Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 29 Agustus 2021 : MEMANDANG KEHIDUPAN DIAWALI DARI HATI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil untuk liturgi hari ini menunjukkan beberapa ahli Taurat dan orang Farisi tercengang dengan sikap Yesus. Mereka dihebohkan karena murid-murid-Nya mengambil makanan tanpa terlebih dahulu melakukan ritual pembersihan diri. Mereka memikirkan di antara mereka sendiri "Cara melakukan hal-hal ini bertentangan dengan praktek keagamaan" (bdk. Mrk 7:2-5).

 

Kita juga dapat bertanya pada diri kita sendiri : mengapa Yesus dan murid-murid-Nya mengabaikan tradisi ini? Lagi pula, tradisi tersebut bukan hal yang buruk, justru kebiasaan ritual yang baik, pembersihan sederhana sebelum makan. Mengapa Yesus tidak memperhatikannya? Karena bagi-Nya, yang penting adalah membawa iman kembali ke pusatnya. Dalam Bacaan Injil kita melihatnya berulang kali : membawa iman kembali ke pusat ini. Dan untuk menghindari resiko, yang berlaku bagi para ahli Taurat dan juga bagi kita : meninjau formalitas lahiriah, meletakkan hati dan iman sebagai latar belakang. Sering kali kita juga "merias" jiwa kita. Formalitas lahiriah dan bukan inti iman : inilah resikonya. Inilah resiko religiusitas penampilan : terlihat baik di luar, sementara gagal memurnikan hati. Selalu ada godaan untuk "mengatur Allah" dengan beberapa devosi lahiriah, tetapi Yesus tidak puas dengan penyembahan ini. Yesus tidak menginginkan penampilan lahiriah, Ia menginginkan iman yang menjamah hati.

 

Bahkan, segera setelah itu, Ia memanggil orang-orang kembali untuk mengatakan kebenaran besar : “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (ayat 15). Sebaliknya, "dari dalam, dari hati orang" (ayat 21), timbul segala pikiran jahat. Kata-kata ini revolusioner, karena dalam pola pikir pada waktu itu ada anggapan bahwa makanan tertentu atau kontak lahiriah akan membuat seseorang najis. Yesus membalikkan sudut pandang tersebut : apa pun dari luar tidak menajiskan, melainkan, apa yang dari dalam.

 

Saudara dan saudari yang terkasih, hal ini juga berkaitan dengan kita. Kita sering berpikir bahwa kejahatan berasal terutama dari luar : dari perilaku orang lain, dari orang-orang yang berpikir buruk tentang kita, dari masyarakat. Seberapa sering kita menyalahkan orang lain, masyarakat, dunia, atas segala yang terjadi pada kita! Selalu kesalahan "orang lain": kesalahan orang-orang, orang yang memerintah, orang yang malang, dan sebagainya. Tampaknya masalah selalu berasal dari luar. Dan kita menghabiskan waktu untuk menyalahkan; tetapi menghabiskan waktu menyalahkan orang lain adalah membuang-buang waktu. Kita menjadi marah, getir dan menjauhkan Allah dari hati kita. Seperti orang-orang dalam Injil, yang mengeluh, yang terguncang, yang menimbulkan perdebatan dan tidak menerima Yesus. Kita tidak dapat benar-benar religius dalam mengeluh : mengeluh meracuni, mengeluh membawamu kepada kemarahan, kebencian dan kesedihan, hati yang menutup pintu terhadap Allah.

 

Hari ini marilah kita meminta Tuhan untuk membebaskan kita dari menyalahkan orang lain – seperti anak-anak : “Tidak, itu bukan saya! Itu orang lain, orang lain…”. Marilah kita berdoa memohon rahmat untuk tidak membuang waktu mencemari dunia dengan keluhan, karena ini bukan orang Kristiani. Yesus malah mengajak kita untuk melihat kehidupan dan dunia mulai dari hati kita. Jika kita melihat ke dalam, kita akan menemukan hampir semua yang kita benci berada di luar. Dan jika dengan tulus kita memohon kepada Allah untuk menyucikan hati kita, saat itulah kita akan mulai membuat dunia lebih bersih. Karena ada cara sempurna untuk mengalahkan kejahatan : dengan mulai menaklukkannya di dalam dirimu sendiri. Para Bapa Gereja perdana, para biarawan, ketika kepada mereka ditanyakan “Apakah jalan kesucian?”, langkah pertama, yang biasa mereka katakan, adalah menyalahkan diri sendiri: menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan diri kita sendiri. Berapa banyak dari kita, sepanjang hari, di saat tertentu dalam sehari atau dalam seminggu, yang bisa menyalahkan diri sendiri secara batiniah? "Ya, ini dilakukan pada diriku, yang lainnya ... itu adalah kebiadaban ...". Tetapi aku? Aku melakukan hal yang sama, atau aku melakukannya dengan cara ini…. Kebijaksanaan : belajar menyalahkan diri sendiri. Cobalah untuk melakukannya, itu akan membuatmu baik. Itu baik bagiku, ketika aku berhasil melakukannya, tetapi baik juga bagi kita, baik bagi semua orang.

 

Semoga Perawan Maria, yang mengubah sejarah melalui kemurnian hatinya, membantu kita untuk memurnikan diri kita, dengan mengatasi terlebih dahulu dan terutama sifat buruk menyalahkan orang lain dan mengeluh tentang segala sesuatu.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dengan sangat prihatin saya mengikuti situasi di Afghanistan, dan saya ikut serta dalam penderitaan mereka yang sedang berduka atas orang-orang yang kehilangan nyawa dalam serangan bunuh diri yang terjadi Kamis lalu, serta mereka yang mencari bantuan dan perlindungan. Saya mempercayakan orang-orang yang meninggal kepada belas kasihan Allah yang Mahakuasa dan saya berterima kasih kepada mereka yang berjuang untuk membantu penduduk yang begitu kesulitan, khususnya perempuan dan anak-anak. Saya meminta semua orang untuk terus membantu yang membutuhkan dan berdoa agar dialog dan kesetiakawanan dapat mengarah pada terciptanya hidup berdampingan yang damai dan bersaudara serta menawarkan harapan untuk masa depan negara. Di saat-saat bersejarah seperti ini kita tidak bisa tetap acuh tak acuh; sejarah Gereja mengajarkan hal ini kepada kita. Sebagai orang Kristiani, situasi ini mewajibkan kita. Karena alasan ini saya mengimbau kepada semua orang, untuk meningkatkan doamu dan berpuasa. Doa dan puasa, doa dan penyesalan. Inilah saatnya untuk melakukannya. Saya berbicara dengan sungguh-sungguh : tingkatkanlah doamu dan berpuasalah, mohonkanlah belas kasihan dan pengampunan Tuhan.

 

Saya dekat dengan penduduk negara bagian Venezuela, Mérida, yang akhir-akhir ini dilanda banjir dan tanah longsor. Saya mendoakan mereka yang meninggal dan anggota keluarga mereka serta mereka yang menderita karena bencana ini.

 

Saya menyampaikan salam ramah kepada anggota Gerakan Laudato Si’. Terima kasih atas komitmenmu terhadap rumah kita bersama, khususnya pada Hari Doa Sedunia untuk Ciptaan dan Waktu Penciptaan berikutnya. Jeritan bumi dan jeritan orang miskin menjadi semakin serius dan mengkhawatirkan, dan mereka menyerukan tindakan tegas dan mendesak untuk mengubah krisis ini menjadi peluang.

 

Saya menyambut kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara. Secara khusus, saya menyapa kelompok novisiat Salesian dan komunitas Seminari Episkopal di Caltanissetta. Saya menyambut umat Zagabria dan Veneto; kelompok siswa, orangtua dan guru dari Lithuania; kaum muda calon penerima sakramen krisma Osio Sotto; kaum muda dari Malta yang sedang melakukan perjalanan panggilan, mereka yang telah melakukan pendakian Fransiskan dari Gubbio ke Roma dan mereka yang memulai Via lucis dengan kaum miskin di stasiun-stasiun kereta api.

 

Saya menyampaikan salam khusus kepada umat yang berkumpul di Tempat Suci Oropa untuk perayaan penobatan dan pembuatan patung Black Madonna. Semoga Santa Perawan menyertai perjalanan Umat Allah di jalan kekudusan.

 

Kepada semuanya saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang! Sampai jumpa!

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 29 Agustus 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 25 Agustus 2021 : KATEKESE TENTANG SURAT SANTO PAULUS KEPADA JEMAAT GALATIA (BAGIAN 6) - BAHAYA HUKUM TAURAT

Saudara dan saudari, selamat pagi!

 

Surat kepada Jemaat Galatia melaporkan fakta yang agak mengejutkan. Seperti yang telah kita dengar, Paulus mengatakan bahwa ia mencela Kefas, atau Petrus, di depan jemaat di Antiokhia, karena perilakunya tidak begitu baik. Apa yang terjadi yang begitu serius sehingga Paulus merasa berkewajiban untuk berbicara kepada Petrus dengan kata-kata kasar seperti itu? Mungkin Paulus melebih-lebihkan, membiarkan karakternya menghalangi tanpa tahu bagaimana mengendalikan dirinya? Kita akan melihat bahwa bukan itu masalahnya, tetapi sekali lagi, yang dipertaruhkan adalah hubungan antara Hukum Taurat dan kebebasan. Dan kita harus sering kali kembali ke hal ini.

 

Menulis kepada jemaat Galatia, Paulus dengan sengaja menyebutkan kejadian ini yang telah terjadi tahun sebelumnya di Antiokhia. Ia ingin mengingatkan orang-orang Kristiani dari komunitas itu bahwa mereka sama sekali tidak boleh mendengarkan orang-orang yang mengajarkan perlunya sunat, dan oleh karena itu berada "di bawah Hukum Taurat" dengan segala ketentuannya. Kita ingat bahwa para pengajar fundamentalis ini telah pergi ke sana dan menciptakan kebingungan, dan bahkan telah merampas kedamaian komunitas itu. Sasaran kritik terhadap Petrus adalah perilakunya saat duduk di meja. Hukum Taurat melarang seorang Yahudi makan dengan orang bukan Yahudi. Tetapi Petrus sendiri, dalam keadaan lain, telah pergi ke rumah Kornelius, perwira di Kaisarea, mengetahui bahwa ia melanggar Hukum Taurat. Maka ia menegaskan : “Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir” (Kis 10:28). Begitu ia kembali ke Yerusalem, orang-orang Kristiani yang bersunat, yang setia pada Hukum Musa, mencela perilaku Petrus. Tetapi, ia membenarkan dirinya dengan mengatakan : "Maka teringatlah aku akan perkataan Tuhan : Yohanes membaptis dengan air, tetapi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus. Jadi jika Allah memberikan karunia-Nya kepada mereka sama seperti kepada kita pada waktu kita mulai percaya kepada Yesus Kristus, bagaimanakah mungkin aku mencegah Dia?” (Kis 11:16-17). Kita ingat bahwa pada waktu itu Roh Kudus telah datang ke rumah Kornelius ketika Petrus pergi ke sana.

 

Hal serupa juga terjadi di Antiokhia di hadapan Paulus. Pertama, tanpa kesulitan Petrus makan bersama orang-orang Kristiani bukan Yahudi; namun, ketika beberapa orang Kristiani yang bersunat dari Yerusalem tiba di kota tersebut – mereka yang murni orang-orang Yahudi – ia tidak lagi melakukannya, karena ia tidak ingin mendapat kritik dari mereka. Dan inilah – hati-hati – kesalahannya, yakni lebih memperhatikan kritik, membuat kesan yang baik. Ini serius di mata Paulus, karena murid-murid lain meniru Petrus, terutama Barnabas, yang bahkan telah menginjili jemaat Galatia (bdk. Gal 2:13). Dengan melakukan hal itu, tanpa berkehendak, Petrus, yang sedikit di sini dan sedikit di sana, tidak jelas, tidak berterus terang, sebenarnya menciptakan perpecahan yang tidak adil di dalam komunitas : “Aku murni… Aku sedang mengikuti garis ini… Aku harus melakukan hal ini ... hal ini tidak bisa dilakukan ... ".

 

Dalam celaannya – dan inilah inti masalahnya – Paulus menggunakan istilah yang memungkinkan kita untuk masuk ke dalam kebaikan reaksinya : kemunafikan (bdk. Gal 2:13). Inilah kata yang diulang beberapa kali : kemunafikan. Saya pikir kita semua mengerti apa artinya…. Ketaatan pada Hukum Taurat di pihak orang Kristiani menyebabkan perilaku munafik inilah yang ingin ditentang oleh Rasul Paulus dengan keras dan meyakinkan. Paulus adalah orang yang jujur, ia memiliki kekurangan – banyak di antaranya… karakternya tak menyenangkan – tetapi ia jujur. Apa itu kemunafikan? Ketika kita berkata, “Hati-hati, orang itu munafik”, apa yang sedang coba kita katakan? Apa itu kemunafikan? Itu bisa disebut ketakutan akan kebenaran. Seorang munafik takut akan kebenaran. Lebih baik berpura-pura daripada menjadi dirimu sendiri. Ini seperti merias jiwa, seperti merias wajahmu, merias tentang bagaimana melanjutkan : ini bukan kebenaran. "Tidak, aku takut melanjutkan bagaimana adanya ...", aku akan membuat diriku terlihat baik melalui perilaku ini. Berpura-pura mencekik keberanian untuk secara terbuka mengatakan apa yang benar; dan dengan demikian, kewajiban untuk mengatakan kebenaran setiap saat, di mana pun dan terlepas dari apa pun dapat dengan mudah dihindarkan. Berpura-pura mengarah pada hal ini : setengah kebenaran. Dan setengah kebenaran adalah penipuan karena kebenaran adalah kebenaran atau sebaliknya. Setengah benar adalah cara bertindak yang tidak benar. Kita lebih suka, seperti yang saya katakan, untuk berpura-pura daripada menjadi diri sendiri, dan kepura-puraan ini mencekik keberanian untuk secara terbuka mengatakan kebenaran. Dan dengan demikian, kita lepas dari kewajiban – bahwa ini adalah perintah : selalu mengatakan kebenaran; penuh kejujuran : berbicara kebenaran di mana pun dan terlepas dari apa pun. Dan dalam lingkungan di mana hubungan antarpribadi hidup di bawah bendera formalisme, virus kemunafikan dengan mudah menyebar. Senyuman yang terlihat seperti ini tidak berasal dari hati. Tampaknya berhubungan baik dengan semua orang, tetapi pada kenyataannya tidak.

 

Dalam Kitab Suci, ada beberapa contoh di mana kemunafikan dipertentangkan. Kesaksian yang indah untuk menentang kemunafikan adalah kesaksian Eleazar yang sudah lanjut umurnya yang diminta untuk berpura-pura makan daging yang dikorbankan kepada dewa-dewa kafir untuk meluputkannya dari kematian : ia berpura-pura memakannya padahal ia tidak memakannya. Atau berpura-pura sedang makan daging babi tetapi teman-temannya akan menyiapkan sesuatu yang lain. Tetapi laki-laki yang takut akan Allah itu – yang saat itu belum genap berusia dua puluh tahun – menjawab : “Berpura-pura tidaklah pantas bagi umur kami, supaya janganlah banyak pemuda kusesatkan juga, oleh karena mereka menyangka bahwa Eleazar yang sudah berumur sembilan puluh tahun beralih kepada tata cara asing. Boleh jadi mereka kusesatkan dengan berpura-pura [berlaku munafik] demi hidup yang pendek dan fana ini dan dalam pada itu kuturunkan noda dan aib kepada usiaku" (2Mak 6:24-25). Orang jujur : ia tidak memilih jalan kemunafikan! Sungguh kejadian yang indah untuk direnungkan agar menjauhkan diri kita dari kemunafikan! Injil juga melaporkan beberapa situasi di mana Yesus dengan keras mencela orang-orang yang tampak lahiriah semata, tetapi batin mereka dipenuhi dengan kepalsuan dan kejahatan (bdk. Mat 23:13-29). Jika kamu punya waktu hari ini, dapatkan Injil Matius bab 23 dan lihat berapa kali Yesus berkata : "orang-orang munafik, orang-orang munafik, orang-orang munafik", inilah bagaimana kemunafikan mengejawantahkan dirinya.

 

Orang-orang munafik adalah orang-orang yang berpura-pura, menyanjung dan menipu karena mereka hidup dengan topeng di wajah mereka dan tidak memiliki keberanian untuk menghadapi kebenaran. Karena alasan ini, mereka tidak mampu benar-benar mencintai : orang munafik tidak tahu bagaimana mencintai. Mereka membatasi diri untuk hidup dari egoisme dan tidak memiliki kekuatan untuk menunjukkan hati mereka secara terus terang. Ada banyak situasi di mana kemunafikan bekerja. Hal ini sering disembunyikan di tempat kerja di mana seseorang tampak berteman dengan rekan kerja mereka sementara, pada saat yang sama, menikam mereka dari belakang karena persaingan. Dalam politik, tidak jarang ditemukan orang-orang munafik yang hidup dengan satu cara di depan umum dan dengan cara lain secara pribadi. Kemunafikan dalam Gereja sangat menjijikkan; dan sayangnya, kemunafikan ada di dalam Gereja dan ada banyak orang Kristiani dan pejabat Gereja yang munafik. Kita hendaknya tidak pernah melupakan sabda Allah : “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37). Saudara-saudari, hari ini, marilah kita memikirkan tentang kemunafikan yang dikutuk Paulus, dan juga dikutuk Yesus : kemunafikan. Dan janganlah kita takut untuk jujur, mengatakan kebenaran, mendengarkan kebenaran, menyesuaikan diri dengan kebenaran, sehingga kita bisa mencintai. Orang munafik tidak tahu bagaimana mencintai. Bertindak selain dari kebenaran berarti membahayakan kesatuan Gereja, kesatuan yang didoakan oleh Tuhan sendiri. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Saya berdoa agar masa liburan musim panas ini dapat menjadi saat penyegaran dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu. Atas kamu semua saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Tuhan Yesus. Semoga Allah memberkatimu!

 

[Imbauan]

 

Kemarin, di Tokyo, Paralimpiade mulai berlangsung. Saya menyampaikan salam saya kepada para atlet dan saya berterima kasih kepada mereka karena mereka memberikan kesaksian harapan dan keberanian kepada semua orang. Mereka, pada kenyataannya, menunjukkan bagaimana ketetapan hati terhadap olahraga membantu mengatasi kesulitan yang tampaknya tidak dapat teratasi.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang Surat kepada Jemaat Galatia, kita telah melihat bagaimana Paulus mengajarkan bahwa orang-orang yang hidup dalam kasih karunia Kristus dibebaskan dari tuntutan Hukum Musa. Hari ini kita membahas klaim Paulus bahwa ia telah menegur Santo Petrus dalam hal ini. Petrus telah makan bersama orang-orang Kristiani bukan Yahudi, tetapi berhenti melakukannya ketika sekelompok orang-orang Kristiani yang bersunat tiba dari Yerusalem. Bagi Paulus, ini adalah bentuk “kemunafikan” (Gal 2:13) yang menyebabkan perpecahan di dalam jemaat. Segenap kemunafikan berasal dari rasa takut yang menahan kita untuk tidak sepenuhnya mengatakan kebenaran; kemunafikan mengarah pada kehidupan kepura-puraan, di mana kita mengatakan satu hal tetapi melakukan hal lain. Kemunafikan menyebar laksana virus. Kita sering menemukannya di tempat kerja kita, dalam kehidupan politik dan, yang paling menjijikkan, juga di dalam Gereja. Yesus mengatakan kepada kita jika ya, hendaklah kamu katakan ya dan jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak (bdk. Mat 5:37). Bertindak sebaliknya membahayakan kesatuan dalam Gereja yang didoakan oleh Tuhan sendiri.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Agustus 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 22 Agustus 2021 : ALASAN MENGUNDURKAN DIRI DAN TIDAK LAGI MENGIKUTI YESUS

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil liturgi hari ini (Yoh 6:60-69) menunjukkan kepada kita reaksi orang banyak dan para murid terhadap khotbah Yesus setelah penggandaan roti. Yesus mengundang mereka untuk menafsirkan tanda itu dan percaya kepada Dia, yang adalah roti sejati yang turun dari surga, roti hidup; dan Ia menyatakan bahwa roti yang akan Ia berikan adalah tubuh dan darah-Nya. Kata-kata ini terdengar keras dan tidak dapat dimengerti oleh telinga orang-orang tersebut, sedemikian rupa sehingga, mulai dari waktu itu, Injil mengatakan, banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri; yaitu, mereka tidak lagi mengikuti Sang Guru (ayat 60, 66). Kemudian Yesus bertanya kepada kedua belas murid-Nya : "Apakah kamu tidak mau pergi juga?" (ayat 67), dan Petrus, atas nama seluruh kelompok, menegaskan keputusan mereka untuk tinggal bersama-Nya : “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (Yoh 6:68-69). Dan itu adalah sebuah pengakuan iman yang indah.

 

Marilah kita melihat secara singkat sikap orang-orang yang mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Yesus. Dari mana datangnya ketidakpercayaan ini? Apa alasan penolakan ini?

 

Kata-kata Yesus memicu skandal besar : Ia mengatakan bahwa Allah memutuskan untuk menyatakan diri-Nya dan melaksanakan keselamatan dalam kelemahan daging manusiawi. Misteri penjelmaan. Penjelmaan Allah memicu skandal dan menghadirkan hambatan bagi orang-orang itu - tetapi seringkali juga bagi kita. Memang, Yesus menegaskan bahwa roti keselamatan sejati, yang meneruskan hidup kekal, adalah daging-Nya sendiri; masuk ke dalam persekutuan dengan Allah, sebelum menjalankan hukum atau menjalankan ajaran agama, perlu dihayati hubungan yang berwujud dan nyata dengan-Nya. Karena keselamatan berasal daripada-Nya, dalam penjelmaan-Nya. Ini artinya kita tidak boleh mengejar Allah dalam mimpi serta dalam gambaran keagungan dan kekuasaan, tetapi Ia harus dikenali dalam kemanusiaan Yesus dan, sebagai konsekuensinya, dalam kemanusiaan saudara dan saudari yang kita jumpai di jalan kehidupan. Allah menjadikan diri-Nya daging. Dan ketika kita mengatakan hal ini, dalam Pengakuan Iman, pada Hari Raya Natal, pada Hari Raya Kabar Sukacita, kita berlutut untuk menyembah misteri penjelmaan ini. Allah menjadikan diri-Nya daging dan darah; Ia merendahkan diri-Nya hinggs menjadi manusia seperti kita. Ia merendahkan diri-Nya hingga membebani diri-Nya dengan penderitaan dan dosa kita, dan karena itu Ia meminta kita untuk tidak mencari-Nya di luar kehidupan dan sejarah, tetapi dalam hubungan dengan Kristus dan dengan saudara-saudari kita. Mencari-Nya dalam kehidupan, dalam sejarah, dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan ini, saudara-saudari, adalah jalan menuju perjumpaan dengan Allah : hubungan dengan Kristus dan saudara-saudari kita.

 

Bahkan hari ini, pewahyuan Allah dalam kemanusiaan Yesus dapat menyebabkan skandal dan tidak mudah untuk diterima. Inilah yang disebut Santo Paulus sebagai "kebodohan" Injil di hadapan orang-orang yang mencari mukjizat atau hikmat duniawi (bdk. 1 Kor 1:18-25). Dan “skandalisme” ini diwakili dengan baik oleh sakramen Ekaristi : apa artinya, di mata dunia, berlutut di depan sepotong roti? Mengapa kita seharusnya rajin diberi makan dengan roti ini? Dunia terskandalisasi.

 

Dihadapkan dengan perbuatan Yesus yang luar biasa ini, yang dengan lima roti dan dua ikan memberi makan ribuan orang, semua orang memuji Dia dan ingin mengangkat Dia dalam kemenangan, untuk menjadikan-Nya raja. Tetapi ketika Ia sendiri menjelaskan bahwa gerakan itu adalah tanda pengorbanan-Nya, yaitu pemberian hidup-Nya, daging dan darah-Nya, dan orang-orang yang ingin mengikuti-Nya harus menyerupai-Nya, kemanusiaan-Nya diberikan untuk Allah dan sesama, maka Yesus ini tidak lagi disukai, Yesus ini melemparkan kita ke dalam krisis. Sebaliknya, kita harus khawatir jika Ia tidak melemparkan kita ke dalam krisis, karena kita mungkin telah memperlunak pesan-Nya! Dan marilah kita memohon rahmat untuk membiarkan diri kita terhasut dan bertobat berkat “sabda hidup kekal”-Nya. Dan semoga Santa Maria, yang melahirkan Putranya Yesus dalam daging dan mempersatukan dirinya dalam pengorbanan-Nya, membantu kita untuk selalu memberikan kesaksian tentang iman kita dalam kehidupan nyata kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Saya menyambut kalian semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara. Ada banyak negara yang terwakili di sini, saya melihat dari bendera ...

 

Secara khusus, saya menyapa para imam dan para seminaris dari Kolose Kepausan Amerika Utara - mereka ada di sana - serta keluarga-keluarga dari Abbiategrasso dan para pengendara sepeda motor dari Polesine.

 

Sekali lagi hari Minggu ini saya senang menyapa beberapa kelompok orang muda : dari Cornuda, Covolo di Piave dan Nogaré, di keuskupan Treviso, Rogoredo di Milan, Dalmine, Cagliari, Pescantina dekat Verona, dan kelompok pramuka dari Mantova. Muda-mudi yang terkasih, banyak dari kalian telah memiliki pengalaman perjalanan panjang bersama : semoga hal ini membantu kalian menjalani kehidupan di jalan Injil. Dan saya juga menyapa kaum muda Immaculata.

 

Kepada kalian semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makanan kalian, dan sampai jumpa!

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 18 Agustus 2021 : KATEKESE TENTANG SURAT SANTO PAULUS KEPADA JEMAAT GALATIA (BAGIAN 5) - NILAI PERSIAPAN HUKUM TAURAT

Saudara dan saudari, selamat pagi!

 

Santo Paulus, yang mengasihi Yesus dan telah memahami dengan jelas apa itu keselamatan, telah mengajarkan kepada kita bahwa “anak-anak janji” (Gal 4:28) – yaitu kita semua, yang dibenarkan oleh Yesus Kristus – tidak lagi terikat oleh Hukum Taurat, tetapi dipanggil kepada tuntutan gaya hidup kebebasan Injil. Padahal Hukum Taurat itu ada. Tetapi ada cara lain : Hukum yang sama, Dasa Firman, tetapi dengan cara lain, karena tidak dapat dibenarkan oleh dirinya sendiri setelah Tuhan datang. Dan oleh karena itu, dalam katekese hari ini saya ingin menjelaskan hal ini. Dan kita bertanya : menurut Surat kepada Jemaat Galatia, apa peran Hukum Taurat? Dalam perikop yang telah kita dengar, Paulus mengatakan bahwa Hukum Taurat bagaikan seorang pendidik. Sebuah gambaran yang indah, gambaran pendidik yang kita bicarakan selama Audiensi terakhir, sebuah gambaran yang layak untuk dipahami dalam makna yang sesungguhnya.

 

Rasul Paulus tampaknya menyarankan agar umat Kristiani membagi sejarah keselamatan dalam dua bagian, dan juga kisah pribadinya, Ada dua kurun waktu : sebelum menjadi percaya kepada Kristus Yesus dan setelah menerima iman. Pusatnya adalah peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus, yang diberitakan Paulus untuk mengilhami iman kepada Sang Putra Allah, sumber keselamatan, dan dalam Kristus Yesus kita dibenarkan. Oleh karena itu, berawal dari iman kepada Kristus ada sebuah "sebelum" dan "sesudah" sehubungan dengan Hukum Taurat itu sendiri, karena Hukum Taurat itu ada, perintah-perintah itu ada, tetapi ada satu sikap sebelum kedatangan Yesus, dan sikap lain sesudahnya. Sejarah sebelumnya ditentukan berkat berada “di bawah Hukum Taurat”. Dan orang yang mengikuti jalan Hukum Taurat diselamatkan, dibenarkan; sejarah berikutnya, setelah kedatangan Yesus, harus dijalani dengan mengikuti Roh Kudus (bdk. Gal 5:25). Inilah pertama kalinya Paulus menggunakan ungkapan ini : berada “di bawah Hukum Taurat”. Makna yang mendasarinya menyiratkan gagasan tentang perhambaan yang bersifat negatif, semacam budak : berada "di bawah". Rasul Paulus membuatnya tersurat dengan mengatakan bahwa ketika seseorang berada "di bawah Hukum Taurat" seolah-olah ia "diawasi" dan "dikurung", semacam penahanan yang bersifat pencegahan. Kurun waktu ini, kata Santo Paulus, telah berlangsung lama – dari Musa hingga kedatangan Yesus – dan berlangsung selama kita hidup dalam dosa.

 

Hubungan antara Hukum Taurat dan dosa akan dijelaskan secara lebih sistematis oleh Rasul Paulus dalam Suratnya kepada Jemaat Roma, yang ditulis beberapa tahun setelah Surat kepada Jemaat Galatia. Singkatnya, Hukum Taurat mengarah kepada pendefinisian pelanggaran dan membuat orang sadar akan dosa mereka : “Kamu telah melakukan ini, dan oleh karena itu Hukum Taurat – Dasa Firmam – mengatakan demikian : kamu berada dalam dosa”. Atau lebih tepatnya, sebagaimana diajarkan oleh pengalaman umum, peraturan akhirnya merangsang pelanggaran. Dalam Surat kepada jemaat Roma ia menulis : “Sebab waktu kita masih hidup di dalam daging, hawa nafsu dosa, yang dirangsang oleh hukum Taurat, bekerja dalam anggota-anggota tubuh kita, agar kita berbuah bagi maut. Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita” (Rm, 7:5-6). Mengapa? Karena pembenaran Yesus Kristus telah datang. Secara singkat Paulus mengungkapkan pandangannya tentang Hukum Taurat : “Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat” (1Kor 15:56). Sebuah dialog : kamu berada di bawah Hukum Taurat, dan kamu berada di sana dengan pintu terbuka terhadap dosa.

 

Dalam konteks ini, mengacu pada peran mendidik yang dimainkan oleh Hukum Taurat sangat masuk akal. Tetapi Hukum Taurat adalah pendidik yang menuntunmu ke mana? Kepada Yesus. Dalam sistem skolastik kuno, pendidik tidak memiliki fungsi yang kita kaitkan dengannya hari ini, yaitu mendukung pendidikan anak-anak. Saat itu pendidik malah menjadi budak yang tugasnya menemani anak majikannya menemui gurunya dan kemudian mengantarnya pulang ke rumah. Dengan cara ini ia harus melindungi anak yang berada dalam pengasuhannya dari bahaya dan mengawasinya untuk memastikan ia tidak berperilaku buruk. Lebih tepatnya, ia berperan untuk mendisiplinkan. Ketika anak itu telah menjadi dewasa, sang pendidik menghentikan tugasnya. Pendidik yang dimaksud Paulus bukanlah guru, tetapi orang yang menemani anak yang berada dalam pengasuhannya ke sekolah, yang mengawasi anak itu dan mengantarnya pulang ke rumah.

 

Mengacu pada Hukum Taurat dengan istilah-istilah ini memungkinkan Santo Paulus untuk menjelaskan peran yang dimainkannya dalam sejarah Israel. Taurat, yaitu Hukum, adalah tindakan kemurahan hati Allah terhadap umat-Nya. Setelah pemilihan Abraham, tindakan besar lainnya adalah Hukum : menetapkan jalan yang harus diikuti. Hukum tersebut memang memiliki fungsi yang membatasi, tetapi pada saat yang sama melindungi bangsa, mendidik mereka, mendisiplinkan mereka dan mendukung mereka dalam kelemahan mereka, terutama dengan melindungi mereka dari kekafiran; ada banyak sikap kafir pada waktu itu. Taurat mengatakan : "Hanya ada satu Allah dan Ia telah menempatkan kita di jalan kita". Suatu tindakan kebaikan oleh Tuhan. Dan tentu saja, seperti yang saya katakan, Hukum Taurat memiliki fungsi yang membatasi, tetapi pada saat yang sama melindungi bangsa, mendidik mereka, mendisiplinkan mereka dan mendukung mereka dalam kelemahan mereka. Dan inilah sebabnya Rasul Paulus melanjutkan dengan menggambarkan tahapan usia sebelum akil balig. Dan ia berkata : "Yang dimaksud ialah: selama seorang ahli waris belum akil balig, sedikit pun ia tidak berbeda dengan seorang hamba, sungguhpun ia adalah tuan dari segala sesuatu; tetapi ia berada di bawah perwalian dan pengawasan sampai pada saat yang telah ditentukan oleh bapanya. Demikian pula kita: selama kita belum akil balig, kita takluk juga kepada roh-roh dunia” (Gal 4:1-3). Singkatnya, Rasul Paulus berkeyakinan bahwa Hukum Taurat memang memiliki fungsi positif – seperti pendidik dalam mendampingi anak asuhannya – tetapi merupakan fungsi yang dibatasi waktu. Hukum Taurat tidak dapat memperpanjang masa edarnya terlalu jauh, karena terkait dengan kematangan orang perorangan dan pilihan kebebasan mereka. Begitu kita percaya, Hukum Taurat menguras nilai persiapannya dan harus memberi jalan kepada kewenangan lain. Apa artinya ini? Artinya, setelah Hukum Taurat kita dapat mengatakan, “Kami percaya kepada Yesus Kristus dan apakah yang kami inginkan?” Tidak! Perintah-perintah itu ada, tetapi tidak membenarkan kita. Yang membenarkan kita adalah Yesus Kristus. Perintah-perintah itu harus dipatuhi, tetapi tidak membenarkan kita; ada kemurahan hati Yesus Kristus, perjumpaan dengan Yesus Kristus yang secara cuma-cuma membenarkan kita. Pahala iman adalah menerima Yesus. Satu-satunya pahala : membuka hati. Dan apa yang kita lakukan dengan Perintah-Perintah tersebut? Kita harus mengamatinya, tetapi sebagai bantuan untuk berjumpa dengan Yesus Kristus.

 

Ajaran tentang nilai hukum ini sangat penting, dan patut dicermati dengan seksama agar tidak terjadi kesalahpahaman dan mengambil langkah yang keliru. Ada baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri apakah kita masih hidup dalam masa di mana kita membutuhkan Hukum Taurat, atau apakah sebaliknya kita sepenuhnya sadar telah menerima rahmat menjadi anak-anak Allah untuk hidup dalam kasih. Bagaimana aku hidup? Dalam ketakutan bahwa jika aku tidak melakukan ini, aku akan masuk neraka? Atau apakah aku juga hidup dengan harapan itu, dengan sukacita keselamatan cuma-cuma di dalam Yesus Kristus? Sebuah pertanyaan yang bagus. Dan juga pertanyaan kedua : apakah aku mengabaikan Perintah-Perintah? Tidak. Aku mengamatinya, tetapi tidak secara mutlak, karena aku tahu bahwa Yesus Kristus yang membenarkanku.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat yang berbahasa Inggris. Semoga hari-hari musim panas yang tenang ini menjadi saat istimewa untuk rahmat dan pembaruan rohani bagi kalian dan keluarga kalian. Allah memberkati kalian!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang Surat kepada Jemaat Galatia, kita telah melihat bagaimana Santo Paulus mengajarkan bahwa iman kepada Yesus Kristus membawa kebebasan rohani yang membebaskan orang percaya dari tuntutan Hukum Musa. Bagi Rasul Paulus, Hukum Taurat menjalankan fungsi yang bersifat “mendidik”; sebagai karunia belas kasih Allah, Hukum Taurat menuntut ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya, sementara pada saat yang sama menunjukkan kenyataan keberdosaan kita dan kebutuhan akan keselamatan. Dengan kedatangan Kristus dan rahmat penebusan-Nya, Hukum Taurat menemukan penggenapannya dalam pesan Injil tentang kehidupan baru dan kebebasan dalam Roh.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 15 Agustus 2021 : SANTA PERAWAN MARIA MENGINGATKAN KITA BAHWA ALLAH MEMANGGIL KITA MENUJU KEMULIAAN MELALUI KERENDAHAN HATI

Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi dan selamat hari raya!

 

Dalam Injil hari ini, Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, Magnificat bergema dalam liturgi. Madah pujian ini bagaikan “foto” Bunda Allah. Maria “bergembira karena Allah”, mengapa? “Sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya”, seperti dikatakan Injil (bdk. Luk 1:47-48).

 

Rahasia Maria adalah kerendahan hati. Kerendahan hatinya membuat Allah tertarik menatapnya. Mata manusia selalu mencari keagungan dan membiarkan dirinya terpesona oleh apa yang mencolok. Sebaliknya, Allah tidak melihat penampilan, Allah melihat hati (bdk. 1Sam 16:7) dan terpesona oleh kerendahan hati. Kerendahan hati membuat Allah terpesona. Hari ini, melihat Maria diangkat ke surga, kita dapat mengatakan bahwa kerendahan hati adalah jalan menuju Surga. Kata “kerendahan hati”, seperti yang kita ketahui, berasal dari kata Latin humus, yang berarti “bumi”. Kata ini bersifat paradoks : untuk tiba di tempat tinggi, di Surga, yang dibutuhkan adalah tetap rendah, seperti bumi! Yesus mengajarkan hal ini : “barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Luk 14:11). Allah tidak meninggikan kita oleh karena karunia kita, oleh karena kekayaan kita atau seberapa baik kita melakukan sesuatu, tetapi oleh karena kerendahan hati. Allah menyukai kerendahan hati. Allah mengangkat orang yang merendahkan diri; Ia mengangkat orang yang melayani. Untuk dirinya sendiri, Maria, pada kenyataannya, tidak memberikan "gelar" lain kecuali hamba, untuk melayani : ia adalah, "hamba Tuhan" (Luk 1:38). Ia tidak mengatakan apa-apa lagi tentang dirinya, ia tidak mencari hal lain untuk dirinya. Hanya menjadi hamba Tuhan.

 

Maka, hari ini, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, diri kita masing-masing di dalam hati kita : bagaimana aku sedang berbuat dengan kerendahan hati? Apakah aku ingin diakui oleh orang lain, untuk menegaskan diriku sendiri dan dipuji, atau apakah aku lebih memikirkan untuk melayani? Apakah aku tahu cara mendengarkan, seperti Maria, atau apakah aku hanya ingin berbicara dan menerima perhatian? Apakah aku tahu bagaimana tetap diam, seperti Maria, atau apakah aku selalu mengoceh? Apakah aku tahu cara mundur selangkah, meredakan pertengkaran dan percecokan, atau apakah aku selalu ingin unggul? Marilah kita pikirkan pertanyaan-pertanyaan ini, kita masing-masing : bagaimana aku sedang berbuat dengan kerendahan hati?

 

Dalam kekecilannya, Maria memenangkan Surga terlebih dahulu. Rahasia keberhasilannya justru karena ia mengenali kekecilannya, ia menyadari kebutuhannya. Bersama Allah, hanya orang-orang yang mengakui diri mereka sebagai bukan apa-apa yang dapat menerima segalanya. Hanya orang yang mengosongkan dirinya yang dapat diisi oleh-Nya. Dan Maria "penuh rahmat" (ayat 28) justru karena kerendahan hatinya. Bagi kita juga, kerendahan hati selalu menjadi titik tolak, selalu, kerendahan hati adalah awal dari kita beriman. Dasarnya adalah miskin di hadapan Allah, yaitu membutuhkan Allah. Orang-orang yang dipenuhi dengan diri mereka sendiri tidak memiliki ruang untuk Allah. Dan sering kali, kita penuh dengan diri kita sendiri, dan orang yang dipenuhi dengan dirinya sendiri tidak memberikan ruang bagi Allah, tetapi orang-orang yang tetap rendah hati memperkenankan Tuhan untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar (bdk. ayat 49).

 

Penyair, Dante, menyebut Perawan Maria, "lebih rendah hati dan lebih luhur dari makhluk mana pun" (Surga, XXXIII, 2). Sungguh indah memikirkan makhluk yang paling rendah hati dan paling luhur dalam sejarah, yang pertama memenangkan surga dengan seluruh keberadaannya, dalam jiwa dan raga, menjalani sebagian besar hidupnya di dalam tembok rumahtangga, ia menjalani hidupnya dalam kehidupan biasa, dalam kerendahan hati. Hari-hari penuh rahmat tidak terlalu mencolok. Hari-hari tersebut mengikuti satu demi satu, seringkali persis sama, dalam keheningan : secara lahiriah, tidak ada yang luar biasa. Namun tatapan Allah selalu tertuju padanya, mengagumi kerendahan hatinya, kebersediaannya, keindahan hatinya yang tidak pernah ternoda oleh dosa.

 

Pesan harapan yang sangat besar bagi kita, bagimu, bagi kita masing-masing, bagimu yang hari-harinya selalu sama, melelahkan dan seringkali sulit. Maria mengingatkanmu hari ini bahwa Allah juga memanggilmu untuk tujuan yang mulia ini. Ini bukan kata-kata yang indah: ini adalah kebenaran. Ini bukan akhir yang indah, dirancang dengan baik, khayalan saleh atau penghiburan palsu. Tidak, ini adalah kebenaran, ini adalah kenyataan yang sesungguhnya, ini nyata, sebagaimana hidup dan kebenaran Santa Perawan Maria diangkat ke Surga. Marilah kita merayakannya hari ini dengan kasih anak-anak, marilah kita merayakannya dengan sukacita namun rendah hati, dimeriahkan oleh harapan suatu hari nanti berada bersamanya di Surga!

 

Dan sekarang marilah kita berdoa kepadanya agar ia menyertai kita dalam perjalanan kita yang mengarah dari Bumi menuju Surga. Semoga ia mengingatkan kita bahwa rahasia perjalanan terkandung dalam kata kerendahan hati. Jangan sampai kita melupakan kata yang selalu diingatkan oleh Bunda Maria ini. Dan kerendahan hati dan pelayanan tersebut adalah rahasia untuk mencapai tujuan, mencapai surga.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Saya bergabung dalam keprihatinan penuh atas situasi di Afghanistan. Saya meminta kalian semua untuk bersama saya berdoa kepada Allah Sang Damai Sejahtera agar pertikaian bersenjata dihentikan dan dapat ditemukan penyelesaian di meja dialog. Hanya dengan demikian penduduk yang babak belur di negara itu - pria, wanita, orang tua dan anak-anak - kembali ke rumah mereka masing-masing, dan hidup dalam damai sejahtera dan aman, dengan sepenuhnya saling menghormati.

 

Dalam beberapa jam terakhir, gempa bumi kuat terjadi di Haiti, menyebabkan banyak kematian, melukai banyak orang, dan menyebabkan kerusakan material yang luas. Saya ingin mengungkapkan kedekatan saya dengan penduduk terkasih yang terkena dampak gempa. Seraya saya memanjatkan doa kepada Tuhan untuk para korban, saya menyampaikan kata-kata penyemangat kepada orang-orang yang selamat, berharap agar minat masyarakat internasional untuk membantu dapat bergerak ke arah mereka. Semoga kesetiakawanan semua orang meringankan akibat dari tragedi itu! Marilah kita bersama-sama berdoa kepada Bunda Maria untuk Haiti.

 

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu, terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amin.

 

Saya menyapa kalian semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara : keluarga, lembaga dan umat perorangan. Secara khusus, saya menyapa kelompok dari Santa Giustina di Colle, kaum muda dari Carugate, dan umat dari Sabbio Bergamasco dan dari Verona.

 

Selain itu, saya ingin menyampaikan pemikiran kepada mereka yang sedang melewati hari-hari Ferragosto dengan berwisata di berbagai tempat peristirahatan : saya berharap mereka tenang dan damai. Namun, saya tidak dapat melupakan mereka yang tidak dapat pergi berlibur, mereka yang tetap melayani masyarakat dan mereka yang mendapati diri mereka dalam kondisi tidak nyaman, diperparah oleh panas yang menyengat dan oleh kurangnya layanan tertentu karena liburan. Saya terutama memikirkan orang-orang sakit, para orang tua, orang-orang yang berada dalam penjara, para pengangguran, para pengungsi dan semua orang yang sendirian atau dalam kesulitan. Semoga Maria memperluas perlindungan keibuannya atas kalian masing-masing.

 

Saya mengundang kalian untuk melakukan gerakan yang indah hari ini : pergi ke Gua Maria untuk menghormati Bunda Maria. Mereka yang berada di Roma bisa berdoa di depan ikon Salus Populi Romani, di Basilika Santa Maria Mayor.

 

Kepada kalian semua, saya mengucapkan selamat hari Minggu dan selamat Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga! Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa!

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 11 Agustus 2021 : KATEKESE TENTANG SURAT SANTO PAULUS KEPADA JEMAAT GALATIA (BAGIAN 4) - HUKUM MUSA

Saudara dan saudari, selamat pagi!

 

“Apakah maksudnya hukum Taurat?” (Gal 3:19). Inilah pertanyaan yang ingin kita perdalam hari ini, melanjutkan bersama Santo Paulus, untuk mengenali kebaruan hidup Kristiani yang dimeriahkan oleh Roh Kudus. Tetapi jika ada Roh Kudus, jika ada Yesus yang menebus kita, apakah maksudnya hukum Taurat? Dan inilah yang harus menjadi cerminan kita hari ini. Rasul Paulus menulis : “Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat” (Gal 5:18). Sebaliknya, para pencela Paulus bersikeras bahwa jemaat Galatia harus mengikuti Hukum Taurat untuk diselamatkan. Mereka berjalan mundur. Mereka bernostalgia akan masa lalu, masa sebelum Yesus Kristus. Rasul Paulus sama sekali tidak sepakat. Ini bukanlah persyaratan yang telah ia sepakati bersama para Rasul lainnya di Yerusalem. Ia mengingat dengan sangat baik kata-kata Petrus ketika ia berkata, ”Kalau demikian, mengapa kamu mau mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu kuk, yang tidak dapat dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri?” (Kis 15:10). Kecenderungan yang muncul dalam 'konsili pertama' tersebut – konsili ekumenis pertama adalah konsili yang terjadi di Yerusalem – dan kecenderungan yang muncul sangat jelas. Mereka mengatakan : “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini: kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan” (Kis 15:28-29). Beberapa hal mengenai penyembahan Allah, dan penyembahan berhala, serta beberapa hal tentang cara memahami kehidupan pada waktu itu.

 

Ketika Paulus berbicara tentang Hukum, ia biasanya mengacu pada Hukum Musa, hukum yang diberikan oleh Musa, Dasa Firman. Hukum Musa berhubungan, berada dalam perjalanan, berada dalam persiapan, terkait dengan Perjanjian yang telah ditetapkan Allah dengan umat-Nya. Menurut berbagai teks Perjanjian Lama, Taurat – yaitu, istilah Ibrani yang digunakan untuk menunjukkan Hukum – adalah kumpulan dari semua ketentuan dan norma yang harus dipatuhi oleh bangsa Israel berdasarkan Perjanjian dengan Allah. Perpaduan yang efektif tentang apakah maksudnya Hukum Taurat dapat ditemukan dalam teks Ulangan ini, yang mengatakan ini : “TUHAN, Allahmu, akan melimpahi engkau dengan kebaikan dalam segala pekerjaanmu, dalam buah kandunganmu, dalam hasil ternakmu dan dalam hasil bumimu, sebab TUHAN, Allahmu, akan bergirang kembali karena engkau dalam keberuntunganmu, seperti Ia bergirang karena nenek moyangmu dahulu -- apabila engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dengan berpegang pada perintah dan ketetapan-Nya, yang tertulis dalam kitab Taurat ini dan apabila engkau berbalik kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu” (30:9-10). Jadi, ketaatan pada Hukum memastikan manfaat Perjanjian bagi bangsa dan memastikan ikatan tertentu dengan Allah. Bangsa ini, penduduk ini, orang-orang ini, mereka terhubung dengan Allah dan mereka membuatnya terlihat, persatuan dengan Allah ini, dalam penggenapan, dalam ketaatan pada Hukum. Dalam membuat Perjanjian dengan Israel, Allah menawarkan kepada mereka Taurat, Hukum, sehingga mereka dapat memahami kehendak-Nya dan hidup dalam keadilan. Kita harus berpikir bahwa pada saat itu, Hukum seperti ini diperlukan, Hukum adalah karunia luar biasa yang diberikan Allah kepada umat-Nya. Mengapa? Karena pada saat itu kekafiran ada di mana-mana, penyembahan berhala ada di mana-mana dan perilaku manusia adalah akibat dari penyembahan berhala. Oleh karena hal ini, karunia agung yang diberikan Allah kepada umat-Nya adalah hukum, sehingga mereka bisa bertekun. Beberapa kali, terutama dalam kitab-kitab para nabi, dicatat bahwa tidak menjalankan hukum Taurat merupakan pengkhianatan nyata terhadap Perjanjian, sebagai akibatnya memicu murka Allah. Hubungan antara Perjanjian dan Hukum begitu erat sehingga kedua kenyataan itu tidak dapat dipisahkan. Hukum adalah cara seseorang, suatu umat menyatakan bahwa mereka berada dalam perjanjian dengan Allah.

 

Jadi, mengingat semua hal ini, mudah untuk memahami seberapa baik para misionaris yang telah menyusup ke Galatia menemukan permainan yang adil dengan mempertahankan bahwa mematuhi Perjanjian juga termasuk mematuhi Hukum Musa seperti yang dilakukan pada waktu itu. Namun demikian, tepatnya mengenai hal ini, kita dapat menemukan kecerdasan rohani Santo Paulus dan wawasan besar yang diungkapkannya, ditopang oleh rahmat yang diterimanya untuk perutusan penginjilannya.

 

Rasul Paulus menjelaskan kepada Jemaat Galatia bahwa, pada kenyataannya, Perjanjian dan Hukum tidak terkait tak terpisahkan – Perjanjian dengan Allah dan Hukum Musa. Unsur pertama yang diandalkannya adalah Perjanjian yang dibuat Allah dengan Abraham didasarkan pada iman akan penggenapan janji dan bukan pada ketaatan pada Hukum yang belum ada. Abraham memulai perjalanannya berabad-abad sebelum Hukum Taurat. Rasul Paulus menulis : “Maksudku ialah: Janji yang sebelumnya telah disahkan Allah, tidak dapat dibatalkan oleh hukum Taurat, yang baru terbit empat ratus tiga puluh tahun kemudian [dengan Musa], sehingga janji itu hilang kekuatannya. Sebab, jikalau apa yang ditentukan Allah berasal dari hukum Taurat, ia tidak berasal dari janji [yang datang sebelum Hukum, janji kepada Abraham]; tetapi justru oleh janjilah Allah telah menganugerahkan kasih karunia-Nya kepada Abraham” (Gal 3:17-18), kemudian Hukum datang empat ratus tiga puluh tahun kemudian. Dengan alasan ini, Paulus mencapai tujuannya yang pertama : Hukum bukanlah dasar dari Perjanjian karena datang kemudian, Hukum perlu dan baru saja, tetapi sebelum Hukum ada janji, Perjanjian.

 

Argumen seperti itu mendiskualifikasi semua orang yang mendukung bahwa Hukum Musa adalah bagian pokok Perjanjian. Tidak, Perjanjian datang lebih dulu, dan panggilan datang kepada Abraham. Taurat, Hukum, pada kenyataannya, tidak termasuk dalam janji yang dibuat kepada Abraham. Tetapi, setelah mengatakan hal ini, orang tidak boleh berpikir bahwa Santo Paulus menentang Hukum Musa. Tidak, ia mengamatinya. Beberapa kali dalam Suratnya, ia membela asal usul ilahinya dan mengatakan bahwa Hukum Musa memiliki peran yang jelas dalam sejarah keselamatan. Namun, Hukum Musa tidak memberikan kehidupan, tidak menawarkan penggenapan janji karena tidak mampu untuk menggenapinya. Hukum adalah sebuah perjalanan, sebuah perjalanan yang mengarah pada sebuah perjumpaan. Paulus menggunakan sebuah kata, saya tidak tahu apakah kata tersebut terdapat dalam teks, kata yang sangat penting : hukum adalah "pendidik" menuju Kristus, pendidik menuju iman kepada Kristus, yaitu guru yang menuntun tanganmu menuju perjumpaan (bdk. Gal 3:24). Mereka yang mencari kehidupan perlu melihat janji dan penggenapannya di dalam Kristus.

 

Saudara dan saudari yang terkasih, bentangan pertama Rasul Paulus kepada jemaat Galatia ini menyajikan pembaruan radikal kehidupan Kristiani : semua orang yang memiliki iman kepada Yesus Kristus dipanggil untuk hidup dalam Roh Kudus, yang membebaskan dari Hukum dan, pada saat yang sama, mewujudkannya sesuai dengan perintah kasih. Ini sangat penting. Hukum membawa kita kepada Yesus. Tetapi salah seorang dari kamu mungkin berkata kepada saya : “Tetapi, Bapa, hanya satu hal : apakah ini berarti bahwa jika saya mendoakan Syahadat, saya tidak perlu menjalankan perintah-perintah?” Tidak, perintah-perintah itu sah dalam arti merupakan “pendidik” [guru] yang menuntunmu menuju perjumpaan dengan Kristus. Tetapi jika kamu mengesampingkan perjumpaan dengan Yesus dan ingin kembali memberikan perhatian yang lebih besar pada perintah-perintah, inilah masalah para misionaris fundamentalis yang telah menyusup ke Galatia untuk membingungkan mereka.

 

Semoga Tuhan membantu kita untuk melakukan perjalanan di sepanjang jalan perintah tetapi memandang ke arah kasih Kristus, dengan berjumpa Kristus, mengetahui bahwa perjumpaan dengan Yesus lebih penting daripada semua perintah.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Saat kita bersiap untuk merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, saya mempercayakan kalian dan keluarga kalian kepada pengantaraan keibuannya, agar ia sudi membimbing kita dalam perjalanan peziarahan kita menuju penggenapan janji-janji Kristus. Semoga Allah memberkati kalian!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang Surat Santo Paulus kepada Jemaat Galatia, kita telah melihat Rasul Paulus menuntut pembaruan hidup Kristiani, berkat karya Roh Kudus di dalam hati kita. Terhadap orang-orang yang mendesak Jemaat Galatia untuk mematuhi ajaran Hukum Musa, Paulus menjawab bahwa Hukum selalu melayani Perjanjian Allah dengan umat-Nya. Perjanjian itu sendiri tidak didasarkan pada ketaatan pada Hukum tetapi pada iman akan penggenapan janji-janji Allah. Sekarang setelah Allah secara definitif menggenapi janji-janji tersebut dalam misteri Paskah sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, mereka yang percaya kepada Injil dibebaskan dari tuntutan Hukum. Maka, kebaruan hidup Kristiani lahir dari tanggapan kita terhadap pencurahan Roh Kudus, yang membawa Hukum untuk digenapi dalam perintah kasih yang baru.

____

 

*(Peter Suriadi - Bogor, 11 Agustus 2021)*