Liturgical Calendar

Featured Posts

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 29 Juni 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Hari ini adalah hari raya Gereja Roma, yang dilahirkan dari kesaksian Rasul Petrus dan Rasul Paulus serta dijadikan berbuah oleh darah mereka dan darah banyak martir. Bahkan saat ini, di seluruh dunia, terus ada orang-orang kristiani yang terinspirasi oleh Injil menjadi murah hati dan berani bahkan dengan mengorbankan nyawa mereka. Kita dapat berbicara tentang ekumenisme darah, kesatuan yang tak terlihat dan mendalam di antara Gereja-gereja, yang belum berada dalam persekutuan penuh dan terlihat. Saya ingin menegaskan pada hari raya yang meriah ini bahwa pelayanan episkopal saya adalah pelayanan kesatuan dan, berkat darah Santo Petrus dan Santo Paulus, Gereja Roma berkomitmen untuk melayani persekutuan seluruh Gereja.

 

Batu karang yang darinya nama Petrus berasal adalah Kristus. Sebuah batu yang dibuang oleh tukang bangunan dan dijadikan batu penjuru oleh Allah (bdk Mat 21:42). Lapangan ini dan Basilika Kepausan Santo Petrus dan Santo Paulus memberitahu kita bagaimana pembalikan itu selalu berlanjut. Keduanya terletak di pinggiran kota, "di luar tembok", sebagaimana kita katakan hingga hari ini. Apa yang tampak agung dan mulia bagi kita saat ini, pada awalnya ditolak dan dikucilkan karena bertentangan dengan cara berpikir dunia ini. Mereka yang mengikuti Yesus harus menapaki jalan Sabda Bahagia, di mana kemiskinan rohani, kelembutan, belas kasihan, rasa lapar dan haus akan keadilan, dan penciptaan perdamaian sering kali ditanggapi dengan pertentangan dan bahkan penganiayaan. Namun kemuliaan Allah bersinar dalam diri sahabat-sahabat-Nya dan terus membentuk mereka di sepanjang jalan, beralih dari pertobatan menuju pertobatan.

 

Saudara-saudari terkasih, di makam para Rasul, yang telah menjadi objek peziarahan selama hampir dua ribu tahun, kita menyadari bahwa kita juga dapat beralih dari satu pertobatan menuju pertobatan. Perjanjian Baru tidak menyembunyikan kesalahan, pertikaian, dan dosa orang-orang yang kita hormati sebagai Rasul-rasul terbesar. Kebesaran mereka dibentuk oleh pengampunan. Tuhan yang bangkit mengulurkan tangan kepada mereka lebih dari sekali, mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Yesus tidak pernah memanggil hanya satu kali. Itulah sebabnya kita selalu dapat berharap. Yubileum sendiri merupakan pengingat akan hal ini.

 

Saudara-saudari terkasih, kesatuan dalam Gereja dan di antara Gereja-gereja dipupuk oleh pengampunan dan kepercayaan bersama, dimulai dari keluarga dan komunitas kita. Jika Yesus dapat memercayai kita, kita tentu dapat saling percaya dalam nama-Nya. Semoga Rasul Petrus dan Rasul Paulus, bersama dengan Perawan Maria, menjadi perantara kita, sehingga di dunia kita yang terluka ini, Gereja dapat selalu menjadi rumah dan sekolah persekutuan.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya sampaikan doa saya untuk komunitas Sekolah Menengah Atas Barthélémy Boganda di Bangui, Republik Afrika Tengah, yang sedang berduka setelah kecelakaan tragis yang menyebabkan banyak siswa meninggal dan cedera. Semoga Tuhan menghibur keluarga dan seluruh komunitas!

 

Saya menyapa kamu semua, khususnya umat Roma pada hari raya kedua santo pelindungmu! Pikiran saya tertuju kepada para pastor paroki dan semua pastor yang bekerja di paroki-paroki Roma. Saya sampaikan rasa terima kasih dan dorongan saya atas pelayanan mereka.

 

Hari raya ini juga ditandai pengumpulan dana tahunan Petrus, yang merupakan tanda persekutuan dengan Paus dan partisipasi dalam pelayanan kerasulannya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua orang yang, dengan karunia mereka, mendukung langkah pertama saya sebagai Penerus Petrus.

 

Saya memberkati semua orang yang ambil bagian dalam acara "Quo Vadis?", yang diadakan di tempat-tempat Romawi yang berhubungan dengan Santo Petrus dan Santo Paulus. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah bekerja keras untuk menyelenggarakan prakarsa ini, karena membantu mempromosikan dan menghormati kedua santo pelindung Roma.

 

Saya menyapa umat dari berbagai negara yang telah mendampingi uskup agung metropolitan mereka yang menerima pallium hari ini. Saya menyapa para peziarah dari Ukraina — saya selalu mendoakan rakyat Ukraina — dari Meksiko, Kroasia, Polandia, Amerika Serikat, Venezuela, Brasil, Paduan Suara Santo Petrus dan Paulus dari Indonesia, serta banyak umat Eritrea yang tinggal di Eropa; kelompok dari Martina Franca, Pontedera, San Vendemiano dan Corbetta; para pelayan altar dari Santa Giustina, Colle dan kaum muda dari Sommariva del Bosco.

 

Saya berterima kasih kepada Pro Loco Roma dan para seniman yang memajang bunga di Via della Conciliazione dan Piazza Pio XII. Terima kasih!

 

Saya menyapa para Kolaborator Guanellian dari Italia Tengah dan Selatan, Lembaga Relawan Chiari, para pesepeda dari Fermo dan Varese, kelompok olahraga Aniene 80, dan para peziarah dari “Connessione Spirituale”.

 

Saudara-saudari, marilah kita terus berdoa agar senjata dapat dibungkam di mana-mana dan perdamaian dapat dicapai melalui dialog.

 

Selamat hari Minggu bagi semua!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 25 Juni 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 11. PENYEMBUHAN SEORANG PEREMPUAN YANG SAKIT PENDARAHAN DAN ANAK PEREMPUAN YAIRUS. “JANGAN TAKUT, PERCAYA SAJA!” (MRK 5:36)

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita akan kembali membahas penyembuhan yang dilakukan Yesus sebagai tanda pengharapan. Di dalam Dia, ada kekuatan yang juga dapat kita alami ketika kita memasuki hubungan dengan-Nya secara pribadi.

 

Salah satu penyakit yang sangat umum di zaman kita adalah kelelahan hidup: bagi kita kenyataan tampaknya terlalu rumit, membebani, sulit dihadapi. Maka kita mengalihkan diri, kita tertidur, dalam angan-angan bahwa, ketika bangun, segalanya akan berbeda. Tetapi kenyataan harus dihadapi, dan bersama Yesus, kita dapat menghadapinya dengan baik. Kadang-kadang kita merasa terhalang oleh penghakiman orang-orang yang merasa berhak memberi label pada orang lain.

 

Bagi saya, situasi ini dapat menemukan jawabannya dalam sebuah perikop Injil Markus, di mana dua kisah saling terjalin: kisah seorang anak perempuan berusia dua belas tahun, yang sakit terbaring di tempat tidur dan hampir mati; dan kisah seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan, dan mencari Yesus untuk memohon kesembuhan (bdk. Mrk 5:21-43).

 

Di antara kedua tokoh perempuan ini, Penginjil menempatkan sosok ayah anak perempuan itu: ia tidak tinggal di rumah mengeluh tentang penyakit anak perempuannya, tetapi ia keluar dan meminta bantuan. Meskipun ia seorang kepala rumah ibadat, ia tidak menuntut apa pun karena status sosialnya. Ketika harus menunggu, ia tidak kehilangan kesabaran, dan ia menunggu. Dan ketika mereka datang untuk memberitahunya bahwa anak perempuannya telah meninggal dan tidak ada gunanya mengganggu Sang Guru, ia tetap memiliki iman dan harapan.

 

Percakapan antara sang ayah dan Yesus ini terputus oleh seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan, yang berhasil mendekati Yesus dan menyentuh jubah-Nya (ayat 27). Perempuan ini, dengan sangat berani, membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya: semua orang terus menyuruhnya menjaga jarak, agar tidak terlihat. Mereka telah mengutuknya untuk tetap bersembunyi dan terasing. Kadang-kadang, kita juga bisa menjadi korban penilaian orang lain, yang berani mengenakan jubah yang bukan jubah kita. Dan kemudian kita menderita, dan tidak dapat keluar darinya.

 

Perempuan itu memulai jalan keselamatan ketika iman bahwa Yesus dapat menyembuhkannya tumbuh: maka, ia menemukan kekuatan untuk keluar dan mencari-Nya. Ia ingin mengulurkan tangan dan setidaknya menyentuh jubah-Nya.

 

Di sekeliling Yesus ada banyak orang, dan karena itu banyak orang menyentuh-Nya, tetapi tidak terjadi apa-apa pada mereka. Sebaliknya, ketika perempuan ini menyentuh Yesus, ia disembuhkan. Di manakah letak perbedaannya? Dalam ulasannya tentang inti teks ini, Santo Agustinus berkata – dalam nama Yesus – “Orang banyak berdesak-desakan, iman menyentuh” (Khotbah 243, 2, 2). Beginilah: setiap kali kita melakukan tindakan iman yang ditujukan kepada Yesus, terjalinlah kontak dengan-Nya, dan segera rahmat-Nya keluar dari diri-Nya. Kadang-kadang kita tidak menyadarinya, tetapi secara diam-diam dan nyata, rahmat menjangkau kita dan secara bertahap mengubah hidup kita dari dalam.

 

Mungkin saat ini juga, banyak orang mendekati Yesus secara dangkal, tanpa benar-benar percaya pada kuasa-Nya. Kita berjalan di permukaan gereja kita, tetapi mungkin hati kita ada di tempat lain! Perempuan ini, yang pendiam dan tanpa nama, menaklukkan rasa takutnya, menyentuh hati Yesus dengan tangannya, yang dianggap najis karena penyakitnya. Dan ia segera disembuhkan. Yesus berkata kepadanya, "Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan damai" (Mrk 5:34).

 

Sementara itu, sang ayah menerima kabar anak perempuannya telah meninggal. Yesus berkata kepadanya, "Jangan takut, percaya saja" (ayat 36). Kemudian ia pulang ke rumah dan, melihat bahwa semua orang menangis dan meratap, berkata, "Anak ini tidak mati, tetapi tidur" (ayat 39). Ia memasuki kamar tempat anak itu berbaring, memegang tangannya, dan berkata kepadanya, "Talità kum", "Hai anak perempuan, bangunlah!". Anak perempuan itu bangun dan mulai berjalan (bdk. ayat 41-42). Tindakan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa Ia tidak hanya menyembuhkan setiap penyakit, tetapi Ia juga membangkitkan dari kematian. Bagi Allah, yang adalah Hidup yang kekal, kematian tubuh seperti tidur. Kematian sejati adalah kematian jiwa: kita harus takut akan hal ini!

 

Satu rincian terakhir: Yesus, setelah menghidupkan kembali anak perempuan itu, memberitahu kedua orang tuanya untuk memberinya makan (bdk. ayat 43). Inilah tanda lain yang sangat nyata tentang kedekatan Yesus dengan kemanusiaan kita. Namun, kita juga dapat memahaminya dalam arti yang lebih dalam, dan bertanya kepada diri kita: ketika anak-anak kita sedang dalam krisis dan membutuhkan makanan rohani, apakah kita tahu bagaimana memberikannya kepada mereka? Dan bagaimana kita bisa melakukannya, jika kita sendiri tidak diberi makan oleh Injil?

 

Saudara-saudari terkasih, dalam hidup ada saat kecewa dan putus asa, serta ada juga pengalaman kematian. Marilah kita belajar dari perempuan itu, dari ayah itu: marilah kita datang kepada Yesus: Ia dapat menyembuhkan kita, Ia dapat menghidupkan kita kembali. Yesus adalah pengharapan kita!

 

[Imbauan]

 

Hari Minggu lalu, serangan teroris yang keji dilakukan terhadap komunitas Ortodoks Yunani di Gereja Mar Elias, Damaskus. Kita memercayakan para korban kepada belas kasihan Allah dan memanjatkan doa bagi orang-orang yang terluka dan keluarga mereka. Saya katakan kepada umat kristiani di Timur Tengah: Saya dekat denganmu! Seluruh Gereja dekat denganmu!

 

Peristiwa tragis ini mengingatkan kita pada kerapuhan mendalam yang masih dihadapi Suriah setelah bertahun-tahun dilanda pertikaian dan ketidakstabilan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat internasional untuk tidak mengabaikan negara ini, tetapi terus menawarkan dukungan melalui gerakan kesetiakawanan dan komitmen baru untuk perdamaian dan rekonsiliasi.

 

Kita terus mengikuti dengan saksama dan penuh harapan perkembangan di Iran, Israel, dan Palestina. Perkataan Nabi Yesaya bergema dengan keterkaitan yang mendesak: "Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang melawan bangsa lain, dan mereka tidak akan lagi belajar perang" (Yes 2:4). Semoga suara ini, yang datang dari Yang Maha Tinggi, didengar! Semoga luka-luka yang disebabkan oleh tindakan berdarah beberapa hari terakhir ini disembuhkan. Marilah kita tolak kesombongan dan balas dendam, dan sebaliknya dengan tegas memilih jalan dialog, diplomasi, dan perdamaian.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan senang hati saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, khususnya mereka yang datang dari Malta, Eswatini, Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Australia, Tiongkok, India, Indonesia, Filipina, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa para anggota gerakan Katolik Citizens UK. Menjelang akhir bulan Juni, kita memohon kepada Hati Kudus Yesus agar mengembangkan iman kita saat kita berpaling kepada-Nya dengan penuh kepercayaan. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum “Kristus Pengharapan Kita,” kita sekarang membahas dua mukjizat yang menyingkapkan kuasa penyembuhan yang berasal dari iman kepada Yesus. Dalam mukjizat pertama, kita melihat seorang perempuan yang menderita penyakit yang membuatnya dijauhi oleh masyarakat karena dianggap najis. Karena percaya Yesus memiliki kuasa untuk menyembuhkannya, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh-Nya dan karena imannya, ia pun disembuhkan. Setiap kali kita mengulurkan tangan kepada Tuhan dengan iman, pada gilirannya Ia menyentuh kita, dan rahmat-Nya secara misterius mulai mengubah jalan hidup kita. Dalam mukjizat kedua, Yesus menanggapi permohonan penuh iman dari seorang ayah yang tertekan dan membangkitkan seorang anak perempuan muda dari kematian. Kedua kisah Injil ini mengajarkan kita untuk tidak takut berpaling kepada Yesus dalam doa dan memercayakan diri kita kepada kuasa penyembuhan kasih-Nya, yang dapat mengubah situasi yang tampaknya tanpa pengharapan dan bahkan membawa kehidupan dari kematian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Juni 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 22 Juni 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Hari ini, di banyak negara, Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Corpus Christi, sedang dirayakan, dan Bacaan Injil menceritakan mukjizat penggandaan roti dan ikan (bdk. Luk 9:11-17).

 

Untuk memberi makan ribuan orang yang datang mendengarkan-Nya dan memohon kesembuhan, Yesus mengajak para Rasul untuk membawa kepada-Nya sedikit yang mereka miliki; kemudian Ia memberkati roti dan ikan, dan memerintahkan mereka untuk membagikannya kepada semua orang. Hasilnya mengejutkan: tidak hanya semua orang menerima cukup makanan, tetapi ada banyak yang tersisa (bdk. ayat 17).

 

Lebih dari sekadar keajaiban, mukjizat adalah sebuah “tanda” yang mengingatkan kita bahwa karunia Allah, bahkan yang terkecil sekalipun, akan bertumbuh jika dibagikan.

 

Namun, membaca ini pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus membawa kita untuk merenungkan kenyataan yang lebih dalam. Karena kita tahu bahwa pada akar setiap ambil bagian manusiawi terletak ambil bagian yang lebih besar yang mendahuluinya, yaitu ambil bagian Allah dengan kita. Dia, Sang Pencipta, yang memberi kita kehidupan, untuk menyelamatkan kita meminta salah satu ciptaan-Nya untuk menjadi ibu-Nya, memberi-Nya tubuh yang rapuh, terbatas, dan fana seperti tubuh kita, memercayakan diri-Nya kepadanya sebagai seorang anak. Dengan cara ini, Ia ambil bagian dalam kemiskinan kita hingga batas maksimal, memilih untuk menggunakan sedikit yang dapat kita persembahkan kepada-Nya untuk menebus kita (bdk. Nicholas Cabasilas, Kehidupan dalam Kristus, IV, 3).

 

Marilah kita pikirkan betapa indahnya ketika kita memberikan hadiah — bahkan hadiah kecil, yang sepadan dengan kemampuan kita — dan melihat bahwa hadiah itu dihargai oleh penerimanya; betapa bahagianya kita ketika hadiah itu, meskipun sederhana, semakin mempersatukan kita dengan mereka yang kita kasihi. Sesungguhnya, apa yang terjadi antara kita dan Allah melalui Ekaristi persisnya adalah Tuhan menyambut, menguduskan, dan memberkati roti dan anggur yang kita letakkan di altar, bersama dengan persembahan hidup kita, dan Ia mengubahnya menjadi tubuh dan darah Kristus, kurban kasih untuk keselamatan dunia. Allah mempersatukan diri-Nya dengan kita dengan menerima dengan penuh sukacita apa yang kita bawa, dan Ia mengundang kita untuk mempersatukan diri kita dengan-Nya dengan cara menerima dan ambil bagian karunia kasih-Nya. Dengan cara ini, kata Santo Agustinus, “sama seperti satu roti dibuat dari biji-bijian tunggal yang dikumpulkan bersama-sama… demikian pula tubuh Kristus menjadi satu melalui keselarasan kasih” (Khotbah 229/A, 2).

 

Sahabat-sahabag terkasih, petang ini kita akan ambil bagian dalam Perarakan Ekaristi. Kita akan merayakan Misa Kudus bersama-sama dan kemudian berangkat, membawa Sakramen Mahakudus melalui jalan-jalan kota kita. Kita akan bernyanyi, berdoa dan akhirnya berkumpul di depan Basilika Santa Maria Maggiore untuk memohon berkat Tuhan atas rumah kita, keluarga kita dan seluruh umat manusia. Semoga perayaan ini menjadi tanda komitmen kita setiap hari untuk berangkat dari altar dan tabernakel, pergi sebagai pembawa persekutuan dan perdamaian bagi sesama, dalam semangat kesetiakawanan dan kasih.

 

[Setelah Pendarasan Doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Berita yang mengkhawatirkan terus bermunculan dari Timur Tengah, khususnya dari Iran. Di tengah situasi tragis ini, yang meliputi Israel dan Palestina, penderitaan rakyat sehari-hari, khususnya di Gaza dan wilayah lainnya, di mana kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang memadai menjadi semakin mendesak, terancam terlupakan.

 

Saat ini, melebihi sebelumnya, umat manusia berteriak dan menyerukan perdamaian. Teriakan ini menuntut tanggung jawab dan akal sehat, dan tidak boleh diredam oleh hiruk pikuk senjata atau retorika yang memicu pertikaian. Setiap anggota masyarakat internasional memiliki tanggung jawab moral untuk menghentikan tragedi perang sebelum menjadi jurang yang tidak dapat diperbaiki. Tidak ada pertikaian yang "jauh" ketika martabat manusia dipertaruhkan.

 

Perang tidak menyelesaikan masalah; sebaliknya, perang justru memperparah masalah dan menimbulkan luka mendalam pada sejarah bangsa-bangsa, yang butuh waktu beberapa generasi untuk menyembuhkannya. Tidak ada kemenangan bersenjata yang dapat menggantikan penderitaan para ibu, ketakutan anak-anak, atau masa depan yang dicuri.

 

Semoga diplomasi membungkam senjata! Semoga negara-negara memetakan masa depan mereka dengan karya-karya perdamaian, bukan dengan kekerasan dan pertikaian berdarah!

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah! Saya senang menyapa para anggota dewan perwakilan rakyat dan wali kota yang hadir di sini pada kesempatan Yubileum Pemerintahan.

 

Saya menyapa umat Bogotá dan Sampués, Kolombia; umat Polandia, termasuk para siswa dan guru dari sebuah lembaga teknik di Krakow; Kelompok Musik Strengberg dari Austria; umat Hanover, Jerman; para penerima sakramen krisma dari Gioia Tauro dan orang muda dari Tempio Pausania.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada semuanya, dan saya memberkati mereka yang berpartisipasi aktif dalam perayaan Corpus Christi hari ini, termasuk mereka yang bernyanyi, bermain musik, menghias dengan bunga, memamerkan kerajinan tangan, dan terutama berdoa serta mengambil bagian dalam perarakan. Terima kasih kepada kamu semua, dan selamat hari Minggu!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Juni 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 18 Juni 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 10. PENYEMBUHAN ORANG LUMPUH. "KETIKA YESUS MELIHAT ORANG ITU BERBARING DI SITU, DAN KARENA IA TAHU BAHWA IA TELAH LAMA DALAM KEADAAN ITU, BERKATALAH IA KEPADANYA, 'MAUKAH ENGKAU SEMBUH?'" (YOH 5:6)

Saudara-saudari terkasih,

 

Marilah kita melanjutkan dengan merenungkan Yesus yang menyembuhkan. Secara khusus, saya ingin mengajakmu untuk memikirkan situasi di mana kita merasa "terhalang" dan terjebak dalam jalan buntu. Kadang-kadang, pada kenyataannya, tampaknya tidak ada gunanya untuk terus berharap; kita menjadi pasrah dan tidak lagi memiliki keinginan untuk berjuang. Situasi ini dilukiskan dalam Injil dengan gambaran kelumpuhan. Itulah sebabnya hari ini saya ingin merenungkan penyembuhan seorang lumpuh, yang diceritakan dalam Injil Santo Yohanes bab lima (5:1-9).

 

Yesus berangkat ke Yerusalem untuk menghadiri hari raya orang Yahudi. Ia tidak langsung pergi ke Bait Suci; sebaliknya, Ia berhenti di sebuah pintu, tempat domba-domba mungkin dimandikan sebelum dipersembahkan sebagai kurban. Di dekat pintu ini juga terdapat banyak orang sakit yang, tidak seperti domba-domba, dikeluarkan dari Bait Suci karena mereka dianggap najis! Jadi, Yesus sendiri yang mengulurkan tangan kepada mereka dalam penderitaan mereka. Orang-orang ini mengharapkan mukjizat yang dapat mengubah nasib mereka; sesungguhnya, di samping pintu tersebut terdapat sebuah kolam, yang airnya dianggap mampu menyembuhkan: pada saat-saat tertentu airnya akan terguncang dan menurut kepercayaan pada saat itu, siapa saja yang pertama masuk ke dalamnya akan sembuh.

 

Dengan cara ini semacam "perang di antara orang miskin" pun tercipta: kita dapat membayangkan pemandangan menyedihkan dari orang-orang sakit yang dengan susah payah menyeret diri mereka untuk masuk ke kolam. Kolam itu disebut Betesda, yang berarti "rumah belas kasihan": kolam itu bisa menjadi gambaran Gereja, tempat orang sakit dan orang miskin berkumpul serta tempat Tuhan datang untuk menyembuhkan dan memberi harapan.

 

Secara khusus Yesus berbicara kepada seorang yang sudah sekitar tiga puluh delapan tahun lamanya lumpuh. Sekarang ia sudah pasrah, karena ia tidak pernah berhasil menurunkan dirinya ke dalam kolam saat airnya mulai terguncang (bdk. ayat 7). Akibatnya, yang melumpuhkan kita, sangat sering, adalah kekecewaan. Kita merasa putus asa dan berisiko jatuh ke dalam sikap acuh tak acuh.

 

Kepada orang lumpuh itu Yesus mengajukan pertanyaan yang mungkin tampak berlebihan, "Maukah engkau sembuh?" (ayat 6). Justru pertanyaan tersebut diperlukan, karena ketika seorang mandek selama bertahun-tahun, bahkan keinginan untuk sembuh pun bisa memudar. Terkadang kita lebih suka tetap dalam kondisi sakit, memaksa orang lain untuk merawat kita. Terkadang itu juga menjadi alasan untuk tidak memutuskan apa yang harus dilakukan dengan hidup kita. Sebaliknya, Yesus membawa orang ini kembali ke keinginannya yang paling sejati dan terdalam.

 

Memang, orang ini menjawab pertanyaan Yesus dengan cara yang lebih jelas, menyingkapkan visi hidupnya yang sebenarnya. Pertama-tama ia berkata bahwa ia tidak punya siapa-siapa untuk menurunkannya ke dalam kolam: jadi tidak seharusnya ia disalahkan, namun orang lain yang tidak merawatnya. Sikap ini menjadi dalih untuk menghindari tanggung jawab. Tetapi apakah benar bahwa ia tidak punya siapa-siapa yang akan menolongnya? Berikut adalah jawaban Santo Agustinus yang mencerahkan: “Sesungguhnya ia membutuhkan seorang ‘manusia’ untuk kesembuhannya, tetapi ‘manusia’ itu adalah Allah juga. … Maka, Ia datang, Manusia yang dibutuhkan: mengapa penyembuhan harus ditunda?”.[1]

 

Orang lumpuh itu kemudian menambahkan bahwa ketika ia mencoba untuk menurunkan dirinya di kolam, selalu ada seseorang yang datang lebih dulu darinya. Orang ini mengungkapkan pandangan hidup yang fatalistis. Kita berpikir bahwa hal-hal terjadi pada kita karena kita tidak beruntung, karena takdir tidak berpihak pada kita. Orang ini putus asa. Ia merasa kalah dalam perjuangan hidup.

 

Sebaliknya, Yesus menolongnya untuk menemukan bahwa hidupnya juga ada di tangannya. Ia mengundangnya untuk bangun, mengangkat dirinya dari situasi kronisnya, dan mengangkat tikarnya (bdk. ayat 8). Tikar itu tidak boleh ditinggalkan atau dibuang: tikar melambangkan masa lalu penyakitnya, sejarahnya. Sampai saat itu, masa lalu telah menghalanginya; tikar telah memaksanya untuk berbaring seperti orang mati. Sekarang, ia yang dapat mengangkat tikar itu dan membawanya ke mana pun ia mau: ia dapat memutuskan apa yang akan dilakukannya terhadap sejarahnya! Ini adalah perihal berjalan, bertanggung jawab untuk memilih jalan mana yang akan ditempuh. Dan ini berkat Yesus!

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita memohon kepada Tuhan karunia untuk memahami di mana kehidupan kita terhenti. Marilah kita mencoba menyuarakan keinginan kita untuk disembuhkan. Dan marilah kita mendoakan semua orang yang merasa lumpuh, yang tidak melihat jalan keluar. Marilah kita memohon untuk kembali tinggal di dalam hati Kristus, yang merupakan rumah belas kasih yang sejati!


***

[Imbauan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Gereja sangat sedih mendengar jeritan penderitaan yang muncul dari tempat-tempat yang hancur akibat perang, khususnya Ukraina, Iran, Israel, dan Gaza. Kita tidak boleh terbiasa dengan perang! Sungguh, godaan untuk menggunakan senjata yang kuat dan canggih perlu ditolak. Saat ini, “bahkan, sementara dalam perang dikerahkan segala macam senjata teknologi tinggi, keganasannya sangat dikawatirkan akan membawa mereka yang bertempur kepada kebiadapan, yang jauh melampaui kekejaman di masa lampau” (Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 79). Oleh karena itu, atas nama martabat manusia dan hukum internasional, saya tegaskan kembali kepada mereka yang bertanggung jawab atas peringatan yang sering disampaikan Paus Fransiskus: Perang selalu merupakan kekalahan! Dan peringatan Paus Pius XII: “Tidak ada yang hilang dengan perdamaian. Segala sesuatu dapat hilang dengan perang.”

 

[Sapaan]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Irlandia Utara, Norwegia, Kamerun, Australia, Hong Kong, Jepang, Indonesia, Filipina, Singapura, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa anggota delegasi internasional “HOPE80” pada awal peziarahan “Api Pengharapan” saat mereka berupaya untuk mendorong rekonsiliasi dan perdamaian pada tahun ini yang menandai peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II.

 

Semoga cahaya kasih dan persaudaraan ilahi selalu menyala terang di dalam hati para pria dan wanita dari satu keluarga manusiawi kita.

 

Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohon kepada Tuhan karunia kebijaksanaan, kekuatan, dan sukacita. Allah memberkatimu.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum “Yesus Kristus Pengharapan Kita”, kini kita merenungkan mukjizat penyembuhan Yesus terhadap seorang lumpuh di kolam Betesda. Banyak orang cacat fisik datang untuk mandi di sana dengan mengharapkan kesembuhan, namun Yesus memilih orang itu, yang telah tiga puluh delapan tahun lamanya lumpuh dan tidak dapat menurunkan dirinya ke kolam. Pertanyaan Yesus kepadanya – “Maukah engkau sembuh?” – sangat menyentuh. Pertanyaan itu menantang rasa tidak berdaya dan pasrah orang lumpuh itu, dan mengundangnya untuk berharap bahwa hidupnya dapat diubah. Yesus menyuruhnya bangun, mengangkat tikarnya, dan berjalan. Tikar sebenarnya adalah lambang kelumpuhan masa lalu orang itu, baik fisik maupun rohani, yang sekarang dapat ia terima dan tinggalkan saat ia memulai hidup baru. Dalam Yubileum pengharapan ini, semoga kita mengingat dalam doa-doa kita semua orang yang menderita dan merasa tergoda untuk putus asa. Apa pun masalah atau kemunduran yang kita hadapi dalam hidup, marilah kita berpaling kepada Yesus, mengakui keinginan kita untuk disembuhkan, dan menerima janji-Nya tentang kebebasan dan kehidupan baru.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 18 Juni 2025)



[1]Traktat 17, 7.