PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI
ORANG MISKIN SEDUNIA III (Hari Minggu Biasa XXXIV, 17 November 2019)
Bukan
untuk selamanya hilang harapan orang sengsara
1.
"Bukan untuk selamanya hilang
harapan orang sengsara" (Mzm 9:19). Kata-kata pemazmur ini tinggal tepat
waktu. Kata-kata tersebut mengungkapkan sebuah kebenaran yang mendalam bahwa
iman mengesankan terutama di hati kaum miskin, memulihkan harapan yang hilang
di hadapan ketidakadilan, penderitaan dan ketidakpastian hidup.
Pemazmur
menggambarkan kondisi kaum miskin dan
kesombongan orang-orang yang menindas mereka (bdk. ayat 22-31). Ia memohon
penghakiman Allah untuk memulihkan keadilan dan mengatasi kejahatan (bdk. ayat
35-36). Dalam kata-katanya, kita mendengar gema dari pertanyaan-pertanyaan
sejak dahulu kala. Bagaimana Allah bisa membiarkan kesenjangan ini? Bagaimana
Ia bisa membiarkan kaum miskin dihina tanpa datang membantu mereka? Mengapa Ia
membiarkan para penindas makmur alih-alih mengutuk tingkah laku mereka,
terutama mengingat penderitaan kaum miskin?
Mazmur
disusun pada masa perkembangan ekonomi yang luar biasa yang, seperti sering
terjadi, juga menyebabkan kesenjangan sosial yang serius. Distribusi kekayaan
yang tidak merata menciptakan sejumlah besar orang miskin, yang kondisinya
tampak lebih dramatis dibandingkan dengan kekayaan yang dicapai oleh segelintir
orang yang memiliki hak istimewa. Pemazmur, mengamati situasi tersebut, melukiskan
suatu gambaran yang apa adanya.
Masa
di mana orang-orang yang sombong dan durhaka memburu orang-orang miskin,
berusaha mengambil hak milik mereka meskipun hanya sedikit yang mereka miliki,
dan menjadikan mereka sebagai budak. Hari ini situasinya tidak jauh berbeda.
Krisis ekonomi tidak menghalangi sekelompok besar orang mengumpulkan kekayaan
yang sering tampak semakin tidak layak ketika, di jalan-jalan kota kita, kita
setiap hari menjumpai banyak sekali orang miskin yang tidak memiliki kebutuhan
hidup yang paling sederhana sekalipun serta kadang-kadang dilecehkan dan
dieksploitasi. Kata-kata Kitab Wahyu muncul di benak : “Karena engkau berkata:
Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa,
dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta
dan telanjang” (Why 3:17). Berabad-abad telah berlalu, tetapi kondisi orang
kaya dan orang miskin tetap tak beranjak, seolah-olah sejarah tidak mengajarkan
apa pun kepada kita. Maka, kata-kata pemazmur bukan tentang masa lalu, tetapi
tentang masa kini kita, karena berdiri di hadapan penghakiman Allah.
2. Hari ini juga, kita harus mengakui banyak bentuk perbudakan baru yang
memperbudak jutaan pria, wanita, kaum muda dan anak-anak.
Setiap
hari kiia menjumpai keluarga-keluarga yang terpaksa meninggalkan tanah air
mereka untuk mencari nafkah di tempat lain; anak-anak yatim yang kehilangan
orang tua mereka atau dengan kasar direnggut dari mereka dengan cara
eksploitasi yang brutal; kaum muda mencari pekerjaan sesuai keahliannya tetapi
terhalang kebijakan ekonomi yang dangkal; para korban berbagai jenis kekerasan,
mulai dari pelacuran hingga perdagangan narkotika, dan sangat direndahkan
martabatnya. Bagaimana kita bisa mengabaikan jutaan imigran yang menjadi korban
berbagai kepentingan tersembunyi, sering dieksploitasi untuk keuntungan
politik, serta kesetiakawanan dan kesetaraannya diingkari? Dan seluruh
tunawisma dan orang-orang yang terlantar yang berkeliaran di jalan-jalan kota
kita?
Berapa
kali kita melihat kaum miskin mengobrak-abrik tempat sampah untuk mengambil apa
yang telah dibuang orang lain, dengan harapan menemukan sesuatu untuk hidup
atau dipakai! Mereka sendiri menjadi bagian dari tempat sampah manusia; mereka
diperlakukan sebagai sampah, tanpa rasa bersalah sedikit pun dari mereka yang
terlibat dalam skandal ini. Sering dinilai sebagai parasit di masyarakat, kaum
miskin bahkan tidak terampuni kemiskinannya. Penghakiman selalu ada di segala
penjuru. Mereka tidak boleh malu-malu atau berkecil hati; mereka dipandang
sebagai ancaman atau sama sekali tidak berguna, hanya karena mereka miskin.
Memperburuk
keadaan, mereka tidak bisa melihat ujung terowongan kemiskinan yang sangat luar
biasa. Kita telah sampai pada titik merancang arsitektur yang memusuhi yang
bertujuan membersihkan jalanan kehadiran mereka, tempat terakhir yang tersisa
untuk mereka. Mereka berkeliaran dari satu ujung kota ke ujung yang lain dengan
harapan mendapatkan pekerjaan, tempat tinggal, tanda kasih sayang ...
Orang-orang kecil tersebut menawarkan menjadi sebuah sinar terang; namun bahkan
mungkin diharapkan berkuasanya keadilan, mereka bertemu dengan kekerasan dan
pelecehan. Terpaksa bekerja berjam-jam tanpa henti di bawah terik matahari
untuk mengumpulkan buah-buahan musiman, mereka menerima upah yang sangat
rendah. Mereka bekerja dalam kondisi yang tidak aman dan tidak manusiawi yang
menghalangi mereka untuk merasa setara dengan orang lain. Mereka tidak memiliki
kompensasi pengangguran, tunjangan, atau bahkan pengobatan jika sakit.
Pemazmur
menggambarkan dengan kenyataan yang brutal sikap orang kaya yang merampok orang
miskin : "Mereka mengendap untuk menangkap orang yang tertindas ... dengan
menariknya ke dalam jaringnya" (bdk. Mzm 10:9). Seperti dalam perburuan,
orang miskin terperangkap, ditangkap dan diperbudak. Akibatnya, banyak dari
mereka menjadi berkecil hati, terbiasa dan cemas hanya karena tidak dipandang.
Singkatnya, kita melihat di hadapan kita banyak orang miskin sering difitnah
dan hampir tidak sabar dihadapi. Bagi semua orang, pengaruh mereka tidak
terlihat dan suara mereka tidak lagi terdengar atau diperhatikan di masyarakat.
Pria dan wanita yang semakin asing di tengah-tengah tempat tinggal kita dan orang-orang
yang terbuang di lingkungan kita.
3. Latar belakang pemazmur diwarnai dengan kesedihan karena ketidakadilan,
penderitaan dan kekecewaan yang dialami oleh kaum miskin. Pada saat yang sama,
ia menawarkan sebuah definisi yang menyentuh berkenaan dengan kaum miskin :
mereka adalah orang-orang yang "menaruh kepercayaan mereka kepada
Tuhan" (bdk. ayat 10), dalam kepastian bahwa mereka tidak akan pernah
ditinggalkan. Dalam Kitab Suci, kaum miskin adalah orang-orang yang percaya!
Pemazmur juga memberikan alasan untuk kepercayaan ini : mereka
"mengenal" Tuhan (bdk. ayat 10). Dalam bahasa Kitab Suci,
"pengetahuan" seperti itu melibatkan hubungan kasih sayang dan cinta
yang bersifat pribadi.
Penggambaran
seperti ini mengesankan dan sama sekali tidak terduga, penggambaran tersebut mengungkapkan
keagungan Allah semata, seperti yang ditunjukkan dalam cara-Nya berhubungan
dengan kaum miskin. Kuasa-Nya yang berdaya cipta melampaui segala pengharapan
manusia dan ditunjukkan dalam "perhatian"-Nya terhadap setiap
individu (bdk. ayat 13). Justru kepercayaan pada Tuhan ini, kepastian tidak
ditinggalkan, yang menanamkan pengharapan. Kaum miskin tahu bahwa Allah tidak sudi
meninggalkan mereka; karenanya, mereka hidup selalu di hadirat Allah yang
memperhatikan mereka. Pertolongan Allah melampaui keadaan penderitaan mereka
saat ini guna menunjukkan jalan pembebasan yang secara mendalam menguatkan dan
mengubah hati.
4. Kitab Suci terus-menerus berbicara tentang Allah yang bertindak atas
nama kaum miskin. Dialah yang "mendengarkan" jeritan mereka dan
"datang menolong mereka"; Ia “melindungi” dan “membela” mereka; Ia
"meluputkan" dan "menyelamatkan" mereka ... Memang, kaum
miskin tidak akan pernah mendapati Allah acuh tak acuh atau berdiam diri di
hadapan permohonan mereka. Allahlah yang memberikan keadilan dan tidak
melupakan (bdk. Mzm 40:18;70:6); Dialah perlindungan mereka dan Ia tidak pernah
urung untuk menolong mereka (bdk. Mzm 10:14).
Kita
dapat membangun sejumlah dinding dan menutup pintu kita dalam upaya yang
sia-sia untuk merasa aman dalam kekayaan kita, dengan mengorbankan mereka yang
tertinggal di luar. Tidak akan selamanya seperti itu. "Hari Tuhan",
seperti yang digambarkan oleh para nabi (bdk. Am 5:18; Yes 2-5; Yl 1-3), akan
menghancurkan penghalang yang diciptakan antarbangsa dan menggantikan
kesombongan beberapa orang dengan kesetiakawanan banyak orang. Peminggiran yang
menyakitkan yang dialami jutaan orang tidak bisa berlangsung lama. Jeritan
mereka semakin keras dan merangkul seluruh bumi. Dalam kata-kata Pastor Primo
Mazzolari : “kaum miskin terus-menerus menentang ketidakadilan kita; kaum
miskin adalah sebuah tong mesiu. Jika tong tersebut terbakar, dunia akan
meledak”.
5. Kita tidak akan pernah bisa menghindari seruan mendesak yang dibuat
Kitab Suci atas nama kaum miskin. Di mana pun kita melihat, sabda Allah
menunjuk kepada kaum miskin, orang-orang yang tidak memiliki kebutuhan hidup
karena mereka bergantung pada orang lain. Mereka adalah orang-orang yang
tertekan, orang-orang rendahan dan orang-orang yang tertindas. Namun,
berhadapan dengan sekelompok besar orang miskin yang tak terhitung jumlahnya,
Yesus tidak takut untuk menyamakan diri-Nya dengan mereka masing-masing :
"Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang
paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat 25:40). Jika kita
menolak untuk membuat penyamaan ini, kita memalsukan Injil dan menggampangkan
wahyu Allah. Allah yang datang kepada Yesus untuk diwahyukan adalah seorang
Bapa yang murah hati, berbelas kasih, tidak kenal lelah dalam kebaikan dan
kasih karunia-Nya. Ia memberi pengharapan terutama kepada orang-orang yang
kecewa dan tidak memiliki pengharapan akan masa depan.
Bagaimana
kita bisa urung untuk mencatat bahwa Sabda Bahagia yang mengawali khotbah Yesus
tentang Kerajaan Allah dibuka dengan kata-kata : "Berbahagialah, hai kamu
yang miskin" (Luk 6:20)? Arti dari pesan paradoks ini yaitu Kerajaan Allah
adalah milik kaum miskin karena mereka berada dalam posisi untuk menerimanya.
Berapa banyak orang miskin yang kita jumpai setiap hari! Tampaknya perjalanan
waktu dan kemajuan peradaban meningkatkan jumlah mereka ketimbang menguranginya.
Berabad-abad telah berlalu dan Sabda Bahagia nampak semakin paradoks : kaum
miskin selalu semakin miskin, dan hari ini mereka semakin miskin dari
sebelumnya. Namun Yesus yang mencanangkan kerajaan-Nya dengan menempatkan kaum
miskin di tengah, ingin memberitahu kita dengan tepat hal ini : Ia mencanangkan
Kerajaan Allah, tetapi Ia telah mempercayakan kepada kita, para murid-Nya,
dengan penuh tanggung jawab tugas untuk meneruskannya guna memberi pengharapan
kepada kaum miskin. Terutama pada masa-masa seperti masa kita, ada kebutuhan
untuk menghidupkan kembali pengharapan dan memulihkan kepercayaan. Tanggung
jawab ini bukanlah sesuatu yang dapat diremehkan oleh umat Kristiani. Pewartaan
kita dan kesaksian umat Kristiani dapat dipercaya tergantung padanya.
6. Dalam kedekatan dengan kaum miskin, Gereja menyadari bahwa ia adalah
satu umat, tersebar di banyak bangsa dan dipanggil untuk memastikan bahwa tak
seorang pun yang merasa terasing atau terkucil, karena ia melibatkan semua
orang dalam perjalanan keselamatan bersama. Situasi kaum miskin mengharuskan
kita untuk tidak menjaga jarak dari tubuh Tuhan, yang menderita di dalam diri
mereka. Sebaliknya, kita dipanggil untuk menjamah daging-Nya dan secara pribadi
berketetapan hati dalam memberikan pelayanan yang merupakan bentuk penginjilan
yang otentik. Berketetapan hati untuk mendukung kaum miskin, termasuk mendukung
mereka secara sosial, tidak asing dengan pewartaan Injil. Sebaliknya, Gereja
mewujudnyatakan iman Kristiani dan keabsahan sejarahnya. Kasih yang memberi
kehidupan terhadap iman kepada Yesus menjadikannya mustahil bagi
murid-murid-Nya untuk tetap tertutup dalam individualisme yang menyesakkan atau
menarik diri ke dalam lingkaran kecil keintiman rohani, tanpa berpengaruh
terhadap kehidupan sosial (bdk. Evangelii
Gaudium, 183).
Baru-baru
ini, kita berduka atas wafatnya seorang rasul besar kaum miskin, Jean Vanier,
yang pengabdiannya membuka cara-cara baru untuk menunjukkan kesetiakawanan
dengan orang-orang yang terpinggirkan dan bekerja untuk memajukan mereka. Allah
memberi Jean Vanier karunia untuk mengabdikan seluruh hidupnya bagi
saudara-saudari kita yang cacat, orang-orang yang cenderung dikucilkan oleh
masyarakat. Ia adalah salah satu dari orang-orang kudus “pintu sebelah”; berkat
antusiasmenya, ia mengumpulkan di sekeliling dirinya sejumlah besar kaum muda,
pria dan wanita, yang bekerja setiap hari untuk memberikan kasih dan memulihkan
senyuman kepada banyak orang yang tak berdaya, menawarkan mereka
"bahtera" keselamatan dari peminggiran dan kesendirian yang sesungguhnya.
Kesaksiannya mengubah kehidupan orang-orang yang tak terhitung jumlahnya dan
membantu dunia untuk memandang secara berbeda mereka yang kurang beruntung dibanding
kita. Jeritan kaum miskin terdengar dan menghasilkan pengharapan yang tak
tergoyahkan, menciptakan tanda-tanda nyata dan kasat mata dari kasih yang
berwujud yang bahkan hari ini dapat kita jamah dengan tangan kita.
7. “Pilihan untuk selalu bersama mereka yang terkecil, mereka yang terbuang
oleh masyarakat” (Evangelii Gaudium,
195) adalah prioritas yang harus dikejar oleh para pengikut Kristus, agar tidak
merusak kredibilitas Gereja tetapi memberikan pengharapan nyata bagi banyak
saudara-saudari kita yang tak berdaya. Amal kasih Kristiani menemukan ungkapan
nyata dalam diri mereka, karena oleh belas kasih mereka dan kesediaan mereka
untuk membagikan kasih Kristus kepada orang-orang yang membutuhkan, mereka
sendiri diperkuat dan meneguhkan pewartaan Injil.
Keterlibatan
umat Kristiani dalam Hari Orang Miskin Sedunia ini dan khususnya dalam
peristiwa kehidupan sehari-hari, melampaui berbagai prakarsa bantuan.
Keterlibatan umat Kristiani kiranya layak dipuji dan perlu, mereka seharusnya
memiliki tujuan untuk mendorong dalam diri setiap orang untuk semakin peduli
dengan individu-individu dalam pelbagai kesulitan mereka. “Sikap perhatian
penuh kasih semacam ini merupakan awal dari keprihatinan yang sungguh-sungguh”
(Evangelii Gaudium, 199) terhadap kaum miskin dan membangun kesejahteraan
mereka yang sesungguhnya. Menjadi saksi-saksi pengharapan Kristiani dalam
konteks budaya konsumerisme, budaya limbah yang hanya peduli pada meluasnya
kesejahteraan yang dangkal dan sesaat tidaklah mudah. Diperlukan perubahan
mental, guna menemukan kembali apa yang pokok dan memberikan hakekat serta
mendukung pewartaan Kerajaan Allah.
Pengharapan
juga ditularkan oleh kepuasan yang lahir dari menyertai kaum miskin bukan
karena saat-saat antusiasme yang singkat, tetapi melalui ketetapan hati yang
terus menerus dari waktu ke waktu. Kaum miskin memperoleh pengharapan yang tulus,
bukan dengan melihat kita memberi kepuasan dengan meluangkan waktu kita, tetapi
dengan mengakui dalam pengorbanan kita suatu tindakan kasih tanpa pamrih yang
tidak mengharapkan imbalan.
8. Saya memohon kepada banyak sukarelawan, yang layak mendapat pengakuan
karena menjadi orang pertama yang melihat pentingnya kepedulian semacam itu
bagi kaum miskin, untuk bertahan dalam pelayanan pengabdian mereka. Saudara dan
saudari terkasih, saya membesarkan hatimu untuk mengusahakan, dalam diri setiap
orang miskin yang kamu jumpai, kebutuhan mereka yang sesungguhnya, tidak
berhenti pada kebutuhan materi mereka yang kentara, tetapi menemukan kebaikan
batin mereka, memperhatikan latar belakang mereka dan cara mereka mengungkapkan
diri, serta dengan cara ini memulai dialog persaudaraan sejati. Marilah kita
mengesampingkan perpecahan yang lahir dari kedudukan ideologi dan politik,
serta sebaliknya memusatkan pandangan kita pada apa yang pokok, pada apa yang
tidak membutuhkan banjir kata-kata, tetapi tatapan kasih dan tangan yang terulur.
Jangan pernah lupa bahwa “diskriminasi terburuk yang diderita kaum miskin
adalah kurangnya pemeliharaan rohani” (Evangelii Gaudium, 200).
Yang
terpenting, kaum miskin membutuhkan Allah dan kasih-Nya, dijadikan kasat mata
oleh “orang-orang kudus pintu sebelah”, orang-orang yang dengan kesederhanaan
hidup mereka dengan jelas mengungkapkan kekuatan kasih Kristiani. Allah mempergunakan
sejumlah cara dan sarana yang tak terhitung jumlahnya untuk menjamah hati
orang-orang. Tentu saja, kaum miskin juga datang kepada kita karena kita
memberi mereka makanan, tetapi apa yang benar-benar mereka butuhkan adalah
lebih dari sekadar tawaran makanan hangat atau sandwich. Kaum miskin butuh diangkat oleh tangan kita; butuh hati
kita untuk merasakan kembali kehangatan kasih sayang; butuh kehadiran kita
untuk mengatasi kesepian. Singkatnya, mereka membutuhkan kasih.
9. Kadang-kadang, sangat sedikit yang dibutuhkan untuk memulihkan
pengharapan. Cukup berhenti sejenak, tersenyum dan mendengarkan. Untuk kali
ini, marilah kita mengesampingkan data angka-angka : kaum miskin bukanlah data angka-angka
yang dikutip ketika membanggakan karya dan rancangan kita. Kaum miskin adalah
orang-orang yang harus dijumpai; mereka kesepian, tua dan muda, diundang ke
tempat tinggal kita untuk ikut makan; pria, wanita dan anak-anak yang mencari
kata yang ramah. Kaum miskin menyelamatkan kita karena mereka memampukan kita
untuk berjumpa dengan wajah Yesus Kristus.
Di
mata dunia, rasanya tidak masuk akal memikirkan kemiskinan dan kebutuhan dapat
memiliki kuasa yang menyelamatkan. Namun Rasul Paulus mengajarkan kita :
“Menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang
berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi
dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang
lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang
tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak
berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada
seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1 Kor 1:26-29).
Melihat berbagai hal dari sudut pandang manusia, kita gagal melihat kuasa yang
menyelamatkan ini, tetapi dengan mata iman, kita melihatnya sedang bekerja dan
mengalaminya secara pribadi. Dalam hati peziarah umat Allah ada denyutan kuasa
yang menyelamatkan itu yang tidak mengecualikan siapa pun dan melibatkan semua
orang dalam perjalanan peziarahan pertobatan sejati, untuk mengenali kaum
miskin dan mengasihi mereka.
10. Tuhan tidak meninggalkan orang-orang yang mencari-Nya dan memanggil
nama-Nya : “Teriak mereka tidaklah dilupakan-Nya” (Mzm 9:13), karena
telinga-Nya memperhatikan suara mereka. Pengharapan kaum miskin menentang
berbagai situasi yang mematikan, karena kaum miskin tahu bahwa mereka terutama
dikasihi oleh Allah, dan hal ini lebih kuat daripada penderitaan atau
pengucilan apa pun. Kemiskinan tidak membuat mereka kehilangan martabat yang
diberikan Allah; mereka hidup dalam kepastian bahwa martabat itu akan sepenuhnya
dipulihkan kepada mereka oleh Allah sendiri, yang tidak acuh tak acuh terhadap
banyak putra dan putri-Nya yang paling hina. Sebaliknya, Ia melihat perjuangan
dan kesusahan mereka, Ia memegang tangan mereka, dan Ia memberi mereka kekuatan
dan keberanian (bdk. Mzm 10:14). Pengharapan kaum miskin diteguhkan dalam
kepastian bahwa suara mereka didengar oleh Tuhan, bahwa di dalam Dia mereka
akan menemukan keadilan sejati, bahwa hati mereka akan dikuatkan dan terus
dikasihi (bdk. Mzm 10:17).
Jika
murid-murid Tuhan Yesus ingin menjadi para penginjil sejati, mereka harus
menabur benih pengharapan yang nyata. Saya meminta agar segenap umat Kristiani,
dan semua orang yang merasa terdorong untuk menawarkan pengharapan dan
penghiburan kepada kaum miskin, untuk membantu memastikan bahwa Hari Orang
Miskin Sedunia ini akan mendorong semakin banyak orang untuk bekerja sama
secara efektif sehingga tidak akan ada yang merasa kehilangan kedekatan dan
kesetiakawanan. Semoga kamu selalu menghargai kata-kata nabi Maleaki yang mewartakan
masa depan yang berbeda : "Kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan
terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya" (Mal 4:2).
Vatikan,
13 Juni 2019
Pesta
Santo Antonius dari Padua
FRANSISKUS
____