Saudara-saudari
yang terkasih, selamat pagi!
Pada
hari ini kita dihadapkan dengan Sabda Bahagia yang pertama dalam Injil Matius.
Yesus mulai memberitakan jalan kebahagiaan dengan pewartaan yang berlawanan
asas : "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah
yang empunya Kerajaan Sorga", jalan yang mengejutkan dan sasaran
kebahagiaan yang asing : kemiskinan.
Kita
harus bertanya pada diri sendiri, apa yang kita pahami berkenaan dengan “miskin”
di sini? Jika Matius hanya menggunakan kata ini, maka maknanya ekonomis semata,
yaitu, akan menunjukkan orang-orang yang sedikit atau tidak memiliki sarana
nafkah dan membutuhkan bantuan orang lain.
Namun,
berbeda dengan Lukas, Injil Matius berbicara tentang "orang yang miskin di
hadapan Allah". Apa artinya? Menurut Kitab Suci, di hadapan Allah adalah
nafas kehidupan yang disampaikan Allah kepada Adam. Inilah dimensi kita yang
paling intim - katakanlah dimensi rohani, dimensi yang paling intim, yang
menjadikan kita pribadi-pribadi yang manusiawi, inti terdalam dari keberadaan
kita. Maka "orang-orang yang miskin di hadapan Allah" adalah
orang-orang yang merasa miskin, para pengemis, di lubuk keberadaan mereka.
Yesus memberitakan mereka berbahagia, karena merekalah yang empunya Kerajaan
Sorga.
Berapa
kali telah dikatakan sebaliknya! Menjadi sesuatu dalam hidup, menjadi
seseorang, adalah penting ... Menamakan diri kita adalah penting ... Dari hal
inilah kesepian dan ketidakbahagiaan lahir : jika aku harus menjadi
"seseorang", aku bersaing dengan orang lain dan aku hidup dengan
dihantui keasyikan untuk egoku. Jika aku tidak terima menjadi miskin, aku
membenci semua yang mengingatkanku akan kerapuhanku, karena kerapuhan ini
menghambatku untuk menjadi orang penting, orang yang kaya tidak hanya uang
tetapi juga ketenaran, kaya segalanya.
Menghadapi
diri sendiri, kita masing-masing tahu betul bahwa, sesibuk apapun, kita selalu
sama sekali tidak sempurna dan tidak berdaya. Tidak ada riasan yang menutupi
ketidakberdayaan ini. Diri kita masing-masing tidak berdaya, ke manapun kita
dipaksa melihatnya. Namun, betapa buruknya kita hidup jika kita menolak
keterbatasan kita! Kita hidup dengan buruk. Keterbatasan tidak tercerna;
keterbatasan ada di sana. Orang-orang yang sombong tidak meminta bantuan,
mereka tidak sudi meminta bantuan, tidak terpikir oleh mereka untuk meminta
bantuan karena mereka harus mempertunjukkan diri mereka sendiri. Dan berapa
banyak dari mereka yang membutuhkan bantuan, tetapi kesombongan menghambat
mereka untuk meminta bantuan. Dan betapa sulitnya untuk mengakui kesalahan dan
memohon pengampunan! Ketika saya memberi nasihat kepada para pengantin baru,
yang bertanya kepada saya bagaimana menjalani perkawinan dengan baik, saya
mengatakan kepada mereka : "Ada tiga kata magis : izin, terima kasih,
maaf". Ketiga kata tersebut berasal dari miskin di hadapan Allah. Tidak
perlu mengganggu, tetapi meminta izin : "Apakah menurutmu boleh melakukan
hal ini?" Jadi, ada dialog di dalam keluarga; suami-istri saling
berbicara. "Kamu melakukan ini untukku, terima kasih aku
membutuhkannya". Kemudian, kesalahan selalu terjadi, kita tergelincir :
"Maaf". Dan biasanya para pasutri, para pengantin baru, mereka yang
ada di sini dan begitu banyak, mengatakan kepada saya : "Yang ketiga
adalah yang paling sulit”, meminta maaf, memohon pengampunan, karena orang yang
sombong tidak sudi melakukannya. Ia tidak sudi meminta maaf : ia selalu benar.
Ia tidak miskin di hadapan Allah. Sebaliknya, Tuhan tidak pernah lelah untuk
mengampuni. Sayangnya, kitalah yang lelah untuk memohon pengampunan (bdk. Doa
Malaikat Tuhan, 17 Maret 2013). Kelelahan memohon pengampunan : ini adalah
sebuah penyakit yang mengerikan!
Mengapa
sulit untuk memohon pengampunan? Sulit karena mempermalukan citra kita yang
munafik. Namun hidup dengan berusaha menyembunyikan kekurangan kita melelahkan
dan menyedihkan. Yesus Kristus mengatakan kepada kita : menjadi miskin adalah
sebuah kesempatan rahmat, dan Ia menunjukkan kepada kita jalan keluar dari
kesulitan ini. Kita diberi hak untuk menjadi miskin di hadapan Allah, karena
inilah jalan menuju Kerajaan Allah.
Namun,
ada satu hal mendasar yang harus diulang : kita tidak boleh mengubah rupa diri
kita menjadi miskin, kita tidak perlu melakukan sebuah perubahan rupa karena
kita sudah sedemikian adanya! Kita miskin ... atau lebih jelasnya : kita adalah
"perkara miskin" di hadapan Allah! Kita membutuhkan segalanya. Kita
semua miskin di hadapan Allah; kita adalah para pengemis. Ini adalah kondisi
yang manusiawi.
Kerajaan
Allah adalah orang-orang yang miskin di hadapan Allah. Ada orang-orang yang
memiliki kerajaan dunia ini : mereka memiliki benda-benda dan mereka memiliki
kemudahan, tetapi mereka adalah kerajaan yang berkesudahan; kuasa manusia,
bahkan kekaisaran yang terbesar pun berlalu dan lenyap. Begitu sering kita
melihat berita di televisi atau di surat kabar bahwa seorang penguasa yang
kuat, penuh kuasa atau suatu pemerintahan yang kemarin, hari ini tidak lagi
berkuasa, pemerintahan tersebut telah jatuh. Kekayaan dunia ini lenyap seperti
halnya uang. Sudah lama kita diajarkan bahwa kain kafan tidak memiliki kantong.
Itu benar. Saya belum pernah melihat di belakang prosesi pemakaman ada sebuah
truk yang mengiringinya : tak seorang pun yang mengambil apa pun. Kekayaan
tinggal di sini.
Kerajaan
Allah adalah orang yang miskin di hadapan Allah. Ada yang memiliki kerajaan dunia
ini, mereka memiliki benda-benda dan memiliki kemudahan, tetapi kita tahu
bagaimana kerajaan tersebut berkesudahan. Orang yang benar-benar memerintah
yang mampu mencintai kebaikan yang sesungguhnya melebihi dirinya sendiri. Dan
inilah kuasa Allah. Dalam hal apa Yesus menunjukkan diri-Nya berkuasa? Mampu
melakukan apa yang tidak dilakukan raja-raja di bumi : memberikan nyawa-Nya
bagi manusia. Dan inilah kuasa yang sesungguhnya, kuasa persaudaraan, kuasa
amal kasih, kuasa cinta, kuasa kerendahan hati. Kristus melakukan hal ini.
Dalam
hal inilah kebebasan sejati : orang yang memiliki kuasa kerendahan hati, kuasa
pelayanan, kuasa persaudaraan adalah bebas. Yang melayani kebebasan ini adalah
kemiskinan yang dipuji oleh Sabda Bahagia.
Karena
ada kemiskinan yang harus kita terima, kemiskinan keberadaan kita, dan
kemiskinan yang, sebaliknya, kita harus usahakan, yang berwujud salah satu hal
di dunia ini, bebas dan dapat mencintai. Kita harus selalu mengusahakan
kebebasan hati, yang berakar pada kemiskinan diri kita sendiri.
[Sambutan
dalam bahasa Italia]
Sambutan
hangat diberikan kepada umat berbahasa Italia. Secara khusus, saya menyambut
para peserta dalam Pertemuan yang diselenggarakan oleh Pusat Pembentukan Imami
Universitas Kepausan Salib Suci; dan para peserta dalam kursus yang diselenggarakan
oleh Pusat Internasional Penjiwaan Misioner (International Center of Missionary
Animation/CIAM).
Selain
itu saya menyambut Yayasan Bank Farmasi Milan, dan Institusi-institut
Pendidikan, khususnya Institut Santa Agata Militello. Akhirnya, saya menyambut
kaum muda, kaum lanjut usia, orang-orang sakit dan para pengantin baru. Semoga
dengan rahmat-Nya Tuhan mendukung ketetapan hati untuk membangun Gereja dengan
pengorbanan kita, mengatasi egoisme kita dan menempatkan diri kita pada
pelayanan Injil.
[Ringkasan
dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]
Saudara-saudari
yang terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang Sabda Bahagia dalam Injil
Matius, kita membahas pemberitaan Sabda Bahagia yang pertama :
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang
empunya Kerajaan Sorga" (Mat 5:3). Kisah Matius, tidak seperti kisah
Lukas, berbicara tentang "orang yang miskin di hadapan Allah". Di
sini “di hadapan Allah”, mengingatkan nafas kehidupan yang diberikan Allah
kepada Adam, mengacu pada bagian yang paling intim dari keberadaan kita. Orang
yang miskin di hadapan Allah merasakan kemiskinan dan ketergantungan mereka
pada Allah pada tingkatan yang paling dalam ini, sedangkan orang yang berhati
sombong menganggap diri mereka berkecukupan, membenci apa pun yang mengingatkan
mereka tentang rapuhnya keadaan manusiawi. Miskin di hadapan Allah berarti
menyadari kerapuhan kita, menerima kesalahan kita dan mampu memohon
pengampunan. Kemudian hal ini menjadi kesempatan rahmat yang menuntun kita
menuju kerajaan Allah. Berbeda dengan kuasa duniawi, kuasa Allah terlihat dalam
belas kasih. Kristus sendiri menunjukkan hal ini dengan lebih memilih kebaikan
sesama, bahkan sampai mencurahkan darah-Nya untuk kita. Kita akan berbahagia
jika kita menerima kemiskinan keberadaan kita, maupun berusaha meneladan
kemiskinan Yesus dalam melayani sesama kita dengan penuh kasih.
Saya
menyambut para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian
dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok-kelompok dari Inggris, Australia,
Vietnam dan Amerika Serikat. Atas kalian semua dan keluarga-keluarga kalian,
saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Semoga Allah
memberkati kalian!