Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 31 Oktober 2021

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam liturgi hari ini, Injil menghadirkan seorang ahli Taurat yang mendekati Yesus dan bertanya kepada-Nya : "Hukum manakah yang paling utama?" (Mrk 12:28). Yesus menanggapi dengan mengutip Kitab Suci dan menegaskan bahwa perintah utama adalah mengasihi Allah; dari perintah inilah kemudian diperoleh perintah kedua, sebagai akibat alami : mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri (bdk. ayat 29-31). Mendengar jawaban ini, sang ahli Taurat tidak hanya mengakui bahwa Yesus tepat sekali, justru dengan berbuat demikian, dengan mengakui bahwa Yesus tepat sekali, ia mengulangi kata-kata yang diucapkan Yesus, ”Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu ... Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan” (ayat 32-33).

 

Tetapi, kita dapat bertanya pada diri kita sendiri, dalam memberikan persetujuannya, mengapa ahli Taurat itu merasa perlu mengulangi kata-kata Yesus tersebut? Pengulangan ini tampaknya lebih mengejutkan jika kita berpikir bahwa ini adalah Injil Markus, yang memiliki gaya yang sangat ringkas. Jadi, apa arti pengulangan ini? Pengulangan ini adalah pengajaran bagi kita semua yang sedang mendengarkan. Karena Sabda Allah tidak dapat diterima sebagai semacam berita lainnya. Sabda Allah harus diulang, dijadikan milik kita, dijaga. Tradisi monastik, tradisi para biarawan, menggunakan istilah yang berani tetapi sangat nyata. Demikian : Sabda Allah harus "dimamahbiakkan". "Memamahbiakkan" Sabda Allah. Kita dapat mengatakan bahwa Sabda Allah sangat bergizi sehingga harus dimamahbiakkan dalam setiap ranah kehidupan : melibatkan, seperti yang dikatakan Yesus hari ini, segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap kekuatan kita (bdk. ayat 30). Sabda Allah harus berkumandang, bergema dan bergema kembali di dalam diri kita. Ketika ada gema batin yang berulang, itu berarti Tuhan bersemayam di dalam hati. Dan Ia berkata kepada kita, seperti yang diucapkan-Nya kepada ahli Taurat yang luar biasa itu dalam Injil : "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah" (ayat 34).

 

Saudara dan saudari yang terkasih, Tuhan tidak sedang sangat mencari pengulas Kitab Suci yang terampil, melainkan mencari hati yang penurut, yang menyambut Sabda-Nya, memperkenankan diri mereka diubah secara batiniah. Inilah sebabnya sangatlah penting memahami Injil, senantiasa memilikinya – bahkan Injil ukuran saku di saku kita, di dompet kita untuk dibaca dan dibaca ulang, bergairah terhadapnya. Ketika kita melakukan hal ini, Yesus, Sang Sabda Bapa, masuk ke dalam hati kita, Ia menjadi akrab dengan kita dan kita menghasilkan buah di dalam Dia. Marilah kita mengambil contoh Injil hari ini : tidak cukup hanya membacanya serta memahami kita perlu mengasihi Allah dan sesama kita. Yang diperlukan perintah ini, yang merupakan “perintah agung”, berkumandang di dalam diri kita, membaur, sehingga menjadi suara hati nurani kita. Dengan cara ini, Injil tidak akan menjadi sebuah kitab yang mati, di dalam laci hati, karena Roh Kudus membuat benih Sabda itu bertunas di dalam diri kita. Dan Sabda Allah itu bekerja, senantiasa bergerak, hidup dan kuat (bdk. Ibr 4:12). Jadi kita masing-masing dapat menjadi "terjemahan" yang hidup, berbeda dan asli, bukan pengulangan tetapi "terjemahan" yang hidup, berbeda dan asli dari satu Sabda kasih yang diberikan Allah kepada kita. Inilah yang kita lihat dalam kehidupan para kudus misalnya. Tak seorang pun dari mereka sama satu sama lain, mereka semua berbeda, tetapi dengan Sabda Allah yang sama.

 

Hari ini, oleh karena itu, marilah kita mencontoh sang ahli Taurat ini. Marilah kita mengulangi kata-kata Yesus, membuatnya berkumandang di dalam diri kita : “Mengasihi Allah dengan segenap hati kita, dengan segenap jiwa kita, dengan segenap akal budi kita dan dengan segenap kekuatan kita serta sesamaku seperti diriku sendiri”. Dan marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : apakah perintah ini benar-benar mengarahkan hidupku? Apakah perintah ini berkumandang dalam kehidupanku sehari-hari? Sebelum tidur, malam ini alangkah lebih baik melakukan pemeriksaan hati nurani pada Sabda ini, untuk melihat apakah kita telah mengasihi Tuhan hari ini dan apakah kita telah melakukan sedikit kebaikan kepada orang-orang yang kebetulan kita jumpai. Semoga setiap perjumpaan menghasilkan sedikit kebaikan, sedikit kasih yang berasal dari Sabda ini. Semoga Perawan Maria, yang di dalam dirinya Sabda Allah menjadi daging, mengajar kita untuk menyambut sabda Injil yang hidup di dalam hati kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari terkasih,

 

Di berbagai bagian Vietnam, hujan lebat yang berkepanjangan pada minggu-minggu terakhir ini telah menyebabkan banjir besar, dengan ribuan orang dievakuasi. Doa dan pikiran saya tertuju kepada banyak keluarga yang sedang menderita, bersama dengan dorongan semangat saya kepada semua pemimpin negara dan Gereja setempat yang sedang bekerja untuk menanggapi keadaan darurat. Dan saya dekat dengan penduduk Sisilia yang dilanda cuaca buruk.

 

Saya juga sedang memikirkan penduduk Haiti yang hidup dalam kondisi ekstrem. Saya meminta para pemimpin bangsa untuk membantu negara ini, bukan membiarkannya sendirian. Dan kamu semua, ketika kembali ke rumah, carilah berita tentang Haiti dan berdoalah, banyak berdoa. Saya sedang menonton acara A Sua Immagine, kesaksian dari misionaris Kamillian asal Haiti, Pastor Massimo Miraglio, hal-hal yang ia katakan… tentang semua penderitaan, semua rasa sakit yang ada di negeri itu, dan betapa banyak orang terlantar. Jangan menelantarkan mereka!

 

Kemarin di Tortosa, Spanyol, Francesco Sojo López, Millán Garde Serrano, Manuel Galcerá Videllet dan Pastor Aquilino Cambero, para imam Persaudaraan Pekerja Para Imam Keuskupan dari tarekat Hati Kudus Yesus dibeatifikasi. Mereka semua dibunuh dalam kebencian terhadap iman. Para gembala yang bersemangat dan murah hati selama penganiayaan agama tahun 1930-an, mereka tetap setia pada pelayanan mereka bahkan dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Semoga kesaksian mereka menjadi teladan khususnya bagi para imam. Tepuk tangan meriah untuk para Beato baru ini!

 

Hari ini, di Glasgow, Skotlandia, konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang perubahan iklim, COP26, dimulai. Marilah kita berdoa agar jeritan bumi dan jeritan kaum miskin dapat didengar; agar pertemuan ini dapat memberikan tanggapan yang manjur, menawarkan harapan nyata bagi generasi mendatang. Dalam konteks ini, pameran fotografi Laudato Si’ hari ini diresmikan di Lapangan Santo Petrus, karya seorang fotografer muda asal Bangladesh.

 

Saya menyapa kamu semua umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara, khususnya yang datang dari Kosta Rika. Saya menyapa kelompok dari Reggio Emilia dan Cosenza; anak-anak Pengakuan Iman dari Bareggio, Canegrate dan San Giorgio su Legnano; serta Lembaga Internasional Serra Italia, yang kepadanya saya berterima kasih atas dedikasi mereka dalam menggalakkan panggilan imamat.

 

Saya berharap kamusemua memiliki hari Minggu yang baik. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Nikmatilah makan siangmu dan sampai jumpa!

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 31 Oktober 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 27 Oktober 2021 : KATEKESE TENTANG SURAT SANTO PAULUS KEPADA JEMAAT GALATIA (BAGIAN 13) - BUAH ROH

Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!

 

Pewartaan Santo Paulus sepenuhnya berpusat pada Yesus dan misteri Paskah-Nya. Bahkan, Rasul Paulus menampilkan dirinya sebagai saksi Kristus, yaitu Kristus yang disalibkan (bdk. 1 Kor 2:2). Ia mengingatkan jemaat Galatia, yang tergoda untuk mendasarkan keagamaan mereka pada ketaatan pada ajaran dan tradisi, bahwa pusat keselamatan dan iman adalah wafat dan kebangkitan Tuhan. Ia melakukannya dengan menempatkan di hadapan mereka jenyataan salib Yesus. Ia menulis demikian : “Siapakah yang telah mempesona kamu? Bukankah Yesus Kristus yang disalibkan itu telah dilukiskan dengan terang di depanmu?” (Gal 3:1). Siapakah yang telah mempesona kamu sehingga kamu menjauh dari Kristus yang disalibkan? Sebuah saat yang mengerikan bagi Jemaat Galatia….

 

Dewasa ini, banyak orang yang masih mencari jaminan keagamaan ketimbang Allah yang hidup dan benar, berfokus pada ritual dan peraturan ketimbang merangkul kasih Allah dengan seluruh keberadaan mereka. Dan ini adalah godaan para fundamentalis baru, bukan? Tentang orang-orang yang tampaknya takut untuk membuat kemajuan, dan yang mundur karena mereka merasa lebih terjamin : mereka mencari jaminan Allah dan bukan Allah Sang Penjamin kita…. Inilah sebabnya mengapa Paulus meminta jemaat Galatia untuk kembali kepada apa yang hakiki – kembali kepada Allah, kepada yang hakiki, bukan kepada jaminan-jaminan Allah : kepada yang hakiki – kepada Allah yang memberi kita hidup di dalam Kristus yang disalibkan. Ia bersaksi tentang hal ini sebagai orang pertama : “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:19-20). Dan menjelang akhir Suratnya, ia menegaskan : “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (6:14).

 

Jika kita kehilangan benang kehidupan rohani, jika seribu masalah dan pikiran menyerang kita, marilah kita mengindahkan nasihat Paulus : marilah kita menempatkan diri kita di hadapan Kristus yang disalibkan, marilah kita mulai lagi daripada-Nya. Marilah kita mengambil Salib di tangan kita, memegangnya erat-erat di hati kita. Atau kita bahkan dapat meluangkan waktu dalam adorasi di hadapan Ekaristi, di mana Yesus adalah Roti yang dipecah-pecahkan untuk kita, disalibkan, bangkit, kuasa Allah yang mencurahkan kasih-Nya ke dalam hati kita.

 

Dan sekarang, masih dibimbing oleh Santo Paulus, marilah kita mengambil langkah lain. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : apa yang terjadi ketika kita bertemu Yesus yang disalibkan dalam doa? Hal yang sama yang terjadi di bawah salib : Yesus menyerahkan Roh-Nya (bdk. Yoh 19:30), yaitu, Ia memberikan nyawa-Nya. Dan Roh yang mengalir keluar dari Paskah Yesus adalah asal mula kehidupan rohani. Ia mengubah hati : bukan pekerjaan kita. Dialah yang mengubah hati, bukan hal-hal yang kita lakukan, tetapi tindakan Roh Kudus di dalam diri kita mengubah hati kita! Ia membimbing Gereja dan kita dipanggil untuk taat pada tindakan-Nya, yang berhembus ke mana dan sebagaimana Ia kehendaki. Terlebih lagi, justru kesadaran bahwa Roh Kudus telah turun ke atas semua orang, dan rahmat-Nya bekerja tanpa mengecualikan siapa pun, yang meyakinkan bahkan para Rasul yang paling enggan sekalipun bahwa Injil dimaksudkan untuk semua orang dan bukan untuk segelintir orang yang memiliki hak istimewa. Dan mereka yang mencari jaminan, kelompok kecil, hal-hal yang jelas seperti dulu, mereka hidup “seperti dulu”, mereka menjauhkan diri dari Roh, mereka tidak memperkenankan kebebasan Roh masuk ke dalam diri mereka. Dengan demikian, kehidupan komunitas dibangkitkan dalam Roh Kudus; dan senantiasa bersyukur kepada-Nya bahwa kita memelihara kehidupan Kristiani kita dan terus terlibat dalam pertempuran rohani kita.

 

Pertempuran rohani justru merupakan ajaran penting lainnya dalam Surat kepada Jemaat Galatia. Rasul Paulus memaparkan dua kubu yang berlawanan : di satu sisi, "perbuatan daging", dan di sisi lain, "buah Roh". Apakah perbuatan daging? Perbuatan daging adalah perilaku yang bertentangan dengan Roh Allah. Rasul Paulus menyebutnya perbuatan daging bukan karena ada sesuatu yang salah atau buruk tentang tubuh manusiawi kita. Sebaliknya, kita telah melihat betapa ia bersikeras pada kenyataan daging manusiawi yang dibawa Kristus ke kayu salib! Daging adalah kata yang menunjukkan dimensi duniawi seseorang, menutup dirinya dalam keberadaan mendatar, mengikuti naluri duniawi dan menutup pintu terhadap Roh yang mengangkat kita dan membukakan diri kita terhadap Allah dan sesama. Tetapi daging juga mengingatkan kita bahwa segala sesuatu akan menjadi tua, semuanya akan berlalu, layu, sementara Roh memberi hidup. Oleh karena itu, Paulus memerinci perbuatan daging yang mengacu pada penggunaan seksualitas yang mementingkan diri sendiri, pada praktik magis yang berhubungan dengan penyembahan berhala dan semua yang merusak hubungan antarpribadi seperti "perseteruan, iri hati, perselisihan, percideraan, roh pemecah, kedengkian ..." (lih. Gal 5 :19-21): semua ini adalah kebenaran – kita akan demikian – daging, perilaku yang semata-mata “manusiawi”, manusiawi yang sakit-sakitan. Karena menjadi manusiawi memiliki nilai-nilai, tetapi ini adalah manusiawi yang sakit-sakitan.

 

Sebaliknya, buah Roh adalah “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23), sebagaimana dikatakan Paulus. Umat Kristiani, yang dalam pembaptisan telah “mengenakan Kristus” (Gal 3:27), dipanggil untuk hidup seperti itu. Membaca rincian Santo Paulus dan melihat perilaku kita, misalnya, untuk melihat apakah kita hidup benar-benar seturut Roh Kudus, menghasilkan buah-buah ini, dapat merupakan latihan rohani yang baik. Buah-buah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri ini : apakah hidupku menghasilkan buah-buah ini? Apakah Roh yang memberi? Misalnya, tiga rincian pertama yang disebutkan adalah kasih, sukacita dan damai sejahtera : seseorang yang di dalamnya Roh Kudus bersemayam dapat dikenali dari sifat-sifat ini. Seseorang yang berada dalam damai sejahtera, bersukacita dan mengasihi. Dengan tiga sifat ini, Roh terlihat.

 

Ajaran Rasul Paulus juga menimbulkan tantangan yang cukup besar bagi komunitas kita. Kadang-kadang, orang-orang yang mendekati Gereja mendapat kesan bahwa mereka berurusan dengan banyak peraturan dan aturan : tetapi tidak, ini bukan Gereja! Ini bisa menjadi lembaga apa pun. Namun, dalam kenyataannya, keindahan beriman kepada Yesus Kristus tidak dapat ditangkap atas dasar begitu banyak perintah atau wawasan moral yang dikembangkan dalam banyak lapisan yang dapat membuat kita melupakan buah kasih asli yang dipelihara oleh doa yang daripadanya mengalir kesaksian damai sejahtera dan sukacita. Dengan cara yang sama, kehidupan Roh, yang terungkap dalam Sakramen-sakramen, tidak dapat dicekik oleh birokrasi yang menghalangi akses kepada rahmat Roh, sang penggagas pertobatan hati. Dan berapa kali kita sendiri, para imam atau para uskup, mengikuti begitu banyak birokrasi untuk memberikan sakramen, untuk menyambut umat, sehingga umat berkata : "Tidak, aku tidak suka ini", dan mereka tidak pergi, dan berkali-kali mereka melihat di dalam diri kita kuasa Roh yang melahirkan kembali, yang memperbarui setiap orang. Oleh karena itu kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk mewartakan Kristus yang disalibkan dan bangkit, dimeriahkan oleh tarikan nafas Roh kasih. Karena hanya kasih inilah yang memiliki kekuatan untuk menarik dan mengubah hati manusiawi. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para pengunjung berbahasa Inggris yang mengikuti Audiensi hari ini, terutama kaum muda dari berbagai negara yang mempersiapkan pertemuan COP-26 di Glasgow, dan rombongan peziarahan dari Amerika Serikat. Atas kamu semua, dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Tuhan. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari terkasih : Dalam katekese kita tentang Surat Santo Paulus kepada Jemaat Galatia, kita telah melihat bahwa, bagi Rasul Paulus, pokok Injil adalah pewartaan misteri salib Kristus dan pewahyuannya tentang kasih Allah yang mendamaikan. Berkat sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, Yesus telah membawa penebusan dan hidup baru melalui pencurahan Roh Kudus kepada kita. Oleh karena itu, Paulus dapat mengatakan kepada Jemaat Galatia : “Bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”. Permenungan doa kita akan Tuhan yang disalibkan, atau adorasi hening kita di hadirat Ekaristi-Nya, membantu kita untuk menghargai keagungan panggilan kita untuk ambil bagian dalam misteri hidup dan kasih Allah sendiri. Kehidupan Kristiani, yang dihayati dalam ketaatan pada bisikan Roh, mencakup apa yang secara tradisional disebut "pertempuran rohani". Kita berjuang untuk mengatasi apa yang disebut Paulus “perbuatan daging”, agar dapat hidup sesuai dengan “buah Roh”, yaitu “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23). Dalam kehidupan rohani kita, dan dalam kehidupan komunitas kita, kita dipanggil untuk mengolah buah-buah ini sebagai kesaksian hidup baru dan kebebasan yang telah kita terima di dalam Kristus melalui karunia Roh Kudus-Nya.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Oktober 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 24 Oktober 2021 : IMAN BARTIMEUS

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil liturgi hari ini menceritakan tentang Yesus yang, ketika meninggalkan Yerikho, memulihkan penglihatan Bartimeus, seorang buta yang sedang mengemis di pinggir jalan (bdk. Mrk 10:46-52). Sebuah perjumpaan yang penting, perjumpaan terakhir sebelum Tuhan masuk ke Yerusalem untuk Paskah. Bartimeus telah kehilangan penglihatannya, tetapi tidak kehilangan suaranya! Karena, ketika ia mendengar bahwa Yesus akan lewat, ia mulai berseru : "Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!" (ayat 47). Dan ia berseru dan berseru. Murid-murid dan orang banyak, kesal dengan seruannya, menegurnya agar ia diam. Tetapi ia berseru semakin keras lagi : "Anak Daud, kasihanilah aku!" (ayat 48). Yesus mendengar, dan segera berhenti. Tuhan selalu mendengarkan seruan orang miskin dan sama sekali tidak terganggu oleh suara Bartimeus; justru, Ia menyadarinya seruan penuh iman, iman yang tidak takut untuk bersikeras, mengetuk pintu hati Allah, meskipun tidak dipahami dan dicela. Dan di sinilah letak akar mukjizat tersebut. Sesungguhnya, Yesus berkata kepadanya : "Imanmu telah menyembuhkan engkau" (ayat 52).

 

Iman Bartimeus terbukti dari doanya. Imannya bukan doa yang malu-malu dan baku. Pertama-tama dan terutama, ia menyebut Tuhan “Anak Daud”: yaitu, ia mengakui Yesus sebagai Mesias, Raja yang akan datang ke dunia. Kemudian ia memanggil nama-Nya, dengan percaya diri; “Yesus”. Ia tidak takut pada-Nya, ia tidak tinggal jauh. Dan dengan demikian, dari lubuk hatinya, ia menyerukan seluruh dramanya kepada Allah yang adalah sahabatnya : “Kasihanilah aku!” Hanya doa itu : "Kasihanilah aku!" Ia tidak meminta uang receh seperti yang ia perbuat dengan orang-orang yang lewat. Tidak. Ia meminta segalanya dari Dia yang bisa berbuat segalanya. Ia meminta uang receh kepada orang-orang; ia meminta segalanya dari Yesus yang bisa berbuat segalanya. "Kasihanilah aku, kasihanilah segenap diriku". Ia tidak memohon pertolongan, tetapi menampilkan dirinya : ia memohon belas kasihan atas dirinya, atas hidupnya. Bukan permohonan remeh-temeh, tetapi sangat indah karena merupakan seruan akan belas kasihan, yaitu rasa iba, belas kasihan Allah, kelembutan-Nya.

 

Bartimeus tidak mempergunakan banyak kata. Ia mengatakan apa yang penting dan mempercayakan dirinya pada kasih Allah yang dapat membuat hidupnya berkembang kembali dengan berbuat apa yang tidak mungkin diperbuat secara manusiawi. Inilah sebabnya mengapa ia tidak meminta sedekah kepada Tuhan, tetapi membuat segalanya terlihat – kebutaannya dan penderitaannya yang jauh melebihi tidak dapat melihat. Kebutaannya adalah puncak gunung es; tetapi pasti ada luka, hinaan, mimpi yang hancur, kesalahan, penyesalan di dalam hatinya. Ia berdoa dengan hatinya. Dan bagaimana dengan kita? Ketika kita memohonkan rahmat Allah, dalam doa kita apakah kita juga menyertakan sejarah kita, luka kita, kehinaan kita, mimpi kita yang hancur, kesalahan kita dan penyesalan kita?

 

“Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Hari ini marilah kita juga membaca doa ini. Dan marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : “Seperti apakah doaku?” Kita semua, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : “Seperti apakah doaku?” Apakah doa yang berani, apakah doa yang mengandung desakan yang baik sepert Bartimeus, apakah doa yang paham bagaimana "menggenggam" Tuhan saat Ia lewat, atau apakah doa yang lebih puas dengan membuat salam formal sesekali, ketika aku ingat? Doa-doa suam-suam kuku yang tidak membantu sama sekali. Selanjutnya, apakah doaku “hakiki”, apakah doa yang membuka hatiku di hadapan Tuhan? Apakah aku membawa cerita dan pengalaman hidupku kepada-Nya? Atau apakah doa yang anemia, dangkal, berupa ritual, tanpa perasaan dan hati? Ketika iman hidup, doa sepenuh hati : tidak meminta uang receh, tidak dikurangi menjadi kebutuhan sesaat. Kita harus memohon segalanya kepada Yesus, yang dapat berbuat segalanya. Jangan lupakan hal ini. Kita harus memohon segalanya dari Yesus, dengan desakanku di hadapan-Nya. Ia tidak sabar untuk mencurahkan rahmat dan sukacita-Nya ke dalam hati kita; tetapi sayangnya, kitalah yang menjaga jarak, melalui rasa takut, kemalasan atau ketidakpercayaan.

 

Kebanyakan dari kita, ketika kita berdoa, tidak percaya bahwa Tuhan dapat berbuat mukjizat. Saya teringat cerita - yang telah saya lihat - tentang ayah yang diberitahu oleh dokter bahwa putrinya yang berusia sembilan tahun tidak akan melewati malam; ia berada di rumah sakit. Dan ia naik bus dan melakukan perjalanan tujuh puluh kilometer menuju Tempat Kudus Bunda Maria. Tempat itu sudah tutup dan, bersandar di gerbang, menghabiskan sepanjang malam dengan berdoa : “Tuhan, selamatkan dia! Tuhan, berikan dia kehidupan!” Ia berdoa kepada Bunda Maria, sepanjang malam, berseru kepada Allah, menangis dari hatinya. Kemudian di pagi hari, ketika ia kembali ke rumah sakit, ia menemukan istrinya menangis. Dan ia berpikir : "Putriku sudah meninggal". Dan istrinya berkata : "Tidak ada seorang pun yang mengerti, tidak ada seorang pun yang mengerti, kata para dokter itu hal yang aneh, ia sepertinya sudah sembuh". Seruan orang yang memohon segala sesuatu itu didengar oleh Tuhan yang telah memberinya segalanya. Ini bukan dongeng : saya sendiri melihat hal ini, di keuskupan lain. Apakah kita memiliki keberanian ini dalam doa? Kepada Dia yang dapat memberi kita segalanya, marilah kita memohonkan segalanya, seperti Bartimeus, yang adalah seorang guru yang hebat, seorang pakar doa yang hebat. Semoga Bartimeus, dengan imannya yang tulus, teguh dan berani, menjadi teladan bagi kita. Dan semoga Bunda Maria, Perawan yang penuh doa, mengajari kita untuk berpaling kepada Allah dengan segenap hati kita, yakin bahwa dengan penuh perhatian Ia mendengarkan setiap doa.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari terkasih,

 

Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan ribuan migran, pengungsi, dan lainnya yang membutuhkan perlindungan di Libya: Saya tidak pernah melupakanmu; saya mendengar jeritanmu dan saya mendoakanmu. Begitu banyak pria, wanita dan anak-anak ini menjadi sasaran kekerasan yang tidak berperikemanusiaan. Sekali lagi, saya menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menepati janji mereka guna mencari penyelesaian bersama, nyata dan abadi untuk pengelolaan arus migrasi di Libya dan di seluruh Mediterania. Dan betapa menderitanya mereka yang terusir! Ada ketertinggalan nyata di sana. Kita harus mengakhiri kembalinya para migran ke negara-negara yang tidak aman dan memberikan prioritas untuk menyelamatkan kehidupan di laut, dengan perangkat penyelamatan dan pendaratan yang dapat diduga, menjamin mereka kondisi hidup yang layak, alternatif penahanan, rute migrasi reguler dan akses menuju prosedur suaka. Marilah kita menyadari tanggung jawab kita terhadap saudara-saudari kita ini, yang telah menjadi korban dari situasi yang sangat serius ini selama bertahun-tahun. Marilah kita bersama-sama mendoakan mereka dalam keheningan.

 

Kemarin, di Brescia, Suster Lucia dell'Immacolata, seorang biarawati tarekat Pelayan Cinta Kasih, dibeatifikasi. Seorang perempuan yang lembut dan ramah, ia meninggal pada tahun 1954 dalam usia 45 tahun, setelah hidupnya dihabiskan untuk melayani orang lain, bahkan ketika penyakit telah melemahkan tubuhnya tetapi tidak semangatnya. Dan hari ini, di Rimini, Sandra Sabattini muda, seorang mahasiswi kedokteran yang meninggal dalam kecelakaan mobil dalam usia 22 tahun, dibeatifikasi. Seorang gadis yang ceria, dijiwai oleh kasih yang besar dan doa setiap hari, ia mendedikasikan dirinya dengan antusias untuk melayani orang-orang yang paling lemah sesuai dengan karisma tarekat Hamba Allah Don Oreste Benzi. Marilah kita bertepuk tangan untuk kedua orang beata baru tersebut. Bersama-sama!

 

Hari ini, Hari Minggu Misi Sedunia, marilah kita memandang kedua beata baru ini sebagai saksi-saksi yang mewartakan Injil dengan hidup mereka. Dan dengan rasa syukur saya menyapa banyak misionaris - para imam, para pelaku hidup bakti, dan kaum awam - yang menghabiskan energi mereka dalam pelayanan Gereja Kristus, membayar langsung - terkadang dengan biaya besar - atas kesaksian mereka. Dan mereka melakukannya bukan untuk menyebarkan agama, tetapi bersaksi tentang Injil dalam kehidupan mereka di negeri-negeri yang tidak mengenal Yesus. Banyak terima kasih kepada para misionaris! Tepuk tangan meriah juga untuk mereka, semuanya! Saya juga menyapa para seminaris Kolose Urbanus.

 

Dan saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari pelbagai negara yang terkasih. Secara khusus, saya menyapa komunitas Peru – ada begitu banyak bendera Peru di sini! - yang sedang merayakan Pesta Señor de los Milagros. Tampilan Gua Natal tahun ini juga akan berasal dari komunitas Peru. Saya juga menyapa komunitas Filipina di Roma; Saya menyapa Centro Academico Romano Fundación dari Spanyol; Para Putri Hati Kudus Yesus yang berkumpul dalam Kapitel mereka dan kelompok Komunitas Emmanuel. Saya juga menyapa para peserta "maraton" dari Treviso menuju Roma dan mereka yang melakukan perjalanan "Jalan" dari Sacra di San Michele menuju Monte Sant'Angelo; peziarahan bersepeda untuk mengenang Santo Luigi Guanella; Saya menyapa umat Palmi, Asola dan San Cataldo. Dan saya menyapa secara khusus para peserta Pekan Sosial Umat Katolik Italia yang berkumpul di Taranto dengan tema “Planet Yang Kita Harapkan”.

 

Kepada kamu semua, saya mengucapkan selamat hari Minggu. Cuacanya baik. Dan jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makananmu, dan sampai jumpa!

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 24 Oktober 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 20 Oktober 2021 : KATEKESE TENTANG SURAT SANTO PAULUS KEPADA JEMAAT GALATIA (BAGIAN 12) - KEBEBASAN DIWUJUDKAN DALAM KASIH


Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!

 

Pada hari-hari ini kita sedang berbicara tentang kebebasan iman, mendengarkan Surat kepada Jemaat Galatia. Tetapi saya teringat apa yang dikatakan Yesus tentang spontanitas dan kebebasan anak-anak, ketika anak ini memiliki kebebasan untuk mendekati dan bergerak seolah-olah ia berada di rumah sendiri ... Dan Yesus memberitahu kita : "Kamu juga, jika kamu tidak berperilaku seperti anak-anak, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga”. Keberanian untuk mendekati Tuhan, terbuka kepada Tuhan, tidak takut akan Tuhan : saya berterima kasih kepada anak ini atas pelajaran yang telah diberikannya kepada kita semua. Dan semoga Tuhan membantunya dalam keterbatasannya, dalam pertumbuhannya karena ia telah memberikan kesaksian ini yang datang dari hatinya. Anak-anak tidak memiliki penerjemah otomatis dari hati ke kehidupan : hati yang memimpin. Terima kasih.

 

Rasul Paulus, dengan suratnya kepada Jemaat Galatia, secara bertahap memperkenalkan kita pada kebaruan iman yang luar biasa. Perlahan-lahan, selangkah demi selangkah… itulah kebaruan iman. Sungguh sebuah kebaruan yang luar biasa, karena kebaruan tersebut tidak hanya memperbarui beberapa ranah kehidupan, tetapi juga membawa kita ke dalam “kehidupan baru” yang telah kita terima dengan Pembaptisan. Di sana karunia teragung, yaitu menjadi anak-anak Allah, telah dicurahkan kepada kita. Dilahirkan kembali di dalam Kristus, kita telah beralih dari keagamaan yang berupa kumpulan perintah – kita telah meninggalkan keagamaan yang berupa kumpulan perintah – menuju iman yang hidup, yang berpusat pada persekutuan dengan Allah dan dengan saudara-saudari kita, yakni, dalam kasih. Kita telah beralih dari perbudakan ketakutan dan dosa menuju kebebasan anak-anak Allah. Di sini, sekali lagi, terdapat kata kebebasan ...

 

Hari ini kita akan mencoba untuk semakin memahami apa inti dari kebebasan ini bagi Rasul Paulus, apa inti dari kebebasan ini. Paulus menegaskan janganlah mempergunakan kebebasan sebagai "kesempatan untuk kedagingan" (Gal 5:13) : kebebasan, oleh karena itu, bukanlah cara hidup yang bebas, menurut daging atau mengikuti naluri, keinginan individu atau dorongan egois diri kita; bukan, kebebasan Yesus justru menuntun kita untuk, tulis Rasul Paulus, “melayani seorang akan yang lain” (Gal 5:13). Tetapi apakah ini perbudakan? Ya, kebebasan di dalam Kristus memiliki unsur perbudakan, dimensi yang menuntun kita untuk melayani, hidup untuk orang lain. Kebebasan sejati, dengan kata lain, sepenuhnya diungkaplam dalam kasih. Sekali lagi, kita menemukan diri kita dihadapkan pada paradoks Injil : kita dibebaskan dengan melayani, bukan dengan melakukan apa pun yang kita inginkan. Kita bebas dalam melayani, dan kebebasan berasal dari sana; kita menemukan diri kita sepenuhnya sejauh mana kita memberikan diri kita. Kita menemukan diri kita sepenuhnya sejauh mana kita memberikan diri kita, sejauh mana kita memiliki keberanian untuk memberikan diri kita; kita memiliki hidup jika kita kehilangannya (bdk. Mrk 8:35). Inilah Injil yang murni.

 

Tetapi bagaimana paradoks ini dapat dijelaskan? Karena sebuah paradoks! Jawaban Rasul Paulus sesederhana tuntutannya : “oleh kasih” (Gal 5:13). Tidak ada kebebasan tanpa kasih. Kebebasan egois untuk melakukan apa yang kuinginkan bukanlah kebebasan, karena berbalik pada dirinya sendiri, tidak berbuah. Oleh kasih : kasih Kristuslah yang telah membebaskan kita dan kasihlah yang juga membebaskan kita dari perbudakan terburuk, yaitu perbudakan diri sendiri; oleh karena itu, kebebasan meningkat dengan kasih. Tetapi hati-hati : bukan dengan kasih yang berpusat pada diri sendiri, dengan kasih sinetron, bukan dengan hasrat yang sekadar mencari apa yang kita inginkan dan sukai : bukan dengan itu, tetapi dengan kasih yang kita lihat di dalam Kristus, amal – inilah kasih yang sungguh bebas dan membebaskan. Kasih yang terpancar dalam pelayanan tanpa pamrih, meneladan kasih Yesus, yang membasuh kaki murid-murid-Nya dan berkata : “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:15). Saling melayani.

 

Oleh karena itu, bagi Paulus kebebasan bukanlah “melakukan apa yang kamu inginkan dan apa yang kamu sukai” : bukan. Jenis kebebasan ini, tanpa tujuan dan tanpa titik acuan, akan menjadi kebebasan yang hampa, kebebasan sirkus : tidak baik. Dan memang, kebebasan tersebut meninggalkan kehampaan diri : seberapa sering, setelah mengikuti naluri semata, kita menyadari bahwa kita ditinggalkan dengan kehampaan diri yang luar biasa dan kita telah menggunakan dengan buruk khazanah kebebasan kita, keindahan dapat memilih kebaikan sejati untuk diri kita sendiri dan orang lain. Kebebasan sejati selalu membebaskan kita, sedangkan ketika kita menjalankan kebebasan dari apa yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai, pada akhirnya kita tetap hampa. Hanya kebebasan ini yang lengkap, asli, dan menyertakan kita ke dalam kehidupan nyata sehari-hari.

 

Dalam surat lain, surat pertama kepada Jemaat Korintus, Rasul Paulus menanggapi orang-orang yang mengusung gagasan kebebasan yang keliru. "Segala sesuatu diperbolehkan!" Ah, segala sesuatu diperbolehkan, semuanya bisa dilakukan. Tidak : gagasan yang salah. "Ya, tetapi bukan segala sesuatu berguna", akan menjadi jawabannya. “Segala sesuatu diperbolehkan tetapi bukan segala sesuatu berguna!”, jawab Paulus. “Segala sesuatu diperbolehkan, ya, tetapi bukan segala sesuatu membangun”, timpal Rasul Paulus. Ia kemudian menambahkan : “Jangan seorang pun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain” (1 Kor 10:23-24). Inilah aturan untuk membuka kedok segala jenis kebebasan egois. Selain itu, bagi mereka yang tergoda untuk mengurangi kebebasan untuk selera mereka semata, Paulus mengutamakan kebutuhan akan kasih. Kebebasan yang dituntun oleh kasih adalah satu-satunya yang membebaskan orang lain dan diri kita sendiri, yang tahu bagaimana mendengarkan tanpa memaksa, yang tahu bagaimana mengasihi tanpa memaksa, yang membangun dan tidak menghancurkan, yang tidak mengeksploitasi orang lain demi kenyamanan kita dan berbuat baik tanpa mencari keuntungan. Singkatnya, jika kebebasan bukan untuk melayani – ini adalah godaan – jika kebebasan bukan untuk melayani kebaikan, ia berisiko menjadi mandul dan tidak menghasilkan buah. Jika kebebasan bukan untuk melayani kebaikan, ia tidak akan menghasilkan buah. Di sisi lain, kebebasan yang diilhami oleh kasih mengarah pada orang miskin, mengenali wajah Kristus dalam wajah mereka. Oleh karena itu, pelayanan satu sama lain ini memungkinkan Paulus, menulis kepada Jemaat Galatia, untuk menekankan sesuatu yang sama sekali tidak sekunder : dengan cara ini, berbicara tentang kebebasan menginjili yang diberikan para Rasul lain kepadanya, ia menggarisbawahi bahwa mereka hanya menganjurkan satu hal : mengingat orang-orang miskin (bdk. Gal 2:10). Setelah pertarungan ideologis antara Paulus dan mereka, apa yang dikatakan para rasul sangat menarik, mereka sepakat : "Lanjutkan, lanjutkan dan jangan lupakan orang miskin", yakni, semoga kebebasanmu sebagai pewarta menjadi kebebasan dalam melayani orang lain, bukan dirimu sendiri, melakukan apa yang berkenan kepadamu.

 

Namun, kita tahu bahwa inilah salah satu pemikiran modern yang paling luas tentang kebebasan : "kebebasanku berakhir di tempat kebebasanmu dimulai". Tetapi di sini hubungan lenyap! Sebuah visi individualistis. Di sisi lain, orang-orang yang telah menerima karunia kebebasan yang dibawa oleh Yesus tidak dapat berpikir bahwa kebebasan berupa menjauhkan diri dari orang lain, seolah-olah merupakan gangguan; manusia tidak dapat dianggap sebagai terkurung sendirian, tetapi selalu menjadi bagian dari komunitas. Dimensi sosial hakiki bagi umat Kristiani, dan memungkinkan mereka melihat kebaikan bersama dan bukan kepentingan pribadi.

 

Terutama di momen bersejarah ini, kita perlu menemukan kembali dimensi kebebasan yang komunitarian, bukan individualistis : pandemi telah mengajarkan kita bahwa kita saling membutuhkan, tetapi mengetahui hal ini saja tidak memadai; kita perlu memilihnya secara nyata, memutuskan jalan itu, setiap hari. Marilah kita katakan dan yakini bahwa orang lain bukanlah penghalang kebebasanku, tetapi mereka adalah kemungkinan untuk mewujudkannya sepenuhnya. Karena kebebasan kita lahir dari kasih Allah dan tumbuh dalam kasih. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok-kelompok dari Amerika Serikat. Atas kamu semua, dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Tuhan. Semoga Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan seorang penutur]

 

Saudara dan saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang Surat Santo Paulus kepada Jemaat Galatia, sekarang kita membahas kebebasan yang merupakan tujuan panggilan kita di dalam Kristus. Kehidupan baru yang kita terima dalam pembaptisan telah menjadikan kita putra dan putri Bapa dan membebaskan kita dari perbudakan dosa dan maut. Paulus mengajarkan bahwa kebebasan kita di dalam Kristus bukanlah kesempatan untuk memanjakan diri sendiri tetapi panggilan untuk "melayani seorang akan yang lain" (Gal 5:13) dalam komunitas umat beriman. Paulus memberitahu kita bahwa hanya “oleh kasih” (idem), yang diberikan dalam pelayanan yang berlimpah kepada orang miskin, kebebasan kita di dalam Kristus dapat bertumbuh dan menghasilkan buah. Yesus memberi teladan kehidupan kasih tanpa pamrih ini pada Perjamuan Terakhir, ketika, pada malam sengsara dan wafat-Nya yang menyelamatkan, Ia membasuh kaki para murid, mengajar kita untuk melakukan hal yang sama. Kebebasan Kristiani pada dasarnya memiliki dimensi sosial. Dampak pandemi saat ini mengundang kita untuk mengatasi gagasan kebebasan individualistik yang reduktif dan menemukan kembali aspek komunitariannya yang lebih dalam. Melalui kesaksian kita akan kuasa rahmat Kristus yang membebaskan, semoga kita membantu orang lain untuk melihat bahwa kebebasan sejati lahir dari kasih Allah dan menemukan pemenuhannya dalam amal.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Oktober 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 17 Oktober 2021 : MEMUNCULKAN DIRI VS MEMBENAMKAN DIRI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil liturgi hari ini (Mrk 10:35-45) menceritakan bahwa dua murid, Yakobus dan Yohanes, meminta Tuhan untuk suatu hari duduk di samping-Nya dalam kemuliaan, seolah-olah mereka adalah "perdana menteri", atau sesuatu seperti itu. Tetapi murid-murid yang lain mendengarnya dan menjadi marah. Pada saat itu, Yesus dengan sabar memberikan mereka pengajaran yang luar biasa. Hal ini : kemuliaan sejati tidak diperoleh dengan memunculkan diri atas orang lain, tetapi dengan mengalami baptisan yang sama dengan yang beberapa saat kemudian akan diterima Yesus di Yerusalem, yaitu salib. Apa artinya ini? Kata “baptisan” berarti “pembenaman” : melalui sengsara-Nya, Yesus membenamkan diri ke dalam kematian, menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan kita. Karena itu, kemuliaan-Nya, kemuliaan Allah, adalah kasih yang menjadi pelayanan, bukan kekuasaan yang berusaha menguasai. Bukan kekuasaan yang berusaha menguasai, bukan! Tetapi kasih yang menjadi pelayanan. Dengan demikian, Yesus mengakhiri dengan berkata kepada murid-murid-Nya dan juga kepada kita : “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (ayat 43). Untuk menjadi besar, kamu hendaknya mengambil jalan pelayanan, melayani orang lain.

 

Kita berhadapan dengan dua jenis nalar yang berbeda : para murid ingin memunculkan diri dan Yesus ingin membenamkan diri. Marilah kita meluangkan beberapa saat pada dua kata kerja ini. Kata kerja yang pertama adalah memunculkan diri. Kata ini mengungkapkan mentalitas duniawi yang selalu membuat kita tergoda : mengalami segalanya, termasuk hubungan, untuk memenuhi ambisi kita, mendaki tangga kesuksesan, mencapai posisi penting. Pengusahaan gengsi pribadi bisa menjadi penyakit rohani, menyamarkan dirinya sendiri bahkan di balik niat baik : misalnya, ketika di balik kebaikan yang kita lakukan dan khotbahkan, kita sebenarnya mengusahakan dan menegaskan diri, yaitu, kita maju dan mendaki, kita melihatnya bahkan di dalam Gereja... Berapa kali, kita umat Kristiani – yang seharusnya menjadi pelayan – berusaha mendaki, untuk maju. Karena itu, kita perlu selalu mengevaluasi niat hati kita yang sebenarnya, menanyakan pada diri kita sendiri : “Mengapa aku melakukan pekerjaan ini, tanggung jawab ini? Untuk memberikan pelayanan atau lebih tepatnya untuk diakui, dipuji dan menerima pujian?” Yesus mengontraskan nalar duniawi ini dengan nalar-Nya : ketimbang meninggikan dirimu di atas orang lain, turunlah dari tumpuanmu untuk melayani mereka; ketimbang memunculkan diri atas orang lain, terbenamlah dalam kehidupan orang lain. Saya menonton program A Sua Immagine yang pelayanannya dilakukan oleh Caritas agar tidak ada orang yang kekurangan makanan : peduli akan kelaparan orang lain, peduli akan kebutuhan orang lain. Ada begitu banyak yang membutuhkan, dan setelah pandemi masih banyak lagi. Berusahalah untuk terbenam dalam pelayanan daripada mendaki untuk kemuliaan diri.

 

Inilah kata kerja yang kedua : terbenam. Yesus meminta kita untuk membenamkan diri. Dan bagaimana seharusnya kita membenamkan diri? Penuh kasih dalam kehidupan orang-orang yang kita temui. Kita sedang memikirkan kelaparan : tetapi apakah dengan penuh kasih kita memikirkan kelaparan begitu banyak orang? Ketika kita memiliki makanan di hadapan kita, yang merupakan anugerah Allah yang dapat kita makan, ada orang yang tidak memiliki cukup makanan untuk sebulan penuh. Marilah kita memikirkan hal itu. Dan membenamkan diri kita dengan penuh kasih, memiliki belas kasih, bukanlah statistik dalam sebuah ensiklopedia… Bukan! Mereka adalah orang-orang. Apakah aku memiliki belas kasih pada orang-orang? Belas kasih untuk kehidupan orang-orang yang kita temui, seperti yang telah dilakukan Yesus dengan diriku, dengan dirimu, dengan kita semua, Ia mendekat dengan belas kasih. Marilah kita melihat Tuhan yang tersalib, yang sepenuhnya terbenam dalam sejarah kita yang terluka, dan kita akan menemukan cara Allah melakukan sesuatu. Kita melihat bahwa Ia tidak tinggal di surga untuk memandang rendah kita dari atas sana, tetapi Ia merendahkan diri untuk membasuh kaki kita. Allah adalah kasih dan kasih itu rendah hati, tidak meninggikan dirinya sendiri, tetapi turun laksana hujan yang jatuh ke bumi dan membawa kehidupan. Tetapi bagaimana kita dapat mengambil arah yang sama seperti Yesus, dari meninggikan diri menuju membenamkan diri, dari mentalitas gengsi, gengsi duniawi, menuju mentalitas pelayanan, pelayanan Kristiani? Dibutuhkan dedikasi, tetapi itu saja tidak cukup. Sulit sendirian, tetapi bukan tidak mungkin, karena kita memiliki kekuatan batin yang membantu kita. Kekuatan baptisan, dari pembenaman dalam Yesus yang telah diterima kita semua melalui rahmat yang menuntun kita, menggerakkan kita untuk mengikuti-Nya ketimbang mengusahakan kepentingan kita, justru menempatkan diri kita untuk melayani orang lain. Suatu rahmat, api yang telah dinyalakan oleh Roh Kudus di dalam diri kita yang perlu dipelihara. Hari ini, marilah kita memohon Roh Kudus untuk memperbaharui rahmat pembaptisan di dalam diri kita, pembenaman dalam Yesus, dalam cara-Nya, menjadi semakin seperti hamba, menjadi hamba sebagaimana Ia telah bersama kita.

 

Dan marilah kita berdoa kepada Bunda Maria : ia – meskipun ia yang terbesar – tidak berusaha untuk memunculkan diri, tetapi hamba Tuhan yang rendah hati, dan sepenuhnya terbenam dalam pelayanan kita untuk membantu kita bertemu dengan Yesus.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari terkasih,

 

Hari ini Yayasan “Bantuan untuk Gereja yang Membutuhkan” telah menetapkan tanggal untuk paroki, sekolah, dan keluarga dalam rangka prakarsa “Demi persatuan dan perdamaian, sejuta anak mendaraskan Rosario”. Saya mendorong kampanye doa ini yang telah dipercayakan kepada pengantaraan Santo Yusuf teristimewa tahun ini. Terima kasih untuk semua anak laki-laki dan perempuan yang ikut serta di dalamnya! Terimakasih banyak.

 

Kemarin, di Cordoba, Spanyol, Juan Elías Medina, seorang imam, dan 126 orang martir sejawat – imam, pelaku hidup bakti, seminaris, dan awam – yang dibunuh dalam kebencian terhadap iman selama penganiayaan agama yang kejam pada tahun 1930-an di Spanyol, dinyatakan sebagai beato/beata. Semoga kesetiaan mereka memberi kita semua kekuatan, terutama umat Kristiani yang teraniaya di pelbagai belahan dunia, kekuatan untuk bersaksi tentang Injil dengan berani. Tepuk tangan meriah untuk para beato/beata baru!

 

Pekan lalu, berbagai serangan terjadi di Norwegia, Afghanistan, Inggris, yang menyebabkan banyak kematian dan melukai banyak orang. Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan keluarga para korban. Saya mohon kepadamu untuk meninggalkan jalan kekerasan yang selalu menjadi penyebab kerugian dan merupakan kekalahan bagi semua orang. Marilah kita ingat bahwa kekerasan menghasilkan kekerasan.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara. Secara khusus, saya menyambut para suster “Medee” yang mengadakan Kapitel Umum mereka, Konfederasi Santo Bernardus dari Clairvaux – Ksatria Kristus yang Miskin, para pengusaha Afrika yang berkumpul untuk pertemuan internasional mereka, anggota umat beriman dari Este, Cavallino dan Ca' Vio (Venesia), dan kelas sakreman penguatan Galzignano.

 

Saya menyambut dan memberkati “Peziarahan Ekumenis untuk Keadilan Ekologis”, yang terdiri dari berbagai pengakuan Kristiani, yang berangkat dari Polandia dan sedang menuju Skotlandia untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi iklim, COP26.

 

Dan kepada kamu semua, saya mengucapkan selamat hari Minggu. Dan tolong, tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makananmu dan sampai jumpa.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 17 Oktober 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 13 Oktober 2021 : KATEKESE TENTANG SURAT SANTO PAULUS KEPADA JEMAAT GALATIA (BAGIAN 11) - KEBEBASAN KRISTIANI, RAGI PEMBEBASAN UNIVERSAL

Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam rangkaian perjalanan katekese kita tentang Surat Rasul Paulus kepada Jemaat Galatia, kita telah dapat memusatkan perhatian pada apa yang menurut Santo Paulus merupakan inti kebebasan : fakta bahwa, dengan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus, kita telah dibebaskan dari perbudakan dosa dan maut. Dengan kata lain, kita bebas karena kita telah dibebaskan, dibebaskan oleh rahmat – bukan dengan ganjaran, dibebaskan oleh kasih, yang menjadi hukum tertinggi dan baru dalam kehidupan Kristiani. Kasih : kita bebas karena kita dibebaskan dengan cuma-cuma. Inilah, sesungguhnya, titik pokoknya.

 

Hari ini saya ingin menekankan bagaimana kebaruan kehidupan ini membuka diri kita untuk menyambut setiap orang dan budaya, dan seraya membuka setiap orang dan budaya untuk kebebasan yang lebih besar. Sesungguhnya, Santo Paulus mengatakan bahwa bagi orang-orang yang mengikuti Kristus, tidak lagi penting apakah mereka orang Yahudi atau orang bukan Yahudi. Satu-satunya hal yang penting adalah “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Percaya bahwa kita telah dibebaskan, dan percaya kepada Yesus Kristus yang membebaskan kita : inilah iman yang bekerja oleh kasih. Para pencela Paulus – para fundamentalis yang telah tiba di sana – menyerangnya atas hal baru ini, mengklaim bahwa ia telah mengambil posisi ini dari oportunisme pastoral, atau lebih tepatnya “berkenan kepada semua orang”, meminimalkan tuntutan yang diterima dari tradisi keagamaannya yang lebih sempit. Inilah argumen yang sama dari kaum fundamentalis dewasa ini : sejarah selalu terulang. Seperti yang dapat kita lihat, kritik terhadap setiap kebaruan injili bukan hanya pada zaman kita, tetapi memiliki sejarah panjang di baliknya. Namun, Paulus tidak tinggal diam. Ia menjawab dengan parrhesia - sebuah kata Yunani yang menunjukkan keberanian, kekuatan - dan ia berkata, "Adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus” (Gal 1:10). Dalam surat pertamanya kepada Jemaat Tesalonika ia telah mengungkapkan dirinya dalam istilah yang sama, mengatakan bahwa dalam khotbahnya ia tidak pernah “bermulut manis ... dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi; ... juga tidak pernah kami mencari pujian dari manusia” (1 Tes 2:5-6), yang merupakan cara “berpura-pura”; iman yang bukan iman, iman keduniawian.

 

Pemikiran Paulus sekali lagi menunjukkan kedalaman yang terilhami. Baginya, menyambut iman bukan berarti meninggalkan inti budaya dan tradisi, tetapi apa yang dapat menghalangi kebaruan dan kemurnian Injil semata. Karena kebebasan yang diperoleh melalui wafat dan kebangkitan Tuhan tidak menimbulkan pertikaian dengan budaya atau dengan tradisi yang telah kita terima, melainkan memperkenalkan ke dalamnya kebebasan baru, kebaruan yang membebaskan, yaitu kebaruan Injil. Memang, pembebasan yang diperoleh melalui baptisan memungkinkan kita untuk memperoleh martabat penuh anak-anak Allah, sehingga, seraya kita tetap tertanam kuat dalam akar budaya kita, pada saat yang sama kita membuka diri terhadap universalisme iman yang masuk ke dalam setiap budaya, mengenali inti kebenaran yang ada, dan mengembangkannya, menyempurnakan kebaikan yang terkandung di dalamnya. Menerima bahwa kita telah dibebaskan oleh Kristus - sengsara-Nya, wafat-Nya, kebangkitan-Nya - juga berarti menerima dan membawa kepenuhan kepada berbagai tradisi masing-masing orang. Kepenuhan sejati.

 

Dalam panggilan menuju kebebasan kita menemukan arti sebenarnya inkulturasi Injil. Apa arti sebenarnya ini? Mampu mewartakan Kabar Baik Kristus Sang Juru Selamat dengan menghormati kebaikan dan kebenaran yang ada dalam budaya. Ini tidak mudah! Ada banyak godaan untuk memaksakan model kehidupan kita seolah-olah yang paling berkembang dan paling menarik. Berapa banyak kesalahan yang telah dibuat dalam sejarah penginjilan dengan berusaha memaksakan satu model budaya! Keseragaman sebagai aturan hidup tidak kristiani! Kesatuan ya, keseragaman tidak! Kadang-kadang, bahkan kekerasan tidak terhindarkan untuk membuat berlakunya satu sudut pandang. Pikirkan peperangan. Dengan cara ini, Gereja telah kehilangan kekayaan banyak ungkapan lokal yang dibawa serta oleh tradisi budaya seluruh bangsa. Tetapi inilah kebalikan kemerdekaan kristiani! Sebagai contoh, saya diingatkan tentang pendekatan kerasulan yang didirikan di Tiongkok oleh Pastor Ricci, atau di India oleh Pastor De Nobili… [Beberapa orang mengatakan] “Tidak, ini tidak kristiani!” Ya, kristiani, ada dalam budaya bangsa.

 

Singkatnya, visi kebebasan Paulus sepenuhnya tercerahkan dan berbuah oleh misteri Kristus, yang dalam penjelmaan-Nya - seperti diingatkan oleh Konsili Vatikan II - dengan cara tertentu mempersatukan diri-Nya dengan setiap orang (bdk. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 22 ). Dan ini berarti tidak ada keseragaman, malah ada keragaman, tetapi keragaman yang bersatu. Oleh karena itu kewajiban untuk menghormati asal usul budaya setiap orang, menempatkannya dalam ruang kebebasan yang tidak dibatasi oleh pemaksaan apa pun yang didiktekan oleh satu budaya yang dominan. Inilah makna menyebut diri kita Katolik, berbicara tentang Gereja Katolik. Bukanlah suatu denominasi sosiologis untuk membedakan kita dari umat Kristiani lainnya; Katolik adalah kata sifat yang berarti universal : katolik, universalitas. Universal, yaitu Katolik, Gereja, berarti bahwa Gereja mengandung dalam dirinya, dalam kodratnya, keterbukaan untuk semua orang dan budaya sepanjang masa, karena Kristus lahir, wafat dan bangkit untuk semua orang.

 

Selain itu, budaya pada hakikatnya adalah perubahan rupa terus-menerus. Jika kita berpikir tentang bagaimana kita dipanggil untuk mewartakan Injil dalam momen sejarah perubahan budaya yang besar ini, di mana teknologi yang semakin maju tampaknya lebih unggul. Jika kita berbicara tentang iman seperti yang kita lakukan di abad-abad sebelumnya, kita akan menghadapi risiko tidak lagi dipahami oleh generasi baru. Kebebasan iman kristiani – kebebasan kristiani – tidak menunjukkan visi hidup dan budaya yang statis, melainkan visi yang dinamis, dan bahkan visi yang dinamis dalam tradisi. Tradisi tumbuh, tetapi selalu dengan kodrat yang sama. Oleh karena itu, janganlah kita mengklaim memiliki kebebasan. Kita telah menerima karunia diperhatikan. Sebaliknya, kebebasan meminta kita masing-masing untuk terus bergerak, berorientasi pada kepenuhannya. Kondisi para peziarah; keadaan para musafir, dalam keluaran terus-menerus : dibebaskan dari perbudakan untuk berjalan menuju kepenuhan kebebasan. Dan inilah karunia besar yang diberikan Yesus Kristus kepada kita. Tuhan telah membebaskan kita dari perbudakan secara cuma-cuma, dan telah menempatkan kita di jalan untuk berjalan dalam kebebasan penuh.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok-kelompok dari Amerika Serikat. Di bulan Oktober ini, melalui perantaraan Bunda Rosario, semoga kita bertumbuh dalam kemerdekaan Kristiani yang kita terima saat pembaptisan. Atas kamu semua, dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Tuhan. Semoga Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari terkasih,

 

Dalam lanjutan katekese kita tentang Surat Santo Paulus kepada Jemaat Galatia, kita telah melihat bahwa hidup kebebasan baru kita di dalam Kristus datang sebagai karunia Allah yang tidak layak melalui baptisan, yang membuat kita ikut ambil bagian dalam sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan yang menyelamatkan. Kita telah dibebaskan oleh kasih, yang menjadi hukum baru dan tertinggi dalam kehidupan kristiani. Pesan Injil pembebasan kita ini bersifat universal, ditujukan kepada semua orang, dan kepada setiap bangsa dan budaya. Memang, Injil dimaksudkan untuk “dibudayakan” di setiap waktu dan tempat. Katolisitas Gereja, universalitasnya, tidak ditemukan dalam keseragaman gaya atau kebiasaan, atau penerapan salah satu model budaya, tetapi dalam penghormatannya terhadap semua yang baik dan benar dalam setiap orang dan budaya. Sementara Gereja berusaha untuk menginkulturasi Injil dalam budaya masa kini, termasuk teknologi dan budaya media yang berkembang pesat saat ini, semoga kita menanggapi secara kreatif dalam mewartakan kepada semua orang Kabar Baik tentang kebebasan yang dimenangkan bagi kita oleh Kristus Sang Juruselamat universal.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Oktober 2021)