PESAN BAPA SUCI
PAUS FRANSISKUS UNTUK PERAYAAN HARI PERDAMAIAN SEDUNIA KE-49 (1 JANUARI 2016)
Mengatasi
Ketidakpedulian dan Memenangkan Perdamaian
1.
Allah
bukan tidak peduli! Allah peduli akan umat manusia! Allah tidak meninggalkan
kita! Pada awal Tahun Baru, saya ingin berbagi tidak hanya keyakinan yang
mendalam ini tetapi juga keinginan baik saya yang yang tulus ikhlas untuk
kemakmuran, perdamaian dan pemenuhan harapan-harapan setiap pria dan setiap
wanita, setiap keluarga, orang dan bangsa di seluruh dunia, termasuk seluruh
Kepala Negara dan Pemerintahan serta seluruh pemimpin agama. Kita terus percaya
bahwa tahun 2016 akan melihat kita semua dengan teguh dan percaya diri
terlibat, pada berbagai tingkatan, dalam mengejar keadilan dan perdamaian.
Perdamaian adalah karunia Allah maupun sebuah pencapaian manusia. Sebagai
karunia Allah, ia dipercayakan kepada semua pria dan wanita, yang dipanggil untuk
mencapainya.
Mempertahankan
alasan-alasan kita untuk harapan
2.
Sayangnya,
perang dan terorisme, yang disertai dengan penculikan, penganiayaan etnis atau
agama dan penyalahgunaan kekuasaan, menandai tahun lalu dari awal sampai akhir.
Di banyak bagian dunia, ini telah menjadi sebegitu umum membentuk sebuah
"perang dunia ketiga yang dilagakan sedikit demi sedikit" yang
sesungguhnya. Namun beberapa peristiwa tahun yang sekarang berakhir mengilhami
saya, dalam melihat ke depan ke tahun baru, mendorong semua orang untuk tidak
kehilangan harapan dalam kemampuan manusiawi kita untuk menaklukkan kejahatan
dan untuk memerangi sikap pasrah pada nasib dan ketidakpedulian. Mereka
mempertunjukkan kemampuan kita untuk menunjukkan kesetiakawanan dan mengatasi
kepentingan diri, sikap apatis dan ketidakpedulian dalam menghadapi
situasi-situasi kritis.
Di sini saya akan menyebutkan
upaya-upaya untuk membawa para pemimpin dunia bersama-sama di COP21 dalam
mencari cara-cara baru untuk menghadapi perubahan iklim dan melindungi bumi,
rumah kita bersama. Kita juga bisa memikirkan dua peristiwa global terdahulu :
Konferensi Tingkat Tinggi Addis Ababa untuk pendanaan pembangunan berkelanjutan
di seluruh dunia dan adopsi Agenda Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 2030 untuk
Pembangunan Berkelanjutan, yang bertujuan untuk memastikan tolok ukur kehidupan
yang lebih bermartabat bagi semua orang di dunia, terutama masyarakat miskin,
tahun itu.
Bagi Gereja, tahun 2015 merupakan sebuah
tahun yang istimewa, karena ia menandai ulang tahun kelimapuluh dua dokumen
Konsili Vatikan II yang secara fasih mengungkapkan rasa kesetiakawanannya
dengan dunia. Paus Yohanes XXIII, pada awal Konsili, ingin membuka lebar
jendela Gereja dan meningkatkan komunikasinya dengan dunia. Dua dokumen
tersebut, Nostra Aetate dan Gaudium et Spes, bersifat melambangkan hubungan
baru dialog, kesetiakawanan dan pendampingan yang diusahakan Gereja untuk
dibangkitkan di dalam keluarga umat manusia. Dalam Deklarasi Nostra Aetate,
Gereja menyatakan keterbukaannya untuk berdialog dengan agama-agama
non-Kristen. Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, yang berdasarkan sebuah
pengakuan bahwa "sukacita dan harapan, duka cita dan kesedihan orang-orang
di zaman kita, terutama dukacita dan kesedihan mereka yang miskin atau menderita,
adalah sukacita dan harapan, duka cita dan kesedihan para pengikut Kristus
juga"[1],
yang diusulkan Gereja dimasukkan ke dalam dialog dengan seluruh keluarga umat
manusia tentang masalah-masalah dunia kita, sebagai sebuah tanda
kesetiakawanan, rasa hormat dan kasih sayang[2].
Sepanjang garis yang sama ini, dengan
Yubileum Kerahiman sekarang ini saya ingin mengundang Gereja untuk berdoa dan
berkarya sehingga setiap orang Kristen akan memiliki hati yang rendah hati dan
penuh kasih, hati yang mampu memberitakan dan memberi kesaksian tentang
kerahiman. Saya mengharapkan agar kita semua akan belajar "mengampuni dan
memberi", menjadi lebih terbuka "bagi mereka yang tinggal di
pinggiran terluar masyarakat - pinggiran yang diciptakan masyarakat modern itu
sendiri", dan menolak untuk jatuh ke dalam "ketidakpedulian yang
memalukan atau rutinitas yang monoton yang mencegah kita untuk menemukan apa
yang baru! Marilah kita menangkal sinisme yang merusak!"[3].
Ada banyak alasan yang baik untuk
mempercayai kemampuan umat manusia untuk bertindak bersama-sama dalam
kesetiakawanan dan, atas dasar saling keterkaitan dan saling ketergantungan
kita, untuk mempertunjukkan kepedulian terhadap saudara dan saudari kita yang
lebih rentan dan terhadap perlindungan kepentingan umum. Sikap tanggung jawab
yang saling menguntungkan ini berakar pada panggilan dasariah kita untuk
persaudaraan dan sebuah kehidupan bersama. Martabat pribadi dan hubungan
antarpribadi adalah apa yang terkandung dalam diri kita sebagai umat manusia
yang dikehendaki Allah untuk diciptakan dalam gambar dan rupa-Nya sendiri.
Sebagai ciptaan yang diberkati dengan martabat yang tak dapat dicabut, kita
berhubungan dengan semua saudara dan saudari kita, yang kepadanya kita
bertanggung jawab dan bersamanya kita bertindak dalam kesetiakawanan.
Kekurangan hubungan ini, kita akan kurang manusiawi. Kita melihat, kemudian,
bagaimana ketidakpedulian merupakan sebuah ancaman bagi keluarga umat manusia.
Ketika kita mendekati sebuah tahun baru, saya akan meminta semua orang untuk
mengadakan pemeriksaan akan kenyataan ini, untuk mengatasi ketidakpedulian dan
memenangkan perdamaian.
Jenis-jenis
ketidakpedulian
3.
Jelaslah,
ketidakpedulian bukanlah sesuatu yang baru; setiap periode sejarah telah
mengenal orang-orang yang menutup hati mereka terhadap kebutuhan orang lain,
yang menutup mata mereka terhadap apa yang sedang terjadi di sekitar mereka,
yang menyimpang untuk menghindari perjumpaan masalah-masalah orang lain. Tetapi
di zaman kita, ketidakpedulian telah berhenti menjadi persoalan yang murni
pribadi dan telah mengambil dimensi yang lebih luas, menghasilkan sebuah
"globalisasi ketidakpedulian" tertentu.
Jenis pertama ketidakpedulian dalam
masyarakat manusia adalah ketidakpedulian kepada Allah, yang kemudian
menyebabkan ketidakpedulian terhadap sesama dan terhadap lingkungan. Ini adalah
salah satu konsekuensi serius dari humanisme palsu dan materialisme praktis
yang bersekutu dengan relativisme dan nihilisme. Kita telah tiba untuk berpikir
bahwa kita adalah sumber dan pencipta diri kita, kehidupan dan masyarakat kita.
Kita merasa mandiri, mempersiapkan tidak hanya untuk menemukan pengganti Allah
tetapi melakukan sepenuhnya tanpa Dia. Sebagai akibatnya, kita merasa bahwa
kita tidak berhutang apa pun kepada siapa pun kecuali diri kita sendiri, dan
kita mengklaim hanya hak[4].
Terhadap pemahaman orang yang keliru ini, Paus Benediktus XVI mengamati bahwa
baik manusia itu sendiri maupun pembangunan umat manusia tidak bisa, dengan
sendirinya, menjawab pertanyaan makna utama kita[5]. Paulus
VI juga menyatakan bahwa "tidak ada humanisme sejati tetapi humanisme yang
terbuka terhadap Yang Mutlak, dan sadar akan sebuah panggilan yang memberi
kehidupan manusiawi adalah kepentingan yang otentik"[6].
Ketidakpedulian terhadap sesama kita
menunjukkan dirinya dalam cara yang berbeda. Beberapa orang melek informasi;
mereka mendengarkan radio, membaca surat kabat atau menonton televisi, tetapi
mereka melakukannya secara mekanis dan tanpa keterlibatan. Mereka samar-samar
menyadari tragedi-tragedi yang melanda umat manusia, tetapi mereka tidak
memiliki rasa keterlibatan atau kasih sayang. Sikap mereka adalah sikap dari
mereka yang tahu, tetapi tetap memusatkan pandangan mereka, pikiran mereka dan
tindakan mereka pada diri mereka sendiri. Sayangnya, harus dikatakan bahwa
ledakan informasi saat ini tidak dengan sendirinya menyebabkan keprihatinan
yang meningkat untuk masalah-masalah orang lain, yang menuntut keterbukaan dan
rasa kesetiakawanan[7].
Memang, kekenyangan informasi dapat mematikan kepekaan masyarakat dan untuk
beberapa derajat mengecilkan gawatnya masalah-masalah. Ada orang-orang yang
"hanya memuaskan diri mereka dengan menyalahkan orang-orang miskin dan
negara-negara miskin mereka sendiri untuk masalah-masalah mereka; terlibat
dalam generalisasi yang tidak beralasan, mereka mengklaim bahwa solusinya
adalah suatu 'pendidikan' yang akan menenangkan mereka, membuat mereka lemah
hati dan tidak ada salahnya. Semua ini menjadi lebih menjengkelkan bagi
orang-orang yang terpinggirkan dalam terang korupsi yang meluas dan berakar
yang ditemukan di banyak negara - dalam pemerintahan-pemerintahan, dunia usaha
dan lembaga-lembaga mereka - Apapun ideologi politik para pemimpin mereka"[8].
Dalam kasus-kasus lain, ketidakpedulian
menunjukkan dirinya dalam kurangnya perhatian atas apa sedang yang terjadi di
sekitar kita, terutama jika ia tidak menyentuh kita secara langsung. Sebagian
orang lebih suka untuk tidak bertanya atau mencari jawaban; mereka menjalani
kehidupan kenyamanan, tuli terhadap jeritan orang-orang yang menderita. Hampir
tak kentara, kita tumbuh tidak mampu merasakan kasih sayang terhadap orang lain
dan terhadap masalah-masalah mereka; kita tidak memiliki kepentingan dalam
merawat mereka, seolah-olah kesulitan-kesulitan mereka adalah tanggung jawab
mereka sendiri, dan bukan urusan kita[9].
"Ketika kita sehat dan nyaman, kita lupa tentang orang lain (sesuatu yang
tidak pernah dilakukan Allah Bapa) : kita tidak peduli dengan masalah-masalah
mereka, penderitaan-penderitaan mereka dan ketidakadilan-ketidakadilan yang
mereka pikul ... Hati kita menjadi dingin. Selama saya relatif sehat dan
nyaman, saya tidak berpikir tentang orang-orang yang kurang mampu"[10].
Karena kita tinggal di sebuah rumah yang
sama, kita tidak bisa membantu tetapi bertanya pada diri kita sendiri tentang
keadaan kesehatannya, seperti yang saya minta untuk dilakukan dalam Laudato
Si'. Air dan pencemaran udara, eksploitasi hutan yang sembarangan dan
pengrusakan lingkungan alam sering merupakan hasil ketidakpedulian manusia
terhadap manusia, karena semuanya saling terkait. Kemudian juga, ada cara kita
memperlakukan hewan, yang memiliki pengaruh pada cara kita memperlakukan orang
lain[11],
dan kasus-kasus di mana orang-orang dengan bebas melakukan di tempat lain apa
yang mereka tidak akan pernah berani lakukan di rumah[12].
Dalam hal ini dan dalam situasi-situasi
lain, ketidakpedulian menyebabkan penyerapan diri dan kurangnya komitmen.
Dengan demikian ia berkontribusi terhadap tidak adanya perdamaian dengan Allah,
dengan sesama kita dan dengan lingkungan.
Perdamaian yang
terancam oleh ketidakpedulian yang mengglobal
4.
Ketidakpedulian
terhadap Allah melampaui lingkup perorangan yang murni bersifat pribadi dan
mempengaruhi lingkup publik dan sosial. Sebagaimana ditunjukkan oleh Paus
Benediktus XVI, "pemuliaan Allah dan perdamaian umat manusia di bumi
terkait erat"[13].
Memang, "tanpa keterbukaan terhadap yang transenden, umat manusia dengan
mudah menjadi mangsa relativisme dan merasa sulit untuk bertindak adil dan
berkarya untuk perdamaian[14].
Pengabaian dan penolakan akan Allah, yang menyebabkan manusia tidak mengakui
norma di atas dirinya dan dirinya sendiri, telah menghasilkan kekejaman dan
kekerasan yang tak terkatakan[15].
Pada tingkat perorangan maupun
komunitas, ketidakpedulian terhadap sesama, yang lahir dari ketidakpedulian
terhadap Allah, menemukan ungkapan dalam ketidaktertarikan dan kurangnya
keterlibatan, yang hanya membantu memperpanjang situasi ketidakadilan dan
ketimpangan sosial yang genting. Ini pada gilirannya dapat menyebabkan
perseteruan atau, dalam peristiwa apapun, menghasilkan sebuah iklim
ketidakpuasan yang beresiko meledak segera atau kelak dalam tindak kekerasan
dan ketidakamanan.
Ketidakpedulian dan kurangnya komitmen
mengandung pelalaian yang parah dari tugas dengan jalan kita masing-masing
harus bekerja sesuai dengan kemampuan kita dan peran kita dalam masyarakat
untuk mempromosikan kebaikan bersama, dan khususnya untuk perdamaian, yang
merupakan salah satu kesanggupan umat manusia yang paling berharga[16].
Pada tingkat kelembagaan, ketidakpedulian
terhadap orang lain dan terhadap martabat mereka, hak-hak dasariah mereka dan
kebebasan mereka, ketika ia adalah bagian dari sebuah budaya yang dibentuk
dengan mengejar keuntungan dan hedonisme, dapat mendorong dan bahkan
membenarkan tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang akhirnya mewakili
ancaman-ancaman terhadap perdamaian. Ketidakpedulian bahkan dapat menyebabkan
pembenaran kebijakan-kebijakan ekonomi yang tercela yang mengembangbiakan
ketidakadilan, perpecahan dan kekerasan demi memastikan kesejahteraan
perorangan atau bangsa. Tidak jarang, proyek-proyek ekonomi dan politik
bertujuan mengamankan atau mempertahankan kekuasaan dan kekayaan, bahkan dengan
biaya menginjak-injak hak-hak dasariah dan kebutuhan orang lain. Ketika
orang-orang memberi kesaksian akan penolakan hak-hak dasariah mereka, seperti
hak atas pangan, air, perawatan kesehatan atau pekerjaan, mereka tergoda untuk
mendapatkan mereka dengan paksa[17].
Selain itu, ketidakpedulian terhadap
lingkungan alam, dengan menyokong penggundulan hutan, pencemaran dan kegiatan
yang menyebabkan bencana alam yang mencabut seluruh komunitas dari ekosistem
mereka dan menciptakan ketidakamanan yang mendalam, akhirnya menciptakan
bentuk-bentuk baru kemiskinan dan situasi-situasi ketidakadilan baru, seringkali
dengan konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan untuk keamanan dan perdamaian.
Berapa banyak perang telah berlangsung, dan berapa banyak akan terus
berlangsung, di balik kekurangan barang atau demi rasa haus yang tak terpuaskan
akan sumber daya alam?[18]
Dari
ketidakpedulian menuju kerahiman : pertobatan hati
5.
Satu
tahun yang lalu, dalam pesan saya untuk Hari Perdamaian Sedunia tahun 2015,
dengan moto "Bukan Lagi Hamba, Tetapi Saudara dan Saudari", saya
membangkitkan ikon biblis pertama persaudaraan umat manusia, ikon Kain dan
Habel (bdk. Kej 4:1-16). Saya bermaksud untuk menarik perhatian bagaimana sejak
awal persaudaraan asli ini dikhianati. Kain dan Habel bersaudara. Keduanya
berasal dari rahim yang sama, mereka sama dalam martabat dan diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah; tetapi hubungan mereka sebagai saudara hancur.
"Kain bukan hanya tidak dapat menjaga Habel; ia membunuhnya karena iri
hati"[19].
Pembunuhan saudara adalah bentuk pengkhianatan, dan penolakan Kain untuk
mengakui Habel sebagai saudaranya menjadi pemutusan pertama dalam hubungan
persaudaraan, kesetiakawanan dan saling menghargai dalam keluarga.
Allah kemudian campur tangan untuk
mengingatkan manusia akan tanggung jawabnya terhadap rekan-rekannya, karena Ia
juga telah melakukannya ketika Adam dan Hawa, orang tua pertama kita,
memutuskan hubungan mereka dengan Dia, Pencipta mereka. "Firman TUHAN
kepada Kain: "Di mana Habel, adikmu itu?" Jawabnya: "Aku tidak
tahu! Apakah aku penjaga adikku?" Firman-Nya: "Apakah yang telah
kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah" (Kej
4:9-10).
Kain mengatakan ia tidak tahu apa yang
terjadi pada adiknya, bahwa ia bukan penjaga adiknya. Ia tidak merasa
bertanggung jawab terhadap hidupnya, terhadap nasibnya. Ia tidak merasa terlibat.
Ia tidak peduli dengan adiknya, meskipun kesamaan asal usul mereka. Alangkah
menyedihkan! Kisah saudara, kisah keluarga, kisah umat manusia yang betapa
menyedihkan! Ini adalah tampilan pertama ketidakpedulian antarsaudara. Namun,
Allah tidak acuh tak acuh. Darah Habel memiliki nilai yang sangat besar di
mata-Nya, dan Ia meminta Kain untuk memberikan penjelasan tentang hal itu.
Sejak asal mula umat manusia, Allah menunjukkan diri-Nya terlibat dalam nasib
manusia. Kemudian, ketika anak-anak Israel menjadi budak-budak di Mesir, Allah
sekali lagi campur tangan memberitahu Musa : "Aku telah memperhatikan
dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar
seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui
penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari
tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri
yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya"
(Kel 3:7-8). Kita seharusnya memperhatikan kata-kata kerja yang menggambarkan
campur tangan Allah : Ia memperhatikan, mendengar, mengetahui, turun dan
melepaskan. Allah tetap tidak acuh tak acuh. Ia penuh perhatian dan Ia
bertindak.
Dengan cara yang sama, di dalam diri
Yesus Putra-Nya, Allah telah turun di antara kita. Ia mengambil rupa daging dan
menunjukkan kesetiakawanan-Nya dengan umat manusia dalam segala hal, kecuali
dosa. Yesus dikenali bersama kita : Ia menjadi "menjadi yang sulung di
antara banyak saudara" (Rm 8:29). Ia tidak puas hanya mengajar orang
banyak, tetapi Ia peduli akan kesejahteraan mereka, terutama ketika Ia melihat
mereka lapar (bdk. Mrk 6:34-44) atau tanpa pekerjaan (bdk. Mat 20:3). Ia
khawatir tidak hanya kepada pria dan wanita, tetapi juga kepada ikan di laut,
burung-burung di udara, tanaman dan pohon, segala sesuatu yang besar dan kecil.
Ia melihat dan memeluk semua ciptaan. Tetapi Ia melakukan lebih dari sekedar
melihat; Ia menjamah kehidupan orang-orang, Ia berbicara kepada mereka,
membantu mereka dan menunjukkan kebaikan kepada mereka yang membutuhkan. Tidak
hanya itu, bahkan Ia merasakan emosi yang kuat dan Ia menangis (bdk. Yoh
11:33-44). Dan Ia berkarya untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan,
kesengsaraan dan kematian.
Yesus mengajarkan kita untuk bermurah
hati seperti Bapa surgawi kita (bdk. Luk 6:36). Dalam perumpamaan tentang orang
Samaria yang baik (bdk. Luk 10:29-37), Ia mengutuk mereka yang gagal membantu
orang lain yang membutuhkan, mereka yang "lewat di seberang jalan"
(bdk. Luk 10:31-32). Dengan contoh ini, Ia mengajarkan para pendengar-Nya, dan
murid-murid-Nya khususnya, untuk berhenti dan membantu meringankan penderitaan
dunia ini dan rasa sakit saudara dan saudari kita, menggunakan cara apapun yang
ada, dimulai dengan waktu kita sendiri, namun mungkin kita sibuk.
Ketidakpedulian sering mencari alasan : menaati aturan-aturan keagamaan,
memeriksa semua hal yang perlu dilakukan, bersembunyi di balik permusuhan dan
prasangka yang membuat kita terpisah.
Kerahiman adalah hati Allah. Ia juga
harus menjadi hati para anggota dari satu keluarga besar anak-anak-Nya : hati
yang mendenyutkan seluruh martabat manusia dengan lebih kuat di manapun -
sebagai cerminan wajah Allah di dalam ciptaan-Nya - pada gilirannya. Yesus
mengatakan kepada kita bahwa kasih kepada orang lain - orang-orang asing,
orang-orang sakit, para tahanan, para tunawisma, bahkan para musuh kita -
adalah tolok ukur yang dengannya Allah akan menghakimi tindakan kita. Tujuan
kekal kita tergantung pada hal ini. Tidaklah mengejutkan Rasul Paulus
mengatakan kepada orang-orang Kristen di Roma untuk bersukacita dengan orang
yang bersukacita, dan menangis dengan orang yang yang menangis (bdk. Rm 12:15),
atau ia mendorong jemaat Korintus untuk mengambil kolekte sebagai tanda
kesetiakawanan dengan para anggota Gereja yang menderita (bdk. 1 Kor 16:2-3).
Dan Santo Yohanes menulis : "Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan
melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap
saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?" (1
Yoh 3:17; bdk. Yak 2:15-16).
Kemudian inilah sebabnya "ia
benar-benar penting bagi Gereja dan bagi kredibilitas pesannya yang ia sendiri
hayati dan memberi kesaksian akan kerahiman. Bahasanya dan sikapnya harus
menyalurkan kerahiman, sehingga menjamah hati semua orang dan mengilhami mereka
sekali lagi untuk lebih menemukan jalan yang mengarah kepada Bapa. Kebenaran
pertama Gereja adalah kasih Kristus. Gereja membuat dirinya seorang hamba kasih
ini dan mengantarainya bagi semua orang : kasih yang mengampuni dan
mengungkapkan dirinya sendiri dalam karunianya sendiri. Akibatnya, di mana pun
Gereja hadir, kerahiman Bapa harus menjadi nyata. Dalam paroki-paroki,
komunitas-komunitas, lembaga-lembaga dan gerakan-gerakan kita, dalam sebuah kata,
di mana pun ada orang-orang Kristen, setiap orang harus menemukan sebuah oase
kerahiman"[20].
Maka, kita juga dipanggil untuk
menjadikan kasih sayang, cinta, kerahiman dan kesetiakawanan sebuah cara hidup
yang benar, sebuah aturan berperilaku dalam hubungan kita dengan orang lain[21].
Hal ini memerlukan pertobatan hati kita : rahmat Allah harus mengubah hati batu
kita menjadi hati daging (bdk. Yeh 36:26), terbuka bagi orang lain dalam
kesetiakawanan yang otentik. Karena kesetiakawanan jauh lebih dari sebuah
"perasaan belas kasih yang samar-samar atau kesedihan yang dangkal dalam
kemalangan begitu banyak orang, baik dekat maupun jauh"[22].
Kesetiakawanan adalah "sebuah ketetapan hati yang teguh dan gigih untuk
berkomitmen diri bagi kebaikan bersama; yaitu mengatakan untuk kebaikan semua
orang dan setiap orang, karena kita semua benar-benar bertanggung jawab
terhadap semua orang"[23],
karena belas kasih mengalir dari persaudaraan.
Dipahami dengan cara ini, kesetiakawanan
mewakili sikap moral dan sosial yang berhubungan terbaik dengan sebuah
kesadaran akan momok zaman kita sendiri, dan dengan saling ketergantungan yang
bertumbuh, terutama di dunia yang mengglobal, di antara kehidupan pribadi dan
komunitas tertentu serta kehidupan pria dan wanita lainnya di seluruh dunia[24].
Membangun budaya
kesetiakawanan dan kerahiman untuk mengatasi ketidakpedulian
6.
Kesetiakawanan,
sebagai sebuah keutamaan moral dan sikap sosial yang lahir dari pertobatan
pribadi, memanggil komitmen dari pihak mereka yang bertanggung jawab atas
pendidikan dan pembentukan.
Saya memikirkan pertama-tama
keluarga-keluarga, yang dipanggil untuk sebuah perutusan pendidikan yang utama
dan penting. Keluarga-keluarga adalah tempat pertama di mana nilai-nilai kasih
dan persaudaraan, kebersamaan dan berbagi, perhatian dan peduli terhadap orang
lain dihayati dan diwariskan. Mereka juga merupakan lingkungan istimewa untuk
menyalurkan iman, dimulai dengan sikap-sikap devosi awal yang sederhana yang
diajarkan para ibu kepada anak-anak mereka[25].
Para guru, yang memiliki tugas yang
menantang untuk melatih anak-anak dan remaja di sekolah-sekolah atau tatacara
lainnya, harus sadar bahwa tanggung jawab mereka meluas juga pada aspek moral,
rohani dan sosial dari kehidupan. Nilai-nilai kebebasan, saling menghormati dan
kesetiakawanan dapat diwariskan sejak usia dini. Berbicara kepada para
pendidik, Paus Benediktus XVI mencatat bahwa : "Setiap tatacara pendidikan
dapat menjadi sebuah tempat keterbukaan terhadap yang transenden dan terhadap
lainnya; sebuah tempat dialog, kekompakan dan mendengarkan penuh perhatian, di
mana orang-orang muda merasa dihargai karena kemampuan pribadi dan kekayaan
batin mereka, dan dapat belajar untuk menghargai saudara dan saudari mereka.
Semoga orang-orang muda diajarkan untuk menikmati sukacita yang berasal dari
latihan harian amal dan kasih sayang terhadap orang lain dan mengambil bagian
secara aktif dalam pembangunan sebuah masyarakat yang lebih manusiawi dan
bersaudara"[26].
Para komunikator juga memiliki sebuah
tanggung jawab untuk pendidikan dan pembentukan, terutama saat ini, ketika
sarana informasi dan komunikasi tersebar luas. Tugas mereka pertama-tama dan
terutama adalah melayani kebenaran, dan bukan kepentingan-kepentingan tertentu.
Karena media "tidak hanya memberi informasi tetapi juga membentuk pikiran
khalayak mereka, dan sehingga mereka dapat memberikan sebuah kontribusi penting
terhadap pendidikan orang-orang muda. Pentinglah untuk tidak pernah melupakan
bahwa hubungan antara pendidikan dan komunikasi sangat dekat : pendidikan
berlangsung melalui komunikasi, yang mempengaruhi, untuk lebih baik atau lebih
buruk, pembentukan seseorang"[27].
Para komunikator juga harus sadar bahwa
cara yang di dalamnya informasi diperoleh dan diketahui umum harus selalu dapat
diterima secara hukum dan moral.
Perdamaian :
buah sebuah budaya kesetiakawanan, kerahiman dan kasih sayang
7.
Seraya
sadar akan ancaman yang diajukan oleh ketidakpedulian yang mengglobal, kita
juga harus mengakui bahwa, dalam skenario yang baru saja saya jelaskan, ada
juga banyak prakarsa positif yang membuktikan kita mampu akan kasih sayang,
kerahiman dan kesetiakawanan.
Di sini saya akan menawarkan beberapa
contoh komitmen terpuji, yang menunjukkan bagaimana kita semua dapat mengatasi
ketidakpedulian dengan memilih untuk tidak menutup mata kita terhadap sesama
kita. Ini mewakili penerapan-penerapan yang baik dalam perjalanan menuju sebuah
masyarakat yang lebih manusiawi.
Ada banyak organisasi non-pemerintah dan
organisasi amal, baik di dalam maupun di luar Gereja, yang para anggotanya, di
tengah-tengah epidemi, bencana dan perseteruan bersenjata, menantang
kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya dalam merawat orang-orang yang terluka
dan sakit, dan dalam menguburkan orang mati. Saya juga menyebutkan
kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya orang-orang dan lembaga-lembaga yang
membantu para migran yang melintasi padang gurun dan lautan untuk mencari
sebuah kehidupan yang lebih baik. Upaya-upaya ini adalah karya rohani dan
jasmani dari kerahiman yang padanya kita akan dihakimi pada akhir hidup kita.
Saya memikirkan juga para wartawan dan
para juru foto yang membentuk opini publik tentang situasi-situasi sulit yang
menyulitkan hati nurani kita, dan semua orang yang mengabdi untuk membela hak
asasi manusia, terutama hak-hak minoritas etnis dan agama, masyarakat adat,
para perempuan dan anak-anak, serta saudara dan saudari kita yang paling
rentan. Di antara mereka juga banyak imam dan misionaris yang, sebagai para
gembala yang baik, tetap di sisi kawanan domba mereka dan mendukung mereka,
tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan, terutama selama perseteruan bersenjata.
Berapa banyak keluarga, di tengah
kesulitan pekerjaan dan sosial, membuat pengorbanan besar untuk memberikan
anak-anak mereka sebuah pendidikan "melawan budaya" dalam nilai-nilai
kesetiakawanan, kasih sayang dan persaudaraan! Berapa banyak keluarga membuka
hati dan rumah mereka untuk mereka yang membutuhkan, seperti para pengungsi dan
para migran! Saya ingin mengucapkan terima kasih dengan cara tertentu kepada
semua orang, keluarga, paroki, komunitas keagamaan, biara dan tempat suci yang
dengan seketika itu juga menanggapi seruan saya untuk menyambut sebuah keluarga
yang mengungsi[28].
Akhirnya, saya akan menyebutkan
orang-orang muda yang bergabung dalam melaksanakan karya kesetiakawanan, dan
semua orang yang dengan murah hati membantu sesama mereka yang membutuhkan di
kota-kota dan negara-negara mereka dan di tempat-tempat lain di dunia. Saya
berterima kasih dan mendorong semua orang yang terlibat dalam upaya-upaya
tersebut, yang sering terlewat teramati. Kelaparan dan kehausan mereka terhadap
keadilan akan dipuaskan, kerahiman kasihan mereka akan menuntun mereka untuk
menemukan kerahiman dan, sebagai para pembawa damai, mereka akan disebut
anak-anak Allah (bdk. Mat 5:6-9).
Perdamaian dalam
tanda Yubileum Kerahiman
8.
Dalam
semangat Yubileum Kerahiman, kita semua dipanggil untuk menyadari bagaimana
ketidakpedulian dapat mengejawantahkan dirinya dalam kehidupan kita dan
berkarya nyata untuk memperbaiki dunia di sekitar kita, dimulai dengan
keluarga-keluarga, sesama dan tempat-tempat kerja kita.
Masyarakat sipil juga dipanggil untuk
membuat sikap peduli tertentu dan teguh bagi anggota-anggota mereka yang paling
rentan, seperti para tahanan, para migran, para pengangguran dan orang-orang
yang renta.
Sehubungan dengan para tahanan, akan
terlihat bahwa dalam banyak kasus langkah-langkah praktis sangat dibutuhkan
untuk memperbaiki kondisi hidup mereka, dengan perhatian khusus bagi mereka
yang ditahan sambil menunggu sidang[29].
Haruslah diingat bahwa sanksi pidana memiliki tujuan rehabilitasi, sedangkan
hukum nasional seharusnya mempertimbangkan kemungkinan hukuman-hukuman
membangun lainnya ketimbang penahanan. Dalam konteks ini, saya ingin sekali
lagi menyerukan kepada para otoritas pemerintahan untuk menghapuskan hukuman
mati di mana masih berlaku, dan mempertimbangkan kemungkinan sebuah amnesti.
Berkenaan dengan para migran, saya akan
meminta agar undang-undang tentang migrasi ditinjau kembali, sehingga, seraya
menghormati hak dan tanggung jawab timbal balik, ia dapat mencerminkan sebuah
kesiapan untuk menyambut para migran dan memfasilitasi penyatupaduan mereka.
Perhatian khusus harus diberikan terhadap kondisi-kondisi untuk tempat tinggal
yang sah, karena harus hidup secara sembunyi-sembunyi dapat menyebabkan
perilaku kriminal.
Dalam Tahun Yubileum ini, saya juga akan
menyerukan kepada para pemimpin negara terhadap sikap-sikap nyata dalam mendukung
saudara dan saudari kita yang menderita kekurangan tenaga kerja, tanah dan
tumpangan. Saya sedang memikirkan penciptaan lapangan kerja yang bermartabat
untuk memerangi wabah sosial pengangguran, yang mempengaruhi banyak keluarga
dan orang muda, dengan pengaruh yang genting bagi masyarakat secara
keseluruhan. Pengangguran mengambil banyak korban pada perasaan akan martabat
dan harapan orang-orang, dan hanya dapat sebagian dikompensasikan dengan
tunjangan kesejahteraan, namun ini mungkin diperlukan, yang disediakan bagi
para penganggur dan keluarga-keluarga mereka. Perhatian khusus harus diberikan
kepada para perempuan - yang sayangnya masih mengalami diskriminasi di tempat
kerja - dan untuk beberapa kategori pekerja yang kondisinya rawan atau berbahaya,
dan yang bayarannya tidak sepadan dengan pentingnya perutusan sosial mereka.
Akhirnya, saya mengungkapkan harapan
saya agar langkah-langkah yang efektif akan diambil untuk meningkatkan kondisi
kehidupan orang-orang sakit dengan memastikan bahwa semuanya memiliki akses
perawatan medis dan obat-obatan penting bagi kehidupan, serta kemungkinan
perawatan di rumah.
Menerawang perbatasan-perbatasan mereka
sendiri, para pemimpin negara juga dipanggil untuk memperbaharui hubungan
mereka dengan bangsa-bangsa lain dan memungkinkan keikutsertaan dan penyertaan
mereka yang nyata dalam kehidupan masyarakat internasional, dalam rangka untuk
memastikan persaudaraan di dalam keluarga bangsa-bangsa juga.
Dengan pemikiran ini, saya ingin membuat
sebuah daya tarik rangkap tiga kepada para pemimpin bangsa-bangsa : menahan
diri dari menarik bangsa-bangsa lain ke dalam perseteruan atau perang yang
menghancurkan tidak hanya warisan materi, budaya dan sosial mereka, tetapi juga
- dan dalam jangka panjang - keutuhan moral dan rohani mereka; menghapuskan
atau mengelola secara berkelanjutan hutang internasional dari negara-negara
miskin; dan mengadopsi kebijakan-kebijakan kerjasama yang, bukannya tunduk
terhadap kediktatoran ideologi tertentu, akan menghormati nilai-nilai penduduk
setempat dan, dalam hal apapun, tidak terbukti merugikan hak-hak dasariah dan
yang tak dapat diganggu-gugat dari kehidupan bayi yang belum lahir.
Saya mempercayakan
permenungan-permenungan ini, bersama-sama dengan keinginan saya yang terbaik
untuk Tahun Baru, dengan perantaraan Santa Perawan Maria, Bunda kita, yang
peduli akan kebutuhan-kebutuhan keluarga manusiawi kita, agar ia boleh
mendapatkannya dari Putranya Yesus, Sang Raja Damai, anugerah dari doa-doa kita
dan berkat dari upaya-upaya kita sehari-hari untuk sebuah dunia yang bersaudara
dan bersatu.
Dari
Vatikan, 8 Desember 2015
Hari
Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda
Pembukaan
Yubileum Luar Biasa Kerahiman
(dialihbahasakan
oleh Peter Suriadi dari
https://w2.vatican.va/content/francesco/en/messages/peace/documents/papa-francesco_20151208_messaggio-xlix-giornata-mondiale-pace-2016.html)
[1]KONSILI EKUMENIS
VATIKAN II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 1.
[2]KONSILI EKUMENIS VATIKAN II,
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 3.
[3]Bulla Indiksi
Yubileum Luar Biasa Kerahiman Misericordiae Vultus, 14-15.
[4]Bdk. BENEDIKTUS
XVI, Surat Ensiklik Caritas in Veritate, 43.
[5]Bdk. BENEDIKTUS
XVI, Surat Ensiklik Caritas in Veritate, 16.
[6]Ensiklik
Populorum Progressio, 42.
[7]"Ketika
masyarakat menjadi semakin global, ia menjadikan kita tetangga tetapi tidak
menjadikan kita saudara. Alasannya, dengan sendirinya, mampu memahami
kesetaraan antara manusia dan mampu memberikan stabilitas hidup berdampingan
mereka secara sipil, tetapi ia tidak dapat membangun persaudaraan"
(BENEDIKTUS XVI, Surat Ensiklik Caritas in Veritate, 19).
[8]Seruan Apostolik
Evangelii Gaudium, 60.
[9]Seruan Apostolik Evangelii
Gaudium, 54.
[10]Pesan Prapaskah
2015.
[11]Bdk. Surat
Ensiklik Laudato Si’, 92.
[12]Bdk. Surat
Ensiklik Laudato Si’, 51.
[13]Wejangan kepada
Para Perwakilan Diplomatik yang terakreditasi Takhta Suci, 7 Januari 2013.
[14]Wejangan kepada
Para Perwakilan Diplomatik yang terakreditasi Takhta Suci, 7 Januari 2013.
[15]Bdk. BENEDIKTUS
XVI, Campur Tangan Selama Hari Permenungan, Dialog dan Doa bagi Perdamaian dan
Keadilan di Dunia, Asisi, 27 Oktober 2011.
[16]Bdk. Seruan
Apostolik Evangelii Gaudium, 217-237.
[17]"Hingga
pengecualian dan ketidaksetaraan dalam masyarakat dan di antara bangsa-bangsa
dijungkirbalikkan, akan mustahil menghilangkan kekerasan. Orang-orang miskin
dan bangsa-bangsa miskin dituduh melakukan kekerasan, namun tanpa
kesempatan-kesempatan yang sama berbagai bentuk penyerangan dan perseteruan
akan menemukan medan yang subur untuk pertumbuhan dan akhirnya meledak. Ketika
sebuah masyarakat - baik lokal, nasional maupun global - bersedia meninggalkan
bagian dari dirinya sendiri di pinggiran, tidak ada program politik atau sumber
daya yang dihabiskan pada penegakan hukum atau sistem pengawasan tanpa batas
yang dapat menjamin ketenangan. Hal ini bukanlah kasus hanya karena
ketidaksetaraan memancing reaksi kekerasan dari orang-orang yang dikeluarkan
dari sistem, tetapi karena sistem sosial ekonomi yang tidak adil pada akarnya.
Sama seperti kebaikan cenderung menyebar, toleransi kejahatan, yang adalah
ketidakadilan, cenderung memperluas pengaruhnya yang merusak dan diam-diam
merusak sistem politik dan sosial apapun, tidak peduli seberapa kuat ia mungkin
muncul" (Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 59)
[18]Bdk. Surat Ensiklik
Laudato Si’, 31 dan 48.
[19]Pesan untuk Hari
Perdamaian Sedunia tahun 2015, 2.
[20]Bulla Indiksi
Yubileum Luar Biasa Kerahiman Misericordiae Vultus, 12.
[21]Bulla Indiksi
Yubileum Luar Biasa Kerahiman Misericordiae Vultus, 13.
[22]YOHANES PAULUS
II, Surat Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, 38.
[23]YOHANES PAULUS
II, Surat Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, 38.
[24]Bdk. YOHANES
PAULUS II, Surat Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, 38.
[25]Bdk. Katekese
untuk Audiensi Umum 7 Januari 2015.
[26]Pesan untuk Hari
Perdamaian Sedunia tahun 2012, 2.
[27]Pesan untuk Hari
Perdamaian Sedunia tahun 2012, 2.
[28]Bdk. Wejangan
dalam Doa Malaikat Tuhan 6 September 2015.
[29]Bdk. Wejangan
kepada para delegasi Lembaga Hukum Pidana Internasional, 23 Oktober 2014.