Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 30 Maret 2022 : KATEKESE TENTANG USIA TUA (BAGIAN 5)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam katekese kita tentang tema usia tua, hari ini kita akan melihat gambar lemah lembut yang dilukis oleh penginjil Santo Lukas, yang menggambarkan dua sosok tua, Simeon dan Hana. Alasan mereka hidup, sebelum pergi dari dunia ini, adalah menantikan lawatan Allah. Mereka sedang menantikan Allah, yaitu Yesus, melawat mereka. Simeon tahu, melalui firasat Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum melihat Mesias. Hana hadir di Bait Allah setiap hari, mengabdikan diri untuk melayani-Nya. Keduanya mengenali kehadiran Tuhan dalam diri Kanak Yesus, yang menggenapi penantian panjang mereka dengan penghiburan dan meyakinkan mereka saat mereka mengucapkan selamat tinggal kepada kehidupan. Ini adalah adegan perjumpaan dengan Yesus, dan adegan perpisahan.

 

Apa yang bisa kita pelajari dari dua sosok tua yang penuh daya hidup rohani ini?

 

Pertama, kita belajar bahwa kesetiaan menanti mempertajam indra. Selain itu, sebagaimana kita ketahui, Roh Kudus melakukan hal ini dengan tepat : menerangi indra. Dalam madah kuno, Veni Creator Spiritus (Datanglah Roh Pencipta), yang sampai saat ini terus kita panjatkan untuk memanggil Roh Kudus, kita mengatakan : “Accende lumen sensibus”, “Sinari hati umat-Mu”, terangi indra kami. Roh mampu melakukan hal ini : mempertajam indra jiwa, terlepas dari keterbatasan dan luka-luka indra tubuh. Usia tua melemahkan, dalam satu atau lain cara, kepekaan tubuh : yang satu menjadi buta, yang lain tuli. Namun, usia tua yang dihabiskan untuk menanti lawatan Allah tidak akan melewatkan perjalanan-Nya; justru, akan lebih siap untuk menggenggamnya, akan memiliki kepekaan yang lebih besar untuk menyambut Tuhan ketika Ia lewat. Ingatlah bahwa ciri khas umat Kristiani adalah memperhatikan lawatan Tuhan, karena Tuhan lewat dalam hidup kita, dengan ilham, dengan ajakan untuk memperbaiki diri. Dan Santo Agustinus biasa mengatakan, "Aku takut Yesus akan melewatiku tanpa diketahui". Roh Kuduslah yang mempersiapkan indra untuk memahami ketika Tuhan sedang melawat kita, seperti yang dilakukan-Nya dengan Simeon dan Hana.

 

Hari ini kita membutuhkan hal ini lebih dari sebelumnya : kita membutuhkan usia tua yang dikaruniai indra rohani yang hidup yang mampu mengenali tanda-tanda Allah, atau lebih tepatnya, Tanda Allah, yaitu Yesus. Sebuah tanda yang selalu menantang kita : Yesus menantang kita karena Iia adalah “suatu tanda yang menimbulkan perbantahan” (Luk 2:34) – yang bahkan memenuhi diri kita dengan sukacita. Karena krisis tidak selalu membawa kesedihan, tidak : mengalami krisis dalam pelayanan kepada Tuhan sangat sering memberimu kedamaian dan sukacita. Pembiusan indra rohani – dan ini buruk – pembiusan indra rohani, dalam kegembiraan dan pelemahan indra tubuh, adalah sindrom yang tersebar luas dalam masyarakat yang memupuk khayalan akan masa muda yang abadi, dan cirinya yang paling berbahaya. terletak pada kenyataan bahwa sebagian besar tidak kita sadari. Kita tidak menyadari bahwa kita terbius. Dan hal ini terjadi. terjadi. Selalu terjadi dan terjadi di zaman kita. Indra mati rasa, tanpa memahami apa yang sedang terjadi : ketika mati rasa, indra batin, indra Roh yang memungkinkan kita memahami kehadiran Allah atau kehadiran kejahatan, tidak dapat membedakannya.

 

Ketika kamu kehilangan indra peraba atau perasa, kamu segera menyadarinya. Namun, kamu dapat mengabaikan indra jiwa, kepekaan jiwa, untuk waktu yang lama, hidup tanpa menyadari bahwa kamu telah kehilangan kepekaan jiwa. Ini bukan hanya masalah berpikir tentang Allah atau agama. Ketidakpekaan indra rohani berkaitan dengan kasih sayang dan belas kasihan, rasa malu dan penyesalan, kesetiaan dan pengabdian, kelembutan dan kehormatan, tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain. Ini aneh : ketidakpekaan menghentikanmu memahami kasih sayang, menghentikanmu memahami belas kasihan, menghentikanmu merasa malu atau menyesal karena telah melakukan sesuatu yang buruk ... Seperti itu. Indra rohani yang mati rasa membingungkanmu dan kamu tidak lagi merasakan hal-hal itu, secara rohani. Dan usia tua menjadi, bisa dikatakan, korban pertama, korban pertama dari hilangnya kepekaan ini. Dalam masyarakat yang menggunakan kepekaan terutama untuk kesenangan, tidak bisa tidak ada perhatian yang kurang terhadap yang lemah, dan persaingan para pemenang berkuasa. Dan beginilah hilangnya kepekaan. Tentu saja, retorika penyertaan adalah rumusan ritual dari setiap wacana politik yang benar. Tetapi tetap tidak membawa koreksi nyata terhadap praktik hidup berdampingan secara normal : budaya kelembutan sosial berjuang untuk tumbuh. Semangat persaudaraan manusia – yang saya rasa perlu diluncurkan kembali dengan paksa – seperti pakaian yang dibuang, dikagumi, tetapi … dalam museum. Kita kehilangan kepekaan manusiawi, gerakan-gerakan Roh ini yang menjadikan kita manusiawi.

 

Memang benar, dalam kehidupan nyata kita dapat mengamati, dengan rasa syukur yang mengharukan, banyak anak muda yang mampu menghormati persaudaraan ini secara maksimal. Tetapi justru di sinilah letak permasalahannya : ada celah, celah yang memalukan, antara kesaksian darah kehidupan kelembutan sosial ini dan kesesuaian yang memaksa kaum muda untuk menampilkan dirinya dengan cara yang sama sekali berbeda. Apa yang bisa kita lakukan untuk menjembatani kesenjangan ini?

 

Dari kisah Simeon dan Hana, tetapi juga dari kisah-kisah biblis lainnya tentang para orang tua yang peka terhadap Roh, muncul sebuah petunjuk tersembunyi yang layak untuk diangkat ke permukaan. Dalam arti sebenarnya, berupa apakah pewahyuan yang memantik kepekaan Simeon dan Hana? Pewahyuan tersebut berupa mengenali dalam diri seorang anak, yang tidak mereka lahirkan dan yang mereka lihat untuk pertama kalinya, tanda pasti lawatan Allah. Mereka menerima untuk tidak menjadi tokoh utama, tetapi hanya sebagai saksi. Dan ketika kita menerima untuk tidak menjadi tokoh utama, tetapi terlibat sebagai saksi, itu baik : pria atau wanita itu dewasa dengan baik. Tetapi orang-orang yang selalu ingin menjadi tokoh utama dan tidak ada yang lain, tidak pernah dewasa dalam perjalanan menuju kepenuhan usia tua. Lawatan Allah tidak diwujudkan dalam hidup mereka, lawatan Allah tidak membawa mereka ke tempat kejadian sebagai penyelamat : Allah tidak mengambil rupa daging dalam generasi mereka, tetapi dalam generasi yang akan datang. Mereka kehilangan semangat, kehilangan keinginan untuk hidup dengan kedewasaan, dan seperti yang biasa dikatakan, mereka hidup secara dangkal. Mereka adalah generasi besar yang dangkal, yang tidak membiarkan diri mereka merasakan berbagai hal dengan kepekaan Roh. Tetapi mengapa mereka tidak membiarkan diri? Sebagian karena kemalasan, dan sebagian lagi karena mereka sudah tidak mampu : mereka telah kehilangannya. Sungguh buruk ketika sebuah peradaban kehilangan kepekaan Roh. Sebaliknya, sungguh luar biasa ketika kita menemukan orang tua seperti Simeon dan Hana yang memelihara kepekaan Roh ini, dan yang mampu memahami aneka situasi, sama seperti keduanya memahami situasi di depan mereka, yang merupakan pengejawantahan Sang Mesias. Tidak ada dendam dan tidak ada saling tuduh untuk hal ini, ketika mereka berada dalam keadaan hening, hening. Sebaliknya, perasaan dan kenyamanan yang luar biasa ketika indra rohani masih hidup. Perasaan dan kenyamanan bisa melihat dan mengumumkan bahwa sejarah generasi mereka tidak hilang atau terbuang sia-sia, berkat sebuah peristiwa yang menjelma dan terwujud pada generasi berikutnya. Dan inilah yang dirasakan para orang tua ketika cucu mereka datang untuk berbicara dengan mereka : mereka merasa dihidupkan kembali. "Ah, hidupku masih di sini". Pergi menemui orang tua sangat penting; mendengarkan mereka sangat penting. Berbicara dengan mereka sangat penting, karena ada pertukaran peradaban, pertukaran kedewasaan antara yang muda dan yang tua. Dan dengan cara ini, peradaban kita berkembang secara dewasa.

 

Hanya usia tua rohani yang dapat memberikan kesaksian ini, rendah hati dan mempesona, menjadikannya berwibawa dan menjadi teladan bagi semua orang. Usia tua yang memupuk kepekaan jiwa melenyapkan segala kecemburuan antargenerasi, segala dendam, segala tudingan atas kedatangan Allah pada generasi yang akan datang, yang datang bersamaan dengan kepergian-Nya. Dan inilah yang terjadi pada orang tua yang terbuka terhadap orang muda yang terbuka : ia mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan sementara, bisa dikatakan, “menyerahkan” kehidupan kepada generasi baru. Dan ini adalah perpisahan Simeon dan Hana : "Biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera". Kepekaan rohani masa tua mampu menghancurkan persaingan dan pertikaian antargenerasi dengan cara yang dapat dipercaya dan pasti. Hal ini tentu tidak mungkin bagi manusia, tetapi mungkin bagi Allah. Dan saat ini kita sangat membutuhkan hal ini, kepekaan roh, kedewasaan roh; kita membutuhkan orang yang bijak, yang lebih tua, yang dewasa dalam semangat, yang memberi harapan hidup! Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Inggris, Denmark, Belanda, Swedia, Israel dan Amerika Serikat. Semoga perjalanan Prapaskah kita membawa kita untuk merayakan Paskah dengan hati yang dimurnikan dan diperbarui oleh rahmat Roh Kudus. Atas kamu masing-masing, dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai dalam Kristus Sang Penebus kita.

 

[Imbauan]

 

Saudara-saudari terkasih, Sabtu dan Minggu depan saya akan pergi ke Malta. Di negeri yang bercahaya itu saya akan menjadi seorang peziarah mengikuti jejak Rasul Paulus, yang disambut di sana dengan rasa kemanusiaan yang luar biasa setelah kapalnya karam di laut dalam perjalanannya menuju Roma. Oleh karena itu, Perjalanan Kerasulan ini akan menjadi kesempatan untuk pergi ke sumber pewartaan Injil, untuk mengenal secara langsung komunitas Kristiani dengan sejarah yang hidup sejak ribuan tahun yang lalu, dan bertemu dengan penduduk sebuah negara yang terletak di pusat Mediterania dan di selatan benua Eropa, yang saat ini semakin terlibat dalam menyambut begitu banyak saudara dan saudari yang sedang mencari perlindungan. Mulai sekarang saya menyapa kamu semua rakyat Malta dari lubuk hati saya : semoga harimu menyenangkan. Saya berterima kasih kepada semua orang yang telah bekerja untuk mempersiapkan kunjungan ini dan saya memohon kamu semua untuk menemani saya dalam doa. Terima kasih!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang makna dan nilai usia tua, dalam terang sabda Allah, sekarang kita membahas bagaimana Simeon dan Hana yang sudah lanjut usia dapat menjadi teladan bagi seluruh orang tua. Mereka juga terpanggil untuk memberikan kesaksian pribadi tentang iman dan kepercayaan dalam penggenapan akan janji-janji Allah, dan dengan demikian membangun jembatan antargenerasi. Sementara tahun-tahun yang telah berlalu menumpulkan indra jasmani, pada saat yang berharga dalam hidup ini Roh Kudus dapat mempertajam indra rohani kita. Betapa masyarakat kita membutuhkan orang yang lebih tua yang mampu mengenali dan menyambut kehadiran Kristus dan karunia Roh-Nya. Sebuah masyarakat yang mengagungkan kesenangan dan memupuk khayalan masa muda yang abadi dapat dengan mudah tumbuh terbius dari hakikinya nilai-nilai rohani iman, kebijaksanaan, kasih sayang dan kepedulian terhadap orang-orang yang membutuhkan. Kehidupan dan kesaksian orang tua dapat memastikan landasan rohani ini dan mengajari kita pentingnya melihat kehadiran Allah dalam kehidupan kita sehari-hari dan penyingkapan rencana keselamatan-Nya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 30 Maret 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 27 Maret 2022 : TENTANG PERUMPAMAAN ANAK YANG HILANG

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu, selamat pagi!

 

Bacaan Injil untuk liturgi hari Minggu ini menceritakan apa yang disebut Perumpamaan tentang Anak yang Hilang (bdk. Luk 15:11-32). Perumpamaan tersebut membawa kita kepada hati Allah yang senantiasa mengampuni dengan kasih sayang dan lembut. Senantiasa, Allah senantiasa mengampuni. Kita adalah orang-orang yang lelah memohon pengampunan, tetapi Ia senantiasa mengampuni. Perumpamaan memberitahu kita bahwa Allah adalah seorang Bapa yang tidak hanya menyambut kita kembali, tetapi bersukacita dan mengadakan pesta untuk anak-Nya yang telah kembali ke rumah setelah memboroskan seluruh harta kekayaannya. Kita adalah anak itu, dan sungguh mengharukan memikirkan alangkah Bapa senantiasa mengasihi dan menanti kita.

 

Tetapi ada juga sang anak sulung dalam perumpamaan tersebut yang mengalami krisis di depan Sang Bapa ini. Krisis tersebut bisa juga kita alami. Pada kenyataannya, sang anak sulung ini juga ada di dalam diri kita dan, kita tergoda untuk berpihak kepadanya, setidaknya sebagian : ia senantiasa melakukan tugasnya, ia tidak meninggalkan rumah, dan oleh karena itu ia menjadi marah melihat sang Bapa kembali memeluk anak-Nya setelah berperilaku sangat buruk. Ia memprotes dan berkata, "Telah bertahun-tahun aku melayanimu dan belum pernah aku melanggar perintahmu". Sebaliknya, untuk "anakmu ini", engkau malah merayakannya! (bdk. ayat 29-30) "Aku tidak memahamimu!" Ini adalah kemarahan sang anak sulung.

 

Kata-kata ini menggambarkan permasalahan sang anak sulung. Ia mendasarkan hubungannya dengan bapanya semata-mata pada ketaatan murni terhadap perintah, terhadap rasa kewajiban. Hal ini juga bisa menjadi permasalahan kita, permasalahan di antara kita dan dengan Allah : kehilangan pandangan bahwa Ia adalah seorang Bapa dan menghayati agama yang berjarak, berupa larangan dan kewajiban. Dan jarak ini mengakibatkan kekakuan terhadap sesama kita yang tidak lagi kita anggap sebagai saudara-saudari. Dalam perumpamaan, sang anak sulung justru tidak mengatakan adikku kepada sang Bapa. Tidak, ia mengatakan anakmu itu, seolah-olah mengatakan, "ia bukan saudaraku". Pada akhirnya, ia berisiko tetap berada di luar rumah. Bahkan, teks mengatakan, "ia tidak mau masuk" (ayat 28), karena adiknya ada di sana.

 

Melihat hal ini, sang Bapa keluar untuk memohon kepadanya, “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu” (ayat 31). Ia berusaha membuatnya paham bahwa baginya, setiap anak adalah seluruh hidupnya. Para orangtua, yang sangat dekat dengan perasaan yang dialami Allah, memahami hal ini dengan baik. Seorang bapa mengatakan sesuatu dalam sebuah novel sangat indah : “Ketika aku menjadi seorang bapa, aku memahami Allah” (H. de Balzac, Il padre Goriot, Milano 2004, 112). Pada titik ini dalam perumpamaan, Bapa membuka hati-Nya terhadap sang anak sulungnya dan menyatakan dua kebutuhan, yang bukan perintah, tetapi penting untuk hatinya : “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (ayat 32). Marilah kita melihat apakah kita juga memiliki dua hal yang dibutuhkan Bapa ini di dalam hati kita : bersukacita dan bergembira.

 

Pertama-tama, bersukacita, yaitu menunjukkan bahwa kita dekat dengan orang-orang yang bertobat atau orang-orang yang sedang dalam perjalanan, dengan orang-orang yang dalam krisis atau yang jauh. Mengapa kita harus melakukan hal ini? Karena hal ini membantu mengatasi rasa takut dan putus asa yang bisa berasal dari mengingat dosa-dosa kita. Orang-orang yang melakukan kesalahan seringkali merasa tercaci-maki di dalam hatinya. Jarak, ketidakpedulian, dan kata-kata kasar tidak membantu. Oleh karena itu, seperti Bapa, dengan kehangatan, kita perlu menyambut mereka agar terdorong terus maju. "Tetapi bapa, ia melakukan banyak hal" : sambutan hangat. Dan kita, apakah kita melakukan ini? Apakah kita mencari mereka yang jauh? Apakah kita ingin merayakannya bersama mereka? Betapa baiknya hati yang terbuka, pendengaran yang tulus, senyuman yang jernih; merayakannya, bukan membuat mereka merasa tidak nyaman! Bapa bisa saja berkata, “Baiklah, anak-Ku, pulanglah, kembalilah bekerja, pergilah ke kamarmu, tunjukkanlah dirimu dan karyamu! Dan hal ini akan menjadi cara yang baik untuk mengampuni. Tetapi tidak! Allah tidak tahu bagaimana mengampuni tanpa merayakan! Dan Bapa merayakan berkat sukacita yang Ia miliki karena dengan hangat-Nya telah kembali.

 

Dan kemudian, seperti Bapa, kita perlu bergembira. Ketika seseorang yang hatinya selaras dengan Allah melihat pertobatan seseorang lainnya, ia bergembira, entah seberapa serius kesalahan orang itu. Janganlah berfokus pada kesalahan, jangan menunjuk jari atas kesalahan apa yang telah mereka lakukan, tetapi bergembiralah atas kebaikan karena kebaikan orang lain adalah kebaikanku juga! Dan kita, apakah kita tahu bagaimana bersukacita untuk orang lain?

 

Saya ingin menceritakan sebuah kisah imajiner, tetapi kisah yang membantu menggambarkan hati sang bapa. Ada teater yang menyeruak, tiga atau empat tahun lalu, yang seluruhnya menceritakan tentang anak yang hilang. Dan pada akhirnya, ketika memutuskan untuk kembali kepada bapanya, sang anak membicarakannya dengan seorang temannya dan berkata, "Aku khawatir bapaku akan menolakku, tidak mengampuniku!" Dan teman itu menasihatinya, “Kirimlah surat kepada bapamu dan katakan kepadanya, 'Bapa, aku telah bertobat, aku ingin kembali ke rumah, tetapi aku tidak yakin akan membahagiakan. Jika engkau ingin menyambutku, tolong letakkan sapu tangan putih di jendela. Dan kemudian ia memulai perjalanannya'". Dan ketika ia berada di dekat rumah, tikungan terakhir di jalan itu, ia berada di depan rumah. Dan apa yang ia lihat? Tidak ada satu pun sapu tangan : penuh dengan sapu tangan putih, jendela-jendela, di mana-mana! Bapa menyambut seperti ini, sepenuhnya, dengan sukacita. Inilah Bapa kita!

 

Semoga Perawan Maria mengajari kita bagaimana menerima belas kasihan Allah sehingga bisa menjadi terang yang membuat kita bisa melihat sesama kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudara terkasih,

 

Lebih dari sebulan telah berlalu sejak awal invasi ke Ukraina, awal dari perang yang kejam dan tidak masuk akal ini, yang, seperti setiap perang, merupakan kekalahan bagi semua orang, bagi kita semua. Kita perlu menolak perang, tempat kematian di mana ayah dan ibu menguburkan anak-anak mereka, tempat orang membunuh saudara-saudara mereka bahkan tanpa melihat mereka, tempat yang berkuasa memutuskan dan yang miskin meninggal.

 

Perang tidak hanya menghancurkan masa kini, tetapi juga masa depan masyarakat. Saya membaca bahwa sejak awal agresi di Ukraina, satu dari setiap dua anak telah mengungsi dari negara mereka. Ini berarti menghancurkan masa depan, menyebabkan trauma dramatis dalam kehidupan orang-orang yang paling kecil dan paling tidak bersalah di antara kita. Ini adalah kebinatangan perang – tindakan biadab dan menista kesucian!

 

Perang seharusnya tidak menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Kita seharusnya tidak membiasakan diri dengan perang. Sebaliknya, kita perlu mengubah kemarahan hari ini menjadi ketetapan hati untuk hari esok, karena jika, setelah apa yang terjadi, kita tetap seperti sebelumnya, kita semua akan bersalah dalam beberapa hal. Di hadapan bahaya penghancuran diri, semoga umat manusia memahami bahwa saatnya telah tiba untuk meniadakan perang, meniadakannya dari sejarah manusia sebelum meniadakan sejarah manusia.

 

Saya memohon kepada setiap pemimpin politik untuk merenungkan hal ini, mendedikasikan diri mereka untuk hal ini! Dan, melihat Ukraina yang babak belur untuk memahami bagaimana setiap hari perang memperburuk situasi semua orang. Oleh karena itu, saya memperbaharui imbauan saya: Cukup. Hentikan. Diamkan senjata. Bergerak sungguh-sungguh menuju perdamaian. Marilah kita terus berdoa tanpa kenal lelah kepada Sang Ratu Damai, yang kepadanya kita menyerahkan umat manusia, khususnya Rusia dan Ukraina, dengan keikutsertaan yang besar dan intens, yang untuknya saya berterima kasih kepada kamu semua. Marilah kita berdoa bersama.

 

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan serta-Mu, terpujilah Engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuh-Mu, Yesus. Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.

 

Saya menyapa kamu semua dari Roma serta para peziarah dari Italia dan dari berbagai negara. Secara khusus, saya menyapa umat dari Meksiko, Madrid dan Lyon; para mahasiswa dari Pamplona dan Huelva, serta kaum muda dari berbagai negara yang ikut serta dalam pembentukan di Loppiano. Saya menyapa umat Paroki Bunda Maria di Roma, dan umat Paroki Santo George di Bosco, Bassano del Grappa dan Gela; para calon penerima sakramen krisma dari Frascati dan kelompok “Sahabat Zakheus” dari Reggio Emilia; serta Komisi yang menggagas Pawai Perugia-Asisi untuk Perdamaian dan Persaudaraan yang datang bersama sekelompok anak sekolah untuk memperbarui ketetapan hati mereka terhadap perdamaian.

 

Saya menyapa mereka yang ikut serta dalam Marathon Roma. Tahun ini, atas prakarsa Atlet Vatikan, sejumlah atlet terlibat dalam prakarsa kesetiakawanan dengan orang-orang yang membutuhkan di kota tersebut. Selamat untukmu!

 

Tepatnya dua tahun lalu, di lapangan ini, kita melambungkan permohonan kita untuk berakhirnya pandemi. Hari ini, kita telah melakukannya untuk mengakhiri perang di Ukraina. Di pintu masuk lapangan, kamu akan diberikan sebuah buku sebagai hadiah, yang diproduksi oleh Komisi Covid-19 Vatikan bersama Dikasteri Komunikasi. Buku tersebut merupakan sebuah undangan untuk berdoa tanpa rasa takut pada saat-saat sulit, senantiasa beriman kepada Tuhan.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu dan, tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Maret 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM IBADAT TOBAT 24 JAM UNTUK TUHAN DAN PENYERAHAN SELURUH UMAT MANUSIA, KHUSUSNYA RUSIA DAN UKRAINA, KEPADA HATI MARIA TAK BERNODA DI BASILIKA SANTO PETRUS 25 Maret 2022

Dalam Bacaan Injil hari raya hari ini, Malaikat Gabriel berbicara sebanyak tiga kali dan ditujukan kepada Perawan Maria.

 

Pertama kali, dalam menyapa Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau" (Luk 1:28). Alasan untuk merasa dikaruniai, alasan untuk bersukacita, diungkapkan dalam sepatah kata : Tuhan menyertai engkau. Saudara, saudari, hari ini kamu dapat mendengar kata-kata ini ditujukan kepadamu, kepada kita masing-masing; kamu dapat menjadikannya kata-katamu setiap kali kamu menghampiri pengampunan Allah, karena di sana Tuhan mengatakan kepadamu : "Aku menyertai engkau". Terlalu sering kita berpikir bahwa pengakuan dosa berupa kita pergi kepada Allah dengan kepala tertunduk. Tetapi bukan pertama-tama kita yang kembali kepada Tuhan; Dialah yang datang mengunjungi kita, memenuhi kita dengan rahmat-Nya, menggembirakan kita dengan sukacita-Nya. Mengaku dosa adalah membuat Bapa bersukacita karena bangkit kembali. Pusat dari apa yang akan kita hayati bukanlah dosa-dosa kita, dosa-dosa itu akan ada di sana, tetapi bukan pusatnya; pengampunan-Nya : inilah pusatnya. Marilah kita mencoba membayangkan jika pusat Sakramen ada pada dosa-dosa kita : hampir semuanya akan bergantung pada kita, pada pertobatan kita, pada upaya kita, pada ketetapan hati kita. Tetapi bukan, pusatnya adalah Dia, yang membebaskan kita dan membuat kita berdiri kembali.

 

Marilah kita kembalikan keutamaan rahmat dan memohon karunia pengertian bahwa pendamaian bukanlah langkah pertama kita menuju Allah, melainkan pelukan-Nya yang menyelimuti kita, memukau kita, menggerakkan kita. Tuhanlah yang, seperti di Nazaret sejak Maria, memasuki rumah kita serta membawa kekaguman dan sukacita yang sebelumnya tak dikenal : sukacita pengampunan. Marilah kita menempatkan sudut pandang Allah di latar depan : kita akan kembali menjadi terkait dengan pengakuan dosa. Kita membutuhkannya, karena setiap kelahiran kembali batin, setiap titik balik rohani dimulai dari sini, dari pengampunan Allah. Jangan abaikan pendamaian, tetapi marilah kita menemukannya kembali sebagai Sakramen Sukacita. Ya, Sakramen Sukacita, di mana kejahatan yang membuat kita malu menjadi kesempatan untuk mengalami hangatnya pelukan Bapa, manisnya kekuatan Yesus yang menyembuhkan kita, "kelembutan keibuan" Roh Kudus. Inilah pokok pengakuan dosa.

 

Dan kemudian, saudara-saudari terkasih, marilah kita terus menerima pengampunan. Kamu, saudara-saudara yang melayani pengampunan Allah, jadilah orang-orang yang menawarkan mereka yang menghampiri sukacita pengumuman ini : Hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau. Jangan ada kekakuan, tolong, jangan ada hambatan, jangan ada ketidaknyamanan; pintu terbuka untuk belas kasihan! Khususnya dalam pengakuan dosa, kita dipanggil untuk meneladan Sang Gembala yang baik yang menjemput domba-domba-Nya dan membelai mereka; kita dipanggil untuk menjadi saluran rahmat yang mencurahkan air hidup belas kasihan Bapa ke dalam kekeringan hati. Jika seorang imam tidak memiliki sikap ini, jika ia tidak memiliki perasaan ini di dalam hatinya, lebih baik ia tidak memberikan pengakuan dosa.

 

Untuk kedua kalinya Malaikat Gabriel berbicara kepada Maria. Kepada Maria, yang terguncang oleh salam yang diterimanya, Malaikat Gabriel berkata : "Jangan takut" (ayat 30). Pertama : "Tuhan menyertai engkau"; kata kedua : "Jangan takut". Dalam Kitab Suci, ketika Allah menampilkan diri-Nya kepada orang-orang yang menyambut-Nya, Ia berkenan mengucapkan dua kata ini : jangan takut. Ia mengatakannya kepada Abraham (bdk. Kej 15:1), ia mengulanginya kepada Ishak (bdk. Kej 26:24), kepada Yakub (bdk. Kej 46:3) dan seterusnya, hingga Yusuf (bdk.1:20) dan kepada Maria : jangan takut, jangan takut. Dengan cara inilah Ia mengirimi kita pesan yang jelas dan menghibur : setiap kali kehidupan terbuka kepada Allah, rasa takut tidak bisa lagi menyandera kita. Karena rasa takut menyandera kita. Kamu, saudari, saudara, jika dosa-dosamu membuatmu takut, jika masa lalumu mengkhawatirkanmu, jika lukamu tidak kunjung sembuh, jika terus menerus jatuh membuatmu patah semangat dan kamu tampaknya telah kehilangan harapan, tolong jangan takut. Allah tahu kelemahanmu dan lebih besar dari kesalahanmu. Allah lebih besar dari dosa kita : Ia jauh lebih besar! Satu hal yang Ia minta daripadamu : kelemahanmu, kesengsaraanmu, jangan disimpan di dalam dirimu; bawalah kelemahan dan kesengsaraanmu kepada-Nya, letakkanlah di dalam Dia, dan alasan pemencilan tersebut akan menjadi kesempatan untuk kebangkitan. Jangan takut! Tuhan meminta dosa-dosa kita. Kisah tentang rahib di padang gurun, yang telah memberikan segalanya kepada Allah, segalanya, dan menjalani kehidupan puasa, penebusan dosa, doa, muncul dalam benak. Tuhan meminta lebih banyak daripadanya. “Tuhan, aku telah memberi Engkau segalanya”, kata rahib itu, “apa yang kurang?”. "Berikanlah kepada-Ku dosa-dosamu". Demikianlah Tuhan meminta kita. Jangan takut.

 

Perawan Maria menyertai kita : ia sendiri melontarkan keterguncangannya kepada Allah. Pengumuman Malaikat sungguh beralasan untuk membuatnya takut. Ia mengusulkan sesuatu yang tidak terpikirkan, yang berada di luar kekuatannya dan yang tidak dapat ia tangani sendiri : akan ada terlalu banyak kesulitan, persoalan dengan hukum Musa, dengan Yusuf, dengan orang-orang sekampungnya dan dengan orang-orang di sekitarnya. Semua ini adalah kesulitan : jangan takut.

 

Tetapi Maria tidak mengajukan keberatan. Ia cukup untuk tidak takut, jaminan Allah sudah cukup baginya. Ia melekat pada-Nya, seperti yang ingin kita lakukan malam ini. Karena kita sering melakukan yang sebaliknya : kita mulai dari kepastian kita dan, hanya ketika kita kehilangannya, barulah kita pergi kepada Allah. Bunda Maria, di sisi lain, mengajarkan kita untuk mulai dari Allah, percaya bahwa dengan cara ini semuanya itu akan ditambahkan kepada kita (bdk. Mat 6:33). Ia mengundang kita untuk pergi ke sumbernya, pergi kepada Tuhan, yang merupakan penyembuh yang radikal untuk melawan ketakutan dan kejahatan hidup. Maria mengingat ungkapan yang indah, yang direproduksi di atas ruang pengakuan dosa di sini di Vatikan, kata-kata yang ditujukan kepada Allah ini : "Menjauh daripada Engkau berarti jatuh, kembali kepada Engkau berarti bangkit kembali, tinggal di dalam Engkau berarti ada" (bdk. Santi Agustinus, Solilokium I, 3).

 

Hari-hari ini berita dan gambar kematian terus memasuki rumah kita, sementara bom menghancurkan rumah banyak saudara dan saudari kita yang tidak bersenjata di Ukraina. Perang yang tidak berperikemanusiaan, yang telah menimpa banyak orang dan membuat semua orang menderita, menyebabkan ketakutan dan kecemasan pada diri mereka masing-masing. Batin kita merasakan ketidakberdayaan dan ketidakmampuan. Kita perlu diberitahu "jangan takut". Namun ketenteraman manusia saja tidak cukup, kehadiran Allah diperlukan, kepastian pengampunan ilahi, satu-satunya yang meniadakan kejahatan, meredakan dendam, memulihkan kedamaian hati. Marilah kembali kepada Allah, marilah kembali kepada pengampunan-Nya.

 

Untuk ketiga kalinya Malaikat Gabriel kembali berbicara. Sekarang ia berkata kepada Bunda Maria : "Roh Kudus akan turun atasmu" (Luk1:35). "Tuhan menyertai engkau"; "Jangan takut"; dan kata ketiga adalah "Roh Kudus akan turun ke atasmu". Beginilah cara Allah campur tangan dalam sejarah : memberikan Roh diri-Nya sendiri. Karena yang penting kekuatan kita tidak cukup. Kita sendiri tidak dapat menyelesaikan pertentangan sejarah atau bahkan pertentangan di dalam hati kita. Kita membutuhkan kekuatan Allah yang bijaksana dan lemah lembut, yaitu Roh Kudus. Kita membutuhkan Roh kasih, yang menyingkirkan kebencian, memadamkan dendam, memadamkan keserakahan, membangunkan kita dari ketidakpedulian. Roh yang memberi kita kerukunan, karena Ia adalah kerukunan. Kita membutuhkan kasih Allah karena kasih kita tidak pasti dan tidak mencukupi. Kita meminta banyak hal kepada Tuhan, tetapi kita sering lupa menanyakan kepada-Nya apa yang paling penting dan apa yang ingin Ia berikan kepada kita : Roh Kudus, yaitu kekuatan untuk mengasihi. Tanpa kasih, sebenarnya, apa yang akan kita tawarkan kepada dunia? Seseorang mengatakan bahwa orang Kristiani tanpa kasih adalah bagaikan sebuah jarum yang tidak menjahit : ia membuat pedih, ia melukai, tetapi jika tidak menjahit, jika tidak menenun, jika tidak menggabungkan, tidak ada gunanya. Saya berani mengatakan : ia bukan orang Kristiani. Untuk ini ada kebutuhan untuk menarik kekuatan kasih dari pengampunan Allah, menarik Roh yang turun ke atas Maria tersebut.

 

Karena, jika kita ingin dunia berubah, hati kita harus berubah terlebih dahulu. Untuk melakukan hal ini, hari ini marilah kita membiarkan diri kita dipegang oleh tangan Bunda Maria. Marilah kita memandang hatinya yang tak bernoda, tempat Allah bersandar, satu-satunya hati makhluk manusia tanpa bayang-bayang. Ia "penuh rahmat" (ayat 28), dan karena itu hampa dari dosa : di dalam dirinya tidak ada jejak kejahatan dan karena itu bersamanya Allah dapat memulai sejarah baru keselamatan dan kedamaian. Di sana, sejarah berputar. Allah mengubah sejarah dengan mengetuk hati Maria.

 

Dan hari ini kita juga, diperbarui oleh pengampunan, mengetuk Hati itu. Dalam persatuan dengan para Uskup dan umat beriman di dunia, saya dengan sungguh-sungguh ingin membawa semua yang sedang kita alami kepada Hati Maria Tak Bernoda : kembali menyerahkan kepadanya Gereja dan seluruh umat manusia serta menyerahkan kepadanya, secara khusus, rakyat Ukraina dan Rusia, yang dengan kasih sayang seorang anak menghormatinya sebagai Ibu. Bukan sebuah rumusn magis, bukan itu; tetapi sebuah tindakan spiritual. Isyarat kepercayaan penuh dari anak-anaknya yang, dalam kesengsaraan perang yang kejam ini dan perang yang tidak masuk akal yang mengancam dunia ini, memohon pertolongan kepada sang Ibu. Seperti anak-anak, ketika mereka ketakutan, mereka pergi kepada ibu mereka untuk menangis, mencari perlindungan. Marilah kita memohon pertolongan kepadanya, melontarkan ketakutan dan kepedihan ke dalam Hatinya, menyerahkan diri kita kepadanya.

 

Dari bibir Maria muncul ungkapan terindah yang dapat dibawa kembali Malaikat Gabriel kepada Allah : "Jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (ayat 38). Penerimaan Bunda Maria bukanlah penerimaan pasif atau pasrah, tetapi keinginan yang hidup untuk mematuhi Allah, yang memiliki "rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan" (Yer 29:11). Keikutsertaan terdekat dalam rencana-Nya untuk perdamaian dunia. Kita menyerahkan diri kepada Maria untuk memasuki rencana ini, menempatkan diri kita sepenuhnya pada rencana Allah. Bunda Allah, setelah mengatakan ya, melakukan perjalanan panjang mendaki menuju daerah pegunungan untuk mengunjungi saudaranya yang sedang hamil (bdk.1:39). Ia bergegas pergi. Saya suka memikirkan Bunda Maria yang bergegas, selalu seperti ini, Bunda Maria yang bergegas menolong kita, untuk menjaga kita tetap aman. Semoga ia mengambil jalan kita hari ini : membimbing kita melalui jalan persaudaraan dan dialog yang curam dan melelahkan, membimbing kita di jalan perdamaian.

___


(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi dari 
https://www.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2022/documents/20220325_omelia-penitenza.html - Bogor, 26 Maret 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 23 Maret 2022 : KATEKESE TENTANG USIA TUA (BAGIAN 4)

Saudara-saudari terkasih, selamat siang!

 

Dalam Kitab Suci, kisah kematian Musa yang sudah lanjut usia didahului oleh wasiat rohaninya, yang disebut "Nyanyian Musa". Nyanyian agung ini pertama-tama dan terutama merupakan pengakuan iman yang indah, dan berbunyi demikian : “Sebab nama TUHAN akan kuserukan: Berilah hormat kepada Allah kita, Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia" (Ul 32:3-4). Tetapi nyanyian tersebut juga merupakan kenangan akan sejarah yang dijalani bersama Allah, tentang petualangan umat yang terbentuk dari iman kepada Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Dan kemudian, Musa juga mengingat kepahitan dan kekecewaan Allah sendiri, dan mengatakan demikian berkenaan hal ini : kesetiaan-Nya terus-menerus diuji oleh ketidaksetiaan umat-Nya. Allah yang setia dan tanggapan umat yang tidak setia : seolah-olah umat ingin menguji kesetiaan Allah. Dan Ia tetap senantiasa setia, dekat dengan umat-Nya.

 

Ketika Musa mengucapkan pengakuan iman ini, ia berada di ambang tanah perjanjian, dan juga kematiannya. Ia berumur seratus dua puluh tahun, kisah mencatat, "tetapi matanya belum kabur" (Ul 34:7). Kemampuan untuk melihat tersebut, benar-benar melihat, tetapi juga melihat secara simbolis, seperti yang dilakukan orang tua, yang mampu melihat sesuatu, [melihat] makna paling radikal dari segala sesuatu. Daya hidup tatapannya adalah karunia yang berharga : daya hidup tersebut memungkinkannya untuk meneruskan warisan pengalaman panjang hidup dan imannya, dengan kejelasan yang diperlukan. Musa melihat sejarah dan meneruskan sejarah; orang tua melihat sejarah dan meneruskan sejarah.

 

Usia tua yang dianugerahkan kejelasan ini adalah karunia yang berharga bagi generasi yang akan datang. Mendengarkan secara pribadi dan langsung kisah iman yang dihayati, dengan segala pasang surutnya, tidak tergantikan. Membacanya di buku, menontonnya di film, berkonsultasi di internet, betapapun bermanfaatnya, tidak akan pernah menjadi kesamaan. Penerusan ini – yang merupakan tradisi yang sesungguhnya dan tepat, penerusan nyata dari orang tua kepada orang muda! – dewasa ini penerusan kepada generasi baru ini sangat kurang, ketidakhadiran yang terus berkembang. Mengapa? Karena peradaban baru ini memiliki gagasan bahwa orang tua adalah bahan limbah, orang tua harus dicampakkan. Ini tidak berperikemanusiaan! Tidak, tidak, tidak harus seperti itu. Ada nada dan gaya komunikasi untuk mendongeng langsung, dari orang ke orang, yang tidak dapat digantikan oleh media lain. Orang yang lebih tua, orang yang telah hidup lama, dan menerima karunia kesaksian yang jelas dan penuh gairah tentang sejarahnya, adalah berkat yang tak tergantikan. Apakah kita mampu mengenali dan menghormati karunia orang tua ini? Apakah penerusan iman – dan penerusan makna hidup – dewasa ini mengikuti jalan ini, penerusan mendengarkan orang tua? Saya bisa memberikan kesaksian pribadi. Saya belajar kebencian dan kemarahan terhadap perang dari kakek saya, yang bertempur di Piave in '14, dan beliau meneruskan kegusaran terhadap perang ini kepada saya. Karena beliau bercerita tentang penderitaan perang. Dan hal ini tidak dipelajari di buku atau dengan cara lain ... dipelajari dengan cara ini, diturunkan dari kakek-nenek kepada sang cucu. Dan hal ini tak tergantikan. Sayangnya, dewasa ini tidak demikian, dan kita memikirkan kakek-nenek adalah bahan yang dicampakkan : Tidak! Mereka adalah kenangan hidup dari suatu bangsa, serta kaum muda dan anak-anak harus mendengarkan kakek-nenek mereka.

 

Dalam budaya kita, yang sangat “benar secara politis”, jalan ini tampaknya terhalang dalam banyak hal : dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam komunitas Kristiani itu sendiri. Beberapa bahkan mengusulkan penghapusan pengajaran sejarah, sebagai informasi berlebihan tentang dunia yang tidak lagi relevan, yang mengambil sumber daya dari pengetahuan masa kini. Seolah-olah kita lahir kemarin, bukan?

 

Penerusan iman, di sisi lain, sering kali tidak memiliki semangat "sejarah yang hidup". Penerusan iman bukan hanya mengatakan berbagai hal, “bla, bla, bla.” Tidak! Penerusan iman yaitu berbicara tentang pengalaman iman. Jadi, bagaimana hal itu dapat menarik orang untuk memilih cinta selamanya, kesetiaan pada kata yang diberikan, ketekunan dalam dedikasi, belas kasihan terhadao wajah yang terluka dan putus asa? Tentu saja, kisah hidup harus diubah menjadi kesaksian, dan kesaksian itu harus setia. Ideologi yang membengkokkan sejarah kepada skemanya sendiri tentu saja tidak setia; propaganda yang mengadaptasi sejarah untuk mempromosikan kelompoknya sendiri tidak setia; tidaklah setia mengubah sejarah menjadi pengadilan di mana masa lalu dikutuk dan masa depan apa pun tidak disarankan. Tidak. Menceritakan sejarah apa adanya adalah setia; dan hanya orang-orang yang pernah menjalaninya yang dapat menceritakannya dengan baik. Karena alasan ini, mendengarkan orang tua, mendengarkan kakek-nenek sangat penting : agar anak-anak berbicara dengan mereka.

 

Keempat Injil dengan jujur ​​menceritakan kisah Yesus yang terberkati tanpa menyembunyikan kesalahan, kesalahpahaman, dan bahkan pengkhianatan para murid. Ini adalah sejarah, kebenaran, ini adalah kesaksian. Ini adalah karunia ingatan yang diwariskan “para penatua” Gereja, sejak awal, meneruskannya “dari tangan ke tangan” kepada generasi berikutnya. Ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri : Seberapa besar kita menghargai cara menyebarkan iman ini, penyerahan tongkat estafet dari para tetua komunitas kepada kaum muda yang membuka diri untuk masa depan? Dan di sini muncul sesuatu dalam pikiran yang telah saya katakan berkali-kali, tetapi yang ingin saya ulangi : Bagaimana iman diteruskan? "Ah, ini buku, pelajarilah". Tidak. Iman tidak bisa diteruskan seperti itu. Iman diwariskan dalam logat, yaitu, dalam percakapan yang akrab, antara kakek-nenek dan cucu, antara orangtua dan anak-anak mereka. Iman selalu diteruskan dalam logat, dalam logat yang akrab dan pengalaman bertahun-tahun. Inilah sebabnya mengapa dialog dalam sebuah keluarga begitu penting, dialog anak-anak dengan kakek-nenek mereka, yang adalah orang-orang yang memiliki kebiksanaan iman.

 

Terkadang saya merenungkan anomali aneh ini. Dewasa ini, katekismus inisiasi Kristiani banyak sekali mengacu pada Sabda Allah dan menyampaikan informasi yang akurat tentang dogma, moral iman, dan sakramen-sakramen. Namun, sering kali tidak ada pemahaman tentang Gereja yang berasal dari mendengarkan dan memberi kesaksian sejarah iman yang nyata dan kehidupan komunitas Gereja, dari awal hingga saat ini. Sebagai anak-anak kita mempelajari Sabda Allah di kelas katekismus; tetapi Gereja – Gereja – kita belajar, sebagai orang muda, di ruang kelas dan di media informasi global.

 

Pengisahan sejarah iman seharusnya seperti Nyanyian Musa, seperti kesaksian Injil dan Kisah Para Rasul. Dengan kata lain, sebuah kisah yang mampu mengingat berkat Allah dengan perasaan dan kegagalan kita dengan ketulusan. Sejak awal, alangkah baiknya jika katekese memasukkan kebiasaan mendengarkan, pengalaman hidup para orang tua; pengakuan jujur ​​atas berkat yang diterima dari Allah, yang harus kita hargai; dan kesaksian yang setia dari kegagalan kesetiaan kita, yang harus kita perbaiki dan betulkan. Orang tua memasuki tanah perjanjian, yang diinginkan Allah untuk setiap generasi, ketika mereka menawarkan kepada orang muda inisiasi yang indah dari kesaksian mereka dan menyampaikan kisah iman, iman, dalam logat, logat yang akrab, logat orang tua kepada orang muda tersebut. Kemudian, dibimbing oleh Tuhan Yesus, orang tua dan orang muda bersama-sama masuk ke dalam Kerajaan kehidupan dan kasih-Nya. Tetapi semuanya bersama-sama. Setiap orang dalam keluarga, dengan harta yang besar ini, yaitu iman yang dilimpahkan dalam logat. Terima kasih.

 

[Sapaan setelah katekese]

 

Saya ingin meluangkan waktu sejenak untuk mengingat para korban perang. Berita tentang orang-orang terlantar, orang-orang yang melarikan diri, orang-orang yang terbunuh, orang-orang yang terluka, begitu banyak tentara yang gugur di kedua belah pihak, adalah berita kematian. Kita memohon kepada Sang Empunya kehidupan untuk membebaskan kita dari kematian perang ini : dengan perang segalanya lenyap, segalanya. Tidak ada kemenangan dalam perang : semuanya dikalahkan. Semoga Tuhan mengutus Roh-Nya untuk membuat kita mengerti bahwa perang adalah kekalahan umat manusia, yang kita, kita semua, harus kalahkan; bahwa berperang adalah kebutuhan yang menghancurkan kita, dan untuk membebaskan kita dari kebutuhan akan penghancuran diri ini. Kita juga berdoa agar para pemimpin memahami bahwa membeli dan membuat senjata bukanlah solusi untuk masalah ini. Solusinya adalah bekerja sama untuk perdamaian dan, seperti dikatakan Kitab Suci, mengubah senjata menjadi alat perdamaian. Marilah kita bersama-sama berdoa kepada Bunda Maria : Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Inggris, Denmark, Belanda, Norwegia dan Amerika Serikat. Semoga perjalanan Prapaskah kita membawa kita untuk merayakan Paskah dengan hati yang dimurnikan dan diperbarui oleh rahmat Roh Kudus. Atas kamu masing-masing, dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan kedamaian dalam Kristus Sang Penebus kita.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang makna dan nilai usia tua, dilihat dalam terang sabda Allah, kita sekarang beralih kepada panggilan khusus para orang tua untuk menyampaikan kepada generasi baru pengalaman pribadi mereka berkenaan dengan iman Gereja. Di akhir keluaran, dalam sebuah nyanyian yang luar biasa Musa yang sudah tua meneruskan pengalaman panjang imannya kepada Tuhan yang tetap setia pada janji-janji-Nya. “Penyampaian” pengalaman iman ini adalah inti Tradisi Umat Allah yang hidup. Di zaman kita sekarang, upaya Gereja untuk melakukan penginjilan, katekese, penerusan dan penjelasan imannya tentu saja dilakukan dengan bantuan buku, film, dan sumber daya lainnya, namun tidak ada yang dapat menggantikan kesaksian langsung dari orang ke orang tentang pengalaman seumur hidup kedekatan dengan Allah dalam iman. Di dunia yang kadang-kadang berusaha untuk meniadakan aspek sejarah dan budaya, atau mengganti kebenaran dengan berita palsu atau propaganda, kita sangat membutuhkan kebijaksanaan dan pengalaman orang tua untuk membantu generasi baru mengenal Gereja dari dalam, menjalani kehidupan kesetiaan terhadap sabda Allah, bertekun dalam pengharapan di tengah pencobaan, dan menunjukkan cinta yang penuh belas kasihan kepada semua saudara dan saudari kita. Semoga kita menghargai panggilan berharga para orang tua ini sebagaimana kita menghargai karunia masa lalu dan menantikan pemenuhan janji-janji Allah dalam kedatangan Kerajaan-Nya.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 23 Maret 2022)