Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 28 Desember 2022 : NATAL BERSAMA SANTO FRANSISKUS DE SALES

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi dan sekali lagi, Selamat Natal!

 

Masa liturgi mengundang kita untuk berhenti sejenak dan merenungkan misteri Natal. Dan karena hari ini – hari ini – bertepatan dengan peringatan empat abad wafatnya Santo Fransiskus de Sales, uskup dan pujangga Gereja, kita dapat mengambil petunjuk dari beberapa pemikirannya. Ia banyak menulis tentang Natal. Sehubungan dengan itu, hari ini saya dengan senang hati mengumumkan bahwa surat apostolik untuk memperingati peringatan ini diterbitkan hari ini. Judulnya adalah Totum amoris est (Segalanya Berkaitan Dengan Kasih), mengambil ungkapan khas Santo Fransiskus de Sales. Sesungguhnya, inilah yang ia tulis dalam risalahnya tentang kasih Allah; ia menulis : “Dalam Gereja yang kudus, segala sesuatu berhubungan dengan kasih, dihayati dalam kasih, dilakukan demi kasih dan berasal dari kasih” (edisi asli Italia berasal dari : Ed. Paoline, Milan 1989, hlm. 80). Dan semoga kita semua menempuh jalan kasih ini, yang begitu indah.

 

Kemudian marilah kita mencoba menggali lebih dalam misteri kelahiran Yesus, “bersama” Santo Fransiskus de Sales, yang dengan demikian menyatukan kedua peringatan tersebut.

 

Santo Fransiskus de Sales, dalam salah satu dari banyak suratnya yang ditujukan kepada Santo Jeanne Frances de Chantal, menulis sebagai berikut: “Aku membayangkan melihat Salomo di singgasana gadingnya, seluruhnya disalut dan diukir dengan indah, yang, sebagaimana dikatakan Kitab Suci kepada kita, belum pernah diperbuat yang demikian bagi sesuatu kerajaan di bumi (1Raj 10:18-20), juga tidak ada raja yang dapat dibandingkan, kemuliaan dan kemegahannya, dengan raja yang duduk di atasnya (1Raj 10:23). Tetapi, aku seratus kali lebih suka melihat Yesus yang terkasih di palungan-Nya, daripada seluruh raja di dunia di singgasana mereka”. Indahnya apa yang ia katakan. Yesus, Raja alam semesta, tidak pernah duduk di singgasana, tidak pernah : Ia lahir di kandang – kita melihatnya digambarkan demikian [menunjukkan palungan di Aula Paulus VI] – dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan; dan akhirnya Ia wafat di kayu salib dan, dibungkus dengan kain kafan, dibaringkan di dalam kubur. Memang, penginjil Lukas, dalam menceritakan kelahiran Yesus, sangat menekankan rincian palungan. Artinya sangat penting tidak hanya sebagai rincian logistik. Tetapi bagaimana memahaminya sebagai unsur simbolik? Guna memahami Mesias macam apa Dia yang lahir di Betlehem; Raja macam apa Dia, siapa Yesus itu. Melihat palungan, menatap salib, memandang hidup-Nya, suatu hidup kesederhanaan, kita dapat memahami siapa Yesus itu. Yesus adalah Putra Allah Yang menyelamatkan kita dengan menjadi manusia, seperti kita; menanggalkan kemuliaan-Nya dan merendahkan diri-Nya (bdk. Flp 2:7-8). Kita melihat misteri ini secara nyata pada titik fokus palungan, yaitu pada Sang Anak yang terbaring di dalam palungan. Ini adalah "tanda" yang diberikan Allah kepada kita pada hari Natal : pada masa para gembala di Betlehem (bdk. Luk 2:12), pada hari ini, dan akan selalu demikian. Ketika para malaikat mengumumkan kelahiran Yesus, [mereka berkata,] “Pergilah dan kamu akan menemukan Dia"; dan tandanya adalah : kamu akan menemukan seorang anak di dalam palungan. Itulah tandanya. Takhta Yesus adalah palungan atau jalan, selama hidup-Nya, berkhotbah; atau Salib di akhir hidup-Nya. Inilah takhta Raja kita.

 

Tanda ini menunjukkan kepada kita “gaya” Allah. Dan apakah gaya Allah? Jangan lupa, jangan pernah lupa : gaya Allah adalah kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan. Allah kita dekat, penuh kasih sayang, dan lembut. Gaya Allah ini terlihat dalam diri Yesus. Dengan gaya-Nya ini, Allah menarik kita kepada diri-Nya. Ia tidak mengambil kita dengan paksa, Ia tidak memaksakan kebenaran dan keadilan-Nya kepada kita. Ia tidak menyebarkan agama kepada kita, tidak! Ia ingin menarik kita dengan kasih, dengan kelembutan, dengan kasih sayang. Dalam surat lainnya, Santo Fransiskus de Sales menulis : “Magnet menarik besi, batu ambar menarik jerami. Jadi, entah kita adalah besi dalam kekerasan kita, atau jerami dalam keringanan dan ketidakberhargaan kita, kita harus mempersatukan diri kita dengan Sang Bayi mungil ini”. Kekuatan kita, kelemahan kita, semata ditetapkan dengan sendirinya di hadapan palungan, di hadapan Yesus, atau di hadapan Salib. Yesus menelanjangi, Yesus miskin; tetapi selalu dengan gaya kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan-Nya. Allah telah menemukan cara untuk menarik kita bagaimanapun diri kita : dengan kasih. Bukan kasih posesif dan egois, yang sayangnya begitu sering terjadi dengan kasih manusia. Kasih-Nya adalah karunia semata, rahmat semata, seluruhnya dan hanya demi kita, demi kebaikan kita. Maka Ia menarik kita masuk, dengan kasih yang tak bersenjata dan bahkan melucuti senjata ini. Karena ketika kita melihat kesederhanaan Yesus ini, kita pun menyingkirkan senjata kesombongan dan pergi, dengan rendah hati, untuk memohon keselamatan, memohon pengampunan, memohon terang bagi kehidupan kita, agar dapat bergerak maju. Jangan lupakan takhta Yesus. Palungan dan Salib : inilah takhta Yesus.

 

Aspek lain yang menonjol dalam palungan adalah kemiskinan – sungguh, ada kemiskinan di sana – dipahami sebagai pelepasan dari seluruh kesombongan duniawi. Ketika kita melihat uang yang dihabiskan untuk kesia-siaan… begitu banyak uang [dihabiskan] untuk kesia-siaan duniawi; begitu banyak usaha, begitu banyak mencari kesia-siaan; sementara Yesus membuat kita melihat dengan kerendahan hati. Santo Fransiskus de Sales menulis : “Allahku! puteriku, berapa banyak kasih sayang kudus yang ditimbulkan oleh kelahiran ini di dalam hati kita, terutama seluruh penolakan sempurna terhadap harta benda, kemegahan, … dunia ini. Aku tidak tahu entah aku menemukan misteri yang begitu manis yang memadukan kelembutan dengan penghematan, kasih dengan kemalangan, kemanisan dengan kekerasan. Kita melihat semua ini di dalam Kandang Natal. Ya, marilah kita berhati-hati agar tidak tergelincir ke dalam karikatur Natal duniawi. Dan ini menjadi masalah, karena ini adalah Natal. Tetapi hari ini kita melihat bahwa, bahkan jika ada "Natal lagi", dalam tanda kutip, karikatur Natal duniawi memerosotkan Natal menjadi perayaan konsumeris yang gila-gilaan. Kita ingin merayakan, kita ingin, tetapi ini bukan Natal, Natal adalah sesuatu yang lain. Kasih Allah bukanlah gula manis; Palungan Yesus menunjukkan hal itu kepada kita. Natal bukan kebaikan munafik yang menyembunyikan pengejaran kesenangan dan kenyamanan. Para sesepuh kita, yang memahami perang dan juga kelaparan, memahami hal ini dengan baik : Natal adalah sukacita dan perayaan, tentu saja, tetapi dalam kesederhanaan dan penghematan.

 

Dan marilah kita mengakhiri dengan pemikiran Santo Fransiskus de Sales yang juga telah saya kutip dalam surat apostolik saya. Ia mendiktekannya kepada para suster Visitandine - pikirkan saja! - dua hari sebelum wafatnya. Dan ia berkata: “Apakah kamu melihat bayi Yesus di dalam palungan? Ia menerima semua ketidaknyamanan pada masa itu, hawa dingin yang pahit, dan segala sesuatu yang diperkenankan Bapa terjadi pada-Nya. Ia tidak menampik sedikit penghiburan yang diberikan ibu-Nya; kita tidak diberitahu bahwa Ia pernah meraih payudara ibu-Nya, tetapi menyerahkan segalanya kepada perawatan dan perhatiannya. Demikian pula, kita sendiri hendaknya tidak menginginkan atau menampik apa pun, tetapi menerima semua yang dikirimkan Allah kepada kita, dingin yang pahit dan ketidaknyamanan masa ini”, seluruhnya. Dan di sini, saudara-saudari terkasih, ada sebuah ajaran yang luar biasa, yang datang kepada kita dari Kanak Yesus melalui hikmat Santo Fransiskus de Sales : jangan menginginkan dan menampik apa pun, terimalah segala sesuatu yang dikirimkan Allah kepada kita. Tetapi berhati-hatilah! Selalu dan hanya karena kasih, selalu dan hanya karena kasih, karena Allah mengasihi kita dan hanya menginginkan kebaikan kita.

 

Marilah kita memandang palungan, yaitu takhta Yesus; marilah kita menatap Yesus di jalan Yudea, jalan Galilea, mengkhotbahkan pesan Bapa; dan marilah kita memandang Yesus di atas takhta yang lain, di kayu salib. Inilah apa yang ditawarkan Yesus kepada kita : jalan, tetapi ini adalah jalan kebahagiaan.

Kepada kamu semua dan keluargamu, selamat Natal dan Tahun Baru!

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan penuh kasih sayang saya menyapa para peziarah berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Amerika Serikat. Kepada kamu semua dan keluargamu, saya menyampaikan harapan baik saya untuk masa Natal yang terberkati serta tahun baru yang penuh dengan sukacita dan kedamaian. Allah memberkatimu!

 

Secara khusus saya ingin memohonkan doa kamu semua untuk Paus Emeritus Benediktus, yang mendukung Gereja dalam keheningan. Ingatlah dia - ia sakit parah - memohon kepada Tuhan untuk menghibur dan mendukungnya dalam kesaksian kasih untuk Gereja ini, sampai akhir hayatnya.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari terkasih: Dalam masa Natal ini, renungan kita tentang kelahiran Yesus dapat ditingkatkan dengan beberapa pemikiran dari pujangga Gereja besar, Santo Fransiskus de Sales. Hari ini, pada peringatan empat abad wafatnya, saya telah menerbitkan surat apostolik baru untuk mengenang beberapa kekayaan ajarannya. Bagi Francis de Sales, misteri Natal mengarahkan pandangan kita kepada kemiskinan dan kesederhanaan palungan sebagai tanda jatidiri sejati Kristus sebagai Allah di antara kita. Allah, yang mengetahui kelemahan, dosa dan kekerasan hati kita, memilih untuk menarik kita dengan ikatan kasih, datang ke dunia kita sebagai seorang anak yang baru lahir. Kelahiran Yesus dengan demikian mengungkapkan kasih Allah yang benar-benar bebas, melimpah dan sungguh "melucuti". Santo Fransiskus mengajar kita untuk menyambut Tuhan ke dalam hati kita dengan dengan penuh sukacita meneladan ketidakterikatan-Nya terhadap kekayaan dan kekuasaan duniawi, dan, seperti bayi Yesus, dengan belajar “untuk tidak menginginkan dan menolak apa pun, menerima segala sesuatu yang dikirimkan Allah kepada kita”, dengan keyakinan penuh akan pemeliharaan kasih-Nya. Semoga palungan sederhana di Bethlehem mengilhami kita untuk meneladan kasih Allah yang tak terbatas itu, yang menjelma dalam diri Sang Kanak Betlehem, Sang Juruselamat dunia.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 28 Desember 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 26 Desember 2022 : PESTA SANTO STEFANUS

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi, selamat hari raya!

 

Kemarin kita merayakan Kelahiran Tuhan dan liturgi, untuk membantu kita menyambutnya dengan lebih baik, memperpanjang rentang hari raya hingga 1 Januari : selama delapan hari. Tetapi, yang mengejutkan, hari-hari ini juga memperingati beberapa tokoh dramatis para martir suci. Hari ini, misalnya, Santo Stefanus, martir kristiani pertama; lusa, orang-orang kudus yang tak berdosa, kanak-kanak yang dibunuh oleh Raja Herodes karena takut Yesus akan merebut takhtanya (bdk. Mat 2:1-18). Singkatnya, liturgi tampaknya benar-benar ingin menjauhkan kita dari dunia lampu, makan siang, dan hadiah yang mungkin kita nikmati di hari-hari ini. Mengapa?

 

Karena Natal bukanlah dongeng tentang kelahiran seorang raja, tetapi Natal adalah kedatangan Sang Juruselamat, yang membebaskan kita dari kejahatan dengan menanggung kejahatan kita : keegoisan, dosa, maut. Inilah kejahatan kita : keegoisan yang kita bawa di dalam diri kita, dosa, karena kita semua adalah orang berdosa, dan maut. Dan para martir adalah orang-orang yang paling mirip dengan Yesus. Memang, kata martir berarti saksi: para martir adalah saksi-saksi, yaitu saudara dan saudari yang, melalui hidup mereka, menunjukkan kepada kita Yesus, yang mengalahkan kejahatan dengan belas kasihan. Dan bahkan di zaman kita, banyak martir, lebih banyak daripada di masa-masa awal. Hari ini marilah kita mendoakan saudara dan saudari martir yang teraniaya ini, yang menjadi saksi-saksi Kristus. Tetapi ada baiknya kita bertanya pada diri kita : apakah aku memberikan kesaksian tentang Kristus? Dan bagaimana kita dapat berkembang dalam hal ini? Kita memang bisa terbantu dengan sosok Santo Stefanus.

 

Pertama dan terutama, Kisah Para Rasul memberitahu kita bahwa Stefanus adalah salah satu dari tujuh diakon yang telah ditahbiskan oleh komunitas Yerusalem untuk pelayanan meja, yaitu untuk amal (bdk. 6:1-6). Ini berarti kesaksian pertamanya tidak diberikan dengan kata-kata, tetapi melalui kasih yang dengannya ia melayani orang-orang yang paling membutuhkan. Tetapi Stefanus tidak membatasi dirinya pada pekerjaan bantuan ini. Ia berbicara tentang Yesus kepada orang-orang yang ditemuinya : ia berbagi iman dalam terang Sabda Allah dan ajaran para Rasul (bdk. Kis 7:1-53, 56). Inilah dimensi kedua kesaksiannya : menyambut Sabda dan menyampaikan keindahannya, menceritakan bagaimana perjumpaan dengan Yesus mengubah hidup. Hal ini sangat penting bagi Stefanus sehingga ia tidak membiarkan dirinya terintimidasi bahkan oleh ancaman para penganiayanya, bahkan ketika ia melihat keadaan menjadi buruk baginya (bdk. ayat 54). Amal dan pewartaan, inilah Stefanus. Tetapi, kesaksian terbesarnya adalah satunya lagi : ia tahu bagaimana menyatukan amal dan pewartaan. Ia menyerahkannya kepada kita pada saat kematiannya ketika, mengikuti teladan Yesus, ia mengampuni para pembunuhnya (bdk. 60; Luk 23:34).

 

Inilah jawaban kita atas pertanyaan tersebut : kita dapat meningkatkan kesaksian kita melalui amal terhadap saudara dan saudari kita, kesetiaan pada Sabda Allah, dan pengampunan. Amal, Sabda, pengampunan. Pengampunanlah yang menunjukkan apakah kita benar-benar melakukan amal terhadap orang lain, dan apakah kita menghayati Sabda Allah. Pengampunan [dalam bahasa Italia : perdono], memang sebagaimana tersirat dalam kata itu, karunia [dono] yang lebih besar, karunia yang kita berikan kepada orang lain karena kita adalah milik Yesus, diampuni oleh-Nya. Aku mengampuni karena aku telah diampuni : marilah kita tidak melupakan hal ini… Marilah kita berpikir, marilah kita masing-masing memikirkan kemampuan kita untuk mengampuni : bagaimana kemampuanku untuk mengampuni, di hari-hari yang di dalamnya mungkin kita menjumpai, di antara banyak orang, beberapa orang yang tidak akur dengan kita, yang telah menyakiti kita, yang dengan mereka kita tidak pernah memulihkan hubungan. Marilah kita memohon kepada Yesus yang baru lahir untuk kebaruan hati yang mampu mengampuni : kita semua membutuhkan hati yang mengampuni! Marilah kita memohonkan rahmat ini kepada Tuhan : Tuhan, semoga aku belajar untuk mengampuni. Marilah kita memohon kekuatan untuk mendoakan orang-orang yang menyakiti kita, mendoakan orang-orang yang menyakiti kita, serta mengambil langkah-langkah keterbukaan dan rekonsiliasi. Semoga hari ini Tuhan memberikan kita rahmat ini.

 

Semoga Maria, Ratu para martir, membantu kita bertumbuh dalam amal, kasih akan Sabda dan pengampunan.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Dalam suasana sukacita dan ketenangan rohani Natal yang kudus, saya menyapa dengan kasih sayang semua orang yang hadir di sini dan semua orang yang mengikuti kita melalui media. Saya mengulangi keinginan saya untuk perdamaian : perdamaian dalam keluarga, perdamaian dalam komunitas paroki dan keagamaan, perdamaian dalam gerakan dan lembaga, perdamaian bagi orang-orang yang tersiksa oleh perang, perdamaian untuk Ukraina yang terkasih dan diperangi. Ada begitu banyak bendera Ukraina di sini! Marilah kita memohon kedamaian bagi bangsa yang sedang menderita ini!

 

Pekan ini saya telah menerima banyak ucapan dari berbagai belahan dunia. Karena saya tidak dapat menanggapi satu per satu, saya mengucapkan terima kasih kepada semuanya, terutama atas karunia doa.

 

Saya mengucapkan Selamat Pesta Santo Stefanus kepada semuanya, dan mohon jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Desember 2022)

PESAN "URBI ET ORBI" PAUS FRANSISKUS PADA HARI RAYA NATAL 25 Desember 2022

Saudara-saudari terkasih di Roma dan di seluruh dunia, selamat Natal!

 

Semoga Tuhan Yesus, yang lahir dari Perawan Maria, membawakan kamu semua kasih Allah, sumber keyakinan dan harapan, bersama dengan karunia perdamaian yang diwartakan oleh malaikat kepada para gembala Betlehem : “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:14).

 

Di hari raya ini, kita mengalihkan pandangan ke Betlehem. Tuhan datang ke dunia dalam kandang dan dibaringkan di dalam palungan hewan, karena kedua orangtua-Nya tidak dapat menemukan kamar di penginapan, meskipun waktunya telah tiba bagi Maria untuk melahirkan. Ia datang di antara kita dalam keheningan dan kegelapan malam, karena sabda Allah tidak membutuhkan lampu sorot atau lantangnya suara manusia. Ia sendiri adalah Sabda yang memberi makna pada kehidupan, Ia adalah Terang yang menerangi jalan kita. “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang” – Injil memberitahu kita – “sedang datang ke dalam dunia” (Yoh 1:9).

 

Yesus lahir di tengah-tengah kita; Ia adalah Allah beserta kita. Ia datang untuk menyertai hidup kita sehari-hari, ambil bagian dengan kita dalam segala hal : suka dan duka kita, harapan dan ketakutan kita. Ia datang sebagai Anak yang tak berdaya. Ia lahir di malam yang dingin, miskin di antara kaum miskin. Membutuhkan segalanya, Ia mengetuk pintu hati kita untuk menemukan kehangatan dan perlindungan.

 

Seperti para gembala di Bethlehem, dikelilingi terang, semoga kita berangkat untuk melihat tanda yang telah diberikan Allah kepada kita. Semoga kita mengatasi rasa kantuk rohani kita dan gemerlap liburan yang dangkal yang membuat kita melupakan Dia yang kelahiran-Nya sedang kita rayakan. Marilah kita tinggalkan rona dan hiruk-pikuk yang mematikan hati kita dan membuat kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyiapkan dekorasi dan hadiah daripada merenungkan peristiwa besar : Putra Allah lahir untuk kita.

 

Saudara-saudari, marilah kita mengalihkan pandangan kita ke Betlehem, dan mendengarkan tangisan lemah pertama dari Sang Raja Damai. Karena sungguh Yesus adalah damai sejahtera kita. Damai sejahtera yang tidak bisa diberikan dunia, damai sejahtera yang diberikan Allah Bapa kepada umat manusia dengan mengutus Putra-Nya ke dunia. Santo Leo Agung merangkum pesan hari ini dalam frasa Latin yang ringkas : Natalis Domini, natalis est pacis: “kelahiran Tuhan adalah kelahiran damai sejahtera” (Khotbah 26,5).

 

Yesus Kristus juga merupakan jalan damai sejahtera. Dengan penjelmaan, sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, Ia telah membuka jalan yang menuntun dari dunia yang tertutup dan tertindas oleh bayang-bayang gelap permusuhan dan perang, menuju dunia yang terbuka dan bebas untuk hidup dalam persaudaraan dan kedamaian. Saudara-saudari, marilah kita ikuti jalan itu! Tetapi untuk melakukannya, dapat mengikuti Yesus, kita harus melepaskan diri dari beban yang membebani kita dan menghalangi jalan kita.

Apakah beban-beban itu? Apa bobot mati itu? Kekuatan negatif yang juga menghalangi Raja Herodes dan istananya untuk mengakui dan menyambut kelahiran Yesus : keterikatan pada kekuasaan dan uang, kesombongan, kemunafikan, kepalsuan. Kekuatan-kekuatan ini menahan kita untuk pergi ke Betlehem; semua itu mengecualikan kita dari rahmat Natal dan menghalangi jalan masuk menuju jalan damai. Memang, kita harus mengakui dengan sedih bahwa, bahkan ketika Sang Raja Damai diberikan kepada kita, angin perang dingin terus menerpa umat manusia.

 

Jika kita menginginkannya menjadi Natal, kelahiran Yesus dan kelahiran damai, marilah kita melihat ke Betlehem dan merenungkan wajah Anak yang dilahirkan untuk kita! Dan di wajah kecil dan polos itu, marilah kita melihat wajah semua anak yang, di mana pun di dunia ini, merindukan perdamaian.

 

Marilah kita juga melihat wajah saudara-saudari Ukraina kita yang mengalami Natal ini dalam kegelapan dan dingin, jauh dari rumah mereka karena kehancuran akibat perang selama sepuluh bulan. Semoga Tuhan mengilhami kita untuk menawarkan gerakan kesetiakawanan nyata untuk membantu semua orang yang menderita, dan semoga Ia mencerahkan pikiran mereka yang memiliki kekuatan untuk membungkam gemuruh senjata dan segera mengakhiri perang yang tidak masuk akal ini! Tragisnya, kita lebih suka mengindahkan nasihat lain, yang didikte oleh cara berpikir duniawi. Tetapi siapa yang sedang mendengarkan suara Sang Anak?

 

Kita juga sedang mengalami masa kelaparan perdamaian yang parah di wilayah lain dan teater perang dunia ketiga lainnya. Marilah kita memikirkan Suriah, yang masih diliputi oleh pertikaian yang telah mereda tetapi belum berakhir. Marilah kita juga memikirkan Tanah Suci, di mana kekerasan dan konfrontasi meningkat dalam beberapa bulan terakhir, membawa kematian dan cedera setelahnya. Marilah kita memohon kepada Tuhan agar di sana, di tanah yang memberi kesaksian tentang kelahiran-Nya, dialog dan upaya untuk membangun rasa saling percaya antara Palestina dan Israel dapat dilanjutkan. Semoga Kanak Yesus menopang komunitas-komunitas Kristiani yang tinggal di Timur Tengah, sehingga masing-masing negara tersebut dapat merasakan indahnya hidup berdampingan penuh persaudaraan antarindividu yang berbeda keyakinan. Semoga Kanak Kristus membantu Lebanon khususnya, agar pada akhirnya dapat bangkit kembali dengan bantuan komunitas internasional serta dengan kekuatan yang lahir dari persaudaraan dan kesetiakawanan. Semoga terang Kristus menyinari wilayah Sahel, di mana hidup berdampingan secara damai di antara bangsa-bangsa dan tradisi-tradisi terganggu oleh pertikaian dan tindak kekerasan. Semoga terang itu menuntun kepada gencatan senjata abadi di Yaman serta rekonsiliasi di Myanmar dan Iran, dan mengakhiri seluruh pertumpahan darah. Semoga otoritas politik dan semua orang yang berkehendak baik di Amerika terilhami untuk berusaha meredakan ketegangan politik dan sosial yang dialami berbagai negara; saya khususnya memikirkan rakyat Haiti telah lama menderita.

 

Pada hari ini, saat kita duduk mengelilingi meja yang terbentang dengan baik, semoga kita tidak mengalihkan pandangan kita dari Betlehem, sebuah kota yang namanya berarti “rumah roti, bahkan memikirkan juga semua orang, terutama anak-anak, yang kelaparan sementara sejumlah besar makanan setiap hari terbuang sia-sia dan sumber daya dihabiskan untuk senjata. Perang di Ukraina semakin memperparah situasi ini, membuat seluruh rakyat terancam kelaparan, terutama di Afghanistan dan di negara-negara Tanduk Afrika. Kita tahu bahwa setiap perang menyebabkan kelaparan dan mengeksploitasi makanan sebagai senjata, menghalangi penyalurannya kepada orang-orang yang sudah menderita. Pada hari ini, marilah kita belajar dari Sang Raja Damai dan, dimulai dari mereka yang memegang tanggung jawab politik, berkomitmen untuk membuat makanan semata-mata sebagai alat perdamaian. Dan saat kita menikmati berkumpul dengan orang-orang yang kita kasihi, marilah kita memikirkan keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan besar dan mereka yang, di masa krisis ekonomi ini, sedang berjuang karena menganggur dan kekurangan kebutuhan hidup.

 

Saudara-saudari terkasih, hari ini sebagaimana sebelumnya, Yesus, terang sejati, datang ke dunia yang sakit parah oleh ketidakpedulian, dunia yang tidak menerima-Nya (bdk. Yoh 1:11) dan sungguh menolak-Nya, seperti halnya terhadap banyak orang asing, atau mengabaikan-Nya, seperti yang sering kita lakukan terhadap orang miskin. Hari ini semoga kita tidak melupakan banyak orang terlantar dan pengungsi yang mengetuk pintu kita untuk mencari kenyamanan, kehangatan dan makanan. Janganlah kita melupakan orang-orang yang terpinggirkan, mereka yang hidup sendirian, para anak yatim, kaum tua – yang merupakan kebijaksanaan bangsa mereka – yang berisiko disingkirkan, dan para tahanan, yang kita anggap semata-mata karena kesalahan yang mereka buat dan bukan sebagai sesama kita manusia.

 

Saudara dan saudari, Betlehem menunjukkan kepada kita kesederhanaan Allah, yang menyatakan diri-Nya bukan kepada orang bijak dan pandai, tetapi kepada orang kecil, kepada mereka yang berhati murni dan terbuka (bdk. Mat 11:25). Seperti para gembala, marilah kita juga berangkat dengan tergesa-gesa dan membiarkan diri kita terkagum-kagum dengan kejadian tak terduga Allah yang menjadi manusia demi keselamatan kita. Ia, sumber segala kebaikan, menjadikan diri-Nya miskin,[1] meminta sebagai sedekah kemanusiaan kita yang malang. Marilah kita memperkenankan diri kita digerakkan secara mendalam oleh kasih Allah. Dan marilah kita mengikuti Yesus, yang menanggalkan kemuliaan-Nya untuk memberi kita bagian dalam kepenuhan-Nya.[2]

______

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2022)



[1]bdk. Santo Gregorius dari Nazianze, Or. 45.

[2]bdk. Idem.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 21 Desember 2022 : KATEKESE TENTANG PEMBEDAAN ROH (BAGIAN 13) – PENUTUP

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi, dan selamat datang!

 

Marilah kita melanjutkan – kita mengakhiri – katekese tentang pembedaan roh. Siapa pun yang telah mengikuti katekese ini sampai sekarang mungkin berpikir : betapa rumitnya praktik pembedaan roh! Pada kenyataannya, hidup yang rumit dan, jika kita tidak belajar membacanya, serumit itu, kita berisiko menyia-nyiakan hidup kita, menggunakan strategi yang pada akhirnya mengecewakan kita.

 

Dalam pertemuan pertama, kita melihat bahwa setiap hari, mau atau tidak, kita selalu melakukan tindakan pembedaan roh tentang apa yang kita makan, baca, di tempat kerja, dalam hubungan kita, segala sesuatunya. Hidup selalu menghadirkan pilihan bagi kita, dan jika kita tidak membuat pilihan secara sadar, pada akhirnya hiduplah yang memilihkan kita, membawa kita ke tempat yang tidak kita inginkan.

 

Tetapi, pembedaan roh tidak dilakukan sendirian. Hari ini, marilah kita melihat secara lebih khusus pada beberapa alat bantu dalam hal ini yang dapat memfasilitasi pelaksanaan pembedaan roh yang sangat diperlukan ini dalam kehidupan rohani, bahkan jika dalam beberapa hal kita telah menjumpainya selama katekese ini. Tetapi sebuah rangkuman akan banyak membantu kita.

 

Salah satu sokongan pertama yang sangat diperlukan adalah mengevaluasi dengan sabda Allah dan ajaran Gereja. Keduanya membantu kita membaca apa yang menggerakkan hati kita, belajar mengenali suara Tuhan dan membedakannya dari suara lain yang tampaknya bersaing untuk mendapatkan perhatian kita, tetapi pada akhirnya membuat kita bingung. Kitab Suci memperingatkan kita bahwa suara Allah bergema dalam kesunyian, dalam perhatian, dalam keheningan. Marilah kita mengingat kembali pengalaman Nabi Elia : Tuhan tidak berbicara kepadanya dalam angin yang memecahkan bukit-bukit batu, atau dalam api atau gempa bumi, tetapi Ia berbicara kepadanya dalam angin sepoi-sepoi basa (bdk. 1 Raj 19:11 -12). Ini adalah gambaran yang sangat indah yang membantu kita memahami bagaimana Allah berbicara. Suara Allah tidak memaksakan dirinya; suara Allah bijaksana, penuh hormat – perkenankan saya mengatakan, suara Allah rendah hati – dan, karena alasan itu, menghasilkan damai. Dan hanya dalam kedamaianlah kita dapat masuk secara mendalam ke dalam diri kita dan mengenali keinginan-keinginan otentik yang telah ditempatkan Allah di dalam hati kita. Seringkali tidak mudah untuk masuk ke dalam kedamaian hati tersebut karena kita sangat sibuk dengan ini, itu dan itu, sepanjang hari… Tetapi, tolong, sedikit tenangkanlah dirimu, masuklah ke dalam dirimu, ke dalam dirimu sendiri. Berhentilah selama dua menit. Berikanlah kesaksian tentang apa yang sedang dirasakan hatimu. Marilah kita melakukannya, saudara-saudara, itu akan sangat membantu kita karena pada saat tenang tersebut, suara Allah langsung berkata, “Nah, lihat ini, lihat itu, apa yang kamu lakukan itu baik…”. Saat kita membiarkan diri kita tenang, suara Allah segera terdengar. Ia sedang menunggu kita untuk melakukan ini.

 

Bagi orang percaya, sabda Allah bukan sekadar teks untuk dibaca. Sabda Allah adalah kehadiran yang hidup, sabda Allah adalah karya Roh Kudus yang menghibur, mengajar, memberi terang, kekuatan, penyegaran, dan semangat hidup. Membaca Kitab Suci, membaca sepenggal, satu atau dua perikop Kitab Suci, bagaikan telegram pendek dari Allah yang langsung masuk ke hati. Sabda Allah itu sekelumit – dan saya tidak melebih-lebihkan di sini – sabda Allah adalah sekelumit cita rasa surga yang menjadi nyata. Seorang santo dan gembala yang hebat, Ambrosius, Uskup Milan, memahami hal ini dengan baik, ketika ia menulis : “Ketika aku membaca Kitab Suci, Allah kembali dan berjalan di surga duniawi” (Surat-surat, 49.3). Dengan Kitab Suci, kita membuka pintu bagi Allah yang sedang berjalan-jalan. Menarik.

 

Hubungan afektif dengan Kitab Suci, dengan Injil, membawa kita untuk mengalami hubungan afektif dengan Tuhan Yesus. Janganlah takut akan hal ini! Hati berbicara dengan hati. Dan ini adalah sokongan lain yang sangat diperlukan yang tidak boleh dianggap remeh. Kita sering memiliki gagasan yang menyimpang tentang Allah, menganggapnya sebagai hakim yang cemberut, hakim yang keras, siap menangkap kita saat beraksi. Sebaliknya, Yesus menyatakan Allah yang penuh belas kasihan dan kelembutan bagi kita, siap mengorbankan diri-Nya agar bisa datang kepada kita, seperti bapa dalam perumpamaan anak yang hilang (bdk. Luk 15:11-32). Suatu kali, seseorang bertanya – saya tidak tahu apakah seorang ibu atau nenek yang mengatakan hal ini kepada saya – “Apa yang harus kulakukan saat ini?” – “Baiklah, dengarkanlah Allah, Ia akan memberitahumu apa yang harus kamu lakukan. Bukalah hatimu untuk Allah”. Ini saran yang bagus. Saya ingat suatu kali, ada ziarah kaum muda yang dilakukan setahun sekali ke Gua Maria Lujan, 70 km jauhnya dari Buenos Aires. Dibutuhkan sepanjang hari untuk bepergian ke sana. Saya biasa mendengar pengakuan dosa pada malam hari. Seorang pemuda, yang berusia sekitar 22 tahun, dengan penuh tato datang … “Allahku”, saya berpikir, “siapa orang ini?” Dan ia berkata kepada saya, “Kamu tahu, aku datang karena aku memiliki masalah serius, dan aku memberitahu ibuku, dan ibuku memberitahuku, ‘Pergilah kepada Bunda Maria. Berziarahlah dan Bunda Maria akan memberitahumu’. Dan aku datang. Aku berhubungan dengan Kitab Suci di sini. Aku mendengarkan sabda Allah dan sabda itu menyentuh hatiku dan aku perlu melakukan ini, ini, ini, ini”. Sabda Allah menyentuh hati dan mengubah hidupmu. Dan saya telah menyaksikan ini berkali-kali. Karena Tuhan tidak ingin menghancurkan kita. Tuhan ingin kita menjadi lebih kuat, lebih baik, setiap hari.

 

Siapa pun yang tetap berada di depan Salib merasakan kedamaian yang baru ditemukan, belajar untuk tidak takut kepada Allah karena di kayu salib, Yesus tidak menakuti siapa pun. Gambaran kelemahan sempurna, dan, pada saat yang sama, kasih sempurna, yang mampu menghadapi pencobaan apa pun demi kita. Para kudus selalu tertarik pada Yesus yang tersalib. Kisah Sengsara Yesus adalah cara paling pasti untuk menghadapi kejahatan tanpa dikuasai olehnya. Tidak ada penghakiman di sana, bahkan tidak ada pengunduran diri, karena dipancarkan dengan cahaya terbesar, cahaya Paskah, yang memungkinkan kita untuk melihat dalam perbuatan mengerikan itu sebuah rencana yang lebih besar yang tidak dapat digagalkan oleh rintangan, hambatan atau kegagalan. Sabda Allah selalu membuat kita melihat ke sisi lain – yaitu, salib ada di sini, ini mengerikan, tetapi ada sesuatu yang lain, harapan, kebangkitan. Sabda Allah membuka setiap pintu karena Ia adalah pintu, Ia adalah Tuhan. Marilah kita ambil Injil, ambil Kitab Suci – 5 menit sehari, tidak lebih. Bawalah Injil seukuran saku, di dompetmu, dan saat kamu bepergian, bacalah sedikit. Bacalah perikop pendek di siang hari. Perkenankan sabda Allah mendekat ke hatimu.

 

Lakukan ini dan kamu akan melihat bagaimana hidupmu akan berubah, dengan kedekatan sabda Allah. “Ya, Bapa, tetapi aku terbiasa membaca kehidupan para kudus”. Ini bagus. Tetapi jangan mengabaikan sabda Allah. Ambillah Injil. Satu menit setiap hari….

 

Sangatlah indah membayangkan hidup kita bersama Tuhan sebagai hubungan dengan seorang sahabat yang bertumbuh dari hari ke hari. Persahabatan dengan Allah. Pernahkah kamu memikirkan hal ini? Namun, inilah jalannya! Marilah kita berpikir tentang Allah yang memberi kita… bukankah Allah memberi kita begitu banyak? Allah mengasihi kita, Ia ingin kita menjadi sahabat-Nya. Persahabatan dengan Allah mampu mengubah hati. Kesalehan adalah salah satu karunia besar Roh Kudus, yang memberi kita kemampuan untuk mengenali kebapaan Allah. Kita memiliki seorang Bapa yang lembut, seorang Bapa yang penuh kasih sayang, seorang Bapa yang mengasihi kita, yang selalu mengasihi kita. Saat kita mengalami hal ini, hati kita luluh dan keraguan, ketakutan, perasaan tidak berharga sirna. Tidak ada yang dapat menghalangi kasih yang berasal dari hubungan dengan Tuhan ini.

 

Dan kasih ini mengingatkan kita akan pertolongan besar lainnya, karunia Roh Kudus, yang hadir dalam diri kita dan yang mengajar kita, membuat Sabda Allah yang kita baca menjadi hidup, memberi makna baru, membuka pintu yang tampaknya tertutup, menunjukkan jalan dalam kehidupan di mana tampaknya hanya ada kegelapan dan kebingungan. Saya bertanya kepadamu – Apakah kamu berdoa kepada Roh Kudus? Tetapi siapakah Dia? Sosok yang Agung Tidak Dikenal. Tentu, kita berdoa kepada Bapa dengan doa Bapa Kami. Kita berdoa kepada Yesus. Tetapi kita melupakan Roh Kudus! Suatu kali ketika saya sedang melakukan katekese dengan anak-anak, saya mengajukan pertanyaan, “Siapakah di antara kamu yang mengenal siapa Roh Kudus itu?” Dan salah seorang dari mereka berkata, "Aku tahu!" – “Dan siapa dia?” – “Si lumpuh”, ia menjawabku! Ia telah mendengar, "Parakletos", tetapi memikirkannya "lumpuh". Seberapa sering – hal ini membuat saya berpikir – Roh Kudus ada di sana seperti Pribadi yang tidak diperhitungkan. Roh Kuduslah yang menghidupkan jiwa! Perkenankanlah Ia masuk. Berbicara dengan Roh Kudus sama seperti kamu berbicara dengan Bapa, seperti kamu berbicara dengan Putra. Berbicara dengan Roh Kudus – siapa yang lumpuh, bukan? Ia adalah kekuatan Gereja, Ia yang akan menuntunmu maju. Roh Kudus adalah pembedaan roh dalam tindakan, kehadiran Allah di dalam diri kita. Ia adalah karunia, karunia terbesar yang dijamin oleh Bapa kepada mereka yang memintanya (bdk. Luk 11:13). Dan Yesus memanggilnya apa? “Karunia” – “Tinggallah di sini di Yerusalem dan nantikan karunia Allah”, yaitu Roh Kudus. Sangat menarik untuk menjalani hidup kita dalam persahabatan dengan Roh Kudus. Ia mengubahmu. Ia membuatmu bertumbuh.

Liturgi Harian membuka saat-saat utama doa harian dengan doa ini : “Ya, Allah, bersegeralah menolong aku”. "Allah, tolonglah aku!" karena sendirian aku tidak bisa bergerak maju, aku tidak bisa mengasihi, aku tidak bisa hidup…. Doa untuk keselamatan ini adalah permohonan yang tidak dapat ditahan yang mengalir dari kedalaman keberadaan kita. Tujuan dari pembedaan roh adalah untuk mengenali keselamatan yang sedang dikerjakan Allah dalam hidupku. Mengingatkan saya bahwa saya tidak pernah sendirian dan, jika saya sedang berjuang, itu karena taruhannya tinggi. Roh Kudus selalu bersama kita. “Ya, Bapa, aku telah melakukan sesuatu yang sangat buruk. Aku harus pergi ke pengakuan dosa. Aku tidak bisa melakukan apapun…". Oke, kamu telah melakukan sesuatu yang buruk? Bicaralah dengan Roh yang menyertaimu dan katakan padanya, “Tolonglah aku, aku melakukan hal yang sangat mengerikan ini…” Jangan pernah meninggalkan dialog dengan Roh Kudus ini. “Bapa, saya dalam dosa berat” – itu tidak masalah. Bicaralah dengan-Nya sehingga Ia sudi membantumu dan mengampunimu. Jangan pernah meninggalkan dialog dengan Roh Kudus ini. Dan dengan sokongan yang diberikan Tuhan kepada kita, tidak perlu takut. Maju terus, dengan berani dan penuh sukacita!

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini. Dalam hari-hari terakhir sebelum perayaan Natal ini, saya memohonkan bagimu dan keluargamu sukacita dan damai dalam Tuhan Yesus, Putra Allah dan Raja Damai. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan pleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Hari ini kita mengakhiri rangkaian katekese kita tentang pembedaan roh dengan membahas beberapa penyokong yang dapat membantu kita untuk dengan benar melakukan pembedaan roh terhadap kehendak Allah bagi kehidupan dan kebahagiaan kita. Kita awali, secara alami, bersama perjumpaan dengan sabda Allah dan ajaran Gereja. Doa hening dengan Kitab Suci membantu kita merasakan kehadiran Tuhan, mendengarkan suara-Nya, dan menyadari keinginan hati kita yang terdalam. Dengan cara ini, kita bertumbuh dalam kasih dan kedekatan dengan Yesus, yang meyakinkan kita akan kasih Bapa yang maharahim dan, melalui wafat-Nya di kayu Salib, menyatakan kuasa Allah yang memberikan kehidupan dari kematian dan kebaikan dari kejahatan. Persahabatan dengan Yesus dan percaya pada tuntunan Allah atas hidup kita adalah karunia Roh Kudus yang luar biasa, yang bersemayam di dalam hati kita dan mengilhami pembedaan roh kita dalam setiap tahapan. Dalam doa harian Gereja, setiap jam kanonik dimulai dengan memohon Allah untuk menolong kita. Dengan memercayai pertolongan itu, semoga kita belajar untuk dengan bijak melakukan pembedaan roh terhadap jalan yang menuntun kita kepada Bapa dan menanggapi setiap hari tawaran kasih-Nya yang menyelamatkan.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 21 Desember 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 18 Desember 2022 : ALLAH DAPAT MENGUBAH KRISIS MENJADI CAKRAWALA BARU

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, Hari Minggu Adven IV dan terakhir, liturgi menghadirkan sosok Santo Yusuf kepada kita (bdk. Mat 1:18-24). Ia adalah seorang yang tulus hati yang akan menikah. Kita bisa membayangkan apa impiannya di masa depan – keluarga yang indah, dengan istri yang penuh kasih sayang dan banyak anak-anak yang luar biasa, serta pekerjaan yang layak – mimpi yang sederhana dan baik, mimpi orang-orang sederhana dan baik. Tetapi tiba-tiba, mimpi-mimpi ini dihadapkan kepada kedapatan yang membingungkan. Maria, tunangannya, sedang mengandung, dan anak itu bukan anaknya! Apa yang akan dirasakan Yusuf? Terkejut, menderita, bingung, bahkan mungkin jengkel dan kecewa…. Bahkan … Ia mengalami dunia di sekelilingnya sedang berantakan! Dan apa yang harus ia lakukan?

 

Hukum memberinya dua pilihan. Pilihan pertama adalah mendakwa Maria dan membuatnya membayar harga atas dugaan perselingkuhannya. Pilihan kedua adalah menceraikan Maria dengan diam-diam agar Maria tidak terkena skandal dan hukuman yang berat, yaitu menanggung beban rasa malu. Maka, Yusuf memilih pilihan kedua ini, yaitu jalan belas kasihan. Dan lihatlah, di puncak krisisnya, tepat ketika ia memikirkan dan mempertimbangkan semua ini, Allah memberinya cahaya baru di hatinya – Ia menyatakan kepadanya dalam mimpi bahwa keibuan Maria tidak terjadi karena pengkhianatan, tetapi berkat karya Roh Kudus, dan anak yang akan dilahirkannya akan menjadi Juruselamat (bdk. ayat 20-21), dan Maria akan menjadi Bunda Mesias, dan ia akan menjadi pelindung-Nya. Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf memahami bahwa mimpi terbesar setiap orang Israel yang saleh – untuk menjadi bapa sang Mesias – tergenapi baginya dengan cara yang sama sekali tidak terduga.

 

Sesungguhnya, untuk mencapai hal ini tidak cukup menjadi bagian garis keturunan Daud dan menjadi seorang pemelihara hukum yang setia, tetapi orang terutama harus mempercayakan dirinya kepada Allah, menyambut Maria dan Putranya dengan cara yang sama sekali berbeda dari yang diharapkan, berbeda dari yang pernah dilakukan. Dengan kata lain, Yusuf harus meninggalkan seluruh kepastian yang meyakinkan, rencananya yang sempurna, pengharapannya yang sah, dan membuka diri terhadap masa depan yang sepenuhnya dapat ditemukan. Dan di hadapan Allah, yang mengganggu rencananya dan meminta agar ia mempercayai-Nya, Yusuf mengatakan "ya". Keberanian Yusuf adalah kepahlawanan dan dilaksanakan dalam diam – keberaniannya adalah percaya, ia menyambut, ia bersedia, ia tidak meminta jaminan lebih lanjut.

 

Saudara-saudari, apa yang dikatakan Yusuf kepada kita hari ini? Kita juga memiliki mimpi, dan mungkin kita lebih memikirkannya, kita membicarakannya bersama saat Natal. Mungkin kita meratapi beberapa mimpi yang telah hancur dan kita melihat bahwa pengharapan terbaik kita seringkali perlu disatukan dengan situasi yang tidak terduga dan membingungkan. Dan ketika ini terjadi, Yusuf menunjukkan caranya kepada kita. Kita tidak perlu menyerah pada perasaan negatif, seperti kemarahan atau keterasingan – ini cara yang salah! Sebaliknya, kita perlu menyambut kejutan dengan penuh perhatian, kejutan dalam hidup, bahkan krisis. Ketika kita menemukan diri kita dalam krisis, kita tidak boleh membuat keputusan dengan cepat atau secara naluriah, tetapi membiarkannya melewati saringan, seperti yang dilakukan Yusuf yang “mempertimbangkan segala sesuatu” (bdk. ayat 20), dan melandaskan diri kita pada kepastian yang mendasari kemurahan Allah. Ketika seseorang mengalami krisis tanpa menyerah pada keterasingan, kemarahan, dan ketakutan, tetapi tetap membuka pintu bagi Allah, Ia dapat campur tangan. Ia adalah pakar dalam mengubah rupa krisis menjadi mimpi – ya, Allah membuka krisis menuju cakrawala baru yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, mungkin tidak seperti yang kita harapkan, tetapi dengan cara yang Ia tahu caranya. Dan ini, saudara-saudari, adalah cakrawala Allah – mengejutkan – tetapi jauh lebih agung dan indah daripada cakrawala kita! Semoga Perawan Maria membantu kita hidup terbuka terhadap kejutan Allah.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Saya prihatin dengan situasi yang tercipta di Koridor Lachin di Kaukasus Selatan. Saya sangat prihatin dengan kondisi genting kemanusiaan penduduk yang berisiko semakin memburuk selama musim dingin. Saya meminta semua orang yang terlibat untuk berketetapan hati untuk mengusahakan penyelesaian damai demi kebaikan rakyat.

 

Selain itu, marilah kita juga berdoa untuk perdamaian di Peru, agar kekerasan di negara itu dapat dihentikan serta jalan dialog dapat dimulai untuk mengatasi krisis politik dan sosial yang melanda penduduk.

 

Saya menyapa kamu semua dengan kasih sayang, kamu yang datang dari Roma, dari Italia, dan dari berbagai belahan dunia. Secara khusus saya menyapa umat dari California, dan umat yang berasal dari Madrid, serta kelompok-kelompok dari Praia A Mare, Catania, Caraglio, dan dari Paroki Santi Protomartiri Roma.

 

Marilah kita mohon kepada Perawan Maria, yang liturginya mengundang kita untuk berkontemplasi pada Minggu Adven IV ini, menjamah hati orang-orang yang dapat menghentikan perang di Ukraina. Janganlah kita lupakan penderitaan rakyat tersebut, terutama bayi, orang tua, orang sakit. Marilah kita berdoa. Marilah kita berdoa.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu dan semoga perjalananmu selama tahap terakhir Masa Adven ini dapat berjalan dengan baik. Tolong jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa.

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 18 Desember 2022)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI PERDAMAIAN DUNIA KE-56 1 JANUARI 2023

Tidak ada yang bisa diselamatkan sendirian.

Memerangi Covid-19 bersama-sama, bersama-sama memulai jalan perdamaian

"Tetapi tentang zaman dan masa, saudara-saudara, tidak perlu dituliskan kepadamu, karena kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang seperti pencuri pada malam" (1 Tes 5:1-2)

1.       Dengan kata-kata ini, Rasul Paulus mendorong jemaat Tesalonika untuk tetap tabah, hati dan kaki mereka kokoh tertanam dan pandangan mereka tertuju pada dunia di sekitar mereka dan peristiwa sejarah, bahkan saat mereka menanti kedatangan Tuhan untuk kedua kalinya. Ketika peristiwa tragis tampak menguasai hidup kita, dan kita merasa terjun ke dalam pusaran ketidakadilan dan penderitaan yang gelap dan sulit, kita juga dipanggil untuk menjaga hati kita terbuka untuk berharap dan percaya kepada Allah, yang menjadikan diri-Nya hadir, menyertai kita dengan kelembutan, menopang kita dalam keletihan kita dan, terutama, membimbing jalan kita. Karena itu, Santo Paulus terus-menerus mengimbau jemaat untuk berjaga-jaga, mengusahakan kebaikan, keadilan dan kebenaran : “Sebab itu baiklah jangan kita tidur seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadar” (5:6). Kata-katanya adalah ajakan untuk tetap berjaga-jaga dan tidak menarik diri ke dalam ketakutan, kesedihan atau kepasrahan, atau menyerah pada kebingungan atau keputusasaan. Sebaliknya, kita harus seperti penjaga yang berjaga-jaga dan siap untuk melihat cahaya pertama fajar, bahkan di saat paling gelap sekalipun.

 

2.     Covid-19 menjerumuskan kita ke dalam malam yang kelam. Covid-19 menggoyahkan kehidupan kita sehari-hari, mengganggu rencana dan rutinitas kita, serta mengganggu ketenangan bahkan masyarakat yang paling makmur sekalipun. Covid-19 menimbulkan kehilangan pedoman dan penderitaan serta menyebabkan kematian banyak saudara-saudari kita.

 

Di tengah badai tantangan tak terduga dan menghadapi situasi yang membingungkan bahkan dari sudut pandang ilmiah, petugas layanan kesehatan dunia bergerak untuk meringankan penderitaan yang luar biasa dan mencari penyelesaian yang memungkinkan. Pada saat yang sama, otoritas politik harus mengambil langkah-langkah untuk mengatur dan mengelola upaya tanggap darurat.

 

Selain aspek fisiknya, umumnya Covid-19 menyebabkan perasaan tidak enak ragawi pada banyak individu dan keluarga; masa keterasingan yang lama dan berbagai pembatasan kebebasan berkontribusi pada perasaan tidak enak ini, dengan dampak jangka panjang yang hakiki.

 

Kita juga tidak dapat mengabaikan keretakan dalam tatanan sosial dan ekonomi kita yang disingkapkan oleh pandemi, serta kontradiksi serta kesenjangan yang ditimbulkannya. Jaminan pekerjaan banyak individu terancam dan masalah kesepian dalam masyarakat kita yang terus meningkat, terutama di pihak kaum miskin dan orang-orang yang membutuhkan, memperburuk. Kita perlu memikirkan jutaan pekerja informal di pelbagai belahan dunia yang dibiarkan tanpa pekerjaan dan tanpa dukungan apa pun selama masa penguncian.

 

Jarang individu dan masyarakat mencapai kemajuan dalam kondisi yang menimbulkan perasaan putus asa dan kepahitan, yang melemahkan upaya untuk menjamin perdamaian sekaligus memicu pertikaian sosial, rasa frustrasi, dan berbagai bentuk kekerasan. Memang, pandemi tampaknya telah mengganggu bahkan bagian paling damai di dunia kita, dan mengungkap berbagai bentuk kerapuhan.

 

3.     Tiga tahun berlalu, waktu yang tepat untuk mempertanyakan, belajar, bertumbuh dan memperkenankan diri kita berubah baik sebagai individu maupun sebagai komunitas; ini adalah saat istimewa untuk bersiap bagi “hari Tuhan”. Saya telah mengamati dalam beberapa kesempatan bahwa kita tidak pernah muncul sama dari masa-masa krisis : kita muncul entah lebih baik atau lebih buruk. Hari ini kita ditanya : Apa yang kita pelajari dari pandemi? Jalan baru apa yang harus kita ikuti untuk mengenyahkan belenggu kebiasaan lama kita, agar lebih siap, berani melakukan hal-hal baru? Tanda-tanda kehidupan dan harapan apa yang dapat kita lihat, untuk membantu kita maju dan berusaha menjadikan dunia kita tempat yang lebih baik?

 

Tentunya, setelah mengalami langsung kerapuhan hidup kita dan dunia di sekitar kita, kita dapat mengatakan bahwa pelajaran terbesar yang kita pelajari dari Covid-19 adalah kesadaran bahwa kita semua saling membutuhkan. Harta kita yang terbesar namun paling rapuh adalah kemanusiaan kita bersama sebagai saudara dan saudari, anak-anak Allah. Dan tidak seorang pun dari kita dapat diselamatkan sendirian. Oleh karena itu, kita sangat perlu untuk bergabung bersama dalam mengusahakan dan mempromosikan nilai-nilai sejagad yang dapat membimbing pertumbuhan persaudaraan manusiawi tersebut. Kita juga belajar bahwa kepercayaan yang kita berikan kepada kemajuan, teknologi, dan dampak globalisasi tidak hanya berlebihan, tetapi berubah menjadi keracunan individualistis dan musyrik, mengompromikan janji keadilan, kerukunan, dan perdamaian yang sangat kita usahakan. Di dunia kita yang serbacepat ini, meluasnya masalah kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, dan marjinalisasi terus menyulut kerusuhan dan pertikaian, serta menimbulkan kekerasan dan bahkan peperangan.

 

Pandemi mengedepankan semua ini, namun juga berdampak positif : kembali kepada kerendahan hati, memikirkan kembali berlebihannya konsumeristik tertentu, dan memperbaharui rasa kesetiakawanan yang membuat kita lebih peka terhadap penderitaan sesama dan lebih tanggap terhadap kebutuhan mereka. Kita juga dapat memikirkan upaya yang, dalam beberapa kasus terbukti benar-benar heroik, dilakukan oleh orang-orang yang bekerja tanpa kenal lelah untuk membantu semua orang keluar dari krisis dan kekacauannya sebaik mungkin.

 

Pengalaman ini telah membuat kita semakin sadar akan perlunya setiap orang, termasuk bangsa dan negara, untuk mengembalikan kata “bersama” ke tempat yang utama. Berkat bersama-sama, dalam persaudaraan dan kesetiakawanan, kita membangun perdamaian, menjamin keadilan dan keluar dari bencana terbesar. Memang, tanggapan paling efektif terhadap pandemi datang dari kelompok sosial, lembaga publik dan swasta, serta organisasi internasional yang mengesampingkan kepentingan tertentu mereka dan bergabung untuk menghadapi tantangan. Hanya perdamaian yang berasal dari persaudaraan dan kasih tanpa pamrih yang dapat membantu kita mengatasi krisis pribadi, sosial, dan global.

 

4.     Meskipun demikian, di saat kita berani berharap masa tergelap pandemi Covid-19 segera usai, bencana baru yang mengerikan menimpa umat manusia. Kita menyaksikan serangan momok lain : peperangan lain, sampai batas tertentu seperti Covid-19, justru didorong oleh keputusan manusia yang keliru. Perang di Ukraina menuai korban yang tidak bersalah dan menyebarkan ketidakamanan, tidak hanya di antara orang-orang yang terkena dampak langsung, tetapi meluas dan tidak pandang bulu terhadap semua orang, juga terhadap mereka yang, bahkan ribuan kilometer jauhnya, menderita akibat tambahannya – kita bahkan perlu memikirkan kekurangan padi-padian dan harga bahan bakar.

 

Jelas, ini bukan masa pasca-Covid yang kita harapkan atau inginkan. Peperangan ini, bersama dengan seluruh pertikaian lain di seluruh dunia, merupakan kemunduran bagi seluruh umat manusia dan bukan hanya bagi pihak-pihak yang terlibat langsung. Sementara vaksin untuk Covid-19 telah ditemukan, penyelesaian yang sesuai untuk peperangan belum ditemukan. Tentu saja, virus peperangan lebih sulit diatasi daripada virus yang membahayakan tubuh kita, karena ia datang bukan dari luar diri kita, tetapi dari dalam hati manusia yang telah dirusak oleh dosa (bdk. Mrk 7:17-23).

 

5.     Lalu kita diminta apa? Pertama-tama, memperkenankan hati kita diubah rupa oleh pengalaman krisis kita, memperkenankan Allah, pada saat ini dalam sejarah, mengubah kriteria kebiasaan kita untuk melihat dunia di sekitar kita. Kita tidak bisa lagi berpikir secara eksklusif untuk mengukir ruang bagi kepentingan pribadi atau negara kita; sebaliknya, kita harus berpikir dalam kerangka kebaikan bersama, menyadari bahwa kita adalah bagian dari komunitas yang lebih besar, serta membuka pikiran dan hati kita terhadap persaudaraan manusiawi sejagad. Kita tidak dapat terus berfokus hanya untuk melanggengkan diri kita; sebaliknya, waktunya telah tiba bagi kita semua untuk berusaha memulihkan masyarakat dan planet kita, meletakkan dasar untuk dunia yang lebih adil dan damai, serta berketetapan hati untuk sungguh mengusahakan kebaikan bersama.

Untuk melakukan ini, dan menjalani kehidupan yang lebih baik setelah darurat Covid-19, kita tidak dapat mengabaikan satu fakta mendasar, yaitu banyak krisis moral, sosial, politik, dan ekonomi yang kita alami semuanya saling berhubungan, serta apa yang kita lihat sebagai masalah yang terpisah sebenarnya adalah sebab dan akibat satu sama lain. Akibatnya, kita dipanggil untuk menghadapi tantangan dunia kita dalam semangat tanggung jawab dan kasih sayang. Kita harus meninjau kembali masalah jaminan kesehatan untuk seluruh masyarakat. Kita harus mempromosikan tindakan yang meningkatkan perdamaian serta mengakhiri pertikaian dan peperangan yang terus menelurkan kemiskinan dan kematian. Kita sangat perlu ikut merawat rumah kita bersama serta menerapkan langkah-langkah yang jelas dan efektif untuk memerangi perubahan iklim. Kita perlu melawan virus kesenjangan dan memastikan pangan dan tenaga kerja yang bermartabat untuk semua orang, mendukung mereka yang bahkan tidak memiliki upah minimum dan berada dalam kesulitan besar. Skandal kelaparan seluruh rakyat tetap menjadi luka terbuka. Kita juga perlu mengembangkan kebijakan yang sesuai untuk menyambut dan menyatupadukan para migran dan mereka yang dicampakkan oleh masyarakat kita. Hanya dengan menanggapi situasi ini secara murah hati, dengan kepedulian tanpa pamrih yang diilhami oleh kasih Allah yang tak terhingga dan rahim, kita akan dapat membangun dunia baru dan berkontribusi pada perluasan kerajaan-Nya, yaitu kerajaan kasih, keadilan, dan perdamaian.

 

Dengan berbagi permenungan ini, saya berharap di Tahun Baru yang akan datang kita dapat melakukan perjalanan bersama, menghargai pelajaran yang harus diajarkan sejarah kepada kita. Saya menyampaikan harapan terbaik saya kepada para kepala negara dan pemerintahan, para kepala organisasi internasional, dan para pemimpin berbagai agama. Kepada semua orang yang berkehendak baik, saya mengungkapkan kepercayaan penuh doa saya agar mereka, sebagai para seniman perdamaian, dapat bekerja, hari demi hari, untuk membuat tahun ini menjadi tahun yang baik! Semoga Maria Tak Bernoda, Bunda Yesus dan Ratu Damai, menjadi perantara bagi kita dan seluruh dunia.

 

Vatikan, 8 Desember 2022

FRANSISKUS
_____

(dialihbahasakan dari https://www.vatican.va/content/francesco/en/events/event.dir.html/content/vaticanevents/en/2022/12/16/messaggio-pace.html oleh Peter Suriadi - Bogor, 18 Desember 2022)