Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 9 April 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERJUMPAAN 4. ORANG KAYA. YESUS MEMANDANG DIA (MRK 10:21)

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita akan melihat perjumpaan Yesus yang lain, yang diceritakan dalam Injil. Namun, kali ini, orang yang ditemuinya tidak memiliki nama. Penginjil Markus menggambarkannya hanya sebagai "seseorang" (10:17). Dia adalah seorang yang telah menaati perintah-perintah sejak masa mudanya tetapi, meskipun demikian, belum menemukan makna hidupnya. Ia sedang mencarinya. Mungkin ia adalah orang yang belum benar-benar mengambil keputusan, meskipun ia tampak seperti orang yang berketetapan hati. Memang, di luar hal-hal yang kita lakukan, pengorbanan dan keberhasilan kita, apa yang benar-benar penting agar menjadi bahagia adalah apa yang kita bawa di dalam hati kita. Jika sebuah kapal harus berlayar dan meninggalkan pelabuhan untuk berlayar di laut lepas, kapal itu bisa menjadi luar biasa, dengan awak yang tiada duanya, tetapi jika tidak menarik pemberat dan jangkar yang menahannya, kapal itu tidak akan pernah bisa berangkat. Orang ini telah membuat dirinya menjadi kapal yang mewah, tetapi ia tetap tinggal di pelabuhan!

 

Pada waktu Yesus meneruskan perjalanan-Nya, orang ini berlari menghampiri-Nya, berlutut di hadapan-Nya dan bertanya, "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" (ayat 17). Perhatikan kata kerjanya: "apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal". Karena menaati Hukum Taurat tidak memberinya kebahagiaan dan jaminan keselamatan, ia berpaling kepada Guru Yesus. Yang mengejutkan, orang ini tidak mengenal kosakata tentang pemberian cuma-cuma! Segala sesuatu tampaknya menjadi haknya. Segala sesuatu adalah kewajiban. Hidup kekal baginya adalah warisan, sesuatu yang diperoleh dengan benar, melalui ketaatan yang cermat terhadap ketetapan hati. Namun dalam kehidupan yang dijalani dengan cara ini, meskipun tentu saja untuk tujuan yang baik, ruang apa yang dapat dimiliki oleh kasih?

 

Seperti biasa, Yesus melampaui apa yang tampak. Sementara di satu sisi orang ini memaparkan ringkasan yang bagus kepada Yesus, Yesus melampauinya dan melihat ke dalam dirinya. Kata kerja yang digunakan Markus sangat penting: "memandang dia" (ayat 21). Justru karena Yesus melihat ke dalam diri kita masing-masing, Ia mengasihi kita sebagaimana adanya. Apa yang sesungguhnya akan Ia lihat dalam diri orang ini? Apa yang Yesus lihat ketika Ia melihat ke dalam diri kita masing-masing dan mengasihi kita, terlepas dari kebingungan dan dosa kita? Ia melihat kerapuhan kita, tetapi juga keinginan kita untuk dikasihi sebagaimana adanya.

 

Injil mengatakan bahwa ketika memandangnya, Ia “mengasihinya” (ayat 21). Yesus mengasihi orang ini bahkan sebelum Ia memberikan undangan untuk mengikuti-Nya. Ia mengasihi orang ini apa adanya. Kasih Yesus tidak beralasan: berkebalikan dari nalar jasa yang telah menimpa orang ini. Kita benar-benar bahagia ketika kita menyadari bahwa kita dikasihi dengan cara ini, dengan cuma-cuma, oleh kasih karunia. Dan ini juga berlaku untuk hubungan di antara kita: selama kita mencoba membeli kasih atau mengemis kasih sayang, hubungan tersebut tidak akan pernah membuat kita merasa bahagia.

 

Usulan yang diajukan Yesus kepada orang ini adalah mengubah cara hidup dan hubungannya dengan Allah. Yesus sungguh menyadari bahwa di dalam dirinya, seperti halnya di dalam diri kita semua, ada sesuatu yang kurang. Yaitu keinginan yang kita bawa di dalam hati kita untuk dikasihi. Ada luka yang kita miliki sebagai manusia, luka yang dilalui oleh kasih. Untuk mengatasi kekurangan ini, kita tidak perlu “membeli” pengakuan, kasih sayang, pertimbangan: justru, kita perlu “menjual” segala sesuatu yang membebani kita, untuk membuat hati kita lebih bebas. Tidak perlu terus-menerus mengambil untuk diri kita, tetapi lebih baik memberi kepada orang miskin, menyediakan, dan berbagi.

 

Akhirnya, Yesus mengundang orang ini untuk tidak tinggal sendirian. Ia mengundangnya untuk mengikuti-Nya, berada dalam ikatan, menjalani hubungan. Sungguh, hanya dengan cara ini ia akan dapat keluar dari ketidakbernamaannya. Kita dapat mendengar nama kita hanya dalam sebuah hubungan, di mana seseorang memanggil kita. Jika kita tetap sendirian, kita tidak akan pernah mendengar nama kita diucapkan, dan akan terus menjadi "orang" itu, tak memiliki nama. Mungkin hari ini, justru karena kita hidup dalam budaya kecukupan diri dan individualisme, kita mendapati diri kita lebih tidak bahagia karena kita tidak lagi mendengar nama kita diucapkan oleh seseorang yang mengasihi kita dengan cuma-cuma.

 

Orang ini tidak menerima undangan Yesus dan tinggal sendirian, karena beban hidupnya menahannya di pelabuhan. Kesedihannya adalah tanda bahwa ia belum berhasil pergi. Kadang-kadang, apa yang kita anggap sebagai kekayaan justru hanyalah beban yang menahan kita. Harapannya, orang ini, seperti kita semua, cepat atau lambat akan berubah dan memutuskan untuk berlayar.

 

Saudara-saudari, marilah kita mempercayakan kepada hati Yesus semua orang yang sedih dan bimbang, agar mereka dapat merasakan tatapan kasih Tuhan, yang tergerak oleh pandangan lembut ke dalam diri kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 April 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 6 April 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Bacaan Injil pada Hari Minggu Prapaskah V ini menyajikan kepada kita kisah tentang perempuan yang kedapatan berzina (Yoh 8:1-11). Sementara ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ingin melemparinya dengan batu, Yesus mengembalikan keindahan perempuan ini yang telah hilang. Ia telah jatuh ke dalam debu; Yesus menyentuh debu ini dengan jari-Nya dan menuliskan kisah baru untuknya. Itulah “jari Allah” yang menyelamatkan anak-anak-Nya (bdk. Kel 8:15) dan membebaskan mereka dari kejahatan (bdk. Luk 11:20).

 

Sahabat-sahabat terkasih, sebagaimana selama saya dirawat di rumah sakit, bahkan sekarang dalam masa pemulihan, saya merasakan "jari Allah" dan mengalami sentuhan kasih-Nya. Pada hari Yubileum orang sakit dan dunia perawatan kesehatan, saya memohon kepada Allah agar sentuhan kasih-Nya ini dapat menjangkau mereka yang menderita dan menyemangati orang-orang yang merawat mereka. Dan saya mendoakan para dokter, perawat, dan petugas kesehatan, yang tidak selalu dibantu untuk bekerja dalam kondisi yang memadai dan terkadang bahkan menjadi korban agresi. Misi mereka tidak mudah dan harus didukung serta dihormati. Saya berharap sumber daya yang diperlukan akan diinvestasikan dalam perawatan dan penelitian, sehingga sistem kesehatan bersifat menyertakan dan memperhatikan yang paling rentan dan miskin.

 

Saya berterima kasih kepada para narapidana di penjara perempuan Rebibbia atas catatan yang telah mereka kirimkan kepada saya. Saya mendoakan mereka dan keluarga mereka.

 

Pada Hari Olahraga Sedunia untuk Pembangunan dan Perdamaian, saya berharap olahraga dapat menjadi tanda pengharapan bagi banyak orang yang membutuhkan perdamaian dan penyertaan sosial, serta saya berterima kasih kepada lembaga olahraga yang mendidik persaudaraan secara praktis.

 

Marilah kita terus berdoa untuk perdamaian: di Ukraina yang tersiksa, dilanda serangan yang menelan banyak korban sipil, termasuk banyak anak-anak. Dan hal yang sama terjadi di Gaza, di mana orang-orang terpaksa hidup dalam kondisi yang tak terbayangkan, tanpa tempat tinggal, tanpa makanan, tanpa air bersih. Semoga senjata dibungkam dan dialog dilanjutkan; semoga semua sandera dibebaskan dan bantuan diberikan kepada penduduk. Marilah kita berdoa untuk perdamaian di seluruh Timur Tengah; di Sudan dan Sudan Selatan; di Republik Demokratik Kongo; di Myanmar, yang dilanda gempa bumi; dan di Haiti, di mana kekerasan berkecamuk, dan dua biarawati terbunuh beberapa hari yang lalu.

 

Semoga Perawan Maria melindungi kita dan menjadi perantara kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 April 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 2 April 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERJUMPAAN 3. ZAKHEUS. “HARI INI AKU HARUS MENUMPANG DI RUMAHMU!” (LUK 19:5)

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita akan terus merenungkan perjumpaan Yesus dengan beberapa tokoh dalam Injil. Kali ini, saya ingin berfokus pada Zakheus: sebuah kisah yang sangat dekat di hati saya, karena memiliki tempat khusus dalam perjalanan rohani saya.

 

Injil Lukas memperkenalkan Zakheus kepada kita dan seseorang yang tampaknya telah kehilangan harapan. Mungkin kita juga terkadang merasakan hal yang sama: tanpa harapan. Sebaliknya, Zakheus akan menemukan bahwa Tuhan sedang mencarinya.

 

Yesus sungguh datang ke Yerikho, sebuah kota yang terletak di bawah permukaan laut, yang dianggap sebagai gambaran dunia bawah, tempat Yesus ingin mencari mereka yang merasa tersesat. Dan pada kenyataannya, Tuhan yang bangkit terus turun ke dunia bawah saat ini, di tempat-tempat perang, dalam penderitaan orang-orang yang tidak bersalah, dalam hati para ibu yang melihat anak-anak mereka mati, dalam kelaparan orang-orang miskin.

 

Zakheus, dalam arti tertentu, tersesat; mungkin ia telah membuat keputusan yang salah atau mungkin hidupnya telah menempatkannya dalam situasi yang membuatnya berjuang untuk keluar. Memang, Lukas bersikeras menggambarkan karakteristik orang ini: ia bukan hanya seorang pemungut cukai, orang yang memungut pajak dari sesama warga negaranya untuk penjajah Romawi, tetapi ia adalah kepala pemungut cukai, setidaknya, seolah-olah mengatakan bahwa dosanya berlipat ganda.

 

Lukas kemudian menambahkan bahwa Zakheus kaya, yang menyiratkan bahwa ia menjadi kaya dengan mengurbankan orang lain, menyalahgunakan kedudukannya. Namun, semua ini memiliki konsekuensi: Zakheus mungkin merasa dikucilkan, dibenci oleh semua orang.

 

Ketika ia mengetahui bahwa Yesus sedang melewati kota itu, Zakheus merasakan keinginan untuk melihat-Nya. Ia tidak berani membayangkan pertemuan; cukuplah dengan mengamati-Nya dari kejauhan. Namun, keinginan kita menemui hambatan dan tidak serta-merta terpenuhi: Zakheus pendek! Itulah kenyataan kita: kita memiliki keterbatasan yang harus kita hadapi. Dan kemudian ada orang lain, yang terkadang tidak membantu kita: orang banyak menghalangi Zakheus untuk melihat Yesus. Mungkin itu semacam balas dendam di pihak mereka.

 

Namun, ketika kamu memiliki keinginan yang kuat, kamu tidak akan patah semangat. Kamu akan menemukan solusinya. Namun, kamu harus berani dan tidak malu; kamu perlu sedikit kesederhanaan anak-anak dan tidak perlu khawatir tentang citra dirimu. Zakheus, seperti anak kecil, memanjat pohon. Perilakunya seharusnya menjadi titik pandang yang baik, terutama untuk mengamati tanpa terlihat, bersembunyi di balik dahan-dahan pohon.

 

Namun bersama Tuhan, hal yang tak terduga selalu terjadi. Yesus, ketika Ia mendekat, melihat ke atas. Zakheus merasa bahwa ia telah ditemukan, dan mungkin mengharapkan teguran di muka umum. Orang-orang mungkin mengharapkannya, tetapi mereka kecewa: Yesus meminta Zakheus untuk segera turun, agak terkejut melihatnya di atas pohon, dan berkata kepadanya, "Hari ini Aku harus menumpang di rumahmu!" (Luk 19:5). Allah tidak akan berlalu tanpa mencari mereka yang tersesat.

 

Lukas menyoroti sukacita dalam hati Zakheus. Sukacita seseorang yang merasa bahwa ia telah dilihat, diakui, dan terutama diampuni. Pandangan Yesus bukanlah pandangan mencela, tetapi pandangan belas kasihan. Belas kasihan itulah yang terkadang sulit kita terima, terutama ketika Allah mengampuni mereka yang, menurut pendapat kita, tidak pantas menerimanya. Kita bersungut-sungut karena kita ingin membatasi kasih Allah.

 

Dalam peristiwa di rumah, Zakheus, setelah mendengarkan perkataan Yesus tentang pengampunan, berdiri, seolah-olah ia bangkit dari kondisi kematian. Dan ia bangkit untuk membuat komitmen: mengembalikan empat kali lipat apa yang telah ia peras. Apa yang dilakukannya bukan harga yang harus ia bayar, karena pengampunan Allah bersifat cuma-cuma, tetapi lebih kepada keinginan untuk meneladan Yesus yang kasih-Nya ia merasakan. Zakheus membuat komitmen yang tidak mengikatnya, tetapi ia melakukannya karena ia memahami bahwa itulah caranya mengasihi. Dan ia melakukannya dengan menggabungkan undang-undang Romawi tentang pemerasan dan hukum Rabbinik tentang penebusan dosa. Oleh karena itu, Zakheus bukan hanya orang yang penuh keinginan; ia juga orang yang tahu bagaimana mengambil langkah-langkah praktis. Tujuan hidupnya tidak generik atau abstrak, tetapi justru bersumber dari sejarah hidupnya: ia melihat kehidupannya dan mengidentifikasi titik awal untuk mulai bertransformasi.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita belajar dari Zakheus untuk tidak kehilangan harapan, bahkan ketika kita merasa telah disingkirkan atau tidak mampu berubah. Marilah kita pupuk keinginan kita untuk melihat Yesus, dan terutama marilah kita membiarkan diri kita ditemukan oleh belas kasihan Allah, yang selalu datang mencari kita, dalam situasi apa pun kita mungkin tersesat.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 2 April 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 30 Maret 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Dalam Bacaan Injil hari ini (Luk 15:1-3, 11-32) Yesus memperhatikan bahwa orang-orang Farisi merasa tersinggung dan bersungut-sungut di belakang-Nya, alih-alih bersukacita karena orang-orang berdosa datang kepada-Nya. Maka Yesus menceritakan kepada mereka tentang seorang bapa yang memiliki dua anak laki-laki: yang satu meninggalkan rumah, tetapi kemudian, setelah jatuh miskin, ia kembali dan disambut dengan sukacita. Yang satunya, anak yang 'taat', marah kepada bapanya dan tidak mau memasuki pesta. Beginilah cara Yesus menyingkapkan hati Allah: Ia selalu berbelas kasih kepada semua orang; Ia menyembuhkan luka-luka kita sehingga kita dapat saling mengasihi sebagai saudara.

 

Sahabat-sahabat terkasih, marilah kita jalani masa Prapaskah ini sebagai masa penyembuhan, terlebih lagi karena Yubileum. Saya juga sedang mengalaminya dengan cara ini, dalam jiwa dan tubuh saya. Itulah sebabnya dengan sepenuh hati saya mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang, dengan menyerupai sang Juruselamat, menjadi sarana penyembuhan bagi sesama mereka dengan perkataan dan pengetahuan mereka, dengan kebaikan dan doa. Kelemahan dan penyakit adalah pengalaman yang kita semua alami bersama; terlebih lagi, kita bersaudara dalam keselamatan yang telah diberikan Kristus kepada kita.

 

Meyakini belas kasih Allah Bapa, kita terus mendoakan perdamaian: di Ukraina yang bermartir, di Palestina, Israel, Lebanon, Republik Demokratik Kongo, dan Myanmar, yang juga sangat menderita karena gempa bumi.

 

Saya sedang mengikuti situasi di Sudan Selatan dengan penuh keprihatinan. Dengan tulus saya kembali memohon semua pemimpin untuk melakukan yang terbaik guna meredakan ketegangan di negara ini. Kita harus menyingkirkan perbedaan dan, dengan keberanian dan tanggung jawab, duduk bersama dan terlibat dalam dialog yang membangun. Hanya dengan cara ini penderitaan rakyat Sudan Selatan yang tercinta dapat diringankan serta masa depan yang damai dan stabil dapat dibangun. Dan di Sudan, perang terus memakan korban yang tidak bersalah.

 

Saya mendesak pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk mengutamakan keselamatan jiwa saudara-saudari sipil mereka; dan saya berharap negosiasi baru akan dimulai sesegera mungkin, yang mampu mengamankan solusi yang langgeng untuk krisis ini. Semoga masyarakat internasional meningkatkan upayanya untuk mengatasi bencana kemanusiaan yang mengerikan ini.

 

Puji Tuhan, ada juga beberapa peristiwa baik: misalnya, ratifikasi perjanjian tentang penetapan batas wilayah antara Tajikistan dan Kirgistan, yang merupakan pencapaian diplomatik yang sangat baik. Saya mendorong kedua negara untuk terus melanjutkan jalan ini.

 

Semoga Maria, bunda belas kasih, membantu keluarga umat manusia untuk berdamai dalam perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 30 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 26 Maret 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERJUMPAAN 2. PEREMPUAN SAMARIA “BERILAH AKU MINUM!” (YOH 4:7)

Saudara-saudari terkasih,

 

Setelah merenungkan perjumpaan Yesus dan Nikodemus, yang pergi mencari Yesus, hari ini kita akan merenungkan saat-saat ketika tampaknya Ia benar-benar sedang menunggu di sana, di persimpangan jalan dalam hidup kita. Perjumpaan-perjumpaan yang mengejutkan kita, dan pada awalnya kita mungkin sedikit ragu-ragu; kita mencoba untuk bersikap bijaksana dan memahami apa yang sedang terjadi.

 

Hal ini mungkin juga dialami oleh perempuan Samaria, yang disebutkan dalam Injil Yohanes bab empat (lih. 4:5-26). Ia tidak menyangka akan menemukan seorang laki-laki di sumur pada siang hari; sesungguhnya ia berharap tidak menemukan seorang pun sama sekali. Bahkan, ia pergi menimba air dari sumur pada jam yang tidak biasa, ketika air sangat panas. Mungkin perempuan ini malu akan hidupnya, mungkin ia merasa dihakimi, dikutuk, tidak dipahami, dan karena alasan ini ia mengasingkan diri, ia memutuskan hubungan dengan semua orang.

 

Untuk pergi ke Galilea dari Yudea, Yesus harus memilih jalan lain dan tidak melewati Samaria. Jalan itu juga akan lebih aman, mengingat ketegangan hubungan antara orang Yahudi dan orang Samaria. Sebaliknya, Ia ingin melewati jalan itu, dan berhenti di sumur itu, tepat pada saat itu! Yesus menunggu kita dan membiarkan diri-Nya ditemukan tepat ketika kita berpikir bahwa tidak ada pengharapan lagi bagi kita. Sumur, di Timur Tengah kuno, adalah tempat perjumpaan, di mana terkadang pernikahan ditetapkan; sumur adalah tempat pertunangan. Yesus ingin membantu perempuan ini memahami di mana menemukan jawaban yang benar atas keinginannya untuk dicintai.

 

Tema keinginan merupakan hal dasariah untuk memahami perjumpaan ini. Yesus adalah orang pertama yang mengungkapkan keinginan-Nya: “Berilah Aku minum!” (ayat 7). Demi membuka dialog, Yesus membuat diri-Nya tampak lemah, untuk menenangkan orang lain, memastikan bahwa ia tidak takut. Rasa haus sering kali, bahkan dalam Kitab Suci, merupakan gambaran dari keinginan. Namun di sini Yesus haus pertama-tama akan keselamatan perempuan itu. “Orang yang sedang meminta minum”, kata Santo Agustinus, “sedang haus akan iman perempuan itu”.[1]

 

Sementara Nikodemus pergi menemui Yesus pada malam hari, di sini Yesus bertemu dengan perempuan Samaria pada tengah hari, saat cahaya paling terang bersinar. Benar-benar momen pewahyuan. Yesus memperkenalkan diri-Nya kepada perempuan itu sebagai Mesias dan juga menerangi kehidupan-Nya. Ia membantu perempuan itu untuk membaca kembali kisah hidupnya, yang rumit dan menyakitkan: ia telah memiliki lima suami dan yang ada sekarang bukan suaminya yang keenam. Angka enam bukan angka yang tidak disengaja, tetapi biasanya menunjukkan ketidaksempurnaan. Mungkin kiasan untuk mempelai laki-laki ketujuh, orang yang akhirnya akan memuaskan keinginan perempuan ini untuk benar-benar dicintai. Dan mempelai laki-laki tersebut hanya bisa Yesus.

 

Ketika menyadari bahwa Yesus mengetahui hidupnya, perempuan itu mengalihkan pertobatannya kepada pertanyaan keagamaan yang memecah belah orang Yahudi dan orang Samaria. Hal ini kadang-kadang terjadi pada kita juga ketika kita berdoa: pada saat Allah sedang menyentuh hidup kita, dengan segala permasalahannya, kita kadang-kadang kehilangan diri kita dalam permenungan yang memberi kita khayalan doa yang berhasil. Pada kenyataannya, kita telah membangun penghalang perlindungan. Namun, Tuhan selalu lebih besar, dan kepada perempuan Samaria itu, yang menurut ajaran budaya seharusnya Ia bahkan tidak berbicara, Ia memberikan pewahyuan tertinggi: Ia berbicara kepadanya tentang Bapa, yang harus disembah dalam roh dan kebenaran. Dan ketika ia, sekali lagi terkejut, mengamati bahwa dalam hal-hal ini lebih baik menunggu Mesias, Ia mengatakan kepadanya: "Akulah Dia, yang sedang berbicara dengan engkau" (ayat 26). Seperti pernyataan cinta: Dia yang sedang kamu nantikan adalah Aku; Dialah yang akhirnya dapat menanggapi keinginanmu untuk dicintai.

 

Pada saat itu perempuan tersebut berlari memanggil orang-orang di kota, karena perutusan muncul justru dari pengalaman merasa dicintai. Dan pewartaan apa yang dapat ia bawa, jika bukan pengalamannya dipahami, disambut, diampuni? Itulah gambaran yang seharusnya membuat kita merenungkan pencarian kita akan cara-cara baru untuk menyebarkan Injil.

 

Seperti seorang yang sedang jatuh cinta, orang Samaria itu lupa membawa tempayannya dan meninggalkannya di kaki Yesus. Beban tempayan itu di kepalanya, setiap kali ia pulang, mengingatkannya akan kondisinya, hidupnya yang penuh masalah. Namun, sekarang tempayan itu ditinggalkan di kaki Yesus. Masa lalu tidak lagi menjadi beban; ia telah berdamai. Dan seperti itu juga bagi kita: untuk pergi dan memberitakan Injil, pertama-tama kita perlu meletakkan beban sejarah kita di kaki Tuhan, menyerahkan beban masa lalu kita kepada-Nya. Hanya orang-orang yang telah berdamai yang dapat membawa Injil.

 

Saudara-saudari terkasih, janganlah kita kehilangan pengharapan! Sekalipun sejarah kita tampak memberatkan, rumit, bahkan mungkin hancur bagi kita, kita selalu memiliki kemungkinan untuk menyerahkannya kepada Allah dan memulai perjalanan baru kita. Allah itu penyayang, dan selalu menanti kita!

_______________________

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Maret 2025)



[1] Homili 15,11

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 23 Maret 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Perumpamaan dalam Bacaan Injil hari ini menceritakan kepada kita tentang kesabaran Allah, yang mendesak kita untuk menjadikan hidup kita sebagai saat pertobatan. Yesus menggunakan gambaran pohon ara yang tandus, yang belum menghasilkan buah seperti yang diharapkan dan, meskipun demikian, pekerja kebun anggur tidak ingin menebangnya: ia ingin kembali memberi pupuk kepadanya karena "mungkin tahun depan ia berbuah" (Luk 13:9). Pekerja kebun anggur yang sabar ini adalah Tuhan, yang merawat tanah kehidupan kita dan menunggu dengan penuh keyakinan saat kita kembali kepada-Nya.

 

Selama masa rawat inap yang lama di rumah sakit ini, saya berkesempatan untuk merasakan kesabaran Tuhan, yang juga saya lihat tercermin dalam perawatan yang tak kenal lelah dari para dokter dan petugas kesehatan, serta dalam perawatan dan harapan dari para keluarga pasien. Kesabaran yang penuh kepercayaan ini, yang berlandaskan pada kasih Allah yang tak pernah gagal, memang diperlukan dalam kehidupan kita, terutama ketika menghadapi situasi yang paling sulit dan menyakitkan.

 

Saya bersedih atas dimulainya kembali pemboman besar-besaran Israel di Jalur Gaza, yang menyebabkan banyak kematian dan cedera. Saya menyerukan penghentian segera penggunaan senjata; dan keberanian untuk melanjutkan dialog, sehingga semua sandera dapat dibebaskan dan gencatan senjata terakhir tercapai. Di Jalur Gaza, situasi kemanusiaan kembali sangat serius dan membutuhkan komitmen mendesak dari pihak-pihak yang bertikai dan masyarakat internasional.

 

Di sisi lain, saya senang bahwa Armenia dan Azerbaijan telah menyetujui teks akhir perjanjian damai. Saya berharap agar perjanjian itu dapat ditandatangani sesegera mungkin, dan dengan demikian dapat berkontribusi untuk menciptakan perdamaian abadi di Kaukasus Selatan.

 

Kamu terus mendoakan saya dengan penuh kesabaran dan ketekunan: terima kasih banyak! Saya juga mendoakanmu. Dan bersama-sama, marilah kita mendoakan berakhirnya perang dan perdamaian, terutama di Ukraina, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo yang tersiksa.

 

Semoga Perawan Maria menjagamu dan terus menemani kita dalam perjalanan menuju Paskah.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 23 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 19 Maret 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERJUMPAAN 1. NIKODEMUS “KAMU HARUS DILAHIRKAN KEMBALI” (YOH 3:7B)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dengan katekese ini kita akan mulai merenungkan beberapa perjumpaan yang diceritakan dalam Injil, untuk memahami cara Yesus memberi pengharapan. Sungguh, perjumpaan-perjumpaan itu mencerahkan hidup dan mendatangkan pengharapan. Misalnya, seseorang dapat membantu kita melihat kesulitan atau masalah yang kita alami dari sudut pandang yang berbeda; atau seseorang dapat sekadar memberi kita sepatah kata yang membuat kita merasa bahwa kita tidak sendirian dalam penderitaan yang sedang kita alami. Kadang-kadang bahkan ada perjumpaan yang hening, di mana seseorang tidak mengatakan apa-apa, namun momen-momen itu membantu kita untuk kembali ke jalur yang benar.

 

Perjumpaan pertama yang ingin saya lihat adalah perjumpaan Yesus dengan Nikodemus, yang diceritakan dalam Injil Yohanes bab 3. Saya akan mulai dengan perikop ini karena Nikodemus adalah seorang yang, dengan sejarahnya, menunjukkan bahwa keluar dari kegelapan dan menemukan keberanian untuk mengikuti Kristus mungkin.

 

Nikodemus pergi kepada Yesus pada malam hari: waktu yang tidak biasa untuk sebuah perjumpaan. Dalam bahasa Yohanes, acuan temporal sering kali memiliki nilai simbolis: di sini malam mungkin mengacu pada apa yang ada di hati Nikodemus. Ia adalah orang yang menemukan dirinya dalam kegelapan keraguan, dalam kegelapan yang kita alami ketika kita tidak lagi memahami apa yang sedang terjadi dalam hidup kita dan tidak melihat dengan jelas jalan ke depan.

 

Jika kamu berada dalam kegelapan, tentu saja kamu mencari terang. Dan Yohanes, di awal Injilnya, menulis: "Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia" (1:9). Karena itu Nikodemus mencari Yesus karena ia merasa bahwa Yesus dapat menerangi kegelapan hatinya.

 

Namun, Injil memberitahu kita bahwa Nikodemus tidak langsung mengerti apa yang dikatakan Yesus kepadanya. Jadi kita melihat bahwa ada banyak kesalahpahaman dalam dialog ini, dan juga banyak ironi, yang merupakan ciri khas penginjil Yohanes. Nikodemus tidak mengerti apa yang sedang dikatakan Yesus kepadanya karena ia terus berpikir dengan nalar dan pengelompokkannya sendiri. Ia adalah orang dengan kepribadian yang jelas; ia memiliki peran publik, ia adalah salah seorang pemimpin orang Yahudi. Tetapi mungkin ada sesuatu yang tidak lagi cocok baginya. Nikodemus merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak lagi berfungsi dalam hidupnya. Ia merasa perlu untuk berubah, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.

 

Hal ini terjadi pada kita semua dalam beberapa tahap kehidupan. Jika kita tidak mau menerima perubahan, jika kita menutup diri dalam ketidakfleksibelan, dalam kebiasaan atau cara berpikir kita, kita berisiko mati. Kehidupan terletak pada kapasitas untuk berubah guna menemukan cara baru untuk mencintai. Sungguh, Yesus berbicara kepada Nikodemus tentang kelahiran baru, yang tidak hanya mungkin, tetapi bahkan perlu pada saat-saat tertentu dalam perjalanan kita. Sejujurnya, ungkapan yang digunakan dalam teks itu sendiri sudah bercabang dua, karena anōthen (νωθεν) dapat diterjemahkan sebagai "dari atas" atau "kembali". Perlahan-lahan, Nikodemus akan memahami bahwa kedua makna ini berjalan seiring: jika kita memperkenankan Roh Kudus menghasilkan kehidupan baru dalam diri kita, kita akan dilahirkan kembali. Kita akan menemukan kembali kehidupan itu, yang mungkin telah memudar dalam diri kita.

 

Saya memilih untuk memulai dengan Nikodemus juga karena ia adalah orang yang, dengan hidupnya, menunjukkan bahwa perubahan ini mungkin terjadi. Nikodemus mampu melakukannya: pada akhirnya ia akan menjadi salah seorang yang pergi ke Pilatus untuk meminta jenazah Yesus (lih. Yoh 19:39)! Nikodemus akhirnya datang kepada terang, ia dilahirkan kembali, dan ia tidak perlu lagi tinggal dalam malam.

 

Terkadang perubahan membuat kita takut. Di satu sisi, perubahan menarik perhatian kita, terkadang kita menginginkannya, tetapi di sisi lain, kita lebih suka tetap merasa nyaman. Oleh karena itu, Roh Kudus mendorong kita untuk menghadapi ketakutan-ketakutan ini. Yesus mengingatkan Nikodemus – yang adalah seorang guru di Israel – bahwa bahkan orang Israel pun merasa takut ketika mereka berjalan di padang gurun. Dan mereka begitu berfokus pada kekhawatiran mereka sehingga pada titik tertentu ketakutan itu berubah menjadi ular tedung (lih. Bil 21:4-9). Agar terbebas, mereka harus melihat ular tembaga yang telah diletakkan Musa di sebuah tiang, artinya, mereka harus mendongak dan berdiri di depan objek yang mewakili ketakutan mereka. Hanya dengan menatap wajah dari apa yang membuat kita takut, kita dapat mulai terbebas.

 

Nikodemus, seperti kita semua, dapat memandang Yesus yang tersalib: Yesus yang mengalahkan kematian, akar dari semua ketakutan kita. Marilah kita juga mengarahkan pandangan kita kepada Yesus yang mereka tikam, marilah kita juga berjumpa Yesus. Di dalam Dia kita menemukan pengharapan untuk menghadapi perubahan dalam hidup kita dan dilahirkan kembali.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 16 Maret 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Hari ini, Hari Minggu Prapaskah II, Bacaan Injil menceritakan kepada kita tentang perubahan rupa Yesus (Luk 9:28-36). Setelah naik ke atas gunung bersama Petrus, Yakobus, dan Yohanes, Yesus membenamkan diri dalam doa dan menjadi berkilauan cahaya. Dengan cara ini, Ia menunjukkan kepada para murid apa yang tersembunyi di balik gerakan yang Ia lakukan di tengah-tengah mereka: cahaya kasih-Nya yang tak terbatas.

 

Saya berbagi pemikiran ini denganmu saat saya menghadapi masa pencobaan, dan saya bergabung dengan begitu banyak saudara dan saudari yang sakit: rapuh, saat ini, seperti saya. Tubuh kita lemah tetapi, bahkan seperti ini, tidak ada yang dapat menghalangi kita untuk mencintai, berdoa, memberikan diri kita, satu sama lain, dalam iman, memancarkan tanda pengharapan. Betapa banyak cahaya bersinar, dalam pengertian ini, di rumah sakit dan tempat-tempat perawatan! Betapa banyak perawatan penuh kasih menerangi kamar-kamar, koridor-koridor, klinik-klinik, tempat-tempat di mana pelayanan yang paling sederhana dilakukan! Itulah sebabnya saya ingin mengundangmu, hari ini, untuk bergabung dengan saya dalam memuji Tuhan, yang tidak pernah meninggalkan kita dan, di saat duka, menempatkan orang-orang di samping kita yang mencerminkan sinar kasih-Nya.

 

Saya berterima kasih kepada kamu semua atas doa-doamu, dan saya berterima kasih kepada mereka yang membantu saya dengan dedikasi seperti itu. Saya tahu banyak anak-anak mendoakan saya; beberapa dari mereka datang ke sini hari ini ke "Gemelli" sebagai tanda kedekatan. Terima kasih, anak-anak terkasih! Paus mengasihimu dan selalu menunggu untuk bertemu denganmu.

 

Marilah kita terus berdoa untuk perdamaian, khususnya di negara-negara yang terluka oleh perang: Ukraina, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo yang tersiksa.

 

Dan marilah kita juga berdoa bagi Gereja, yang dituntut untuk menerjemahkan ke dalam pilihan-pilihan nyata pertimbangan yang dibuat dalam Sidang Sinode baru-baru ini. Saya berterima kasih kepada Sekretariat Jenderal Sinode, yang selama tiga tahun mendatang akan mendampingi Gereja-gereja lokal dalam usaha ini.

 

Semoga Perawan Maria menjaga dan membantumu untuk menjadi, seperti dirinya, pembawa terang dan damai Kristus.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 16 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 9 Maret 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Rabu lalu, dengan ritus penerimaan abu, kita memulai masa Prapaskah, yaitu perjalanan pertobatan selama empat puluh hari yang mengajak kita untuk bertobat dan menuntun kita kepada sukacita Paskah. Marilah kita berkomitmen untuk menjadikannya masa pemurnian dan pembaruan rohani, jalan pertumbuhan dalam iman, harapan, dan kasih.

 

Pagi ini, di Lapangan Santo Petrus, dirayakan Misa Kudus Yubileum para pekerja sukarela. Dalam masyarakat kita, yang sangat diperbudak oleh nalar pasar, di mana segala sesuatu berisiko tunduk pada kriteria kepentingan dan pencarian keuntungan, kesukarelaan adalah nubuat dan tanda pengharapan, karena menmberikan kesaksian tentang keutamaan kemurahan hati, kesetiakawanan, dan pelayanan kepada orang-orang yang paling membutuhkan. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka yang terlibat dalam bidang ini: terima kasih telah memberikan waktu dan kemampuanmu; terima kasih atas kedekatan dan kelembutan yang kamu tunjukkan dalam kepedulian terhadap sesama, membangkitkan kembali pengharapan dalam diri mereka!

 

Saudara-saudari, selama saya dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lama di sini, saya juga merasakan perhatian dalam pelayanan dan kelembutan dalam perawatan, khususnya dari para dokter dan petugas kesehatan, yang kepadanya saya ucapkan terima kasih dari lubuk hati saya. Dan selama saya di sini, saya memikirkan banyak orang yang dalam berbagai cara dekat dengan orang sakit, dan yang bagi mereka merupakan tanda kehadiran Tuhan. Kita membutuhkan ini, "mukjizat kelembutan" yang menyertai mereka yang sedang dalam kesulitan, membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan penderitaan.

 

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang menunjukkan kedekatan mereka kepada saya dalam doa: terima kasih yang tulus kepada kamu semua! Saya juga mendoakanmu. Dan saya bergabung secara rohani dengan mereka yang dalam beberapa hari mendatang akan berpartisipasi dalam Latihan Rohani Kuria Roma.

 

Marilah kita bersama-sama terus memohon karunia perdamaian, khususnya di Ukraina, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo yang tersiksa. Secara khusus, saya telah belajar dengan prihatin tentang dimulainya kembali kekerasan di beberapa wilayah Suriah: Saya berharap kekerasan itu berhenti secara definitif, dengan rasa hormat penuh bagi semua komponen etnis dan agama masyarakat, terutama warga sipil.

 

Saya mempercayakan kamu semua kepada perantaraan keibuan Perawan Maria. Selamat hari Minggu, dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 5 Maret 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 1. BAYI YESUS. 8. “NAK, MENGAPA ENGKAU BERBUAT DEMIKIAN TERHADAP KAMI” (LUK 2:49). MENEMUKAN YESUS DI BAIT ALLAH

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam katekese terakhir yang didedikasikan untuk masa kanak-kanak Yesus ini, kita akan mulai dari kisah di mana, pada usia dua belas tahun, Ia tinggal di Bait Allah tanpa memberitahu orang tua-Nya, yang dengan cemas mencari dan menemukan Dia setelah tiga hari. Kisah ini menyajikan kepada kita dialog yang sangat menarik antara Maria dan Yesus, yang membantu kita merenungkan jalan hidup ibu Yesus, sebuah perjalanan yang tentu saja tidak mudah. ​​Memang, Maria memulai perjalanan rohani yang membuatnya semakin memahami misteri Putranya.

 

Marilah kita melihat kembali berbagai tahap perjalanan ini. Pada awal kehamilannya, Maria mengunjungi Elisabet dan tinggal bersamanya selama tiga bulan, hingga kelahiran Yohanes kecil. Kemudian, saat kehamilannya memasuki bulan kesembilan, karena cacah jiwa, ia pergi bersama Yusuf ke Betlehem, tempat ia melahirkan Yesus. Setelah empat puluh hari, mereka pergi ke Yerusalem untuk mempersembahkan anak itu; dan mereka kembali berziarah ke Bait Allah setiap tahun setelah itu. Namun, karena Yesus masih bayi, mereka mengungsi ke Mesir untuk waktu yang lama guna melindungi-Nya dari Herodes, dan baru setelah kematian raja itu mereka menetap lagi di Nazaret. Ketika Yesus, setelah menjadi dewasa, memulai pelayanan-Nya, Maria hadir dan menjadi tokoh utama dalam perkawinan di Kana; kemudian ia mengikuti-Nya "dari jauh", hingga perjalanan terakhir-Nya ke Yerusalem, serta hingga penderitaan dan wafat-Nya. Setelah kebangkitan, Maria tetap tinggal di Yerusalem, sebagai ibu para murid, menopang iman mereka sambil menanti pencurahan Roh Kudus.

 

Sepanjang perjalanan ini, Perawan Maria adalah peziarah pengharapan, dalam arti yang kuat bahwa ia menjadi “putri Putranya”, murid pertama-Nya. Maria membawa Yesus ke dunia, sang Pengharapan umat manusia; ia memelihara-Nya, membuat-Nya bertumbuh, mengikuti-Nya, membiarkan dirinya menjadi yang pertama dibentuk oleh Sabda Allah. Sebagaimana dikatakan Benediktus XVI, “Tampak bahwa ia sungguh akrab dengan Sabda Allah bagaikan dalam rumah ... Juga menjadi nyata bahwa pikirannya ikut berpikir dengan pikiran Allah, bahwa kehendaknya ikut dengan kehendak Allah. Karena ia sungguh diresapi Sabda Allah, dapatlah ia menjadi ibu Sabda yang menjadi manusia.” (Ensiklik Deus Caritas Est, 41). Namun, persekutuan yang unik dengan Sabda Allah ini tidak menyelamatkannya dari upaya “magang” yang menuntut.

 

Pengalaman Yesus yang hilang saat berusia dua belas tahun selama ziarah tahunan ke Yerusalem membuat Maria takut sampai-sampai ia juga berbicara mewakili Yusuf saat mereka membawa pulang anak mereka: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihat, bapak-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau" (Luk 2:48). Maria dan Yusuf merasakan kepedihan orang tua yang kehilangan anak: mereka berdua mengira Yesus ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, tetapi setelah tidak melihat-Nya selama seharian, mereka mulai kembali mencari-Nya. Setelah kembali ke Bait Allah, mereka menemukan bahwa Dia yang, di mata mereka, hingga beberapa saat sebelumnya, masih seorang anak yang harus dilindungi, tiba-tiba tampak dewasa, kini mampu terlibat dalam diskusi tentang Kitab Suci, mampu membela diri di hadapan para guru Hukum Taurat.

 

Menghadapi teguran ibu-Nya, Yesus menjawab dengan kesederhanaan yang meluluhkan hati: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (Luk 2:49). Maria dan Yusuf tidak mengerti: misteri kelahiran Allah yang menjadi anak melampaui kecerdasan mereka. Orang tua ingin melindungi anak yang berharga itu di bawah naungan kasih mereka; sebaliknya, Yesus ingin menjalani panggilan-Nya sebagai Putra Bapa yang melayani-Nya dan hidup dalam Sabda-Nya.

 

Kisah masa kanak-kanak Lukas ditutup dengan kata-kata terakhir Maria, yang mengingatkan kita akan kebapakan Yusuf terhadap Yesus, dan dengan kata-kata pertama Yesus, yang mengakui bahwa kebapakan ini menelusuri asal-usul-Nya dari Bapa surgawi-Nya, yang keutamaannya yang tak terbantahkan diakui-Nya.

 

Saudara-saudari terkasih, sebagaimana Maria dan Yusuf, penuh pengharapan, marilah kita juga mengikuti jejak langkah Tuhan, yang tidak membiarkan diri-Nya dibatasi oleh ajaran-ajaran kita, dan membiarkan diri-Nya ditemukan bukan hanya di suatu tempat, tetapi dalam tanggapan kasih terhadap kebapakan ilahi yang lembut, tanggapan kasih yang merupakan kehidupan bakti.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 5 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 2 Maret 2025 : PENGLIHATAN DAN UCAPAN

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam Bacaan Injil hari Minggu ini (Luk 6:39-45), Yesus mengajak kita merenungkan dua dari lima indra: penglihatan dan ucapan.

 

Mengenai penglihatan, Ia meminta kita untuk melatih mata kita agar dapat mengamati dunia dengan baik dan mengadili sesama kita dengan kasih. Ia berkata, "Keluarkanlah dahulu balok dari matamu, setelah itu engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu" (ayat 42). Hanya dengan tatapan perhatian ini, bukan dengan mengadili, teguran persaudaraan dapat menjadi suatu kebajikan. Sebab jika tidak bersifat persaudaraan, maka itu bukanlah teguran!

 

Mengenai ucapan, Yesus mengingatkan kita bahwa "setiap pohon dikenal dari buahnya" (ayat 44). Dan buah yang dihasilkan manusia, misalnya, adalah perkataannya, yang matang di bibirnya, karena "orang yang baik mengeluarkan apa yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik" (ayat 45). Buah yang busuk adalah perkataan yang kasar, palsu, dan vulgar; buah yang baik adalah perkataan yang adil dan jujur ​​yang memberi citarasa pada dialog kita.

 

Maka kita dapat bertanya kepada diri kita: bagaimana aku memandang orang lain, yang adalah saudara-saudariku? Dan bagaimana perasaanku ketika dipandang oleh orang lain? Apakah perkataanku memiliki citarasa yang baik, atau apakah perkataanku dipenuhi dengan kepahitan dan kesia-siaan?

 

Saudara-saudari, saya masih menyampaikan pemikiran ini kepadamu dari rumah sakit, tempat saya dirawat selama beberapa hari, ditemani oleh para dokter dan tenaga kesehatan, yang saya ucapkan terima kasih atas perhatian mereka dalam merawat saya. Saya merasakan dalam hati saya “berkat” yang tersembunyi di balik kelemahan, karena justru pada saat-saat seperti inilah kita belajar semakin percaya kepada Tuhan; pada saat yang sama, saya bersyukur kepada Allah karena telah memberi saya kesempatan untuk ambil bagian dalam tubuh dan jiwa kondisi begitu banyak orang yang sakit dan sedang menderita.

 

Saya ingin mengucapkan terima kasih atas doa yang dipanjatkan kepada Tuhan dari hati begitu banyak umat beriman dari berbagai belahan dunia: Saya merasakan semua kasih sayang dan kedekatanmu dan, pada saat khusus ini, saya merasa seolah-olah “digendong” dan didukung oleh segenap umat Allah. Terima kasih kepada kamu semua!

 

Saya juga berdoa untukmu. Dan terutama saya berdoa untuk perdamaian. Dari sini, perang tampak semakin tidak masuk akal. Marilah kita berdoa untuk Ukraina, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Kivu yang tersiksa.

 

Marilah kita percayakan diri kita dengan penuh keyakinan kepada Maria, Bunda kita. Selamat hari Minggu, dan sampai jumpa.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 2 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 26 Februari 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 1. BAYI YESUS. 7. “MATAKU TELAH MELIHAT KESELAMATAN YANG DATANG DARI-MU” (LUK 2:30). YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita akan merenungkan keindahan “Yesus Kristus, pengharapan kita” (1 Tim 1:1), dalam misteri Ia dipersembahkan di Bait Allah.

 

Dalam kisah masa kanak-kanak Yesus, penginjil Lukas menunjukkan kepada kita ketaatan Maria dan Yusuf terhadap Hukum Tuhan dan segenap ketentuannya. Sesungguhnya, di Israel tidak ada kewajiban untuk mempersembahkan anak di Bait Allah, tetapi mereka yang hidup dengan mendengarkan Sabda Hukum dan ingin menyesuaikan diri dengannya, menganggapnya sebagai praktik yang berharga. Begitu pula Hana, ibu Nabi Samuel, yang mandul; Allah mendengar doanya dan ia, setelah melahirkan putranya, membawanya ke Bait Allah dan mempersembahkannya kepada Tuhan selamanya (lihat 1Sam 1:24-28).

 

Karena itu Lukas menceritakan tindakan penyembahan pertama Yesus, yang dirayakan di kota suci, Yerusalem, yang akan menjadi tujuan seluruh pelayanan keliling-Nya sejak saat Ia membuat keputusan tegas untuk pergi ke sana (lihat Luk 9:51), guna menggenapi perutusan-Nya.

 

Maria dan Yusuf tidak sekadar menanamkan Yesus dalam sejarah keluarga, umat, perjanjian dengan Tuhan Allah. Keduanya peduli terhadap pertumbuhan-Nya, dan memperkenalkan-Nya ke dalam suasana iman dan penyembahan. Dan keduanya juga secara bertahap bertumbuh dalam pemahaman mereka tentang panggilan yang jauh melampaui diri mereka.

 

Di Bait Allah, yang merupakan "rumah doa" (Luk 19:46), Roh Kudus berembus, berbicara kepada hati seorang laki-laki tua: Simeon, seorang anggota umat Allah yang kudus yang dididik dalam harapan dan pengharapan, yang memelihara keinginan untuk penggenapan janji-janji Allah kepada Israel melalui para nabi. Simeon merasakan kehadiran Orang yang diurapi Tuhan di Bait Allah, ia melihat terang yang bersinar di tengah-tengah bangsa-bangsa yang terjerumus “dalam kegelapan” (bdk. Yes 9:1) dan ia pergi menemui anak itu yang, seperti dinubuatkan Yesaya, “telah lahir untuk kita”, Ia adalah seorang putra yang “telah diberikan untuk kita”, “Raja Damai” (Yes 9:5). Simeon memeluk anak itu yang, kecil dan tak berdaya, beristirahat dalam pelukannya; tetapi sebenarnya, dialah yang menemukan penghiburan dan kepenuhan keberadaannya dengan memeluk-Nya. Ia mengungkapkan hal ini dalam sebuah kidung yang penuh dengan rasa syukur yang tulus, yang dalam Gereja telah menjadi doa di penghujung hari:

 

"Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang datang dari-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan-Mu bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel."


Simeon menyanyikan sukacita mereka yang telah melihat-Nya, yang telah mengenali-Nya dan mampu menyampaikan kepada orang lain perjumpaan dengan Juruselamat Israel dan bangsa-bangsa. Ia adalah saksi iman yang diterima sebagai anugerah dan disampaikan kepada orang lain; ia adalah saksi pengharapan yang tidak mengecewakan; ia adalah saksi kasih Allah, yang memenuhi hati manusia dengan sukacita dan kedamaian. Dipenuhi dengan penghiburan rohani ini, Simeon yang sudah tua melihat kematian bukan sebagai akhir, tetapi sebagai penggenapan, pemenuhan; ia menantikannya seperti seorang "saudari" yang, alih-alih membinasakan, memperkenalkan kepada kehidupan sejati yang telah ia rasakan sebelumnya dan yakini.

 

Pada hari itu, Simeon bukan satu-satunya orang yang melihat keselamatan menjadi manusia dalam diri kanak Yesus. Hal yang sama juga terjadi pada Hana, seorang perempuan berusia lebih dari delapan puluh tahun, seorang janda, yang sepenuhnya mengabdikan diri untuk melayani Bait Allah dan berdoa. Sungguh, saat melihat anak itu, Hana merayakan Allah Israel, yang telah menebus umat-Nya melalui anak itu, dan memberitahu orang-orang tentang Dia, dengan murah hati menyebarkan firman nubuat. Kidung penebusan kedua orang tua tersebut dengan demikian memancarkan pemberitaan Tahun Yobel bagi seluruh umat dan dunia. Pengharapan kembali berkobar dalam hati di Bait Allah Yerusalem karena Kristus, pengharapan kita, telah memasukinya.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita juga meneladan Simeon dan Hana, para “peziarah pengharapan” yang memiliki mata jernih yang mampu melihat melampaui apa yang tampak, yang mampu mendeteksi kehadiran Allah dalam hal-hal kecil, yang tahu bagaimana menyambut kunjungan Allah dengan sukacita dan menyalakan kembali pengharapan dalam hati saudara-saudari mereka.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Februari 2025)