Liturgical Calendar

KHOTBAH PASTOR RANIERO CANTALAMESSA OFMCAP DALAM IBADAT JUMAT AGUNG YANG DIPIMPIN OLEH PAUS FRANSISKUS DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN, 19 April 2019 : IA DIHINA DAN DIHINDARI ORANG

Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan (Yes 53:3)

Inilah kata-kata nubuat nabi Yesaya yang mengawali Liturgi Sabda kita hari ini. Kisah sengsara yang mengikutinya telah memberikan nama dan wajah kepada manusia misterius yang penuh kesengsaraan yang dihina dan dihindari oleh semua orang ini : nama dan wajah Yesus dari Nazaret. Hari ini kita ingin merenungkan Manusia yang tersalib itu secara khusus dalam kapasitas-Nya sebagai purwarupa dan wakil dari semua orang yang dihindari, yang kehilangan hak warisnya, dan yang "tercampakkan" dari bumi, orang-orang yang kita palingkan wajah agar kita tidak melihatnya.


Yesus tidak mulai menjadi manusia itu hanya pada saat sengsara-Nya. Sepanjang hidup-Nya, Ia adalah bagian dari kelompok ini. Ia dilahirkan di kandang “karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7). Sewaktu mempersembahkan-Nya di bait Allah, kedua orangtua-Nya mempersembahkan ”sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati”, persembahan yang disarankan hukum bagi orang yang tidak mampu untuk menyediakan seekor kambing atau domba (lihat Im 12:8). Itulah bukti yang sesungguhnya kemiskinan di Israel pada waktu itu. Selama kehidupan-Nya di muka umum, Ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya (lihat Mat 8:20) : Ia tidak mempunyai tempat tinggal.

Sekarang kita sampai pada sengsara-Nya. Dalam kisah sengsara, ada saat yang sering kali tidak kita fokuskan tetapi itu sangat penting : Yesus berada di gedung pengadilan Pilatus (lihat Mrk 15:16-20). Para serdadu melihat semak duri di ruang terbuka di dekatnya; mereka menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepala-Nya; untuk mengolok-olokkan-Nya, mereka mengenakan jubah di pundak-Nya yang penuh darah akibat cambukan; tangan-Nya diikat dengan tali kasar; mereka menempatkan sebatang buluh di tangan-Nya, lambang olok-olok atas kemaharajaan-Nya. Ia adalah purwarupa orang-orang yang terbelengu, sendirian, pada belas kasihan para serdadu dan para penjahat yang kejam yang menumpahkan amarah dan kebengisan yang mereka simpan selama hidup mereka terhadap orang miskin yang malang. Ia disiksa!

"Ecce homo!". "Lihatlah Manusia itu!", seru Pilatus segera setelah memperlihatkan-Nya kepada orang-orang (Yoh 19:5). Inilah kata-kata yang, setelah Kristus, dapat diucapkan berkenaan dengan sejumlah besar manusia yang difitnah, direndahkan sehingga menjadi sasaran, kehilangan seluruh martabat manusiawinya. Penulis Primo Levi memberi judul kisah hidupnya di kamp pembantaian di Auschwitz "Apakah Ini Seorang Manusia". Di kayu salib, Yesus dari Nazaret menjadi lambang bagian manusia yang “direndahkan dan dihina” ini. Kita ingin berseru, “Engkau dihindari, ditolak, menjadi sampah masyarakat di seluruh bumi : Hanya Engkaulah manusia terbesar dalam sejarah! Apapun bangsa, ras, atau agamamu, kamu memiliki hak untuk mengakui-Nya sebagai milikmu".

***

Penulis dan teolog berdarah Amerika-Afrika, Howard Thurman — lelaki yang dianggap Martin Luther King sebagai gurunya dan mengilhaminya untuk memperjuangkan hak asasi manusia dengan tanpa kekerasan — menulis sebuah buku yang berjudul "Yesus dan Orang yang Kehilangan Hak Warisnya”[1] Di dalamnya ia menunjukkan bagaimana sosok Yesus mewakili para budak di belahan bumi selatan, di mana ia sendiri adalah keturunan langsungnya. Ketika para budak dirampas setiap haknya dan sepenuhnya dihina, kata-kata Injil yang akan diulangi oleh para pelayan dalam ibadat tersendiri mereka - satu-satunya pertemuan yang diperkenankan - akan memberikan kembali rasa martabat mereka sebagai anak-anak Allah kepada para budak.

Kebanyakan pakar spiritualitas Negro yang masih menggerakkan dunia dewasa ini muncul dalam konteks ini.[2] Pada saat pelelangan di muka umum, para budak mengalami kesedihan karena melihat para istri terpisah dari suami mereka dan anak-anak mereka terpisah dari orang tua mereka, kadang-kadang dijual kepada para majikan yang berbeda. Mudah membayangkan semangat yang mereka nyanyikan di bawah terik matahari atau di dalam gubuk mereka, “Tak ada seorang pun yang tahu masalah yang telah aku lihat. Tak ada seorang pun yang tahu, kecuali Yesus".

***

Ini bukan satu-satunya makna dari sengsara dan wafat Kristus, dan bahkan bukan yang terpenting. Yang paling mendalam bukanlah makna sosialnya tetapi makna spiritual dan mistisnya. Wafat Kristus menebus dunia dari dosa; wafat Kristus membawa kasih Allah ke tempat yang paling jauh dan paling gelap yang di dalamnya manusia telah terperangkap dalam pelariannya dari Allah, yaitu, kematian. Ini bukan, seperti yang telah saya katakan, makna yang terpenting dari salib, tetapi salib dapat dikenal dan diterima oleh semua orang, orang percaya dan orang tidak percaya.

Saya ulangi, semua orang, dan bukan hanya orang percaya. Melalui peristiwa penjelmaan Sang Putra Allah, Ia menjadi manusia dan mempersatukan diri-Nya dengan seluruh umat manusia, tetapi dengan cara menjelma, Ia menjadi salah seorang dari kaum miskin dan terlantar serta merangkul perjuangan mereka. Ia menerimanya untuk memastikan dengan sungguh-sungguh penegasan-Nya bahwa segala sesuatu yang kita lakukan untuk orang yang lapar, orang yang telanjang, orang yang berada dalam penjara, orang asing, kita lakukan untuk-Nya, dan segala sesuatu yang kita lakukan untuk mereka, kita tidak melakukannya untuk Dia (lihat Mat 25:31-46).

Tetapi kita tidak bisa berhenti di sini. Jika Yesus hanya mengatakan hal ini kepada orang-orang yang kehilangan hak warisnya di dunia, Ia hanya akan menjadi salah seorang di antara mereka, sebuah teladan martabat dalam menghadapi kemalangan dan tidak lebih dari itu. Maka akan menjadi bukti lanjutan yang menentang bahwa Allahlah yang memperkenankan semua hal ini. Kita tahu reaksi marah Ivan, saudara yang suka memberontak dalam Karamazov Bersaudara karya Dostoevsky, ketika Aloysha, adik laki-lakinya, menyebut Yesus : "Oh, iya, 'satu-satunya Orang yang tidak berdosa' dan darah-Nya! Tidak, aku belum melupakan-Nya; sebaliknya, sementara itu aku selalu bertanya-tanya mengapa kamu begitu lama tidak mengemukakan-Nya, karena dalam berbagai diskusi sanak saudaramu biasanya mengenyahkan-Nya terlebih dahulu".[3]

Injil sebenarnya tidak berhenti di sini. Injil mengatakan sesuatu yang lain : dikatakan bahwa Yesus yang tersalib telah bangkit! Dalam diri-Nya pembalikan peran sepenuhnya telah terjadi : pecundang telah menjadi pemenang; orang yang dihakimi telah menjadi hakim, “batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru” (lihat Kis 4:11). Kata akhir tidak dan tidak akan pernah menjadi ketidakadilan dan penindasan. Yesus tidak hanya memulihkan martabat orang-orang yang kehilangan hak warisnya di dunia, tetapi juga memberikan harapan kepada mereka!

Dalam tiga abad pertama, Gereja merayakan Paskah tidak menyebar selama beberapa hari seperti sekarang : Jumat Agung, Sabtu Suci, dan Minggu Paskah. Semuanya terkonsentrasi dalam satu hari. Baik wafat maupun kebangkitan diperingati pada malam Paskah. Lebih tepatnya, baik wafat maupun kebangkitan tidak diperingati sebagai peristiwa-peristiwa yang berbeda dan terpisah; sebaliknya yang diperingati adalah perjalanan Kristus dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, dari kematian menuju kehidupan. Kata "pascha" (pesach) berarti "bagian" : bagian umat Yahudi dari perbudakan menuju kebebasan, bagian Kristus dari dunia ini menuju Bapa (lihat Yoh 13:1), dan bagian dari dosa menuju rahmat untuk mereka yang percaya kepada-Nya.

Pesta pembalikan tersebut dipimpin oleh Allah dan dilaksanakan di dalam Kristus; pesta pembalikan tersebut adalah awal dan janji perubahan haluan yang unik yang sepenuhnya layak dan tidak dapat balik sehubungan dengan nasib umat manusia. Kita dapat mengatakan kepada orang-orang miskin, orang-orang terlantar, orang-orang yang terjebak dalam berbagai bentuk perbudakan yang masih terjadi dalam masyarakat kita : Paskah adalah pestamu!

***

Salib juga mengandung sebuah pesan bagi orang-orang yang berada di sisi yang berlawanan dari persamaan ini : orang-orang yang berkuasa, orang-orang yang kuat, orang-orang yang merasa nyaman berperan sebagai “pemenang”. Dan salib merupakan sebuah pesan, seperti biasa, tentang kasih dan keselamatan, bukan tentang kebencian atau balas dendam. Salib mengingatkan mereka bahwa pada akhirnya mereka terikat pada nasib yang sama seperti setiap orang lainnya : apakah lemah atau kuat, tidak berdaya atau lalim, semua tunduk pada hukum yang sama dan pada keterbatasan manusiawi yang sama. Kematian, seperti pedang Damocles, menggantung di atas kepala semua orang dengan seutas benang. Kematian memberi peringatan untuk menentang kejahatan terburuk bagi manusia, khayalan kemahakuasaan. Kita tidak perlu lambat laun kembali terlalu jauh ke belakang; menyadari betapa seringnya bahaya ini dan bagaimana bahaya ini menyebabkan individu dan bangsa menuju malapetaka cukuplah mengingat sejarah belakangan ini.

Kitab Suci memiliki kata-kata hikmat yang abadi bagi orang-orang yang menguasai panggung dunia :

Dengarkanlah, hai para penguasa di ujung-ujung bumi. / Yang berkuasa akan disiksa dengan berat (Keb 6:1,6). Manusia, yang dengan segala kegemilangannya boleh disamakan dengan hewan yang dibinasakan (Mzm 49:20).

Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri? (Luk 9:25).

Gereja telah menerima mandat dari pendirinya untuk berdiri bersama kaum miskin dan kaum lemah, menjadi suara bagi mereka yang tidak memiliki suara, serta, syukur kepada Allah, itulah apa yang dilakukannya, terutama dalam diri Sang Gembala Kepalanya.

Tugas bersejarah yang kedua yang perlu dilakukan bersama oleh agama-agama dewasa ini, selain menggalakkan perdamaian, adalah tidak berdiam diri dalam menghadapi situasi yang ada guna dilihat semua orang. Beberapa orang tertentu memiliki lebih banyak barang dibandingkan yang seharusnya mereka pakai, sementara selama berabad-abad banyak orang miskin hidup tanpa memiliki sepotong roti atau seteguk air untuk diberikan kepada anak-anak mereka. Tidak ada agama yang bisa tetap acuh tak acuh terhadap hal ini karena Allah semua agama tidak acuh terhadap semua ini.

***

Marilah kita kembali ke nubuat nabi Yesaya yang dengannya kita memulai. Nubuat dimulai dengan gambaran penghinaan Hamba Allah, tetapi diakhiri dengan gambaran akhir pemuliaannya. Allahlah yang sedang berbicara :

Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas ... Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak (Yes 53:11-12).

Dalam dua hari, dengan maklumat kebangkitan Yesus, liturgi akan memberi nama dan wajah kepada sang pemenang ini. Marilah kita berjaga-jaga dan merenung dalam pengharapan.




[1]Lihat Howard Thurman, Yesus dan Orang yang Kehilangan Hak Warisnya (1949; cetak ulang, Boston: Beacon Press, 1996)
[2]Lihat Howard Thurman, Sungai yang Dalam, dan Pakar Spiritualitas Negro Berbicara Tentang Kehidupan dan Kematian (Richmond, IN: Friends United Press, 1975)
[3]Fyodor Dostoevsky, Karamazov Beersaudara, alih bahasa oleh Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002), hlm. 246.