Saudara-saudari terkasih,
Dalam
perjalanan katekese kita tentang Yesus, pengharapan kita, hari ini kita akan
merenungkan misteri Sabtu Suci. Putra Allah terbaring di dalam kubur. Namun,
"ketidakhadiran"-Nya ini bukanlah kekosongan: melainkan penantian,
kepenuhan yang terkekang, sebuah janji yang tersimpan dalam kegelapan. Inilah
hari keheningan agung, di mana langit tampak bisu dan bumi tak bergerak, tetapi
justru di sanalah misteri terdalam iman kristiani terpenuhi. Keheningan yang
sarat makna, bagaikan rahim seorang ibu yang mengandung anaknya yang belum
lahir tetapi sudah hidup.
Jenazah
Yesus, yang diturunkan dari salib, dibungkus dengan hati-hati, layaknya
seseorang membungkus sesuatu yang berharga. Yohanes Penginjil memberitahu kita
bahwa Ia dikuburkan di sebuah taman, di dalam "kubur baru yang di dalamnya
belum pernah dimakamkan seseorang" (Yoh. 19:41). Tidak ada yang dibiarkan
begitu saja. Taman itu mengingatkan kita pada Taman Eden yang hilang, tempat
Allah dan manusia dipersatukan. Dan kubur itu, yang tak pernah digunakan, berbicara
tentang sesuatu yang masih harus terjadi: ambang, bukan akhir. Pada awal
penciptaan, Allah menanam sebuah taman; kini ciptaan baru juga dimulai di
sebuah taman: dengan sebuah kubur yang tertutup yang akan segera dibuka.
Sabtu
Suci juga merupakan hari istirahat. Menurut Hukum Yahudi, tidak ada pekerjaan
yang boleh dilakukan pada hari ketujuh: sesungguhnya, setelah enam hari
penciptaan, Allah beristirahat (lih. Kej. 2:2). Kini, Sang Putra pun, setelah
menyelesaikan karya keselamatan-Nya, beristirahat. Bukan karena Ia lelah,
melainkan karena Ia mengasihi sampai akhir. Tidak ada lagi yang perlu
ditambahkan. Istirahat ini adalah meterai atas tugas yang telah selesai;
penegasan bahwa apa yang seharusnya dilakukan telah benar-benar tercapai.
Istirahat yang dipenuhi dengan kehadiran Tuhan yang tersembunyi.
Kita
berjuang untuk berhenti dan beristirahat. Kita hidup seolah-olah hidup tidak
pernah cukup. Kita terburu-buru berkarya, membuktikan diri, terus berkarya.
Namun Injil mengajarkan kita bahwa mengetahui cara berhenti adalah tindakan
percaya yang harus kita pelajari untuk dilakukan. Sabtu Suci mengundang kita
untuk menemukan bahwa hidup tidak selalu bergantung pada apa yang kita lakukan,
tetapi juga pada bagaimana kita tahu bagaimana meninggalkan apa yang telah
mampu kita lakukan.
Di
dalam kubur, Yesus, Sabda Bapa yang hidup, hening. Namun justru dalam
keheningan itulah kehidupan baru mulai berfermentasi. Seperti benih di dalam
tanah, seperti kegelapan menjelang fajar. Allah tidak takut akan berlalunya
waktu, karena Ia juga Allah yang menanti. Dengan demikian, bahkan waktu kita
yang "sia-sia", yaitu jeda, kekosongan, saat-saat tandus, dapat
menjadi rahim kebangkitan. Setiap keheningan yang disambut dapat menjadi dasar
bagi sebuah Sabda yang baru. Setiap waktu yang tertunda dapat menjadi masa
rahmat, jika kita mempersembahkannya kepada Allah.
Yesus,
yang terkubur di dalam tanah, adalah wajah Allah yang lembut yang tidak
menempati semua ruang. Dia adalah Allah yang membiarkan segala sesuatu terjadi,
yang menanti, yang menarik diri untuk memberi kita kebebasan. Dia adalah Allah
yang percaya, bahkan ketika segala sesuatu tampaknya telah berakhir. Dan kita,
pada Sabat yang tertunda itu, belajar bahwa kita tidak perlu terburu-buru
bangkit kembali; pertama-tama kita harus hening dan menyambut keheningan,
membiarkan diri kita dipeluk oleh keterbatasan. Terkadang kita mencari jawaban
cepat, solusi instan. Namun, Allah bekerja secara mendalam, dalam masa
kepercayaan yang lambat. Sabat penguburan dengan demikian menjadi rahim yang
darinya kekuatan cahaya yang tak terkalahkan, yaitu Paskah, dapat memancar.
Sahabat-sahabat
terkasih, pengharapan kristiani tidak lahir dalam kebisingan, melainkan dalam
keheningan penantian yang dipenuhi kasih. Pengharapan tersebut bukanlah buah dari
euforia, melainkan dari penyerahan diri yang penuh kepercayaan. Perawan Maria
mengajarkan kita hal ini: ia mewujudkan penantian, kepercayaan, pengharapan
ini. Ketika kita merasa segalanya terhenti, bahwa hidup bagaikan jalan yang
terhalang, marilah kita mengingat Sabtu Suci. Bahkan di dalam kubur, Allah
sedang mempersiapkan kejutan terbesar. Dan jika kita tahu bagaimana menyambut
dengan rasa syukur apa yang telah terjadi, kita akan menemukan bahwa, justru
dalam kekecilan dan keheningan, Allah suka mengubah kenyataan, menjadikan
segala sesuatu baru dengan kesetiaan kasih-Nya. Sukacita sejati lahir dari
penantian yang berdiam di dalam diri, dari iman yang sabar, dari pengharapan
bahwa apa yang telah dijalani dalam kasih pasti akan bangkit menuju kehidupan kekal.
[Imbauan]
Saya
menyampaikan rasa kedekatan saya yang mendalam kepada rakyat Palestina di Gaza,
yang terus hidup dalam ketakutan dan bertahan hidup dalam kondisi yang tak
dapat diterima, terusir paksa – sekali lagi – dari negeri mereka sendiri.
Di
hadapan Allah yang Maha Esa, yang memerintahkan "Jangan membunuh",
dan dalam pandangan seluruh sejarah manusia, setiap orang selalu memiliki
martabat yang tak tergoyahkan, yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Saya
kembali menyerukan gencatan senjata, pembebasan sandera, dan solusi diplomatik
yang dinegosiasikan, dengan sepenuhnya menghormati hukum humaniter
internasional.
Saya
mengajak kamu semua untuk turut berdoa sepenuh hati agar fajar perdamaian dan
keadilan segera terbit.
[Sapaan]
Saya
menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang berpartisipasi
dalam Audiensi hari ini, khususnya rombongan dari Inggris, Skotlandia, Irlandia
Utara, Belanda, Ghana, Kenya, Australia, India, Indonesia, Jepang, Malaysia,
Filipina, Singapura, Taiwan, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Dengan doa
yang sungguh-sungguh agar Yubileum Pengharapan ini menjadi masa rahmat dan
pembaruan rohani bagimu dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai
sejahtera Tuhan Yesus bagi kamu semua.
[Ringkasan dalam
bahasa Inggris]
Saudara-saudari
terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum "Yesus
Kristus Pengharapan Kita", hari ini kita merenungkan misteri Sabtu Suci,
hari penuh keheningan dan penantian penuh sukacita. Sebagaimana Allah
beristirahat setelah menciptakan alam semesta, demikian pula Sang Putra
beristirahat setelah menyelesaikan karya penebusan, setelah mengasihi kita
sampai akhir. Kita juga diundang untuk menemukan saat-saat hening dan damai di
tengah hiruk pikuk kegiatan sehari-hari. Peristirahatan kita di hadirat Allah
dapat memperbarui jiwa kita dan membuka diri kita bagi rahmat-Nya, sementara
keheningan meditatif dapat memampukan kita untuk mengungkapkan sabda Allah
dengan lebih baik kepada sesama. Dalam hal ini, semoga kita belajar dari Santa
Perawan Maria untuk merangkul keheningan dan kesunyian Sabtu Suci, percaya
kepada Tuhan, tanpa pernah kehilangan pengharapan.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 17 September 2025)