Ia
dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa
menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap
dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan (Yes 53:3)
Inilah
kata-kata nubuat nabi Yesaya yang mengawali Liturgi Sabda kita hari ini. Kisah
sengsara yang mengikutinya telah memberikan nama dan wajah kepada manusia
misterius yang penuh kesengsaraan yang dihina dan dihindari oleh semua orang
ini : nama dan wajah Yesus dari Nazaret. Hari ini kita ingin merenungkan
Manusia yang tersalib itu secara khusus dalam kapasitas-Nya sebagai purwarupa
dan wakil dari semua orang yang dihindari, yang kehilangan hak warisnya, dan
yang "tercampakkan" dari bumi, orang-orang yang kita palingkan wajah
agar kita tidak melihatnya.
Yesus
tidak mulai menjadi manusia itu hanya pada saat sengsara-Nya. Sepanjang
hidup-Nya, Ia adalah bagian dari kelompok ini. Ia dilahirkan di kandang “karena
tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7). Sewaktu mempersembahkan-Nya
di bait Allah, kedua orangtua-Nya mempersembahkan ”sepasang burung tekukur atau
dua ekor anak burung merpati”, persembahan yang disarankan hukum bagi orang
yang tidak mampu untuk menyediakan seekor kambing atau domba (lihat Im 12:8).
Itulah bukti yang sesungguhnya kemiskinan di Israel pada waktu itu. Selama
kehidupan-Nya di muka umum, Ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan
kepala-Nya (lihat Mat 8:20) : Ia tidak mempunyai tempat tinggal.
Sekarang
kita sampai pada sengsara-Nya. Dalam kisah sengsara, ada saat yang sering kali
tidak kita fokuskan tetapi itu sangat penting : Yesus berada di gedung
pengadilan Pilatus (lihat Mrk 15:16-20). Para serdadu melihat semak duri di
ruang terbuka di dekatnya; mereka menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya
di atas kepala-Nya; untuk mengolok-olokkan-Nya, mereka mengenakan jubah di
pundak-Nya yang penuh darah akibat cambukan; tangan-Nya diikat dengan tali
kasar; mereka menempatkan sebatang buluh di tangan-Nya, lambang olok-olok atas
kemaharajaan-Nya. Ia adalah purwarupa orang-orang yang terbelengu, sendirian,
pada belas kasihan para serdadu dan para penjahat yang kejam yang menumpahkan
amarah dan kebengisan yang mereka simpan selama hidup mereka terhadap orang
miskin yang malang. Ia disiksa!
"Ecce homo!".
"Lihatlah Manusia itu!", seru Pilatus segera setelah
memperlihatkan-Nya kepada orang-orang (Yoh 19:5). Inilah kata-kata yang,
setelah Kristus, dapat diucapkan berkenaan dengan sejumlah besar manusia yang
difitnah, direndahkan sehingga menjadi sasaran, kehilangan seluruh martabat
manusiawinya. Penulis Primo Levi memberi judul kisah hidupnya di kamp
pembantaian di Auschwitz "Apakah Ini Seorang Manusia". Di kayu salib,
Yesus dari Nazaret menjadi lambang bagian manusia yang “direndahkan dan dihina”
ini. Kita ingin berseru, “Engkau dihindari, ditolak, menjadi sampah masyarakat
di seluruh bumi : Hanya Engkaulah manusia terbesar dalam sejarah! Apapun
bangsa, ras, atau agamamu, kamu memiliki hak untuk mengakui-Nya sebagai
milikmu".
***
Penulis
dan teolog berdarah Amerika-Afrika, Howard Thurman — lelaki yang dianggap Martin
Luther King sebagai gurunya dan mengilhaminya untuk memperjuangkan hak asasi
manusia dengan tanpa kekerasan — menulis sebuah buku yang berjudul "Yesus
dan Orang yang Kehilangan Hak Warisnya”[1]
Di dalamnya ia menunjukkan bagaimana sosok Yesus mewakili para budak di belahan
bumi selatan, di mana ia sendiri adalah keturunan langsungnya. Ketika para
budak dirampas setiap haknya dan sepenuhnya dihina, kata-kata Injil yang akan
diulangi oleh para pelayan dalam ibadat tersendiri mereka - satu-satunya
pertemuan yang diperkenankan - akan memberikan kembali rasa martabat mereka
sebagai anak-anak Allah kepada para budak.
Kebanyakan
pakar spiritualitas Negro yang masih menggerakkan dunia dewasa ini muncul dalam
konteks ini.[2] Pada saat pelelangan di
muka umum, para budak mengalami kesedihan karena melihat para istri terpisah
dari suami mereka dan anak-anak mereka terpisah dari orang tua mereka,
kadang-kadang dijual kepada para majikan yang berbeda. Mudah membayangkan
semangat yang mereka nyanyikan di bawah terik matahari atau di dalam gubuk
mereka, “Tak ada seorang pun yang tahu masalah yang telah aku lihat. Tak ada
seorang pun yang tahu, kecuali Yesus".
***
Ini
bukan satu-satunya makna dari sengsara dan wafat Kristus, dan bahkan bukan yang
terpenting. Yang paling mendalam bukanlah makna sosialnya tetapi makna
spiritual dan mistisnya. Wafat Kristus menebus dunia dari dosa; wafat Kristus
membawa kasih Allah ke tempat yang paling jauh dan paling gelap yang di
dalamnya manusia telah terperangkap dalam pelariannya dari Allah, yaitu,
kematian. Ini bukan, seperti yang telah saya katakan, makna yang terpenting
dari salib, tetapi salib dapat dikenal dan diterima oleh semua orang, orang
percaya dan orang tidak percaya.
Saya
ulangi, semua orang, dan bukan hanya orang percaya. Melalui peristiwa
penjelmaan Sang Putra Allah, Ia menjadi manusia dan mempersatukan diri-Nya
dengan seluruh umat manusia, tetapi dengan cara menjelma, Ia menjadi salah
seorang dari kaum miskin dan terlantar serta merangkul perjuangan mereka. Ia
menerimanya untuk memastikan dengan sungguh-sungguh penegasan-Nya bahwa segala
sesuatu yang kita lakukan untuk orang yang lapar, orang yang telanjang, orang
yang berada dalam penjara, orang asing, kita lakukan untuk-Nya, dan segala
sesuatu yang kita lakukan untuk mereka, kita tidak melakukannya untuk Dia
(lihat Mat 25:31-46).
Tetapi
kita tidak bisa berhenti di sini. Jika Yesus hanya mengatakan hal ini kepada orang-orang yang kehilangan hak warisnya di dunia, Ia hanya akan menjadi salah
seorang di antara mereka, sebuah teladan martabat dalam menghadapi kemalangan
dan tidak lebih dari itu. Maka akan menjadi bukti lanjutan yang menentang bahwa Allahlah yang memperkenankan semua hal ini. Kita tahu reaksi marah Ivan, saudara
yang suka memberontak dalam Karamazov Bersaudara karya Dostoevsky, ketika
Aloysha, adik laki-lakinya, menyebut Yesus : "Oh, iya, 'satu-satunya Orang
yang tidak berdosa' dan darah-Nya! Tidak, aku belum melupakan-Nya; sebaliknya,
sementara itu aku selalu bertanya-tanya mengapa kamu begitu lama tidak
mengemukakan-Nya, karena dalam berbagai diskusi sanak saudaramu biasanya
mengenyahkan-Nya terlebih dahulu".[3]
Injil
sebenarnya tidak berhenti di sini. Injil mengatakan sesuatu yang lain :
dikatakan bahwa Yesus yang tersalib telah bangkit! Dalam diri-Nya pembalikan
peran sepenuhnya telah terjadi : pecundang telah menjadi pemenang; orang yang
dihakimi telah menjadi hakim, “batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan
telah menjadi batu penjuru” (lihat Kis 4:11). Kata akhir tidak dan tidak akan
pernah menjadi ketidakadilan dan penindasan. Yesus tidak hanya memulihkan
martabat orang-orang yang kehilangan hak warisnya di dunia, tetapi juga memberikan
harapan kepada mereka!
Dalam tiga abad pertama,
Gereja merayakan Paskah tidak menyebar selama beberapa hari seperti sekarang :
Jumat Agung, Sabtu Suci, dan Minggu Paskah. Semuanya
terkonsentrasi dalam satu hari. Baik wafat maupun kebangkitan diperingati pada
malam Paskah. Lebih tepatnya, baik wafat maupun kebangkitan tidak diperingati
sebagai peristiwa-peristiwa yang berbeda dan terpisah; sebaliknya yang
diperingati adalah perjalanan Kristus dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya,
dari kematian menuju kehidupan. Kata "pascha"
(pesach) berarti "bagian" :
bagian umat Yahudi dari perbudakan menuju kebebasan, bagian Kristus dari dunia
ini menuju Bapa (lihat Yoh 13:1), dan bagian dari dosa menuju rahmat untuk
mereka yang percaya kepada-Nya.
Pesta
pembalikan tersebut dipimpin oleh Allah dan dilaksanakan di dalam Kristus;
pesta pembalikan tersebut adalah awal dan janji perubahan haluan yang unik yang
sepenuhnya layak dan tidak dapat balik sehubungan dengan nasib umat manusia.
Kita dapat mengatakan kepada orang-orang miskin, orang-orang terlantar,
orang-orang yang terjebak dalam berbagai bentuk perbudakan yang masih terjadi
dalam masyarakat kita : Paskah adalah pestamu!
***
Salib
juga mengandung sebuah pesan bagi orang-orang yang berada di sisi yang berlawanan dari
persamaan ini : orang-orang yang berkuasa, orang-orang yang kuat, orang-orang
yang merasa nyaman berperan sebagai “pemenang”. Dan salib merupakan sebuah
pesan, seperti biasa, tentang kasih dan keselamatan, bukan tentang kebencian
atau balas dendam. Salib mengingatkan mereka bahwa pada akhirnya mereka terikat
pada nasib yang sama seperti setiap orang lainnya : apakah lemah atau kuat,
tidak berdaya atau lalim, semua tunduk pada hukum yang sama dan pada
keterbatasan manusiawi yang sama. Kematian, seperti pedang Damocles,
menggantung di atas kepala semua orang dengan seutas benang. Kematian memberi
peringatan untuk menentang kejahatan terburuk bagi manusia, khayalan
kemahakuasaan. Kita tidak perlu lambat laun kembali terlalu jauh ke belakang; menyadari
betapa seringnya bahaya ini dan bagaimana bahaya ini menyebabkan individu dan
bangsa menuju malapetaka cukuplah mengingat sejarah belakangan ini.
Kitab
Suci memiliki kata-kata hikmat yang abadi bagi orang-orang yang menguasai
panggung dunia :
Dengarkanlah,
hai para penguasa di ujung-ujung bumi. / Yang berkuasa akan disiksa dengan
berat (Keb 6:1,6). Manusia, yang dengan segala kegemilangannya boleh disamakan
dengan hewan yang dibinasakan (Mzm 49:20).
Apa
gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan
dirinya sendiri? (Luk 9:25).
Gereja
telah menerima mandat dari pendirinya untuk berdiri bersama kaum miskin dan
kaum lemah, menjadi suara bagi mereka yang tidak memiliki suara, serta, syukur
kepada Allah, itulah apa yang dilakukannya, terutama dalam diri Sang Gembala
Kepalanya.
Tugas
bersejarah yang kedua yang perlu dilakukan bersama oleh agama-agama dewasa ini,
selain menggalakkan perdamaian, adalah tidak berdiam diri dalam menghadapi
situasi yang ada guna dilihat semua orang. Beberapa orang tertentu memiliki
lebih banyak barang dibandingkan yang seharusnya mereka pakai, sementara selama
berabad-abad banyak orang miskin hidup tanpa memiliki sepotong roti atau
seteguk air untuk diberikan kepada anak-anak mereka. Tidak ada agama yang bisa
tetap acuh tak acuh terhadap hal ini karena Allah semua agama tidak acuh
terhadap semua ini.
***
Marilah
kita kembali ke nubuat nabi Yesaya yang dengannya kita memulai. Nubuat dimulai
dengan gambaran penghinaan Hamba Allah, tetapi diakhiri dengan gambaran akhir
pemuliaannya. Allahlah yang sedang berbicara :
Sesudah
kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas ... Sebab itu Aku
akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan
memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia
telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara
pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa
untuk pemberontak-pemberontak (Yes 53:11-12).
Dalam
dua hari, dengan maklumat kebangkitan Yesus, liturgi akan memberi nama dan
wajah kepada sang pemenang ini. Marilah kita berjaga-jaga dan merenung dalam
pengharapan.
[1]Lihat
Howard Thurman, Yesus dan Orang yang
Kehilangan Hak Warisnya (1949; cetak ulang, Boston: Beacon Press, 1996)
[2]Lihat
Howard Thurman, Sungai yang Dalam,
dan Pakar Spiritualitas Negro Berbicara
Tentang Kehidupan dan Kematian (Richmond, IN: Friends United Press, 1975)
[3]Fyodor
Dostoevsky, Karamazov Beersaudara,
alih bahasa oleh Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2002), hlm. 246.