SERUAN
APOSTOLIK BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS
GAUDETE ET EXSULTATE (BERSUKACITA DAN BERGEMBIRALAH)
TENTANG
PANGGILAN MENUJU KEKUDUSAN DALAM DUNIA MASA KINI
1.
“BERSUKACITA DAN BERGEMBIRALAH” (Mat 5:12), Yesus
mengatakan kepada mereka yang dianiaya atau dihina demi Dia. Tuhan meminta
segalanya dari kita, dan sebagai imbalannya Ia menawarkan kepada kita kehidupan
sejati, kebahagiaan yang untuknya kita diciptakan. Ia menginginkan kita menjadi
orang-orang kudus dan tidak puas dengan keberadaan yang hambar dan biasa-biasa
saja. Panggilan terhadap kekudusan hadir dengan berbagai cara sejak
perikop-perikop awal Kitab Suci. Kita melihatnya terungkap dalam perkataan
Tuhan kepada Abraham : “Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej 17:
1).
2.
Yang berikut ini tidak dimaksudkan untuk menjadi
sebuah risalah tentang kekudusan, mengandung pengartian dan pembedaan yang
membantu untuk memahami pokok yang penting ini, atau sebuah diskusi tentang
berbagai sarana pengudusan. Dengan tidak menonjolkan diri, tujuan saya adalah menawarkan
kembali panggilan menuju kekudusan dengan cara yang mudah dilaksanakan untuk
masa kita sendiri, dengan seluruh resiko, tantangan, dan peluangnya. Sebab
Tuhan telah memilih kita masing-masing “supaya kita kudus dan tak bercacat di
hadapan-Nya dalam kasih” (Ef 1: 4).
BAB PERTAMA
PANGGILAN MENUJU KEKUDUSAN
ORANG-ORANG KUDUS YANG MENDORONG DAN MENYERTAI KITA
3.
Surat kepada orang Ibrani menyajikan sejumlah
kesaksian yang mendorong kita untuk “berlomba dengan tekun dalam perlombaan
yang diwajibkan bagi kita” (12:1). Surat tersebut berbicara tentang Abraham,
Sarah, Musa, Gideon dan tokoh-tokoh lainnya (bdk. 11:1-12:3). Terutama, surat
tersebut mengundang kita untuk menyadari bahwa “awan besar para saksi” (12:1)
mendesak kita untuk terus maju menuju tujuan. Saksi-saksi ini mungkin termasuk para
ibu kita sendiri, para nenek atau orang-orang lain yang kita cintai (bdk. 2 Tim
1:5). Kehidupan mereka mungkin tidak selalu sempurna, tetapi bahkan di tengah
kesalahan dan kegagalan mereka, mereka terus bergerak maju dan terbukti berkenan
bagi Tuhan.
4.
Orang-orang kudus yang sekarang berada di hadirat
Allah melestarikan ikatan kasih dan persekutuan mereka dengan kita. Kitab Wahyu
membenarkan hal ini ketika ia berbicara tentang perantaraan para martir: “Aku
melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman
Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki. Dan mereka berseru dengan
suara nyaring, katanya: ‘Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar,
Engkau tidak menghakimi?" (6:9-10). Kita masing-masing dapat mengatakan :
“Dikelilingi, dituntun dan dibimbing oleh sahabat-sahabat Allah ... Saya tidak
harus mengatasi sendirian apa yang, sebenarnya, tidak pernah dapat saya atasi
sendirian. Seluruh orang kudus Allah ada di sana untuk melindungi saya,
mendukung saya dan menggotong saya”. [1]
5.
Proses beatifikasi dan kanonisasi mengenali
tanda-tanda kebajikan heroik, pengorbanan hidup seseorang dalam kemartiran, dan
kasus-kasus tertentu di mana kehidupan selalu ditawarkan untuk orang lain,
bahkan sampai wafat. Hal ini menunjukkan peneladanan Kristus, teladan yang
layak dikagumi umat beriman.[2]
Kita dapat memikirkan, misalnya, Beata Maria Gabriella Sagheddu, yang mempersembahkan
hidupnya untuk persatuan umat kristiani.
ORANG-ORANG KUDUS "PINTU
SEBELAH"
6.
Tidak perlu kita memikirkan hanya mereka yang sudah
dibeatifikasi dan dikanonisasi. Roh Kudus menganugerahkan kekudusan dalam
kelimpahan di antara umat Allah yang kudus, karena “Allah bermaksud
menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan
satu dengan yang lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang
mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci”.[3]
Dalam sejarah keselamatan, Tuhan menyelamatkan satu umat. Kita tidak pernah
sepenuhnya menjadi diri kita sendiri kecuali kita milik satu umat. Itulah
sebabnya tidak ada orang yang diselamatkan sendirian, sebagai individu yang terasing.
Sebaliknya, Allah menarik kita kepada diri-Nya, dengan memperhitungkan jalinan
majemuk hubungan antarpribadi yang ada dalam satu komunitas manusia. Allah
ingin masuk ke dalam kehidupan dan sejarah satu umat.
7.
Saya suka merenungkan kekudusan yang hadir dalam
kesabaran umat Allah : dalam diri para orang tua yang membesarkan anak-anak
mereka dengan kasih yang besar, dalam diri pria dan wanita yang bekerja keras
untuk mendukung keluarga-keluarga mereka, dalam diri orang-orang sakit, dalam
diri kaum religius yang berusia lanjut yang tidak pernah kehilangan senyuman
mereka. Dalam ketekunan mereka sehari-hari saya melihat kekudusan militansi
Gereja. Sangat sering kekudusan ditemukan dalam sesama kita di pintu sebelah,
mereka yang, hidup di tengah-tengah kita, mencerminkan kehadiran Allah. Kita
mungkin menyebut mereka "kelas menengah kekudusan".[4]
8.
Marilah kita terpacu oleh tanda-tanda kekudusan
yang ditunjukkan Tuhan kepada kita melalui anggota-anggota yang paling rendah
hati dari umat tersebut yang “ambil bagian juga dalam tugas kenabian
Kristus, dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentang-Nya terutama melalui
hidup iman dan cinta kasih".[5]
Kita seharusnya mempertimbangkan fakta bahwa, seperti disarankan oleh Santa
Teresa Benedikta dari Salib, sejarah yang sesungguhnya dijadikan oleh banyak
dari mereka. Sebagaimana dituliskannya : “Tokoh-tokoh kenabian dan kekudusan
yang terbesar melangkah keluar dari malam yang paling gelap. Tetapi untuk
sebagian besar orang, arus perkembangan kehidupan mistik tetap tidak terlihat.
Tentu saja titik balik yang paling menentukan dalam sejarah dunia pada pokoknya
ditentukan secara bersama-sama oleh jiwa-jiwa yang tidak pernah disebutkan
dalam buku sejarah. Dan kita hanya akan mengetahui tentang jiwa-jiwa tersebut yang
kepada mereka kita menerima titik balik yang menentukan dalam kehidupan pribadi
kita pada hari ketika segala yang tersembunyi dinyatakan”.[6]
9.
Kekudusan adalah wajah Gereja paling menarik.
Tetapi bahkan di luar Gereja Katolik dan dalam berbagai konteks, Roh Kudus
memunculkan “tanda-tanda kehadiran-Nya yang membantu para pengikut Kristus”.[7]
Santo Yohanes Paulus II mengingatkan kita bahwa "kesaksian terhadap
Kristus yang dilahirkan bahkan hingga penumpahan darah telah menjadi warisan bersama
umat Katolik, Ortodoks, Anglikan dan Protestan".[8]
Dalam peringatan ekumenis yang mengharukan di Koloseum selama Yubileum Agung tahun
2000, beliau menyatakan bahwa para martir adalah "warisan yang berbicara
lebih kuat daripada seluruh penyebab perpecahan".[9]
TUHAN MEMANGGIL
10.
Semua ini penting. Tetapi dengan seruan ini saya
ingin menekankan terutama panggilan menuju
kekudusan yang dialamatkan Tuhan kepada kita masing-masing, panggilan yang juga
Ia alamatkan, secara pribadi, kepada kamu : "Haruslah kamu kudus, sebab
Aku ini kudus" (Im 11:44; bdk. 1 Ptr 1:16). Konsili Vatikan II menyatakan
hal ini dengan jelas : “Diteguhkan dengan
upaya-upaya keselamatan sebanyak dan sebesar itu, semua orang beriman, dalam
keadaan dan status manapun juga, dipanggil oleh Tuhan untuk menuju kesucian
yang sempurna seperti Bapa sendiri sempurna, masing-masing melalui jalannya
sendiri”.[10]
11.
"Masing-masing dengan caranya sendiri",
kata Konsili. Kita seharusnya tidak berkecil hati di hadapan berbagai teladan kekudusan
yang tampaknya tidak mungkin tercapai. Ada beberapa kesaksian yang mungkin
terbukti bermanfaat dan mengilhami, tetapi kita tidak dimaksudkan untuk menjiplak, karena
hal itu bahkan dapat menyesatkan kita dari satu jalan tertentu yang dimaksudkan
Tuhan bagi kita. Yang penting yakni setiap orang percaya melihat jalannya
sendiri, mereka mengeluarkan yang terbaik dari diri mereka sendiri, karunia-karunia
paling pribadi yang telah ditempatkan Allah di dalam hati mereka (bdk. 1Kor
12:7), bukannya dengan berputus asa berusaha mencontoh sesuatu yang tidak
dimaksudkan untuk mereka. Kita semua dipanggil untuk menjadi saksi-saksi,
tetapi ada banyak cara nyata untuk memberikan kesaksian.[11]
Memang, ketika sang mistikus besar, Santo Yohanes dari Salib, menulis Kidung
Rohani-nya, ia lebih suka menghindari semua peraturan yang kaku dan ketat. Ia
menjelaskan bahwa ayat-ayatnya disusun sehingga setiap orang dapat mengambil
manfaat dari ayat-ayat tersebut “dengan caranya sendiri”.[12] Karena
kehidupan Allah disampaikan “kepada beberapa orang dengan satu cara dan kepada
orang lain dengan cara lain”.[13]
12.
Dalam berbagai bentuk ini, saya akan menekankan
juga bahwa “kejeniusan perempuan” terlihat dalam gaya kekudusan yang bersifat
kewanitaan, yang merupakan sarana penting untuk merenungkan kekudusan Allah di
dunia ini. Memang, pada masa-masa ketika para perempuan cenderung paling
diabaikan atau dipandang rendah, Roh Kudus membangkitkan orang-orang kudus yang
daya tariknya menghasilkan semangat rohani baru dan reformasi penting dalam
Gereja. Kita dapat menyebut Santa Hildegard dari Bingen, Santa Brigita, Santa Katarina
dari Siena, Santa Teresa dari Avila, dan Saint Teresa dari Lisieux. Tetapi saya
juga memikirkan seluruh perempuan yang tak terkenal atau terlupakan yang,
masing-masing dengan caranya sendiri, mendukung dan mengubah keluarga-keluarga
dan komunitas-komunitas melalui kekuatan kesaksian mereka.
13.
Hal ini seharusnya membangkitkan semangat dan
mendorong kita untuk memberikan segalanya dan merangkul rencana unik yang
dikehendaki Allah terhadap diri kita masing-masing sejak kekekalan :
"Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal
engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau"
(Yer 1:5).
BAGI KAMU JUGA
14.
Untuk menjadi kudus tidak perlu menjadi uskup, imam
atau kaum religius. Kita sering tergoda untuk berpikir bahwa kekudusan hanya
bagi mereka yang dapat menarik diri dari urusan biasa guna menghabiskan banyak
waktu dalam doa. Bukan itu masalahnya. Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus
dengan menjalani hidup kita dengan kasih dan dengan memberikan kesaksian dalam
segala hal yang kita lakukan, di mana pun kita berada. Apakah kamu dipanggil
untuk hidup bakti? Jadilah kudus dengan menjalankan tanggung jawabmu dengan
sukacita. Apakah kamu sudah menikah? Jadilah kudus dengan mengasihi dan merawat
suami atau istrimu, seperti yang dilakukan Kristus kepada Gereja. Apakah kamu
bekerja untuk mencari nafkah? Jadilah kudus dengan bekerja secara tulus hati
dan terampil dalam melayani saudara-saudarimu. Apakah kamu orangtua atau
kakek-nenek? Jadilah kudus dengan secara sabar mengajarkan anak-anak kecil
bagaimana mengikuti Yesus. Apakah kamu dalam posisi berwenang? Jadilah kudus
dengan bekerja untuk kebaikan bersama dan meniadakan keuntungan pribadi.[14]
15.
Biarkanlah rahmat pembaptisanmu menghasilkan buah
di jalan kekudusan. Biarkanlah semuanya terbuka terhadap Allah; berpalinglah
kepada-Nya dalam setiap situasi. Jangan cemas, karena kuasa Roh Kudus
memampukan kamu untuk melakukan hal ini, dan kekudusan, pada akhirnya, adalah
buah Roh Kudus dalam kehidupanmu (bdk. Gal 5:22-23). Ketika kamu merasa tergoda
untuk berdiam dalam kelemahanmu sendiri, angkatlah matamu kepada Kristus yang tersalib
dan katakanlah : “Tuhan, aku orang berdosa yang malang, tetapi Engkau dapat melakukan
mukjizat untuk menjadikanku sedikit lebih baik”. Dalam Gereja, yang kudus namun
terdiri dari orang-orang berdosa, kamu akan menemukan semua yang kamu butuhkan
untuk bertumbuh menuju kekudusan. Tuhan telah menganugerahkan kepada Gereja
karunia-karunia tulisan suci, sakramen-sakramen, tempat-tempat kudus, komunitas-komunitas
yang hidup, kesaksian orang-orang kudus dan keindahan yang beraneka ragam yang
berasal dari kasih Allah, “seperti pengantin perempuan yang memakai
perhiasannya” (Yes 61:10).
16.
Kekudusan ini yang kepadanya Tuhan memanggilmu akan
tumbuh melalui isyarat-isyarat kecil. Berikut ini contohnya : seorang perempuan
pergi berbelanja, ia bertemu dengan seorang tetangga dan mereka mulai
berbicara, dan gosip dimulai. Namun ia mengatakan dalam hatinya : "Tidak, aku
tidak akan berbicara buruk tentang siapa pun". Ini adalah sebuah langkah
maju dalam kekudusan. Kemudian, di rumah, salah satu anaknya ingin berbicara
dengannya tentang harapan dan impiannya, serta meskipun sesungguhnya ia lelah,
ia duduk dan mendengarkan dengan kesabaran dan cinta. Itulah pengorbanan lain
yang membawa kekudusan. Kemudian ia mengalami beberapa kecemasan, tetapi mengingat
kasih Perawan Maria, ia mengambil rosarionya dan berdoa dengan iman. Masih
jalan kekudusan yang lain. Belakangan, ia pergi ke jalan, berjumpa orang miskin
dan berhenti untuk mengucapkan kata ramah kepadanya. Satu langkah lagi.
17.
Kadang-kadang, kehidupan menghadirkan tantangan-tantangan
besar. Melalui tantangan-tantangan tersebut, Tuhan memanggil kita kembali kepada
pertobatan yang dapat menjadikan rahmat-Nya lebih nyata dalam kehidupan kita, “supaya
kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya” (Ibr 12:10). Di lain waktu, kita hanya
perlu menemukan cara yang lebih sempurna untuk melakukan apa yang sudah kita
lakukan : "Ada ilham yang cenderung semata-mata untuk menyempurnakan
dengan cara yang luar biasa dari hal-hal biasa yang kita lakukan dalam kehidupan".[15]
Ketika Kardinal François-Xavier Nguyên van Thuân dipenjara, ia menolak membuang-buang
waktu menunggu hari pembebasannya. Sebaliknya, ia memilih "untuk menjalani
saat sekarang, mengisinya sampai meluap dengan kasih". Ia memutuskan : “Aku
akan memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang menghadirkan diri setiap hari; aku
akan melakukan tindakan-tindakan biasa dengan cara yang luar biasa”.[16]
18.
Dengan cara ini, dituntun oleh kasih karunia Allah,
kita membentuk dengan banyak isyarat kecil kekudusan yang dikehendaki Allah
terhadap kita, bukan sebagai laki-laki dan perempuan yang mencukupkan diri sendiri
melainkan “sebagai pengurus yang baik dari berbagai kasih karunia Allah” (1 Ptr
4:10). Para uskup Selandia Baru dengan tepat mengajarkan kepada kita bahwa kita
mampu mengasihi dengan kasih Tuhan yang tak bersyarat, karena Tuhan yang bangkit
mengikutsertakan kehidupan-Nya yang penuh kuasa dengan kehidupan kita yang
rapuh : “Kasih-Nya tidak terbatas dan, sekali diberikan, tidak pernah diambil
kembali. Kasih-Nya tak bersyarat dan tetap setia. Mengasihi seperti itu tidaklah
mudah karena kita sering sangat lemah. Tetapi hanya berusaha mengasihi seperti
Kristus mengasihi kita menunjukkan bahwa Kristus mengikutsertakan kehidupan-Nya
sendiri dengan kita. Dengan cara ini, kehidupan kita menunjukkan kuasa-Nya bekerja
- bahkan di tengah-tengah kelemahan manusia”.[17]
PERUTUSANMU DI DALAM KRISTUS
19.
Orang kristiani tidak dapat memikirkan perutusannya
di bumi tanpa melihatnya sebagai jalan kekudusan, karena “inilah kehendak
Allah: pengudusanmu” (1 Tes 4:3). Setiap orang kudus adalah sebuah perutusan,
yang direncanakan oleh Bapa guna mencerminkan dan mewujudkan, pada saat
tertentu dalam sejarah, aspek tertentu dari Injil.
20. Perutusan tersebut memiliki makna paling penuh dalam Kristus, dan hanya
dapat dipahami melalui Dia. Pada intinya, kekudusan sedang mengalami, dalam persekutuan
dengan Kristus, misteri-misteri kehidupan-Nya. Perutusan mencakup penyatuan
diri kita dengan wafat dan kebangkitan Tuhan dengan cara yang unik dan bersifat
pribadi, terus-menerus wafat dan bangkit kembali bersama Dia. Tetapi perutusan
juga dapat melibatkan penghasilan ulang dalam kehidupan kita berbagai aspek
kehidupan duniawi Yesus : kehidupan-Nya yang tersembunyi, kehidupan-Nya dalam
komunitas, kedekatan-Nya dengan orang yang terpinggirkan, kemiskinan-Nya, dan
cara-cara lain yang di dalamnya Ia menunjukkan kasih-Nya yang rela berkorban.
Permenungan misteri-misteri ini, seperti ditunjukkan oleh Santo Ignatius dari
Loyola, menuntun kita untuk menjelmakan misteri-misteri tersebut dalam pilihan
dan sikap kita.[18]
Karena “segala sesuatu dalam kehidupan Yesus adalah tanda dari misteri-Nya”[19],
“Seluruh hidup Kristus adalah wahyu tentang Bapa”[20],
“Seluruh hidup Kristus adalah misteri penebusan”[21],
“Seluruh Kristus hidup adalah misteri pengumpulan baru”[22].
“Kristus mengajak kita untuk menghidupi di dalam diri-Nya segala
sesuatu yang pernah Ia hidupi dan sekarang Ia hidupi di dalam diri kita”.[23]
21.
Rencana Bapa adalah Kristus, dan diri kita sendiri
di dalam Dia. Pada akhirnya, Kristuslah yang mengasihi di dalam diri kita,
karena “kekudusan tidak lain adalah amal kasih yang hidup hingga kepenuhannya”.[24]
Sebagai hasilnya, “ukuran kekudusan kita berasal dari keunggulan yang dicapai Kristus
di dalam diri kita, sejauh, melalui kuasa Roh Kudus, kita mencontohkan seluruh
hidup kita pada diri-Nya”.[25]
Setiap orang kudus adalah sebuah pesan yang diambil oleh Roh Kudus dari
kekayaan Yesus Kristus dan diberikan kepada umat-Nya.
22.
Mengenali kata yang Tuhan ingin sampaikan kepada
kita melalui salah satu orang kudus-Nya, kita tidak perlu terperangkap dalam
rincian, karena di sana kita mungkin juga menghadapi kesalahan dan kegagalan.
Tidak semua yang dikatakan orang kudus sepenuhnya setia kepada Injil; tidak
semua yang dilakukannya otentik atau sempurna. Apa yang perlu kita renungkan
adalah totalitas kehidupan mereka, seluruh perjalanan pertumbuhan mereka dalam
kekudusan, permenungan akan Yesus Kristus yang muncul ketika kita memahami makna
keseluruhan mereka sebagai pribadi.[26]
23.
Inilah panggilan yang kuat untuk kita semua. Kamu
juga perlu melihat keseluruhan kehidupanmu sebagai sebuah perutusan. Cobalah
melakukannya dengan mendengarkan Allah dalam doa dan mengenali tanda-tanda yang
diberikan-Nya kepadamu. Bertanyalah selalu kepada Roh Kudus apa yang diharapkan
Yesus daripadamu setiap saat dalam kehidupanmu dan dalam setiap keputusan yang
harus kamu buat, sehingga dapat melihat tempatnya dalam perutusan yang kamu
terima. Biarkanlah Roh Kudus untuk menempa di dalam dirimu misteri pribadi yang
dapat mencerminkan Yesus Kristus di dunia saat ini.
24. Semoga kamu menyadari apa arti kata itu, pesan Yesus bahwa Allah ingin
berbicara kepada dunia melalui kehidupanmu. Biarkanlah dirimu berubah. Biarkanlah
dirimu diperbarui oleh Roh Kudus, sehingga hal ini bisa terjadi, jangan sampai kamu
gagal dalam perutusanmu yang berharga. Tuhan akan membawanya kepada pemenuhan
meskipun kamu keliru dan salah langkah, asalkan kamu tidak meninggalkan jalan kasih
tetapi tetap sungguh terbuka pada rahmat adikodrati-Nya, yang memurnikan dan
menerangi.
KEGIATAN YANG MENGUDUSKAN
25.
Sama seperti kamu tidak dapat memahami Kristus
terpisah dari kerajaan yang Ia bawa, demikian juga perutusan pribadimu tidak
dapat terpisah dari pembangunan kerajaan itu : “Carilah dahulu Kerajaan Allah
dan kebenarannya” (Mat 6:33). Pengenalanmu dengan Kristus dan kehendak-Nya
melibatkan tanggung jawab untuk membangun bersama-Nya kerajaan kasih, keadilan,
dan perdamaian dunia. Kristus sendiri ingin mengalami hal ini bersamamu, dalam
seluruh upaya dan pengorbanan yang ditimbulkannya, tetapi juga dalam seluruh
sukacita dan pengayaan yang dibawanya. Kamu tidak dapat bertumbuh dalam
kekudusan tanpa memperlakukan diri sendiri, tubuh dan jiwa, guna memberikan
yang terbaik untuk kerja keras ini.
26. Tidaklah sehat mencintai keheningan seraya melarikan diri dari interaksi
dengan orang lain, menginginkan kedamaian dan ketenangan sambil menghindari kegiatan,
mengusahakan doa seraya meremehkan pelayanan. Segala sesuatunya dapat diterima
dan disatupadukan ke dalam kehidupan kita di dunia ini, dan menjadi bagian dari
jalan kita menuju kekudusan. Kita dipanggil untuk menjadi kontemplatif bahkan
di tengah-tengah tindakan, dan bertumbuh dalam kekudusan dengan secara
bertanggung jawab dan bermurah hati melaksanakan perutusan kita yang wajar.
27.
Mungkinkah Roh Kudus mendesak kita untuk
melaksanakan perutusan dan kemudian meminta kita untuk meninggalkannya, atau
tidak sepenuhnya terlibat di dalamnya, agar dapat menjaga kedamaian batin kita?
Tetapi ada kalanya kita tergoda untuk menomorduakan keterlibatan atau pelaksanaan
pastoral di dunia, seolah-olah merupakan
"gangguan" di sepanjang jalan menuju pertumbuhan dalam kekudusan dan
kedamaian batin. Kita dapat lupa bahwa “kehidupan tidak memiliki perutusan,
tetapi merupakan perutusan”.[27]
28. Tak perlu dikatakan, apa pun yang dilakukan karena kecemasan, kebanggaan
atau kebutuhan untuk mengesankan orang lain tidak akan mengarah pada kekudusan.
Kita ditantang untuk menunjukkan tanggung jawab kita sedemikian rupa agar semua
yang kita lakukan memiliki makna injili dan diri kita semakin menyerupai Yesus
Kristus. Kita sering berbicara, misalnya, tentang spiritualitas katekis,
spiritualitas imam keuskupan, spiritualitas kerja. Untuk alasan yang sama,
dalam Evangelii Gaudium saya
menyimpulkan dengan berbicara tentang spiritualitas perutusan, dalam Laudato Si' tentang spiritualitas
ekologis, dan dalam Amoris Laetitia
tentang spiritualitas kehidupan keluarga.
29. Hal ini tidak berarti mengabaikan kebutuhan akan saat-saat tenang, sendirian
dan hening di hadapan Allah. Justru sebaliknya. Kehadiran gawai-gawai baru yang
terus-menerus, kehebohan perjalanan, dan barang-barang konsumsi tanpa henti
terkadang tidak menyisakan ruang untuk mendengarkan suara Allah. Kita diliputi
oleh kata-kata, oleh kesenangan-kesenangan yang dangkal dan dengan hiruk-pikuk
yang meningkat, dipenuhi bukan oleh sukacita melainkan oleh ketidakpuasan dari orang-orang
yang hidupnya telah kehilangan makna. Bagaimana kita bisa gagal menyadari perlunya
menghentikan perlombaan yang mengganggu ini dan memulihkan ruang pribadi yang
diperlukan untuk melakukan dialog yang tulus dengan Allah? Menemukan ruang
tersebut mungkin terbukti menyakitkan tetapi selalu bermanfaat. Cepat atau
lambat, kita harus menghadapi diri kita yang sebenarnya dan membiarkan Tuhan
masuk. Hal ini mungkin tidak terjadi kecuali “kita melihat diri kita menatap ke
dalam jurang pencobaan yang mengerikan, atau memiliki sensasi yang memusingkan
berdiri di atas jurang keputusasaan, atau menemukan diri kita sepenuhnya
sendirian dan terlantar”.[28]
Dalam situasi seperti itu, kita menemukan motivasi terdalam untuk sepenuhnya
menjalankan tanggung jawab kita terhadap karya kita.
30. Kebingungan yang sama yang ada di mana-mana di dunia saat ini juga
membuat kita cenderung untuk memutlakkan waktu luang kita, sehingga kita sudi
menyerahkan diri sepenuhnya kepada perangkat yang memberi kita hiburan atau
kesenangan sekejab.[29]
Sebagai hasilnya, kita mulai membenci perutusan kita, tanggung jawab kita
menjadi kendor, dan semangat pelayanan kita yang murah hati dan siap sedia
mulai merunduk. Hal ini menyangkal pengalaman rohani kita. Dapatkah semangat rohani
apa pun menjadi sehat ketika ia berdiam di samping kelambanan dalam penginjilan
atau dalam melayani orang lain?
31.
Kita membutuhkan roh kekudusan yang mampu mengisi
kesendirian kita maupun pelayanan kita, kehidupan pribadi kita maupun upaya-upaya
penginjilan kita, sehingga setiap saat dapat menjadi ungkapan kasih yang rela
berkorban di mata Tuhan. Dengan cara ini, setiap menit kehidupan kita dapat
menjadi langkah di sepanjang jalan menuju pertumbuhan dalam kekudusan.
SEMAKIN HIDUP, SEMAKIN MANUSIAWI
32.
Jangan takut akan kekudusan. Kekudusan tidak akan
menghilangkan energi, daya hidup, atau sukacitamu. Sebaliknya, kamu akan
menjadi apa yang dipikirkan Bapa ketika Ia menciptakanmu, dan kamu akan setia
kepada dirimu yang terdalam. Tergantung pada Allah membebaskan kita dari setiap
bentuk perbudakan dan menuntun kita untuk mengenali agungnya martabat kita.
Kita melihat hal ini dalam diri Santa Yosefin Bakhita : “Diculik dan dijual
sebagai budak pada usia tujuh tahun, ia sangat menderita di tangan para majikan
yang kejam. Tetapi ia datang untuk memahami kebenaran yang mendalam bahwa Allah,
dan bukan manusia, adalah Majikan yang sesungguhnya dari setiap manusia, dari
setiap kehidupan manusia. Pengalaman ini menjadi sumber kebijaksanaan yang besar
bagi putri Afrika yang sederhana ini”.[30]
33.
Sejauh masing-masing umat kristiani bertumbuh dalam
kekudusan, ia akan semakin menghasilkan buah bagi dunia kita. Para uskup Afrika
Barat telah mengamati bahwa “kita sedang dipanggil dalam semangat Evangelisasi
Baru untuk diinjili dan menginjili melalui pemberdayaan kamu semua, orang-orang
yang dibaptis, untuk berperan sebagai garam dunia dan terang dunia di mana pun kamu
mendapati dirimu”.[31]
34. Jangan takut untuk mengarahkan pandanganmu lebih tinggi, membiarkan
dirimu dikasihi dan dibebaskan oleh Allah. Jangan takut membiarkan dirimu
dibimbing oleh Roh Kudus. Kekudusan tidak membuatmu kurang manusiawi, karena kekudusan
adalah perjumpaan antara kelemahanmu dan kekuatan rahmat Allah. Karena dalam
kata-kata León Bloy, ketika seluruhnya diucapkan dan dilakukan,
"satu-satunya tragedi besar dalam kehidupan, bukanlah menjadi orang
kudus".[32]
BAGIAN KEDUA
DUA SETERU
YANG TAK KENTARA DARI KEKUDUSAN
35.
Di sini saya ingin menyebutkan dua bentuk kekudusan
palsu yang dapat menyesatkan kita : gnostisisme dan pelagianisme. Mereka adalah
dua bidah dari masa-masa awal kekristenan, tetapi mereka terus mengganggu kita.
Di masa kita juga, banyak umat kristiani, mungkin tanpa disadari, dapat tergoda
oleh gagasan-gagasan yang menipu ini, yang mencerminkan imanentisme
antroposentrik yang disamarkan sebagai kebenaran Katolik.[33]
Marilah kita lihat dua bentuk perlindungan doktrinal atau disipliner yang
menimbulkan "elitisme yang narsis dan
otoriter, yang dengannya orang tidak mewartakan Kabar Baik, tetapi justru memisahkan
dan menggolong-golongkan orang lain. Ia cenderung tidak membuka pintu rahmat.
Sebaliknya, ia menghabiskan tenaganya untuk mengawasi dan menilai orang lain. Kedua
kecenderungan itu tidak menaruh perhatian yang sungguh terhadap Yesus Kristus
atau sesama”.[34]
GNOSTISISME MASA KINI
36. Gnostisisme mengandaikan "iman yang murni subyektif yang hanya
tertarik pada pengalaman tertentu atau serangkaian gagasan dan potongan
informasi yang dimaksudkan untuk menghibur dan mencerahkan, tetapi yang pada
akhirnya membuat seseorang terpenjara dalam pikiran dan perasaannya
sendiri".[35]
Kecerdasan tanpa Allah dan tanpa tubuh
37.
Syukur kepada Allah, sepanjang sejarah Gereja
selalu jelas bahwa kesempurnaan seseorang diukur bukan oleh informasi atau
pengetahuan yang mereka miliki, tetapi oleh kedalaman amal kasih mereka. Kaum "Gnostik"
tidak memahami hal ini, karena mereka menilai orang lain berdasarkan kemampuan
mereka untuk memahami rumitnya ajaran tertentu. Mereka memikirkan kecerdasan terpisah
dari tubuh, dan dengan demikian menjadi tidak mampu menjamah tubuh Kristus yang
sedang menderita dalam diri orang lain, terkunci karena mereka berada dalam sebuah
ensiklopedi keniskalaan. Pada akhirnya, dengan tanpa menyadari misteri
tersebut, mereka lebih memilih "Allah tanpa Kristus, Kristus tanpa Gereja,
Gereja tanpa umatnya".[36]
38. Tentu saja hal ini adalah keangkuhan yang dangkal : ada banyak gerakan
di permukaan, tetapi pikiran tidak terlalu terjamah atau terpengaruh. Tetapi,
gnostisisme menunjukkan daya tarik yang menipu bagi sebagian orang, karena
pendekatan gnostik bersifat ketat dan murni menurut dugaan orang, serta dapat
tampak memiliki keselarasan atau tatanan tertentu yang mencakup segalanya.
39. Di sini kita harus berhati-hati. Saya tidak mengacu pada rasionalisme
yang bertentangan dengan iman kristiani. Rasionalisme dapat hadir di dalam
Gereja, baik di antara umat awam di paroki-paroki maupun para guru filsafat dan
teologi di pusat-pusat pembinaan. Kaum Gnostik berpikir bahwa penjelasan mereka
dapat membuat keseluruhan iman dan Injil dapat dipahami dengan sempurna. Mereka
mengesampingkan teori mereka sendiri dan memaksa orang lain untuk tunduk pada
cara berpikir mereka. Penggunaan akal sehat dan sederhana untuk merenungkan
ajaran teologis dan moral dari Injil adalah satu hal. Hal lainnya mengurangi ajaran
Yesus menjadi nalar yang dingin dan kasar yang berusaha menguasai segalanya.[37]
Ajaran tanpa misteri
40. Gnostisisme adalah salah satu ideologi yang paling jahat karena, seraya
pengetahuan yang terlampau mengagungkan atau pengalaman tertentu, Gnostisisme
menganggap sempurna daya pandangnya terhadap kenyataan. Oleh karena itu,
mungkin tanpa disadari, ideologi ini memakan dirinya sendiri dan bahkan menjadi
semakin rabun dekat. Gnostisisme bisa semakin menjadi khayalan ketika bertopengkan
spiritualitas tanpa tubuh. Karena gnostisisme "oleh kodratnya berusaha
untuk menjinakkan misteri",[38] entah
misteri Allah dan rahmat-Nya, entah misteri kehidupan orang lain.
41.
Ketika seseorang memiliki jawaban untuk setiap
pertanyaan, tandanya mereka tidak berada di jalan yang benar. Mereka mungkin
adalah nabi-nabi palsu, yang menggunakan agama untuk tujuan mereka sendiri,
untuk mempromosikan teori-teori psikologi atau intelektual mereka sendiri.
Allah jauh melampaui kita; Ia penuh dengan kejutan. Kita bukan orang-orang yang
menentukan kapan dan bagaimana kita akan berjumpa dengan-Nya; waktu dan tempat yang
pasti dari perjumpaan itu tidak tergantung pada kita. Seseorang yang ingin
segalanya menjadi jelas dan pasti memberanikan diri untuk mengendalikan
transendensi Allah.
42. Kita juga tidak bisa mengatakan di mana tidak ada Allah, karena Allah
secara misterius hadir dalam kehidupan setiap orang, dengan cara yang dipilih-Nya
sendiri, dan kita tidak dapat mengecualikan hal ini dengan kepastian-kepastian
yang kita kira. Bahkan ketika kehidupan seseorang benar-benar hancur, bahkan
ketika kita melihatnya dihancurkan oleh sifat buruk atau kecanduan, Allah hadir
di sana. Jika kita membiarkan diri kita dibimbing oleh Roh ketimbang prasangka-prasangka
kita sendiri, kita dapat dan harus berusaha menemukan Tuhan dalam setiap
kehidupan manusia. Inilah bagian dari misteri yang tidak dapat diterima mentalitas
gnostik, karena itu di luar kendalinya.
Keterbatasan Akal Budi
43. Tidak mudah untuk memegang erat kebenaran yang telah kita terima dari
Tuhan. Dan bahkan lebih sulit mengungkapkannya. Jadi kita tidak dapat menuntut
bahwa cara kita memahami kebenaran ini memberi kita kewenangan untuk melakukan
pengawasan ketat atas kehidupan orang lain. Di sini saya akan mencatat bahwa di
dalam Gereja diakui terdapat berbagai cara menafsirkan banyak segi ajaran dan
kehidupan kristiani yang hidup berdampingan; dalam keanekaragamannya, cara-cara
tersebut “menolong untuk mengungkapkan dengan lebih jelas kekayaan sabda Allah
yang luar biasa”. Memang benar bahwa "bagi mereka yang merindukan ajaran
yagn utuh tentang Allah yang Esa yang dikawal dan dijaga sedemikian rupa
sehingga tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk pembiasan, yaitu ajaran yang
kabur dan tak sempurna".[39]
Memang, beberapa aliran gnostisisme mencela kesederhanaan nyata dari Injil dan
berusaha untuk menggantikan Allah Tritunggal yang menjelma dengan Kesatuan yang
unggul, di mana kekayaan keragaman sejarah kita lenyap.
44. Sebenarnya, ajaran, atau lebih baik, pemahaman dan ungkapan kita
terhadap ajaran tersebut, “bukanlah sistem tertutup, tanpa kemampuan dinamis
untuk mengajukan pertanyaan, keraguan, pemeriksaan ... Pertanyaan umat kita,
penderitaan mereka, perjuangan mereka, mimpi mereka, pencobaan mereka, dan
kekhawatiran mereka, semuanya memiliki nilai tafsir yang tidak dapat kita
abaikan jika kita ingin mengambil prinsip penjelmaan dengan sungguh-sungguh. Rasa
penasaran mereka membantu kita untuk bertanya-tanya, pertanyaan mereka menanyai
kita”.[40]
45. Kebingungan yang membahayakan dapat muncul. Kita dapat berpikir bahwa
karena kita mengetahui sesuatu, atau mampu menjelaskannya dalam istilah-istilah
tertentu, kita sudah menjadi orang kudus, sempurna dan lebih baik daripada
“orang-orang bodoh”. Santo Yohanes Paulus II memperingatkan tentang godaan pada
pihak umat dalam Gereja yang berpendidikan lebih tinggi yang "merasa lebih
baik dari umat lainnya".[41]
Kenyataannya, apa yang kita pikirkan kita pahami seharusnya selalu memotivasi
kita untuk semakin penuh menanggapi kasih Allah. Memang, "kamu belajar
untuk menghayati : teologi dan kekudusan tidak dapat dipisahkan".[42]
46. Ketika Santo Fransiskus dari Asisi melihat bahwa beberapa muridnya
terlibat dalam pengajaran, ia ingin menghindari godaan kepada gnostisisme. Ia
menulis kepada Santo Antonius dari Padua : "Aku senang karena kamu mengajarkan
teologi suci kepada saudara-saudari, asalkan ... kamu tidak memadamkan semangat
doa dan devosi selama belajar semacam ini".[43] Santo
Fransiskus mengenali godaan untuk mengubah pengalaman kristiani menjadi
serangkaian latihan kecerdasan yang menjauhkan kita dari kesegaran Injil. Santo
Bonaventura, di sisi lain, menunjukkan bahwa kebijaksanaan kristiani sejati
tidak akan pernah dapat terpisahkan dari kerahiman terhadap sesama kita :
"Kebijaksanaan yang mungkin paling luar biasa adalah berbagi secara
bermanfaat apa yang harus kita berikan ... Bahkan ketika kerahiman adalah sejawat
dari kebijaksanaan, keserakahan adalah musuhnya”.[44] “Ada
kegiatan-kegiatan yang, dipersatukan dengan kontemplasi, tidak menghalangi kebijaksanaan,
tetapi semakin memfasilitasinya, seperti karya kerahiman dan devosi”.[45]
PELAGIANISME MASA KINI
47. Gnostisisme memberi jalan kepada bidaah lainnya, yang juga hadir di
zaman kita. Seiring berjalannya waktu, banyak yang menyadari bahwa bukan
pengetahuan yang menjadikan kita lebih baik atau menjadikan kita orang kudus,
tetapi jenis kehidupan yang kita jalani. Tetapi ini secara tidak kentara
memunculkan kembali kesalahan lama kaum gnostik, yang hanya berubah bentuk,
bukan malahan lenyap.
48. Kekuatan yang sama yang dikaitkan kaum gnostik dengan kaum intelek, kaum
lainnya sekarang mulai mengaitkan dengan kehendak manusia, dengan usaha
pribadi. Inilah persoalan dengan kaum pelagian dan kaum semi-pelagian. Sekarang
bukan kecerdasan yang menggantikan misteri dan rahmat, tetapi kehendak
manusiawi kita. Segala sesuatunya “tidak tergantung pada kehendak orang atau
usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah” (Rm 9:16) dan “Ia lebih dahulu
mengasihi kita” (bdk. 1 Yoh 4:19) sudah terlupakan.
Kehendak tanpa kerendahan hati
49. Orang-orang yang mengalah pada pola pikir pelagian atau semi pelagian
ini, meskipun mereka berbicara adem tentang rahmat Allah, “akhirnya hanya
percaya kepada kekuatannya sendiri sehingga merasa lebih tinggi daripada orang
lain, karena menaati peraturan-peraturan
tertentu atau tetap setia kepada gaya Katolik yang khusus”.[46]
Ketika beberapa dari mereka mengatakan kepada orang yang lemah bahwa semua hal
dapat dicapai dengan rahmat Allah, jauh di lubuk hati mereka cenderung untuk
memberikan gagasan bahwa segala sesuatu dimungkinkan oleh kehendak manusiawi,
seolah-olah itu adalah sesuatu yang murni, sempurna, mahakuasa, yang kepadanya
rahmat kemudian ditambahkan. Mereka gagal untuk menyadari bahwa "tidak
semua orang dapat melakukan segalanya",[47]
dan bahwa dalam kehidupan ini kelemahan manusia tidak sepenuhnya disembuhkan
dan segera sesudahnya karena seluruhnya oleh rahmat.[48]
Dalam setiap persoalan, seperti diajarkan oleh Santo Agustinus, Allah
memerintahkan kamu untuk melakukan apa yang kamu bisa lakukan dan meminta apa
yang tidak dapat kamu lakukan,[49]
dan sungguh berdoa kepada-Nya dengan rendah hati: "Anugerahkanlah apa yang
Engkau perintahkan, dan perintahkanlah apa yang akan kamu lakukan".[50]
50. Pada akhirnya, tidak adanya pengakuan yang tulus dan penuh doa akan
keterbatasan kita menghalangi rahmat semakin bekerja lebih efektif di dalam diri
kita, karena tidak ada ruang tersisa untuk mendatangkan kebaikan potensial yang
merupakan bagian dari perjalanan pertumbuhan yang tulus dan sungguh-sungguh.[51] Rahmat,
justru karena ia dibangun di atas kodratnya, tidak sekaligus menjadikan kita
manusia unggul. Pemikiran seperti itu akan menunjukkan terlalu percaya pada
kemampuan kita sendiri. Di bawah ortodoksi kita, sikap kita mungkin tidak
sesuai dengan pembicaraan kita tentang perlunya rahmat, dan dalam situasi
tertentu kita akhirnya hanya menaruh sedikit kepercayaan di dalamnya. Kecuali
kita dapat mengenali situasi kita yang nyata dan terbatas, kita tidak akan
dapat melihat langkah nyata dan mungkin yang dituntut Tuhan dari kita setiap
saat, segera setelah kita tertarik dan diberdayakan oleh karunia-Nya. Rahmat
bertindak dalam sejarah; biasanya rahmat tersebut menguasai kita dan mengubah
kita tahap demi tahap.[52]
Jika kita menolak kenyataan sejarah dan tahap demi tahap ini, kita benar-benar
dapat menolak dan menghalangi rahmat, bahkan saat kita mendewakannya dengan
kata-kata kita.
51.
Ketika Tuhan berbicara kepada Abraham, Ia
mengatakan kepadanya : “Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku
dengan tidak bercela” (Kej 17:1). Agar tidak bercela, sebagaimana yang Ia inginkan
terhadap kita, kita harus hidup dengan rendah hati di hadapan-Nya,
berselubungkan kemuliaan-Nya; kita harus berjalan dalam persatuan dengan-Nya,
mengenali kasih-Nya langgeng dalam kehidupan kita. Kita harus menghilangkan
rasa takut kita di hadapan kehadiran-Nya yang hanya bisa untuk kebaikan kita.
Allah adalah Bapa yang memberi kita kehidupan dan sangat mengasihi kita. Begitu
kita menerima Dia, dan berhenti berusaha menjalani kehidupan kita tanpa Dia,
kesedihan akibat kesepian akan lenyap (bdk. Mzm 139:23-24). Dengan cara ini
kita akan memahami kehendak Tuhan yang sempurna dan berkenan (bdk. Rm 12:1-2)
serta memungkinkan Dia untuk membentuk kita seperti seorang tukang periuk (bdk.
Yes 29:16). Seringkali kita mengatakan bahwa Allah tinggal di dalam diri kita,
tetapi lebih baik mengatakan bahwa kita tinggal di dalam diri-Nya, sehingga Ia
memampukan kita untuk tinggal dalam terang dan kasih-Nya. Dialah bait suci
kita; kita meminta untuk tinggal di rumah Tuhan sepanjang hidup kita (bdk. Mzm
27:4). "Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari
di tempat lain" (Mzm 84:11). Di dalam Dialah kekudusan kita.
Ajaran Gereja yang sering terabaikan
52.
Gereja berulang kali mengajarkan bahwa kita
dibenarkan bukan oleh perbuatan atau usaha kita sendiri, tetapi oleh rahmat
Tuhan, yang selalu mengambil prakarsa. Para Bapa Gereja, bahkan sebelum Santo
Agustinus, dengan jelas menyatakan keyakinan dasariah ini. Santo Yohanes
Krisostomus mengatakan bahwa Allah mencurahkan ke dalam diri kita sumber dari
seluruh karunia-Nya bahkan sebelum kita memasuki peperangan.[53]
Santo Basilius Agung mengatakan bahwa kemuliaan yang sesuai kenyataan hanya di
dalam Allah, karena “para Bapa Gereja menyadari bahwa mereka tidak memiliki
keadilan sejati dan dibenarkan hanya melalui iman kepada Kristus”.[54]
53.
Sinode Orange II mengajarkan dengan kewenangan yang
kuat bahwa tidak ada manusia yang dapat menuntut, pantas menerima atau membeli
karunia rahmat ilahi, dan seluruh kerja sama dengannya adalah karunia yang
sudah ada sebelumnya dari rahmat yang sama : “Bahkan keinginan untuk
dibersihkan terjadi di dalam diri kita melalui pencurahan dan karya Roh Kudus”.[55]
Selanjutnya, Konsili Trente, seraya menekankan pentingnya kerjasama kita untuk
pertumbuhan rohani, menegaskan kembali ajaran dogmatis tersebut : “Kita
dikatakan dibenarkan secara Cuma-cuma karena tidak ada yang mendahului
pembenaran, baik iman maupun perbuatan, pantas mendapatkan rahmat pembenaran;
karena ‘jikalau oleh rahmat, tidak lagi berdasarkan perbuatan; jikalau tidak
demikian, rahmat tidak akan lagi menjadi rahmat' (Rm 11: 6)”.[56]
54. Katekismus Gereja Katolik juga mengingatkan kita bahwa karunia rahmat “melampaui kekuatan pikiran
dan kehendak manusia”[57]
dan “terhadap Allah tidak ada jasa dalam arti kata
yang sebenarnya dari pihak manusia. Antara Dia dan kita terdapat satu
ketidaksamaan yang tidak dapat diukur”.[58]
Persahabatan-Nya jauh melampaui diri kita; kita tidak bisa membelinya dengan
perbuatan-pernuatan kita, persahabatan-Nya hanya bisa menjadi karunia yang
lahir dari prakarsa-Nya yang penuh kasih. Hal ini mengundang kita untuk hidup
dalam rasa syukur yang penuh sukacita atas karunia yang sepenuhnya tidak
berdasar ini, karena “setelah kita memiliki rahmat, rahmat yang sudah dimiliki tersebut
tidak mendapat pahala”.[59]
Orang-orang kudus menghindari menaruh kepercayaan pada perbuatan-perbuatan
mereka : “Pada senja hari kehidupan ini, aku akan muncul di hadapan-Mu dengan
tangan kosong, karena aku tidak memohon kepada-Mu, Tuhan, untuk menghitung perbuatan-perbuatanku.
Seluruh keadilan kami memiliki noda dalam pandangan-Mu”.[60]
55.
Inilah salah satu keyakinan besar yang harus
dipegang teguh oleh Gereja. Keyakinan tersebut sangat jelas dinyatakan dalam sabda
Allah bahwa tidak dapat ada pertanyaan berkenaan dengannya. Seperti perintah kasih
yang terutama, kebenaran ini seharusnya mempengaruhi cara kita hidup, karena kebenaran
tersebut mengalir dari pokok Injil dan menuntut agar kita tidak hanya
menerimanya secara intelektual tetapi juga menjadikannya sumber sukacita yang berjangkit.
Tetapi kita tidak dapat merayakan karunia cuma-cuma dari persahabatan Tuhan ini
kecuali kita menyadari bahwa kehidupan duniawi kita dan kemampuan alamiah kita
adalah karunia-Nya. Kita perlu "mengakui dengan sorak-sorai bahwa hidup
kita pada dasarnya adalah sebuah karunia, dan mengakui bahwa kebebasan kita
adalah rahmat. Hal ini tidaklah mudah hari ini, di dunia yang berpikir bisa
menyimpan sesuatu untuk dirinya sendiri, buah-buah dari daya cipta atau
kebebasannya”.[61]
56. Hanya atas dasar karunia Allah, yang disambut dengan cuma-cuma dan
diterima dengan rendah hati, oleh upaya-upaya kita, kita dapat kita bekerja
sama dalam perubahan kita tahap demi tahap.[62]
Pertama-tama kita harus menjadi milik Allah, memberikan diri kita kepada Dia
yang pertama ada di sana, dan mempercayakan kepada-Nya kemampuan kita, upaya
kita, perjuangan kita melawan kejahatan dan daya cipta kita, sehingga
karunia-Nya yang cuma-cuma dapat tumbuh dan berkembang di dalam diri kita :
“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu,
supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus
dan yang berkenan kepada Allah” (Rm 12:1). Untuk itu, Gereja selalu mengajarkan
bahwa hanya amal yang memungkinkan pertumbuhan dalam kehidupan rahmat, karena
“jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna” (1 Kor 13:2).
Penganut Pelagian Baru
57.
Beberapa umat kristiani masih bersikeras untuk
mengambil jalan lain, yaitu pembenaran oleh upaya mereka sendiri, penyembahan
kehendak manusia dan kemampuan mereka sendiri. Hasilnya adalah rasa puas diri
yang berpusat pada diri sendiri dan elit, kehilangan kasih sejati. Hal ini
menemukan ungkapannya dalam berbagai cara berpikir dan bertindak yang tampaknya
tidak berhubungan : terobsesi dengan hukum, asyik dengan keuntungan sosial dan
politik, kekhawatiran yang berlebihan terhadap liturgi, ajaran dan wibawa
Gereja, kesombongan berkenaan dengan kemampuan untuk mengelola hal-hal praktis,
dan kekhawatiran yang berlebihan atas program bantuan mandiri dan pemenuhan
pribadi. Beberapa umat kristiani menghabiskan waktu dan energi mereka untuk
hal-hal ini, ketimbang membiarkan diri mereka dipimpin oleh Roh di jalan kasih,
ketimbang bergairah menyampaikan keindahan dan sukacita Injil serta mencari
yang hilang di antara kerumunan besar orang yang haus akan Kristus.[63]
58. Tidak jarang, bertentangan dengan bisikan Roh, kehidupan Gereja dapat
menjadi bagian dari koleksi sebuah museum atau milik beberapa orang terpilih. Hal
ini dapat terjadi ketika beberapa kelompok umat kristiani memberikan
kepentingan yang berlebihan terhadap aturan, kebiasaan, atau cara bertindak
tertentu. Injil kemudian cenderung dikurangi dan dibatasi, dirampas kesederhanaan,
daya pikat dan cita rasanya. Hal ini mungkin merupakan bentuk tak kentara dari pelagianisme,
karena tampaknya menaklukkan kehidupan rahmat pada tatanan manusiawi tertentu. Pelagianisme
tersebut dapat mempengaruhi kelompok, gerakan dan jemaat, serta pelagianisme
tersebut menjelaskan mengapa begitu sering mereka memulai dengan kehidupan yang
intens di dalam Roh, akhirnya hanya menjadi fosil ... atau rusak.
59. Begitu kita percaya bahwa semuanya tergantung pada usaha manusia sebagaimana
disalurkan oleh aturan dan tatanan gerejani, kita secara tidak sadar memperumit
Injil dan menjadi diperbudak oleh cetak biru yang meninggalkan sedikit bukaan
untuk karya rahmat. Santo Thomas Aquino mengingatkan kita bahwa pasal-pasal
yang ditambahkan pada Injil oleh Gereja hendaknya dikenakan secara tidak
berlebihan “supaya perilaku umat beriman tak membebani”, karena kemudian agama
kita akan menjadi bentuk perbudakan.[64]
Cakupan Hukum
60. Untuk menghindari hal ini, kita harus selalu mengingatkan diri kita
bahwa ada hierarki kebajikan yang meminta kita mengusahakan apa yang penting.
Keutamaan termasuk kebajikan-kebajikan teologis, yang memiliki Allah sebagai alasan
dan tujuannya. Pusatnya adalah amal kasih. Santo Paulus mengatakan bahwa apa
yang benar-benar diperhitungkan adalah “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal
5:6). Kita dipanggil untuk melakukan segala upaya untuk mempertahankan amal
kasih : “Barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum
Taurat … karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Rm 13:8,10). “Sebab
seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri!’" (Gal 5:14).
61.
Dengan kata lain, di tengah hamparan perintah dan
aturan, Yesus merintis jalan untuk melihat dua wajah, wajah Bapa dan wajah
saudara kita. Ia tidak memberi kita dua rumusan lagi atau dua perintah lagi. Ia
memberi kita dua wajah, atau lebih baik lagi, wajah-Nya sendiri : wajah Allah
yang tercermin dalam begitu banyak wajah lainnya. Karena di setiap wajah saudara-saudari
kita, terutama wajah orang-orang kecil, orang-orang terlantar, orang-orang yang
tidak berdaya dan orang-orang yang membutuhkan, wajah Allah yang sesungguhnya
ditemukan. Memang, dengan kepingan-kepingan kemanusiaan yang lemah ini, Tuhan
akan membentuk karya seni-Nya yang terakhir. Karena “apa yang bertahan, apa
yang memiliki nilai dalam kehidupan, kekayaan apakah yang tidak lenyap?
Tentunya dua hal ini : Allah dan sesama kita. Kedua kekayaan ini tidak lenyap!”[65]
62. Semoga Tuhan membebaskan Gereja dari bentuk-bentuk baru gnostisisme dan
pelagianisme ini yang membebani dirinya dan menghalangi kemajuannya di
sepanjang jalan menuju kekudusan! Penyimpangan-penyimpangan ini mengambil
berbagai bentuk, sesuai dengan perangai dan watak masing-masing orang. Jadi
saya mendorong semua orang untuk merenungkan dan mencamkan di hadapan Allah
apakah bentuk-bentuk baru itu dapat hadir dalam kehidupan mereka.
BAGIAN
KETIGA
DALAM TERANG
SANG GURU
63. Ada sejumlah teori tentang apa yang termasuk kekudusan, dengan berbagai
penjelasan dan perbedaan. Permenungan semacam itu mungkin berguna, tetapi tidak
ada yang lebih mencerahkan daripada berpaling ke kata-kata Yesus dan melihat
cara-Nya mengajarkan kebenaran. Yesus menjelaskan dengan sangat sederhana apa
artinya menjadi kudus ketika Ia memberikan kita Sabda Bahagia (bdk. Mat 5:3-12;
Luk 6:20-23). Sabda Bahagia seperti kartu jatidiri orang kristiani. Jadi, jika
ada yang bertanya : "Apa yang harus kita lakukan untuk menjadi orang kristiani
yang baik?", jawabannya jelas. Kita harus melakukannya, dengan cara kita masing-masing,
apa yang dikatakan Yesus kepada kita dalam Khotbah di Bukit.[66]
Dalam Sabda Bahagia, kita menemukan potret Sang Guru, yang memanggil kita untuk
mencerminkan potret tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari.
64. Kata "bahagia" atau "berbahagia" dengan demikian
menjadi persamaan kata untuk "kudus". Kata tersebut mengungkapkan
fakta bahwa orang-orang yang setia kepada Allah dan sabda-Nya, dengan memberi
diri mereka, memperoleh kebahagiaan sejati.
BERJALAN MELAWAN ARUS
65. Meskipun kata-kata Yesus mungkin mencoreng kita secara puitis, kata-kata
tersebut jelas bertentangan dengan hal-hal yang biasanya dilakukan di dunia
kita. Bahkan jika kita menemukan pesan Yesus yang menarik, dunia mendorong kita
menuju cara hidup yang lain. Sabda Bahagia sama sekali tidak usang atau tidak menuntut,
justru sebaliknya. Kita hanya bisa mengamalkannya jika Roh Kudus memenuhi diri
kita dengan kuasa-Nya dan membebaskan diri kita dari kelemahan kita, keegoisan
kita, kepuasan diri kita dan kesombongan kita.
66. Marilah kita sekali lagi mendengarkan Yesus, dengan seluruh cinta dan
rasa hormat yang layak didapatkan Sang Guru. Marilah kita membiarkan kata-kata-Nya
mengganggu kita, menantang kita dan menuntut perubahan nyata dalam cara hidup
kita. Kalau tidak, kekudusan akan tetap tidak lebih dari sebuah kata kosong.
Sekarang kita beralih ke masing-masing Sabda Bahagia dalam Injil Matius (bdk. Mat
5:3-12).[67]
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang
empunya Kerajaan Sorga”
67. Injil mengundang kita untuk mengintip ke kedalaman hati kita, untuk melihat
di mana kita menemukan keamanan kita dalam kehidupan. Biasanya orang kaya
merasa aman dalam kekayaan mereka, dan berpikir bahwa, jika kekayaan itu
terancam, seluruh makna kehidupan duniawi mereka dapat runtuh. Yesus sendiri
memberitahu kita tentang hal ini dalam perumpamaan orang kaya yang bodoh : Ia
berbicara tentang orang yang yakin akan dirinya sendiri, namun bodoh, karena
tidak sadar bahwa ia akan meninggal pada hari itu juga (bdk. Luk 12:16-21).
68. Kekayaan tidak menjamin apa-apa. Sesungguhnya, sekali kita berpikir kita
kaya, kita dapat menjadi begitu puas bahwa kita tidak menyisakan ruang untuk
sabda Allah, untuk mengasihi saudara-saudari kita, atau untuk menikmati hal-hal
terpenting dalam kehidupan. Dengan cara ini, kita kehilangan harta terbesar.
Itulah sebabnya mengapa Yesus menyebut berbahagia orang-orang yang miskin di
hadapan Allah, mereka yang memiliki hati yang miskin, karena di sana Tuhan
dapat masuk dengan kebaruan-Nya yang abadi.
69. Kemiskinan rohani ini terkait erat dengan apa yang disebut Santo
Ignatius dari Loyola sebagai “ketidakpedulian yang kudus”, yang membawa kita
pada kebebasan batin yang berseri-seri : “Kita perlu melatih diri kita untuk acuh
tak acuh terhadap sikap kita terhadap seluruh benda ciptaan, dalam semua itu
diperbolehkan untuk kehendak bebas kita dan tidak dilarang; sehingga pada pihak
kita, kita tidak menetapkan hati kita pada kesehatan yang baik malahan
sebaliknya kesehatan yang buruk, kekayaan malahan sebaliknya kemiskinan, rasa
hormat malahan sebaliknya rasa tidak hormat, sebuah kehidupan yang panjang malahan
sebaliknya kehidupan yang pendek, dan demikian juga lainnya”.[68]
70. Lukas tidak berbicara tentang miskin “di hadapan Allah” tetapi hanya
mereka yang “miskin” (bdk. Luk 6:20). Dengan cara ini, Ia juga mengundang kita
untuk menjalani kehidupan yang sederhana dan keras. Ia memanggil kita untuk ambil
bagian dalam kehidupan orang-orang yang paling membutuhkan, kehidupan yang
dijalani oleh para Rasul, dan pada akhirnya menyesuaikan diri kita dengan Yesus
yang, meskipun kaya, “menjadikan diri-Nya miskin” (2 Kor 8:9). Menjadi miskin di hadapan Allah : itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki
bumi”
71.
Inilah kata-kata yang kuat dalam sebuah dunia yang
sejak awal telah menjadi tempat perseteruan, perselisihan dan permusuhan di
semua sisi, di mana kita terus mengesampingkan orang lain atas dasar
gagasan-gagasan mereka, kebiasaan mereka dan bahkan cara mereka berbicara atau
berpakaian. Pada akhirnya, keangkuhan dan kesombongan menguasai, di mana setiap
orang berpikir ia berhak untuk menguasai orang lain. Meskipun demikian,
kelihatannya tidak mungkin, Yesus mengusulkan sebuah jalan yang berbeda dalam
melakukan berbagai hal : jalan kelemahlembutan. Inilah apa yang kita lihat Ia
lakukan dengan murid-murid-Nya. Inilah apa yang kita renungkan saat Ia memasuki
Yerusalem: “Lihat, Rajamu datang
kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai” (Mat 21:5; Zak. 9:9).
72.
Kristus berkata : “Pikullah kuk yang Kupasang dan
belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan
mendapat ketenangan” (Mat 11:29). Jika kita terus-menerus kecewa dan tidak
sabar dengan orang lain, kita akhirnya akan terkuras dan letih. Tetapi jika
kita memandang kesalahan dan keterbatasan orang lain dengan kelembutan dan
kelemahlembutan, tanpa suasana merasa lebih unggul, kita benar-benar dapat membantu
mereka dan berhenti membuang-buang energi kita pada keluhan yang tidak berguna.
Santa Teresia dari Lisieux mengatakan kepada kita bahwa “amal yang sempurna mencakup
kesalahan orang lain, dan tidak menjadi heboh oleh kesalahan mereka”.[69]
73.
Paulus berbicara tentang kelemahlembutan sebagai
salah satu buah dari Roh Kudus (bdk. Gal 5:23). Ia menyarankan bahwa, jika
pelanggaran dari salah seorang saudara atau saudari kita menyusahkan kita, kita
harus mencoba untuk memperbaikinya, tetapi “dalam roh lemah lembut”, supaya
“kamu juga jangan kena pencobaan” (Gal 6:1). Bahkan ketika kita membela iman
dan keyakinan kita, kita harus melakukannya “dengan kelemahlembutan” (bdk. 1Ptr
3:16). Musuh-musuh kita juga harus diperlakukan “dengan kelemahlembutan” (2 Tim
2:25). Dalam Gereja kita sering keliru karena tidak merangkul tuntutan sabda
Allah ini.
74. Kelemahlembutan adalah ungkapan lain dari kemiskinan batin orang-orang
yang menaruh kepercayaan mereka pada Allah saja. Memang, dalam Alkitab kata
yang sama - anawim - biasanya merujuk
pada orang miskin dan orang yang lemah lembut. Seseorang mungkin keberatan :
"Jika aku yang lemah lembut, mereka akan berpikir bahwa aku dungu, bodoh
atau lembek". Kadang-kadang mereka mungkin berpikir, tetapi demikianlah. Menjadi
lemah lembut selalu lebih baik, karena keinginan-keinginan kita yang terdalam
akan terpenuhi. Orang yang lemah lembut “akan memiliki bumi, karena mereka akan
melihat janji-janji Allah tercapai dalam hidup mereka. Dalam setiap situasi,
orang yang lemah lembut menaruh harapan mereka di dalam Tuhan, dan mereka yang berharap
pada-Nya akan mewarisi negeri ... dan menikmati kepenuhan kedamaian (bdk. Mzm
37:9,11). Dari pihak-Nya, Tuhan mempercayai mereka : “Kepada orang inilah Aku
memandang: kepada orang yang tertindas dan patah semangatnya dan yang gentar
kepada firman-Ku” (Yes. 66:2). Bereaksi dengan lemah lembut dan
rendah hati : itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur”
75.
Dunia mengatakan kepada kita justru sebaliknya :
hiburan dan kesenangan adalah kehidupan yang baik. Orang duniawi mengabaikan
masalah penyakit atau kesedihan dalam keluarga atau di sekelilingnya; ia
mengalihkan tatapannya. Dunia tidak memiliki keinginan untuk berkabung; dunia
lebih suka mengabaikan situasi yang menyakitkan, menutupinya atau
menyembunyikannya. Banyak energi dikeluarkan untuk melarikan diri dari situasi
penderitaan dengan keyakinan bahwa kenyataan dapat disembunyikan. Tetapi salib
tidak akan pernah tidak ada.
76. Orang yang melihat berbagai hal sebagaimana adanya dan bersimpati dengan
penderitaan dan dukacita mampu menyentuh kedalaman hidup dan menemukan
kebahagiaan sejati.[70] Ia
dihibur, bukan oleh dunia tetapi oleh Yesus. Orang-orang semacam itu tidak
takut untuk ikut serta dalam penderitaan orang lain; mereka tidak lari dari
situasi yang menyakitkan. Mereka menemukan makna hidup dengan datang membantu
mereka yang menderita, memahami penderitaan mereka dan mengantarkan bantuan.
Mereka merasakan bahwa orang lain adalah daging dari daging kita, dan tidak
takut untuk mendekat, bahkan untuk menjamah luka-luka mereka. Mereka merasa
kasihan kepada orang lain sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi jarak. Dengan
cara ini mereka dapat merangkul seruan Santo Paulus, ”Menangislah dengan orang yang menangis!” (Rm 12:15). Memahami bagaimana
berkabung dengan orang lain : itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka
akan dipuaskan”
77.
Kelaparan dan kehausan adalah pengalaman yang luar
biasa, karena keduanya melibatkan kebutuhan dasar dan naluri kita untuk
bertahan hidup. Ada orang-orang yang menginginkan keadilan dan merindukan
kebenaran dengan keluarbiasaan yang sama. Yesus mengatakan bahwa mereka akan dipuaskan,
karena cepat atau lambat keadilan akan datang. Kita dapat bekerja sama untuk
memungkinkan hal itu, bahkan jika kita tidak selalu melihat buah dari upaya-upaya
kita.
78. Yesus menawarkan keadilan selain keadilan dunia, yang begitu sering
dikotori oleh kepentingan-kepentingan sepele dan dimanipulasi dengan berbagai
cara. Pengalaman menunjukkan betapa mudahnya terperosok dalam korupsi, terjerat
dalam politik harian quid pro quo, di
mana segala sesuatunya menjadi bisnis. Berapa banyak orang menderita
ketidakadilan, berdiri tanpa daya sementara yang lainnya membagi-bagi berbagai hal
baik kehidupan ini. Beberapa orang menyerah untuk berjuang mewujudkan keadilan dan memilih untuk mengikuti kereta para
pemenang. Hal ini tidak ada hubungannya dengan orang-orang yang lapar dan haus
akan keadilan yang dipuji oleh Yesus.
79. Keadilan sejati terjadi dalam kehidupan orang-orang ketika mereka
sendiri adil dalam keputusan-keputusan mereka; keadilan diungkapkan dalam upaya
mereka mewujudkan keadilan bagi orang-orang miskin dan orang-orang lemah.
Meskipun benar bahwa kata "keadilan" dapat menjadi persamaan kata
untuk kesetiaan kepada kehendak Allah dalam setiap segi kehidupan kita, jika
kita memaknai kata tersebut terlalu
umum, kita lupa bahwa kata itu ditampilkan terutama dalam keadilan terhadap
mereka yang paling rentan : “Usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam;
belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yes 1:17).
Lapar dan haus akan kebenaran : itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh
kemurahan”
80. Murah hati memiliki dua segi. Murah hati mencakup memberi, membantu, dan
melayani orang lain, tetapi murah hati juga mencakup pengampunan dan pemahaman.
Matius merangkumnya dalam satu kaidah emas : “Segala sesuatu yang kamu
kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”
(7:12). Katekismus mengingatkan kita bahwa peraturan ini harus diterapkan
"dalam segala hal",[71]
terutama ketika kita "dihadapkan situasi yang membuat
penilaian hati nurani menjadi tidak aman dan keputusan menjadi sulit".[72]
81.
Memberi dan mengampuni berarti menghasilkan ulang
dalam kehidupan kita beberapa ukuran kecil kesempurnaan Allah, yang memberi dan
mengampuni dengan berlimpah-limpah. Karena alasan ini, dalam Injil Lukas kita
tidak mendengar kata-kata, “Haruslah kamu sempurna” (Mat. 5:48), tetapi
malahan, “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.
Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan janganlah
kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan
diampuni. Berilah dan kamu akan diberi” (6:36-38). Lukas kemudian menambahkan
sesuatu yang tidak boleh dilupakan : "Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur,
akan diukurkan kepadamu" (6:38). Tolok ukur yang kita gunakan untuk
memahami dan mengampuni orang lain akan menjadi tolok ukur pengampunan yang
kita terima. Tolok ukur yang kita gunakan untuk memberi akan menjadi tolok ukur
apa yang kita terima. Kita tidak boleh melupakan hal ini.
82. Yesus tidak berkata, “Berbahagialah orang yang merencanakan pembalasan”.
Ia menyebut "berbahagia" mereka yang mengampuni dan melakukannya
"tujuh puluh kali tujuh kali" (Mat 18:22). Kita perlu menganggap diri
kita sebagai pasukan pemberi ampun. Kita semua telah dipandang dengan belas
kasih ilahi. Jika kita mendekati Tuhan dengan ketulusan dan mendengarkan dengan
seksama, mungkin ada saat-saat ketika kita mendengar teguran-Nya : “Bukankah
engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?”
(Mat 18:33). Melihat dan bertindak dengan murah hati : itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat
Allah”
83. Sabda Bahagia ini berbicara tentang orang-orang yang hatinya sederhana, suci
dan tidak tercemar, karena hati yang mampu mengasihi tidak mengenal apa pun
yang dapat mencelakakan, melemahkan atau membahayakan kasih tersebut. Kitab
Suci menggunakan hati untuk menggambarkan ujud kita yang sebenarnya, hal-hal
yang benar-benar kita cari dan inginkan, terlepas dari seluruh penampilannya. “Manusia
melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati” (1Sam 16:7). Allah
ingin berbicara kepada hati kita (bdk. Hos 2:16); di sana Ia ingin menuliskan
hukum-Nya (bdk. Yer 31:33). Singkatnya, Ia ingin memberi kita hati yang baru (bdk.
Yeh 36:26).
84. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan” (Ams 4:23). Tidak ada yang
ternoda oleh kepalsuan memiliki nilai nyata apapun di mata Tuhan. Ia
“menghindarkan tipu daya, dan menjauhi pikiran pandir” (Keb 1:5). Bapa, “yang
melihat yang tersembunyi” (Mat 6:6), mengenali apa yang tidak murni dan tidak
tulus, hanya tampilan atau penampilan, seperti halnya Sang Putra, yang
mengetahui “apa yang ada di dalam hati manusia” (bdk. Yoh 2:25).
85. Tentu saja tidak ada kasih tanpa karya-karya kasih, tetapi Sabda Bahagia
ini mengingatkan kita bahwa Tuhan mengharapkan pelaksanaan terhadap
saudara-saudari kita yang datang dari hati. Karena “sekalipun aku
membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku
untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada
faedahnya bagiku” (1 Kor 13:3). Dalam Injil Matius juga, kita melihat bahwa apa
yang berasal dari hati adalah apa yang menajiskan seseorang (bdk. 15:18),
karena dari hati timbul pembunuhan, pencurian, sumpah palsu dan perbuatan jahat
lainnya (bdk. 15:19). Dari ujud hati muncul keinginan dan keputusan terdalam
yang menentukan tindakan kita.
86. Hati yang mengasihi Allah dan sesama (bdk. Mat 22:36-40), benar-benar
dan tidak hanya dalam kata-kata, adalah hati yang suci; hati tersebut bisa
melihat Allah. Dalam pujiannya terhadap amal kasih, Santo Paulus mengatakan
bahwa “sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar” (1
Kor 13:12), tetapi sejauh kebenaran dan kasih menguasai, kita kemudian akan
dapat melihat “muka dengan muka”. Yesus menjanjikan bahwa orang-orang yang suci
hatinya “akan melihat Allah”. Menjaga hati terbebas dari semua yang menodai kasih
: itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut
anak-anak Allah”
87. Sabda Bahagia ini membuat kita berpikir tentang banyak situasi peperangan
yang tak berkesudahan di dunia kita. Namun kita sendiri sering menjadi penyebab
perselisihan atau setidaknya kesalahpahaman. Sebagai contoh, saya mungkin
mendengar sesuatu tentang seseorang dan saya pergi serta mengulanginya. Saya
bahkan dapat memperindahnya untuk kedua kalinya dan terus menyebarkannya ...
Dan semakin itu mencelakakan, semakin besar pula kepuasan yang saya rasakan
darinya. Dunia gosip, yang dihuni oleh orang-orang yang berperilaku buruk dan
merusak, tidak membawa perdamaian. Orang-orang seperti itu benar-benar merupakan
musuh perdamaian; mereka tidak pernah “berbahagia”.[73]
88. Para pembawa damai benar-benar "membuat" perdamaian; mereka
membangun perdamaian dan persahabatan dalam masyarakat. Kepada orang-orang yang
menabur perdamaian, Yesus memberikan janji yang luar biasa ini : “Mereka akan disebut
anak-anak Allah” (Mat 5:9). Ia memberitahu para murid-Nya bahwa, ke mana pun
mereka pergi, mereka harus mengatakan : "Damai sejahtera bagi rumah
ini!" (Luk 10:5). Sabda Allah menasihati setiap orang percaya untuk
bekerja bagi perdamaian, “bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan
dengan hati yang murni” (bdk. 2 Tim 2:22), karena “buah yang terdiri dari
kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai” (Yak
3:18). Dan jika ada saat-saat dalam komunitas kita ketika kita mempertanyakan
apa yang seharusnya dilakukan, "marilah kita mengejar apa yang
mendatangkan damai sejahtera" (Rm 14:19), karena persatuan lebih disukai
daripada perselisihan.[74]
89. Tidaklah mudah untuk “membuat” perdamaian injili ini, yang tidak
mengecualikan siapa pun tetapi merangkul bahkan mereka yang sedikit aneh, bermasalah
atau sulit, menuntut, berbeda, dikalahkan oleh kehidupan atau sama sekali tidak
tertarik. Inilah kerja keras; hal ini membutuhkan keterbukaan pikiran dan hati
yang besar, karena ini bukan tentang menciptakan "kesepakatan di sekitar
meja atau di atas kertas belaka, atau suatu perdamaian sementara nan singkat untuk
kepentingan kaum minoritas yang bahagia",[75]
atau rencana "oleh beberapa orang untuk beberapa orang".[76] Juga
tidak dapat mencoba untuk mengesampingkan atau mengabaikan perselisihan;
sebagai gantinya, ia harus "menghadapi perselisihan secara langsung,
menyelesaikannya dan menghubungkannya dengan suatu proses baru".[77]
Kita harus menjadi para pengrajin perdamaian, karena membangun perdamaian
adalah kerajinan yang menuntut ketenangan, daya cipta, kepekaan, dan
keterampilan. Menabur perdamaian di sekeliling kita : itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena
merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”
90. Yesus sendiri memperingatkan kita bahwa jalan yang Ia tawarkan melawan
arus, bahkan membuat kita menantang masyarakat dengan cara hidup kita dan,
sebagai hasilnya, menjadi sebuah gangguan. Ia mengingatkan kita berapa banyak
orang telah, dan masih, dianiaya hanya karena mereka berjuang untuk keadilan,
karena mereka sungguh-sungguh bertanggung jawab kepada Allah dan kepada sesama.
Kecuali kita ingin tenggelam dalam keadaan biasa-biasa saja, marilah kita tidak
mendambakan sebuah kehidupan yang mudah, karena “barangsiapa mau menyelamatkan
nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya” (Mat 16:25).
91.
Dalam menghayati Injil, kita tidak dapat
mengharapkan bahwa segala sesuatu akan mudah, karena rasa haus akan kekuasaan
dan kepentingan duniawi sering menghalangi jalan kita. Santo Yohanes Paulus II
mencatat bahwa “suatu masyarakat menjadi terasing jika bentuk-bentuk organisasi
sosial, produksi dan konsumsinya menjadikannya semakin sulit untuk menawarkan
karunia diri dan membangun kesetiakawanan di antara orang-orang”.[78]
Dalam masyarakat seperti itu, politik, komunikasi massa dan lembaga ekonomi,
budaya dan bahkan keagamaan menjadi begitu terjerat sehingga menjadi penghalang
bagi pengembangan manusia dan sosial yang otentik. Akibatnya, Sabda Bahagia
tidak mudah untuk dihayati; upaya apapun yang dilakukan akan dipandang negatif,
dipandang dengan kecurigaan, dan menemui ejekan.
92. Keletihan dan penderitaan apapun yang mungkin kita alami dalam
menjalankan perintah kasih dan mengikuti jalan keadilan, salib tetap menjadi
sumber pertumbuhan dan pengudusan kita. Kita tidak boleh lupa Perjanjian Baru
mengatakan kepada kita bahwa kita harus menanggung penderitaan demi Injil,
Perjanjian Baru tepat sekali berbicara tentang penganiayaan (bdk. Kis 5:41; Flp
1:29; Kol 1:24; 2Tim 1: 12; 1 Ptr 2:20,4:14-16; Why 2:10).
93. Di sini kita berbicara tentang penganiayaan yang tidak dapat dihindari,
bukan semacam penganiayaan yang mungkin kita timpakan kepada diri kita sendiri
oleh perlakuan buruk kita terhadap orang lain. Orang-orang kudus tidak aneh-aneh
dan tersendiri, tak tertahankan oleh karena kesombongan, negativitas dan
kepahitan mereka. Rasul-rasul Kristus tidak seperti itu. Kisah Para Rasul
menyatakan berulang kali bahwa mereka disukai “semua orang” (2:47; bdk.
4:21.33;5:13), bahkan ketika beberapa penguasa melecehkan dan menganiaya mereka
(bdk. 4:1-3,5:17-18).
94. Penganiayaan bukanlah kenyataan masa lalu, karena hari ini juga kita mengalaminya,
entah dengan penumpahan darah, seperti halnya dengan begitu banyak martir masa
kini, atau dengan cara yang lebih halus, dengan fitnah dan kebohongan. Yesus
menyebut kita berbahagia ketika orang-orang “mencela dan menganiaya dan
kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Mat. 5:11). Di lain waktu,
penganiayaan dapat berupa olok-olok yang mencoba membuat karikatur iman kita
dan membuat kita tampak konyol. Menerima setiap hari jalan Injil, meskipun itu
dapat menyebabkan masalah bagi kita : itulah kekudusan.
KRITERIA YANG LUAR BIASA
95. Di dalam Injil Matius bab 25 (ayat 31-46), Yesus mengembangkan Sabda
Bahagia yang menyebut orang yang murah hati berbahagia. Jika kita mengusahakan
kekudusan yang berkenan di mata Allah, teks ini menawarkan kepada kita satu
kriteria yang jelas yang terhadapnya kita akan dihakimi. "Sebab ketika Aku
lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika
Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu
memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam
penjara, kamu mengunjungi Aku” (ayat 35-36).
Dalam kesetiaan kepada Sang Guru
96. Kekudusan, kemudian, bukan tentang jatuh pingsan dalam pengangkatan
mistik. Sebagaimana dikatakan oleh Santo Yohanes Paulus II : “Jika kita
benar-benar memulai sesuatu yang baru dari permenungan akan Kristus, kita harus
belajar untuk melihat Dia terutama dalam wajah orang-orang yang ingin Ia
serupakan”.[79]
Teks Matius 25:35-36 “bukan undangan sederhana untuk beramal : teks tersebut
adalah halaman Kristologi yang menyoroti seberkas sinar pada misteri Kristus”.[80]
Dalam panggilan untuk mengenali Dia di antara orang miskin dan orang yang
menderita ini, kita melihat terungkapnya hati Kristus, perasaan dan pilihan-Nya
yang paling dalam, yang berusaha diteladani oleh setiap orang kudus.
97. Mengingat tuntutan-tuntutan Yesus yang tanpa kompromi ini, tugas sayalah
meminta umat kristiani untuk mengenali dan menerima mereka dalam semangat
keterbukaan yang tulus, sine glossa.
Dengan kata lain, tanpa "jika atau tetapi" apapun juga yang bisa
mengurangi kekuatan tuntutan-tuntutan tersebut. Tuhan kita menjadikannya sangat
jelas bahwa kekudusan tidak dapat dipahami atau dihayati terpisah dari
tuntutan-tuntutan ini, karena belas kasihan adalah “denyut jantung dari Injil”.[81]
98. Jika saya menjumpai seseorang yang tidur di luar rumah pada malam yang
dingin, saya dapat melihatnya sebagai pengganggu, pemalas, penghambat jalan
saya, pemandangan yang mengganggu, masalah bagi politisi untuk menyelesaikannya,
atau bahkan seonggok sampah yang mengacaukan ruang publik. Atau saya dapat
menanggapi dengan iman dan amal kasih, dan melihat dalam diri orang ini seorang
manusia dengan martabat yang serupa dengan martabat saya, makhluk yang sangat
dikasihi oleh Bapa, citra Allah, saudara atau saudari yang ditebus oleh Yesus
Kristus. Itulah apa yang terjadi pada orang kristiani! Dapatkah kekudusan entah
bagaimana dipahami terlepas dari pengakuan yang hidup atas martabat setiap
manusia ini?[82]
99. Bagi umat kristiani, hal ini mencakup ketidaknyamanan yang terus menerus
dan menyehatkan. Bahkan tidaklah memadai jika membantu satu orang saja dapat
membenarkan seluruh upaya kita. Para uskup Kanada menjelaskan hal ini ketika
mereka mencatat, misalnya, bahwa pemahaman biblis tentang tahun Yobel adalah
lebih dari sekadar melakukan perbuatan-perbuatan baik tertentu. Pemahaman
tersebut juga berarti mengusahakan perubahan sosial : "Bagi generasi-generasi
selanjutnya juga yang akan dicanangkan, dengan jelas tujuannya adalah pemulihan
sistem sosial dan ekonomi yang adil, sehingga tidak ada lagi
pengecualian".[83]
Ideologi-ideologi menohok jantung
Injil
100.
Saya menyesalkan bahwa ideologi-ideologi membawa
kita kadang-kadang kepada dua kesalahan yang berbahaya. Di satu sisi, ada
kesalahan dari umat kristiani yang memisahkan tuntutan-tuntutan Injil ini dari
hubungan pribadi mereka dengan Tuhan, dari persatuan batin mereka dengan-Nya,
dari keterbukaan terhadap rahmat-Nya. Dengan demikian, kekristenan menjadi
semacam lembaga swadaya masyarakat yang terlucuti dari mistisisme yang
bercahaya yang begitu nyata dalam kehidupan Santo Fransiskus dari Asisi, Santo
Vinsensius a Paulo, Santo Teresa dari Kalkuta, dan banyak lainnya. Bagi
orang-orang kudus besar ini, justru sebalinya, doa batin, kasih Allah dan bacaan
Injil tidak akan mengurangi tanggung jawab mereka yang bergairah dan mendatangkan
hasil terhadap sesama mereka.
101.Kesalahan
ideologi berbahaya lainnya ditemukan pada orang-orang yang mencurigai
keterlibatan sosial orang lain, melihatnya secara dangkal, duniawi, sekuler,
materialis, komunis atau populis. Atau mereka menisbikannya, seolah-olah ada
hal-hal lain yang lebih penting, atau satu-satunya hal yang diperhitungkan
adalah satu masalah etika tertentu atau alasan yang mereka bela sendiri. Pembelaan
kita terhadap bayi yang tidak berdosa, misalnya, harus jelas, tegas dan penuh gairah,
karena yang dipertaruhkan adalah martabat kehidupan manusia, yang senantiasa sakral
dan menuntut kasih untuk setiap orang, terlepas dari tahap perkembangannya.
Tetapi, kehidupan orang-orang miskin, orang-orang yang baru lahir, fakir
miskin, orang-orang yang terlantar dan kurang mampu, orang-orang lanjut usia
yang rentan karena usia terbuka terhadap eutanasia secara tidak terang-terangan,
korban perdagangan manusia, bentuk-bentuk baru perbudakan, dan setiap bentuk
penolakan adalah sama-sama sakral.[84]
Kita tidak dapat menjunjung tinggi cita-cita kekudusan yang sudi mengabaikan
ketidakadilan di dunia di mana sebagian orang bersenang-senang, menghabiskan
waktu dengan mengabaikan dan hidup hanya untuk barang-barang konsumsi terbaru,
bahkan ketika orang lain melihat dari kejauhan, menjalani seluruh hidup mereka
dalam kemiskinan.
102.
Kita sering mendengar dikatakan bahwa, sehubungan
dengan relativisme dan cacat dunia kita sekarang, situasi para migran,
misalnya, adalah masalah yang tidak penting. Beberapa umat Katolik
menganggapnya sebagai masalah sekunder dibandingkan dengan
pertanyaan-pertanyaan bioetika yang “gawat”. Jika seorang politisi yang mencari
suara mungkin mengatakan hal seperti itu dapat dimengerti, tetapi bukan orang kristiani,
yang baginya satu-satunya sikap yang tepat adalah berdiri di atas sepatu
saudara-saudari kita yang mempertaruhkan hidup mereka untuk menawarkan masa
depan bagi anak-anak mereka. Bisakah kita tidak menyadari bahwa inilah tepatnya
apa yang dituntut Yesus dari diri kita, ketika Ia mengatakan kepada kita bahwa
dengan menyambut orang asing kita menyambut-Nya (bdk. Mat 25:35)? Santo
Benediktus melakukannya dengan rela, dan meskipun itu mungkin telah
"mempersulit" kehidupan para biarawannya, ia memerintahkan agar semua
tamu yang mengetuk pintu biara disambut "seperti Kristus",[85]
dengan sikap hormat yang mendalam;[86]
orang-orang miskin dan para peziarah harus diberi "perhatian dan kepedulian
yang terbesar".[87]
103.
Pendekatan serupa ditemukan dalam Perjanjian Lama :
“Janganlah kautindas atau kautekan seorang orang asing, sebab kamu pun dahulu
adalah orang asing di tanah Mesir” (Kel 22:21). “Apabila seorang asing tinggal
padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. Orang asing yang tinggal
padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia
seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir” (Im
19:33-34). Ini bukan gagasan yang diciptakan oleh beberapa Paus, atau
kecenderungan sesaat. Di dunia saat ini juga, kita dipanggil untuk mengikuti
jalan kebijaksanaan rohani yang ditawarkan oleh nabi Yesaya untuk
memperlihatkan apa yang berkenan bagi Allah. “Supaya engkau memecah-mecah
rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya
rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia
pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu
itulah terangmu akan merekah seperti fajar” (58:7-8).
Ibadat yang paling mungkin diterima Allah
104.
Kita mungkin berpikir bahwa kita memberikan
kemuliaan hanya kepada Allah dengan ibadat dan doa kita, atau hanya dengan
mengikuti norma-norma etika tertentu. Memang benar bahwa keutamaan mencakup hubungan
kita dengan Allah, tetapi kita tidak dapat melupakan bahwa kriteria utama yang padanya
kehidupan kita akan dinilai adalah apa yang telah kita lakukan terhadap orang
lain. Doa adalah yang paling berharga, karena setiap hari doa memelihara pelaksanaan
untuk mengasihi. Penyembahan kita menjadi berkenan kepada Allah ketika kita
mengabdikan diri untuk hidup dengan murah hati, dan memperkenankan karunia
Allah, yang diberikan dalam doa, untuk ditunjukkan dalam kepedulian kita terhadap
saudara dan saudari kita.
105.
Demikian pula, cara terbaik untuk membedakan apakah
doa kita otentik adalah untuk menilai sejauh mana kehidupan kita sedang diubah
dalam terang belas kasih. Karena “belas kasih bukan hanya tindakan Bapa; belas
kasih menjadi kriteria untuk memastikan siapa anak-anak-Nya yang sejati”.[88] Belas
kasih “adalah landasan kehidupan Gereja yang sesungguhnya”.[89]
Dalam hal ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa belas kasih tidak
mengesampingkan keadilan dan kebenaran; memang, "kita harus mengatakan
bahwa belas kasih adalah kepenuhan keadilan dan pengejawantahan yang paling
cemerlang dari kebenaran Allah".[90] Belas
kasih adalah “kunci menuju surga”.[91]
106.
Di sini saya memikirkan Santo Thomas Aquino, yang mempertanyakan
manakah tindakan kita yang paling mulia, manakah karya lahiriah terbaik yang menunjukkan
kasih kita kepada Allah. Tanpa ragu Thomas menjawab bahwa karya tersebut adalah
karya belas kasih terhadap sesama kita,[92]
bahkan melebihi tindakan ibadat kita : “Kita menyembah Allah dengan pengorbanan
dan karunia lahiriah, bukan untuk kepentingan-Nya, tetapi untuk kepentingan diri
kita sendiri dan sesama kita. Karena Ia tidak membutuhkan pengorbanan kita,
tetapi mengharapkan pengorbanan kita dipersembahkan kepada-Nya, untuk
membangkitkan pengabdian kita dan memberi manfaat bagi sesama kita. Oleh karena
itu, belas kasih, dengan cara tersebut kita membekali kekurangan orang lain,
adalah pengorbanan yang lebih dapat diterima oleh-Nya, yang berakibat langsung bagi
kesejahteraan sesama kita”.[93]
107.
Orang-orang yang benar-benar ingin memberikan
kemuliaan kepada Allah melalui hidup mereka, yang benar-benar mendambakan tumbuh
dalam kekudusan, dipanggil untuk menjadi orang yang berpikiran tunggal dan teguh
dalam mengamalkan karya-karya belas kasih mereka. Santa Teresa dari Kalkuta
jelas menyadari hal ini : “Ya, aku memiliki banyak kesalahan dan kegagalan
manusiawi ... Tetapi Allah membungkuk dan mempergunakan diri kita, kamu dan aku,
untuk menjadi kasih-Nya dan belas kasih-Nya di dunia; Ia menanggung dosa kita, kesulitan
kita dan kesalahan kita. Ia mengandalkan diri kita untuk mengasihi dunia dan
menunjukkan betapa Ia mengasihinya. Jika kita terlalu peduli pada diri sendiri,
kita tidak akan punya waktu tersisa untuk orang lain”.[94]
108.
Hedonisme dan konsumerisme dapat membuktikan
kehancuran kita, karena ketika kita terobsesi dengan kesenangan kita sendiri,
kita akhirnya menjadi terlalu peduli akan diri kita dan hak-hak kita, serta
kita merasa membutuhkan waktu luang untuk menikmati diri kita. Kita akan kesulitan
untuk merasakan dan menunjukkan perhatian nyata apapun bagi orang-orang yang
membutuhkan, kecuali kita mampu menumbuhkan kesederhanaan hidup tertentu,
menolak tuntutan yang menggelisahkan dari sebuah masyarakat konsumen, yang
membuat kita miskin dan tidak puas, ingin memiliki semuanya sekarang. Demikian
pula, ketika kita membiarkan diri kita terperangkap dalam informasi yang
dangkal, komunikasi yang seketika itu juga dan kenyataan virtual, kita dapat
membuang waktu yang berharga dan menjadi acuh tak acuh terhadap tubuh saudara-saudari
kita yang sedang menderita. Tetapi bahkan di tengah-tengah pusaran kegiatan ini,
Injil terus bergema, menjanjikan kepada kita sebuah kehidupan yang berbeda, sebuah
kehidupan yang lebih sehat dan lebih bahagia.
* * *
109.
Kesaksian yang kuat dari para kudus terungkap dalam
kehidupan mereka, dibentuk oleh Sabda Bahagia dan kriteria penghakiman
terakhir. Kata-kata Yesus singkat dan lugas, namun mudah dilaksanakan dan berlaku
untuk semua orang, karena kekristenan dimaksudkan terutama untuk diamalkan. Kekristenan
juga bisa menjadi sasaran studi dan permenungan, tetapi semata-mata membantu
kita menghayati Injil dengan lebih baik dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya
menganjurkan untuk membaca ulang teks-teks biblis yang luar biasa ini secara
teratur, merujuk kembali kepada teks-teks biblis tersebut, berdoa bersama teks-teks
biblis tersebut, mencoba mewujudkannya. Teks-teks biblis tersebut akan memberi
manfaat bagi kita; teks-teks biblis tersebut akan sungguh-sungguh membahagiakan
kita.
BAB EMPAT
TANDA-TANDA
KEKUDUSAN DALAM DUNIA SAAT INI
110.Dalam
kerangka kekudusan yang ditawarkan oleh Sabda Bahagia dan Matius 25:31-46, saya
ingin menyebutkan beberapa tanda atau sikap rohani yang, menurut saya, perlu
jika kita berusaha memahami cara hidup yang kepadanya Tuhan memanggil kita.
Saya tidak akan berhenti untuk menjelaskan cara-cara pengudusan yang sudah kita
ketahui : berbagai metode doa, sakramen-sakramen Ekaristi dan Tobat yang tak
ternilai, pemberian persembahan pribadi, berbagai bentuk devosi, pengarahan rohani,
dan banyak lainnya juga. Di sini saya hanya akan berbicara tentang beberapa
aspek dari panggilan terhadap kekudusan yang saya harapkan akan terbukti sangat
berarti.
111. Tanda-tanda yang ingin saya soroti bukanlah jumlah keseluruhan model
kekudusan, tetapi lima ungkapan kasih yang besar bagi Allah dan sesama yang
saya anggap sangat penting dalam terang bahaya dan keterbatasan tertentu yang
ada dalam budaya saat ini. Kita melihat ada kecemasan, kadang-kadang kekerasan,
yang mengalihkan perhatian dan melemahkan; negativitas dan kemuraman; kepuasan
diri yang dikembangbiakan oleh konsumerisme; individualisme; dan semua bentuk spiritualitas
tiruan - tidak ada hubungannya dengan Allah - yang menguasai pasar rohani saat
ini.
KETEKUNAN, KESABARAN DAN KELEMAHLEMBUTAN
112. Tanda pertama dari tanda-tanda besar ini memiliki landasan yang kuat di
dalam Allah yang mengasihi dan menopang kita. Sumber kekuatan batin ini
memungkinkan kita untuk bertekun di tengah naik turunnya kehidupan, tetapi juga
menanggung permusuhan, pengkhianatan dan kegagalan dari lain pihak. “Jika Allah
di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Rm 8:31) : inilah sumber
kedamaian yang ditemukan pada orang-orang kudus. Kekuatan batin seperti itu
memungkinkan kita, di dunia kita yang serba cepat, hiruk pikuk dan agresif,
untuk memberikan kesaksian melalui kesabaran dan keteguhan dalam melakukan
kebaikan. Inilah tanda kesetiaan yang lahir dari kasih, karena orang-orang yang
meletakkan iman mereka di dalam Allah (pístis)
juga dapat setia kepada orang lain (pistós).
Mereka tidak meninggalkan orang lain di saat-saat buruk; mereka menyertai
mereka dalam kecemasan dan kesusahan mereka, meskipun hal itu mungkin tidak
membawa kepuasan segera.
113. Santo Paulus memerintahkan jemaat Roma untuk tidak membalas kejahatan
dengan kejahatan (bdk. Rm 12:17), jangan membalas dendam (ayat 19), dan bukan dikalahkan
oleh kejahatan, tetapi sebaliknya “mengalahkan kejahatan dengan kebaikan” (ayat
21). Sikap ini bukan tanda kelemahan tetapi tanda kekuatan sejati, karena Allah
sendiri “panjang sabar dan besar kuasa” (Nah 1:3). Sabda Allah menasihati kita
untuk “membuang aegala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah, demikian
pula segala kejahatan” (Ef 4:31).
114.Kita perlu
mengenali dan memerangi kecenderungan kita yang agresif dan egois, serta tidak
membiarkan mereka berakar. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat
dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ef 4:26). Ketika
kita merasa kewalahan, kita dapat selalu berpegang teguh pada jangkar doa, yang
menempatkan kita kembali di tangan Allah dan sumber kedamaian kita. “Janganlah
hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal
keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai
sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati …” (Flp 4:6-7).
115. Umat kristiani juga dapat terjebak dalam jaringan kekerasan lisan
melalui internet dan berbagai forum komunikasi digital. Bahkan dalam media
Katolik, batasan dapat dilampaui, fitnah dan umpatan bisa menjadi hal yang
biasa, dan seluruh patokan etika dan penghormatan atas nama baik orang lain
dapat ditinggalkan. Hasilnya adalah dikotomi yang berbahaya, karena berbagai hal
dapat dikatakan di sana yang tidak dapat diterima dalam wacana publik, dan
orang-orang berusaha untuk mengimbangi ketidakpuasan mereka dengan mencaci-maki
orang lain. Sangat mengejutkan bahwa kadang-kadang, dengan mengklaim untuk
menegakkan perintah-perintah lain, mereka sepenuhnya mengabaikan perintah
kedelapan, yang melarang bersaksi dusta atau berbohong, dan dengan kejam
memfitnah orang lain. Di sini kita melihat bagaimana lidah yang tidak dijaga, terbakar
oleh api neraka, membuat semua hal berkobar (bdk. Yak 3:6).
116.Kekuatan
batin, sebagai karya rahmat, mencegah kita terbawa oleh kekerasan yang merupakan
begitu banyak bagian dari kehidupan saat ini, karena rahmat meruntuhkan
kesombongan dan memungkinkan kelemahlembutan hati. Para kudus tidak
membuang-buang energi untuk berkkeluh kesah tentang kekurangan orang lain;
mereka bisa menahan lidah mereka di hadapan kesalahan saudara-saudari mereka,
dan menghindari kekerasan lisan yang merendahkan dan menjelek-jelekkan orang
lain. Para kudus was-was memperlakukan orang lain dengan kasar; mereka
menganggap orang lain lebih utama dari diri mereka (bdk. Flp 2:3).
117. Tidaklah baik ketika kita memandang rendah orang lain seperti para hakim
yang kejam, memihak mereka dan selalu berusaha memberi mereka pelajaran. Hal itu
dengan sendirinya merupakan bentuk kekerasan yang halus.[95]
Santo Yohanes dari Salib mengusulkan jalan yang berbeda : "Selalu lebih
suka diajarkan oleh semua orang, daripada berhasrat mengajar bahkan sedikit
orang".[96]
Dan ia menambahkan nasihat tentang cara menahan setan di teluk: “Bergembiralah
dalam kebaikan orang lain seolah-olah itu milikmu sendiri, dan berhasrat agar
mereka lebih diutamakan daripada kamu dalam segala hal; ini yang seharusnya
kamu lakukan dengan sepenuh hati. Dengan demikian kamu akan mengalahkan
kejahatan dengan kebaikan, menghalau iblis, dan memiliki hati yang bahagia.
Cobalah untuk semakin mengamalkan ini semua dengan orang-orang yang tidak
menarik perhatianmu. Sadarilah bahwa jika kamu tidak melatih dirimu dengan cara
ini, kamu tidak akan mencapai cinta kasih sejati atau membuat kemajuan apa pun
di dalamnya”.[97]
118.Kerendahan
hati hanya bisa berakar di dalam hati melalui kehinaan. Tanpa kehinaan, tidak
ada kerendahan hati atau kekudusan. Jika kamu tidak dapat menderita dan
menawarkan beberapa kehinaan, kamu tidak rendah hati dan kamu tidak berada di
jalan menuju kekudusan. Kekudusan yang dianugerahkan Allah kepada Gereja-Nya
datang melalui kehinaan Putra-Nya. Ia adalah jalan. Kehinaan membuatmu
menyerupai Yesus; kehinaan adalah segi yang tak terhindarkan dari peneladanan
Kristus. Karena “Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan
teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Ptr 2:21). Pada gilirannya,
Ia mengungkapkan kerendahan hati Bapa, yang merendah untuk melakukan perjalanan
dengan umat-Nya, menanggung ketidaksetiaan dan keluh-kesah mereka (bdk. Kel
34:6-9; Keb 11:23-12:2; Luk 6:36). Karena alasan ini, para Rasul, setelah
menderita kehinaan, bergembira “karena mereka telah dianggap layak menderita
penghinaan oleh karena Nama Yesus” (Kis 5:41).
119.Di sini saya
tidak hanya sedang berbicara tentang situasi kemartiran belaka, tetapi tentang
kehinaan sehari-hari dari mereka yang tinggal diam untuk menyelamatkan keluarga
mereka, yang lebih suka memuji orang lain daripada membanggakan diri mereka
sendiri, atau yang memilih tugas yang kurang diterima dengan senang hati,
kadang-kadang bahkan memilih untuk menanggung ketidakadilan agar supaya
mempersembahkannya kepada Tuhan. “Jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu
harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah” (1 Ptr 2:20). Ini
tidak berarti berjalan dengan mata diturunkan, tidak mengucapkan sepatah kata
pun dan melarikan diri dari keterkaitan dengan orang lain. Kadang-kadang,
justru karena orang bebas dari keegoisan, ia dapat berani untuk tidak setuju
dengan lembut, menuntut keadilan atau membela orang lemah di hadapan orang yang
berkuasa, bahkan jika itu dapat membahayakan nama baiknya.
120.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kehinaan seperti
itu berkenan, karena itu akan menjadi masokisme, tetapi itu adalah cara meneladan
Yesus dan bertumbuh dalam persatuan dengan-Nya. Hal ini tidak dapat dipahami
pada tingkatan yang murni alamiah, dan dunia mengolok-olok gagasan semacam itu.
Sebaliknya, rahmatlah yang harus diusahakan dalam doa : “Tuhan, ketika kehinaan
datang, tolonglah aku untuk mengenal bahwa aku sedang mengikuti jejak langkah-Mu”.
121. Bertindak dengan cara ini mengandaikan hati yang diperdamaikan oleh
Kristus, terbebas dari agresivitas yang lahir dari egoisme yang terlalu kuat.
Kedamaian, buah rahmat yang sama itu, memungkinkan untuk mempertahankan
keyakinan batin kita dan bertekun dalam kebaikan, "sekalipun aku berjalan
dalam lembah kekelaman", (Mzm 23:4) atau "tentara berkemah mengepung
aku" (Mzm 27:3). Berdiri teguh di dalam Tuhan, Sang Batu Karang, kita
dapat menyanyikan : “Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera
tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman”
(Mzm 4:9). Kristus, dengan kata lain, "adalah damai sejahtera kita"
(Ef 2:14); Ia datang “untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera”
(Luk 1:79). Seperti ketika Ia memberitahu Santa Faustina Kowalska, “Manusia
tidak akan memiliki kedamaian sampai ia berubah dengan percaya kepada kerahiman-Ku”.[98]
Jadi jangan sampai jatuh ke dalam godaan mencari keamanan dalam keberhasilan,
kesenangan yang sia-sia, harta, kekuasaan atas orang lain atau status sosial.
Yesus berkata, ”Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan
tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu” (Yoh. 14:27).
SUKACITA DAN RASA HUMOR
122.
Jauh dari malu-malu, murung, berbicara pedas atau
melankolis, atau memasang wajah muram, para kudus bersukacita dan penuh humor
yang baik. Meskipun sangat realistis, mereka memancarkan roh yang positif dan
penuh harapan. Kehidupan kristiani adalah "sukacita oleh Roh Kudus"
(Rm 14:17), karena "hasil yang diperlukan dari cinta kasih adalah
sukacita; karena setiap pencinta bergembira karena dipersatukan dengan yang dicintai
... akibat cinta kasih adalah sukacita”.[99]
Setelah menerima karunia sabda Allah yang indah, kita merangkulnya “dalam
penindasan yang berat, dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (1 Tes.
1:6). Jika kita memperkenankan Tuhan menarik kita keluar dari cangkang kita dan
mengubah hidup kita, maka kita dapat melakukan apa yang dikatakan Santo Paulus
kepada kita : “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan:
Bersukacitalah!” (Flp 4:4).
123.
Para nabi memberitakan masa Yesus, yang di dalamnya
sekarang kita hayati, sebagai wahyu sukacita. “Berserulah dan bersorak-sorailah!”
(Yes 12:6). “Hai Sion, pembawa kabar baik, naiklah ke atas gunung yang tinggi!
Hai Yerusalem, pembawa kabar baik, nyaringkanlah suaramu kuat-kuat!” (Yes
40:9). “Bergembiralah dengan sorak-sorai, hai gunung-gunung! Sebab TUHAN
menghibur umat-Nya dan menyayangi orang-orang-Nya yang tertindas” (Yes 49:13).
“Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai
puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya” (Za 9:9).
Kita juga tidak boleh melupakan seruan Nehemia : “Jangan kamu bersusah hati,
sebab sukacita karena TUHAN itulah perlindunganmu!" (8:11).
124.
Maria, mengenali hal baru yang dibawa Yesus,
mengidungkan : “Hatiku bergembira” (Luk 1:47), dan Yesus sendiri “bersukacita
dalam Roh Kudus” (Luk 10:21). Ketika Ia lewat, “semua orang bersukacita” (Luk
13:17). Setelah kebangkitan-Nya, ke mana pun para murid pergi, ada “banyak
sukacita” (Kis 8:8). Yesus meyakinkan kita : "Kamu akan berdukacita,
tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita … Aku akan melihat kamu lagi
dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas
kegembiraanmu itu dari padamu" (Yoh 16:20.22). “Semuanya itu Kukatakan
kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh”
(Yoh. 15:11).
125.
Masa-masa sulit bisa datang, ketika salib
membentangkan bayangannya, namun tidak ada yang dapat menghancurkan sukacita
adikodrati yang "sanggup menyesuaikan diri dan berlangsung terus, sekurang-kurangnya
bagaikan kerlap-kerlip cahaya yang berasal dari kepastian pribadi bahwa diri
kita dikasihi tanpa kesudahan di atas segalanya”.[100] Sukacita
itu membawa perlindungan yang mendalam, harapan yang menenangkan dan penggenapan
rohani yang tidak dapat dipahami atau dihargai dunia.
126.
Sukacita kristiani biasanya disertai dengan rasa
humor. Kita melihat hal ini dengan jelas, misalnya, dalam diri Santo Thomas
More, Santo Vinsensius a Paulo dan Santo Filipus Neri. Humor yang menyakitkan
bukanlah tanda kekudusan. "Buanglah kesedihan dari hatimu" (Pkh.
11:10). Kita menerima begitu banyak dari Tuhan “segala sesuatu untuk dinikmati”
(1 Tim 6:17), kesedihan itu bisa menjadi tanda tidak bersyukur. Kita bisa
terperangkap dalam diri kita sehingga kita tidak dapat mengenali
karunia-karunia Allah.[101]
127.
Dengan kasih seorang bapa, Allah memberitahu kita :
“Anakku, apabila ada milik hendaklah baik memelihara dirimu … jangan melewatkan
bagian kebahagiaan yang diinginkan” (Sir 14:11.14). Ia ingin kita menjadi
positif, bersyukur, dan tidak berbelit-belit : “Pada hari mujur bergembiralah …
Allah telah menjadikan manusia yang jujur, tetapi mereka mencari banyak dalih”
(Pkh. 7:14.29). Apapun masalahnya, kita seharusnya tetap tangguh dan meneladan
Santo Paulus : “Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan” (Flp
4:11). Santo Fransiskus dari Asisi hidup dengan hal ini; ia bisa diliputi rasa
syukur di hadapan sepotong roti keras, atau dengan sukacita memuji Allah hanya
karena angin sepoi-sepoi yang membelai wajahnya.
128.
Ini bukan sukacita yang digenggam oleh budaya
individualistis dan konsumeris saat ini. Konsumerisme hanya membuat hati
kembung. Konsumerisme bisa menawarkan kesenangan yang sesekali dan seketika,
tetapi bukan sukacita. Di sini saya sedang berbicara tentang sukacita yang dihayati
dalam persekutuan, yang membagikan dan dibagikan, karena “adalah lebih berbahagia
memberi dari pada menerima” (Kis. 20:35) dan “Allah mengasihi orang yang
memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7) . Kasih persaudaraan meningkatkan kemampuan
kita untuk bersukacita, karena kasih itu membuat kita mampu bersukacita dalam
kebaikan orang lain : “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita” (Rm 12:15).
“Kami bersukacita, apabila kami lemah dan kamu kuat” (2 Kor 13:9). Di sisi
lain, ketika kita "berfokus terutama pada kebutuhan kita sendiri, kita
mengutuk diri kita sendiri kepada keberadaan tanpa sukacita".[102]
KEBERANIAN DAN KEGAIRAHAN
129.
Kekudusan juga merupakan parrhesía : kekudusan merupakan keberanian, sebuah dorongan untuk
menginjili dan meninggalkan tanda di dunia ini. Guna memungkinkan kita
melakukan hal ini, Yesus sendiri datang dan mengatakan kepada kita sekali lagi,
dengan tenang namun tegas : “Jangan takut” (Mrk 6:50). “Aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20). Kata-kata ini memungkinkan
kita untuk berangkat dan melayani dengan keberanian yang sama seperti Roh Kudus
membangkitkan para Rasul, mendorong mereka untuk memberitakan Yesus Kristus.
Keberanian, antusiasme, kebebasan untuk berbicara, semangat kerasulan, semua
ini termasuk dalam kata parrhesía. Kitab
Suci juga menggunakan kata ini untuk menggambarkan kebebasan dari suatu kehidupan
yang terbuka bagi Allah dan bagi orang lain (bdk. Kis 4:29,9:28,28:31; 2 Kor
3:12; Ef 3:12; Ibr 3:6,10:19).
130.
Beato Paulus VI, dengan merujuk pada hambatan untuk
penginjilan, berbicara tentang kurangnya semangat (parrhesía) yakni “karena segenap semangat yang lebih sungguh-sungguh
berasal dari dalam diri sendiri”.[103]
Betapa sering kita tergoda untuk tetap dekat dengan pantai! Tetapi Tuhan
memanggil kita untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jala kita (bdk.
Luk 5:4). Ia meminta kita menghabiskan hidup kita dalam pelayanan-Nya. Perpegang
erat pada-Nya, kita terinspirasi meletakkan seluruh karisma kita untuk melayani
orang lain. Semoga kita senantiasa merasa terdorong oleh kasih-Nya (2 Kor 5:14)
dan mengatakan bersama Santo Paulus: “Celakalah aku, jika aku tidak
memberitakan” (1 Kor 9:16).
131. Pandanglah Yesus. Belas kasih-Nya yang mendalam menjangkau orang lain. Belas
kasih-Nya tidak membuat-Nya ragu, segan atau sadar diri, seperti yang sering
terjadi dengan kita. Justru sebaliknya. Belas kasihan-Nya membuat-Nya giat
pergi keluar untuk berkhotbah dan mengutus orang lain pada perutusan
penyembuhan dan pembebasan. Marilah kita mengakui kelemahan kita, tetapi
perkenankanlah Yesus untuk memegangnya dan mengutus kita juga. Kita lemah,
tetapi kita memiliki harta yang dapat melapangkan kita dan membuat orang-orang
yang menerimanya semakin baik dan semakin bahagia. Keberanian dan keteguhan kerasulan
adalah bagian penting dari perutusan.
132.
Parrhesía adalah meterai Roh; parrhesía membuktikan keaslian dari pewartaan kita. Parrhesía adalah jaminan yang penuh
sukacita yang menuntun kita menuju kemuliaan dalam Injil yang kita beritakan. Parrhesía merupakan kepercayaan yang tak
tergoyahkan dalam kesaksian yang setia yang memberi kita kepastian bahwa tidak
ada yang dapat “memisahkan kita dari kasih Allah” (Rm 8:39).
133.
Kita membutuhkan dorongan Roh, agar kita tidak
dilumpuhkan oleh rasa takut dan kehati-hatian yang berlebihan, jangan sampai
kita terbiasa tetap di dalam batas aman. Marilah kita ingat bahwa ruang
tertutup tumbuh bulukan dan tidak sehat. Ketika para Rasul tergoda untuk
membiarkan diri mereka dilumpuhkan oleh bahaya dan ancaman, mereka bergabung
dalam doa untuk memohon parrhesía :
“Dan sekarang, ya Tuhan, lihatlah bagaimana mereka mengancam kami dan
berikanlah kepada hamba-hamba-Mu keberanian untuk memberitakan firman-Mu” (Kis
4:29). Sebagai hasilnya, “ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat mereka
berkumpul itu dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan
firman Allah dengan berani” (Kis. 4:31).
134.
Seperti nabi Yunus, kita terus-menerus tergoda
untuk melarikan diri ke tempat yang aman. Tempat yang aman dapat memiliki
banyak nama : individualisme, spiritualisme, hidup di dunia kecil, kecanduan, berpendirian
keras, penolakan gagasan dan pendekatan baru, dogmatisme, nostalgia, pesimisme,
bersembunyi di balik aturan dan peraturan. Kita bisa menolak meninggalkan cara
yang akrab dan mudah dalam melakukan sesuatu. Namun tantangan yang tercakup
bisa seperti badai, ikan besar, cacing yang mengeringkan tanaman kundur, atau
angin dan matahari yang membakar kepala Yunus. Bagi kita, seperti baginya, tantangan-tantangan
tersebut dapat bertindak untuk membawa kita kembali kepada Allah kelembutan,
yang mengundang kita untuk memulai perjalanan baru.
135.
Allah adalah kebaruan yang abadi. Ia mendorong kita
terus menerus untuk memulai sesuatu yang baru, melampaui apa yang sudah
dikenal, hingga pinggiran dan tempat jauh. Ia membawa kita ke tempat manusia
paling terluka, di mana laki-laki dan perempuan, di bawah rupa kerukunan yang
dangkal, terus mencari jawaban untuk pertanyaan tentang makna kehidupan. Allah
tidak takut! Ia tidak kenal takut! Ia selalu lebih besar dari rencana dan rancangan
kita. Tidak takut pada pinggiran, Ia sendiri menjadi pinggiran (bdk. Flp 2:6-8;
Yoh 1:14). Jadi jika kita berani pergi ke pinggiran, kita akan menemukan-Nya di
sana; memang, Ia sudah ada di sana. Yesus sudah ada di sana, di dalam hati
saudara-saudari kita, dalam daging mereka yang terluka, dalam masalah mereka
dan dalam kesedihan mereka yang mendalam. Ia sudah ada di sana.
136.
Cukup benar, kita perlu membuka pintu hati kita
kepada Yesus, yang berdiri dan mengetuk (bdk. Why 3:20). Terkadang saya
bertanya-tanya, apakah mungkin Yesus sudah ada di dalam diri kita dan mengetuk
pintu agar kita membiarkan-Nya lolos dari pemusatan diri kita yang pengap.
Dalam Injil, kita melihat bagaimana Yesus “berjalan berkeliling dari kota ke
kota dan dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan Allah” (Luk 8:1).
Setelah kebangkitan, ketika para murid pergi ke segala penjuru, Tuhan menyertai
mereka (bdk. Mrk 16:20). Inilah yang apa terjadi sebagai hasil dari perjumpaan
sejati.
137.
Kepuasan diri bersifat menggoda; kepuasan diri
mengatakan kepada kita bahwa tidak ada gunanya mencoba mengubah segala sesuatu,
bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan, karena inilah hal-hal yang selalu
terjadi dan kita selalu berhasil bertahan hidup. Dengan kekuatan kebiasaan kita
tidak lagi menghadapi kejahatan dengan gagah berani. Kita “membiarkan segala
sesuatu terjadi”, atau seperti yang telah diputuskan oleh orang lain. Namun
marilah kita membiarkan Tuhan membangkitkan diri kita dari mati suri,
membebaskan kita dari kelembaman kita. Marilah kita pikirkan kembali cara biasa
kita dalam melakukan sesuatu; marilah kita membuka mata dan telinga kita, serta
terutama hati kita, agar tidak berpuasa diri dengan segala sesuatu sebagaimana
adanya, tetapi tidak terganggu oleh hidup dan ampuhnya sabda Tuhan yang bangkit.
138.
Kita diilhami untuk bertindak dengan teladan dari
seluruh imam, kaum religius, dan awam yang mengabdikan diri pada pemberitaan
dan melayani orang lain dengan kesetiaan yang tinggi, sering dengan resiko
hidup mereka dan tentu saja dengan mengorbankan kenyamanan mereka. Kesaksian
mereka mengingatkan kita bahwa, melebihi para birokrat dan fungsionaris, Gereja
membutuhkan misionaris yang bersemangat, antusias untuk berbagi kehidupan
sejati. Para kudus mengejutkan kita, mereka membingungkan kita, karena dengan
hidup mereka, mereka mendesak kita untuk meninggalkan sikap biasa-biasa saja
yang kusam dan membosankan.
139.
Marilah kita memohonkan rahmat kepada Tuhan agar
tidak ragu ketika Roh memanggil kita untuk melangkah maju. Marilah kita memohonkan
keberanian kerasulan untuk berbagi Injil kepada orang lain dan berhenti berusaha
untuk menjadikan kehidupan kristiani kita sebagai museum kenangan. Dalam setiap
situasi, semoga Roh Kudus membuat kita merenungkan sejarah dalam terang Yesus
yang bangkit. Dengan cara ini, Gereja tidak akan tinggal diam, tetapi
terus-menerus menyambut kejutan-kejutan Tuhan.
DALAM KOMUNITAS
140.
Ketika kita hidup terpisah dari orang lain, sangatlah
sulit untuk melawan nafsu berahi, jerat dan godaan iblis dan keegoisan dunia.
Kita bak diberondong oleh begitu banyak rayuan, kita bisa menjadi terlalu terasing,
kehilangan rasa akan kenyataan dan kejernihan batin kita, dan mudah menyerah.
141.Pertumbuhan
dalam kekudusan adalah sebuah perjalanan dalam komunitas, berdampingan dengan komunitas-komunitas
lainnya. Kita melihat hal ini di beberapa komunitas kudus. Dari waktu ke waktu,
Gereja telah mengkanonisasi seluruh komunitas yang menghayati Injil secara
heroik atau mempersembahkan kepada Allah kehidupan seluruh anggota mereka. Kita
dapat memikirkan, misalnya, tujuh pendiri yang kudus dari Ordo Para Hamba
Maria, ketujuh putri beata dari biara pertama Visitasi di Madrid, para martir
Jepang, Santo Paulus Miki dan sejawat-sejawatnya, para martir Korea, Santo
Andreas Taegon dan sejawat-sejawatnya, atau para martir Amerika Selatan, Santo
Roque González, Santo Alonso Rodríguez dan sejawat-sejawatnya. Kita juga seharusnya
mengingat kesaksian yang lebih baru yang ditanggung oleh para Trapis Tibhirine,
Aljazair, yang dipersiapkan sebagai komunitas untuk kemartiran. Juga dalam
banyak perkawinan yang kudus, setiap pasutri menjadi sarana yang digunakan oleh
Kristus untuk pengudusan orang lain. Hidup atau bekerja berdampingan dengan
orang lain jelas merupakan jalan pertumbuhan rohani. Santo Yohanes dari Salib
mengatakan kepada salah seorang pengikutnya : "Kamu sedang hidup bersama
orang lain untuk diteladani dan dapat dipercaya".[104]
142.
Setiap komunitas dipanggil untuk menciptakan “ruang
yang tercerahkan oleh Allah guna mengalami kehadiran tersembunyi dari Tuhan
yang telah bangkit”.[105]
Berbagi sabda dan merayakan Ekaristi bersama-sama mendorong persaudaraan dan
menjadikan kita komunitas yang kudus dan misioner. Hal ini juga memunculkan
pengalaman mistik yang otentik dan dibagikan. Seperti yang dialami Santo Benediktus
dan Santa Skolastika. Kita juga dapat memikirkan pengalaman rohani yang agung
yang dibagikan oleh Santo Agustinus dan ibunya, Santa Monika. “Sementara itu
sudah mendekatlah saat ia akan meninggalkan kehidupan ini, saat yang diketahui
oleh-Mu, tetapi yang tidak diketahui oleh kami. Maka terjadilah, karena Kau
atur, aku pasti, melalui cara-Mu yang
tersembunyi, kami, Monika dan aku, berdua saja berdiri bersandar pada jendela;
dari tempat itu terbentang di depan mata halaman dalam dari rumah yang kami
diami ... Kami ngangakan lebar-lebar mulut hati kami ke arah air yang mengalir
turun dari mata air-Mu, dari sumber kehidupan yang ada pada-Mu ... Dan sementara
kami berbicara dan mendambakan hikmat itu, tiba-tiba kami sudah menyentuhnya,
hanya sedikit saja, dengan desakan hati kami … kehidupan abadi itu seperti yang
dirasakan pada saat kepahaman itu yang telah kami rindukan”.[106]
143.
Tetapi, pengalaman semacam itu bukanlah yang paling
sering atau yang paling penting. Kehidupan bersama, baik dalam keluarga,
paroki, komunitas keagamaan atau lainnya, mencakup perkara-perkara sehari-hari.
Hal ini berlaku untuk komunitas kudus yang dibentuk oleh Yesus, Maria dan
Yusuf, yang tercermin dalam cara yang patut diteladani yakni meneladan indahnya
persekutuan Tritunggal. Hal ini juga berlaku untuk kehidupan yang Yesus bagikan
dengan murid-murid-Nya dan dengan rakyat jelata.
144.
Janganlah kita lupa bahwa Yesus meminta murid-murid-Nya
untuk memperhatikan perkara-perkara kecil.
Perkara kecil kehabisan anggur di sebuah pesta.
Perkara kecil hilangnya seekor domba.
Perkara kecil memperhatikan seorang janda yang mempersembahkan
dua keping uang.
Perkara kecil memiliki minyak cadangan untuk lampu,
ketika mempelai pria tertunda kedatangannya.
Perkara kecil bertanya kepada para murid berapa
banyak roti yang mereka miliki.
Perkara kecil memiliki api untuk berdiang dan memasak
ikan sambil menunggu para murid pada saat fajar.
145.
Sebuah komunitas yang menghargai perkara-perkara
kasih yang kecil,[107]
yang para anggotanya saling peduli dan menciptakan lingkungan yang terbuka dan
menginjili, adalah tempat hadirnya Tuhan yang bangkit, menguduskannya sesuai
dengan rencana Bapa. Ada saat-saat ketika, oleh kasih karunia Tuhan, kita
diberikan, di tengah perkara-perkara kecil ini, pengalaman-pengalaman akan
Allah yang menghibur. “Suatu malam di musim dingin aku melakukan tugas kecil saya
seperti biasa ... Tiba-tiba, aku mendengar di kejauhan suara merdu dari sebuah
alat musik. Aku kemudian membayangkan sebuah ruang gambar yang sangat terang,
yang dengan indah disepuh dengan tinta emas, dipenuhi oleh para perempuan muda
berpakaian elegan yang bercakap-cakap bersama dan saling berunding dengan
segala macam pujian dan pernyataan duniawi lainnya. Kemudian pandanganku jatuh
pada orang cacat miskin yang aku dukung. Alih-alih alunan musik yang indah saya
hanya mendengar keluhannya sesekali ... Aku tidak bisa mengungkapkan dengan
kata-kata apa yang terjadi di dalam jiwaku; apa yang kuketahui yakni Tuhan
menyinari dengan sinar kebenaran yang sangat melampaui cahaya kegelapan pesta
duniawi sehingga aku tidak dapat mempercayai kebahagiaanku”.[108]
146.
Bertentangan dengan individualisme konsumerisme
yang berkembang yang cenderung mengasingkan kita dalam upaya mencari
kesejahteraan yang terpisah dari orang lain, jalan kita menuju kekudusan hanya
dapat membuat kita lebih banyak mengenali diri dengan doa Yesus “supaya mereka
semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam
Engkau” (Yoh. 17:21).
DALAM DOA YANG TERUS MENERUS
147.
Akhirnya, meskipun tampaknya sudah jelas, kita
seharusnya ingat bahwa kekudusan mencakup keterbukaan yang bersifat kebiasaan
kepada yang transenden, yang diungkapkan dalam doa dan penyembahan. Para kudus
terbedakan oleh semangat doa dan kebutuhan untuk bersekutu dengan Allah. Mereka
menemukan keprihatian tersendiri dengan sempit dan sesaknya dunia ini, serta, di
tengah-tengah keprihatinan dan tanggung jawab mereka, mereka merindukan Allah,
kehilangan diri mereka dalam pujian dan kontemplasi akan Tuhan. Saya tidak
mempercayai kekudusan tanpa doa, meskipun doa itu tidak perlu panjang atau
melibatkan emosi yang kuat.
148.
Santo Yohanes dari Salib memberitahu kita :
“Berusahalah untuk tetap selalu berada di hadirat Allah, baik nyata,
angan-angan, atau bersatu, sejauh diperkenankan oleh karya-karyamu”.[109]
Pada akhirnya, hasrat kita untuk kehendak Allah pasti akan menemukan ungkapan
dalam kehidupan kita sehari-hari : “Berusahalah untuk terus menerus berdoa, dan
di tengah-tengah pengamalan jasmani janganlah meninggalkannya. Apakah kamu
makan, minum, berbicara dengan orang lain, atau melakukan apa saja, pergilah
selalu kepada Allah dan lekatkanlah hatimu kepada-Nya”.[110]
149.
Tetapi, agar hal ini terjadi, beberapa saat yang
dihabiskan sendirian dengan Tuhan juga diperlukan. Bagi Santa Teresa dari
Avila, doa “tidak lebih dari hubungan yang bersahabat, dan sering kali
berbicara sendirian, dengan Dia yang kita kenal mengasihi kita”.[111]
Saya akan bersikeras bahwa hal ini benar tidak hanya teristimewa bagi beberapa
orang, tetapi bagi kita semua, karena “kita semua membutuhkan keheningan ini,
dipenuhi dengan kehadiran dari Dia yang disembah”.[112]
Doa yang dipenuhi rasa percaya adalah jawaban dari hati yang terbuka untuk
berjumpa Allah muka dengan muka, di mana seluruhnya dapat didengar suara Tuhan
yang tenang dan penuh kedamaian di tengah-tengah keheningan.
150.
Dalam keheningan itu, kita dapat membedakan, dalam
terang Roh, jalan kekudusan yang sedang Tuhan panggilkan kepada kita. Jika
tidak, keputusan apa pun yang kita buat hanya bisa menjadi penutup jendela, ketimbang
memuliakan Injil dalam kehidupan kita, akan menutupi atau menenggelamkannya.
Bagi setiap murid, menghabiskan waktu
bersama Sang Guru, mendengarkan kata-kata-Nya, dan selalu belajar daripada-Nya adalah
penting. Kecuali kita mendengarkan, semua kata-kata kita hanyalah obrolan yang
tidak berguna.
151. Kita perlu mengingat bahwa “permenungan wajah Yesus, yang wafat dan
bangkit, memulihkan kemanusiaan kita, bahkan ketika kemanusiaan tersebut telah
dirusak oleh masalah-masalah kehidupan ini atau dicemari oleh dosa. Kita tidak
harus melunakkan kekuatan wajah Kristus”.[113] Maka,
izinkanlah saya bertanya : Apakah ada saat-saat ketika kamu menempatkan dirimu secara
teduh di hadirat Tuhan, ketika kamu dengan tenang menghabiskan waktu bersama-Nya,
ketika kamu tenggelam dalam tatapan-Nya? Apakah kamu membiarkan api-Nya
membakar hatimu? Kecuali kamu membiarkan-Nya semakin menghangatkan dirimu dengan
kasih dan kelembutan-Nya, kamu tidak akan terbakar. Kemudian bagaimana kamu
akan dapat membakar hati orang lain dengan kata-kata dan kesaksianmu? Jika,
menatap wajah Kristus, kamu merasa tidak sanggup membiarkan dirimu disembuhkan
dan diubah, kemudian masuk ke dalam hati Tuhan, ke dalam luka-luka-Nya, karena
itulah tempat tinggal kerahiman ilahi.[114]
152.
Saya mohon agar kita tidak pernah menganggap
keheningan sebagai bentuk pelarian dan penolakan dunia di sekitar kita.
Peziarah Rusia, yang terus-menerus berdoa, mengatakan bahwa doa semacam itu
tidak memisahkannya dari apa yang sedang terjadi di sekitarnya. “Semua orang
baik padaku; seolah-olah semua orang mengasihiku ... Tidak hanya aku merasakan
[kebahagiaan dan penghiburan] dalam jiwaku sendiri, tetapi seluruh dunia luar
juga tampak penuh pesona dan kegembiraan bagiku”.[115]
153.
Sejarah pun tidak lenyap. Doa, karena dipelihara
oleh karunia Allah yang hadir dan bekerja dalam kehidupan kita, harus selalu
ditandai dengan peringatan. Kenangan akan karya Allah adalah pusat dari
pengalaman perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Allah ingin memasuki sejarah,
dan maka doa kita terjalin dengan kenangan. Kita memikirkan kembali tidak hanya
pada Sabda-Nya yang diwahyukan, tetapi juga pada kehidupan kita sendiri,
kehidupan orang lain, dan semua yang telah dilakukan Tuhan dalam Gereja-Nya.
Inilah kenangan penuh syukur yang dirujuk Santo Ignatius dari Loyola dalam
bukunya Kontemplasi Untuk Mencapai Kasih,[116]
ketika ia meminta kita untuk mengingat seluruh berkat yang telah kita terima
dari Tuhan. Pikirkanlah sejarahmu sendiri ketika kamu berdoa, dan di sana kamu
akan menemukan banyak belas kasih. Hal ini juga akan meningkatkan kesadaranmu
bahwa Tuhan sungguh memperhatikanmu; Ia tidak pernah melupakanmu. Jadi memohon
kepada-Nya untuk menjelaskan perkara-perkara terkecil kehidupanmu adalah masuk
akal, karena Ia melihat semuanya.
154.
Doa permohonan adalah ungkapan hati yang percaya
pada Allah dan menyadari bahwa dari dirinya sendiri doa tidak dapat berbuat
apa-apa. Kehidupan umat Allah yang setia ditandai dengan permohonan terus
menerus yang berasal dari kasih yang penuh iman dan percaya diri yang besar.
Janganlah kita mengecilkan doa permohonan, yang begitu sering menenangkan hati
kita dan membantu kita bertekun dalam harapan. Doa pengantaraan memiliki nilai tertentu,
karena doa tersebut merupakan tindakan kepercayaan kepada Allah dan, pada saat
yang sama, merupakan ungkapan kasih kepada sesama kita. Ada orang-orang yang
berpikir, berdasarkan spiritualitas sepihak, bahwa doa seharusnya merupakan permenungan
akan Allah yang tak bercela, bebas dari semua gangguan, seolah-olah nama dan
wajah orang lain entah bagaimana merupakan gangguan yang harus dihindari. Namun
pada kenyataannya, doa kita akan lebih berkenan kepada Allah dan lebih ampuh
bagi pertumbuhan kita dalam kekudusan jika, melalui pengantaraan, kita berusaha
untuk melaksanakan perintah ganda yang diwariskan Yesus bagi kita. Doa pengantaraan
merupakan ungkapan keprihatinan persaudaraan kita bagi orang lain, karena kita
mampu merangkul kehidupan mereka, masalah mereka yang terdalam dan impian
mereka yang paling mulia. Di antara mereka yang melaksanakan doa pengantaraan dengan
penuh kasih, kita dapat mempergunakan kata-kata dari Kitab Suci : “Inilah
sahabat saudara-saudaranya, yang banyak berdoa untuk rakyat” (2 Mak 15:14).
155.
Jika kita menyadari akan adanya Allah, kita tidak
bisa tidak menolong tetapi menyembah-Nya, kadang-kadang dalam keheranan yang
teduh, dan memuji-Nya dalam madah yang meriah. Dengan demikian kita ambil
bagian dalam pengalaman Beato Charles de Foucauld, yang mengatakan : “Segera
setelah aku percaya akan adanya Allah, aku memahami bahwa aku tidak dapat
melakukan apa pun selain hidup untuk-Nya”.[117]
Dalam kehidupan umat peziarah Allah, ada banyak gerak penyembahan yang sungguh
sederhana, seperti ketika “tatapan seorang peziarah bersemayan pada gambar yang
melambangkan kasih sayang dan kedekatan Allah. Kasih menghentikan sejenak,
merenungkan misteri, dan menikmatinya dalam keheningan”.[118]
156.
Membaca sabda Allah dengan penuh doa, yang “lebih
manis daripada madu” (Mzm 119:103) namun “pedang bermata dua” (Ibr 4:12),
memungkinkan kita untuk berhenti sejenak dan mendengarkan suara Sang Guru.
Membaca sabda Allah menjadi pelita bagi langkah-langkah kita dan terang bagi
jalan kita (bdk. Mzm 119:105). Sebagaimana kita telah diingatkan oleh para
uskup India, “devosi terhadap sabda Allah bukan hanya salah satu dari banyak
devosi, indah tetapi sedikit manasuka. Devosi terhadap sabda Allah berjalan menuju
inti pokok dan jatidiri kehidupan kristiani. Sabda tersebut memiliki kekuatan
untuk mengubah kehidupan”.[119]
157.
Bertemu Yesus dalam Kitab Suci menuntun kita kepada
Ekaristi, di mana kata-kata yang tertulis mencapai keampuhannya yang terbesar,
karena di sanalah Sabda yang hidup benar-benar hadir. Dalam Ekaristi, satu-satunya
Allah yang benar menerima penyembahan terbesar yang dapat diberikan dunia kepada-Nya,
karena Kristus sendirilah yang ditawarkan. Ketika kita menerima-Nya dalam
Komuni Kudus, kita memperbarui perjanjian kami dengan-Nya dan memungkinkan-Nya
untuk lebih sepenuhnya melakukan karya-Nya mengubah hidup kita.
BAB LIMA
PERTEMPURAN
ROHANI, KEWASPADAAN, DAN KEARIFAN
158.
Kehidupan kristiani adalah peperangan
terus-menerus. Kita membutuhkan kekuatan dan keberanian untuk menahan godaan
iblis dan memberitakan Injil. Peperangan ini manis, karena ia memungkinkan kita
untuk bersukacita setiap kali Tuhan menang dalam kehidupan kita.
PERTEMPURAN DAN KEWASPADAAN
159.
Kita tidak hanya berurusan dengan peperangan
melawan dunia dan mentalitas duniawi yang akan memperdaya kita serta membiarkan
kita bodoh dan biasa-biasa saja, kurang antusias dan sukacita. Peperangan ini
juga tidak bisa diturunkan menjadi perjuangan melawan kelemahan dan
kecenderungan manusiawi kita (entah itu kemalasan, hawa nafsu, iri hati,
kecemburuan atau lainnya). Peperangan tersebut juga merupakan perjuangan terus
menerus melawan iblis, sang penguasa kejahatan. Yesus sendiri merayakan
kemenangan kita. Ia bersukaria ketika murid-murid-Nya membuat kemajuan dalam memberitakan
Injil dan mengatasi tentangan si jahat : “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat
dari langit” (Luk 10:18).
Lebih dari sekedar mitos
160.
Kita tidak akan mengakui keberadaan iblis jika kita
bersikeras berkenaan dengan kehidupan dengan standar empiris belaka, tanpa
pemahaman adikodrati. Justru keyakinan bahwa kekuatan jahat ini hadir di
tengah-tengah kita memungkinkan kita untuk memahami bagaimana kejahatan
kadang-kadang memiliki begitu banyak kekuatan yang merusak. Memang benar, para
penulis Kitab Suci memiliki sumber daya konseptual yang terbatas untuk mengungkapkan
kenyataan tertentu, dan pada zaman Yesus, penyakit ayan, misalnya, dapat dengan
mudah dirancukan dengan kerasukan setan. Namun hal ini seharusnya tidak membawa
kita pada penyederhanaan yang akan menyimpulkan bahwa semua kasus yang terkait
dalam Injil berkaitan dengan gangguan psikologis dan karenanya setan tidak ada
atau tidak sedang bekerja. Ia hadir di halaman-halaman pertama Kitab Suci, yang
berakhir dengan kemenangan Allah atas iblis.[120]
Memang, dengan mewariskan doa Bapa Kami kepada kita, Yesus ingin kita mengakhiri
dengan memohon kepada Bapa untuk "membebaskan kita dari kejahatan".
Kata terakhir itu tidak mengacu pada kejahatan secara abstrak; terjemahan yang
lebih tepat adalah “si jahat”. Terjemahan tersebut menandakan adanya pribadi
yang menyerang kita. Yesus mengajarkan kita untuk memohonkan setiap hari
pembebasan dari dia, jangan sampai kekuatannya menang atas kita.
161.Oleh karena
itu, kita seharusnya tidak menganggap iblis sebagai mitos, penggambaran, lambang,
kiasan atau gagasan.[121]
Kesalahan ini akan membuat kita mengecilkan kewaspadaan kita, menjadi ceroboh
dan akhirnya menjadi lebih rentan. Iblis tidak perlu memiliki diri kita. Ia
meracuni diri kita dengan bisa kebencian, kehancuran, iri hati dan keburukan.
Ketika kita menurunkan kewaspadaan, ia memanfaatkannya untuk menghancurkan
hidup kita, keluarga kita, dan komunitas kita. “Seperti singa yang mengaum-aum
dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1 Ptr 5:8).
Siap siaga dan penuh kepercayaan
162.
Sabda Allah mengundang kita dengan jelas untuk “dapat
bertahan melawan tipu muslihat Iblis” (Ef 6:11) dan “dapat memadamkan semua
panah api dari si jahat” (Ef 6:16). Ungkapan-ungkapan ini tidak bersifat melodrama,
justru karena jalan kita menuju kekudusan adalah pertempuran terus-menerus. Orang-orang
yang tidak menyadari hal ini akan menjadi mangsa kegagalan atau hal biasa-biasa
saja. Untuk pertempuran rohani ini, kita dapat mengandalkan senjata yang ampuh
yang telah diberikan Tuhan kepada kita : doa yang dipenuhi dengan iman,
meditasi sabda Allah, perayaan Misa, adorasi Ekaristi, pendamaian sakramental,
karya amal, kehidupan komunitas, misionaris ke tempat jauh. Jika kita menjadi
ceroboh, janji-janji palsu kejahatan akan dengan mudah membujuk kita.
Sebagaimana diamati oleh Cura Brochero yang dikenal kudus, “Apa gunanya ketika Lucifer
menjanjikan kebebasan dan menghujanimu dengan seluruh kepentingannya, jika kepentingan
itu palsu, menipu, dan beracun?”[122]
163.
Sepanjang perjalanan ini, penanaman semua yang
baik, kemajuan dalam kehidupan rohani dan pertumbuhan dalam kasih adalah
penyeimbang yang terbaik untuk kejahatan. Orang-orang yang memilih untuk tetap tak
berpihak, yang puas dengan yang sedikit, yang meninggalkan cita-cita memberikan
diri mereka dengan murah hati kepada Tuhan, tidak akan pernah bertahan. Bahkan
jika mereka jatuh ke dalam kekalahan, karena “jika kita memulai suatu kegiatan tanpa
didasari kepercayaan diri yang mantap, kita telah kalah separuh dan kita
menguburkan talenta-talenta kita … Kemenangan kristiani selalu berupa sebuah
salib. Akan tetapi, salib ini sekaligus menjadi bendera kemenangan yang dipanggul
dengan keteguhan yang agresif melawan serangan si jahat”.[123]
Kerusakan rohani
164.
Jalan kekudusan adalah sumber kedamaian dan
sukacita, yang diberikan kepada kita oleh Roh. Pada saat yang sama, jalan
kekudusan menuntut agar kita tetap "menyalakan pelita kita" (Luk
12:35) dan menjadi penuh perhatian. “Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan”
(1 Tes. 5:22). "Berjaga-jagalah" (Mat 24:42; Mrk 13:35). “Jangan kita
tidur” (1 Tes. 5:6). Orang-orang yang berpikir bahwa mereka tidak melakukan
dosa yang berat terhadap hukum Allah dapat jatuh ke dalam kondisi kelesuan yang
membosankan. Karena mereka tidak melihat sesuatu yang benar-benar tercela,
mereka tidak menyadari bahwa kehidupan rohani mereka telah berangsur-angsur
menjadi suam-suam kuku. Mereka akhirnya melemah dan rusak.
165.
Kerusakan rohani lebih buruk daripada kejatuhan
orang berdosa, karena kerusakan rohani adalah bentuk kebutaan yang nyaman dan
memuaskan diri. Semuanya kemudian tampak dapat diterima : tipu muslihat,
fitnah, egoisme, dan bentuk-bentuk pemusatan diri lainnya yang tak kentara,
karena “Iblis pun menyamar sebagai malaikat Terang” (2 Kor 11:14). Demikianlah
Salomo mengakhiri hari-harinya, sedangkan Daud, yang berdosa besar, mampu mendandani
aibnya. Yesus memperingatkan kita terhadap penipuan diri ini yang dengan mudah
mengarah kepada kerusakan. Ia berbicara tentang seseorang yang dibebaskan dari
iblis yang, yakin bahwa hidupnya sekarang dalam keadaan teratur, akhirnya
dirasuki oleh tujuh roh jahat lainnya (bdk. Luk 11:24-26). Teks biblis lainnya
mengatakannya dengan blak-blakan : “Anjing kembali ke muntahannya sendiri” (2
Ptr 2:22; bdk. Ams 26:11).
KEARIFAN
166.
Bagaimana kita dapat mengetahui apakah sesuatu
berasal dari Roh Kudus atau apakah berasal dari roh dunia atau roh iblis?
Satu-satunya cara adalah melalui kearifan, yang menuntut sesuatu yang lebih
dari kecerdasan atau akal sehat. Kearifan adalah karunia yang harus kita
mohonkan. Jika kita memohon dengan keyakinan Roh Kudus akan memberi kita
karunia ini, dan kemudian berusaha mengembangkannya melalui doa, permenungan,
baca dan nasihat yang baik, maka pasti kita akan bertumbuh dalam karunia rohani
ini.
Kebutuhan yang mendesak
167.
Karunia kearifan menjadi lebih penting saat ini,
karena kehidupan masa kini menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang sangat besar
untuk bertindak dan mengalihkan perhatian, serta dunia menyajikan semuanya
sebagai hal yang sah dan baik. Kita semua, terutama yang berusia muda,
tenggelam dalam budaya yang sedang bergerak cepat. Kita dapat melakukan
pelayaran secara bersamaan pada dua atau lebih layar dan berinteraksi pada saat
yang bersamaan dengan dua atau tiga skenario virtual. Tanpa hikmat kearifan,
kita dapat dengan mudah menjadi mangsa dari setiap kecenderungan yang sepintas
lalu.
168.
Ini semua lebih penting ketika beberapa hal baru
muncul dalam kehidupan kita. Kemudian kita harus memutuskan apakah hal baru
tersebut adalah anggur baru yang dibawa oleh Allah atau khayalan yang
diciptakan oleh roh dunia ini atau roh iblis. Di lain waktu, kebalikannya bisa
terjadi, ketika kekuatan si jahat menyebabkan kita tidak berubah, meninggalkan
hal-hal sebagaimana adanya, memilih penolakan yang kaku terhadap perubahan.
Namun hal itu akan menghalangi karya Roh. Kita bebas, dengan kebebasan Kristus.
Namun, Ia meminta kita untuk memeriksa apa yang ada di dalam diri kita -
keinginan, kecemasan, ketakutan dan pertanyaan kita - dan apa yang terjadi di
sekitar kita - "tanda-tanda zaman" - dan dengan demikian mengenali
jalan yang mengarah pada kebebasan penuh. “Ujilah segala sesuatu dan peganglah
yang baik” (1 Tes. 5:21).
Selalu dalam terang Tuhan
169.
Kearifan diperlukan tidak hanya pada saat-saat yang
luar biasa, ketika kita perlu menyelesaikan persoalan-persoalan serius dan
membuat keputusan-keputusan penting. Yang membantu kita mengikuti Tuhan dengan
lebih setia adalah sarana pertempuran rohani. Kita membutuhkannya setiap saat,
untuk membantu kita mengenali jadwal waktu Allah, jangan sampai kita gagal
mengindahkan dorongan rahmat-Nya dan mengabaikan ajakan-ajakan-Nya untuk bertumbuh.
Seringkali kearifan dilaksanakan dalam hal-hal kecil dan tampaknya tidak ada
sangkut pautnya, karena keagungan roh diwujudkan dalam kenyataan sehari-hari
yang sederhana.[124]
Kearifan melibatkan perjuangan tanpa batas untuk semua yang besar, lebih baik
dan lebih indah, seraya pada saat yang sama memperhatikan hal-hal kecil, tanggung
jawab dan pelaksanaan setiap hari. Karena alasan ini, saya meminta seluruh umat
kristiani untuk tidak menghilangkan, dalam dialog dengan Tuhan,
"pemeriksaan hati nurani" harian yang tulus. Kearifan juga
memungkinkan kita mengenali sarana-sarana nyata yang disediakan Tuhan dalam
rencana-Nya yang penuh misteri dan kasih, untuk membuat kita bergerak melampaui
niat baik belaka.
Karunia Adikodrati
170.
Tentu saja, kearifan rohani tidak mengesampingkan
wawasan keberadaan, psikologis, sosiologis atau moral yang diambil dari ilmu
pengetahuan manusia. Pada saat yang sama, kearifan melampauinya. Norma-norma
Gereja yang masuk akal juga tidak cukup. Kita seharusnya selalu ingat bahwa
kearifan adalah rahmat. Meskipun kearifan termasuk akal budi dan kehati-hatian,
kearifan melampaui keduanya, karena kearifan mengusahakan sekilas rencana yang unik
dan penuh misteri yang dimiliki Allah untuk diri kita masing-masing, yang terbentuk
di tengah-tengah begitu beranekaragamnya situasi dan keterbatasan. Kearifan
melibatkan lebih dari kesejahteraanku yang sementara, kepuasanku karena telah
mencapai sesuatu yang bermanfaat, atau bahkan keinginanku untuk kedamaian
pikiran. Kearifan ada hubungannya dengan makna kehidupanku di hadapan Bapa yang
mengenal dan mengasihiku, dengan tujuan yang sesungguhnya dari kehidupanku,
yang tidak diketahui oleh siapa pun selain diri-Nya. Pada akhirnya, kearifan
mengarah ke sumber kehidupan yang tak pernah mati : mengenal Bapa, satu-satunya
Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Ia utus (bdk. Yoh 17:3).
Kearifan tidak memerlukan kemampuan khusus, atau juga tidak hanya untuk menjadi
lebih cerdas atau lebih berpendidikan. Bapa dengan rela menyatakan diri-Nya
kepada orang kecil (bdk. Mat 11:25).
171. Tuhan berbicara kepada kita dalam berbagai cara, di tempat kerja,
melalui orang lain dan setiap saat. Namun kita tidak dapat melakukannya tanpa
keheningan doa yang berlangsung lama, yang memungkinkan kita untuk lebih
memahami bahasa Allah, menafsirkan makna yang sebenarnya dari inspirasi yang
kita percayai yang telah kita terima, menenangkan kecemasan kita dan melihat
seluruh keberadaan kita dengan cara baru dalam terang-Nya. Dengan cara ini,
kita membiarkan kelahiran perpaduan baru yang muncul dari kehidupan yang diinspirasi
oleh Roh.
Tuhan, berbicaralah
172.
Meskipun demikian, adalah mungkin bahwa, bahkan
dalam doa itu sendiri, kita dapat menolak untuk membiarkan diri kita dihadapkan
oleh kebebasan Roh, yang bertindak sesuai kehendak-Nya. Kita harus ingat bahwa kearifan
yang penuh doa harus lahir dari kesiapan untuk mendengarkan : Tuhan dan orang
lain, serta kenyataan itu sendiri, yang selalu menantang kita dengan cara-cara
baru. Hanya jika kita siap untuk mendengarkan, kita memiliki kebebasan untuk
mengesampingkan gagasan-gagasan kita yang tidak lengkap atau yang tidak memadai,
kebiasaan dan cara kita melihat sesuatu. Dengan cara ini, kita menjadi
benar-benar terbuka untuk menerima panggilan yang dapat menghancurkan keamanan
kita, tetapi membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik. Segala sesuatunya
tenang dan damai tidaklah mencukupi. Allah mungkin menawarkan kita sesuatu yang
lebih, tetapi dalam kelalaian yang membuat kita nyaman, kita tidak
mengenalinya.
173.
Secara alami, sikap mendengarkan ini memerlukan
ketaatan pada Injil sebagai acuan tertinggi, tetapi juga pada Magisterium yang
menjaganya, ketika kita berusaha untuk menemukan dalam khazanah Gereja apa pun
yang paling bermanfaat untuk "hari ini" keselamatan. Ketaatan pada
Injil bukan soal menerapkan aturan-aturan atau mengulangi apa yang telah
dilakukan di masa lalu, karena penyelesaian-penyelesaian yang sama tidak
berlaku dalam semua keadaan dan apa yang berguna dalam suatu konteks mungkin
tidak terbukti dalam suatu konteks lainnya. Kearifan akan roh membebaskan kita
dari kekakuan, yang tidak memiliki tempat di hadapan "hari ini" yang abadi
dari Tuhan yang bangkit. Roh sendiri dapat menembus apa yang tidak remang-remang
dan tersembunyi di setiap situasi, dan memahami setiap nuansanya, sehingga
kebaruan Injil dapat muncul dalam terang yang lain.
Nalar karunia dan nalar salib
174.
Suatu kondisi penting untuk kemajuan dalam kearifan
adalah pemahaman yang bertumbuh akan kesabaran dan jadwal waktu Allah, yang
tidak pernah kita miliki. Allah tidak menurunkan api ke atas orang-orang yang
tidak setia (bdk. Luk 9:54), atau membiarkan orang yang tekun untuk mencabut
lalang yang tumbuh di antara gandum (bdk. Mat 13:29). Kemurahan hati juga
dituntut, karena “lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kis 20:35). Kearifan
bukanlah tentang menemukan apa lagi yang bisa kita dapatkan dari kehidupan ini,
tetapi tentang mengenali bagaimana kita dapat mencapai perutusan yang dipercayakan
kepada kita pada saat kita dibaptis. Hal ini mensyaratkan kesiapan untuk
berkorban, bahkan mengorbankan segalanya. Karena kebahagiaan adalah sebuah
paradoks. Kita sangat mengalaminya ketika kita menerima nalar yang penuh misteri
yang bukan nalar dunia ini : “Inilah nalar kita”, kata Santo Bonaventura,[125]
sambil menunjuk ke arah salib. Begitu kita masuk ke dalam dinamika ini, kita
tidak akan membiarkan hati nurani kita mati rasa dan kita akan membuka diri
kita dengan murah hati menuju kearifan.
175.
Ketika, dalam hadirat Allah, kita memeriksa
perjalanan hidup kita, tidak ada satu pun wilayah yang terlarang. Dalam seluruh
segi kehidupan kita dapat terus bertumbuh dan menawarkan sesuatu yang lebih
besar kepada Allah, bahkan di wilayah-wilayah yang kita anggap paling sulit.
Namun, kita perlu meminta Roh Kudus untuk membebaskan kita dan mengusir
ketakutan yang membuat kita melarang-Nya dari bagian-bagian tertentu kehidupan
kita. Allah meminta segalanya dari kita, tetapi Ia juga memberikan segalanya bagi
kita. Ia tidak ingin memasuki kehidupan kita untuk melumpuhkan atau mengecilkan
kehidupan tersebut, tetapi menggenapkan kehidupan tersebut. Maka, kearifan
bukanlah suatu kupasan diri secara solipsistik atau suatu bentuk introspeksi diri,
tetapi suatu proses otentik untuk meninggalkan diri kita di belakang untuk
mendekati misteri Allah, yang membantu kita melaksanakan perutusan yang telah Ia
minta dari kita, demi kebaikan saudara-saudari kita.
* * *
176.
Saya berkeinginan permenungan-permenungan ini
dimahkotai oleh Maria, karena ia menghayati Sabda Bahagia Yesus sebagai tidak
ada duanya. Ia adalah wanita yang bersukacita di hadirat Allah, yang menyimpan
segala sesuatunya di dalam hatinya, dan yang membiarkan dirinya ditikam oleh
pedang. Maria adalah orang kudus di antara para kudus, berbahagia di atas yang
lainnya. Ia mengajarkan kita jalan kekudusan dan ia sungguh berjalan di samping
kita. Ia tidak membiarkan kita tetap jatuh dan kadang-kadang ia membawa kita ke
dalam pelukannya tanpa menghakimi kita. Pergaulan kita dengannya menghibur,
membebaskan dan menguduskan kita. Maria, Bunda kita tidak memerlukan banjir
kata-kata. Ia tidak membutuhkan kita untuk menceritakan apa yang sedang terjadi
dalam kehidupan kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah berbisik, berkali-kali :
"Salam Maria ..."
177.
Harapan saya adalah halaman-halaman ini akan
terbukti bermanfaat dengan memungkinkan seluruh Gereja untuk mengabdikan
dirinya secara baru untuk memberdayakan keinginan untuk kekudusan. Marilah kita
memohon kepada Roh Kudus untuk mencurahkan atas diri kita kerinduan yang kuat
untuk menjadi orang-orang kudus bagi kemuliaan Allah yang lebih besar, dan
marilah kita saling mendorong dalam upaya ini. Dengan cara ini, kita akan
berbagi kebahagiaan yang tidak akan dapat diambil dunia dari diri kita.
Diberikan di Roma, pada Takhta
Santo Petrus, tanggal 19 Maret 2018,
Hari Raya Santo Yosef, tahun keenam pontifikasi saya.
FRANSISKUS
[1]BENEDIKTUS
XVI, Homili Inagurasi Resmi Pelayanan Takhta Santo Petrus (24
April 2005) : AAS 97 (2005), 708
[2]Hal ini
selalu mengandaikan nama baik kekudusan dan pengamalan, setidaknya pada taraf
biasa, kebajikan kristiani : bdk. Motu Proprio Maiorem Hac Dilectionem (11 Juli 2017), art. 2c : L'Osservatore Romano, 12 Juli 2017, hlm.
8.
[5]KONSILI
EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 12.
[7]YOHANES
PAULUS II, Ensiklik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001),
56: AAS 93 (2001), 307.
[9]Homili
Peringatan Ekumenis Para Saksi Iman pada Abad Ke-20 (7 Mei
2000), 5: AAS 92 (2000), 680-681.
[10]Konstitusi
Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 11.
[11]bdk. HANS
URS VON BALTHASAR, “Teologi dan Kekudusan”, dalam Communio 14/4
(1987), 345.
[14]bdk. Katekese, Audiensi Umum 19 November 2014
: Insegnamenti II/2 (2014), 555.
[15]FRANSISKUS
DARI SALES, Risalah tentang Kasih Allah, VIII, 11.
[19]Katekismus
Gereja Katolik, 515.
[20]Katekismus
Gereja Katolik, 516.
[21]Katekismus
Gereja Katolik, 517.
[22]Katekismus
Gereja Katolik, 518.
[24]BENEDIKTUS
XVI, Katekese, Audiensi Umum 13 April 2011: Insegnamenti VII
(2011), 451.
[25]BENEDIKTUS
XVI, Katekese, Audiensi Umum 13 April 2011: Insegnamenti VII
(2011), 450.
[26]Bdk. HANS
URS VON BALTHASAR, “Teologi dan Kekudusan”, dalam Communio 14/4
(1987), 341-350.
[28]CARLO M.
MARTINI, Le confessioni di Pietro, Cinisello Balsamo, 2017, 69.
[29]Kita perlu
membedakan antara hiburan dangkal semacam ini dan budaya rekreasi yang sehat,
yang membuka kita kepada orang lain dan kepada kenyataan itu sendiri dalam
semangat keterbukaan dan permenungan.
[31]KONFERENSI
WALIGEREJA WILAYAH AFRIKA BARAT, Pesan Pastoral pada Akhir Sidang Umum
II, 29 Februari 2016, 2.
[33]Bdk. KONGREGASI
UNTUK AJARAN IMAN, Surat Placuit Deo tentang Aspek-aspek
Tertentu Keselamatan Kristiani (22 Februari 2018), 4, dalam L’Osservatore
Romano, 2 Maret 2018, hlm. 4-5: “Baik individualisme neo-Pelagian maupun
penganut neo-Gnostik tidak menghiraukan tubuh menodai pengakuan iman kepada
Kristus, satu-satunya, Juruselamat dunia”. Dokumen ini memberikan dasar-dasar ajaran
untuk memahami keselamatan kristiani sehubungan dengan kecenderungan
neo-gnostik dan neo-pelagian masa kini.
[34]Seruan Apostolik Evangelii
Gaudium (24 November 2013), 94: AAS 105 (2013), 1060.
[35]Idem :
AAS 105 (2013), 1059.
[36]Homili Misa
di Casa Santa Marta, 11 November 2016: L’Osservatore Romano,
12 November 2016, hlm. 8.
[37]Sebagaimana diajarkan oleh Santo Bonaventura, “kita harus menangguhkan
seluruh pelaksanaan pikiran dan kita harus mengubah puncak kasih sayang kita,
mengarahkannya kepada Allah saja… Karena alam tidak dapat menggapai apa pun dan
usaha pribadi sangat sedikit, perlunya memberi sedikit kepentingan terhadap
pemeriksaan dan banyak kepentingan terhadap penyesalan, sedikit bicara dan
banyak sukacita batin, sedikit kata-kata atau tulisan tetapi seluruhnya untuk
karunia Allah, yaitu Roh Kudus, sedikit atau tidak ada kepentingan yang
seharusnya diberikan kepada ciptaan, tetapi seluruhnya kepada Sang Pencipta,
Bapa dan Putra dan Roh Kudus” : BONAVENTURA, Itinerarium Mentis di Deum, VII, 4-5.
[38]Bdk. Surat kepada Kepala Perwakilan Universitas
Katolik Kepausan Argentina dalam rangka Seratus Tahun Berdirinya Fakultas
Teologi (3 Maret 2015) : L'Osservatore Romano, 9-10 Maret 2015, hlm. 6.
[39]Seruan Apostolik Evangelii
Gaudium (24 November 2013), 40: AAS 105 (2013), 1037.
[40]Pesan video
kepada para peserta dalam Kongres Teologi Internasional yang diadakan di
Universitas Katolik Kepausan Universitas Argentina (1-3
September 2015) : AAS 107 (2015), 980.
[42]Surat kepada
Ketua Yayasan Universitas Katolik Kepausan Argentina dalam rangka 100 tahun
berdirinya Fakultas Teologi (3 Maret 2015) : L'Osservatore Romano, 9-10 Maret
2015, hlm. 6.
[47]Bdk.
Bonaventura, De sex alis Seraphim, 3, 8: “Non omnes omnia
possunt”. Frasa ini harus dipahami sejalan dengan Katekismus Gereja
Katolik, 1735.
[48]Bdk. THOMAS
AQUINAS, Summa Theologiae II-II, q. 109, a. 9, ad 1: “Tetapi
di sini, rahmat sampai tingkat tertentu tidak sempurna, karena itu tidak
sepenuhnya menyembuhkan manusia, seperti yang telah kami katakan”.
[50]Pengakuan-pengakuan,
X, 29, 40: PL 32, 796.
[51]Bdk. Seruan
Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 44: AAS 105
(2013), 1038.
[52]Dalam
pemahaman iman kristiani, rahmat mendahului, menyertai dan mengikuti seluruh
tindakan kita (bdk. KONSILI EKUMENIS TRENTE, Sesi VI, Dekrit tentang
Pembenaran, bab 5: DH 1525).
[53]Bdk. In
Ep. ad Romanos, 9, 11: PG 60, 470.
[55]Kanon 4: DH
374.
[57]No. 1998.
[58]Idem., 2007.
[59]Thomas
Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 114, a. 5.
[61]Lucio
Gera, Sobre el misterio del pobre, dalam P. GRELOT-L. GERA-A.
DUMAS, El Pobre, Buenos Aires, 1962, 103.
[62]Inilah,
dengan kata lain, ajaran Katolik tentang "jasa" setelah pembenaran :
ini ada hubungannya dengan kerja sama orang-orang yang dibenarkan untuk
bertumbuh dalam kehidupan rahmat (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2010). Tetapi
kerjasama ini sama sekali tidak menjadikan pembenaran itu sendiri atau
persahabatan dengan Allah sebagai obyek jasa manusiawi.
[63]Bdk. Seruan
Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 95: AAS 105
(2013), 1060.
[65]FRANSISKUS, Homili
pada Misa Yubileum Orang-orang yang Terlantar secara Sosial (13
November 2016): L’Osservatore Romano, 14-15 November 2016, hlm. 8.
[66]Bdk. Homili
pada Misa di Casa Santa Marta, 9 Juni 2014: L’Osservatore Romano,
10 Juni 2014, hlm. 8.
[67]Urutan Sabda
Bahagia yang kedua dan ketiga beranekaragam sesuai dengan tradisi tekstual yang
berbeda .
[69]Manuskrip C,
12r.
[70]Sejak zaman patristik, Gereja telah menghargai karunia air mata, seperti
yang terlihat dalam doa yang bagus "Ad
petendam compunctionem cordis". Bunyinya: “Allah Yang Mahakuasa dan
Mahapengasih, yang menimbulkan dari batu karang mata air hidup bagi orang-orang
yang sedang kehausan : timbulkanlah air mata penyesalan dari kekerasan hati
kami, agar kami dapat berdukacita atas dosa-dosa kami, dan, dengan belas kasih-Mu,
anugerahkanlah pengampunan atas dosa-dosa kami” (bdk. Missale Romawi, ed. typ.
1962, hlm. [110]).
[73]Fitnahan dan
kecurangan adalah aksi terorisme : sebuah bom dilemparkan, meledak dan penyerang
berjalan tenang dan puas. Ini benar-benar berbeda dari keluhuran budi
orang-orang yang berbicara dengan orang lain secara langsung, dengan tenang dan
berterus terang, karena perhatian yang tulus terhadap kebaikan mereka.
[74]Kadang-kadang,
mungkin perlu berbicara tentang kesulitan saudara atau saudari tertentu. Dalam
kasus seperti itu, dapat terjadi bahwa penafsiran diteruskan sebagai pengganti
fakta obyektif. Emosi dapat salah mengartikan dan mengubah fakta-fakta suatu
masalah, dan akhirnya melewatkannya dengan unsur-unsur subyektif. Dengan cara
ini, baik fakta-fakta itu sendiri maupun kebenaran orang lain dihormati.
[77]Idem.,
227: 1112.
[78]Ensiklik Centesimus
Annus (1 Mei 1991), 41c: AAS 81 (1993), 844-845.
[79]Surat
Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 49: AAS 93
(2001), 302.
[82]Kita dapat
mengingat reaksi Orang Samaria yang Baik ketika bertemu dengan orang yang
diserang oleh para penyamun dan ditinggalkan hampir mati (bdk. Luk 10:30-37).
[83]KOMISI
URUSAN SOSIAL KONFERENSI WALIGEREJA KANADA, Surat Terbuka untuk Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Kepentingan Umum atau
Pengecualian : Sebuah Pilihan untuk Rakyat Kanada (1 Februari 2001), 9.
[84]Sidang Umum V Para Uskup Amerika Latin
dan Karibia, menggemakan ajaran Gereja yang terus-menerus, menyatakan bahwa
manusia “selalu sakral, sejak dari kandungan mereka, dalam seluruh tahapan
kehidupan, sampai kematian yang mereka alami, dan setelah kematian”, dan bahwa
kehidupan harus dijaga "sejak dari kandungan, dalam seluruh tahapannya,
sampai kematian alamiah" (Dokumen
Aparecida, 29 Juni 2007, 388; 464).
[89]Idem., 10,
406.
[90]Seruan
Apostolik Pasca-Sinode Amoris Laetitia (19 Maret 2016), 311:
AAS 108 (2016), 439.
[92]Bdk. Summa
Theologiae, II-II, q. 30, a. 4.
[93]Idem.,
ad 1.
[95]Ada beberapa
bentuk bullying yang, meski tampak
halus atau penuh hormat dan bahkan cukup rohaniah, menyebabkan kerusakan besar
pada harga diri orang lain.
[97]Idem., 13.
[98]Bdk. Catatan
Harian. Kerahiman Ilahi dalam Jiwaku, Stockbridge, 2000, hlm. 139 (300).
[99]THOMAS
AQUINAS, Summa Theologiae, I-II, q. 70, a. 3.
[101]Saya
menganjurkan untuk mendoakan doa yang diberikan oleh Santo Thomas More : “Ya
Tuhan, anugerahkanlah kepadaku pencernaan yang baik, dan juga sesuatu untuk
dicerna. Anugerahkanlah kepadaku tubuh yang sehat, dan humor yang baik yang
diperlukan untuk menjaganya. Anugerahkanlah kepadaku jiwa yang sederhana yang
tahu untuk menghargai semua hal yang baik dan yang tidak mudah takut saat
melihat kejahatan, tetapi menemukan cara untuk mengembalikan keadaan ke tempat
semula. Anugerahkanlah kepadaku jiwa yang tidak mengenal kebosanan, gerutuan,
keluh kesah dan ratapan, atau tekanan yang berlebihan, oleh karena hal itu yang
mengganggu sesuatu yang disebut 'aku'. Anugerahkanlah kepadaku, ya Tuhan, rasa
humor yang baik. Perkenankanlah kepadaku rahmat untuk dapat bersenda gurau dan
menemukan dalam hidup sedikit sukacita, serta dapat berbagi dengan orang lain”.
[103]Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8
Desember 1975), 80: AAS 68 (1976), 73.
Patut dicatat bahwa dalam teks ini Beato Paulus VI mengaitkan dengan
erat sukacita dan parrhesía. Seraya
meratapi “kurangnya sukacita dan harapan” sebagai penghalang untuk penginjilan,
beliau memuji “sukacita penginjilan yang menggembirakan dan menghibur”, terkait
dengan “antusiasme batin yang tidak dapat dipadamkan oleh siapapun atau
apapun”. Hal ini memastikan bahwa dunia tidak menerima Injil “dari para
penginjil yang murung [dan] berkecil hati”. Selama Tahun Suci 1975, Paus Paulus
VI mengabdikan kepada sukacita seruan apostoliknya Gaudete in Domino (9
Mei 1975): AAS 67 (1975), 289-322.
[107]Saya
memikirkan terutama tiga kata kunci "tolong", "terima
kasih" dan "maaf". “Kata-kata yang tepat, yang diucapkan pada
saat yang tepat, setiap hari melindungi dan memelihara kasih” : Seruan
Apostolik Pasca-Sinode Amoris Laetitia
(19 Maret 2016), 133: AAS 108 (2016), 363.
[108]TERESA DARI
KANAK-KANAK YESUS, Manuskrip C, 29 v-30r.
[113]Pertemuan
dengan Para Peserta dalam Konvensi V Gereja Italia, Fiorentina,
(10 November 2015): AAS 107 (2015), 1284.
[114]Bdk. BERNARDUS DARI CLAIRVAUX, Kotbah-kotbah dalam
Canticum Canticorum, 61, 3-5: PL 183:1071-1073.
[118]KONFERENSI
UMUM V PARA USKUP AMERIKA LATIN DAN KARIBIA, Dokumen Aparecida (29
Juni 2007), 259.
[119]KONFERENSI
PARA USKUP KATOLIK INDIA, Deklarasi Akhir Sidang Umum XXI, 18
Februari 2009, 3.2.
[120]Bdk. Homili
pada Misa di Casa Santa Marta, 11 Oktober 2013: L’Osservatore
Romano, 12 Oktober 2013, hlm. 2.
[121]Bdk. PAULUS
VI, Katekese, Audiensi Umum pada tanggal 15 November 1972: Insegnamenti X
(1972), hlm. 1168-1170 : “Salah satu kebutuhan terbesar kita adalah pertahanan
melawan kejahatan yang kita sebut setan ... Kejahatan bukan hanya aib,
kejahatan adalah ketepatgunaan, makhluk rohani yang hidup, yang menyesatkan dan
sedang menyesatkan. Kenyataan yang mengerikan, misterius dan menakutkan.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak lagi berada dalam kerangka pengajaran biblis
dan gerejawi yang menolak untuk mengakui keberadaannya, atau yang menjadikannya
sebagai prinsip yang dapat berdiri sendiri yang tidak memiliki, seperti setiap
makhluk, asal-usulnya di dalam Allah, atau menjelaskannya sebagai suatu
kenyataan semu, sebuah personifikasi yang bersifat konseptual dan khayalan dari
penyebabkemalangan kita yang tersembunyi ”.
[122]JOSÉ GABRIEL
DEL ROSARIO BROCHERO, “Plática de las banderas”, dalam KONFERENSI WALIGEREJA ARGENTINA, El
Cura Brochero. Cartas y sermones, Buenos Aires, 1999, 71.
[124]Makam Santo
Ignatius dari Loyola memuat prasasti yang menggugah pikiran ini : Non
coerceri a maximo, conteneri tamen a minimo divinum est (“Yang sungguh
ilahi tidak terkungkung oleh yang terbesar, namun terkandung dalam yang
terkecil”)