Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 29 Juni 2023 : PETRUS SEBAGAI BATU KARANG, BATU DAN KERIKIL

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!


Dalam Bacaan Injil hari ini, Hari Raya Santo Petrus dan Santo Paulus, Rasul, Yesus berkata kepada Simon, salah seorang dari dua belas rasul : "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan gereja-Ku" (Mat 16:18). Petrus adalah nama yang memiliki beberapa arti: bisa berarti batu karang, batu, atau sederhananya, kerikil. Dan sebenarnya, jika kita melihat kehidupan Petrus, kita menemukan sedikit dari ketiga aspek namanya ini.


Petrus adalah batu karang: sering kali ia kuat dan mantap, tulus dan murah hati. Ia meninggalkan segalanya untuk mengikuti Yesus (bdk. Luk 5:11); ia mengenali Kristus, Putra Allah yang hidup (Mat 16:16); ia terjun ke dalam danau untuk segera pergi menuju Yesus yang bangkit (bdk. Yoh 21:7). Kemudian, dengan berani dan teguh ia mewartakan Yesus di Bait Alah, sebelum dan sesudah ia ditangkap dan dicambuk (bdk. Kis 3:12-26; 5:25-42). Tradisi memberitahu kita juga tentang keteguhannya ketika menghadapi kemartiran, yang terjadi di sini (bdk. Klemens dari Roma, Surat kepada Jemaat Korintus, V,4).


Tetapi, Petrus juga adalah batu: ia adalah batu karang dan juga batu, mampu memberikan dukungan kepada orang lain – batu yang didirikan di atas Kristus, bertindak sebagai penopang bagi saudara dan saudari untuk pembangunan Gereja (bdk. 1 Ptr 2:4-8; Ef 2:19-22). Hal ini juga kita temukan dalam hidupnya: ia menanggapi panggilan Yesus bersama dengan Andreas, saudaranya, Yakobus dan Yohanes (bdk. Mat 4:18-22); ia menegaskan keinginan para Rasul untuk mengikuti Tuhan (bdk. Yoh 6:68); ia memperhatikan mereka yang menderita (bdk. Kis 3:6); ia mempromosikan dan mendorong pewartaan Injil secara komunal (bdk. Kis 15:7-11). Ia adalah "batu", titik acuan yang dapat diandalkan untuk seluruh komunitas.

 

Petrus adalah batu karang, ia adalah batu, dan ia juga bahkan kerikil: kekecilannya sering muncul. Kadang-kadang ia tidak mengerti apa yang diakukan Yesus (bdk. Mrk 8:32-33; Yoh 13:6-9); ketika dihadapkan dengan penangkapan Yesus, Petrus membiarkan rasa takut menguasainya dan menyangkal Yesus, lalu menyadari kesalahannya dan menangis dengan sedih (bdk. Luk 22:54-62), tetapi ia tidak menemukan keberanian untuk berdiri di bawah kaki salib. Ia mengunci diri dengan para murid lain di Ruang Atas karena takut ditangkap (bdk. Yoh 20:19). Di Antiokhia, ia merasa malu bersama-sama dengan orang-orang kristiani yang tidak bersunat – dan Paulus memanggilnya berkenaan hal ini dan memintanya untuk konsisten mengenai hal ini (bdk. Gal 2:11-14); pada akhirnya, menurut tradisi Quo Vadis, ia berusaha melarikan diri saat menghadapi kemartirannya, tetapi di tengah jalan ia bertemu Yesus dan mendapatkan kembali keberanian untuk menghadapinya.

Ini semua ada di dalam diri Petrus : kekuatan batu karang, keandalan batu, dan kecilnya kerikil bersahaja. Ia bukan manusia super – ia adalah manusia seperti kita, seperti kita semua, yang mengatakan “ya” dengan murah hati kepada Yesus dalam ketidaksempurnaannya. Tetapi persis seperti inilah – seperti halnya di dalam diri Paulus dan di dalam semua orang kudus – tampak bahwa Allahlah yang menguatkan Petrus dengan rahmat-Nya, yang mempersatukan kita dengan kasih-Nya, dan mengampuni kita dengan belas kasihan-Nya. Dan dengan kemanusiaan sejati inilah Roh Kudus membentuk Gereja. Petrus dan Paulus adalah orang-orang yang sesungguhnya. Dan hari ini, melebihi sebelumnya, kita membutuhkan orang-orang yang sesungguhnya.

Sekarang, marilah kita melihat ke dalam dan bertanya pada diri kita beberapa pertanyaan mulai dari batu karang, dari batu dan dari kerikil. Dari batu karang: Di dalam diri kita, apakah ada kegairahan, semangat, hasrat untuk Tuhan dan Injil? Atau adakah sesuatu yang mudah hancur? Dan kemudian, apakah kita batu, bukan batu sandungan, tetapi jenis batu yang dapat digunakan untuk membangun Gereja? Apakah kita bekerja untuk persatuan, apakah kita tertarik pada orang lain, terutama orang yang paling lemah? Akhirnya, memikirkan kerikil: Apakah kita menyadari kekecilan kita? Dan terutama, dalam kelemahan kita, apakah kita mempercayakan diri kita kepada Tuhan yang mengerjakan hal-hal besar melalui orang-orang yang rendah hati dan tulus?


Semoga Maria, Ratu Para Rasul, membantu kita meneladani kekuatan, kemurahan hati dan kerendahan hati Santo Petrus dan Santo Paulus.


[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]


Saudara-saudari terkasih,


Saya menyampaikan salam hangat dan selamat kepada umat Roma, pada hari raya Petrus dan Paulus, kedua santo pelindungmu! Saya berterima kasih kepada Lembaga Pro Loco Roma, yang telah menyelenggarakan festival bunga bersejarah, yang dibuat oleh toko bunga utama dari berbagai Lembaga Pro Loco Italia, sekarang edisi kesepuluh: Saya melihat beberapa pajangan dari sini… hamparan bunga-bunga yang indah yang terinspirasi oleh perdamaian, dan ini memberitahu kita untuk tidak pernah lelah berdoa untuk perdamaian, khususnya untuk rakyat Ukraina, yang ada di hati saya setiap hari.


Saya kembali menyapa Delegasi Patriarkat Ekumenis Konstantinopel, yang telah berpartisipasi dalam perayaan hari ini, dan saya menyampaikan pelukan kepada Saudara saya yang terkasih, Yang Mulia Bartholomew.


Saya menyapa kamu semua, mulai dari umat yang datang untuk merayakan bersama para uskup agung metropolitan, yang palliumnya telah saya berkati pagi ini, dan kemudian kelompok-kelompok dari Brasil, Kroasia, Meksiko, Nikaragua, Polandia, Amerika Serikat dan berbagai tempat di Italia.


Saya mengucapkan selamat hari raya kepada kamu semua, dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2023)


WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 28 Juni 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 17) - SAKSI-SAKSI : SANTA MARY MACKILLOP

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita harus sedikit bersabar, dengan panas ini – dan terima kasih telah datang, dengan panas ini, dengan matahari ini : terima kasih banyak atas kunjunganmu.

 

Dalam rangkaian katekese tentang semangat apostolik ini – kita berbicara tentang hal ini – kita menjumpai beberapa tokoh teladan pria dan wanita dari di setiap waktu dan segala tempat, yang telah mempersembahkan hidup mereka demi Injil. Hari ini kita akan pergi ke Oseania – jauh sekali, bukan? – sebuah kawasan yang terdiri dari banyak pulau, besar dan kecil. Iman kepada Kristus, yang dibawa oleh begitu banyak imigran Eropa ke kawasan itu, segera mengakar dan menghasilkan buah yang melimpah (bdk. Seruan Apostolik Pasca Sinode Gereja di Oseania, 6). Di antara mereka adalah seorang biarawati yang luar biasa, Mary MacKillop (1842-1909), pendiri kongregasi Suster Santo Yosef dari Hati Kudus, yang mendedikasikan hidupnya untuk pembinaan intelektual dan religius kaum miskin di pedesaan Australia.

 

Mary MacKillop lahir di dekat Melbourne dari orangtua yang bermigrasi ke Australia dari Skotlandia. Sebagai seorang gadis belia, ia merasa terpanggil oleh Allah untuk melayani Dia dan memberikan kesaksian tentang Dia tidak hanya dengan kata-kata, tetapi terutama melalui kehidupan yang diubah oleh kehadiran Allah (bdk. Evangelii Gaudium, 259). Seperti Maria Magdalena, yang pertama kali berjumpa Yesus yang bangkit diutus oleh-Nya untuk mewartakan kepada para murid, Mary yakin bahwa ia juga diutus untuk menyebarkan Kabar Baik dan menarik orang lain untuk berjumpa Allah yang hidup.

 

Dengan bijak membaca tanda-tanda zaman, ia mengerti bahwa baginya, cara terbaik untuk melakukan semua itu adalah melalui pendidikan kaum muda, dengan pengetahuan bahwa pendidikan Katolik adalah salah satu bentuk penginjilan. Cara tersebut adalah bentuk penginjilan yang luar biasa. Dengan cara ini, dapat kita katakan, jika “setiap orang kudus adalah sebuah perutusan, sebuah rencana Bapa untuk mencerminkan dan mewujudkan, pada setiap peristiwa tertentu dalam sejarah, unsur tertentu dari Injil” (Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate, 19), maka Mary McKillop terutama melakukannya melalui pendirian sekolah-sekolah.

 

Karakteristik penting dari semangatnya demi Injil adalah peduli terhadap orang-orang miskin dan terpinggirkan. Dan hal ini sangat penting : di jalan menuju kekudusan, yang merupakan jalan kristiani, orang-orang miskin dan terpinggirkan adalah tokoh utamanya, dan seseorang tidak dapat berkembang dalam kekudusan jika ia tidak berdedikasi kepada mereka juga, dengan satu atau lain cara. Bahkan mereka adalah kehadiran Tuhan, orang-orang yang membutuhkan pertolongan Tuhan. Suatu kali saya membaca sebuah ungkapan yang mengejutkan saya; dikatakan demikian : “Tokoh utama sejarah adalah para pengemis. Merekalah yang menarik perhatian pada ketidakadilan yang luar biasa ini, yang merupakan kemiskinan luar biasa di dunia”. Uang dihabiskan untuk membuat senjata, bukan untuk penyediaan pangan. Dan jangan lupa: tidak ada kekudusan jika dengan satu atau lain cara tidak ada kepedulian terhadap orang-orang miskin, orang-orang yang membutuhkan, orang-orang yang agak terpinggirkan oleh masyarakat. Kepedulian terhadap orang-orang miskin dan terpinggirkan ini mendorong Mary untuk pergi ke tempat yang tidak dimaui atau tidak dibisakan orang lain. Pada tanggal 19 Maret 1866, pada Hari Raya Santo Yosef, ia membuka sekolah pertama di kota kecil pinggiran Australia Selatan. Berikutnya, ia dan para biarawatinya mendirikan banyak sekolah lain dalam komunitas-komunitas pedesaan di seluruh Australia dan Selandia Baru. Bahkan jumlahnya berlipat ganda, semangat kerasulan seperti itu : semangat kerasulan melipatgandakan karya.

 

Mary MacKillop yakin tujuan pendidikan adalah perkembangan terpadu manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat; dan ini membutuhkan kebijaksanaan, kesabaran, dan amal kasih setiap pendidik.

 

Memang, pendidikan tidak hanya berupa mengisi kepala dengan berbagai gagasan: tidak, bukan hanya ini, tetapi berupa apakah pendidikan? Menemani dan menyemangati siswa di jalan pertumbuhan manusiawi dan rohani, menunjukkan kepada mereka bagaimana persahabatan dengan Yesus yang bangkit melapangkan hati dan membuat hidup semakin manusiawi. Mendidik dan membantu untuk berpikir dengan baik, berperasaan baik (bahasa hati) dan berbuat baik (bahasa tangan). Visi ini sangat relevan dewasa ini, ketika kita merasakan kebutuhan akan “pakta pendidikan” yang mampu menyatukan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara keseluruhan.

 

Semangat Mary MacKillop untuk menyebarkan Injil di antara orang-orang miskin juga membawanya untuk melakukan sejumlah karya amal kasih lainnya, dimulai dengan “Panti Penyelenggaraan Ilahi” yang dibuka di Adelaide untuk menerima orang-orang tua dan anak-anak terlantar. Mary memiliki keyakinan yang besar akan pemeliharaan Allah : ia selalu yakin dalam situasi apa pun Allah menyediakan. Tetapi ini tidak menghindarkannya dari kecemasan dan kesulitan yang timbul dari kerasulannya, dan Mary memiliki alasan yang tepat untuk hal ini: ia harus membayar tagihan, bernegosiasi dengan para uskup dan imam setempat, mengelola sekolah serta membina keahlian dan kerohanian para biarawatinya; dan, kemudian, ia menderita masalah kesehatan. Namun, ia melalui itu semua dengan tetap tenang, dengan sabar memikul salib yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perutusannya.

 

Dalam suatu kesempatan, pada Pesta Salib Suci, Mary berkata kepada salah seorang biarawatinya : “Putriku, selama bertahun-tahun aku telah belajar mengasihi Salib”. Selama bertahun-tahun aku telah belajar mengasihi Salib. Ia tidak menyerah pada masa pencobaan dan kegelapan, ketika sukacitanya diredam oleh tentangan atau penolakan. Lihatlah ini: semua orang kudus menghadapi tentangan, bahkan di dalam Gereja. Ini sukar dipahami. Dan ia menghadapinya juga. Ia tetap yakin bahkan ketika Tuhan memberinya “roti penderitaan dan air penderitaan” (Yes 30:20), Tuhan sendiri akan segera menjawab seruannya dan mengelilinginya dengan kasih karunia-Nya. Inilah rahasia semangat kerasulan : hubungan yang terus-menerus dengan Tuhan.

 

Saudara-saudari, semoga pemuridan misioner Santa Mary MacKillop, tanggapan kreatifnya terhadap kebutuhan Gereja pada masanya, dan komitmennya terhadap pembinaan terpadu kaum muda mengilhami kita semua hari ini, memanggil kita untuk menjadi ragi Injil dalam masyarakat yang sedang berubah dengan cepat. Semoga teladan dan pengantaraannya mendukung karya sehari-hari para orangtua, guru, katekis, dan seluruh pendidik, demi kebaikan kaum muda serta demi masa depan yang semakin manusiawi dan penuh harapan. Terima kasih banyak.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Inggris, Australia, Palestina, Filipina, Kanada, dan Amerika Serikat. Atasmu dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese kita tentang semangat kerasulan, kita telah merenungkan teladan pria dan wanita di setiap waktu dan segala tempat yang mendedikasikan hidup mereka untuk penyebaran Injil. Hari ini kita beralih ke kawasan Oseania nun jauh dan kesaksian Santa Mary MacKillop, seorang pendidik yang luar biasa dan pendiri kongregasi Suster Santo Yosef dari Hati Kudus. Putri imigran asal Skotlandia, Mary melihat kebutuhan besar akan sekolah di antara anak-anak komunitas pedesaan Australia yang dilanda kemiskinan. Bersama dengan para biarawati dari kongregasinya, ia mendirikan banyak sekolah di seluruh negeri untuk pembinaan rohani dan kemanusiaan kaum muda. Kepercayaan besar Maria pada pemeliharaan Allah dan kuasa salib menopangnya di tengah pencobaan yang tak terelakkan yang ia hadapi dalam kerasulannya yang terus berkembang. Seraya kita bersyukur atas buah-buah semangatnya yang kekal demi Injil, marilah kita berdoa agar tanggapan kreatifnya terhadap kebutuhan Gereja pada masanya dapat mengilhami upaya para orangtua, katekis, dan pendidik dewasa ini, saat mereka berusaha untuk memperkenalkan kepada kaum muda indahnya bersahabat dengan Yesus dan mempersiapkan mereka untuk menjadi ragi Injil di dalam masyarakat yang berubah dengan cepat dewasa ini.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 28 Juni 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 25 Juni 2023 : HAL APAKAH YANG YANG SEHARUSNYA KITA TAKUTI?

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi, selamat hari Minggu!


Dalam Bacaan Injil hari ini, kepada murid-murid-Nya, sebanyak tiga kali, Yesus mengatakan “janganlah takut” (Mat 10:26, 28, 31). Sesaat sebelumnya, Ia telah berbicara kepada mereka tentang penganiayaan yang harus mereka alami demi Injil, sebuah fakta yang masih menjadi kenyataan. Sesungguhnya, sejak permulaan, Gereja telah mengalami, bersama-sama dengan sukacita – yang banyak telah ia alami – banyak penganiayaan. Tampak bertolak belakang : pewartaan Kerajaan Allah adalah sebuah pesan perdamaian dan keadilan, berdasarkan amal kasih persaudaraan dan pengampunan; justru bertemu dengan pertentangan, kekerasan, penganiayaan. Namun, Yesus mengatakan jangan takut, bukan karena semuanya akan baik-baik saja di dunia ini, tidak, tetapi karena kita berharga bagi Bapa-Nya dan tidak ada yang baik yang akan sirna. Oleh karena itu, Ia memberitahu kita untuk tidak membiarkan rasa takut menghalangi kita, justru takut akan satu hal lain, satu hal semata. Hal apakah yang dikatakan Yesus kepada kita yang seharusnya kita takuti?

 

Kita menemukan apa yang seharusnya kita takuti melalui gambaran yang dipergunakan Yesus hari ini: gambaran "Gehenna" (bdk. ayat 28 : neraka). Lembah "Gehenna" adalah tempat yang dikenal baik oleh penduduk Yerusalem. Gehenna adalah tempat pembuangan sampah besar kota. Yesus membicarakannya untuk mengatakan bahwa ketakutan yang sesungguhnya yang seharusnya kita miliki adalah ketakutan mencampakkan hidup kita. Yesus berkata, “Ya, takutlah akan hal itu”. Yesus seperti mengatakan : kamu tidak perlu terlalu takut menderita akibat kesalahpahaman dan kritik, kehilangan harga diri dan keuntungan ekonomi demi tetap setia kepada Injil, janganlah takut, tetapi takutlah menyia-nyiakan keberadaanmu untuk mengejar hal-hal yang tidak berharga yang tidak memenuhi kebermaknaan hidup.

Hal ini penting bagi kita hari ini. Bahkan hari ini, pada kenyataannya, beberapa orang dicemooh atau didiskriminasi karena tidak mengikuti langgam tertentu, yang, bagaimanapun, menempatkan kenyataan kelas dua sebagai pusatnya - misalnya, menuruti berbagai hal ketimbang orang-orang, pencapaian ketimbang hubungan. Marilah kita berikan contoh : saya memikirkan beberapa orangtua yang perlu bekerja untuk menghidupi keluarga mereka, tetapi mereka tidak dapat hidup untuk bekerja semata – mereka membutuhkan cukup waktu untuk bersama anak-anak mereka. Saya juga memikirkan seorang imam atau seorang biarawati yang perlu mengabdikan diri untuk pelayanan, namun tanpa lupa untuk mendedikasikan waktu bersama Yesus, jika tidak, mereka akan jatuh ke dalam keduniawian rohani dan kehilangan kesadaran akan siapa diri mereka. Dan juga, saya sedang memikirkan seorang pria atau wanita muda yang memiliki ribuan komitmen dan minat – sekolah, olahraga, berbagai kepentingan, gawai, dan jejaring sosial – tetapi perlu bertemu orang-orang dan mencapai impian besar, tanpa kehilangan waktu untuk melewati banyak hal yang tidak meninggalkan jejaknya.

 

Semua ini, saudara-saudari, membutuhkan beberapa penolakan terhadap berhala efisiensi dan konsumerisme. Tetapi ini diperlukan agar tidak tersesat dalam berbagai hal yang akhirnya tercampakkan, seperti saat mereka membuang barang-barang di Gehenna. Dan orang-orang sering berakhir di Gehenna hari ini. Marilah kita pikirkan, paling tidak siapakah yang sering diperlakukan seperti barng limbah dan obyek yang tidak diinginkan. Ada harga untuk tetap setia pada apa yang penting. Harganya adalah berjalan melawan arus, harganya adalah membebaskan diri kita dari pengaruh opini publik, harganya adalah terpisah dari mereka yang “mengikuti arus”. Tetapi itu tidak masalah, kata Yesus. Yang penting adalah tidak mencampakkan kebaikan terbesar : hidup. Inilah satu-satunya hal yang seharusnya membuat kita takut.

 

Jadi marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : Aku, apa yang kutakuti? Tidak memiliki apakah yang kusukai? Tidak mencapai tujuan yang ditetapkan masyarakat? Menghakimi orang lain? Atau lebih tepatnya tidak berkenan kepada Tuhan, dan tidak mengutamakan Injil-Nya? Maria, Perawan murni, Bunda yang mahabijaksana, tolonglah kami untuk menjadi bijaksana dan berani dalam pilihan yang kami buat.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya sangat sedih dengan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu di Pusat Penjara Perempuan Támara di Honduras. Kekerasan yang mengerikan di antara geng-geng yang bersaing menyebabkan kematian dan penderitaan. Saya mendoakan mereka yang meninggal; saya mendoakan keluarga mereka. Semoga Perawan Suyapa, Bunda Honduras, membantu segenap hati untuk membuka diri bagi rekonsiliasi dan menciptakan ruang untuk hidup berdampingan persaudaraan, bahkan di dalam penjara.

 

Hari-hari ini, 40 tahun hilangnya Emanuela Orlandi diperingati. Saya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengungkapkan sekali lagi kedekatan saya dengan para anggota keluarganya, terutama ibunya, dan meyakinkan mereka akan doa saya. Saya mengingat semua keluarga yang menanggung kesedihan akibat hilangnya orang-orang yang mereka sayangi.

 

Saya menyapa kamu semua, para peziarah dari Roma, dari Italia dan berbagai negara, khususnya, umat dari Bogotá, Kolombia.

 

Saya menyapa Persaudaraan Ordo Fransiskan Sekuler dari Pisa; anak-anak dari Gubbio, Perugia dan Spoleto; rombongan dari Limbadi yang sedang merayakan Leo muda; mereka yang sedang ikut serta dalam peziarahan sepeda motor dari Cesena dan Longiano; serta para sukarelawan Radio Maria yang, dengan spanduk besar, mengundang “semua orang di bawah jubah” Perawan Maria, untuk memohonkan kepada Allah rahmat perdamaian. Dan kita memohonkan hal ini terutama untuk rakyat Ukraina yang sedang menderita.

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Juni 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 18 Juni 2023 : KEDEKATAN ALLAH ADALAH PEMBERITAAN PERTAMA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada orang-orang yang, selama hari-hari saya tinggal di Rumah Sakit Gemelli, menunjukkan kepada saya kasih sayang, perhatian dan persahabatan, serta meyakinkan saya dengan dukungan doa. Kedekatan manusiawi dan rohani ini sangat membantu dan menghibur saya. Terima kasih semua! Terima kasih! Terima kasih dari hatiku!

 

Hari ini, dalam Bacaan Injil, Yesus memanggil – Ia memanggil – dan mengutus kedua belas Rasul. Dengan mengutus mereka, Ia meminta mereka untuk memberitakan hanya satu hal : "Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Surga sudah dekat" (Mat 10:7). Yesus juga memberitakan hal tersebut ketika Ia mulai berkhotbah : kerajaan Allah, yaitu kekuasaan kasih-Nya, sudah dekat, datang di tengah-tengah kita. Dan ini bukan hanya sepenggal berita di antara berita-berita lainnya, tidak, tetapi kenyataan dasariah kehidupan: kedekatan Allah, kedekatan Yesus.

 

Memang, jika Allah surgawi dekat, kita tidak sendirian di bumi, dan bahkan dalam kesulitan kita tidak kehilangan kepercayaan. Inilah hal pertama yang harus dikatakan kepada orang-orang : Allah tidak jauh, tetapi Iia adalah Bapa. Allah tidak jauh, Ia adalah Bapa, Ia mengenal dan mengasihimu; Ia ingin menggandeng tanganmu, bahkan saat kamu menempuh jalan yang terjal, bahkan saat kamu jatuh dan berjuang untuk bangkit kembali dan kembali ke jalur semula. Ia, Tuhan, ada bersamamu. Memang, seringkali di saat-saat kamu berada pada posisi terlemah, kamu dapat merasakan kehadiran-Nya semakin kuat. Ia mengenal jalan, Ia bersamamu, Ia adalah Bapamu! Ia adalah Bapaku! Ia adalah Bapa kita!

 

Marilah kita tinggal dengan gambaran ini, karena memberitakan Allah yang dekat dengan kita mengajakmu untuk berpikir seperti anak kecil, yang berjalan dengan digandeng tangan ayahnya : segala sesuatu tampak berbeda. Dunia, luas dan misterius, menjadi akrab dan aman, karena sang anak tahu bahwa ia terlindungi. Ia tidak takut, dan belajar bagaimana membuka diri : ia bertemu orang lain, menemukan teman baru, dengan gembira belajar hal-hal yang tidak ia ketahui, dan kemudian pulang ke rumah dan memberitahu semua orang apa yang ia lihat, sementara di dalam dirinya tumbuh keinginan menjadi dewasa dan melakukan hal-hal yang ia lihat dilakukan oleh ayahnya. Inilah sebabnya mengapa Yesus memulai dari sini, inilah sebabnya mengapa kedekatan Allah adalah pemberitaan pertama : dengan tetap dekat dengan Allah, kita mengalahkan rasa takut, kita membuka diri untuk mengasihi, kita bertumbuh dalam kebaikan dan kita merasakan kebutuhan dan sukacita untuk memberitakan.

 

Jika kita ingin menjadi rasul yang baik, kita harus menjadi seperti anak-anak : kita harus duduk “di pangkuan Allah” dan, dari sana, memandang dunia dengan kepercayaan dan kasih, untuk memberikan kesaksian bahwa Allah adalah Bapa, hanya Ia yang mengubah rupa hati kita serta memberi kita sukacita dan kedamaian yang tidak dapat kita capai.

 

Memberitakan Allah itu dekat – tetapi bagaimana kita bisa melakukannya? Dalam Bacaan Injil, Yesus menceritakan dan menganjurkan untuk tidak banyak berkata-kata, tetapi melakukan banyak perbuatan kasih dan pengharapan dalam nama Tuhan. Tidak banyak bicara, menunjukkan perbuatan! Tuhan mengatakan, “Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang yang sakit kulit; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat 10:8). Inilah inti pemberitaan : kesaksian diberikan secara cuma-cuma, pelayanan. Saya akan memberitahumu sesuatu: Saya selalu bingung, sangat bingung, oleh "para pembicara" yang berbicara tanpa henti tetapi tanpa perbuatan.

 

Pada titik ini, marilah kita mengajukan beberapa pertanyaan : kita yang beriman kepada Allah yang dekat, saya bertanya-tanya : apakah kita percaya kepada-Nya? Tahukah kita bagaimana memandang ke depan dengan penuh kepercayaan, seperti seorang anak kecil yang tahu bahwa ia dipeluk ayahnya? Tahukah kita bagaimana duduk di pangkuan Bapa dengan doa, dengan mendengarkan Sabda, ikut serta dalam sakramen-sakramen? Dan terakhir, dekat dengan-Nya, tahukah kita bagaimana menanamkan keberanian dalam diri sesama kita, membuat diri kita dekat dengan orang-orang yang menderita dan sendirian, dengan orang-orang yang jauh bahkan orang-orang yang bermusuhan? Inilah hakikat iman. Inilah apa yang penting.

Dan sekarang marilah kita berdoa kepada Maria; semoga ia membantu kita merasakan kita dikasihi serta menyalurkan kedekatan dan kepercayaan.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Selasa depan, 20 Juni, adalah Hari Pengungsi Sedunia, yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa: dengan kesedihan dan kepiluan yang mendalam saya memikirkan para korban kegawatan karamnya kapal yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di lepas pantai Yunani. Dan sepertinya laut telah tenang. Saya kembali mendoakan orang-orang yang kehilangan nyawa, dan saya memohon agar segala sesuatu yang mungkin selalu dilakukan untuk mencegah tragedi serupa.

 

Dan saya juga mendoakan para siswa muda, korban serangan brutal terhadap sebuah sekolah di Uganda barat. Pertempuran ini, perang ini ada di mana-mana… marilah kita berdoa untuk perdamaian!

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan banyak negara lainnya, terutama umat Florida dan Munchen. Saya menyapa Sekolah Santo Yohanes Paulus II di Opole, Polandia, dan Sekolah Santo Filipus Neri di London.

 

Saya juga menyapa kelompok dari Zogno, Guardiagrele dan Poggiomarino, serta Sekolah Rosario Scardigno di Molfetta. Dan saya juga menyapa para suster Maria Bambina yang sedang bergabung dalam doa Malaikat Tuhan.

 

Marilah kita bertekun dalam doa bagi penduduk Ukraina yang tersiksa – janganlah kita melupakan mereka! - yang sangat menderita.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu, dan tolong, janganlah lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Juni 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 7 Juni 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 16) - SAKSI-SAKSI : SANTA THERESIA DARI KANAK-KANAK YESUS, PELINDUNG MISI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Di sini relikui Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus, pelindung misi semesta ada di hadapan kita. Baiknya hal ini terjadi sementara kita merenungkan hasrat penginjilan, semangat kerasulan. Hari ini, marilah kita memperkenankan kesaksian Santa Theresia membantu kita. Ia lahir 150 tahun yang lalu, dan saya berencana untuk mendedikasikan sebuah surat apostolik baginya pada peringatan ini.

 

Ia adalah pelindung misi, tetapi ia tidak pernah diutus untuk bermisi. Ia adalah seorang biarawati Karmelit yang menjalani hidupnya sesuai dengan jalan kekecilan dan kelemahan : ia mendefinisikan dirinya sebagai "butir pasir kecil". Memiliki kesehatan yang buruk, ia meninggal dalam usia 24 tahun. Tetapi meskipun tubuhnya sakit-sakitan, hatinya bersemangat, misioner. Ia menceritakan dalam “buku harian”-nya bahwa keinginannya adalah menjadi seorang misionaris, dan ia ingin menjadi misionaris tidak hanya untuk beberapa tahun, tetapi selama sisa hidupnya, bahkan sampai akhir dunia. Theresia adalah seorang “saudari rohani” bagi beberapa misionaris : ia menyertai mereka dari biaranya melalui surat-suratnya, melalui doa-doanya, dan dengan terus menerus mempersembahkan kurban untuk mereka. Secara tidak kasat mata ia menjadi pengantara misi, seperti mesin yang, meski tersembunyi, memberi kekuatan kepada kendaraan untuk bergerak maju. Namun, ia sering tidak dipahami oleh sesama biarawati : dari mereka ia menerima "lebih banyak duri daripada mawar", tetapi ia menerima semuanya dengan penuh kasih, sabar, bahkan mempersembahkan penghakiman dan kesalahpahaman ini bersama dengan penyakitnya. Dan ia melakukannya dengan penuh sukacita, demi kebutuhan Gereja, sehingga, sebagaimana dikatakannya, “mawar akan jatuh pada semua orang,” terutama orang-orang yang paling jauh.

 

Kini, saya bertanya, berasal dari manakah seluruh hasrat ini, kekuatan misioner ini, dan sukacita menjadi pengantara ini? Dua episode yang terjadi sebelum Theresia memasuki biara membantu kita memahami hal ini.

 

Episode pertama menyangkut hari yang mengubah hidupnya, Natal 1886, ketika Allah membuat mukjizat di dalam hatinya. Tak lama setelah itu, Theresia akan berusia 14 tahun. Sebagai anak bungsu, ia dimanja oleh seisi rumahnya. Tetapi, sepulang Misa tengah malam, ayahnya yang sangat lelah tidak ingin berada di sana ketika putrinya membuka hadiah, dan berkata, “Untung ini tahun terakhir!”. Theresia, yang sangat peka dan mudah menangis, terluka, serta pergi ke kamarnya dan menangis. Tetapi ia dengan cepat menahan air mata, turun dan, dengan penuh sukacita, justru dialah yang menyemangati ayahnya. Apa yang sudah terjadi? Pada malam itu, ketika Yesus membuat dirinya lemah karena cinta, jiwanya menjadi kuat: hanya dalam beberapa saat, ia keluar dari penjara keegoisan dan mengasihani diri sendiri; ia mulai merasa bahwa “kasih memasuki hatinya, dengan kebutuhan untuk melupakan dirinya sendiri” (bdk. Naskah A, 133-134). Sejak saat itu, ia mengarahkan hasratnya kepada sesamanya, agar mereka dapat menemukan Allah, dan, alih-alih mencari penghiburan untuk dirinya sendiri, ia berangkat untuk "menghibur Yesus, [untuk] menjadikan-Nya dicintai oleh jiwa-jiwa", karena, sebagaimana dicatat Theresia, sang pujangga Gereja, “Yesus sakit bersama cinta dan [...] penyakit cinta tidak dapat disembuhkan kecuali dengan cinta” (Surat kepada Marie Guérin, Juli 1890). Inilah resolusi hariannya : “menjadikan Yesus dicintai” (Surat kepada Céline, 15 Oktober 1889), menjadi perantara bagi sesamanya. Ia menulis, “Aku ingin menyelamatkan jiwa-jiwa dan melupakan diriku demi mereka: aku ingin menyelamatkan mereka bahkan setelah kematianku” (Surat kepada Pater Roullan, 19 Maret 1897). Beberapa kali ia berkata, "Aku akan menghabiskan surgaku dengan berbuat baik di bumi".

 

Mengikuti teladan Yesus Sang Gembala yang baik, hasratnya terutama diarahkan kepada para pendosa, kepada ”mereka yang jauh”. Ini terungkap di dalam episode kedua. Theresia mengetahui tentang seorang penjahat, Enrico Pranzini, yang dijatuhi hukuman mati karena kejahatan yang mengerikan: ia dinyatakan bersalah atas pembunuhan brutal terhadap tiga orang, dan dijatuhi hukuman mati dengan pisau guillotine; tetapi ia tidak mau menerima penghiburan iman. Theresia membawanya ke dalam hati dan melakukan segala yang ia bisa : ia berdoa dengan segala cara untuk pertobatannya, sehingga ia, yang dengan belas kasih persaudaraan ia sebut "Pranzini yang malang", dapat menunjukkan sedikit tanda pertobatan dan memberi ruang bagi kerahiman Allah yang dipercaya Theresia secara membabi buta. Eksekusi berlangsung. Keesokan harinya, Theresia membaca di surat kabar bahwa Pranzini, tepat sebelum meletakkan kepalanya di atas balok, “tiba-tiba, diliputi oleh inspirasi yang tiba-tiba, berbalik, mengambil Salib yang diberikan imam kepadanya dan mencium luka suci Yesus sebanyak tiga kali". Sang santa berujar, "Kemudian jiwanya pergi untuk menerima ungkapan kerahiman Dia yang menyatakan bahwa akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan!" (Naskah A, 135).

 

Demikianlah kekuatan pengantaraan yang digerakkan oleh amal; demikianlah mesin misi! Para misionaris, sesungguhnya – Theresia adalah santa pelindung mereka – bukan hanya orang-orang yang melakukan perjalanan jauh, mempelajari bahasa baru, melakukan pekerjaan yang baik, dan pandai mewartakan; tidak, misionaris adalah siapa saja yang hidup sebagai sarana kasih Allah di mana pun mereka berada. Misionaris adalah orang yang melakukan segalanya agar Yesus dapat lewat, melalui kesaksian, doa dan perantaraan mereka.

 

Inilah hasrat kerasulan yang, marilah kita selalu ingat, tidak pernah bekerja dengan penyebaran agama atau paksaan, tetapi dengan ketertarikan : kita menjadi orang kristiani bukan karena dipaksa oleh seseorang, tetapi karena telah dijamah oleh cinta. Dengan begitu banyak sarana, metode, dan tatanan yang tersedia, yang terkadang menyimpang dari apa yang penting, Gereja membutuhkan hati seperti Theresia, hati yang menarik orang untuk mengasihi dan membawa orang semakin dekat kepada Allah. Marilah kita memohonkan kepada santa ini rahmat untuk mengatasi keegoisan kita serta hasrat untuk menjadi perantara agar Yesus dapat dikenal dan dicintai.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Skotlandia, Indonesia dan Amerika Serikat. Kepadamu dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai dari Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang hasrat kerasulan, kita sekarang berpaling kepada Santa Theresia dari Lisieux, pelindung misi semesta; dengan senang hati, hari ini relikuinya ada di tengah-tengah kita. Pada usia dini, Theresia melihat panggilan untuk memasuki Ordo Karmel dan mengabdikan hidupnya untuk mendoakan karya penginjilan Gereja. Ia mengangkat beberapa misionaris asing sebagai "saudari rohani", menulis surat dorongan semangat dan mendukung mereka dengan doa dan pengurbanan hariannya. Santa Theresia merindukan semua orang untuk membuka hati mereka terhadap kasih Yesus yang menyelamatkan. Ia sungguh menjadi pengantara untuk pertobatan para pendosa, bahkan orang-orang yang paling keras hati. Dalam penyakit terakhirnya, ia berjanji untuk melanjutkan pengantaraan itu bahkan setelah kematiannya. Santa Theresia mengingatkan kita bahwa amal dan doa pengantaraan, bahkan melebihi rencana dan rancangan, sangat penting untuk penyebaran Injil. Marilah kita memohon kepadanya untuk menjadi pengantara curahan hasrat misioner atas Gereja di zaman kita, sehingga nama Yesus dapat dikenal dan dicintai di mana-mana.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 7 Juni 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 4 Juni 2023 : TENTANG HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, Hari Raya Tritunggal Mahakudus, Bacaan Injil diambil dari dialog Yesus dengan Nikodemus (bdk. Yoh 3:16-18). Nikodemus adalah anggota Mahkamah Agama, bergairah sehubungan dengan misteri Allah: ia mengenali Yesus sebagai seorang guru ilahi dan pergi untuk berbicara dengan-Nya secara diam-diam, di malam hari. Yesus mendengarkannya, memahami bahwa ia adalah seorang yang sedang dalam pencarian, dan kemudian pertama-tama mengejutkannya, menjawab bahwa untuk memasuki Kerajaan Allah seseorang harus dilahirkan kembali; kemudian mengungkapkan pokok misteri itu kepadanya, mengatakan bahwa Allah sangat mengasihi umat manusia sehingga Ia mengutus Putra-Nya ke dunia. Oleh karena itu, Yesus, Sang Putra, berbicara tentang Bapa-Nya dan kasih-Nya yang luar biasa.

 

Bapa dan Putra. Gambaran umum yang, jika kita pikirkan, mengganggu gambaran kita tentang Allah. Memang, kata "Allah" itu sendiri sesungguhnya menunjukkan kepada kita kenyataan tunggal, agung dan jauh, sedangkan berbicara tentang Bapa dan Putra membawa kita kembali ke rumah. Ya, kita bisa memikirkan Allah dengan cara ini, melalui gambaran sebuah keluarga yang berkumpul di sekeliling meja, di mana kehidupan dibagikan. Selain itu, meja yang juga merupakan altar ini merupakan lambang ikon-ikon tertentu yang menggambarkan Tritunggal. Keluarga adalah gambaran yang berbicara kepada kita tentang Allah persekutuan. Bapa, Putra dan Roh Kudus : persekutuan.

 

Tetapi keluarga bukan hanya sebuah gambaran; keluarga adalah kenyataan! Keluarga adalah kenyataan karena Roh Kudus, Roh yang dicurahkan Bapa ke dalam hati kita melalui Yesus (bdk. Gal 4:6), membuat kita mengecap, membuat kita menikmati kehadiran Allah: kehadiran Allah, selalu dekat, penuh kasih sayang dan lembut. Roh Kudus melakukan terhadap kita apa yang dilakukan Yesus terhadap Nikodemus: Ia memperkenalkan kita kepada misteri kelahiran baru, kelahiran iman, kehidupan Kristiani, Ia mengungkapkan hati Bapa kepada kita, dan Ia membuat kita ambil bagian dalam kehidupan Allah yang sesungguhnya.

 

Undangan yang Ia sampaikan kepada kita, bisa kita katakan, adalah duduk di meja bersama Allah untuk ambil bagian dalam kasih-Nya. Ini akan menjadi gambaran. Inilah yang terjadi dalam setiap Misa, di altar meja Ekaristi, di mana Yesus mempersembahkan diri-Nya kepada Bapa dan mempersembahkan diri-Nya untuk kita. Ya, begitulah, saudara-saudari, Allah kita adalah persekutuan kasih: dan begitulah cara Yesus mengungkapkan diri-Nya kepada kita. Dan tahukah kamu bagaimana kita bisa mengingat hal ini? Dengan gerakan paling sederhana, yang kita pelajari ketika masih anak-anak : tanda salib, dengan tanda salib. Dengan gerakan paling sederhana, dengan tanda salib ini, dengan membuat tanda salib di tubuh kita, kita mengingatkan diri betapa Allah sangat mengasihi kita, sampai memberikan nyawa-Nya untuk kita; dan kita mengulanginya pada diri kita bahwa kasih-Nya menyelimuti diri kita sepenuhnya, dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan, laksana sebuah pelukan yang tidak pernah meninggalkan kita. Dan pada saat yang sama, kita berkomitmen untuk memberikan kesaksian tentang Allah Sang Kasih, menciptakan persekutuan dalam nama-Nya. Mungkin sekarang, kita masing-masing, dan bersama-sama, marilah kita membuat tanda salib pada diri kita.

 

Maka hari ini, kita dapat bertanya pada diri kita sendiri : apakah kita memberikan kesaksian tentang Allah Sang Kasih? Atau apakah Allah Sang Kasih pada gilirannya menjadi sebuah konsep, sesuatu yang telah kita dengar, yang tidak lagi membangkitkan kehidupan? Jika Allah adalah kasih, apakah komunitas kita menjadi saksi hal ini? Apakah mereka tahu bagaimana mengasihi? Apakah komunitas kita tahu bagaimana mengasihi? Dan keluarga kita… apakah kita tahu bagaimana mengasihi dalam keluarga? Apakah kita selalu membuka pintu, apakah kita tahu bagaimana menyambut semua orang – dan saya tekankan, setiap orang – menyambut mereka sebagai saudara dan saudari? Apakah kita menawarkan kepada setiap orang santapan pengampunan Allah dan sukacita Injil? Apakah kita menghirup udara rumah, atau kita lebih menyerupai kantor atau tempat khusus di mana hanya orang-orang pilihan yang dapat masuk? Allah adalah kasih, Allah adalah Bapa, Putra dan Roh Kudus, dan Ia memberikan hidup-Nya untuk kita, untuk salib ini.

 

Dan semoga Maria membantu kita untuk menghayati Gereja sebagai rumah di mana kita mengasihi secara akrab, demi kemuliaan Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Saya memastikan doa saya untuk banyak korban kecelakaan kereta api yang terjadi dua hari lalu di India. Saya dekat dengan orang-orang yang terluka dan keluarga mereka. Semoga Bapa surgawi menyambut jiwa mereka yang telah meninggal ke dalam kerajaan-Nya.

 

Saya menyapamu, umat Roma serta para peziarah dari Italia dan banyak negara, khususnya umat dari Villa Alemana, Cili, dan calon penerima sakramen krisma dari Cork, Irlandia. Saya menyapa kelompok dari Poggiomarino, Roccapriora, Macerata, Recanati, Aragona dan Mestrino; serta kaum-orang muda dari Santa Giustina di Colle.yang baru saja menerima sakramen krisma dan komuni pertama.

 

Sapaan khusus untuk perwakilan Carabinieri, yang saya ucapkan terima kasih atas kedekatan mereka setiap hari dengan penduduk; semoga Virgo Fedelis, pelindungmu, melindungimu dan keluargamu. Saya mempercayakan kepadanya, Bunda yang peduli, penduduk yang menderita bencana perang, terutama Ukraina terkasih yang terkepung.

 

Saya menyapa kamu semua, juga kaum muda Imakulata yang baik, dan kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Terima kasih, selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 4 Juni 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 31 Mei 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 15) - SAKSI-SAKSI : VENERABILIS MATTEO RICCI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Kita sedang melanjutkan katekese ini dengan berbicara tentang semangat kerasulan, yaitu apa yang dirasakan orang Kristiani untuk mewartakan Yesus Kristus. Dan hari ini saya ingin menyajikan teladan luar biasa lain dari semangat kerasulan : kita telah berbicara tentang Santo Fransiskus Xaverius, Santo Paulus, semangat kerasulan para pengikut fanatik yang luar biasa; hari ini kita akan berbicara tentang seseorang – orang Italia, tetapi berangkat ke Tiongkok : Matteo Ricci.

 

Berasal dari Macerata, Marches, setelah belajar di sekolah-sekolah Yesuit dan masuk Serikat Yesus di Roma, ia antusias dengan laporan para misionaris yang ia dengar dan ia bertambah antusias, seperti banyak pemuda lainnya yang merasakan hal yang sama, dan ia meminta untuk diutus bermisi di Timur Jauh. Setelah upaya Fransiskus Xaverius tanpa hasil, dua puluh lima Yesuit lainnya berusaha memasuki Tiongkok. Tetapi Ricci dan salah seorang rekannya mempersiapkan diri dengan sangat baik, dengan saksama mempelajari bahasa dan adat istiadat Tiongkok, dan pada akhirnya, mereka berhasil menetap di selatan negara itu. Butuh delapan belas tahun, dengan empat tahapan melalui empat kota berbeda, untuk tiba di Beijing, yang merupakan pusatnya. Dengan ketekunan dan kesabaran, diilhami oleh keyakinan yang tak tergoyahkan, Matteo Ricci mampu mengatasi kesulitan dan bahaya, ketidakpercayaan, dan pertentangan. Pikirkanlah jarak yang begitu jauh, pada saat itu, dengan berjalan kaki atau menunggang kuda… dan ia berjalan terus. Tetapi apa rahasia Matteo Ricci? Dengan jalan apa semangatnya mendorongnya?

 

Ia selalu mengikuti jalan dialog dan persahabatan dengan semua orang yang ditemuinya, dan ini membuka banyak pintu baginya untuk mewartakan iman kristiani. Karya pertamanya dalam bahasa Mandarin memang merupakan sebuah risalah tentang persahabatan, yang memiliki resonansi yang besar. Untuk masuk ke dalam budaya dan kehidupan Tiongkok, pertama-tama ia berpakaian seperti para bhiksu, menurut adat istiadat negara tersebut, tetapi kemudian ia mengerti bahwa cara terbaik adalah mengambil gaya hidup dan busana para sastrawan. Para intelektual berpakaian seperti profesor di perguruan tinggi, dan ia berpakaian seperti itu. Ia mempelajari teks-teks klasik mereka secara mendalam, sehingga ia bisa menghadirkan kekristenan dalam dialog positif dengan kebijaksanaan Konfusianisme mereka dan kebiasaan masyarakat Tiongkok. Dan ini disebut sikap inkulturasi. [Pada abad-abad awal Gereja] Misionaris ini mampu “menginkulturasi” iman kristiani, seperti yang dilakukan para bapa dahulu kala dalam berdialog dengan kebudayaan Yunani.

 

Pengetahuan ilmiahnya yang luar biasa membangkitkan minat dan kekaguman di pihak orang-orang berbudaya, mulai dari peta seluruh dunia yang terkenal sebagaimana dikenal pada saat itu, dengan berbagai benua, yang untuk pertama kalinya mengungkapkan kepada orang Tiongkok sebuah kenyataan di luar Tiongkok. jauh lebih luas dari yang mereka pikirkan. Ia menunjukkan kepada mereka bahwa dunia bahkan lebih besar dari Tiongkok, dan mereka mengerti, karena mereka cerdas. Tetapi pengetahuan matematika dan astronomi Ricci dan pengikut misionarisnya juga berkontribusi pada perjumpaan yang bermanfaat antara budaya dan ilmu pengetahuan Barat dan Timur, yang kemudian mengalami salah satu masa paling membahagiakan, yang ditandai dengan dialog dan persahabatan. Memang, karya Matteo Ricci tidak akan pernah terwujud tanpa kerjasama dari sahabat-sahabat Tiongkok yang luar biasa, seperti “Dokter Paul” (Xu Guangqi) dan “Dokter Leon” (Li Zhizao) yang terkenal.

 

Tetapi, ketenaran Ricci sebagai seorang ilmuwan seharusnya tidak mengaburkan motivasi terdalam dari seluruh usahanya : yaitu pewartaan Injil. Melalui dialog ilmiah, dengan para ilmuwan, ia terus maju tetapi ia memberikan kesaksian tentang imannya, tentang Injil. Kepercayaan yang diperoleh melalui dialog ilmiah memberinya wewenang untuk mengusulkan kebenaran iman dan moralitas kristiani, yang ia bicarakan secara mendalam dalam karya-karya utamanya di Tiongkok, seperti makna sebenarnya dari Tuhan Sang Empunya Surga - demikian judul bukunya. Selain ajaran, kesaksiannya tentang kehidupan rohani, kebajikan dan doa : para misionaris ini berdoa. Mereka mewartakan, mereka aktif, mereka melakukan gerakan politik, semua itu; tetapi mereka berdoa. Itulah yang memelihara kehidupan misioner, kehidupan amal; mereka membantu sesama, dengan rendah hati, dengan ketidaktertarikan sepenuhnya terhadap kehormatan dan kekayaan, yang membuat banyak murid dan para sahabatnya memeluk iman Katolik. Karena mereka melihat seorang yang begitu cerdas, begitu bijak, begitu cerdik – dalam arti kata yang baik – dalam menyelesaikan sesuatu, dan begitu saleh, sehingga mereka berkata, “Tetapi apa yang ia wartakan benar adanya, karena itu adalah bagian dari kepribadian yang memberikan kesaksian, ia memberikan kesaksian tentang apa yang ia wartakan dengan hidupnya”. Inilah keterpaduan para penginjil. Dan ini berlaku bagi kita semua umat kristiani yang adalah para penginjil. Kita dapat mendaraskan Syahadat dengan hati, kita dapat mengatakan semua hal yang kita yakini, tetapi jika hidup kita tidak selaras dengan ini, maka tidak ada gunanya. Apa yang menarik orang adalah kesaksian yang selaras : kita umat kristiani harus hidup seperti yang kita katakan, dan tidak berpura-pura hidup sebagai umat kristiani tetapi hidup dengan cara duniawi. Berhati-hatilah terhadap hal ini, lihatlah misionaris yang luar biasa ini – dan bukankah ia orang Italia – lihatlah misionaris yang luar biasa ini, lihatlah bahwa kekuatan terbesar adalah keselarasan : mereka selaras.

 

Di hari-hari terakhir hidupnya, kepada orang-orang yang paling dekat dengannya dan menanyakan bagaimana perasaannya, “ia menjawab bahwa pada saat itu ia sedang memikirkan mana yang lebih besar sukacita dan kegembiraan yang ia rasakan di dalam hati tentang gagasan bahwa ia sudah mendekati perjalanannya untuk pergi dan menikmati Allah, atau kesedihan karena meninggalkan rekan-rekannya dari seluruh misi yang sangat ia cintai, dan pelayanan yang masih bisa ia lakukan bagi Allah Tuhan kita dalam misi ini” (S. De Ursis, Laporan tentang M. Ricci, Arsip Sejarah Romawi SJ). Rasul Paulus bersikap sama (bdk. Flp 1:22-24), ia ingin pergi kepada Tuhan, untuk menemukan Tuhan, tetapi tetap “melayani kamu”.

 

Matteo Ricci meninggal di beijing pada tahun 1610, dalam usia 57 tahun, seorang yang telah memberikan seluruh hidupnya untuk misi. Semangat misioner Matteo Ricci merupakan model hidup yang relevan. Kecintaannya pada orang Tiongkok adalah sebuah model; tetapi jalan yang benar-benar tepat waktu adalah keterpaduan hidup, keterpaduan kesaksian keyakinan kristianinya. Ia membawa agama Kristen ke Tiongkok; ia luar biasa, ya, karena ia ilmuwan yang luar biasa, ia luar biasa karena ia berani, ia luar biasa karena ia menulis banyak buku - tetapi terutama, ia luar biasa karena ia selaras dalam panggilannya, selaras dalam keinginannya untuk mengikuti Yesus Kristus. Saudara-saudari, hari ini kita, kita masing-masing, marilah kita bertanya kepada diri kita dalam hati, “Apakah aku selaras, atau apakah aku sedikit 'biasa-biasa saja'?”. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyampaikan sapaan hangat kepada para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Inggris, Malta, Nigeria, Indonesia, Malaysia, dan Amerika Serikat. Secara khusus, saya menyapa banyak kelompok mahasiswa. Kepadamu dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang semangat kerasulan, kita sekarang beralih ke Matteo Ricci, salah seorang misionaris Yesuit awal ke Timur Jauh, yang memenuhi impian Santo Fransiskus Xaverius dan memasuki Tiongkok. Pastor Ricci dengan sabar menguasai bahasa Mandarin yang sulit dan membenamkan dirinya dalam budaya negara tersebut. Berkat tulisannya dalam Bahasa Mandarin serta pengetahuannya tentang matematika dan astronomi, Matteo Ricci dikenal dan dihormati sebagai orang bijak dan terpelajar. Pengetahuannya yang luas dan kemampuannya untuk terlibat dalam dialog yang tulus dan penuh hormat digunakan dalam pelayanan Injil, yang ia nyatakan tidak hanya dalam tulisannya tetapi juga dengan keteladanannya dalam kehidupan rohani, doa dan kebajikan, yang menarik banyak murid Tiongkok dan teman-teman mereka untuk memeluk iman Katolik. Matteo Ricci adalah orang asing pertama yang diizinkan oleh Kaisar untuk dimakamkan di tanah Tiongkok. Di zaman kita, Pastor Matteo Ricci dapat menjadi model yang luar biasa untuk inkulturasi Injil. Ia juga tetap menjadi inspirasi bagi hubungan antara Gereja dan Tiongkok, dan dialog antara budaya Timur dan Barat dalam pelayanan perdamaian dan persaudaraan di antara bangsa-bangsa.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 1 Juni 2023)