Waktu Fransiskus lahir pada bulan
Desember 1181 atau bulan Januari 1182, ayahnya sedang bepergian ke Perancis.
Ada cerita (yang mungkin tidak benar), bahwa Nyonya Pika agak sulit melahirkan.
Atas nasihat seorang pengemis yang tiba-tiba mengunjungi rumah Pika, ibu Fransiskus
pindah ke kandang, lalu dapat melahirkan dengan mudah. Beberapa hari setelah
lahir Fransiskus dibaptis di Gereja San Rufino. Ibunya memberi nama Yohanes
Pembaptis, tetapi oleh ayahnya diubah menjadi "Francesco" (orang
Perancis). Ayah Fransiskus gemar akan Negeri Perancis. Sama seperti ayahnya,
Fransiskus pun menyukai Perancis.
Fransiskus mendapat pendidikan, yang
pada zaman itu dianggap pantas bagi anak-anak orang yang berada dan yang perlu
untuk meneruskan usaha ayahnya. Di bawah bimbingan imam-imam, Fransiskus
belajar menulis, membaca, menghitung dan juga sedikit bahasa Latin. Barangkali
ibunya sendiri mengajarkan bahasa Perancis kepadanya sebab ternyata Fransiskus
tahu sedikit bahasa Perancis dan suka menyanyi lagu-lagu Perancis. Pendidikan Fransiskus
ditangani oleh Ibu Pika sebab ayahnya terlalu sibuk dengan urusan dagang dan
sering pergi ke luar negeri. Ketika berusia 12 tahun Fransiskus tamat sekolah
dan mulai menempuh masa remaja.
Pemuda Fransiskus
Pemuda Fransiskus
Fransiskus mulai membantu ayahnya
mengurus toko di kota Asisi. Hanya saja Fransiskus temyata tidak disibukkan
dengan urusan dagang. Ia mempunyai watak periang dan peka terhadap keindahan
alam dan hal-hal indah yang lain. Ia suka musik, pakaian bagus yang
berwarna-warni, bahkan yang sedikit aneh.Ia memang berwatak riang, tetapi masih
agak dangkal. Ia sangat spontan, terbuka untuk sesama manusia dan peka terhadap
keperluan orang lain. Sebagai pemuda yang riang gembira Fransiskus suka
menghamburkan uang ayahnya bersama kawan-kawannya di Asisi. Fransiskus menjadi
pemimpin mereka dalam mengadakan pesta-pesta, dan pada malam hari berkeliaran
di kota sambil menyanyi dan membuat keributan. Tidak jarang para orang tua
menggeleng-gelengkan kepala melihat ulah anak Pietro Bernardone, dan orang
tuanya pun kadang-kadang merasa malu. Namun ayahnya tidak kikir, dan membiarkan
anaknya bersenang-senang dengan teman-temannya. Fransiskus sungguh mirip dengan
'pemuda gondrong' dewasa ini, seorang 'cross-boy' yang menarik perhatian orang.
Akan tetapi, Fransiskus tidak pernah memikirkan diri sendiri saja. Ia
membagi-bagikan segala sesuatu kepada teman-temannya dan tidak memusingkan
kepala dengan masa depan. Ia pun gemar menolong orang yang susah. Ia memberi
derma dan sedekah berlimpah kepada orang miskin di Asisi.
Ada sebuah cerita bagus yang memperlihatkan watak Fransiskus. Suatu hari seorang pengemis masuk toko sewaktu Fransiskus melayani di situ. Fransiskus agak jengkel karena terganggu. Ia mengusir pengemis itu tanpa memberi apa-apa. Akan tetapi, baru saja orang itu keluar, Fransiskus menyesal. Ia mencari orang miskin itu di seluruh kota sampai bertemu, Fransiskus minta maaf, lalu memberi sedekah yang berlimpah. Kemudian ia berjanji kepada dirinya bahwa tidak pernah lagi akan menolak seseorang, yang atas nama Tuhan minta tolong. Pendeknya Fransiskus seorang pemuda riang, berbakat pemimpin, baik hati serta pemurah. Meskipun ia melakukan banyak kenakalan, namun ia tidak pemah berbuat sesuatu yang sungguh-sungguh jahat.
Waktu Fransiskus berumur dua puluh tahun yaitu pada tahun 1202, pecah perang antara kota Asisi dan Perugia. Fransiskus turut berperang bersama pasukan kota Asisi. Mereka menyerang kota Perugia, tetapi menderita kekalahan. Banyak orang Asisi ditawan, antara lain Fransiskus bin Bernardone. Pengalaman di penjara Perugia memang pahit dan memalukan karena mereka kalah. Akan tetapi, Fransiskus dapat mempertahankan semangat gembiranya dan menyemangati teman-teman dalam penjara. Kalau mereka bertengkar atau hampir berkelahi, Fransiskus berhasil mendamaikan. Setelah satu tahun lamanya meringkuk dalam penjara, para tawanan dibebaskan (mungkin dengan bantuan ayah Fransiskus).
Fransiskus pulang ke rumah, tetapi tidak lama kemudian Fransiskus sakit keras. Ini barangkali akibat dari pengalaman pahit di penjara itu. Pransiskus bahkan nyaris mati.
Fransiskus Bertobat
Penyakit itu ternyata menjadi
sentuhan rahmat Tuhan yang pertama. Pengalaman sakit membuka proses pertobatan
Fransiskus yang berlangsung kira-kira empat tahun. Pertobatan itu menjadi
perjuangan sengit, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya.
Setelah sembuh Fransiskus tidak senang lagi dengan cara hidupnya dahulu. Ia sendiri heran sekali bahwa apa yang dahulu menarik, menggembirakan dan menyenangkan, tiba-tiba kehilangan daya tariknya. Meskipun Fransiskus memaksa diri kembali kepada teman-temannya untuk meneruskan kegirangan dahulu, namun ia sernakin merasa bosan. Hidup semacam itu dialaminya sebagai hampa, kosong, dan tidak berarti. Usaha dagang ayahnya sebenarnya tidak menarik sama sekali bagi Fransiskus. Karena itu, Fransiskus mulai mencari-cari sesuatu yang dapat mengisi hidupnya. Suatu malam Fransiskus bermimpi melihat sebuah benteng besar (sebagaimana dimiliki kaum bangsawan zaman itu), penuh dengan perlengkapan senjata bagi ksatria. Fransiskus mendengar suatu suara yang menjelaskan bahwa semua itu untuk Fransiskus serta kawan-kawannya. Fransiskus terbangun, dan mengira mendapat ilham jelas tentang apa yang dapat mengisi hidupnya. Ia mau menjadi ksatria! Kesempatan untuk melaksanakan hal itu segera terjadi. Seorang bangsawan dari Asisi mempersiapkan pasukannya untuk pergi ke Italia Selatan. Di sana akan bergabung dengan pasukan paus yang dipimpin oleh Walter dari Brienne, berperang melawan pasukan kaisar Jerman untuk membela kepentingan paus. Fransiskus ikut sebagai sukarelawan dengan harapan akan dijadikan ksatria. Ia membeli perlengkapan senjata yang bagus dengan uang ayahnya walaupun sebelum berangkat perlengkapan itu biasanya akan diberikan kepada seorang ksatria. Ia berangkat menuju ke selatan, tetapi tidak sampai, sebab di kota Spoleto Fransiskus — yang sedang menderita penyakit malaria — mendengar suatu suara berkata, "Siapa mengganjar lebih baik, majikan atau hamba? Mengapa engkau meninggalkan majikan untuk hamba; tuan yang kaya untuk orang yang melarat?" Fransiskus mengerti bahwa jalan keduniaan yang mau ditempuhnya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Segera Fransiskus kembali ke Asisi, meskipun merasa malu. Pasti kawan-kawannya mengejek bahwa orang yang baru saja berangkat untuk menjadi pahlawan, secepat itu kembali. Begitulah Fransiskus! Kalau berpendapat harus berbuat begitu atau begini, ia tidak mundur terhadap desakan dari luar. Ternyata Fransiskus tidak hanya riang gembira, tetapi juga berwatak nekad.
Bagaimana selanjutnya? Ini pun belum jelas bagi Fransiskus. Fransiskus mulai rajin menjalankan perintah-perintah keagamaan. Ia menyendiri, bertapa dan berdoa serta kerap kali menyembunyikan diri di gunung dan gua-gua yang ada di sekitar kota Asisi. Sesuai dengan wataknya, Fransiskus secara resmi minta diri kepada teman-temannya. Ia mengadakan sebuah perjamuan besar-besaran, dan setelah makan-minum kelompok pemuda itu berkeliling kota sambil bernyanyi dan main gitar. Teman-temannya merasa bahwa Fransiskus tidak ikut dengan sebulat hati, dan bahwa ada sesuatu yang menekan batinnya. Akhimya Fransiskus menyampaikan niatnya dengan caranya sendiri. la menjelaskan bahwa telah terpikat pada seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Terserah apa yang mereka pikirkan, Fransiskus sendiri terus berpikir akan "Nona Kemiskinan" yang mau dipeluknya. Sebab sementara bertapa dan berdoa Fransiskus semakin condong kepada orang miskin, malang, dan yang melarat. Ia menolong mereka dengan uang ayahnya. Akan tetapi, ia belum juga menyelami kemiskinan yang sebenarnya, seperti nasib orang-orang malang itu.
Maka Fransiskus berziarah ke Roma, ke makam Petrus dan Paulus untuk mencari penerangan tentang apa yang harus diperbuatnya. Di Roma ia menyaksikan banyak orang kaya raya hanya memberikan derma kecil bagi keperluan Gereja. Pada tangga-tangga gereja banyak pengemis yang minta sedekah dari orang yang masuk dan keluar. Fransiskus merasa jengkel akan orang-orang kaya yang kikir itu, maka seluruh uang yang dibawanya dilemparkannya di atas makam kedua rasul, tempat orang biasa meletakkan sedekahnya. Lalu Fransiskus meminjam pakaian buruk dan compang-camping seorang pengemis dan duduk di tangga gereja minta sedekah dari orang yang masuk-keluar. Fransiskus mengalami sendiri nasib orang miskin.
Sepulang dari Roma Fransiskus tetap belum jelas apa yang harus dikerjakannya. Kemudian ada sebuah pengalaman, yang oleh Fransiskus sendiri diartikan sebagai saat pertobatannya. Terjadinya begini. Pada suatu hari Fransiskus naik kuda dan berjumpa dengan seorang yang sakit kusta. Penyakit itu selalu sangat menjijikkan Fransiskus. Ia menolong orang-orang -nalang itu, tetapi selalu melalui orang lain, dan menghindari mereka. Melihat mereka, Fransiskus bahkan melarikan diri. Akan tetapi, hari itu lain dengan sebelumnya. Setelah berperang dengan diri sendiri, ia turun dari kudanya, memeluk dan mencium orang kusta itu. Anehnya, apa yang dahulu sangat pahit dan menjijikkan tiba-tiba menjadi manis dan sedap bagi Fransiskus. Ia mengalahkan diri, kemenangan mutlak, syarat penting untuk taat kepada kehendak Tuhan yang sedang dicari Fransiskus. Selanjutnya Fransiskus banyak mengunjungi orang kusta yang ditampung dalam sebuah rumah di luar kota Asisi. Ia merawat mereka, memberi makan dan pakaian serta menghibur makhluk malang itu, yang ditinggalkan semua orang.
Fransiskus tetap tidak puas. Ia merasa bahwa menjadi perawat orang sakit juga bukan panggilannya. Ia tidak menemukan orang yang dapat menolong dan memberi petunjuk kepadanya. Ia memang bersahabat dengan Uskup Guido, yang dengan minat besar mengikuti pergumulan hidup Fransiskus, tetapi Uskup Guido seorang pemimpin rohani yang bijaksana dan unggul, yang tidak mau campur tangan dalam urusan Tuhan dan panggilan Fransiskus. Ia tidak mau mendorongnya ke sana atau ke situ. Ia yakin bahwa suatu rahasia terjadi antara Tuhan dengan Fransiskus.
Pada tahun 1206 terjadi sebuah peristiwa lain yang mengarahkan Fransiskus pada perkembangan selanjutnya. Suatu hari Fransiskus membawa setumpukan kain wol dari toko ayahnya untuk dijual di Foligno. Ia singgah sebentar di sebuah gereja kecil di pinggir kota Asisi, yaitu San Damiano, untuk berdoa. Ia berlutut di depan sebuah salib bergaya Bisantin. Sedang berdoa Fransiskus mendapat kesan bahwa salib itu mulai berbicara kepadanya. Fransiskus seolah-olah mendengar suara yang berkata, "Fransiskus, tidakkah kaulihat bahwa rumah-Ku nyaris roboh menjadi puing-puing? Pergilah, dan perbaikilah itu bagi-Kul" Gereja San Damiano memang sudah tua sekali dan tidak terurus sehingga hampir roboh. Pikiran mengenai memperbaiki gereja dianggapnya sebagai tugas panggilannya. Sesuai dengan watak spontannya, ia segera melaksanakan tugas itu. Ia naik kuda, pergi ke Foligno menjual bawaannya, termasuk kudanya, lalu kembali ke San Damiano. Seluruh uang yang dibawanya ditawarkan kepada pastor setempat untuk memperbaiki gereja, membeli minyak bagi lampu Tuhan dan sebagainya. Karena heran dan takut nanti ada kesulitan, pastor menolak. Beliau memang sudah mendengar banyak tentang anak Pietro Bernardone itu. Akan tetapi, Fransiskus meletakkan uang itu di jendela gereja, dan tidak mau membawanya lagi.
Fransiskus tidak pulang ke rumah, tetapi menetap di pastoran San Damiano. Ini agaknya membingungkan pastor, namun beliau mengizinkan. Kadang-kadang Fransiskus pergi ke kota Asisi mengumpulkan minyak dan sebagainya untuk keperluan gereja. Mula-mula Fransiskus makan apa yang dihidangkan pastor, tetapi ia merasa itu kurang pantas, dan membebani pastor. Maka setiap hari ia ke kota, berkeliling minta makanan pada warga kota, bahkan pada bekas temannya. Mula-mula itu memang berat bagi Fransiskus, tetapi sekali lagi ia nekad dan tak mau mundur sedikit pun. Ia memperbaiki Gereja San Damiano dengan tangannya sendiri, bahkan mencoba mengajak orang lain untuk menolongnya. Selesai gereja itu, Fransiskus menangani kapela-kapela dan gereja-gereja lain yang tidak terums di sekitar kota Asisi. Ia sendiri mencari dan meminta bahan bangunan yang diperlukan. Penduduk Asisi yang menyaksikan itu merasa heran dan menganggap sebagai suatu keganjilan lain dari 'pemuda gondrong' itu. Tidak )arang Fransiskus diejek dan dicaci maki. Ada orang yang meneriakkan ejekan, ‘Orang Sinting, Il Pazzo!’ Bahkan adik Fransiskus sendiri turut mengejek kakaknya.
Ayah Fransiskus tidak senang akan perkembangan baru anaknya itu. Harga dirinya sebagai ayah, orang berada dan terkemuka di kota amat tertusuk. Keluarganya menjadi buah bibir dan tertawaan di kota. Pietro Bernardone memutuskan untuk bertindak tegas dan menertibkan anak pembangkang yang setengah liar dan berandal itu. Ia mencari dan menangkapnya, memukul dan dengan paksa menyeretnya ke rumah. Fransiskus dijebloskan ke dalam sebuah kamar yang terkunci rapat dan tidak akan dikeluarkan sebelum bertobat. Ibu Fransiskus, yang mesti memberi makan dan keperluan-keperluan lain kepada anaknya, sangat sedih hati dan menasihati Fransiskus agar kembali ke )alan yang lurus, dan menjadi anak yang taat. Akan tetapi, baik kekerasan ayah maupun kesedihan dan air mata ibu, tidak berhasil menggoncangkan Fransiskus. Ketika ayah Fransiskus bepergian lagi, Ibu Pika melepaskan Fransiskus, yang kemudian melarikan diri kembali ke San Damiano. Kedatangan Fransiskus mengejutkan pastor, yang belum pernah menghadapi situasi semacam itu, dan juga takut kalau-kalau Pietro akan mengambil tindakan. Kiranya atas anjuran Uskup Guido, pastor di San Damiano mengizinkan Fransiskus menetap di pastoran lagi. Fransiskus meneruskan kerjanya sebagai 'pemugar gereja-gereja'.
Sekembalinya dari perjalanan Pietro menemukan kamar kosong dan ia insaf bahwa tidak maju selangkah pun dalam menertibkan anaknya.Ila naik pitam dan memutuskan mengikutsertakan pemerintah kota dalam usahanya untuk mengembalikan Fransiskus. Seandainya Fransiskus tetap tidak mau, maka ayahnya akan menolak Fransiskus sebagai anak dan mencabut hak warisan. Ia meminta pemerintah kota untuk mengirim polisi ke San Damiano mengambil Fransiskus dan menyeretnya ke pengadilan kota. Akan tetapi wali kota menjelaskan, bahwa pemerintah tidak berdaya. Fransiskus menetap di San Damiano sebagai 'pelayan' Gereja, sehingga — menurut adat kebiasaan di zaman itu dan sesuai dengan hukum Gereja — hanya uskup saja yang berwenang.
Selain itu, Fransiskus memakai uang
dan barang ayahnya untuk membangun gereja-gereja, yang juga milik keuskupan.
Pietro Bernardone tidak kehilangan akal. Ia menghadap uskup, dan menuntut
supaya Fransiskus dihadapkan kepada pengadilan keuskupan, serta dipaksa
mengembalikan segala harta milik ayahnya. Uskup Guido yang dapat memahami
kemarahan ayah Fransiskus, menyetujui tuntutan itu. Fransiskus dipanggil untuk
menghadap pengadilan uskup. Uskup memutuskan bahwa Fransiskus memang mesti
mengembalikan harta milik ayahnya. Fransiskus tidak menunda pelaksanaan
keputusan itu. Ia melaksanakannya secara radikal. Ia menanggalkan pakaiannya,
meletakkan pada kaki ayahnya dan menaruh seluruh uang di atasnya, lalu ia
menempatkan diri sepenuhnya di bawah perlindungan uskup. Uskup yakin, bahwa
Fransiskus benar-benar dipimpin Tuhan. Begitulah, Pietro Bernardone menolak
Fransiskus sebagai anak dan ahli waris. Menurut berita, Fransiskus mengungkapkan
pendiriannya begini, "Hingga sekarang aku menyebut Pietro Bernardone
ayahku, tetapi aku telah mengambil keputusan untuk mengabdi kepada Tuhan. Maka
aku mengembalikan kepadanya uang, yang menjadi alasan ia amat gusar hati; juga
pakaian yang kupakai ini, menjadi miliknya. Mulai sekarang aku akan berkata,
'Bapa kami yang ada di surga' dan bukan, 'Bapa Pietro Bernardone'."
Putuslah ikatan Fransiskus dengan hidupnya dahulu. Tidak ada berita bahwa
hubungan Fransiskus dengan ayahnya pernah pulih. Tidak ada pula berita bahwa
ibu Fransiskus masih berperan dalam hidup Fransiskus, apalagi adik-adiknya.
Dengan terputusnya ikatan terakhir ini, selesailah pertobatan Fransiskus tahun
1207. Fransiskus telah 'meninggalkan dunia' menurut penghayatannya sendiri.
Panggilan Fransiskus
Hubungan dengan masa lampau putus
sudah, tetapi Fransiskus belum mempunyai gambaran jelas mengenai masa depan. Ia
meninggalkan rumah Uskup Guido dengan pakaian yang diberikan kepadanya, yaitu
pakaian seorang petapa dan peziarah. Punggung pakaian itu dihiasnya dengah
sebuah salib besar yang digambar dengan kapur. Ke mana ia harus pergi ?
Ada cerita bahwa Fransiskus berjumpa dengan segerombolan penyamun. Ia sedang menyanyi dalam bahasa Perancis. Penyamun itu kecewa sekali tidak mendapat apa-apa dari Fransiskus, maka mereka bertanya siapa Fransiskus. "Aku bentara Raja Besar," jawabnya. Para penyamun melemparkan Fransiskus ke dalam sebuah lubang yang penuh salju.
Ada cerita bahwa Fransiskus berjumpa dengan segerombolan penyamun. Ia sedang menyanyi dalam bahasa Perancis. Penyamun itu kecewa sekali tidak mendapat apa-apa dari Fransiskus, maka mereka bertanya siapa Fransiskus. "Aku bentara Raja Besar," jawabnya. Para penyamun melemparkan Fransiskus ke dalam sebuah lubang yang penuh salju.
Kemudian Fransiskus bekerja di sebuah biara rahib Benediktin. Ia diperbolehkan bekerja di dapur, tetapi diperlakukan dengan jelek sekali. Fransiskus terpaksa meminta pakaian pada seorang sahabat di Foligno. Entah karena apa, Fransiskus tidak bertahan di biara Benediktin. Ia kembali menetap di San Damiano, dan meneruskan karyanya sebagai pembangun gereja. Fransiskus meneruskan cara hidupnya ini selama dua tahun. Hanya soalnya : Itukah panggilan Fransiskus? Itukah yang dimaksudkan oleh suara yang berkata, 'Pergilah, bangunlah Gereja-Ku yang nyaris roboh menjadi puing!' ?
Akhirnya pada tanggal 24 Februari 1209 Fransiskus menemukan panggilannya dalam Injil. Hari itu Fransiskus mengikuti Misa. Injil yang dibacakan ialah Matius 10, wejangan Yesus kepada para rasul yang diutus untuk mewartakan Injil ke mana-mana dengan tidak membawa apa-apa. Wejangan itu sangat mengesan di hati Fransiskus. Setelah misa Fransiskus meminta penjelasan lebih lanjut pada imam yang mempersembahkan misa. Mendengar penjelasan itu, dengan gembira hati Fransiskus berteriak, "Itulah yang kuinginkan dengan segenap hati untuk kulaksanakan!" Dalam wasiatnya, Fransiskus menulis bahwa bagian Injil itu menjadi 'wahyu Tuhan' baginya. Tuhan sendiri sudah memberikan petunjuk apa yang harus dilaksanakannya, yaitu melaksanakan Injil dengan sebulat-bulatnya, tanpa tawar-menawar atau tafsir-menafsir. Hati Fransiskus yang sudah lama mencari-cari merasa lega sekali. Tanpa menunda ia melaksanakan panggilan Tuhan. Keluar dari gereja ia mencopot sepatunya, sebab dalam Injil dikatakan mereka tidak boleh inemakai sepatu; membuka ikat pinggang dari kulit dan menggantinya dengan seutas tali yang dipungut dari jalan. Kemudian pakaian petapa diganti dengan pakaian petapa masa itu. Fransiskus hanya sedikit memperpanjang jubah dan lengannya. Lalu Fransiskus mulai memberitakan Injil kepada siapa pun yang mau mendengar. Jelas bagi Fransiskus bahwa membangun Gereja yang nyaris roboh, perlu diartikan secara rohani. Tugas panggilannya ialah membina umat Kristen, bahkan umat manusia, dengan menyalakan semangat Yesus Kristus, Injil mengenai kebaikan dan kasih Allah serta Putra-Nya, Injil pertobatan dan perdamaian. Pada masa Fransiskus semangat semacam itu memang agak lesu dan padam.
Fransiskus menjelajah daerah Umbria dan lain-lain daerah. Ia berbicara dengan semua orang yang dijumpainya. Ia berbicara tentang Allah Bapa, tentang Yesus, mengenai bertobat dan berdamai. Ia suka akan rakyat jelata, orang miskin dan yang terlantar, serta mereka yang sama sekali tidak diperhatikan. Semua orang itu amat dihargai Fransiskus. Ia bergaul dengan mereka dengan sopan santun yang halus, dengan manis dan gembira. Sebab ia memang pembawa Kabar Gembira, Injil yang melegakan hati manusia dan meriangkan seluruh hidupnya. Dengan contoh hidupnya, Fransiskus membuktikan bahwa orang bisa riang dan gembira, sekalipun melarat dan miskin. Fransiskus memang tidak membawa apa-apa dalam perjalanannya, makan dan minum apa saja yang dihidangkan orang, tidur di mana kebetulan ada tempat. Fransiskus sungguh orang yang oleh Injil dibebaskan dari segenap ikatan dan segala beban.
Pengikut-pengikut Pertama
Fransiskus memulai hidup barunya itu
dengan gembira hati. Ia sama sekali tidak mengira bahwa cara hidupnya ini dapat
menarik orang lain. Ia juga tidak mencari pengikut, apalagi memikirkan untuk
mendirikan sebuah gerakan atau organisasi. Ia hanya ingin melaksanakan dan
memberitakan Injil. Bila bertemu dengan orang yang bertengkar, berselisih,
bertikai atau berkelahi ia berusaha mendamaikan mereka. Ia sering berhasil.
Pada zaman itu bangsa Italia kerap berkelahi, bertikai, bahkan berperang satu sama
lain. Fransiskus muncul sebagai malaikat pembawa damai, persahabatan dan kasih.
Di Asisi ada dua golongan yang bermusuhan, bangsawan (mayores) dan warga kota
lain (minores). Fransiskus berhasil mendamaikan warga kota yang dicintainya
itu.
Cara hidup Fransiskus mulai menarik
perhatian banyak orang, baik di Asisi maupun di tempat lain. Di Asisi banyak
orang merasa jengkel akan kelakuan Fransiskus yang aneh-aneh itu, tetapi
setelah tahu bahwa Fransiskus bertahan, maka sejumlah orang mulai tersentuh.
Mereka justru paling bersemangat dan paling menginginkan suatu hidup yang lebih
sesuai dengan Injil. Pada masa Fransiskus ada banyak orang dan kelompok Kristen
yang ingin melaksanakan Injil dengan sebaik-baiknya. Mereka mempelajari Injil
sebagai pedoman hidup, tetapi kerap kali tidak ada pemimpin yang cukup bermutu.
Melihat Fransiskus menempuh jalan Injil seperti itu, beberapa penduduk kota
Asisi dan sekitarnya mulai bertanya-tanya, apakah mereka dapat mengikuti
Fransiskus dan mendapat bimbingannya. Maka tidak lama setelah menemukan
panggilannya, beberapa orang datang meminta nasihat pada Fransiskus. Fransiskus
agak terkejut sebab belum pernah memikirkan hal semacam itu. Karena itu, dengan
kitab Injil dan membacakan saja ayat yang kebetulan dijumpai, Fransiskus menunjukkan
kepada orang-orang itu bagaimana harus hidup menurut Injil Tuhan kita Yesus
Kristus.
Tidak lama kemudian sudah ada dua belas pengikut. Mereka datang dari segenap lapisan masyarakat. Ada yang kaya raya, seperti Bernardus dari Quintavalle, yang membagi-bagikan seluruh miliknya kepada orang miskin, di pasar di kota Asisi. Ada yang terpelajar, yaitu Ahli Hukum Pietro Catani. Ada bangsawan, yaitu Angelo Tankredo. Ada rohaniwan, yaitu Silvester, yang menjabat pastor di Asisi. Ada yang sederhana sekali dan bisa disebut petualang, yaitu Egidius, dan ada petapa dari desa seperti Yohanes. Kelompok kecil itu tetap mendapat perlindungan dari uskup Asisi. Berdua-dua mereka pergi ke mana-mana, untuk secara sederhana berkhotbah di jalan dan di pasar, dan dengan tangan sendiri bekerja sebagai pembantu petani pada musim panen, mengumpulkan kayu bakar yang dipikul ke kota, menjadi pembantu dan pelayan di rumah orang lain. Mereka sebenarnya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan boleh dikata hidup di jalan raya. Mereka makan apa yang diberikan orang sebagai upah, dan kalau tidak cukup mereka tidak malu-malu pergi ke 'meja Tuhan' dengan minta-minta dari pintu ke pintu. Kalau ada kesempatan, malam hari mereka berkumpul di sebuah tempat di tengah hutan yang bernama Portiunkula, yang terletak di tanah milik para rahib Benediktin. Di situ ada sebuah kapela kecil yang disebut "Santa Maria Para Malaikat" sebab di belakang altar ada sebuah lukisan Maria di tengah para malaikat. Di Portiunkula mereka berbicara satu sama lain, bertukar pikiran, menceritakan pengalaman, bersembahyang, merenung dan bersemadi. Oleh karena tidak mempunyai satu buku pun — kecuali kitab Injil — mereka berdoa Bapa Kami saja, apalagi di antara mereka ada yang buta huruf.
Segera menjadi jelas bahwa mereka memerlukan semacam pedoman hidup. Maka Fransiskus menyusun semacam anggaran dasar. Ini sebenarnya tidak lain, kecuali sekumpulan ayat Injil, ditambah beberapa aturan tentang bagaimana mereka mesti berlaku kalau bepergian di dunia.
Ordo Saudara-saudara Dina didirikan
Fransiskus serta
pengikut-pengikut-Nya menjadi yakin bahwa kelompok kecil itu tidak hanya mesti
mendapat persetujuan dari uskup Asisi (yang sudah lama menyetujuinya), tetapi
juga dari pihak paus di Roma sebab Fransiskus dengan teman-temannya berkelana
di mana-mana, tidak hanya di Keuskupan Asisi. Selain itu, pada masa itu di
mana-mana muncul kelompok yang mau hidup menurut Injil, tetapi kerap kali mulai
memberontak terhadap Gereja sehingga kelompok-kelompok semacam itu dicurigai
oleh para uskup dan paus. Fransiskus sadar bahwa kelompoknya mirip dengan
kelompok-kelompok itu, sehingga boleh jadi mereka pun dicurigai. Padahal
Fransiskus justru mau sebulat hati tinggal di dalam Gereja Katolik dan taat
kepada paus dan semua uskup, bahkan kepada pastor setempat. Karena itu, mereka
mencari persetujuan dan perlindungan paus.
Tahun 1210, atau barangkali sudah pada tahun 1209, kelompok Fransiskus berangkat ke Roma mendapatkan Paus Innosentius III, orang yang pada zaman itu paling berkuasa di Eropa. Dengan pertolongan Uskup Guido yang kebetulan berada di Roma dan didukung oleh seorang kardinal, Fransiskus berhasil menghadap Paus. Paus serta iringannya agak heran melihat orang yang sederhana dan berpakaian compang-camping itu. Dalam hati mereka bertanya-tanya: mau apa orang itu ? Fransiskus diberi kesempatan menjelaskan maksud kunjungannya. Meskipun ada orang yang berkata, 'Tak mungkin! Tidak masuk akal' namun Paus, meski agak ragu-ragu, akhirnya secara lisan menyetujui cara hidup Fransiskus dan anggaran dasar sederhana yang disampaikannya. Apa yang dapat dilakukan oleh Paus, selain memberi izin, setelah Fransiskus dengan blak-blakan bertanya, 'Bolehkah saya melaksanakan Injil atau tidak?' Paus mengajak mereka tetap berusaha dan kalau berhasil baik mereka boleh kembali untuk meminta persetujuan tetap. Fransiskus mengucapkan profesinya di hadapan Paus dan seluruh kelompok dimasukkan ke dalam kalangan rohaniwan. Dengan demikian, mereka dilindungi oleh Gereja dan berwewenang untuk berkhotbah; tidak hanya di luar, di jalan, di lapangan, tetapi juga di gereja-gereja.
Maka lahirlah ordo Fransiskus dari Asisi pada tahun 1210 (atau 1209) dan berkembang pesat. Fransiskus serta teman-temannya kembali ke Asisi. Untuk sementara waktu mereka menetap dalam sebuah gubuk yang telah ditinggalkan di tepi sebuah kali yang bernama Rivo Torto, tidak jauh dari Asisi. Siang mereka pergi berkhotbah dan sebagainya, dan malam hari mereka berkumpul kembali di gubuk yang amat sempit dan bocor. Diceritakan bahwa Fransiskus menulis nama masing-masmg saudara di balik tempat mereka tidur, supaya terjamin dan tidak terganggu oleh saudara-saudara yang datang terlambat atau mau pergi berdoa. Kira-kira pada masa itulah kelompok mereka mendapat nama. Mula-mula mereka menyebut dirinya sebagai Petapa dari Asisi. Nama itu dirasakan kurang tepat oleh Fransiskus. Pada suatu hari ia membaca (atau ingat) wejangan Yesus kepada rasul-rasul-Nya bahwa tidak ada seorang pun yang boleh menganggap dirinya 'besar' atau 'bergelar rabi' (guru) atau 'Bapa' (abas), sebab mereka sesama saudara. Kata-kata ini sangat mengesan di hati Fransiskus, maka ia mengusulkan kepada para pengikutnya supaya menamakan diri Saudara-Saudara Dina (fratres minores). Mereka memang hanya saudara satu sama lain, maka mesti dan mau dianggap sebagai orang sederhana, yang tidak berarti apa-apa di mata sendiri, dekat dengan orang sederhana. Rakyat jelata kota Asisi memang disebut 'minores', berlawanan dengan 'mayores', yaitu kaum bangsawan yang berkuasa dan kaya. Fransiskus justru tidak mau berkuasa atau kaya dan sungguh-sungguh benci kepada uang, yang pada masa Fransiskus merupakan hal penting, memberi kuasa, menyebabkan banyak perselisihan, pertikaian dan perang.
Rivo Torto menjadi terlalu sempit untuk semua saudara dan mereka juga soring diganggu orang lain. Maka Fransiskus mulai memikirkan tempat lain untuk berkumpul, berdoa dan beristirahat. Betapa senang hatinya waktu abas biara Benediktin di Gunung Subasio menawarkan Portiunkula kepada Fransiskus serta teman-temannya. Gereja yang ada di sana diberikan kepada Fransiskus untuk dipakai. Segera dengan gembira kelompok Fransiskus pindah ke sana. Tidak sulit, sebab mereka tidak usah membawa apa-apa kecuali diri sendiri. Portiunkula itu selanjutnya menjadi 'markas besar' (istilah itu pasti tidak disukai Fransiskus) mereka. Di situ para saudara dina secara teratur (mula-mula setahun sekali) berkumpul untuk tukar pikiran, memikirkan cara hidupnya dan kalau perlu menetapkan aturan yang harus ada.
Jumlah pengikut Fransiskus bertambah dengan amat pesatnya. Pada tahun 1217 ordo sudah harus dibagi-bagi atas beberapa provinsi, tidak hanya di Italia, tetapi juga di negeri lain. Bahkan banyak awam yang sudah berkeluarga mau menggabungkan diri. Fransiskus mengalami kesulitan menghadapi mereka ini, menerima mereka begitu saja tidak bisa, menolak mereka tidak bisa juga. Maka Fransiskus menemukan akal. Ia memberi mereka petunjuk, nasihat dan pedoman, bagaimana mereka dapat melaksanakan Injil sesuai dengan keadaan mereka sebagai bapak dan ibu keluarga. Lahirlah kelompok yang sekarang disebut Ordo Ketiga Sekular (OFS). Kelompok itu pun dengan pesat berkembang. Para 'tertians' antara lain tidak membawa sesuatu, apalagi menggunakan senjata. Sesudah beberapa lama pemerintah beberapa kota di Italia tidak tahu lagi dari mana mengambil prajurit dan polisi kota. Begitu banyak warga kota masuk ordo ketiga, sehingga tidak cukup orang untuk tugas kemiliteran dan kepolisian. Begitulah, Fransiskus 'bentara kedamaian' mendamaikan Italia yang terpecah-belah akibat perang antarkota dan antargolongan. Fransiskus dengan cara sendiri melucuti senjata.
Kaum Wanita Menggabungkan Diri
Kaum wanita juga tidak dapat
meluputkan diri dari daya tarik Fransiskus dan cara hidupnya. Fransiskus serta
teman-temannya banyak muncul di gereja-gereja di Asisi dan sekitarnya untuk
berkhotbah. Mereka juga sering kelihatan di jalan. Pribadi dan khotbah
Fransiskus sangat mengesan, terutama di hati seorang pemudi bangsawan. Ia
bemama Klara di Offreducio, baru berumur delapan belas tahun. Pemudi itu menghubungi
Fransiskus dan meminta banyak nasihat dan bimbingan rohani. Setelah niat Klara
untuk turut menggabungkan diri dengan Fransiskus cukup matang, mereka sepakat
bahwa Klara akan melarikan diri dari rumah orang tuanya, padahal kedua orang
tuanya sudah merencanakan pernikahan Klara. Rupanya Uskup Guido pun tahu
tentang rencana Fransiskus dan Klara itu. Pada hari Minggu Palma tahun 1218
Klara bersama seorang pembantu melarikan diri melalui sebuah pintu samping di
kebun orang tuanya. Mereka langsung pergi ke Portiunkula. Di sana Klara
disambut oleh Fransiskus beserta para saudara lain dengan lilin di tangan,
sambil bernyanyi. Fransiskus segera memotong rambut Klara dan memberinya jubah
kasar seperti yang dipakai oleh saudara dina.
Klara tidak dapat tinggal di Portiunkula di tengah-tengah saudara-saudara. Fransiskus menitipkannya dalam biara para rubiah Benediktin, yang bernama San Paulo. Kemudian ia dipindahkan ke biara lain, yaitu San Angelo. Beberapa hari kemudian adik Klara, yaitu Agnes, juga melarikan diri dari rumah orang tuanya dan menggabungkan diri dengan kakaknya, dengan maksud menempuh cara hidup seperti Fransiskus. Seluruh keluarga Klara gempar dan marah. Mereka berusaha mengembalikan Klara dan Agnes (setidaknya Agnes), tetapi usaha mereka gagal. Ternyata Klara dan Agnes tidak kalah dengan Fransiskus dalam menghadapi keluarga yang tidak menyetujui cara hidup, yang menggagalkan rencana mereka sendiri. Beruntunglah Klara dan Agnes bahwa Uskup Guido sekali lagi tampil sebagai pembela dan pendukung perkara Fransiskus.
Sejumlah wanita lain, terutama dari kalangan bangsawan menyatakan niatnya mengikuti Fransiskus, sama seperti Klara. Mereka tidak dapat tinggal di biara rubiah Benediktin, yang cara hidupnya berbeda dengan yang diinginkan oleh Fransiskus dan Klara. Karena itu, Uskup Guido memberi Klara serta teman-temannya sebuah biara kecil di pinggir kota Asisi, yaitu San Damiano. Segera Klara pindah ke situ dan memulai cara hidupnya sendiri. Arus wanita yang mau mengikutinya tidak terbendung dan Ordo Santa Klara berkembang pesat berdampingan dengan Ordo Santo Fransiskus. Hanya saja Klara mesti berjuang lama dalam mendapat persetujuan dari paus untuk cara hidupnya. Bahkan Kardinal Hugolino — yang selalu melindungi Fransiskus — tidak bisa mengerti cara hidup Klara. Pikirnya: Apa yang dikehendaki Fransiskus, tidak mungkin bagi kaum wanita. Akan tetapi, Klara tetap berkeras hati dan tidak berhenti memperjuangkan perkaranya, lama setelah Fransiskus meninggal dunia. Baru pada ajalnya Klara mengalahkan semua pejabat tinggi Gereja, termasuk paus. Sungguh ia seorang wanita gagah berani.
Fransiskus Menjadi Misionaris
Di luar maksud dan dugaannya,
Fransiskus menjadi kepala dan pemimpin sebuah gerakan yang luas dan semakin
tebal. Akan tetapi ia sendiri sama sekali tidak merasa diri sebagai kepala,
pengurus, pemimpin dan sebagainya. Ia terus berpegang pada cita-citanya yang
asli: melaksanakan Injil Tuhan kita Yesus Kristus. Dalam Injil dikatakan bahwa
Yesus mengutus rasul dan murid-Nya sampai ke ujung bumi untuk mewartakan Injil
kepada segala makhluk. Ini belum dilaksanakan Fransiskus. Karena itu Fransiskus
menunggu kesempatan baik untuk berangkat kepada bangsa-bangsa lain, terutama
yang belum mendengar tentang Injil pendamaian dan pertobatan.
Pada masa Fransiskus pecah perang salib dengan kaum muslimin. Paus sendiri memimpin perang itu, meskipun tetap berada di Roma. Karena perang itu, orang Kristen di Eropa mendengar banyak tentang kaum muslimin. Kaum pedagang, khususnya orang Italia, juga membawa banyak berita tentang orang muslimin. Kaum muslimin dianggap musuh salib dan musuh Gereja yang harus dibunuh. Fransiskus juga mendengar tentang kaum muslimin. Akan tetapi, ia mengambil sikap yang lain sekali, sikap injili. Fransiskus berpendapat, 'Kepada mereka Injil juga perlu diberikan, bukannya dengan senjata yang membunuh, tetapi dengan perbuatan dan perkataan yang dapat meyakinkan mereka bahwa keselamatan dikaruniakan oleh Yesus Yang Tersalib'.
Tahun 1213 Fransiskus berlayar ke Tanah Suci, tidak hanya karena ingin melihat tempat Tuhannya pernah hidup, tetapi terutama untuk membawa Injil kepada kaum muslimin di Palestina dan Siria. Sayang, kapalnya karam dan Fransiskus terpaksa mendarat di Dalmatia (Yugoslavia), lalu kembali ke Italia. Tahun berikutnya ia melakukan perjalanan lagi, menuju ke Afrika Utara melalui Spanyol. Fransiskus nekad dan tidak mau menerima bahwa Tuhan tidak menghendaki ia menjadi misionaris.
Tahun 1219 tentara perang salib sedang beroperasi di Mesir. Fransiskus berlayar ke Mesir. Tentara Kristen sedang mengepung kota pelabuhan Damietta, tetapi tentara Kristen itu terpecah-belah, bertikai dan berkelahi satu sama lain. Fransiskus amat kecewa dan berusaha mendamaikan mereka, tetapi usahanya gagal. Tanpa perlindungan siapa pun Fransiskus meninggalkan tentara Kristen, mencari kaum muslimin. Ia bertemu dengan Sultan Malik Al-kamil sendiri. Entah bagaimana Fransiskus berhasil menghadap Sultan. Menurut berita, Sultan sangat berkesan dan terharu karena orang Kristen itu. Bahkan diceritakan bahwa Sultan memberi izin memberitakan Injil, tetapi apakah berita itu benar, entahlah. Yang pasti untuk membuktikan kebenaran Injil, Fransiskus menyatakan dirinya bersedia menaruh tangannya di dalam api. Kalau terbakar, Muhammadlah yang benar, kalau tidak terjadi apa-apa, Injillah yang mesti dipercaya. Para ulama pun mesti meletakkan tangannya dalam api, namun ulama-ulama itu tidak mau. Peristiwa ini sebaliknya dengan peristiwa yang terjadi pada zaman Muhammad. Muhammad pernah menantang sejumlah rahib Kristen. Ia mau meletakkan tangannya dalam api untuk membuktikan kebenaran Alqur'an dan orang Kristen juga mesti meletakkan tangannya dalam api, tetapi rahib-rahib Kristen tidak berani. Bagaimana seandainya Muhainmad bertemu dengan Fransiskus?
Mungkin sekali Fransiskus dengan beberapa teman dari Mesir berlayar ke Siria sebab memang ia pernah ke sana. Di negeri itu ia terserang penyakit mata (trakhom). Kemungkinan ia juga pergi ke Palestina. Akan tetapi, Fransiskus tidak dapat tinggal lama di tengah-tengah kaum muslimin sebab ia mendapat kabar tentang kerusuhan dan pertikaian yang timbul di antara para saudara di Italia. Karena itu, terpaksa ia kembali ke Italia. Jelaslah Tuhan tidak memanggil Fransiskus untuk menjadi misionaris, namun ia boleh disebut 'Misionaris' dengan huruf besar sebab sejak zaman dahulu umat Kristen tidak lagi menjalankan misi dengan pergi kepada bangsa-bangsa lain, karena Eropa terkurung di dalam dirinya sendiri. Fransiskuslah orang pertarna yang membuka kembali pintu dan jendela dengan memasukkan misi ke dalam cara hidup mjili yang ia praktikkan. Fransiskus sendiri boleh dikatakan gagal, namun pengikutnya menyebar ke mana-mana untuk mewartakan Injil. Pada masa hidup Fransiskus, mereka tidak hanya pergi ke kaum muslimin (Maroko, Siria, Palestina), tetapi bahkan sampai di Tiongkok.
Fransiskus Menyusun Anggaran Dasar Saudara-saudara Dina
Fransiskus kembali dari Syria,
mendarat di Pelabuhan Venesia, langsung ke Asisi melalui kota Bologna. Hatinya
kurang tenang karena kabar-kabar yang didengarnya tentang kelakuan sebagian
pengikutnya. Di Bologna ia segera mengambil tindakan keras terhadap para
saudara yang tinggal di situ. Ia mendapati mereka mendiami sebuah rumah, yang
menurut pendapatnya kurang sesuai dengan kemiskinan injili. Maka ia mengusir
semua saudara, termasuk yang sakit, dan bahkan mulai membongkar rumah itu. Lalu
diberitahukan kepadanya bahwa rumah itu milik kota dan — atas desakan Kardinal
Hugolino — Fransiskus membiarkan perkara itu. Akan tetapi, tindakan spontan itu
cukup menyatakan betapa Fransiskus kecewa, apalagi ada saudara-saudara di
Bologna (kota universitas) ingin menuntut ilmu dan menjadi orang terpelajar.
Melihat peristiwa Bologna dan kerusuhan lain yang mesti dihadapi, Fransiskus dan saudara-saudara lain insaf bahwa anggaran dasar pendek yang disetujui Paus Innosentius III tidak mencukupi bagi kelompok saudara yang sebesar sekarang.
Maka dalam tahun-tahun berikutnya Fransiskus yang sudah sakit, mencurahkan tenaga untuk menyusun sebuah pedoman hidup baru yang lebih sesuai dengan keadaan. Pimpinan harian ordo yang sudah beranggota 3.000-5.000 orang, diserahkannya kepada Pietro Catani. Setelah Catani meninggal, digantikan oleh Elias dari Kortona, orang kepercayaan Fransiskus. Kardinal Hugolino — yang sudah lama bersahabat dengan Fransiskus — dijadikan pengawas ordo sebagai wakil paus. Fransiskus menyendiri dan menyusun sebuah anggaran dasar atau pedoman hidup. Pedoman ini berdasarkan anggaran dasar pertama, macam-macam peraturan yang sudah dikeluarkan oleh para saudara, ditambah dengan buah pikiran Fransiskus sendiri. Dalam menulis pedoman itu Fransiskus ditolong oleh Sesarius dari Spiers, seorang saudara.