Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 28 Oktober 2020 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 12)


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, dalam Audiensi ini, seperti yang telah kita lakukan dalam Audiensi-audiensi sebelumnya, saya akan tetap berada di sini. Saya suka turun dan menyapa kalian masing-masing, tetapi kita harus menjaga jarak, karena jika saya turun, maka terbentuk kerumunan untuk menyapa saya, dan ini bertentangan dengan langkah-langkah dan tindakan pencegahan yang harus kita ambil untuk menghadapi "Nyonya Besar Covid", dan itu berbahaya bagi kita. Oleh karena itu, mohon maaf jika saya tidak turun untuk menyapa kalian : saya akan menyapa kalian dari sini tetapi kalian ada di hati saya, kalian semua. Dan kalian, perkenankan saya juga ada di hati kalian, dan doakan saya. Dari kejauhan, kita bisa saling mendoakan… dan terima kasih atas pengertian kalian.

 

Dalam rancangan perjalanan katekese tentang doa, setelah melakukan perjalanan melalui Perjanjian Lama, sekarang kita sampai pada Yesus. Dan Yesus berdoa. Awal pelayanan publik-Nya terjadi dengan pembaptisan-Nya di sungai Yordan. Keempat pengarang Injil sepakat mengaitkan kepentingan dasariah dengan peristiwa ini. Mereka menceritakan bagaimana semua orang berkumpul dalam doa, dan menyebutkan bahwa kumpulan ini memiliki sifat penyesalan yang jelas (lihat Mrk 1:5; Mat 3:8). Orang-orang pergi kepada Yohanes untuk dibaptis, untuk pengampunan dosa : suatu sifat penyesalan, pertobatan.

 

Oleh karena itu, tindakan publik Yesus yang pertama adalah ikut serta dalam doa paduan suara umat, doa orang-orang yang pergi untuk dibaptis, doa pertobatan, yang di dalamnya setiap orang mengakui dirinya sebagai orang berdosa. Inilah sebabnya Yohanes Pembaptis ingin mencegah-Nya, dan berkata : " "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?" (Mat 3:14). Yohanes Pembaptis memahami siapa Yesus sesungguhnya. Tetapi Yesus menegaskan : tindakan-Nya adalah ketaatan terhadap kehendak Bapa (ayat 15), tindakan kesetiakawanan dengan keadaan manusiawi kita. Ia berdoa dengan orang-orang berdosa dari umat Allah. Marilah kita mengingat hal ini dengan jelas : Yesus adalah Orang Benar, Ia bukan orang berdosa. Tetapi Ia ingin turun kepada kita, orang berdosa, dan Ia berdoa bersama kita, dan ketika kita berdoa, Ia sedang berdoa bersama kita; Ia bersama kita karena Ia berada di surga, mendoakan kita. Yesus selalu berdoa bersama umat-Nya, Ia selalu berdoa bersama kita : selalu. Kita tidak pernah berdoa sendirian, kita selalu berdoa bersama Yesus. Ia tidak tinggal di seberang sungai - "Aku Orang benar, engkau orang berdosa" - untuk menandai perbedaan dan jarak diri-Nya dari orang-orang yang tidak taat, melainkan Ia juga membenamkan kaki-Nya di dalam air yang memurnikan. Ia bertindak seolah-olah Ia adalah orang berdosa. Dan inilah keagungan Allah, yang mengutus Putra-Nya dan merendahkan diri-Nya, dan muncul sebagai orang berdosa.

 

Yesus bukanlah Allah yang jauh, dan Ia tidak bisa demikian. Penjelmaan mengungkapkan diri-Nya secara yang lengkap dan tidak terpikirkan oleh manusia. Jadi, saat menginagurasikan perutusan-Nya, Yesus menempatkan diri-Nya di garis depan dari orang-orang yang bertobat, seolah-olah Ia bertanggung jawab untuk membuka ceruk yang harus berani dilewati oleh kita semua, setelah diri-Nya. Tetapi jalan, perjalanan tersebut sulit ; tetapi Ia terus maju, membuka jalan. Katekismus Gereja Katolik menjelaskan bahwa inilah kebaruan dari kegenapan waktu. Dikatakan : “Doa seorang anak, yang diharapkan Bapa dari anak-anak, akhirnya dihayati oleh Putera tunggal dalam kodrat manusiawi bersama manusia dan untuk mereka” (no. 2599). Yesus berdoa bersama kita. Marilah kita menjernihkan hal ini dalam pikiran dan hati kita : Yesus berdoa bersama kita.

 

Oleh karena itu, pada hari itu, di tepi sungai Yordan, ada seluruh umat manusia, dengan kerinduannya yang tak terungkap akan doa. Terutama, ada kumpulan orang berdosa : orang-orang yang mengira mereka tidak dikasihi oleh Allah, orang-orang yang tidak berani melewati ambang pintu Bait Suci, orang-orang yang tidak berdoa karena mereka menganggap diri mereka tidak layak. Yesus datang untuk semua orang, bahkan untuk mereka, dan Ia mulai dengan bergabung dengan mereka. Di garis depan.

 

Injil Lukas, khususnya, menyoroti suasana doa yang di dalamnya baptisan Yesus terjadi : “Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa, terbukalah langit” (3:21). Dengan berdoa, Yesus membuka pintu menuju surga, dan Roh Kudus turun dari ceruk itu. Dan dari atas sebuah suara menyatakan kebenaran yang menakjubkan : "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan" (ayat 22). Frasa sederhana ini membungkus khazanah yang sangat besar; khazanah itu memungkinkan kita untuk memahami sesuatu tentang pelayanan Yesus dan hati-Nya, selalu berpaling kepada Bapa. Dalam pusaran angin kehidupan dan dunia yang akan datang menghukum-Nya, bahkan dalam pengalaman yang paling sulit dan paling menyedihkan yang harus ditanggung-Nya, bahkan ketika Ia mengalami bahwa Ia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (lihat Mat 8:20), bahkan ketika kebencian dan penganiayaan di sekitar-Nya dienyahkan, Yesus tidak pernah tanpa perlindungan sebuah tempat tinggal : Ia tinggal selamanya di dalam Bapa.

 

Inilah keagungan yang unik dari doa Yesus : Roh Kudus menguasai pribadi-Nya dan suara Bapa membuktikan bahwa Ia adalah Putra-Nya yang terkasih, yang di dalamnya Ia mencerminkan diri-Nya sepenuhnya.

 

Doa Yesus ini, yang di tepi sungai Yordan benar-benar bersifat pribadi - dan akan demikian untuk seluruh kehidupan duniawi-Nya - pada hari Pentakosta menjadi rahmat doa bagi semua orang yang dibaptis di dalam Kristus. Ia sendiri yang mendapatkan rahmat ini untuk kita, dan Ia mengundang kita untuk berdoa sebagaimana Ia berdoa.

 

Oleh karena itu, jika pada saat doa malam kita merasa lesu dan hampa, jika menurut kita hidup ini sama sekali tidak berguna, pada saat itu kita harus memohon agar doa Yesus juga menjadi doa kita. “Aku tidak dapat berdoa hari ini, aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat : aku tidak merasa seperti itu, aku tidak layak… Pada saat itu, semoga doamu kepada Yesus menjadi doa saya”. Dan percayakan dirimu kepada-Nya, agar Ia mendoakan kita. Saat ini Ia berada di hadirat Bapa, sedang mendoakan kita, Ia adalah Pengantara; Ia menunjukkan luka-luka kepada Bapa, demi kita. Marilah kita mempercayakan hal ini, ini bagus. Kita kemudian akan mendengar, jika kita percaya, kita kemudian akan mendengar suara dari surga, lebih nyaring daripada suara yang keluar dari dalam diri kita, dan kita akan mendengar suara ini membisikkan kata-kata kelembutan : “Engkau adalah kekasih Allah, engkau adalah seorang putra, engkau adalah sukacita Bapa yang ada di surga”. Hanya kepada kita, kepada kita masing-masing, sabda Bapa menggema : bahkan jika kita ditolak oleh semua orang, orang yang paling berdosa. Yesus tidak turun ke air sungai Yordan demi diri-Nya sendiri, tetapi demi kita semua. Seluruh umat Allah yang pergi ke sungai Yordan untuk berdoa, memohon pengampunan, menerima baptisan penebusan dosa tersebut. Dan seperti yang dikatakan teolog, mereka mendekati sungai Yordan dengan “jiwa telanjang dan kaki telanjang”. Inilah kerendahan hati. Dibutuhkan kerendahan hati untuk berdoa. Ia menyingkap langit, seperti Musa menyingkap air Laut Merah, sehingga kita semua bisa lewat di belakang-Nya. Yesus memberi kita doa-Nya sendiri, yaitu dialog-Nya yang penuh kasih dengan Bapa. Ia memberikannya kepada kita seperti sebuah benih Tritunggal, yang ingin diakarkan-Nya di dalam hati kita. Marilah kita menyambut-Nya! Marilah kita menyambut karunia ini, karunia doa. Selalu bersama-Nya. Dan kita tidak akan keliru. Terima kasih.

 

[Seruan]

Saya ikut serta dalam penderitaan keluarga para pelajar muda yang dibunuh secara biadab Sabtu lalu di Kumba, Kamerun. Saya merasa sangat bingung atas tindakan yang begitu kejam dan tidak masuk akal, yang mencabik-cabik kaum muda yang tak berdosa dari kehidupan saat mereka mengikuti pelajaran di sekolah. Semoga Allah mencerahkan hati, sehingga sikap serupa tidak akan pernah terulang lagi dan agar wilayah yang tercabik-cabik di barat laut dan barat daya negara itu pada akhirnya dapat menemukan kedamaian! Saya berharap agar senjata tetap bungkam serta keamanan semua orang dan hak setiap anak muda atas pendidikan dan masa depan bisa terjamin. Saya mengungkapkan kasih sayang saya kepada keluarga, kota Kumba dan seluruh Kamerun serta saya memohon penghiburan yang bisa diberikan Allah belaka.

 

[Salam khusus]


Saya menyambut semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang bergabung dengan kita untuk Audiensi hari ini. Atas kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkati kalian!


[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang doa, sekarang kita beralih ke kehidupan dan ajaran Yesus. Tuhan memilih untuk memulai pelayanan publik-Nya dengan dibaptis di sungai Yordan. Peristiwa agung yang terjadi di tengah-tengah sebuah komunitas, dalam suasana doa dan pertobatan bersama ini sangat penting. Meski diri-Nya tidak berdosa, Sang Putra Allah yang kekal dibaptis oleh Yohanes sebagai tanda kesetiakawanan kasih-Nya dengan umat manusia yang berdosa. Santo Lukas memberitahu kita bahwa, setelah Ia dibaptis, ketika Yesus berdoa, langit terbuka, Roh Kudus turun ke atasnya dan suara Bapa mewartakan-Nya sebagai Putra-Nya yang terkasih. Dengan pembaptisan, kita menjadi ambil bagian dalam status keputraan Kristus melalui karunia Roh Kudus. Dengan demikian, kita dimampukan untuk ambil bagian dalam doa Yesus, ungkapan kekal dari dialog kasih-Nya dengan Bapa. Pada setiap saat dalam kehidupan kita, bahkan saat kita merasakan beratnya salib dan beban dosa kita, semoga kita bertekun dalam doa, yakin bahwa, sebagai saudara dan saudari Kristus, putra dan putri yang terkasih dari Bapa surgawi kita, gerbang surga selalu terbuka untuk kita.

_____

 

(Peter Suriadi – Bogor, 28 Oktober 2020)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 25 Oktober 2020 : PERINTAH UTAMA YESUS


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Dalam perikop Injil hari ini (bdk. Mat 22:34-40), seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus "hukum manakah yang terutama" (ayat 36), yaitu, hukum yang terutama dan yang pertama dari segenap hukum ilahi. Yesus hanya menjawab : "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" (ayat 37). Dan Ia segera menambahkan : “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (ayat 39).

 

Tanggapan Yesus sekali lagi mengambil dan menggabungkan dua ajaran dasar, yang diberikan Allah kepada umat-Nya melalui Musa (bdk. Ul 6:5; Im 19:18). Dan dengan demikian Ia mengatasi jerat yang dipasang terhadap-Nya untuk "mencobai Dia" (Mat 22:35). Sang penanya, sebenarnya, mencoba menarik-Nya ke dalam perdebatan di antara para ahli Taurat tentang hirarki hukum. Tetapi Yesus menetapkan dua pokok penting bagi orang percaya sepanjang masa, dua landasan penting dalam hidup kita. Pokok yang pertama yakni kehidupan moral dan keagamaan tidak dapat direduksi menjadi ketaatan yang mencemaskan dan dipaksakan. Ada orang yang berusaha untuk memenuhi perintah dengan cemas atau dipaksakan, dan Yesus membantu kita memahami bahwa kehidupan moral dan keagamaan tidak dapat direduksi menjadi ketaatan yang mencemaskan atau dipaksakan, tetapi harus memiliki kasih sebagai ajarannya. Pokok yang kedua yakni kasih kepada Allah dan sesama harus seiring dan tidak terpisahkan. Inilah salah satu inovasi utama Yesus yang membantu kita memahami bahwa apa yang tidak terungkap dalam kasih kepada sesama sesungguhnya bukan kasih kepada Allah; dan, demikian pula, apa yang tidak berasal dari hubungan kita dengan Allah sesungguhnya bukan kasih kepada sesama.

 

Yesus mengakhiri tanggapan-Nya dengan kata-kata ini : “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (ayat 40). Artinya segenap peraturan yang diberikan Allah kepada umat-Nya harus berhubungan dengan kasih kepada Allah dan sesama.

 

Faktanya, segenap perintah berfungsi untuk diterapkan, untuk mengungkapkan dwikasih yang tak terpisahkan itu. Kasih kepada Allah diungkapkan terutama dalam doa, khususnya dalam penyembahan. Kita sangat mengabaikan penyembahan kepada Allah. Kita melafalkan doa ucapan syukur, permohonan untuk meminta sesuatu…, tetapi kita mengabaikan penyembahan. Penyembahan kepada Allah adalah inti dari doa. Dan kasih kepada sesama, yang disebut juga amal persaudaraan, berupa kedekatan, mendengarkan, berbagi, peduli terhadap orang lain. Dan begitu sering kita abai mendengarkan orang lain karena membosankan atau karena menghabiskan waktu kita, atau [kita abai] menemani mereka, mendukung mereka dalam penderitaan mereka, dalam pencobaan mereka… Tetapi kita selalu menemukan waktu untuk bergunjing, selalu! Kita tidak punya waktu untuk menghibur orang-orang yang menderita, tetapi begitu banyak waktu untuk bergunjing. Hati-hati!

 

Rasul Yohanes menulis : “Barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya" (1 Yoh 4:20). Jadi, kita melihat kesatuan dari dua perintah ini.

 

Dalam perikop Injil hari ini, sekali lagi, Yesus membantu kita pergi ke sumber kasih yang hidup dan memancar. Dan sumber kasih ini adalah Allah sendiri, dikasihi sepenuhnya dalam persekutuan yang tidak dapat dipatahkan oleh apapun dan siapa pun. Persekutuan yang merupakan karunia yang dimintakan setiap hari, tetapi juga ketetapan pribadi untuk tidak membiarkan hidup kita diperbudak oleh berhala dunia. Dan bukti perjalanan pertobatan dan kekudusan kita selalu berupa kasih kepada sesama. Inilah ujiannya : jika saya mengatakan "aku mengasihi Allah" dan tidak mengasihi sesamaku, ujian tersebut tidak akan berhasil. Pembuktian bahwa aku mengasihi Allah yakni aku mengasihi sesama. Selama ada saudara atau saudari yang kepadanya kita menutup hati, kita masih jauh dari menjadi murid seperti yang diminta Yesus terhadap diri kita. Namun belas kasihan-Nya tidak memungkinkan kita untuk berkecil hati melainkan memanggil kita untuk setiap hari memulai lagi menghayati Injil secara berkesinambungan.

 

Semoga pengantaraan Santa Maria membuka hati kita untuk menyambut "perintah agung", dwiperintah kasih, yang mencakup segenap Hukum Allah dan yang menjadi sandaran keselamatan kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Saya sedang mengikuti dengan perhatian khusus berita yang datang dari Nigeria, mengenai bentrokan kekerasan yang baru-baru ini terjadi antara penegak hukum dan beberapa pengunjuk rasa muda. Marilah kita berdoa kepada Tuhan agar bentuk kekerasan apapun dapat selalu dihindari, dalam pengupayaan terus-menerus kerukunan sosial melalui pengembangan keadilan dan kebaikan bersama.

 

Saya menyapa kalian semua, umat Roma dan para peziarah yang datang dari berbagai negara; keluarga, kelompok paroki, lembaga, dan umat perorangan. Secara khusus, saya menyapa kelompok "Sel Penginjilan" Paroki Santo Mikael Malaikat Agung di Roma; dan juga kaum muda Imakulata, yang berada di sini hari ini!

 

Tanggal 28 November mendatang ini, pada petang Hari Minggu Adven I, saya akan mengadakan Konsistori untuk pengangkatan 13 Kardinal baru : Uskup Mario Grech, Sekretaris Jenderal Sinode Para Uskup; Uskup Marcello Semeraro, Ketua Kongregasi Penyebab Orang Kudus; Uskup Agung Antoine Kambanda dari Kigali, Rwanda; Uskup Agung Wilton Gregory dari Washington; Uskup Agung JosĂ© Advincula dari Capiz, Filipina; Uskup Agung Celestino AĂ³s Braco dari Santiago, Cili; Uskup Cornelius Sim, Uskup Titular Puzia di Numidia dan Vikaris Apostolik Brunei, Kuala Lumpur; Uskup Agung Augusto Paolo Lojudice dari Siena-Colle Val d’Elsa-Montalcino; Pastor Mauro Gambetti, OFMConv, Pamong Biara Asisi.

 

Bersama mereka saya akan mempersatukan menjadi anggota Dewan Kardinal : Uskup Felipe Arizmendi Esquivel, Uskup emeritus San CristĂ³bal de las Casas, Meksiko; Uskup Agung Silvano M. Tomasi, Uskup Agung titular Asolo, Nuncio Apostolik; Pastor Raniero Cantalamessa, OFMCap, Pengkhotbah Rumah Tangga Kepausan; Mgr. Enrico Feroci, Pastor Paroki Santa Maria dari Kasih Ilahi, Castel di Leva.

 

Marilah kita mendoakan para kardinal baru, agar, dengan meneguhkan kepatuhan mereka kepada Kristus, mereka dapat membantu saya dalam pelayanan saya sebagai Uskup Roma, demi kebaikan segenap Umat Allah yang kudus.

 

Kepada kalian semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang kalian. Sampai jumpa!

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 21 Oktober 2020 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 11)


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, kita perlu sedikit mengubah cara melakukan Audiensi karena virus Corona. Kalian dipisahkan, dengan perlindungan masker juga, dan saya di sini, agak jauh dan saya tidak dapat melakukan apa yang selalu saya lakukan, mendekati kalian, karena setiap kali saya melakukannya, kalian semua berkumpul dan tidak menjaga jarak dan ada bahaya penularan bagi kalian. Saya minta maaf untuk hal ini, tetapi demi keselamatan kalian. Ketimbang mendekati kalian serta berjabat tangan dan menyapa kalian, kita harus saling menyapa dari kejauhan, tetapi ketahuilah bahwa saya berada dekat kalian dengan hati saya. Saya harap kalian mengerti mengapa saya melakukan hal ini. Juga, ketika para pembaca sedang membacakan perikop Kitab Suci, perhatian saya tertuju pada bayi laki-laki atau perempuan di sana yang sedang menangis, dan saya sedang memperhatikan sang ibu yang sedang memeluk dan menyusui bayi itu dan saya mengatakan : inilah yang apa yang dilakukan Allah dengan kita, seperti ibu itu. Dengan kelembutan apa ia berusaha menghibur dan merawat bayinya. Keduanya adalah gambaran yang indah. Dan itu terjadi ketika seorang bayi menangis di dalam Gereja, mendengarkan hal itu dan merasakan kelembutan seorang ibu di sana itu, seperti hari ini, dan terima kasih atas kesaksianmu, dan ada kelembutan seorang ibu yang merupakan lambang kelembutan Allah bersama kita. Jangan pernah membungkam bayi yang menangis di dalam Gereja, jangan pernah, karena suara itulah yang memikat kelembutan Allah. Terima kasih atas kesaksianmu.

 

Hari ini kita akan menyelesaikan katekese tentang doa Mazmur. Terutama, kita melihat betapa sering muncul sosok negatif dalam Mazmur, yang disebut orang yang “fasik”, yaitu orang yang hidup seolah-olah Allah tidak ada. Inilah orang tanpa mengacu pada yang transenden manapun, yang keangkuhannya tidak terbatas, yang tidak takut akan penilaian tentang apa yang dipikirkan atau dilakukannya.

 

Karena alasan ini, Pemazmur menampilkan doa sebagai kenyataan dasariah kehidupan. Mengacu kepada yang mutlak dan transenden - yang oleh para guru rohani disebut "ketakutan kudus akan Allah" - dan yang membuat kita sepenuhnya manusiawi, adalah tapal batas yang menyelamatkan kita dari diri kita sendiri, mencegah kita menjelajahi kehidupan dengan cara memangsa dan rakus. Doa adalah keselamatan umat manusia.

 

Tentunya juga ada doa palsu, doa yang diucapkan hanya demi kekaguman orang lain. Orang atau orang-orang yang pergi ke Misa hanya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah Katolik atau untuk menunjukkan model terbaru yang mereka peroleh, atau untuk membuat kesan yang baik di dalam masyarakat. Mereka sedang bergerak menuju doa yang palsu. Yesus dengan tegas menegur doa semacam itu (lihat Mat 6:5-6; Luk 9:14). Tetapi ketika semangat doa yang sesungguh diterima dengan tulus dan masuk ke dalam hati, kemudian semangat itu memungkinkan kita untuk merenungkan kenyataan dengan mata Allah semata.

 

Ketika kita berdoa, segala sesuatu memperoleh "kedalaman". Hal ini menarik dalam doa, mungkin sesuatu yang halus dimulai tetapi dalam doa hal itu menjadi mendalam, menjadi berbobot, seolah-olah Allah mengambilnya dan mengubah rupanya. Pelayanan terburuk yang bisa diberikan seseorang kepada Allah, dan juga kepada orang lain, adalah berdoa dengan lelah, dengan menghafal. Berdoa seperti burung beo. Tidak, kita berdoa dengan hati. Doa adalah pusat kehidupan. Jika ada doa, seorang saudara, seorang saudari, bahkan musuh pun menjadi penting. Sebuah pepatah lama dari para biarawan Kristen perdana berbunyi : “Berbahagialah rahib yang menganggap setiap manusia sebagai Allah, demi Allah” (Evagrius Ponticus, Trattato sulla preghiera, no. 122). Mereka yang menyembah Allah, mengasihi anak-anak-Nya. Mereka yang menghormati Allah, menghormati manusia.

 

Jadi, doa bukanlah obat penenang untuk meredakan kecemasan hidup; atau, bagaimanapun juga, jenis doa ini tentu saja bukan tidak kristiani. Sebaliknya, doa membuat kita masing-masing bertanggung jawab. Kita melihat hal ini dengan jelas dalam doa "Bapa Kami" yang diajarkan Yesus kepada murid-murid-Nya.

 

Untuk mempelajari bagaimana berdoa dengan cara ini, Pemazmur adalah sekolah yang luar biasa. Kita melihat bagaimana Mazmur tidak selalu menggunakan bahasa yang halus dan lembut, serta bagaimana Mazmur sering memunculkan bekas luka keberadaan. Namun, semua doa ini pertama kali dipergunakan di kenisah di Yerusalem dan kemudian di rumah-rumah ibadat; bahkan doa-doa yang paling intim dan bersifat pribadi. Katekismus Gereja Katolik menyatakannya sebagai berikut : “Keanekaan gaya mazmur terbentuk baik dalam liturgi umum di kenisah maupun dalam hati masing-masing pendoa” (no. 2588). Dan dengan demikian, doa pribadi bersumber dari dan dipupuk pertama-tama oleh doa umat Israel, kemudian oleh doa Gereja.

 

Bahkan Mazmur pada diri orang pertama tunggal, yang mengungkapkan pikiran dan masalah paling intim dari seseorang, adalah warisan bersama, hingga didoakan oleh semua orang dan untuk semua orang. Doa Kristiani memiliki “napas” ini, “ketegangan” rohani ini yang menyatukan kenisah dan dunia. Doa dapat dimulai di penumbra tengah gereja, tetapi berakhir di jalan-jalan kota. Dan sebaliknya, doa dapat berkembang selama kegiatan hari itu dan mencapai penggenapannya dalam liturgi. Pintu gereja bukanlah penghalang, tetapi “selaput” permeabel, yang memungkinkan masuknya keluhan semua orang.

 

Dunia selalu hadir dalam doa yang ditemukan dalam Pemazmur. Mazmur, misalnya, menyuarakan janji keselamatan ilahi untuk yang paling lemah : ... “Oleh karena penindasan terhadap orang-orang yang lemah, oleh karena keluhan orang-orang miskin, sekarang juga Aku bangkit, firman TUHAN; Aku memberi keselamatan kepada orang yang menghauskannya" (12:6). Atau sekali lagi, Mazmur memperingatkan tentang bahaya kekayaan duniawi karena ... “Manusia, yang dengan segala kegemilangannya tidak mempunyai pengertian, boleh disamakan dengan hewan yang dibinasakan” (49:21). Atau tetap saja, Mazmur membuka cakrawala terhadap pandangan Allah tentang sejarah : “Tuhan menggagalkan rencana bangsa-bangsa; Ia meniadakan rancangan suku-suku bangsa; tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun” (33:10-11).

 

Singkatnya, di mana ada Allah, manusia juga harus ada di sana. Kitab Suci bersifat pasti : "Kita mengasihi, karena Ia lebih dahulu mengasihi kita". Ia selalu mendahului kita. Ia selalu menunggu kita karena Ia mengasihi kita lebih dahulu, Ia melihat kita lebih dahulu, Ia memahami kita lebih dahulu. Ia selalu menunggu kita. “Jikalau seorang berkata : 'Aku mengasihi Allah', dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya” (1 Yoh 4:20-21). Kitab Suci mengemukakan persoalan orang yang, meskipun ia dengan tulus mencari Allah, tidak pernah berhasil untuk bertemu dengan-Nya, tetapi juga menegaskan bahwa air mata kaum miskin tidak pernah bisa disangkal dengan alasan rasa sakit karena tidak berjumpa Allah. Allah tidak mendukung “ateisme” orang-orang yang menyangkal citra ilahi yang membekas dalam diri setiap manusia. Ateisme sehari-hari itu : aku percaya kepada Allah tetapi aku menjaga jarak dari orang lain dan aku membiarkan diriku membenci orang lain. Ini adalah ateisme praktis. Tidak mengenali pribadi manusia sebagai citra Allah adalah penistaan, kekejian, pelanggaran terburuk yang dapat diarahkan ke kenisah dan altar.

 

Saudara-saudari yang terkasih, doa-doa Mazmur membantu kita untuk tidak jatuh ke dalam godaan si "jahat", yaitu godaan hidup, dan mungkin juga dalam berdoa, seolah-olah Allah tidak ada, dan seolah-olah kamu miskin tidak ada.

 

[Sapaan khusus]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang bergabung dengan kita untuk Audiensi hari ini. Bagi kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkati kalian.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, hari ini kita mengakhiri katekese kita tentang doa dengan sekali lagi kembali pada Mazmur. Dalam Mazmur, doa muncul sebagai hal yang penting untuk kehidupan yang sungguh baik dan manusiawi, membimbing langkah-langkah kita seturut kehendak Allah dan mengajarkan kita untuk menghindari jerat kejahatan. Doa yang tulus memungkinkan kita, bahkan pada saat-saat sangat tertekan, untuk melihat kenyataan dengan mata Allah dan memandang saudara-saudari kita dengan kasih sayang dan rasa hormat. Dalam Mazmur, doa pribadi dan komunal melebur, dan pujian kepada Allah digabungkan dengan kepedulian terhadap orang lain, terutama kaum miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Bahkan Mazmur yang tampaknya paling pribadi dan perorangan didoakan dalam liturgi kenisah dan dalam rumah-rumah ibadat, serta kemudian dalam pertemuan-pertemuan umat kristiani perdana. Mazmur mengingatkan kita bahwa doa harus mencakup setiap aspek kehidupan kita di dunia ini. Terkadang, doa dimulai di dalam gereja-gereja kita tetapi kemudian menuntun kita untuk melayani orang lain di jalan-jalan kota kita. Di lain waktu, doa berasal dari tengah-tengah karya kita sehari-hari, dan kemudian disempurnakan dalam liturgi Gereja. Semoga kita belajar mendoakan Mazmur dengan lebih sadar, membiarkan suaranya menjadi suara kita, saat kita berusaha untuk bertumbuh dalam kasih kepada Allah, percaya pada penggenapan rencana penyelamatan-Nya, dan amal kasih kepada semua saudara dan saudari kita.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 18 Oktober 2020


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat siang!

 

Bacaan Injil hari Minggu ini (lihat Mat 22: 15-21) menunjukkan kepada kita Yesus bergumul dengan kemunafikan musuh-musuh-Nya. Mereka memberikan banyak pujian kepada-Nya - pada awalnya, banyak pujian - tetapi kemudian mengajukan pertanyaan yang busuk untuk menempatkan-Nya dalam masalah dan mendiskreditkan-Nya di hadapan orang-orang. Mereka bertanya kepadanya : "Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" (ayat 17), yaitu membayar pajak mereka kepada kaisar. Saat itu, di Palestina, dominasi Kerajaan Romawi sangat ditolerir - dan bisa dimaklumi, mereka adalah penjajah - juga karena alasan keagamaN. Bagi orang-orang, penyembahan kaisar, yang juga digarisbawahi oleh gambarnya di mata uang, merupakan penghinaan terhadap Allah Israel. Para lawan bicara Yesus yakin bahwa tidak ada alternatif untuk pertanyaan mereka : baik "ya" maupun "tidak". Mereka menunggu, justru karena mereka yakin akan memojokkan Yesus dengan pertanyaan ini, dan membuat-Nya jatuh ke dalam jebakan. Tetapi Ia mengetahui kejahatan mereka dan menghindari jebakan. Ia meminta mereka untuk menunjukkan kepada-Nya mata uang, mata uang pajak, mengambilnya dan menanyakan gambar dan tulisan siapakah. Mereka menjawab gambar dan tulisan Kaisar. Kemudian Yesus menjawab : "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" (ayat 21).

 

Dengan jawaban ini, Yesus menempatkan diri-Nya di atas kontroversi. Yesus, selalu di atas. Di satu sisi, Ia mengakui bahwa upeti kepada Kaisar harus dibayarkan - untuk kita semua juga, pajak harus dibayar - karena gambar pada mata uang adalah gambarnya; tetapi terutama Ia ingat bahwa setiap orang membawa di dalam dirinya gambar lain - kita membawanya di dalam hati, di dalam jiwa - gambar Allah, dan oleh karena kepada-Nya, dan hanya kepada-Nya, setiap orang berhutang keberadaannya, hidupnya.

 

Dalam kalimat Yesus ini kita tidak hanya menemukan kriteria untuk membedakan ranah politik dan ranah keagamaan; pedoman yang jelas muncul untuk misi semua orang percaya sepanjang masa, bahkan bagi kita hari ini. Membayar pajak adalah kewajiban warga negara, seperti halnya mematuhi hukum negara yang adil. Pada saat yang sama, menegaskan keutamaan Allah dalam kehidupan manusia dan dalam sejarah, menghormati hak Allah atas semua yang menjadi milik-Nya adalah penting.

 

Oleh karena itu misi Gereja dan umat Kristiani : berbicara tentang Allah dan memberikan kesaksian tentang Dia kepada orang-orang di zaman kita. Kita masing-masing, melalui Baptisan, dipanggil untuk hadir dalam masyarakat, mengilhaminya dengan Injil dan dengan darah kehidupan Roh Kudus. Sebuah pertanyaan tentang berkomitmen pada diri kita sendiri dengan kerendahan hati, dan pada saat yang sama dengan keberanian, memberikan kontribusi kita untuk membangun peradaban kasih, di mana keadilan dan persaudaraan berkuasa.

 

Semoga Santa Maria membantu kita semua untuk melarikan diri dari semua kemunafikan serta menjadi warga negara yang jujur dan membangun. Dan semoga ia mendukung kita para murid Kristus dalam misi untuk memberikan kesaksian bahwa Allah adalah pusat dan makna kehidupan.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih!

 

Hari ini kita merayakan Hari Minggu Misi yang bertema “Ini Aku, Utuslah Aku! Penenun persaudaraan”. Indah sekali, kata “penenun” ini : setiap orang Kristiani dipanggil untuk menjadi para penenun persaudaraan. Para misionaris - para imam, para pelaku hidup bakti, dan kaum awam -, yang menaburkan Injil di ladang besar dunia, khususnya demikian. Marilah kita mendoakan mereka dan memberi mereka dukungan praktis kita. Dalam konteks ini saya ingin bersyukur kepada Allah atas pembebasan Pastor Pier Luigi Maccalli yang telah lama ditunggu-tunggu ... - kita menyambutnya dengan tepuk tangan ini! - yang diculik dua tahun lalu di Niger. Kita juga bersukacita karena tiga sandera lainnya dibebaskan bersamanya. Kita terus mendoakan para misionaris dan para katekis dan juga orang-orang yang dianiaya atau diculik di pelbagai belahan dunia.

 

Saya ingin menyampaikan kata dorongan dan dukungan kepada para nelayan yang telah ditahan di Libya selama lebih dari sebulan, dan kepada keluarga mereka. Memercayakan mereka pada Maria Bintang Samudera, semoga mereka tetap hidup dengan harapan bisa segera merangkul lagi orang-orang yang mereka cintai. Saya juga mendoakan berbagai diskusi yang sedang berlangsung di tingkat internasional, agar terkait dengan masa depan Libya. Saudara dan saudari, waktunya telah tiba untuk menghentikan setiap bentuk permusuhan, mengedepankan dialog yang mengarah pada perdamaian, stabilitas, dan persatuan negara. Marilah kita berdoa bersama untuk para nelayan dan Libya, dalam keheningan.

 

Saya menyambut kalian semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara. Secara khusus, saya menyapa dan memberkati dengan kasih sayang komunitas Peru di Roma, yang berkumpul di sini dengan gambar Señor de los Milagros yang dihormati. Tepuk tangan meriah untuk komunitas Peru! Saya juga menyapa para sukarelawan Badan Perlindungan Hewan dan Legalitas Italia.

 

Dan kepada kalian semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat makan siang, dan sampai jumpa!

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 14 Oktober 2020 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 10)


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Saat kita membaca Alkitab, kita terus menerus menemukan berbagai macam doa. Tetapi kita juga menemukan sebuah kitab yang hanya terdiri dari doa-doa, sebuah kitab yang telah menjadi tanah kelahiran, gelanggang olahraga, dan rumah bagi para manusia pendoa yang tak terhitung jumlahnya. Kitab tersebut Mazmur. Ada 150 buah Mazmur yang dapat didoakan.

 

Kitab Mazmur merupakan bagian dari kitab kebijaksanaan, karena menyampaikan “pemahaman cara berdoa” melalui pengalaman dialog dengan Allah. Dalam Mazmur kita menemukan segenap perasaan manusia : suka, duka, keraguan, harapan, kegetiran yang mewarnai hidup kita. Katekismus menegaskan bahwa setiap Mazmur “sangat sederhana, sehingga ia dapat didoakan oleh manusia dari setiap golongan dan segala zaman” (KGK, 2588). Saat kita membaca dan membaca ulang Mazmur, kita belajar bahasa doa. Allah Bapa, sungguh, dengan Roh-Nya, mengilhami berbagai Mazmur di dalam hati Raja Daud dan orang-orang yang mendoakannya, untuk mengajarkan setiap manusia cara memuji-Nya, cara bersyukur kepada-Nya dan memohon; cara memanggil-Nya dalam suka dan duka, serta cara menceritakan keajaiban karya-karya-Nya dan Hukum-Nya. Singkatnya, Mazmur adalah sabda Allah yang dipergunakan manusia untuk berbicara dengan-Nya.

 

Dalam kitab ini kita tidak menemukan orang-orang yang halus, orang-orang yang abstrak, orang-orang yang merancukan doa dengan pengalaman estetika atau menyita. Mazmur bukanlah teks yang dibuat di atas kertas; Mazmur adalah doa, seringkali dramatis, yang muncul dari keberadaan yang hidup. Mendoakannya sudah cukup bagi kita untuk menjadi diri kita sendiri. Kita tidak boleh lupa bahwa untuk berdoa dengan baik kita harus berdoa sebagaimana adanya, tanpa imbuhan. Untuk berdoa, kita tidak harus memperindah jiwa. “Tuhan, aku seperti ini”, dan pergilah ke hadapan Tuhan sebagaimana adanya, dengan hal-hal yang baik dan juga dengan hal-hal yang buruk yang tidak diketahui oleh siapa pun, tetapi yang secara batiniah kita ketahui. Dalam Mazmur kita mendengar suara manusia pendoa dalam rupa daging dan darah, yang hidupnya, seperti kita semua, penuh dengan masalah, kesulitan dan ketidakpastian. Pemazmur tidak secara radikal membantah penderitaan ini : ia tahu bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Namun, dalam Mazmur, penderitaan diubah rupa menjadi sebuah pertanyaan. Dari penderitaan menjadi pertanyaan.

 

Dan di antara banyak pertanyaan, ada satu yang tetap ditangguhkan, seperti seruan tiada henti yang mengalir di seluruh kitab dari awal hingga akhir. Sebuah pertanyaan yang kita ulangi berkali-kali : “Sampai kapan, Tuhan? Sampai kapan?" Setiap penderitaan membutuhkan pembebasan, setiap air mata membutuhkan penghiburan, setiap luka menunggu kesembuhan, setiap umpatan merupakan kalimat pengampunan dosa. “Sampai kapan, Tuhan, haruskah aku menderita hal ini? Dengarkan aku, Tuhan!" Berapa kali kita telah berdoa seperti ini, dengan “Sampai kapan?”, cukup sekarang, Tuhan!

 

Dengan terus-menerus mengajukan pertanyaan seperti itu, Mazmur mengajar kita untuk tidak terbiasa dengan rasa sakit, dan mengingatkan kita bahwa hidup tidak akan diselamatkan kecuali jika disembuhkan. Keberadaan setiap manusia hanyalah nafas, kisahnya sekejab, tetapi manusia pendoa tahu bahwa mereka berharga di mata Allah, jadi masuk akal untuk berseru. Dan hal ini penting. Saat kita berdoa, kita melakukannya karena kita tahu kita berharga di mata Allah. Rahmat Roh Kudus, dari dalam, mengilhami dalam diri kita kesadaran ini : berharga di mata Allah. Dan inilah sebabnya kita tergerak untuk berdoa.

 

Doa Mazmur adalah kesaksian dari seruan ini : seruan berkali-kali, karena dalam kehidupan rasa sakit mengambil ribuan bentuk, dan mengambil nama penyakit, kebencian, perang, penganiayaan, ketidakpercayaan ... Sampai “skandal” tertinggi, "skandal" kematian. Kematian muncul dalam kitab Mazmur sebagai seteru manusia yang paling tidak masuk akal : kejahatan apa yang pantas mendapatkan hukuman yang begitu kejam, yang melibatkan kebinasaan dan ajal? Doa Mazmur meminta Allah untuk campur tangan ketika segala upaya manusia sia-sia. Itulah sebabnya doa, dengan sendirinya, adalah jalan keselamatan dan awal keselamatan.

 

Setiap orang menderita di dunia ini : entah mereka yang percaya kepada Allah atau menyangkal-Nya. Tetapi dalam Mazmur, rasa sakit menjadi sebuah hubungan, kesesuaian : seruan minta tolong menunggu untuk mencegat telinga yang mendengarkan. Seruan minta tolong tidak bisa tinggal tak berarti, tanpa tujuan. Bahkan rasa sakit yang kita derita tidak bisa hanya menjadi kasus khas dari hukum universal : rasa sakit selalu merupakan air mata-"ku". Pikirkan tentang hal ini : air mata tidak universal, air mata adalah milik-"ku". Setiap orang memiliki air mata masing-masing. Air mata-"ku" dan rasa sakit-"ku" mendorong aku untuk terus berdoa. Air mata-"ku" tidak pernah ditumpahkan oleh siapa pun di hadapanku. Ya, air mata sudah banyak mengucur. Tetapi air mata-"ku" adalah milikku, rasa sakit-"ku" adalah milikku, penderitaan-"ku" adalah milikku.

 

Sebelum memasuki Aula (Paulus VI), saya bertemu dengan kedua orangtua dari imam Keuskupan Como yang terbunuh : ia dibunuh persis dalam pelayanannya kepada sesama. Air mata kedua orangtuanya adalah air mata mereka sendiri, dan mereka masing-masing paham betapa mereka telah menderita melihat sang putra memberikan hidupnya untuk melayani kaum miskin. Ketika kita ingin menghibur seseorang, kita tidak dapat menemukan kata-kata. Mengapa? Karena kita tidak bisa sampai pada rasa sakitnya, karena kesedihannya adalah miliknya, air matanya adalah miliknya. Hal yang sama berlaku untuk kita : air mata, duka, air mata adalah milikku, dan dengan air mata ini, dengan duka ini aku berpaling kepada Tuhan.

 

Semua rasa sakit manusia bagi Allah adalah kudus. Jadi doakanlah Mazmur 56 : “Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbat-Mu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?” (ayat 9). Di hadapan Allah kita bukanlah orang asing, atau angka-angka. Kita adalah wajah dan hati, dikenal satu per satu, dengan nama.

 

Dalam Mazmur, orang percaya menemukan sebuah jawaban. Ia tahu bahwa meskipun semua pintu manusia dipalangi, pintu Allah tetap terbuka. Bahkan jika seluruh dunia telah mengeluarkan keputusan penghukuman, ada keselamatan di dalam Allah.

 

“Tuhan mendengarkan” : terkadang dalam doa cukup mengetahui hal ini. Masalah tidak selalu bisa diselesaikan. Orang-orang yang berdoa tidak terperdaya : mereka tahu bahwa banyak pertanyaan tentang kehidupan di sini tetap tidak terselesaikan, tanpa jalan keluar; penderitaan akan menyertai kita dan, setelah satu pertempuran, pertempuran-pertempuran lainnya akan menunggu kita. Tetapi jika kita didengarkan, semuanya menjadi lebih tertahankan.

 

Hal terburuk yang bisa terjadi adalah menderita dalam pengabaian, tanpa diingat. Dalam hal ini doa menyelamatkan kita. Karena bisa saja terjadi, dan bahkan sering kali, kita tidak memahami rencana Allah. Tetapi seruan kita tidak berhenti di sini : seruan itu melambung kepada Dia, yang memiliki hati seorang Bapa, serta menangisi diri-Nya demi setiap putra dan putri yang menderita dan wafat. Saya akan memberitahu sesuatu kepadamu : ada baiknya bagi saya, di saat-saat sulit, memikirkan tentang Yesus yang menangis; ketika Ia menangis melihat Yerusalem, ketika Ia menangis di depan kubur Lazarus. Allah menangisiku, Allah menangis, Ia menangisi duka kita. Karena Allah ingin menjadikan diri-Nya manusia - seperti yang biasa dikatakan oleh penulis rohani - agar dapat menangis. Pikirkanlah bahwa Yesus menangis bersamaku dalam duka adalah penghiburan : pikiran itu membantu kita terus maju. Jika kita mempertahankan hubungan kita dengan-Nya, hidup tidak menghindarkan kita dari penderitaan, tetapi kita membuka cakrawala kebaikan yang luar biasa dan beranjak menuju penggenapannya. Kuatkan hati, bertekun dalam doa. Yesus selalu berada di samping kita.

 

[Sambutan khusus]

 

Saya menyambut semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang bergabung dengan kita untuk Audiensi hari ini. Atas kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Tuhan memberkati kalian.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang doa, sekarang kita beralih ke Kitab Mazmur, yang dapat dianggap sebagai khazanah doa yang luar biasa. Mazmur mengajarkan kita untuk berdoa kepada Allah dengan sabda yang telah diberikan-Nya sendiri kepada kita. Di dalam Mazmur, kita menjumpai seluruh perasaan manusia, mulai dari pujian, ujud, dan ucapan syukur penuh sukacita hingga permohonan dalam derita guna dibebaskan dari kekecewaan dan kesedihan hidup yang getir. Mazmur mengajarkan kita bahwa Allah tidak tuli terhadap doa-doa kita, terutama doa-doa yang muncul dari hati yang remuk redam dan roh yang bermasalah. Seruan pemazmur yang berulang-ulang, “Berapa lama, Tuhan?”, dengan sendirinya merupakan pengakuan bahwa, di tengah setiap jalan dan kesengsaraan kita, Allah mendengarkan suara kita dan tidak pernah meninggalkan kita. Sebagai Bapa yang penuh kasih, Ia menangisi penderitaan kita di dunia ini, namun dalam hikmat-Nya Ia memiliki rencana penyelamatan untuk kita masing-masing. Dengan demikian, Mazmur merupakan panduan untuk bertumbuh dalam praktik doa. Mazmur membuka hati kita untuk berharap semakin dalam akan pemeliharaan ilahi Allah; Mazmur meneguhkan kepercayaan kita akan janji-janji-Nya, dan mengilhami kita untuk bertekun pada sabda-Nya dalam perjalanan iman seumur hidup kita.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 11 Oktober 2020 : TENTANG PERUMPAMAAN PERJAMUAN KAWIN


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat siang!

 

Dengan narasi Perumpamaan Perjamuan Kawin, dalam Bacaan Injil hari ini (bdk. Mat 22:1-14), Yesus menguraikan rencana yang dibayangkan Allah bagi umat manusia. Raja yang " yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya" (ayat 2) adalah gambaran dari Bapa yang mempersiapkan bagi seluruh keluarga manusia perayaan cinta dan persekutuan yang indah di sekitar Putra-Nya yang tunggal. Dua kali raja mengutus hamba-hambanya untuk memanggil para tamu undangan, tetapi mereka tidak mengindahkan; mereka tidak ingin pergi ke pesta karena mereka memikirkan hal lain : ladang dan usaha. Seringkali kita juga mendahulukan kepentingan dan perkara materi kita di atas Tuhan yang memanggil kita - dan Ia memanggil kita ke pesta. Tetapi raja dalam perumpamaan itu tidak ingin gedung pertemuan kosong melompong, karena ia ingin mempersembahkan harta kerajaannya. Jadi ia memberitahu hamba-hambanya : "Sebab itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu" (ayat 9). Beginilah reaksi Allah : ketika Ia ditolak, bukannya menyerah, Ia memulai kembali dan meminta agar semua orang yang ditemukan di jalan raya dipanggil, tidak mengecualikan siapa pun. Tidak ada yang dikecualikan dari rumah Allah.

 

Istilah asli yang dipergunakan Penginjil Matius mengacu pada batas-batas jalan, atau titik akhir jalan perkotaan dan titik awal jalan yang mengarah ke daerah pedesaan, di luar daerah pemukiman, di mana kehidupan berbahaya. Kepada umat manusia jalanan ramai inilah raja dalam perumpamaan itu menyuruh hamba-hambanya, dengan kepastian menemukan orang-orang yang bersedia duduk di meja. Jadi gedung perjamuan dipenuhi dengan orang-orang yang “dikucilkan”, orang-orang yang “berada di luar”, orang-orang yang tidak pernah terlihat layak untuk mengambil bagian dalam pesta, dalam perjamuan kawin. Nyatanya, sang majikan, sang raja, memberitahu para utusan : “Panggillah semua orang, orang yang baik dan orang yang jahat. Semua orang!". Allah bahkan memanggil orang-orang yang jahat. “Tidak, aku jahat; aku telah melakukan banyak [hal buruk] ... ”. Ia memanggilmu : “Ayo, ayo, ayo!”. Dan Yesus pergi makan siang dengan para pemungut cukai, yang adalah para pendosa publik; mereka sangat jahat. Allah tidak takut roh kita terluka oleh banyak kekejaman, karena Iia mengasihi kita; Ia mengundang kita. Dan Gereja dipanggil untuk mencapai jalan keramaian sehari-hari, yaitu, pinggiran geografis dan keberadaan umat manusia, tempat yang terpencil, situasi di mana orang-orang yang telah mendirikan kemah ditemukan entah di mana dan tinggal sisa-sisa umat manusia yang tidak ada harapan. Ini adalah perkara tidak berpuas dengan kenyamanan serta cara penginjilan yang biasa dan bersaksi untuk amal, tetapi membuka pintu hati kita dan komunitas kita untuk semua orang, karena Injil tidak disediakan untuk beberapa orang pilihan. Bahkan orang-orang yang terpinggirkan, bahkan mereka yang ditolak dan dicemooh oleh masyarakat, dianggap oleh Allah layak untuk kasih-Nya. Ia mempersiapkan perjamuan-Nya untuk semua orang : orang benar dan orang berdosa, orang baik dan orang jahat, orang pandai dan orang yang tidak berpendidikan.

 

Kemarin petang, saya dapat menelepon seorang imam tua asal Italia, seorang misionaris di Brasil sejak masa mudanya, tetapi selalu bekerja dengan orang-orang yang tersisih, dengan kaum miskin. Dan ia menjalani masa tuanya dengan damai : ia menghabiskan hidupnya dengan kaum miskin. Inilah Gereja Induk kita; inilah utusan Allah yang pergi ke persimpangan jalan.

 

Tetapi, Tuhan menempatkan satu syarat : memakai pakaian pesta. Marilah kita kembali ke perumpamaan. Ketika gedung pertemuan sudah penuh, sang raja datang dan menyapa para tamu yang diundang terakhir, tetapi ia melihat salah satu dari mereka tidak berpakaian pesta, semacam jubah mini yang akan diterima setiap tamu sebagai hadiah di pintu masuk. Orang-orang pergi dengan berpakaian sebagaimana adanya, sebagaimana mereka sudi berpakaian; mereka tidak mengenakan pakaian pesta. Tetapi di pintu masuk mereka diberi sejenis kain penutup bahu, sebuah hadiah. Orang itu, setelah menolak hadiah gratis, mengucilkan dirinya : raja tidak bisa berbuat apa-apa selain mengusirnya. Orang ini menerima undangan tetapi kemudian memutuskan bahwa undangan itu tidak berarti apa-apa baginya : ia adalah orang yang cukup diri; ia tidak memiliki keinginan untuk mengubah atau mengizinkan Allah untuk mengubahnya. Pakaian pesta - kain penutup bahu ini - melambangkan belas kasihan yang diberikan Allah secara cuma-cuma kepada kita, yaitu rahmat. Tanpa rahmat kita tidak dapat mengambil langkah maju dalam kehidupan Kristiani. Semuanya adalah rahmat. Tidaklah cukup hanya menerima undangan untuk mengikuti Allah; kita harus terbuka terhadap perjalanan pertobatan, yang mengubah hati. Pakaian belas kasihan, yang ditawarkan Allah kepada kita tanpa henti, adalah karunia kasih-Nya yang cuma-cuma; tepatnya rahmat. Dan rahmat menuntut untuk disambut dengan keheranan dan sukacita : “Terima kasih, Tuhan, karena telah memberiku karunia ini”.

 

Semoga Santa Maria membantu kita untuk meneladan hamba-hamba dalam perumpamaan Injil dengan keluar dari kerangka kita dan dari pandangan sempit kita, mewartakan kepada semua orang bahwa Tuhan mengundang kita ke perjamuan-Nya, untuk menawarkan kepada kita rahmat penyelamatan-Nya, memberikan kita karunia-Nya.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih!

 

Saya ingin mengungkapkan kedekatan saya dengan penduduk yang terkena dampak kebakaran yang menghancurkan begitu banyak wilayah di Planet ini, serta kepada para sukarelawan dan para petugas pemadam kebakaran yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk memadamkan api. Saya memikirkan Pantai Barat Amerika Serikat, khususnya California, dan saya juga memikirkan wilayah tengah Amerika Selatan, hingga zona Panatal Paraguay, hingga tepi Sungai ParanĂ¡ di Argentina. Banyak kebakaran yang disebabkan oleh kekeringan yang berkepanjangan, tetapi ada juga yang disebabkan oleh manusia. Semoga Tuhan mendukung mereka yang menderita akibat bencana ini dan membuat kita berhati-hati dalam melestarikan ciptaan.

 

Saya menghargai bahwa telah ada kesepakatan gencatan senjata antara Armenia dan Azerbaijan demi alasan kemanusiaan, untuk mencapai kesepakatan perdamaian yang hakiki. Meskipun gencatan senjata tampak terlalu rapuh, saya mendorong agar hal itu dilakukan lagi dan saya mengungkapkan keikutsertaan saya dalam kesedihan atas hilangnya nyawa manusia, atas penderitaan yang dialami, serta untuk kehancuran rumah dan tempat ibadah. Saya berdoa dan mengundang untuk mendoakan para korban dan semua orang yang hidupnya berada dalam bahaya.

 

Kemarin, di Asisi, Carlo Acutis, seorang pemuda berusia 15 tahun yang terpikat pada Ekaristi, dibeatifikasi. Ia tidak mudah menjadi tidak bisa bergerak, tetapi memahami kebutuhan zamannya, karena ia melihat wajah Kristus yang paling lemah. Kesaksiannya menunjukkan kepada kaum muda dewasa ini bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dengan mengutamakan Allah dan melayani-Nya dalam diri saudara dan saudari kita, terutama yang paling kecil. Tepuk tangan untuk sang beato muda baru!

 

Saya ingin mengingat ujud doa yang saya usulkan untuk bulan Oktober ini : yang berbunyi seperti ini : “Kita berdoa agar dengan keutamaan baptisan, kaum awam, terutama perempuan, dapat semakin ikut serta bertanggung jawab di dalam Gereja”. Karena tidak satupun dari kita yang dibaptis menjadi imam maupun uskup : kita semua dibaptis sebagai awam, laki-laki dan perempuan. Kaum awam adalah tokoh utama Gereja. Dewasa ini ada kebutuhan untuk memperluas ruang kehadiran perempuan yang lebih hidup dalam Gereja, dan kehadiran awam perempuan, yang berarti, menggarisbawahi aspek feminin, karena pada umumnya perempuan dikesampingkan. Kita harus mengembangkan keutuhan perempuan di tempat-tempat pengambilan keputusan penting. Marilah kita berdoa agar, dengan baptisan, umat awam, terutama perempuan, dapat lebih ikut serta dalam lembaga tanggung jawab dalam Gereja, tanpa jatuh ke dalam klerikalisme yang meniadakan karisma awam dan juga menodai wajah Gereja induk yang kudus.

 

Minggu depan, 18 Oktober 2020, Yayasan Bantuan untuk Gereja yang Membutuhkan mempromosikan kampanye “Satu Juta Anak Berdoa Rosario” untuk persatuan dan perdamaian. Saya mendorong acara yang indah ini yang melibatkan anak-anak di seluruh dunia, yang akan berdoa terutama untuk situasi kritis yang disebabkan oleh pandemi.

 

Saya menyapa kalian semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara : keluarga, kelompok paroki, lembaga dan umat perorangan. Kepada semuanya saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang kalian. Sampai jumpa!