan akar kita, mewariskan iman kepada kaum muda, dan peduli terhadap orang-orang kecil. Jangan melupakan hal ini.

 

Tidak ada bedanya berapa usiamu, apakah kamu masih bekerja atau tidak, apakah kamu bujangan atau berkeluarga, apakah kamu menjadi kakek-nenek di usia muda atau kelak, apakah kamu masih mandiri atau membutuhkan bantuan. Karena tidak ada usia purnabakti dari karya pewartaan Injil dan mewariskan tradisi kepada cucu-cucumu. Kamu hanya perlu memulai dan melakukan sesuatu yang baru.

 

Pada saat penting dalam sejarah ini, kamu memiliki panggilan baru. Kamu mungkin bertanya-tanya : Bagaimana ini bisa terjadi? Tenagaku sudah habis dan aku merasa tidak bisa berbuat banyak. Bagaimana aku bisa mulai bertindak berbeda ketika kebiasaan menjadi bagian hidupku? Bagaimana aku bisa mengabdikan diri untuk orang-orang miskin ketika aku sudah sangat peduli dengan keluargaku? Bagaimana aku bisa memperluas daya pandangku ketika aku bahkan tidak bisa meninggalkan tempat tinggalku? Bukankah kesendirianku sudah menjadi beban yang cukup berat? Berapa banyak dari kamu yang hanya menanyakan pertanyaan : bukankah kesendirianku sudah menjadi beban yang cukup berat? Yesus sendiri mendengar pertanyaan serupa dari Nikodemus, yang bertanya, “Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua?” (Yoh 3:4). Itu bisa terjadi, jawab Tuhan, jika kita membuka hati kita terhadap karya Roh Kudus, yang berhembus ke mana saja yang Ia kehendaki. Roh Kudus yang kebebasan-Nya sedemikian rupa pergi ke mana saja, dan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.

 

Sebagaimana sering saya amati, kita tidak akan keluar dari krisis saat ini seperti sebelumnya, tetapi semakin baik atau semakin buruk. Dan “Semoga ini bukanlah peristiwa serius kesekian dalam sejarah yang darinya kita belum mampu belajar. Jangan kita melupakan para lansia yang meninggal karena kekurangan alat pernafasan ... Semoga penderitaan yang begitu besar tidak sia-sia, tetapi kita mengambil langkah besar menuju cara hidup baru dan menemukan sekali dan untuk semuanya bahwa kita saling membutuhkan dan saling berutang budi, sehingga umat manusia terlahir kembali” (Fratelli Tutti, 35). Tak seorang pun diselamatkan sendirian. Kita semua saling berhutang budi. Kita semua bersaudara.

 

Mengingat hal ini, saya ingin memberitahumu bahwa kamu diperlukan untuk membantu membangun, dalam persaudaraan dan persahabatan sosial, dunia masa depan : dunia di mana kita, bersama dengan anak-anak dan cucu-cucu kita, akan hidup setelah badai mereda. Kita semua hendaknya "berperan aktif dalam membangun kembali dan membantu masyarakat yang terluka” (Fratelli Tutti, 77). Di antara pilar-pilar yang mendukung bangunan baru ini, ada tiga pilar yang dapat kamu bantu untuk mendirikannya, lebih baik dari siapa pun. Tiga pilar itu adalah mimpi, ingatan, dan doa. Kedekatan Tuhan akan memberikan kepada semua orang, bahkan orang-orang yang paling lemah di antara kita, kekuatan yang dibutuhkan untuk memulai perjalanan baru di sepanjang jalan mimpi, ingatan, dan doa.

 

Nabi Yoel pernah menjanjikan : “Orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan” (2:28). Masa depan dunia bergantung pada perjanjian antara tua dan muda ini. Siapakah, jika bukan orang muda, yang dapat mengambil mimpi orang tua dan mewujudkannya? Namun agar hal ini terjadi, kita perlu terus bermimpi. Impian kita tentang keadilan, perdamaian, kesetiakawanan dapat memungkinkan generasi muda kita memiliki daya pandang baru; dengan cara ini, bersama-sama, kita dapat membangun masa depan. Kamu perlu menunjukkan bahwa muncul kembali dari pengalaman kesulitan adalah mungkin. Saya yakin kamu memiliki lebih dari satu pengalaman seperti itu : dalam kehidupanmu, kamu telah menghadapi sejumlah permasalahan namun mampu melewatinya. Gunakan pengalaman itu untuk belajar bagaimana mengatasinya sekarang.

 

Dengan demikian, mimpi terkait dengan ingatan. Saya memikirkan ingatan perang yang menyakitkan, dan pentingnya membantu kaum muda mempelajari nilai perdamaian. Orang-orang di antaramu yang mengalami penderitaan perang harus menyampaikan pesan ini. Memelihara ingatan tetap hidup adalah perutusan sejati bagi setiap lansia : memelihara ingatan tetap hidup dan membagikannya dengan orang lain. Edith Bruck, yang selamat dari kekejian Nazi Jerman, mengatakan bahwa “bahkan menerangi satu hati nurani sepadan dengan usaha dan kepedihan untuk memelihara ingatan tentang apa yang telah terjadi”. Ia melanjutkan dengan mengatakan : "Bagiku, ingatan adalah kehidupan".[3] Saya juga memikirkan kakek-nenek saya, dan orang-orang di antaramu yang harus bermigrasi dan tahu betapa sulitnya meninggalkan segalanya, sebagaiman terus dilakukan banyak orang hari ini, dalam harapan akan masa depan. Beberapa dari mereka bahkan mungkin sekarang berada di samping kita, peduli terhadap kita. Ingatan semacam ini dapat membantu membangun dunia yang semakin manusiawi dan ramah. Namun, tanpa ingatan, kita tidak akan pernah bisa membangun; tanpa landasan, kita tidak akan pernah bisa membangun rumah. Tidak pernah. Dan dasar kehidupan adalah ingatan.

 

Terakhir, doa. Seperti pendahulu saya, Paus Benediktus, dirinya sendiri seorang lansia yang suci yang terus berdoa dan bekerja untuk Gereja, pernah berkata : “doa para lansia dapat melindungi dunia, membantunya mungkin lebih efektif daripada kegiatan hingar-bingar banyak orang lainnya”.[4] Beliau mengucapkan kata-kata itu pada tahun 2012, menjelang akhir masa kepausannya. Ada sesuatu yang indah di sini. Doamu adalah sumber yang sangat berharga : Gereja dan dunia sangat membutuhkan nafas doa yang dalam (bdk. Evangelii Gaudium, 262). Terutama di masa-masa sulit bagi keluarga manusia kita ini, saat kita terus berlayar dengan perahu yang sama melintasi lautan badai pandemi, doa pengantaraanmu untuk dunia dan Gereja memiliki nilai yang luar biasa : doa tersebut mengilhami setiap orang kepercayaan yang teduh bahwa kita akan segera tiba pantai.

 

Para nenek yang terkasih, para kakek yang terkasih, para sahabat lansia yang terkasih, mengakhiri Pesan bagimu ini, saya juga ingin menyebutkan keteladanan Beato (dan segera Santo) Charles de Foucauld. Ia hidup sebagai pertapa di Aljazair dan di sana bersaksi tentang “keinginannya untuk menjadi saudara dari semua orang” (Fratelli Tutti, 287). Kisah hidupnya menunjukkan bagaimana mungkin, bahkan dalam kesendirian di padang gurun, kita menjadi pengantara doa bagi kaum miskin di seluruh dunia dan menjadi, dalam kebenaran, saudara atau saudari sejagat.

 

Saya memohon kepada Tuhan agar, juga melalui teladan-Nya, kita semua dapat membuka hati kita dalam kepekaan terhadap penderitaan kaum miskin dan menjadi perantara bagi kebutuhan mereka. Semoga kita masing-masing belajar untuk mengulangi kepada semua orang, dan khususnya kepada kaum muda, kata-kata penghiburan yang telah kita dengar diucapkan kepada kita hari ini : “Aku menyertai kamu senantiasa!" Terus melangkah! Semoga Tuhan menganugerahkan berkat-Nya kepadamu.



Roma, Santo Yohanes Lateran, 31 Mei 2021, Pesta Santa Perawan Maria Mengunjungi Elisabet



FRANSISKUS 



[1]Kisah ini diceritakan dalam Proto-Injil Yakobus.

[2]Gambar ini telah dipilih sebagai logo untuk Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia.

[3]Ingatan adalah kehidupan, menulis adalah nafas. L'Osservatore Romano, 26 Januari 2021.

[4]Kunjungan ke Rumah Kelompok “Viva gli Anziani”, 2 November 2012.