Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 27 Januari 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 22)


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini saya ingin berfokus pada doa yang dapat kita lakukan dengan perikop Kitab Suci sebagai awalnya. Sabda dalam Kitab Suci tidak ditulis untuk tetap terpenjara di atas papirus, perkamen atau kertas, tetapi diterima oleh orang yang berdoa, membuat sabda tersebut bertumbuh di dalam hatinya. Sabda Allah masuk ke dalam hati. Katekismus menegaskan bahwa : "doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci" - Kitab Suci tidak boleh dibaca seperti novel, Kitab Suci harus disertai dengan doa - "supaya terwujud dialog antara Allah dan manusia" (no. 2653). Di sinilah doa menuntunmu, karena doa adalah dialog dengan Allah. Ayat-ayat Kitab Suci tersebut ditulis untuk saya juga, berabad-abad yang lalu, untuk membawa saya kepada sabda Allah. Ayat Kitab Suci ditulis untuk kita semua. Pengalaman ini terjadi pada semua orang percaya : sebuah perikop Kitab Suci, yang telah didengar berkali-kali, suatu hari secara tidak terduga berbicara kepada saya, dan menerangi situasi yang sedang saya jalani. Tetapi pada hari itu, saya perlu hadir untuk menepati janji dengan Sabda itu. Semoga saya berada di sana, mendengarkan Sabda. Setiap hari Allah lewat dan menabur benih di tanah kehidupan kita. Kita tidak tahu apakah hari ini Ia akan menemukan tanah kering, semak duri, atau tanah yang baik yang akan membuat benih itu tumbuh (bdk. Mrk 4:3-9). Sabda Allah akan hidup bagi kita tergantung pada diri kita, pada doa kita, pada hati yang terbuka yang kita gunakan untuk mendekati Kitab Suci. Allah lewat, terus menerus, dan melalui Kitab Suci. Dan di sini saya kembali kepada apa yang telah saya katakan pekan lalu, pada apa yang dikatakan Santo Agustinus : “Aku takut akan Allah ketika Ia lewat”. Mengapa ia takut? Karena ia tidak berkehendak mendengarkan-Nya. Karena saya tidak berkehendak untuk menyadari bahwa Ia adalah Tuhan.

 

Melalui doa sebuah penjelmaan baru dari Sabda terjadi. Dan kita adalah “tabernakel” di mana sabda Allah ingin disambut dan dipelihara, sehingga sabda tersebut dapat melawat dunia. Inilah sebabnya kita harus mendekati Kitab Suci tanpa motif tersembunyi, tanpa mengeksploitasinya. Orang percaya tidak berpaling pada Kitab Suci untuk mendukung pandangan filosofis dan moralnya, tetapi karena ia mengharapkan suatu perjumpaan; orang percaya tahu bahwa sabda itu tertulis di dalam Roh Kudus, dan oleh karena itu dalam Roh yang sama sabda harus disambut dan dipahami, sehingga perjumpaan dapat terjadi.

 

Saya sedikit terganggu ketika mendengar ada orang Kristiani yang membaca ayat-ayat Kitab Suci seperti burung beo. “Oh, ya… Oh, Tuhan berkata… Ia menginginkan hal ini…”. Tetapi apakah kamu berjumpa Allah, dengan ayat itu? Membaca ayat-ayat Kitab Suci bukan hanya perkara ingatan : membaca ayat-ayat Kitab Suci adalah perkara ingatan hati, yang membuka dirimu kepada suatu perjumpaan dengan Tuhan. Dan sabda itu, ayat itu, menuntunmu kepada perjumpaan dengan Allah.

 

Oleh karena itu, kita membaca Kitab Suci karena Kitab Suci "membaca diri kita". Dan dapat mengenali diri sendiri dalam perikop ini atau karakter itu, dalam situasi ini atau itu, merupakan sebuah rahmat. Kitab Suci tidak ditulis untuk umat manusia pada umumnya, tetapi untuk kita, untuk saya, untuk kamu, untuk pria dan wanita dalam daging dan darah, pria dan wanita yang memiliki nama dan nama keluarga, seperti saya, seperti kamu. Dan Sabda Allah, yang diresapi Roh Kudus, ketika diterima dengan hati yang terbuka, tidak meninggalkan hal-hal seperti sebelumnya : tidak pernah. Sesuatu berubah. Dan inilah rahmat dan kekuatan Sabda Allah.

 

Tradisi Kristiani kaya akan pengalaman dan cerminan yang berkenaan dengan doa yang disertai Kitab Suci. Secara khusus, metode "lectio divina" telah ditetapkan; lectio divina berasal dari lingkungan biara, tetapi sekarang juga dipraktekkan oleh umat Kristiani yang sering mengunjungi paroki mereka. Yang terutama dalam perkara membaca perikop Kitab Suci adalah penuh perhatian : inilah lectio divina, pertama dan terutama membaca perikop Kitab Suci dengan penuh perhatian, atau lebih dari itu : saya dapat mengatakan dengan "ketaatan" pada teks, memahami apa arti dalam dirinya dan dari dirinya. Kemudian kita masuk ke dalam dialog dengan Kitab Suci, sehingga sabda itu menjadi alasan untuk bermeditasi dan berdoa : seraya tetap setia pada teks, saya mulai bertanya pada diri sendiri apa yang "dikatakannya kepada saya". Ini adalah langkah yang rumit : kita tidak boleh tergelincir ke dalam penafsiran yang subyektif, tetapi kita harus menjadi bagian dari cara Tradisi yang hidup, yang mempersatukan diri kita masing-masing dengan Kitab Suci. Langkah terakhir dari lectio divina adalah kontemplasi. Di sini, sabda dan pemikiran memberi jalan menuju kasih, seperti di antara dua orang kekasih yang terkadang saling memandang dalam diam. Teks Kitab Suci tetap, tetapi laksana cermin, seperti laksana yang harus direnungkan. Dan dengan cara ini, ada dialog.

 

Melalui doa, Sabda Allah tinggal di dalam diri kita dan kita tinggal di dalamnya. Sabda mengilhami niat baik dan mendukung tindakan; Sabda memberi kita kekuatan dan ketenangan, dan bahkan ketika ia menantang kita, Sabda memberi kita kedamaian. Pada hari-hari yang "pelik" dan membingungkan, Sabda menjamin inti pokok kepercayaan dan kasih yang melindunginya dari serangan si jahat.

 

Dengan cara ini Sabda Allah menjadi daging - perkenankan saya menggunakan ungkapan ini - Sabda menjadi daging dalam diri orang-orang yang menerimanya dalam doa. Gerak batin muncul dalam beberapa teks kuno yang secara sangat lengkap diidentifikasikan oleh umat Kristiani sebagai Sabda sehingga, bahkan jika seluruh Kitab Suci di dunia dibakar, "cetakan"-nya masih akan terselamatkan karena jejak yang ditinggalkannya pada kehidupan orang-orang kudus. Ini adalah sebuah ungkapan yang indah.

 

Kehidupan Kristiani pada saat yang sama merupakan karya ketaatan dan kreativitas. Seorang Kristiani yang baik harus taat, tetapi ia harus kreatif. Taat, karena ia mendengarkan Sabda Allah; kreatif, karena ia memiliki Roh Kudus di dalam dirinya yang mendorongnya menjadi demikian, membimbingnya. Yesus, di akhir salah satu perumpamaannya, membuat perbandingan ini - Ia berkata, “Setiap ahli Taurat yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya” (Mat 13:52). Kitab Suci adalah harta yang tidak ada habisnya. Semoga Tuhan menganugerahkan kepada kita semua agar dapat semakin banyak mengambil harta tersebut, melalui doa.

 

[Salam khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat yang berbahasa Inggris. Semoga Roh Kudus menuntun kita untuk semakin menghargai terang yang dipancarkan Kitab Suci dalam kehidupan kita sehari-hari. Atas kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan. Tuhan memberkati kalian!

 

[Himbauan]

 

Hari ini, peringatan pembebasan kamp kematian Auschwitz, kita merayakan Hari Peringatan Holokos Internasional. Kita memperingati para korban Holokos serta semua orang yang dianiaya dan dideportasi oleh rezim Nazi. Peringatan tersebut adalah ungkapan kemanusiaan. Peringatan adalah tanda peradaban. Peringatan adalah kondisi untuk masa depan perdamaian dan persaudaraan yang lebih baik. Peringatan juga berarti berhati-hati karena hal-hal tersebut dapat terulang kembali, dimulai dari usulan ideologis yang bertujuan untuk menyelamatkan suatu bangsa serta akhirnya menghancurkan suatu bangsa dan umat manusia. Sadarilah bagaimana jalan kematian, pemusnahan, dan kebrutalan ini dimulai.

 

[Ringkasan yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam rangkaian katekese kita tentang doa Kristiani, sekarang kita membahas pentingnya Kitab Suci dalam kehidupan doa. Katekismus mendorong doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci, sehingga dialog dapat terjadi antara Allah dan diri kita (bdk. No. 2653). Karena Roh Kudus yang mengilhami penulisan teks suci juga berdiam di hati setiap orang percaya, kita dimampukan, melalui perjumpaan kita yang sering dan penuh doa dengan sabda yang diwahyukan, semakin masuk ke dalam hubungan dengan Allah Tritunggal. Sebagai sabda yang hidup, Kitab Suci berbicara kepada kita di sini dan saat ini tentang hidup kita, menerangi situasi baru, menawarkan wawasan baru dan sering kali menantang cara biasa kita memikirkan dan melihat dunia. Interaksi antara doa dan pembacaan Kitab Suci terlihat khususnya dalam praktek lectio divina. Hal ini berupa membaca perikop Kitab Suci secara perlahan, kemudian menghabiskan beberapa waktu untuk merenungkan teks dalam keterbukaan kepada Roh Kudus, membiarkan Allah berbicara kepada kita melalui kata-kata, frasa atau gambaran tertentu. Buah dari dialog yang penuh doa ini adalah kontemplasi, saat dalam keheningan kita bersandar di bawah tatapan Bapa yang penuh kasih. Dengan demikian, Kitab Suci menjadi sumber kedamaian, kebijaksanaan dan kekuatan yang tidak ada habisnya saat kita bertumbuh dalam iman serta memberikan ungkapan nyata dengan mengasihi dan melayani sesama.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Januari 2021)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM IBADAT VESPER PESTA BERTOBATNYA SANTO PAULUS RASUL DI BASILIKA SANTO PAULUS DI LUAR TEMBOK (PEKAN DOA SEDUNIA UNTUK PERSATUAN UMAT KRISTIANI KE-54) 25 Januari 2021


[Karena Paus Fransiskus menderita linu panggul, homili dibacakan oleh Kurt Kardinal Koch yang memimpin ibadat vesper tersebut]

 

“Tinggallah di dalam kasih-Ku” (Yoh 15:9). Yesus mengaitkan permohonan ini dengan gambaran pokok anggur dan ranting-rantingnya, gambaran terakhir yang ditawarkan-Nya kepada kita di dalam Injil. Tuhan sendiri adalah pokok anggur, pokok anggur yang "benar" (ayat 1), yang tidak mengkhianati pengharapan kita, tetapi sungguh tetap setia dalam kasih, terlepas dari dosa dan perpecahan kita. Di atas pokok anggur ini, yaitu diri-Nya sendiri, kita semua, yang dibaptis, dicangkokkan seperti ranting. Ini berarti bahwa kita dapat tumbuh dan menghasilkan buah hanya jika kita tetap bersatu dengan Yesus. Malam ini marilah kita memikirkan kesatuan yang sangat diperlukan ini, yang memiliki sejumlah tingkatan. Dengan memikirkan pokok anggur, kita dapat membayangkan kesatuan yang terdiri dari tiga cincin yang sepusat, seperti cincin batang pohon.

 

Lingkaran pertama, yang paling dalam, tinggal di dalam Yesus. Inilah titik awal perjalanan setiap orang menuju persatuan. Di dunia yang serba cepat dan rumit dewasa ini, kita mudah kehilangan arah, kita seperti ditarik dari setiap sisi. Banyak orang merasa tersempal secara internal, tidak dapat menemukan titik tetap, pijakan yang mantap, di tengah perubahan kehidupan. Yesus memberitahu kita bahwa rahasia kemantapan adalah tinggal di dalam Dia. Dalam bacaan sore ini, Ia mengatakan hal ini sebanyak tujuh kali (bdk. ayat 4-7,9-10). Karena Ia tahu bahwa "di luar diri-Nya, kita tidak dapat berbuat apa-apa" (bdk. ayat 5). Yesus juga menunjukkan kepada kita bagaimana tinggal di dalam Dia. Ia mewariskan teladan kepada kita : setiap hari Ia menarik diri untuk berdoa di tempat-tempat terpencil. Kita membutuhkan doa, seperti kita membutuhkan air, untuk hidup. Doa pribadi, menghabiskan waktu bersama Yesus, adorasi, ini penting jika kita ingin tinggal di dalam Dia. Dengan cara ini, kita dapat menempatkan kekhawatiran, harapan dan ketakutan, suka dan duka kita di dalam hati Tuhan. Yang terpenting, berpusat pada Yesus dalam doa, kita dapat mengalami kasih-Nya. Dan dengan cara ini menerima daya hidup baru, seperti ranting yang mengambil getah dari batang. Ini adalah persatuan yang pertama, keutuhan pribadi kita, karya rahmat yang kita terima dengan tinggal di dalam Yesus.

 

Lingkaran kedua adalah persatuan dengan umat Kristiani. Kita adalah ranting dari pokok anggur yang sama, kita adalah "saluran komunikasi", dalam arti bahwa kebaikan atau kejahatan yang dilakukan oleh kita masing-masing mempengaruhi semua orang lain. Jadi, dalam kehidupan rohani, ada semacam "hukum dinamika" : sejauh kita tinggal di dalam Allah, kita mendekat kepada orang lain, dan sejauh kita mendekat kepada orang lain, kita tinggal di dalam Allah. Ini berarti bahwa jika kita berdoa kepada Allah dalam roh dan kebenaran, maka kita menyadari kebutuhan kita untuk mengasihi orang lain sementara, di sisi lain, “jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita” (1 Yoh 4:12). Doa selalu menuntun pada kasih; jika tidak, doa akan menjadi ritual kosong. Karena tidaklah mungkin berjumpa Yesus terpisah dari tubuh-Nya, yang terdiri dari banyak anggota, sebanyak orang yang dibaptis. Jika penyembahan kita tulus, kita akan bertumbuh dalam mengasihi semua orang yang mengikuti Yesus, terlepas dari persekutuan Kristiani yang mereka miliki, karena meskipun mereka mungkin bukan "salah seorang dari kita", mereka adalah milik-Nya.

 

Meski begitu, kita tahu bahwa mengasihi saudara-saudari kita tidak mudah, karena aib dan kekurangan mereka langsung terlihat, dan luka masa lalu muncul di benak. Di sini Bapa datang untuk membantu kita, karena sebagai pengusaha (bdk. Yoh 15:1), Ia tahu persis apa yang harus dilakukan : “setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah” (Yoh 15: 2). Bapa memotong dan membersihkan. Mengapa? Karena untuk mengasihi, kita perlu dilucuti dari semua yang menyesatkan kita dan membuat kita menarik diri dan dengan demikian gagal menghasilkan buah. Kemudian, marilah kita memohon kepada Bapa untuk membersihkan prasangka kita terhadap orang lain, dan keterikatan duniawi yang menghalangi persatuan penuh dengan seluruh anak-anak-Nya. Dengan dimurnikan dalam kasih, kita akan mampu untuk mengurangi perhatian terhadap rintangan duniawi dan batu sandungan masa lalu, yang dewasa ini mengalihkan kita dari Injil.

 

Lingkaran persatuan yang ketiga, yang terbesar, adalah seluruh umat manusia. Di sini, kita dapat merenungkan karya Roh Kudus. Di dalam pokok anggur yaitu Kristus, Roh adalah getah yang menyebar ke seluruh ranting. Roh bertiup ke mana pun Ia mau, dan ke mana pun Ia ingin memulihkan persatuan. Ia mendorong kita untuk mengasihi tidak hanya orang-orang yang mengasihi kita dan sepikiran dengan kita, tetapi mengasihi semua orang, seperti yang diajarkan Yesus kepada kita. Ia memungkinkan kita untuk mengampuni musuh dan kesalahan yang telah kita tanggung. Ia mengilhami kita untuk aktif dan kreatif dalam kasih. Ia mengingatkan kita bahwa sesama kita bukan hanya mereka yang ambil bagian dalam nilai dan gagasan kita, serta kita dipanggil untuk menjadi sesama bagi semua, orang Samaria yang baik bagi umat manusia yang lemah, miskin dan, di zaman kita, sangat menderita. Umat manusia yang sedang terbaring di pinggir jalan dunia kita, yang ingin dibangunkan Allah dengan kasih sayang. Semoga Roh Kudus, sumber rahmat, membantu kita untuk hidup dalam kecuma-cumaan, mengasihi bahkan orang-orang yang tidak mengasihi kita pada gilirannya, karena melalui kasih yang murni dan tanpa pamrihlah Injil menghasilkan buah. Sebatang pohon dikenal dari buahnya : kasih kita yang tanpa pamrih akan dikenal jika kita merupakan bagian dari pokok anggur Yesus.

 

Dengan demikian, Roh Kudus mengajarkan kita tentang keberwujudan kasih untuk semua saudara dan saudari yang dengannya kita berbagi kemanusiaan yang sama, kemanusiaan yang ke dalamnya secara tak terpisahkan Kristus mempersatukan diri-Nya dengan mengatakan kepada kita bahwa kita akan selalu menemukan-Nya dalam diri orang-orang miskin dan orang-orang yang paling membutuhkan (bdk. Mat 25:31-45). Dengan bersama-sama melayani mereka, sekali lagi kita akan menyadari bahwa kita adalah saudara dan saudari, dan akan bertumbuh dalam persatuan. Roh, yang memperbarui muka bumi, juga mengilhami kita untuk merawat rumah kita bersama, membuat pilihan yang berani berkenaan dengan bagaimana kita hidup dan mengonsumsi, karena kebalikan dari buah yang limpah adalah eksploitasi, dan bagi kita, menyia-nyiakan sumber daya yang berharga sementara banyak sumber daya lainnya dirampas sangatlah memalukan.

 

Roh yang sama itu, sang arsitek perjalanan ekumenis, telah memimpin kita malam ini untuk berdoa bersama. Saat kita mengalami persatuan yang berasal dari menyapa Allah dengan satu suara, saya ingin berterima kasih kepada semua orang yang selama pekan ini telah mendoakan, dan terus mendoakan, persatuan umat Kristiani. Saya menyampaikan salam persaudaraan kepada para perwakilan Gereja dan komunitas gerejawi yang berkumpul di sini, kepada Gereja Ortodoks muda dan Gereja Ortodoks Oriental yang belajar di sini di Roma di bawah naungan Dewan untuk Mempromosikan Persatuan Umat Kristiani, dan kepada para profesor dan mahasiswa Institut Ekumenis di Bossey, yang berkehendak datang ke Roma seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi tidak dapat melakukannya karena pandemi dan mengikuti kami melalui media. Saudara dan saudari terkasih, semoga kita tetap bersatu di dalam Kristus. Semoga Roh Kudus dicurahkan ke dalam hati kita membuat kita merasa anak-anak Bapa, saudara dan saudari satu sama lain, saudara dan saudari dalam satu keluarga manusiawi kita. Semoga Tritunggal Mahakudus, persekutuan kasih, membuat kita bertumbuh dalam persatuan.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Januari 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 24 Januari 2021 : ALLAH MEMANGGIL KITA DI SETIAP TAHAPAN KEHIDUPAN


Saudara dan saudari terkasih,

 

Selamat pagi!

 

Perikop Injil hari Minggu ini (bdk. Mrk 1:14-20) menunjukkan kepada kita, bisa dikatakan, "penyerahan tongkat" dari Yohanes Pembaptis kepada Yesus. Yohanes adalah pendahulu-Nya; ia mempersiapkan lahan bagi-Nya dan mempersiapkan jalan bagi-Nya : sekarang Yesus dapat memulai perutusan-Nya dan mewartakan keselamatan mulai sekarang; Ia adalah keselamatan. Khotbah-Nya terangkum dalam kata-kata ini : “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (ayat 15). Secara sederhana. Yesus tidak berbasa-basi. Kata-kata-Nya adalah sebuah pesan yang mengundang kita untuk berkaca pada dua tema penting : waktu dan pertobatan.

 

Dalam teks Penginjil Markus ini, waktu harus dipahami sebagai rentang sejarah keselamatan yang dikerjakan oleh Allah; oleh karena itu, waktu yang "digenapi" adalah saat tindakan penyelamatan ini mencapai puncaknya, terwujud sepenuhnya : saat bersejarah yang di dalamnya Allah mengutus Putra-Nya ke dunia dan Kerajaan-Nya menjadi lebih "dekat" dari sebelumnya. Waktu keselamatan tergenapi karena Yesus telah datang. Namun, keselamatan tidak otomatis; keselamatan adalah karunia kasih dan dengan demikian ditawarkan untuk kebebasan manusia. Selalu, ketika kita berbicara tentang kasih, kita berbicara tentang kebebasan : kasih tanpa kebebasan bukanlah kasih; mungkin minat, mungkin ketakutan, banyak hal, tetapi kasih selalu cuma-cuma, dan karena cuma-cuma, membutuhkan tanggapan yang diberikan secara cuma-cuma : tanggapan tersebut menuntut pertobatan kita. Jadi, artinya, mengubah mentalitas - inilah pertobatan, mengubah mentalitas - dan mengubah kehidupan : tidak lagi mengikuti teladan dunia tetapi teladan Allah, yakni Yesus; mengikuti Yesus, seperti yang telah dilakukan Yesus, dan seperti yang diajarkan Yesus kepada kita. Suatu perubahan pandangan dan sikap yang menentukan. Nyatanya, dosa - terutama dosa keduniawian yang bagaikan udara, merasuki segala sesuatu - melahirkan mentalitas yang cenderung ke arah pengesahan diri bertentangan orang lain dan Allah. Hal ini sukar dipahami .... Apa jatidirimu? Dan begitu sering kita mendengar bahwa jatidiri seseorang terungkap dalam istilah “oposisi”. Dalam istilah yang positif dan istilah keselamatan, sulitnya mengungkapkan jatidiri dalam roh duniawi : roh duniawi menentang diri sendiri, orang lain dan Allah. Dan untuk tujuan ini tidak ada keraguan - bagi mentalitas dosa, mentalitas duniawi - untuk menggunakan tipu daya dan kekerasan. Tipu daya dan kekerasan. Kita melihat apa yang terjadi dengan tipu daya dan kekerasan : keserakahan, keinginan untuk berkuasa dan bukan melayani, peperangan, eksploitasi orang-oorang .... Inilah mentalitas tipu daya yang pasti berasal dari bapa tipu daya, sang penipu ulung, Iblis. Ia adalah bapa segala dusta, sebagaimana didefinisikan Yesus.

 

Semua ini ditentang oleh pesan Yesus, yang mengundang kita untuk mengakui diri kita sendiri membutuhkan Allah dan rahmat-Nya; memiliki sikap yang seimbang sehubungan dengan benda-benda duniawi; ramah dan rendah hati terhadap orang lain; memahami dan menggenapi diri kita sendiri saat bertemu dan melayani orang lain. Bagi kita masing-masing, waktu yang di dalamnya kita dapat menerima penebusan adalah singkat : itulah rentang kehidupan kita di dunia ini. Rentangnya singkat. Mungkin kelihatannya lama .... Saya ingat bahwa saya pergi untuk memberikan Sakramen-sakramen, Sakraman Pengurapan Orang Sakit kepada seorang yang telah berusia lanjut yang sangat baik, sangat baik, dan pada saat itu, sebelum menerima Ekaristi dan Pengurapan Orang Sakit, ia mengucapkan kalimat ini kepada saya : "Hidupku berlalu begitu saja". Beginilah perasaan kita, para lansia, bahwa hidup telah berlalu. Hidup berlalu. Dan hidup adalah karunia kasih Allah yang tak terbatas, tetapi juga waktu untuk membuktikan kasih kita kepada-Nya. Karena alasan ini setiap momen, setiap saat keberadaan kita adalah waktu yang berharga untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita, dan dengan demikian masuk ke dalam kehidupan kekal.

 

Sejarah hidup kita memiliki dua irama : irama yang pertama, terukur, terdiri dari jam, hari, tahun; irama lainnya, terdiri dari masa-masa perkembangan kita : kelahiran, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, usia tua, kematian. Setiap kurun waktu, setiap tahapan memiliki nilainya sendiri, dan dapat menjadi saat istimewa untuk berjumpa dengan Tuhan. Iman membantu kita menemukan kepentingan rohani dari kurun waktu ini : masing-masing kurun waktu berisi panggilan tertentu dari Tuhan, yang terhadapnya kita dapat memberikan tanggapan positif atau negatif. Dalam Injil kita melihat bagaimana Simon, Andreas, Yakobus dan Yohanes menanggapi : mereka adalah orang dewasa; mereka bekerja sebagai nelayan, mereka memiliki kehidupan keluarga .... Namun, ketika Yesus lewat dan berseru kepada mereka, “segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia" (Mrk 1:18).

 

Saudara dan saudari yang terkasih, marilah kita tetap memperhatikan dan tidak membiarkan Yesus lewat tanpa menyambut-Nya. Santo Agustinus berkata, "Saya takut akan Allah ketika Ia lewat". Takut apa? Tidak mengenali-Nya, tidak melihat-Nya, tidak menyambut-Nya.

 

Semoga Perawan Maria membantu kita untuk menjalani setiap hari, setiap saat sebagai waktu keselamatan, yang di dalamnya Tuhan lewat dan memanggil kita untuk mengikuti-Nya, setiap detik hidup kita. Dan semoga ia membantu kita untuk mengubah mentalitas dunia, mentalitas lamunan duniawi yang merupakan kembang api, menjadi mentalitas kasih dan pelayanan.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, hari Minggu ini didedikasikan untuk Sabda Allah. Salah satu karunia terbesar zaman kita adalah penemuan kembali Kitab Suci dalam kehidupan Gereja di semua tingkatan. Belum pernah seperti saat ini Kitab Suci dapat diakses oleh semua orang : dalam semua bahasa dan sekarang bahkan dalam format audio-visual dan digital. Santo Hironimus, yang 16 abad wafatnya baru-baru ini saya peringati, mengatakan bahwa orang yang mengabaikan Kitab Suci mengabaikan Kristus; barangsiapa mengabaikan Kitab Suci, mengabaikan Kristus (bdk. In Isaiam Prol.). Dan sebaliknya adalah Yesus, Sabda yang menjadi daging, wafat dan bangkit, yang membuka pikiran kita untuk memahami Kitab Suci (bdk. Luk 24:45). Hal ini terjadi secara khusus dalam Liturgi, tetapi juga ketika kita berdoa sendirian atau bersama-sama, terutama dengan Injil dan Mazmur. Saya bersyukur dan mendorong paroki-paroki atas komitmen teguh mereka untuk mendidik mendengarkan dan Sabda Allah. Semoga kita tidak pernah kekurangan sukacita untuk menaburkan Injil. Dan saya ulangi sekali lagi: semoga kita memiliki kebiasaan, semoga kalian memiliki kebiasaan untuk selalu membawa Injil kecil di sakumu, di tasmu, agar dapat dibaca pada siang hari, setidaknya tiga, empat ayat. Injil selalu bersama kita.

 

Pada 20 Januari yang lalu, beberapa meter dari Lapangan Santo Petrus, seorang pria tunawisma berusia 46 tahun bernama Edwin ditemukan tewas karena kedinginan. Insidennya ditambah dengan begitu banyak tunawisma lainnya yang baru-baru ini meninggal di Roma dalam keadaan tragis yang sama. Marilah kita mendoakan Edwin. Marilah kita diingatkan oleh apa yang dikatakan oleh Santo Gregorius Agung, yang sebelum kematian seorang pengemis karena kedinginan, menyatakan bahwa Misa hari itu tidak akan dirayakan karena seperti Jumat Agung. Marilah kita memikirkan Edwin. Marilah kita memikirkan apa yang dirasakan pria berusia 46 tahun ini, dalam kedinginan, diabaikan oleh semua orang, ditinggalkan, bahkan oleh kita. Marilah kita mendoakannya.

 

Besok sore, di Basilika Santo Paulus di luar Tembok, kita akan merayakan Vesper Pesta Bertobatnya Santo Paulus, pada akhir Pekan Doa untuk Persatuan Umat Kristiani, bersama dengan para perwakilan dari Gereja lain dan komunitas gerejawi. Saya mengundang kalian bergabung secara rohani dalam doa kami.

 

Hari ini juga merupakan peringatan Santo Fransiskus de Sales, pelindung jurnalis. Kemarin Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia bertajuk “Datang dan lihatlah, disebarluaskan. Berkomunikasi dengan menjumpai orang-orang di mana pun dan sebagaimana adanya mereka”. Saya mendorong semua jurnalis dan para komunikator untuk "pergi dan melihat", bahkan ke tempat tidak ada yang mau pergi, dan bersaksi tentang kebenaran.

 

Saya menyapa kalian semua yang terhubung melalui media. Sebuah pengingat dan doa ditujukan kepada keluarga-keluarga yang sedang semakin bergumul dalam rentang waktu ini. Teguhkan hati, ayo kita maju! Marilah kita mendoakan keluarga-keluarga ini, dan sejauh mungkin marilah kita menjadi sesama mereka. Dan saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada semuanya. Tolong jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang. Sampai jumpa!

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 24 Januari 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 20 Januari 2021 : DOA UNTUK PERSATUAN UMAT KRISTIANI


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Dalam katekese ini, kita akan berkaca pada doa untuk persatuan umat Kristiani. Sesungguhnya, pekan tanggal 18 hingga 25 Januari didedikasikan secara khusus untuk hal ini - memohon karunia persatuan kepada Allah untuk mengatasi skandal perpecahan di antara orang-orang yang percaya kepada Yesus. Setelah Perjamuan Terakhir, Ia mendoakan milik-Nya, “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh 17:21). Inilah doa sebelum sengsara-Nya, kita bisa menyebutnya sebagai kesaksian rohani-Nya. Tetapi, marilah kita perhatikan bahwa Tuhan tidak memerintahkan agar murid-murid-Nya bersatu. Tidak, Ia berdoa. Ia berdoa kepada Bapa untuk kita, agar kita menjadi satu. Artinya kita tidak bisa mencapai persatuan dengan kekuatan kita sendiri. Persatuan, terutama, adalah karunia, persatuan adalah rahmat yang dimohonkan melalui doa.

 

Kita masing-masing membutuhkannya. Sesungguhnya, kita tahu bahwa kita tidak mampu memelihara persatuan bahkan di dalam diri kita sendiri. Bahkan rasul Paulus merasakan perpecahan yang menyakitkan di dalam dirinya : menghendaki yang baik tetapi cenderung ke arah yang jahat (lihat Rm 7:19). Dengan demikian ia telah memahami akar dari begitu banyak perpecahan yang mengelilingi kita - di antara orang-orang, dalam keluarga, dalam masyarakat, di antara bangsa-bangsa dan bahkan di antara orang-orang percaya - dan di dalam diri kita. Konsili Vatikan II menyatakan, “ketidakseimbangan yang melanda dunia dewasa ini berhubungan dengan ketidakseimbangan lebih mendasar, yang berakar dalam hati manusia. Sebab dalam diri manusia sendiri pelbagai unsur sering berlawanan. [...] Maka ia menderita perpecahan dalam dirinya, dan itulah yang juga menimbulkan sekian banyak pertentangan yang cukup berat dalam masyarakat" (Gaudium et Spes, 10). Oleh karena itu, solusi atas perpecahan ini bukanlah dengan menentang seseorang, karena perselisihan akan menimbulkan lebih banyak perselisihan. Pemulihan yang sesungguhnya dimulai dengan memohonkan perdamaian, rekonsiliasi, persatuan kepada Allah.

 

Dan hal ini berlaku, pertama-tama, untuk umat Kristiani. Persatuan hanya bisa dicapai sebagai buah doa. Upaya-upaya diplomatik dan dialog akademis tidak memadai. Hal-hal ini sudah dilakukan, tetapi belum memadai. Yesus memahami hal ini dan membuka jalan bagi kita dengan berdoa. Dengan demikian, doa kita untuk persatuan adalah keikutsertaan yang rendah hati tetapi penuh kepercayaan dalam doa Tuhan, yang berjanji bahwa setiap doa yang diucapkan dalam nama-Nya akan didengar oleh Bapa (lihat Yoh 15:7). Pada titik ini, kita dapat menanyakan pada diri kita sendiri : "Apakah aku mendoakan persatuan?" Persatuan adalah kehendak Yesus tetapi, jika kita memeriksa ujud yang kita doakan, kita mungkin akan menyadari bahwa kita sedikit mendoakan, mungkin tidak pernah, persatuan umat Kristiani. Namun, iman dunia bergantung padanya; sebenarnya, Tuhan meminta kita menjadi satu “supaya dunia percaya” (Yoh 17:21). Dunia tidak akan percaya karena kita meyakinkannya dengan argumen yang bagus, tetapi ya, jika kita sudi menjadi saksi cinta yang menyatukan kita dan mendekatkan kita : dunia akan percaya.

 

Selama masa kesusahan yang serius ini, doa ini bahkan lebih diperlukan agar persatuan dapat mengatasi perpecahan. Kita mengesampingkan preferensi guna mempromosikan kebaikan bersama sangat mendesak, dan teladan baik kita bersifat mendasar : umat Kristiani mengusahakan jalan menuju persatuan yang sepenuhnya kasat mata adalah penting. Dalam dekade terakhir, puji Tuhan, sudah banyak langkah ke depan, namun kita tetap harus bertekun dalam kasih dan doa, tanpa kehilangan percaya atau lelah. Inilah jalan yang dibangkitkan oleh Roh Kudus di dalam Gereja, di dalam umat Kristiani dan di dalam diri kita, yang daripadanya tidak ada jalan untuk mundur. Terus maju.

 

Berdoa berarti memperjuangkan persatuan. Ya, perjuangan, karena musuh kita, iblis, adalah yang memecah belah, seperti kata yang diucapkannya sendiri. Yesus memohonkan persatuan, menciptakan kesatuan kepada Roh Kudus. Iblis selalu memecah belah. Ia selalu memecah belah karena merupakan kenyamanan baginya. Ia memupuk perpecahan di mana-mana dan dengan cara apapun, sementara Roh Kudus selalu bergabung dalam kesatuan. Secara umum, iblis tidak menggoda kita dengan teologi yang tinggi, tetapi dengan kelemahan saudara-saudari kita. Ia cerdik : ia membesar-besarkan kesalahan dan kekurangan orang lain, menabur perselisihan, menghasut kritik dan menciptakan pihak-pihak. Allah memiliki cara lain : Ia mengambil kita apa adanya, Ia sangat mengasihi kita, tetapi Ia mengasihi kita apa adanya dan membawa kita apa adanya; Ia mengambil kita yang berbeda, Ia mengambil orang-orang berdosa, dan Ia selalu mendorong kita menuju kesatuan. Kita dapat mengevaluasi diri kita dan bertanya pada diri sendiri apakah, di tempat kita tinggal, kita memelihara perpecahan atau berjuang untuk meningkatkan persatuan dengan sarana yang telah diberikan Allah kepada kita : doa dan kasih. Sebaliknya, yang memicu perpecahan adalah gosip, selalu berbicara di belakang orang-orang. Gosip adalah senjata paling berguna yang dimiliki iblis untuk memecah belah umat Kristiani, memecah belah keluarga, memecah belah teman, selalu memecah belah. Roh Kudus selalu mengilhami persatuan.

 

Tema Pekan Doa ini secara khusus berkaitan dengan kasih : “Tinggallah di dalam kasih-Ku dan kamu akan berbuah banyak” (lihat Yoh 15:5-9). Akar persekutuan dan kasih adalah Kristus yang membuat kita mengatasi prasangka untuk melihat dalam diri sesama saudara atau saudari yang harus selalu dikasihi. Kemudian kita akan menemukan bahwa umat Kristiani dari pengakuan lain - dengan tradisi mereka, dengan sejarah mereka - adalah karunia dari Allah, karunia tersebut hadir di dalam wilayah komunitas keuskupan dan paroki kita. Marilah kita mulai mendoakan mereka dan, jika memungkinkan, bersama mereka. Dengan demikian, kita akan belajar untuk mengasihi dan menghargai mereka. Konsili Vatikan II mengingatkan kita, doa adalah jiwa dari setiap gerakan ekumenis (lihat Unitatis redintegratio, 8). Oleh karena itu, semoga doa menjadi titik awal untuk membantu Yesus mewujudkan mimpi-Nya : supaya mereka semua menjadi satu. Terima kasih.

 

[Salam Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Dalam Pekan Doa untuk Persatuan Umat Kristiani ini, marilah kita memohonkan kepada Bapa karunia persatuan penuh di antara semua murid Kristus, penyebaran Injil dan keselamatan dunia. Kepada kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Tuhan memberkati kalian!

 

[Himbauan]

 

Lusa, Jumat, 22 Januari, Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir mulai berlaku. Ini adalah perangkat internasional pertama yang mengikat secara hukum yang secara tersurat melarang senjata-senjata ini, yang penggunaannya secara sembarangan akan berdampak pada sejumlah besar orang dalam waktu singkat dan akan menyebabkan kerusakan jangka panjang pada lingkungan.

 

Saya sangat mendorong semua negara dan semua orang untuk bekerja secara tegas guna mengedepankan kondisi yang diperlukan demi dunia tanpa senjata nuklir, berkontribusi pada kemajuan perdamaian dan kerjasama multilateral yang sangat dibutuhkan umat manusia saat ini.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih, dari tanggal 18 hingga 25 Januari setiap tahun, kita merayakan Pekan Doa untuk Persatuan Umat Kristiani. Di hari-hari ini, semua pengikut Kristus diminta untuk berdoa dengan cara tertentu kepada Bapa untuk karunia persatuan, mewartakan Injil ke dunia yang tercabik oleh perselisihan dan perpecahan. Tanggapan kita terhadap perselisihan dan perpecahan pertama-tama dan terutama adalah dengan berdoa untuk pemulihan dan rekonsiliasi yang dimenangkan Kristus bagi kita melalui sengsara-Nya yang menyelamatkan. Kita dipanggil untuk ambil bagian dalam doa Yesus sendiri pada Perjamuan Terakhir "supaya mereka semua menjadi satu ... supaya dunia percaya" (Yoh 17:21) dan menemukan keselamatan. Di masa-masa sulit ini, umat Kristiani dipanggil untuk menjadi saksi kasih Tuhan yang mendamaikan dan bertekun di sepanjang jalan menuju persatuan yang utuh dan kasat mata. Tema Pekan Doa tahun ini, “Tinggallah di dalam kasih-Ku dan kamu akan berbuah banyak” (bdk. Yoh 15:5-9), mengingatkan kita bahwa kasih Kristus adalah dasar dari semua persekutuan di antara umat Kristiani dan inspirasi atas upaya-upaya kita untuk mengenali kayanya keanekaragaman kita dalam Roh Kudus, mengatasi perpecahan kita, dan bekerjasama dalam melayani kerajaan kerukunan, keadilan dan perdamaian Allah.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 20 Januari 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 17 Januari 2021 : MENEMUKAN ALLAH BERARTI MENEMUKAN KASIH


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil Hari Minggu Biasa II (lihat Yoh 1:35-42) menceritakan pertemuan antara Yesus dan murid-murid-Nya yang pertama. Adegan itu terbentang di sepanjang Sungai Yordan sehari setelah Yesus dibaptis. Yohanes Pembaptis sendiri yang menunjukkan Mesias kepada kedua murid tersebut dengan kata-kata ini : "Lihatlah Anak domba Allah!" (ayat 36). Dan dua orang itu, meyakini kesaksian Yohanes Pembaptis, mengikuti Yesus. Ia menyadari hal ini dan bertanya : "Apakah yang kamu cari", dan mereka bertanya kepada-Nya : "Rabi, di manakah Engkau tinggal?" (ayat 38).

 

Yesus tidak menjawab : "Aku tinggal di Kapernaum, atau di Nazaret", tetapi berkata : "Marilah dan kamu akan melihatnya" (ayat 39). Bukan sebuah kartu panggilan, tetapi sebuah undangan untuk sebuah perjumpaan. Keduanya mengikuti-Nya dan tinggal hari itu bersama-Nya. Tidaklah sulit untuk membayangkan mereka duduk mengajukan pertanyaan kepada-Nya dan terutama mendengarkan-Nya, merasakan hati mereka semakin berkobar-kobar saat Sang Guru berbicara. Mereka merasakan keindahan kata-kata yang menanggapi harapan terbesar mereka. Dan tiba-tiba mereka menemukan bahwa, meskipun saat itu sore hari, di dalam hati mereka, terang yang hanya dapat diberikan oleh Allah meletup di dalam diri mereka. Satu hal yang menarik perhatian kita : enam puluh tahun kemudian, atau mungkin lebih, salah seorang dari mereka akan menulis dalam Injilnya : “kira-kira pukul empat sore” - ia menuliskan waktu. Dan inilah satu hal yang membuat kita berpikir : setiap perjumpaan otentik dengan Yesus tetap hidup dalam ingatan, tidak pernah terlupakan. Kamu melupakan banyak perjumpaan, tetapi perjumpaan sejati dengan Yesus tinggal selamanya. Dan bertahun-tahun kemudian, keduanya bahkan mengingat waktu tersebut, mereka tidak melupakan perjumpaan yang begitu membahagiakan, begitu lengkap tersebut, sehingga mengubah hidup mereka. Kemudian, ketika mereka beranjak dari perjumpaan itu dan kembali kepada saudara-saudara mereka, sukacita itu, terang itu meluap dari hati mereka laksana sungai yang meluap. Salah seorang dari mereka, Andreas, berkata kepada saudaranya, Simon - yang dipanggil-Nya Petrus ketika Ia berjumpa dengannya - "Kami telah menemukan Mesias" (ayat 41). Mereka berkeyakinan bahwa Yesus, pasti, adalah Mesias.

 

Marilah kita berhenti sejenak berkenaan pengalaman bertemu dengan Kristus yang memanggil kita untuk tinggal bersama-Nya. Setiap panggilan Allah adalah prakarsa kasih-Nya. Dialah yang selalu mengambil prakarsa. Ia memanggilmu. Allah memanggil kepada kehidupan, Ia memanggil kepada iman, dan Ia memanggil kepada keadaan tertentu dalam kehidupan : "Aku ingin kamu di sini". Panggilan pertama Allah adalah kepada kehidupan, yang melaluinya Ia menjadikan kita pribadi; panggilan tersebut bersifat perorangan karena Allah tidak membuat sesuatu sebagai rangkaian. Kemudian Allah memanggil kita kepada iman dan menjadi bagian keluarga-Nya sebagai anak-anak Allah. Terakhir, Allah memanggil kita kepada keadaan tertentu dalam kehidupan : memberikan diri kita di jalan perkawinan, atau imamat atau hidup bakti. Semuanya adalah cara berbeda untuk mewujudkan rancangan Allah yang dimiliki-Nya bagi kita masing-masing yang selalu merupakan rancangan kasih. Tetapi Allah selalu memanggil. Dan sukacita terbesar bagi setiap orang percaya adalah menanggapi panggilan itu, menawarkan seluruh keberadaannya untuk melayani Allah dan saudara-saudarinya.

 

Saudara dan saudari, berhadapan dengan panggilan Allah, yang menjangkau kita dalam ribuan cara - melalui sesama, peristiwa bahagia atau sedih - sikap kita terkadang mungkin berupa penolakan. Tidak… “Saya takut”… Penolakan karena tampaknya bertentangan dengan aspirasi kita; dan bahkan takut karena kita meyakininya terlalu menuntut dan tidak nyaman : “Oh tidak, saya tidak akan pernah bisa melakukannya, lebih baik tidak, lebih baik hidup yang lebih tenang … Allah di sana, saya di sini”. Tetapi panggilan Allah selalu merupakan kasih : kita perlu mencoba untuk menemukan kasih di balik setiap panggilan, dan panggilan seharusnya ditanggapi hanya dengan kasih. Inilah bahasanya : tanggapan atas panggilan yang muncul karena kasih, hanya kasih. Pada awalnya ada sebuah perjumpaan, atau lebih tepatnya, ada sebuah perjumpaan dengan Yesus yang berbicara kepada kita tentang Bapa-Nya, Ia menyatakan kasih-Nya kepada kita. Dan kemudian keinginan spontan akan muncul bahkan dalam diri kita untuk menyampaikannya kepada orang-orang yang kita cintai : “Aku bertemu Sang Kasih”, “Aku bertemu Mesias”, “Aku bertemu Yesus”, “Aku menemukan makna hidupku”. Singkatnya: "Aku menemukan Allah".

 

Semoga Perawan Maria membantu kita menjadikan hidup kita madah pujian bagi Allah sebagai tanggapan atas panggilan-Nya serta pemenuhan kehendak-Nya yang rendah hati dan penuh sukacita.

 

Tetapi marilah kita mengingat hal ini : ada saatnya bagi kita masing-masing, dalam hidup kita masing-masing, yang di dalamnya Allah menjadikan diri-Nya hadir lebih kuat, dengan sebuah panggilan. Marilah kita mengingat hal itu. Marilah kita kembali ke saat itu agar bagi kita kenangan saat itu selalu memperbarui perjumpaan dengan Yesus.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan penduduk Pulau Sulawesi di Indonesia yang dilanda gempa yang kuat. Saya mendoakan orang-orang yang meninggal, yang terluka, serta semua orang yang kehilangan rumah dan pekerjaan. Semoga Tuhan menghibur dan mendukung upaya-upaya semua orang yang terlibat dalam memberikan bantuan. Marilah kita bersama-sama mendoakan saudara-saudara kita di Sulawesi, dan para korban kecelakaan pesawat yang juga terjadi di Indonesia pada Sabtu lalu.

 

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu, terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amin.

 

Hari ini, Hari untuk Memperdalam dan Mengembangkan Dialog antara Katolik dan Yahudi dirayakan di Italia. Saya senang prakarsa ini telah berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun, dan saya berharap hari tersebut dapat menghasilkan buah persaudaraan dan kerjasama yang berlimpah.

 

Besok adalah hari yang penting : Pekan Doa untuk Persatuan Umat Kristiani dimulai. Tahun ini, temanya mengacu pada nasihat Yesus : “Tinggallah di dalam kasih-Ku dan kamu akan berbuah banyak”. Dan Senin, 25 Januari 2021, kita akan menutupnya dengan perayaan Vesper di Basilika Santo Paulus Di Luar Tembok, bersama dengan perwakilan Gereja dan komunitas Kristiani lainnya yang hadir di Roma. Dalam hari-hari ini, marilah kita berdoa bersama agar keinginan Yesus dapat tercapai - agar semuanya menjadi satu : persatuan, yang selalu lebih unggul dari perselisihan.

 

Saya menyampaikan salam hangat kepada kalian semua yang terhubung melalui sarana komunikasi sosial. Kepada kalian semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makanan kalian dan sampai jumpa!

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 17 Januari 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 13 Januari 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 21)


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Marilah kita melanjutkan katekese tentang doa, dan hari ini kita akan memberi ruang pada lingkup pujian.

 

Sebagai titik awal, kita akan mengambil perikop krisis dalam kehidupan Yesus. Setelah mukjizat pertama dan keterlibatan para murid dalam pemberitaan Kerajaan Allah, perutusan Mesias mengalami krisis. Yohanes Pembaptis meragukan-Nya dan membuat Ia menerima pesan ini - Yohanes berada di dalam penjara : “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain” (Mat 11:3), karena ia merasa sangat menderita akibat tidak mengetahui apakah ia salah dalam pemberitaannya. Selalu ada saat-saat gelap, saat-saat malam rohani, dan Yohanes sedang melalui saat ini. Ada permusuhan di desa-desa di sepanjang danau, tempat Yesus telah melakukan begitu banyak tanda yang luar biasa (bdk. Mat 11:20-24). Sekarang, tepatnya di saat yang mengecewakan ini, Matius menceritakan fakta yang benar-benar mengejutkan : Yesus tidak melambungkan ratapan kepada Bapa, melainkan menaikkan madah sorak kegembiraan : “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi", kata Yesus, "karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil" (Mat 11:25). Jadi, di tengah-tengah krisis, di tengah kegelapan jiwa begitu banyak orang, seperti Yohanes Pembaptis, Yesus bersyukur kepada Bapa, Yesus memuji Bapa. Tetapi mengapa?

 

Pertama dan terutama, Ia memuji Dia karena siapa Dia : “Bapa, Tuhan langit dan bumi”. Yesus bersukacita di dalam roh-Nya karena Ia tahu dan merasakan Bapa-Nya adalah Tuhan Semesta Alam, dan malahan, Tuhan atas segala yang ada adalah “Bapa-Ku”. Pujian muncul dari pengalaman merasakan bahwa Ia adalah “Putra dari Yang Mahatinggi” ini. Yesus merasa Dia adalah Putra dari Yang Mahatinggi.

 

Dan kemudian Yesus memuji Bapa karena berkenan pada orang-orang kecil. Apa yang dialami-Nya sendiri, berkhotbah di desa-desa : orang-orang "terpelajar" dan "bijak" tetap curiga dan tertutup, yang penuh perhitungan; sementara “orang-orang kecil” membuka diri dan menyambut pesan-Nya. Hal ini hanya bisa menjadi kehendak Bapa, dan Yesus bersukacita karenanya. Kita juga harus bersukacita dan memuji Allah karena orang-orang yang rendah hati dan sederhana menyambut Injil. Ketika saya melihat orang-orang sederhana ini, orang-orang yang rendah hati yang pergi berziarah, yang pergi berdoa, yang bernyanyi, yang memuji ini, orang-orang yang mungkin kekurangan dalam banyak hal tetapi yang kerendahan hatinya menuntun mereka untuk memuji Allah … Dalam masa depan dunia dan harapan Gereja, ada "orang-orang kecil" : mereka yang tidak menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, yang sadar akan keterbatasan dan dosa-dosa mereka, yang tidak ingin menjadi tuan atas orang lain, yang, di dalam Allah Bapa, menyadari bahwa kita semua adalah saudara-saudari.

 

Oleh karena itu, pada saat kegagalan yang jelas kelihatan itu, di mana semuanya gelap, Yesus berdoa, memuji Bapa. Dan doa-Nya juga menuntun kita, para pembaca Injil, untuk menilai kegagalan pribadi kita secara berbeda, menilai secara berbeda situasi di mana kita tidak melihat dengan jelas kehadiran dan tindakan Allah, ketika kejahatan tampak menguasai dan tidak ada cara untuk menghentikannya. Pada saat-saat itu Yesus, yang sangat menganjurkan doa berupa pengajuan pertanyaan, pada saat ketika Ia memiliki alasan untuk meminta penjelasan kepada Bapa, malah mulai memuji-Nya. Tampaknya ini merupakan sebuah kontradiksi, tetapi itu ada, merupakan kebenaran.

 

Bagi siapakah pujian membantu? Bagi kita atau bagi Allah? Sebuah teks liturgi Ekaristi mengundang kita untuk berdoa kepada Allah dengan cara ini, mengatakan sebagai berikut : “Engkau tidak membutuhkan pujian kami, tetapi untuk anugerah kasih-Mu, panggil kami untuk mengucap syukur; nyanyian pujian kami tidak menjadikan kami melebihi kebesaran-Mu, tetapi kami memperoleh rahmat yang menyelamatkan kami” (Misale Romawi, Prefasi Umum IV). Dengan memberikan pujian, kita diselamatkan.

 

Doa pujian melayani kita. Katekismus mendefinisikannya seperti ini - doa pujian “mengambil bagian dalam kebahagiaan mereka yang murni hatinya : ia mencintai Allah dalam iman, sebelum ia memandang-Nya dalam kemuliaan” (no. 2639). Secara berlawanan asas, doa pujian harus dipraktekkan tidak hanya ketika hidup memenuhi kita dengan kebahagiaan, tetapi terutama pada saat-saat sulit, pada saat-saat kegelapan ketika jalan menjadi pendakian yang berat. Saat tersebut juga merupakan waktu untuk memuji. Seperti Yesus [yang] di saat gelap memuji Bapa. Karena kita belajar bahwa, melalui pendakian itu, jalan yang sulit itu, jalan yang melelahkan itu, lorong-lorong yang menuntut itu, kita bisa melihat panorama baru, cakrawala yang lebih luas. Memberi pujian seperti menghirup oksigen murni : memberi pujian memurnikan jiwa, memberi pujian membuatmu melihat jauh ke depan agar tidak tinggal terpenjara di saat yang sulit, dalam kegelapan kesulitan.

 

Ada ajaran luar biasa dalam doa yang selama delapan abad tidak pernah kehilangan detaknya, yang digubah Santo Fransiskus di akhir hayatnya : “Gita Sang Surya” atau “Gita Ciptaan”. Poverello tidak menggubahnya di saat-saat sukacita, di saat-saat sejahtera, tetapi sebaliknya, di tengah-tengah kesulitan. Fransiskus pada saat itu hampir buta, dan ia merasakan dalam jiwanya beban kesendirian yang belum pernah ia alami sebelumnya : dunia tidak berubah sejak awal khotbahnya, masih ada orang-orang yang membiarkan diri mereka tercabik-cabik oleh pertengkaran, dan selain itu, ia sadar bahwa kematian semakin dekat. Itu bisa saja merupakan saat kekecewaan, saat kekecewaan yang ekstrim dan persepsi atas kegagalannya. Tetapi Fransiskus berdoa pada saat kesedihan itu, di saat yang gelap itu : "Segala pujian adalah milik-Mu, Tuhanku". Ia berdoa dengan memberi pujian. Fransiskus memuji Allah untuk segalanya, untuk semua karunia ciptaan, dan bahkan untuk kematian, yang dengan berani ia sebut "saudari". Teladan para kudus, orang-orang Kristiani, dan juga Yesus ini, memuji Tuhan di saat-saat sulit, membukakan kita gerbang dari sebuah jalan besar menuju lingkungan Tuhan, dan pujian tersebut selalu memurnikan kita. Pujian selalu memurnikan.

 

Para kudus menunjukkan kepada kita bahwa kita selalu dapat memberikan pujian, dalam saat-saat baik maupun buruk, karena Allah adalah Sahabat yang setia. Inilah dasar pujian : Allah adalah Sahabat yang setia, dan kasih-Nya tidak pernah gagal. Ia selalu berada di samping kita, Ia selalu menunggu kita. Telah dikatakan, "Ia adalah penjaga yang dekat denganmu dan membuatmu terus berjalan dengan percaya diri". Di saat-saat sulit dan kelam, marilah kita berani berkata : “Terpujilah Engkau, ya Tuhan”. Memuji Tuhan. Hal ini akan sangat membantu kita. Terima kasih.

 

[Salam Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Semoga Pesta Pembaptisan Tuhan, yang baru saja kita rayakan, setiap hari mengingatkan kita akan baptisan kita dan mengilhami kita untuk mengikuti Yesus Kristus dengan lebih setia. Bagi kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan. Allah memberkati kalian!

 

[Ringkasan yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam rangkaian katekese kita tentang doa Kristiani, sekarang kita membahas doa pujian. Injil Matius memberitahu kita bahwa Yesus sendiri, dalam menghadapi permusuhan dan penolakan, menanggapinya dengan memuji Allah. Ia bersyukur kepada Bapa karena siapa Dia dan karena kasih-Nya dengan mengungkapkan diri-Nya “kepada anak-anak belaka” (Mat 11:25), kepada orang miskin dan rendah hati di dunia kita. Teladan pujian Yesus memanggil kita untuk menanggapi seperti yang dilakukan-Nya pada saat kita merasa Allah tidak ada atau kejahatan tampak berkuasa. Dengan cara ini, kita melihat berbagai hal dalam sudut pandang yang baru dan lebih besar, karena - seperti yang diajarkan Katekismus - melalui pujian kita ambil bagian “dalam kebahagiaan mereka yang murni hatinya : ia mencintai Allah dalam iman, sebelum ia memandang-Nya dalam kemuliaan” (No. 2639). Kita melihat hal ini dengan jelas dalam keteladanan Santo Fransiskus dari Asisi, yang menggubah Gita Ciptaan-nya yang terkenal ketika ia bermasalah dengan penyakit dan kebutaan yang akan terjadi. Dalam memuji Allah untuk segalanya, bahkan "Saudari Maut", Fransiskus, bersama dengan semua orang kudus, mengajarkan kita pentingnya, dalam segenap keadaan hidup kita, memuji Allah yang selalu setia dan yang kasih-Nya abadi.