Marilah
kita renungkan sedikit kisah Injil: Yesus menanjak ke Yerusalem. Namun,
kenaikan-Nya bukanlah untuk meraih kemuliaan duniawi, melainkan untuk kemuliaan
Allah, yang berarti Ia turun ke jurang kematian. Di Kota Suci, Ia akan wafat di
kayu salib untuk memulihkan kehidupan kita. Di sisi lain, Yakobus dan Yohanes
membayangkan takdir yang berbeda bagi Guru mereka, sehingga mereka meminta
kepada-Nya dua tempat kehormatan: "Perkenankanlah kami duduk dalam
kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di
sebelah kiri-Mu" (Mrk 10:37).
Injil
menyoroti kontras yang dramatis ini: Yesus mengambil jalan menanjak yang sulit
yang akan membawa-Nya ke Kalvari, sementara para murid memikirkan jalan menurun
yang mulus dari Mesias yang menang. Kita seharusnya tidak terganggu oleh hal
ini, tetapi memperhatikan dengan rendah hati bahwa – mengatakan bersama Manzoni
– “demikianlah ketidakkonsistenan hati manusia” (The Betrothed, Bab 10).
Beginilah cara memperhatikannya.
Hal
yang sama dapat terjadi pada kita: hati kita dapat tersesat, membiarkan kita
terpesona oleh daya tarik gengsi, godaan kekuasaan, oleh semangat manusiawi
yang berlebihan bagi Tuhan. Itulah sebabnya kita perlu melihat dalam batin,
berdiri di hadapan Allah dengan rendah hati dan di hadapan diri kita dengan
tulus, serta bertanya: Ke mana hatiku sedang pergi? Ke mana hatiku sedang pergi
hari ini? Ke arah mana? Apakah aku mungkin telah mengambil jalan yang keliru?
Sebagaimana peringatan Santo Agustinus kepada kita: “Mengapa mengikuti jalan
kosong yang hanya menuntunmu tersesat? Kembalilah kepada Tuhan. Ia sedang
menunggu. Namun pertama-tama, kembalilah ke hatimu, karena di sana ditemukan
rupa Allah. Kristus tinggal di dalam manusia batiniah, dan di dalam manusia
batiniah kamu diperbarui menurut rupa Allah” (Ulasan Injil Yohanes, XVIII, 10).
Maka,
kembali ke jalan yang sama seperti Yesus, kita perlu kembali ke hati. Hari ini,
secara khusus, saya ingin mengatakan kepadamu, saudara-saudara terkasih yang
diangkat menjadi kardinal: Berusahalah semaksimal mungkin untuk berjalan di
jalan Yesus. Apa artinya hal ini?
Berjalan
di jalan Yesus berarti pertama-tama kembali kepada-Nya dan menempatkan-Nya
kembali di pusat segala sesuatu. Kadang-kadang, dalam kehidupan rohani dan
kegiatan pastoral kita, kita berisiko berfokus pada apa yang tidak penting dan
melupakan apa yang penting. Terlalu sering, hal-hal sekunder menggantikan apa yang
penting, penampilan lahiriah mengaburkan apa yang benar-benar penting. Kita
menyelami kegiatan yang kita anggap mendesak, tanpa sampai ke inti persoalan.
Sebaliknya, kita harus terus-menerus kembali ke pusat, pada apa yang mendasar,
dan melepaskan diri dari semua yang berlebihan, untuk mengenakan Kristus. (lih.
Rm 13:14). Kata “kardinal” sendiri mengingatkan kita akan hal ini, karena
mengacu pada engsel yang dimasukkan untuk mengamankan, menopang, dan memperkuat
pintu. Saudara-saudara terkasih: Yesus adalah pendukung sejati kita, “pusat
gravitasi” pelayanan kita, “titik kardinal” yang memberikan arah bagi seluruh
hidup kita.
Berjalan
di jalan Yesus juga berarti menumbuhkan hasrat untuk berjumpa. Yesus tidak
pernah berjalan sendirian; hubungan-Nya dengan Bapa tidak mengasingkan-Nya dari
situasi dan penderitaan yang Ia hadapi di dunia ini. Sebaliknya, Ia datang
justru untuk menyembuhkan kemanusiaan kita yang terluka, meringankan beban hati
kita, membersihkan noda dosa dan menghancurkan ikatan perbudakan. Di jalan-Nya,
Tuhan menjumpai wajah orang-orang yang sedang menderita dan telah kehilangan
harapan; Ia membangkitkan orang yang jatuh dan menyembuhkan orang yang sakit.
Jalan yang dilalui Yesus penuh dengan wajah dan cerita yang berbeda. Saat Ia
lewat, Ia menyeka air mata mereka yang berduka, “menyembuhkan orang yang hancur
hatinya dan membalut luka-luka mereka” (lih. Mzm 147:3).
Petualangan
di jalan, sukacita bertemu orang lain, kepedulian terhadap mereka yang paling
membutuhkan: hal-hal ini seharusnya mengilhami pelayananmu sebagai kardinal.
Petualangan di jalan, sukacita bertemu orang lain, kepedulian terhadap mereka
yang paling membutuhkan. Don Primo Mazzolari, seorang tokoh besar di antara
para klerus Italia, pernah berkata, “Gereja dimulai dengan berjalan, Gereja
berlanjut dengan berjalan. Tidak perlu mengetuk pintunya atau menunggu untuk
diterima. Berjalanlah dan kamu akan menemukannya; berjalanlah dan ia akan
berada di sampingmu; teruslah berjalan dan kamu akan berada di dalam Gereja”
(Tempo di credere, Bologna 2010, 80-81). Janganlah kita lupa bahwa berdiam diri
merusak hati sebagaimana air yang tergenang adalah yang pertama kali tercemar.
Berjalan
di jalan Yesus berarti, pada akhirnya, menjadi pembangun persekutuan dan
kesatuan. Di antara para murid, cacing persaingan menghancurkan kesatuan,
sementara jalan yang dilalui Yesus membawa-Nya ke Kalvari. Di kayu salib, Ia
menggenapi perutusan yang dipercayakan kepada-Nya, agar tidak ada satupun yang
hilang (lih. Yoh 6:39), agar tembok pemisah permusuhan (lih. Ef 2:14) akhirnya
dirobohkan, dan agar semua orang dapat melihat diri mereka sebagai anak-anak
dari Bapa yang sama dan sebagai saudara-saudari satu sama lain. Karena alasan
ini, Tuhan sedang memandangmu, yang datang dari berbagai latar belakang dan budaya,
serta mewakili kekatolikan Gereja. Ia memanggilmu untuk menjadi saksi
persaudaraan, pengrajin persekutuan dan pembangun persatuan. Inilah perutusanmu!
Santo
Paulus VI yang agung, saat berbicara kepada sekelompok kardinal baru, mencatat
bahwa, seperti para pengikut, kita terkadang dapat menyerah pada godaan untuk
menciptakan perpecahan, sedangkan “semangat untuk mengupayakan persatuan adalah
tanda dari para pengikut Kristus yang sejati”. Paus yang suci itu kemudian
menambahkan, “Setiap orang merasa betah dalam keluarga gerejawi, tidak ada
pengucilan atau pengasingan, yang terbukti sangat merugikan persatuan kita
dalam kasih, atau upaya untuk membuat beberapa orang menang dengan merugikan
yang lain adalah keinginan kita … Kita harus bekerja, berdoa, menderita, dan
berjuang untuk menjadi saksi Kristus yang bangkit” (Wejangan pada Konsistori,
27 Juni 1977).
Dalam
semangat yang sama, saudara-saudara terkasih, kamu akan membuat perbedaan,
sesuai dengan peringatan Yesus kepada para murid tentang persaingan yang
merusak di dunia ini: "Tidaklah demikian di antara kamu" (Mrk 10:43).
Seolah-olah Ia berkata, Mari, ikutlah Aku di jalan-Ku, dan kamu akan berbeda.
Mari, ikutlah Aku dan kamu akan menjadi tanda yang cemerlang di tengah-tengah
masyarakat yang terobsesi dengan penampilan dan kekuasaan. Sekali lagi, Ia
memberitahu kita: "Tidaklah demikian di antara kamu". Kasihilah satu
sama lain dengan kasih persaudaraan dan jadilah pelayan bagi satu sama lain,
pelayan Injil.
Saudara-saudara
terkasih, marilah kita berjalan di jalan Yesus, bersama-sama; marilah kita
berjalan dengan rendah hati; marilah kita berjalan dengan takjub dan marilah
kita berjalan dengan sukacita.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 8 Desember 2024)