Liturgical Calendar

Featured Posts

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 5 November 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 4. KEBANGKITAN KRISTUS DAN TANTANGAN DUNIA MASA KINI 3. PASKAH MEMBERI PENGHARAPAN KEPADA KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi, dan selamat datang bagi kamu semua!

 

Paskah Yesus bukan peristiwa yang jauh di masa lalu, kini telah menjadi tradisi seperti banyak peristiwa lain dalam sejarah manusia. Gereja mengajarkan kita untuk menghidupkan kembali kenangan akan kebangkitan setiap tahun pada Minggu Paskah dan setiap hari dalam perayaan Ekaristi, di mana janji Tuhan yang bangkit digenapi sepenuhnya: "Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman" (Mat. 28:20).

 

Karena alasan inilah, misteri Paskah merupakan landasan kehidupan kristiani, yang menjadi pusat segala peristiwa lainnya. Maka, kita dapat mengatakan, tanpa keraguan atau perasaan berlebihan, bahwa setiap hari adalah Paskah. Bagaimana caranya?

 

Setiap jam, kita mengalami begitu banyak pengalaman yang berbeda: kepedihan, penderitaan, kesedihan, yang dijalin dengan sukacita, keajaiban, dan ketenangan. Namun, dalam setiap situasi, hati manusia merindukan kepenuhan, kebahagiaan yang mendalam. Seorang filsuf besar abad ke-20, Santa Teresa Benedikta dari Salib, terlahir dengan nama Edith Stein, yang mendalami misteri pribadi manusia, mengingatkan kita akan dinamisme pengupayaan pemenuhan yang terus-menerus ini. "Manusia", tulisnya, "selalu mendambakan pembaruan, agar ia dapat memanfaatkan apa yang diberikan momen itu dan sekaligus mengambil dari dirinya" (Keberadaan yang Terbatas dan Abadi: Sebuah Upaya untuk Mendaki Makna Keberadaan, Roma 1998, 387). Kita terbenam dalam keterbatasan, tetapi kita juga berusaha untuk melampauinya.

 

Pewartaan Paskah adalah kabar terindah, penuh sukacita, dan menggetarkan yang pernah bergema sepanjang sejarah. "Injil" yang hakiki, yang membuktikan kemenangan kasih atas dosa dan kehidupan atas kematian, dan inilah sebabnya hanya Injil yang mampu memuaskan tuntutan akan makna yang menggelisahkan pikiran dan hati kita. Manusia terinspirasi oleh gerakan batin, berjuang menuju sesuatu yang melampaui batas yang terus-menerus menarik dirinya. Tak ada kenyataan yang kebetulan yang memuaskan kita. Kita cenderung menuju yang tak terbatas dan abadi. Hal ini kontras dengan pengalaman kematian, yang diantisipasi oleh penderitaan, kehilangan, dan kegagalan. Sebagaimana dinyanyikan Santo Fransiskus, "nullu homo vivente po skampare" ("tak seorang pun yang hidup dapat lolos") dari kematian (bdk. Kidung Matahari).

 

Segalanya berubah berkat fajar itu ketika para perempuan pergi ke kubur untuk mengurapi tubuh Tuhan, dan mendapati kubur itu kosong. Pertanyaan yang diajukan oleh para Majus yang datang dari Timur ke Yerusalem: "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?" (Mat. 2:1-2), menemukan jawaban pastinya dalam perkataan orang muda misterius berpakaian putih, yang berbicara kepada para perempuan saat fajar Paskah: "Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah dibangkitkan, Ia tidak ada di sini!" (Mrk. 16:6).

 

Sejak fajar itu hingga hari ini, setiap hari, Yesus juga akan menyandang gelar ini: Yang Hidup, sebagaimana Ia memperkenalkan diri-Nya dalam Kitab Wahyu: "Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, dan Yang Hidup. Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya." (Why 1:17-18). Dan di dalam Dia, kita memiliki jaminan untuk selalu dapat menemukan bintang penunjuk arah yang dapat mengarahkan hidup kita yang tampaknya kacau, ditandai oleh berbagai peristiwa yang seringkali tampak membingungkan, tidak dapat diterima, dan tidak dapat dipahami: kejahatan dalam berbagai bentuknya, penderitaan, kematian, berbagai peristiwa yang memengaruhi kita masing-masing. Dengan merenungkan misteri kebangkitan, kita menemukan jawaban atas dahaga kita akan makna.

 

Dihadapkan dengan kemanusiaan kita yang rapuh, pewartaan Paskah menjadi kepedulian dan penyembuhan, menumbuhkan pengharapan dalam menghadapi berbagai tantangan menakutkan yang dihadirkan kehidupan kepada kita setiap hari, baik secara pribadi maupun global. Dalam sudut pandang Paskah, Via Crucis, Jalan Salib, diubah rupa menjadi Via Lucis, Jalan Terang. Kita perlu menikmati dan merenungkan sukacita setelah penderitaan, menelusuri kembali dalam terang baru semua tahapan yang mendahului kebangkitan.

 

Paskah tidak menyingkirkan salib, tetapi mengalahkannya dalam duel ajaib yang mengubah sejarah manusia kita. Bahkan zaman kita, yang ditandai dengan begitu banyak salib, membangkitkan fajar pengharapan Paskah. Kebangkitan Kristus bukanlah sebuah gagasan, sebuah teori, melainkan peristiwa yang menjadi landasan iman. Yesus, yang bangkit, melalui Roh Kudus, terus mengingatkan kita akan hal ini, agar kita dapat menjadi saksi-Nya bahkan di mana sejarah manusia tak kunjung melihat cahaya di cakrawala. Pengharapan Paskah tidak mengecewakan. Sungguh percaya kepada Paskah melalui perjalanan kita sehari-hari berarti merevolusi kehidupan kita, diubah rupa supaya dapat mengubah dunia dengan kekuatan pengharapan kristiani yang lembut dan berani.

 

[Sapaan Khusus]

 

Pagi ini saya menyapa dnegan hangat seluruh peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang datang dari Inggris, Irlandia, Angola, Kenya, Nigeria, Tanzania, Australia, Cina, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Kanada, dan Amerika Serikat. Selama bulan November, kita berdoa secara khusus untuk ketenangan abadi bagi para arwah umat beriman yang telah meninggal. Semoga Tuhan yang bangkit menunjukkan belas kasihan-Nya kepada mereka, dan semoga pengharapan yang dibawa oleh iman kita akan kebangkitan mengarahkan mata dan hati kita kepada sukacita surga. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum "Kristus Pengharapan Kita", hari ini kita melakukan refleksi tentang kehadiran Kristus yang bangkit sebagai sumber pengharapan yang tak pernah padam dalam kehidupan kita sehari-hari. Baik saat kita mengalami saat sukacita dan ketenangan, maupun saat kita berjuang mengatasi penderitaan akibat kesulitan dan kepedihan, hati manusia senantiasa merindukan kepenuhan dan kepuasan. Pewartaan pesan Paskah menjadi jangkar yang kokoh: kasih telah menaklukkan dosa selamanya, dan kehidupan menang atas kematian. Yesus, yang kini "hidup selama-lamanya," berjanji untuk senantiasa menyertai kita. Kehadiran-Nya mengisi hidup kita dengan makna dan kita menemukan kerinduan kita akan kekekalan tidak hanya dibenarkan, tetapi kini berada dalam jangkauan kita. Marilah kita memohon kepada Tuhan yang bangkit untuk membantu kita mengenali kehadiran-Nya dalam setiap keadaan, sehingga kita dapat mengalami kemenangan Paskah dalam kehidupan kita sehari-hari.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 5 November 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 2 November 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Pada hari-hari pertama bulan November ini, kebangkitan Yesus yang tersalib dari kematian menerangi takdir kita masing-masing. Karena Ia bersabda, "Inilah kehendak Dia yang mengutus Aku: supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku Aku tidak kehilangan satupun, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman" (Yoh. 6:39). Dengan demikian, fokus perhatian Allah jelas: supaya tidak seorang pun binasa selamanya dan supaya setiap orang memiliki tempatnya masing-masing dan memancarkan keindahannya yang unik.

 

Inilah misteri yang kita rayakan kemarin pada Hari Raya Semua Orang Kudus: sebuah persekutuan perbedaan yang, bisa dikatakan, memperluas kehidupan Allah kepada semua putra-putri-Nya yang ingin ambil bagian di dalamnya. Inilah kerinduan yang terpatri dalam hati setiap manusia, kerinduan akan pengakuan, perhatian, dan sukacita. Sebagaimana dijelaskan Paus Benediktus XVI, ungkapan "hidup kekal" memberi nama bagi penantian yang tak tertahankan ini: bukan rangkaian waktu tanpa akhir, melainkan tenggelam dalam samudra kasih yang tak terbatas sehingga waktu, sebelum, dan sesudahnya, tak lagi ada. Kepenuhan hidup dan sukacita dalam Kristus inilah yang kita harapkan dan nantikan dengan segenap jiwa kita (bdk. Ensiklik Spe Salvi, 12).

 

Pengenangan Arwah Semua Umat Beriman hari ini membawa misteri ini semakin dekat kepada kita. Sungguh, setiap kali kematian tampaknya secara definitif merenggut suara, wajah, atau seluruh dunia, dalam hati kita memahami kepedulian Allah supaya tak seorang pun binasa. Sesungguhnya, setiap orang adalah seluruh dunia. Maka, hari ini adalah hari yang menguji ingatan manusia, begitu berharga namun begitu rapuh. Tanpa ingatan akan Yesus – akan kehidupan, wafat, dan kebangkitan-Nya – khazanah kehidupan sehari-hari yang tak ternilai harganya terancam terlupakan. Namun, dalam benak Yesus, bahkan mereka yang tak seorang pun ingat, atau yang tampaknya telah terhapus oleh sejarah, selalu tetap berada dalam martabat mereka yang tak terbatas. Yesus, batu karang yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan, kini menjadi batu penjuru (bdk. Kis. 4:11). Itulah pewartaan Paskah. Karena alasan inilah, umat Kristiani selalu mengenang arwah dalam setiap Ekaristi, dan hingga kini pun memohon agar orang-orang yang mereka kasihi diingat dalam Doa Syukur Agung. Dari pewartaan ini muncul harapan bahwa tak seorang pun akan binasa.

 

Semoga kunjungan ke pemakaman, tempat keheningan menyela hiruk pikuk kehidupan, mengundang kita semua untuk mengenang dan menanti dengan penuh harapan. Sebagaimana kita ucapkan dalam Syahadat: "Aku menantikan kebangkitan orang mati dan kehidupan dunia yang akan datang." Oleh karena itu, marilah kita mengenang masa depan, karena kita tidak terkurung dalam masa lalu atau dalam air mata nostalgia yang sentimental. Kita juga tidak terkurung dalam masa kini, seperti di dalam makam. Semoga suara Yesus yang akrab menjangkau kita, dan menjangkau semua orang, karena hanya suara itulah yang datang dari masa depan. Semoga Ia memanggil kita dengan nama kita, menyiapkan tempat bagi kita, membebaskan kita dari rasa tak berdaya yang menggoda kita untuk menyerah pada kehidupan. Semoga Maria, perempuan Sabtu Suci, sekali lagi mengajarkan kita untuk berharap.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Dengan duka yang mendalam, saya mengikuti berita tragis yang datang dari Sudan, terutama dari kota El Fasher di wilayah Darfur Utara yang dilanda perang. Kekerasan tanpa pandang bulu terhadap perempuan dan anak-anak, serangan terhadap warga sipil tak bersenjata, dan hambatan serius terhadap bantuan kemanusiaan menyebabkan penderitaan yang tak tertahankan bagi penduduk yang telah kelelahan akibat konflik berbulan-bulan. Marilah kita berdoa agar Tuhan menerima mereka yang telah meninggal dalam pelukan-Nya, menguatkan mereka yang menderita, dan menggerakkan hati mereka yang bertanggung jawab. Saya kembali menyampaikan permohonan tulus kepada semua pihak yang terlibat untuk menyepakati gencatan senjata dan segera membuka koridor kemanusiaan. Akhirnya, saya menyerukan kepada masyarakat internasional untuk bertindak dengan tekad dan kemurahan hati, memberikan bantuan dan mendukung mereka yang bekerja tanpa lelah untuk memberikan bantuan.

 

Marilah kita juga berdoa untuk Tanzania, di mana, setelah pemilu baru-baru ini, bentrokan kekerasan telah meletus, menelan banyak korban. Saya mendesak semua orang untuk menghindari segala bentuk kekerasan dan mengikuti jalan dialog.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan dari berbagai belahan dunia. Secara khusus, saya menyapa perwakilan kelompok PeaceMed dari berbagai negara Mediterania; Kolese “São Tomás” Lisbon; Suster-suster Pekerja Brescia, bersama dengan kelompok teater Uno di noi; umat Manerbio; para pengajar Institut “Aurora” Cernusco sul Naviglio; dan kaum muda Rivarolo.

 

Sore ini, di Pemakaman Verano, saya akan merayakan Ekaristi bagi seluruh umat beriman yang telah meninggal. Dalam semangat, saya akan mengunjungi makam orang-orang yang saya kasihi, dan saya juga akan berdoa bagi mereka yang tidak memiliki siapa pun untuk mengenang mereka. Namun Bapa Surgawi kita mengenal dan mengasihi kita masing-masing, dan Ia tidak melupakan siapa pun!

 

Kepada kamu semua, saya mengucapkan selamat hari Minggu dalam rangka mengenang orang-orang yang kita kasihi yang telah meninggal.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 2 November 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 1 November 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya ingin menyapa kamu semua yang telah ambil bagian dalam perayaan suci ini, terutama para kardinal, para uskup, dan para pemimpin yang terhormat.

 

Saya sangat senang menyapa delegasi resmi Gereja Inggris, yang dipimpin oleh Yang Mulia Stephen Cottrell, Uskup Agung York. Setelah pertemuan doa bersejarah dengan Yang Mulia Raja Charles III, yang dirayakan beberapa hari lalu di Kapel Sistina, kehadiranmu hari ini mengungkapkan sukacita kita bersama atas penobatan Santo John Henry Newman sebagai Pujangga Gereja. Dari surga, semoga ia menyertai umat kristiani dalam perjalanan mereka menuju kesatuan penuh.

 

Saya menyapa seluruh peziarah yang hadir, terutama kaum muda yang telah menghidupkan "Perlombaan Para Kudus", yang digagas oleh Missioni Don Bosco, yang memadukan olahraga dan kesetiakawanan dengan anak-anak yang sangat tidak beruntung.

 

Saudara-saudari, misteri persekutuan para kudus, yang kita resapi hari ini, mengingatkan kita akan takdir akhir umat manusia: sebuah perayaan agung di mana kita bersukacita bersama dalam kasih Allah, hadir dalam diri semua orang, mengenali dan mengagumi keindahan wajah-wajah yang beraneka ragam, semuanya berbeda dan semuanya menyerupai wajah Kristus. Saat kita mengantisipasi kenyataan masa depan ini, kita merasakan dengan semakin kuat dan pedih betapa hal ini kontras dengan tragedi yang diderita keluarga manusia akibat ketidakadilan dan perang. Kita sungguh-sungguh merasakan kewajiban untuk menjadi pembangun persaudaraan. Marilah kita mempercayakan doa dan komitmen kita kepada perantaraan Perawan Maria dan semua orang kudus!

____

(Peter Suriadi - Bogor, 1 November 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV KEPADA PARA PENDIDIK DALAM YUBILEUM DUNIA PENDIDIKAN 31 Oktober 2025

Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

 

Damai sejahtera besertamu!

 

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi dan selamat datang!

 

Saya sangat senang bertemu denganmu, para pendidik yang datang dari seluruh dunia dan bekerja di setiap jenjang, mulai dari sekolah dasar hingga universitas.

 

Sebagaimana kita ketahui, Gereja adalah Ibu sekaligus Guru (bdk. Santo Yohanes XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, 15 Mei 1961, 1), dan kamu berkontribusi dalam mempersonifikasikan wajahnya bagi banyak murid dan mahasiswa dengan membaktikan dirimu bagi pendidikan mereka. Berkat beragam karisma, metodologi, pedagogi, dan pengalaman yang kamu tawarkan, serta keterlibatan "polifonik"-mu dalam Gereja, keuskupan, kongregasi, institut keagamaan, lembaga, dan gerakan, kamu menjamin jutaan orang muda sebuah pembinaan yang tepat, dengan senantiasa menempatkan kebaikan pribadi sebagai pusat penyaluran pengetahuan humanis dan ilmiah.

 

Saya juga pernah menjadi guru di lembaga pendidikan Ordo Santo Agustinus. Oleh karena itu, saya ingin berbagi pengalaman saya denganmu dengan berfokus pada empat aspek ajaran Doctor Gratiae yang saya anggap fundamental bagi pendidikan kristiani: interioritas, kesatuan, kasih, dan sukacita. Inilah prinsip-prinsip yang ingin saya jadikan unsur pokok perjalanan kita bersama, menjadikan pertemuan ini sebagai awal dari perjalanan bersama menuju pertumbuhan dan pengayaan bersama.

 

Mengenai aspek interioritas, Santo Agustinus mengatakan bahwa "bunyi kata-kata kita menusuk telinga, Sang Guru ada di dalam" (In Epistolam Ioannis ad Parthos Tractatus 3,13), dan ia menambahkan: "Mereka yang tidak diajar oleh Roh Kudus secara batiniah akan pergi tanpa mempelajari apa pun" (idem). Dengan demikian, ia mengingatkan kita bahwa kelirulah jika menganggap kata-kata yang indah atau ruang kelas, laboratorium, dan perpustakaan yang baik sudah cukup untuk mengajar. Semua itu hanyalah sarana dan ruang fisik, yang tentu saja bermanfaat, tetapi Sang Guru ada di dalam. Kebenaran tidak menyebar melalui suara, dinding, dan koridor, melainkan dalam perjumpaan mendalam antarmanusia, yang tanpanya setiap upaya pendidikan pasti akan gagal.

 

Kita hidup di dunia yang didominasi oleh layar dan filter teknologi yang seringkali dangkal, sementara peserta didik membutuhkan bantuan untuk berhubungan dengan diri mereka. Dan bukan hanya mereka, tetapi juga para pendidik, yang sering kali lelah dan terbebani dengan tugas-tugas birokrasi, menghadapi risiko nyata melupakan apa yang dirangkum Santo John Henry Newman dalam ungkapan: cor ad cor loquitur (“hati berbicara kepada hati”) dan apa yang dikatakan Santo Agustinus: “Jangan melihat ke luar, kembalilah pada dirimu sendiri, karena kebenaran berdiam di dalam dirimu” (De Vera Religione, 39, 72). Kata-kata ini mengundang kita untuk memandang pembinaan sebagai jalan yang ditempuh guru dan murid bersama-sama (bdk. Santo Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik Ex Corde Ecclesiae, 15 Agustus 1990, 1). Mereka sadar bahwa mereka tidak mencari dengan sia-sia, dan pada saat yang sama tahu bahwa mereka harus terus mencari bahkan setelah menemukan sesuatu. Hanya upaya yang rendah hati dan bersama ini – yang dalam konteks sekolah berbentuk projek pendidikan – yang dapat membawa siswa dan guru lebih dekat kepada kebenaran.

 

Hal ini membawa kita pada kata kedua: kesatuan. Seperti yang mungkin kamu ketahui, moto saya adalah: In illo uno unum. Ini juga merupakan ungkapan Agustinian (bdk. Ennaratio in Psalmum 127, 3), yang mengingatkan kita bahwa hanya di dalam Kristus kita sungguh menemukan kesatuan: sebagai anggota yang bersatu dengan Sang Kepala dan sebagai rekan dalam perjalanan pembelajaran berkelanjutan dalam kehidupan.

 

Dimensi "bersama" secara konsisten hadir dalam tulisan-tulisan Santo Agustinus, dan merupakan hal mendasar dalam konteks pendidikan sebagai tantangan untuk "menurunkan pusat" diri dan sebagai rangsangan untuk bertumbuh. Karena alasan ini, saya memutuskan untuk meninjau kembali dan memperbarui proyek Pakta Global tentang Pendidikan, yang merupakan salah satu wawasan kenabian pendahulu saya yang terhormat, Paus Fransiskus. Bagaimanapun, keberadaan kita bukanlah milik kita, sebagaimana diajarkan oleh sang guru dari Hippo: "jiwamu bukan hanya milikmu, tetapi milik saudara-saudarimu" (Ep. 243, 4). Jika hal ini benar dalam arti umum, maka hal ini lebih benar lagi dalam timbal balik yang merupakan ciri khas pendidikan, di mana pembagian pengetahuan hanya dapat dilihat sebagai tindakan cinta kasih yang besar.

 

Sungguh, kata ini – kasih – adalah kata ketiga kita. Kata ini mendorong kita untuk merefleksikan secara mendalam ajaran Agustinian yang menyatakan: “Kasih kepada Allah adalah perintah pertama, kasih kepada sesama adalah praktik pertama” (In Evangelium Ioannis Tractatus 17, 8). Oleh karena itu, dalam ranah pendidikan, kita masing-masing dapat bertanya pada diri kita sendiri, komitmen apa yang kita buat untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendesak; upaya apa yang kita lakukan untuk membangun jembatan dialog dan perdamaian, bahkan di dalam komunitas pengajar; keterampilan apa yang kita kembangkan untuk mengatasi prasangka atau pandangan sempit; keterbukaan apa yang kita tunjukkan dalam proses pembelajaran bersama; dan upaya apa yang kita lakukan untuk memenuhi dan menanggapi kebutuhan mereka yang paling rapuh, miskin, dan terpinggirkan? Berbagi pengetahuan saja tidak cukup untuk pengajaran: kasih dibutuhkan. Hanya dengan demikian pengetahuan akan bermanfaat bagi mereka yang menerimanya, dalam dirinya sendiri dan terutama, karena kasih yang disampaikannya. Mengajar tidak boleh dipisahkan dari kasih. Salah satu kesulitan saat ini dalam masyarakat kita adalah kita tidak lagi tahu bagaimana menghargai kontribusi besar yang diberikan guru dan pendidik kepada masyarakat. Namun kita perlu berhati-hati, karena merusak peran sosial dan budaya pendidik berarti membahayakan masa depan kita sendiri, dan krisis dalam penyampaian pengetahuan membawa serta krisis pengharapan.

 

Hal ini membawa kita pada kata kunci terakhir: sukacita. Guru sejati mendidik dengan senyuman, dan tujuan mereka adalah membangkitkan senyuman di lubuk jiwa peserta didik mereka. Saat ini, dalam konteks pendidikan kita, sungguh memprihatinkan melihat semakin meluasnya gejala kerapuhan batin, di segala usia. Kita tidak bisa menutup mata terhadap seruan minta tolong yang terpendam ini; sebaliknya, kita harus berusaha mengidentifikasi akar penyebabnya. Kecerdasan buatan, khususnya, dengan pengetahuan teknisnya yang dingin dan terstandarisasi, dapat semakin menjauhkan peserta didik yang sudah terasing, memberi mereka khayalan bahwa mereka tidak membutuhkan orang lain atau, lebih buruk lagi, perasaan bahwa mereka tidak layak bagi orang lain. Peran pendidik, di sisi lain, adalah upaya manusiawi; dan sukacita dari proses pendidikan itu sendiri adalah keterlibatan yang sepenuhnya manusiawi, sebuah "api untuk meleburkan jiwa kita, dan dari banyak menjadi satu" (Santo Agustinus, Pengakuan-pengakuan, IV, 8, 13).

 

Oleh karena itu, sahabat-sahabat terkasih, saya mengajakmu untuk menjadikan nilai-nilai ini – interioritas, kesatuan, kasih, dan sukacita – sebagai “unsur kunci” misimu kepada para peserta didik, dengan mengingat sabda Yesus: “Segala sesuatu yang telah kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Saudara-saudari, saya berterima kasih atas karya berharga yang kamu lakukan! Saya memberkatimu segenap hati, dan saya akan mendoakanmu.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 31 Oktober 2025)