Vatikan
pada hari Jumat 8 April 2016 menerbitkan seruan apostolik Paus Fransiskus yang
ditunggu-tunggu tentang keluarga, yang dikonsultasikan selama hampir tiga tahun
dengan umat Katolik di negara-negara di seluruh dunia. Dokumen panjang, yang
berjudul 'Amoris Laetitia', atau
Sukacita Kasih, menegaskan ajaran Gereja bahwa keluarga-keluarga yang langgeng
adalah kompleks bangunan dari sebuah masyarakat yang sehat dan sebuah tempat di
mana anak-anak belajar mengasihi, menghormati dan berinteraksi dengan orang lain.
Pada saat yang sama dokumen tersebut memperingatkan terhadap idealisasi banyak
tantangan yang dihadapi kehidupan keluarga, mendesak umat Katolik untuk peduli,
bukan mengutuk, semua orang yang hidupnya tidak mencerminkan ajaran Gereja.
Secara khusus dokumen tersebut berfokus pada kebutuhan akan "pemahaman
pribadi dan pastoral" bagi individu, mengakui bahwa "bukan Sinode,
ataupun Seruan ini yang bisa diharapkan untuk memberikan serangkaian aturan
umum, secara kanonik dalam kodratnya dan berlaku untuk semua kasus".
******
Bukanlah
secara kebetulan bahwa Amoris Laetitia,
"Sukacita Kasih", seruan apostolik pasca-sinode "tentang Kasih
dalam Keluarga", ditandatangani pada tanggal 19 Maret 2016, Hari Raya Santo
Yosef. Dokumen ini membawa bersama-sama hasil dari dua Sinode tentang keluarga yang
diselenggarakan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2014 dan 2015. Dokumen sering kali
mengutip Laporan Akhir dua sinode itu; dokumen-dokumen dan ajaran-ajaran para
pendahulunya; dan banyak katekesenya sendiri tentang keluarga. Selain itu,
seperti dalam dokumen-dokumen magisterium sebelumnya, Paus Fransiskus juga
menggunakan kontribusi dari berbagai Konferensi Uskup di seluruh dunia (Kenya,
Australia, Argentina ...) dan mengutip tokoh-tokoh penting seperti Martin
Luther King dan Erich Fromm. Paus Fransiskus bahkan mengutip film Babette’s
Feast untuk menggambarkan konsep kecuma-cumaan.
Pendahuluan (1-7)
Seruan Apostolik ini menarik
perhatian karena
panjang dan rincinya. 325 paragrafnya terbagi dalam sembilan bab. Tujuh paragraf pengantar secara terus
terang membicarakan kerumitan sebuah
topik yang membutuhkan kajian
menyeluruh. Campur
tangan dari para Bapa Sinode membentuk "permata bersegi
banyak" (Amoris Laetitia 4), bidang banyak yang berharga, yang nilainya harus dilestarikan. Namun Paus Fransiskus memperingatkan bahwa "tidak semua diskusi persoalan doktrinal, moral atau pastoral perlu diselesaikan oleh campur tangan magisterium". Memang, untuk beberapa pertanyaan,
"setiap negara atau wilayah ... bisa mencari penyelesaian
yang lebih sesuai dengan budaya dan kepekaannya terhadap tradisi-tradisi dan kebutuhan-kebutuhan setempatnya. Karena 'budaya-budaya pada kenyataannya cukup beragam dan setiap prinsip umum ... perlu diinkulturasikan, jika ingin
dihormati dan diterapkan'" (Amoris Laetitia 3). Prinsip inkulturasi ini berlaku untuk bagaimana masalah-masalah dirumuskan dan dibahas serta, terlepas dari persoalan-persoalan dogmatis yang telah didefinisikan dengan baik oleh
magisterium Gereja, tak satu pun dari pendekatan ini dapat "mendunia".
Dalam sambutannya pada akhir Sinode tahun 2015, Paus Fransiskus mengatakan dengan sangat jelas : "Apa yang tampaknya lumrah bagi seorang uskup di satu benua, dianggap aneh dan hampir menjadi skandal - hampir! - bagi seorang uskup dari
benua lain; apa yang dianggap sebagai pelanggaran hak dalam
satu masyarakat merupakan aturan yang jelas dan tidak
bisa diganggu-gugat di benua lain; apa yang bagi beberapa orang adalah kebebasan hati nurani, bagi orang
lain kebingungan
belaka".
Paus Fransiskus dengan jelas menyatakan bahwa kita perlu terutama menghindari kesejajaran yang
mandul antara tuntutan untuk perubahan dan penerapan umum norma-norma yang maya. Beliau menulis :
"Perdebatan-perdebatan yang
dilakukan di media, dalam publikasi tertentu dan bahkan di
antara para
pelayan Gereja, berkisar dari keinginan yang kelewat
batas untuk perubahan total tanpa permenungan atau landasan yang cukup, terhadap sikap yang akan menyelesaikan segalanya dengan menerapkan aturan-aturan
umum atau mendapatkan yang tidak
semestinya kesimpulan-kesimpulan dari pertimbangan-pertimbangan teologis tertentu" (Amoris Laetitia 2).
Bab Satu : "Dalam terang
Sabda" (8-30)
Setelah
pendahuluan ini, Paus Fransiskus memulai permenungannya dengan Kitab Suci dalam
bab pertama, yang terbentang sebagai sebuah permenungan Mazmur 128 (yang muncul
dalam liturgi perkawinan Yahudi serta liturgi perkawinan Kristen). Alkitab
"penuh akan keluarga, kelahiran, kisah cinta dan krisis keluarga" (Amoris Laetitia 8). Ini mendorong kita
untuk merenungkan bagaimana keluarga bukanlah cita-cita yang maya melainkan
seperti "perdagangan" praktis (Amoris
Laetitia 16), yang adalah dilakukan dengan kelembutan (Amoris Laetitia 28), tetapi yang juga telah berhadapan dengan dosa
sejak awal, ketika hubungan kasih berubah menjadi penguasaan (bdk. Amoris Laetitia 19). Oleh karena itu,
Sabda Allah "bukanlah serangkaian gagasan-gagasan maya melainkan sumber
kenyamanan dan persahabatan untuk setiap keluarga yang mengalami kesulitan atau
penderitaan. Karena ia menunjukkan kepada mereka tujuan perjalanan mereka ...
" (Amoris Laetitia 22).
Bab Dua : "Pengalaman dan Tantangan Keluarga"
(31-57)
Dibangun atas dasar biblis, dalam bab dua Paus Fransiskus mempertimbangkan situasi keluarga-keluarga saat ini. Seraya mempertahankan "dengan tegas yang didasarkan pada kenyataan" pengalaman-pengalaman keluarga (Amoris Laetitia 6), beliau juga secara padat mengambil Laporan akhir dari dua Sinode tersebut. Keluarga-keluarga menghadapi banyak tantangan, dari migrasi hingga penolakan ideologis perbedaan di antara laki-laki
dan perempuan ("ideologi jender", Amoris Laetitia 56); dari budaya kesementaraan hingga mentalitas antikelahiran dan dampak bioteknologi di bidang prokreasi; dari
kurangnya perumahan dan pekerjaan
hingga pornografi dan pelecehan anak di bawah umur; dari
kurangnya perhatian untuk para penyandang cacat,
kurangnya rasa hormat terhadap lansia; dari penanggalan hukum keluarga, kekerasan terhadap perempuan. Paus Fransiskus menekankan kenyataan, yang merupakan konsep kunci dalam seruan tersebut. Dan kenyataan, realisme dan kehidupan sehari-harilah yang membuat perbedaan besar di antara "teori-teori" penafsiran
kenyataan yang
dapat diterima dan "ideologi-idelogi"
yang sewenang-wenang.
Mengutip Familiaris Consortio, Paus Fransiskus menyatakan bahwa "kita baiknya berfokus pada kenyataan-kenyataan yang nyata, karena 'panggilan dan tuntutan Roh Kudus bergema dalam peristiwa-peristiwa sejarah', dan melalui hal ini 'Gereja juga
dapat dibimbing untuk memahami secara lebih mendalam misteri perkawinan dan keluarga yang tak habis-habisnya'" (Amoris Laetitia 31). Sebaliknya, jika kita gagal mendengarkan kenyataan tersebut, kita tidak bisa memahami kebutuhan masa kini atau
gerakan-gerakan Roh Kudus. Paus Fransiskus mencatat bahwa individualisme yang merajalela menjadikannya sulit hari ini untuk seseorang memberikan dirinya dengan murah hati bagi orang lain (bdk. Amoris Laetitia 33). Berikut adalah gambaran yang menarik dari situasi tersebut : "Ketakutan akan kesepian dan
keinginan untuk stabilitas serta kesetiaan hidup
berdampingan dengan ketakutan akan jebakan yang tumbuh dalam sebuah hubungan yang bisa menghambat pencapaian
tujuan pribadi seseorang" (Amoris Laetitia 34).
Kerendahan hati akan realisme membantu kita untuk menghindari penyajian "cita-cita teologis perkawinan
yang terlalu maya dan hampir dibuat-buat, jauh dari situasi nyata dan kemungkinan praktis keluarga yang sesungguhnya" (Amoris Laetitia 36). Idealisme tidak memperbolehkan perkawinan dipahami untuk apakah
ia, yaitu, "jalan dinamis untuk pengembangan dan pemenuhan pribadi". Tidaklah realistis memikirkan keluarga-keluarga dapat mempertahankan diri mereka "hanya dengan menekankan persoalan-persoalan doktrinal, bioetika dan moral, tanpa mendorong
keterbukaan terhadap
rahmat" (Amoris Laetitia 37). Menyerukan "otokritik" tertentu
terhadap pendekatan-pendekatan yang memadai bagi pengalaman perkawinan dan keluarga, Paus Fransiskus
menekankan kebutuhan untuk memberikan ruang bagi
pembentukan hati nurani umat beriman : "Kita telah dipanggil untuk membentuk hati nurani, bukan untuk
menggantikannya" (Amoris Laetitia 37). Yesus
mengusulkan suatu
cita-cita yang menuntut tetapi
"tidak pernah gagal untuk menunjukkan belas kasih dan kedekatan terhadap kerapuhan individu-individu seperti perempuan Samaria atau perempuan yang kedapatan
berzinah" (Amoris Laetitia 38).
Bab Tiga : "Memandang Yesus
: Panggilan Keluarga" (58-88)
Bab
ketiga didedikasikan untuk beberapa unsur penting dari ajaran Gereja tentang
perkawinan dan keluarga. Bab ini penting karena 30 paragrafnya dengan ringkas
menggambarkan panggilan keluarga menurut Injil dan sebagaimana ditegaskan oleh
Gereja dari waktu ke waktu. Terutama, ia menekankan tema-tema perkawinan yang
tak terceraikan, sifat sakramental perkawinan, penerusan kehidupan dan
pendidikan anak-anak. Gaudium et Spes
dari Konsili Vatikan II, Humanae Vitae
dari Paus Paulus VI, dan Familiaris
Consortio dari Paus Yohanes Paulus II secara luas dikutip.
Bab ini
memberikan pandangan yang luas maupun menyentuh "situasi-situasi yang
tidak sempurna". Kita bisa membaca, sebenarnya : "'Pemahaman
kehadiran benih-benih Sabda' dalam budaya-budaya lain (bdk. Ad Gentes 11) juga bisa berlaku bagi
kenyataan perkawinan dan keluarga. Selain perkawinan sungguh alami, ada
unsur-unsur positif dalam bentuk perkawinan yang ditemukan dalam
tradisi-tradisi keagamaan lain, bahkan jika, berkali-kali, secara
samar-samar" (Amoris Laetitia
77). Permenungan juga menyertakan "keluarga-keluarga yang terluka"
yang berkenaan dengannya Paus Fransiskus − mengutip secara panjang lebar Laporan Akhir Sinode 2015 −
mengatakan bahwa "selalu diperlukan untuk mengingat prinsip umum ini : 'Para
gembala harus tahu bahwa, demi kebenaran, mereka diwajibkan untuk melaksanakan
pemahaman situasi-situasi secara seksama' (Familiaris
Consortio, 84). Derajat tanggung jawab tidak sama dalam semua kasus dan
mungkin ada faktor-faktor yang membatasi kemampuan untuk membuat sebuah
keputusan. Oleh karena itu, seraya dengan jelas menyatakan ajaran Gereja, para
gembala ada untuk menghindari penilaian yang tidak memperhitungkan kerumitan
berbagai situasi, dan mereka ada untuk menaruh perhatian, oleh kebutuhan, terhadap
bagaimana orang-orang mengalami dan menanggung kesulitan oleh karena kondisi
mereka" (Amoris Laetitia 79).
Bab Empat : "Kasih dalam Perkawinan" (89-164)
Bab Keempat membicarakan
kasih dalam perkawinan, yang diterangi dengan Madah Kasih Santo Paulus dalam 1 Korintus
13:4-7. Bagian pembukaan ini benar-benar merupakan suatu penafsiran yang melelahkan, terfokus, terilhami dan puitis dari
teks Paulus. Ia adalah kumpulan perikop singkat yang
dengan seksama dan lembut menggambarkan kasih manusia dalam istilah-istilah
yang benar-benar nyata. Kualitas penelaahan psikologis yang menandai penafsiran ini mencolok.
Wawasan psikologis masuk ke dalam dunia emosional pasangan suami istri - positif dan negatif - dan segi erotis kasih. Ini merupakan
kontribusi yang sangat kaya dan berharga untuk kehidupan
perkawinan Kristen, yang belum pernah terjadi dalam dokumen-dokumen kepausan sebelumnya.
Bagian ini menyimpang secara singkat dari pembicaraan yang lebih luas, yang lekas dimengerti dari pengalaman kasih perkawinan dari hari ke hari yang ditolak Paus Fransiskus untuk dinilai berdasarkan standar-standar ideal : "Tidak perlu membaringkan di atas dua orang yang terbatas beban yang luar biasa karena harus menghasilkan kembali secara sempurna kesatuan yang ada di antara Kristus dan Gereja-Nya, karena perkawinan sebagai sebuah tanda memerlukan 'proses dinamis ..., proses yang berkembang secara bertahap dengan penggabungan yang terus maju dari karunia-karunia Allah'" (Amoris Laetitia 122). Di sisi lain, Paus Fransiskus dengan tegas menekankan fakta bahwa kasih suami-istri oleh kodratnya mendefinisikan mitra dalam suatu kesatuan secara berlimpah mencakup dan kekal (Amoris Laetitia 123), tepat berada dalam "campuran kenikmatan dan perjuangan, ketegangan dan ketenangan, kepedihan dan kelegaan, kepuasan dan kerinduan, kejengkelan dan kesenangan" (Amoris Laetitia 126) yang memang menghiasi sebuah perkawinan.
Bab ini diakhiri dengan sebuah permenungan yang sangat penting tentang "transformasi kasih" karena "kehidupan yang lebih lama sekarang membentang berarti hubungan yang dekat dan eksklusif itu harus berlangsung selama empat, lima atau bahkan enam dekade; akibatnya, keputusan awal harus sering diperbaharui" (Amoris Laetitia 163). Sebagaimana penampilan jasmani berubah, daya tarik yang penuh kasih tidak berkurang tetapi berubah sebagaimana hasrat seksual dapat berubah dari waktu ke waktu menjadi keinginan untuk kebersamaan dan kesalingmenguntungan : "Tidak ada jaminan bahwa kita akan merasakan hal yang sama sepanjang hidup. Namun jika pasangan suami istri bisa maju dengan sebuah proyek kehidupan yang dibagikan dan kekal, mereka dapat saling mengasihi dan hidup sebagai kesatuan sampai maut memisahkan mereka, menikmati keintiman yang memperkaya" (Amoris Laetitia 163).
Bab Lima : "Kasih Menjadi Berbuah" (165-198)
Bab lima sepenuhnya berfokus
pada kesuburan kasih dan prokreasi. Ia berbicara
dengan cara yang sangat rohani dan psikologis tentang menyambut kehidupan baru, tentang
masa penantian kehamilan, tentang kasih seorang ibu dan seorang ayah. Ia juga
berbicara tentang kesuburan adopsi yang meluas, tentang
menyambut kontribusi keluarga-keluarga untuk mempromosikan "budaya perjumpaan", dan kehidupan keluarga dalam arti luas yang
meliputi bibi dan paman, sepupu, kerabat dari kerabat, teman-teman. Amoris Laetitia tidak berfokus pada apa yang disebut keluarga "inti" karena
ia sangat sadar akan keluarga sebagai jaringan yang lebih luas dari banyak
hubungan. Spiritualitas sakramen perkawinan memiliki karakter yang sangat sosial (Amoris Laetitia 187). Dan di dalam segi sosial ini Paus Fransiskus sangat menekankan peran istimewa dari hubungan antara kaum muda dan kaum tua, maupun hubungan antara
saudara dan saudari sebagai landasan pelatihan untuk berhubungan dengan orang lain.
Bab Enam: "Beberapa
Perspektif Pastoral"
(199-258)
Dalam bab enam Paus Fransiskus membicarakan berbagai perspektif pastoral yang bertujuan untuk membentuk keluarga-keluarga yang kokoh dan berbuah sesuai dengan rencana Allah. Bab
ini menggunakan Laporan Akhir dua Sinode serta katekese Paus Fransiskus dan Paus Yohanes Paulus II secara luas. Bab ini menegaskan bahwa keluarga-keluarga tidak hanya harus diinjili, mereka juga harus menginjili. Paus Fransiskus menyayangkan "bahwa
para pelayan tertahbis sering kekurangan pelatihan yang dibutuhkan untuk
menangani masalah-masalah rumit yang saat ini dihadapi keluarga-keluarga" (Amoris Laetitia 202). Di satu sisi, pembentukan psiko-afektif para seminaris perlu ditingkatkan, dan keluarga-keluarga harus lebih terlibat dalam pembentukan untuk pelayanan (bdk. Amoris Laetitia 203); dan di sisi
lain, "pengalaman tradisi ketimuran yang luas dari seorang klerus yang menikah juga bisa dipergunakan" (Amoris Laetitia 202).
Paus Fransiskus kemudian berurusan dengan persiapan orang
yang telah bertunangan yang akan menikah; dengan pendampingan pasangan di tahun-tahun pertama kehidupan perkawinan, termasuk perihal orangtua yang
bertanggung jawab; dan juga dengan situasi dan kemelut
rumit tertentu, mengetahui bahwa "setiap kemelut memiliki sebuah pelajaran untuk mengajar kita; kita perlu belajar bagaimana mendengarkan
dengan telinga hati" (Amoris Laetitia 232). Beberapa
penyebab kemelut dianalisis, di antaranya keterlambatan dalam
kedewasaan secara afektif (bdk. Amoris Laetitia 239). Disebutkan selanjutnya meliputi penyertaan orang-orang
yang ditinggalkan, pisah ranjang atau bercerai.
Seruan tersebut menekankan pentingnya reformasi baru-baru ini prosedur-prosedur untuk pembatalan perkawinan. Ia menyoroti penderitaan anak-anak dalam situasi konflik dan perceraian : "Perceraian adalah suatu kejahatan dan meningkatnya jumlah perceraian sangat mengganggu. Oleh karena itu, tugas pastoral kita yang paling penting berkaitan dengan keluarga-keluarga adalah memperkuat kasih mereka, membantu menyembuhkan luka-luka dan bekerja untuk mencegah penyebaran drama zaman kita ini" (Amoris Laetitia 246). Ia kemudian menyentuh situasi-situasi sebuah perkawinan antara orang Katolik dan orang Kristen dari denominasi lain (perkawinan campur), dan antara orang Katolik dan orang dari agama lain (disparitas cultus). Mengenai keluarga-keluarga dengan para anggota dengan kecenderungan homoseksual, beliau menegaskan kembali perlunya menghormati mereka dan menahan diri dari diskriminasi apapun yang tidak adil dan segala bentuk penyerangan atau kekerasan. Yang terakhir, secara pastoral bagian yang memilukan dari bab ini, "Ketika kematian membuat kita merasakan sengatnya", adalah tema dari hilangnya orang-orang terkasih dan kejandaan/kedudaan.
Bab Tujuh: "Menuju Pendidikan Anak yang Lebih Baik" (259-290)
Bab tujuh didedikasikan untuk pendidikan anak : pembentukan
etika
mereka, belajar disiplin yang dapat mencakup hukuman,
realisme yang
telaten, pendidikan seks, meneruskan iman dan, secara
lebih umum, kehidupan keluarga sebagai sebuah konteks pendidikan. Kebijaksanaan praktis yang hadir dalam setiap
paragraf adalah
luar biasa, terutama perhatian yang diberikan kepada mereka secara bertahap, langkah-langkah
kecil "yang dapat dipahami, diterima dan dihargai" (Amoris Laetitia 271).
Ada sebuah paragraf dasariah
yang sangat menarik dan pedagogis yang di dalamnya Paus
Fransiskus dengan
jelas menyatakan bahwa "obsesi, bagaimanapun, bukanlah pendidikan. Kita tidak bisa mengendalikan setiap situasi
yang
mungkin dialami seorang anak ... Jika para orang tua terobsesi dengan selalu tahu di mana anak-anak mereka dan
mengendalikan semua gerakan mereka, mereka hanya akan berusaha menguasai ruang. Tetapi ini bukan cara mendidik,
memperkuat dan mempersiapkan anak-anak mereka untuk menghadapi tantangan-tantangan. Apa yang paling penting adalah kemampuan dengan penuh kasih membantu mereka tumbuh dalam kebebasan,
kedewasaan, kedisiplinan secara menyeluruh dan kemandirian
sejati" (Amoris Laetitia 260).
Bagian yang perlu
diperhatikan berkenaan pendidikan dalam seksualitas berjudul sangat ekspresif : "Ya untuk
pendidikan seks". Ada
kebutuhan, dan kita harus bertanya "apakah lembaga-lembaga pendidikan kita telah menerima tantangan ini ... di sebuah zaman ketika seksualitas cenderung diremehkan dan dimiskinkan". Pendidikan yang sehat harus dilakukan "di dalam kerangka yang
lebih luas dari sebuah
pendidikan untuk kasih, untuk saling memberi diri" (Amoris
Laetitia 280). Teks tersebut memperingatkan bahwa ungkapan 'seks yang
aman' menyampaikan "sebuah sikap negatif terhadap finalitas seksualitas prokreasi alami, seolah-olah anak akhirnya
adalah musuh yang harus dilindungi terhadapnya. Cara berpikir ini mempromosikan narsisme dan agresivitas di tempat penerimaan" (Amoris Laetitia 283).
Bab Delapan: "Menuntun, Memahami dan Memadukan Kelemahan"
(291-312)
Bab
delapan adalah sebuah undangan kepada kerahiman dan pemahaman pastoral dalam
situasi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang diusulkan Tuhan. Paus
Fransiskus menggunakan tiga kata kerja yang sangat penting : menuntun, memahami
dan memadukan, yang secara mendasar ditujukan pada situasi-situasi yang rapuh,
rumit atau tidak teratur. Bab ini memiliki bagian tentang kebutuhan untuk
kebertahapan dalam reksapastoral; pentingnya pemahaman; norma-norma dan
keadaan-keadaan yang memperlonggar dalam reksapastoral; dan akhirnya apa yang
disebut Paus Fransiskus "logika kerahiman pastoral".
Bab
delapan sangat peka. Dalam membacanya kita harus ingat bahwa "tugas Gereja
sering kali adalah seperti tugas rumah sakit lapangan" (Amoris Laetitia 291). Di sini Bapa Suci
bergulat dengan temuan-temuan Sinode tentang persoalan-persoalan kontroversial.
Beliau menegaskan kembali apa itu perkawinan Kristen dan menambahkan bahwa
"beberapa bentuk kesatuan secara radikal bertentangan cita-cita ini,
sementara yang lainnya menyadarinya setidaknya dengan cara sebagian dan
sejalan". Gereja oleh karena itu "tidak mengabaikan unsur-unsur yang
membangun dalam situasi-situasi ini yang belum atau tidak lagi sesuai dengan
ajarannya tentang perkawinan" (Amoris
Laetitia 292).
Sejauh pemahaman
sehubungan dengan situasi-situasi yang "tidak beraturan" diperhatikan,
Paus Fransiskus menyatakan : "Ada kebutuhan 'untuk menghindari penilaian
yang tidak memperhitungkan kerumitan berbagai situasi' dan 'berperhatian, oleh
kebutuhan, terhadap bagaimana orang mengalami kesusahan karena kondisi
mereka'" (Amoris Laetitia 296).
Dan beliau melanjutkan : "Ini adalah masalah menjangkau semua orang,
masalah perlunya membantu setiap orang menemukan caranya yang tepat akan
keikutsertaan dalam komunitas gerejawi, dan dengan demikian mengalami tersentuh
oleh kerahiman 'yang tanpa pamrih, tanpa syarat dan cuma-cuma'" (Amoris Laetitia 297). Dan selanjutnya:
"orang-orang yang bercerai yang telah memasuki kesatuan baru, misalnya,
dapat menemukan diri mereka dalam berbagai situasi, yang tidak seharusnya
dikesampingkan atau masuk ke dalam penggolongan yang terlalu kaku tidak
meninggalkan ruang untuk pemahaman pribadi dan pastoral yang cocok" (Amoris Laetitia 298 ).
Dalam
garis ini, mengumpulkan pengamatan dari banyak Bapa Sinode, Paus Fransiskus
menyatakan bahwa "orang-orang yang dibaptis yang bercerai dan secara sipil
menikah lagi butuh lebih disatupadukan ke dalam komunitas-komunitas Kristen
dalam berbagai cara yang mungkin, sambil menghindari setiap kesempatan skandal".
"Keikutsertaan mereka dapat dinyatakan dalam pelayanan-pelayanan gerejawi
yang berbeda ... orang-orang tersebut perlu merasakan bukan para anggota yang
diekskomunikasi dari Gereja, melainkan sebagai para anggota yang hidup, bisa
hidup dan tumbuh dalam Gereja ... Kesatupaduan ini juga diperlukan dalam
perawatan dan pengasuhan Kristen anak-anak mereka" (Amoris Laetitia 299).
Dalam
nada yang lebih umum, Paus Fransiskus membuat pernyataan yang sangat penting
untuk memahami tujuan dan makna Seruan tersebut : "Jika kita
mempertimbangkan berbagai situasi nyata yang luas sekali, ... dapat dimengerti
bahwa baik Sinode maupun Seruan ini tidak bisa diharapkan untuk memberikan
seperangkat aturan umum baru, secara kanonik dalam sifatnya dan berlaku untuk
semua kasus. Apa yang diperlukan hanyalah sebuah dorongan baru untuk melakukan
pemahaman pribadi dan pastoral yang bertanggung jawab dari kasus-kasus
tertentu, orang akan mengakui bahwa, karena 'derajat tanggung jawab tidaklah
sama dalam semua kasus', konsekuensi atau pengaruh dari sebuah aturan tidak
perlu harus selalu sama" (Amoris
Laetitia 300). Paus Fransiskus mengembangkan secara mendalam kebutuhan dan
karakteristik perjalanan pennyertaan dan pemahaman yang diperlukan untuk dialog
yang mendalam antara umat dan para gembala mereka.
Untuk
tujuan ini Bapa Suci mengingat permenungan Gereja tentang "faktor-faktor
dan situasi-situasi yang memperlonggar" mengenai pertalian tanggung jawab
dan akuntabilitas atas tindakan-tindakan; dan mengandalkan Santo Thomas Aquino,
beliau berfokus pada hubungan antara aturan-aturan dan pemahaman dengan
menyatakan : "Memang benar bahwa aturan-aturan umum menetapkan suatu
kebaikan yang tidak pernah dapat diabaikan atau dihindarkan, tetapi dalam
rumusannya aturan-aturan tersebut tidak dapat diberikan secara mutlak untuk
seluruh situasi tertentu. Pada saat yang sama, harus dikatakan bahwa, justru
karena alasan itu, apa yang merupakan bagian pemahaman praktis dalam keadaan
tertentu tidak dapat diangkat ke tingkat sebuah aturan" (Amoris Laetitia 304).
Bagian
terakhir bab ini membicarakan "Logika Kerahiman Pastoral". Untuk
menghindari kesalahpahaman, Paus Fransiskus dengan kuat menegaskan :
"Menunjukkan pemahaman dalam rupa situasi-situasi yang luar biasa tidak
pernah menyiratkan meredupnya terang cita-cita yang lebih lengkap, atau
mengusulkan tidak kurang dari apa yang ditawarkan Yesus kepada umat manusia.
Hari ini, lebih penting dari reksapastoral dari kegagalan-kegagalan, adalah
usaha pastoral untuk memperkuat perkawinan-perkawinan dan dengan demikian
mencegah kehancuran mereka" (Amoris
Laetitia 307).
Arti
keseluruhan bab dan semangat yang ingin diberikan Paus Fransiskus kepada karya
pastoral Gereja dengan baik dirangkum dalam kata-kata penutup : "Saya
mendorong umat beriman yang menemukan diri mereka dalam situasi-situasi yang
rumit untuk berbicara dengan penuh percaya diri dengan para gembala mereka atau
dengan orang-orang awam lainnya yang hidupnya berkomitmen kepada Tuhan. Mereka
mungkin tidak selalu menemukan di dalam diri mereka sebuah peneguhan
gagasan-gagasan atau keinginan-keinginan mereka sendiri, tetapi mereka pasti
akan menerima beberapa terang untuk membantu mereka dengan lebih baik memahami
situasi mereka dan menemukan jalan untuk pertumbuhan pribadi. Saya juga
mendorong para gembala Gereja untuk mendengarkan mereka dengan kepekaan dan ketenangan,
dengan keinginan yang tulus untuk memahami penderitaan mereka dan sudut pandang
mereka, untuk membantu mereka menghayati dengan lebih baik kehidupan dan
mengenali tempat mereka yang tepat dalam Gereja" (Amoris Laetitia 312).
Tentang
"logika kerahiman pastoral", Paus Fransiskus menekankan :
"Kadang-kadang kita merasa sulit untuk membuat ruang bagi kasih Allah yang
tanpa syarat dalam kegiatan pastoral kita. Kita menempatkan begitu banyak
kondisi berkenaan kerahiman yang kita kosongkan makna dan kepentingannya yang
nyata. Itulah cara terburuk mencurahkan Injil" (Amoris Laetitia 311).
Bab Sembilan:
"Spiritualitas Perkawinan dan Keluarga" (313-325)
Bab sembilan dikhususkan untuk spiritualitas perkawinan dan keluargas, yang "terdiri dari ribuan
gerakan kecil tapi nyata" (Amoris Laetitia 315).
Paus Fransiskus dengan jelas
menyatakan bahwa "orang-orang yang memiliki aspirasi rohani yang mendalam tidak harus merasa bahwa keluarga akan
mengurangi dari pertumbuhan mereka dalam kehidupan Roh Kudus, melainkan melihatnya sebagai jalan yang digunakan Tuhan untuk membawa
mereka ke ketinggian kesatuan mistik" (Amoris Laetitia 316). Segala sesuatunya,
"saat-saat sukacita, santai, perayaan, dan bahkan seksualitas dapat dialami
sebagai berbagi dalam kehidupan penuh kebangkitan" (Amoris Laetitia 317). Beliau kemudian berbicara tentang doa dalam terang Paskah, tentang spiritualitas kasih yang eksklusif dan bebas dalam tantangan dan kerinduan untuk
tumbuh tua bersama-sama, merenungkan kesetiaan Allah
(bdk.
Amoris Laetitia 319). Dan
akhirnya spiritualitas kepedulian, penghiburan dan dorongan : Paus
Fransiskus mengajarkan bahwa "seluruh kehidupan keluarga adalah sebuah 'penggembalaan' dalam kerahiman. Kita
masing-masing, oleh kasih dan kepedulian kita, meninggalkan sebuah tanda pada kehidupan orang lain" (Amoris Laetitia 322). Ini
adalah sebuah
"pengalaman rohani yang mendalam untuk merenungkan orang-orang yang kita kasihi dengan mata Allah dan melihat Kristus di dalam diri mereka" (Amoris Laetitia 323).
Dalam paragraf terakhir Paus Fransiskus menegaskan: "Tidak ada keluarga yang benar-benar dibentuk terpuruk dari surga; keluarga-keluarga perlu terus-menerus bertumbuh dan dewasa dalam kemampuan untuk mengasihi ... Kita semua dipanggil untuk tetap berjuang menuju sesuatu yang lebih besar dari diri kita dan keluarga-keluarga kita, dan setiap keluarga harus merasakan dorongan yang langgeng ini. Marilah kita membuat perjalanan ini sebagai keluarga-keluarga, marilah kita terus berjalan bersama-sama. (...) Semoga kita tidak pernah berkecil hati oleh karena keterbatasan-keterbatasan kita, atau pernah berhenti mencari kepenuhan kasih itu dan persekutuan yang Allah ulurkan di hadapan kita" (Amoris Laetitia 325).
Seruan Apostolik ini diakhiri dengan sebuah
doa kepada Keluarga Kudus.
*****
Sebagaimana dapat
mudah dipahami dari tinjauan singkat dari isinya, Seruan Apostolik Amoris Laetitia berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk menegaskan bukan "keluarga ideal" tetapi kehidupan
keluarga yang sangat kaya dan rumit.
Halaman-halamannya memberikan
tampilan hati yang terbuka, benar-benar positif,
yang dipelihara tidak dengan keniscayaan-keniscayaan atau proyeksi-proyeksi ideal, tetapi dengan
perhatian pastoral terhadap
kenyataan. Teks adalah bacaan yang dekat dengan
kehidupan keluarga, dengan wawasan rohani dan kebijaksanaan praktis yang berguna untuk setiap
pasangan atau pribadi-pribadi manusiawi
yang ingin membangun sebuah keluarga. Terutama, ia dengan
terus terang merupakan hasil perhatian terhadap apa yang telah dihayati orang-orang selama bertahun-tahun. Seruan apostolik Amoris Laetitia : tentang Kasih dalam Keluarga memang berbicara bahasa pengalaman dan bahasa harapan.