Saudara-saudari terkasih,
Hari
ini kita akan melihat perjumpaan Yesus yang lain, yang diceritakan dalam Injil.
Namun, kali ini, orang yang ditemuinya tidak memiliki nama. Penginjil Markus
menggambarkannya hanya sebagai "seseorang" (10:17). Dia adalah
seorang yang telah menaati perintah-perintah sejak masa mudanya tetapi, meskipun
demikian, belum menemukan makna hidupnya. Ia sedang mencarinya. Mungkin ia
adalah orang yang belum benar-benar mengambil keputusan, meskipun ia tampak
seperti orang yang berketetapan hati. Memang, di luar hal-hal yang kita
lakukan, pengorbanan dan keberhasilan kita, apa yang benar-benar penting agar
menjadi bahagia adalah apa yang kita bawa di dalam hati kita. Jika sebuah kapal
harus berlayar dan meninggalkan pelabuhan untuk berlayar di laut lepas, kapal
itu bisa menjadi luar biasa, dengan awak yang tiada duanya, tetapi jika tidak
menarik pemberat dan jangkar yang menahannya, kapal itu tidak akan pernah bisa
berangkat. Orang ini telah membuat dirinya menjadi kapal yang mewah, tetapi ia
tetap tinggal di pelabuhan!
Pada
waktu Yesus meneruskan perjalanan-Nya, orang ini berlari menghampiri-Nya,
berlutut di hadapan-Nya dan bertanya, "Guru yang baik, apa yang harus
kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" (ayat 17). Perhatikan kata
kerjanya: "apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal".
Karena menaati Hukum Taurat tidak memberinya kebahagiaan dan jaminan
keselamatan, ia berpaling kepada Guru Yesus. Yang mengejutkan, orang ini tidak
mengenal kosakata tentang pemberian cuma-cuma! Segala sesuatu tampaknya menjadi
haknya. Segala sesuatu adalah kewajiban. Hidup kekal baginya adalah warisan,
sesuatu yang diperoleh dengan benar, melalui ketaatan yang cermat terhadap
ketetapan hati. Namun dalam kehidupan yang dijalani dengan cara ini, meskipun
tentu saja untuk tujuan yang baik, ruang apa yang dapat dimiliki oleh kasih?
Seperti
biasa, Yesus melampaui apa yang tampak. Sementara di satu sisi orang ini
memaparkan ringkasan yang bagus kepada Yesus, Yesus melampauinya dan melihat ke
dalam dirinya. Kata kerja yang digunakan Markus sangat penting: "memandang
dia" (ayat 21). Justru karena Yesus melihat ke dalam diri kita
masing-masing, Ia mengasihi kita sebagaimana adanya. Apa yang sesungguhnya akan
Ia lihat dalam diri orang ini? Apa yang Yesus lihat ketika Ia melihat ke dalam
diri kita masing-masing dan mengasihi kita, terlepas dari kebingungan dan dosa
kita? Ia melihat kerapuhan kita, tetapi juga keinginan kita untuk dikasihi
sebagaimana adanya.
Injil
mengatakan bahwa ketika memandangnya, Ia “mengasihinya” (ayat 21). Yesus
mengasihi orang ini bahkan sebelum Ia memberikan undangan untuk mengikuti-Nya.
Ia mengasihi orang ini apa adanya. Kasih Yesus tidak beralasan: berkebalikan
dari nalar jasa yang telah menimpa orang ini. Kita benar-benar bahagia ketika
kita menyadari bahwa kita dikasihi dengan cara ini, dengan cuma-cuma, oleh
kasih karunia. Dan ini juga berlaku untuk hubungan di antara kita: selama kita
mencoba membeli kasih atau mengemis kasih sayang, hubungan tersebut tidak akan
pernah membuat kita merasa bahagia.
Usulan
yang diajukan Yesus kepada orang ini adalah mengubah cara hidup dan hubungannya
dengan Allah. Yesus sungguh menyadari bahwa di dalam dirinya, seperti halnya di
dalam diri kita semua, ada sesuatu yang kurang. Yaitu keinginan yang kita bawa
di dalam hati kita untuk dikasihi. Ada luka yang kita miliki sebagai manusia,
luka yang dilalui oleh kasih. Untuk mengatasi kekurangan ini, kita tidak perlu
“membeli” pengakuan, kasih sayang, pertimbangan: justru, kita perlu “menjual”
segala sesuatu yang membebani kita, untuk membuat hati kita lebih bebas. Tidak
perlu terus-menerus mengambil untuk diri kita, tetapi lebih baik memberi kepada
orang miskin, menyediakan, dan berbagi.
Akhirnya,
Yesus mengundang orang ini untuk tidak tinggal sendirian. Ia mengundangnya
untuk mengikuti-Nya, berada dalam ikatan, menjalani hubungan. Sungguh, hanya
dengan cara ini ia akan dapat keluar dari ketidakbernamaannya. Kita dapat
mendengar nama kita hanya dalam sebuah hubungan, di mana seseorang memanggil
kita. Jika kita tetap sendirian, kita tidak akan pernah mendengar nama kita
diucapkan, dan akan terus menjadi "orang" itu, tak memiliki nama.
Mungkin hari ini, justru karena kita hidup dalam budaya kecukupan diri dan
individualisme, kita mendapati diri kita lebih tidak bahagia karena kita tidak
lagi mendengar nama kita diucapkan oleh seseorang yang mengasihi kita dengan
cuma-cuma.
Orang
ini tidak menerima undangan Yesus dan tinggal sendirian, karena beban hidupnya
menahannya di pelabuhan. Kesedihannya adalah tanda bahwa ia belum berhasil
pergi. Kadang-kadang, apa yang kita anggap sebagai kekayaan justru hanyalah
beban yang menahan kita. Harapannya, orang ini, seperti kita semua, cepat atau
lambat akan berubah dan memutuskan untuk berlayar.
Saudara-saudari,
marilah kita mempercayakan kepada hati Yesus semua orang yang sedih dan
bimbang, agar mereka dapat merasakan tatapan kasih Tuhan, yang tergerak oleh
pandangan lembut ke dalam diri kita.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 9 April 2025)