Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 29 Januari 2023 : TIGA TANTANGAN MELAWAN MENTALITAS MENYIA-NYIAKAN DAN MENCAMPAKKAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam liturgi hari ini, Sabda Bahagia menurut Injil Matius diwartakan (bdk. Mat 5:1-12). Sabda Bahagia yang pertama dasariah. Inilah yang dikatakannya : “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (ayat 3).

 

Siapakah orang yang “miskin di hadapan Allah”? Mereka adalah orang-orang yang mengetahui mereka tidak dapat mengandalkan diri mereka, diri mereka tidak memadai, dan mereka hidup sebagai “pengemis di hadapan Allah”. Mereka merasa membutuhkan Allah dan mengenali setiap kebaikan yang berasal daripada-Nya sebagai karunia, sebagai rahmat. Orang-orang yang miskin di hadapan Allah menghargai apa yang mereka terima. Oleh karena itu, mereka menginginkan agar hendaknya tidak ada karunia yang sia-sia. Hari ini, saya ingin berhenti sejenak pada kekhasan orang yang miskin di hadapan Allah ini : tidak menyia-nyiakan. Orang yang miskin di hadapan Allah berusaha untuk tidak menyia-nyiakan apapun. Yesus menunjukkan kepada kita pentingnya tidak menyia-nyiakan. Misalnya, setelah penggandaan roti dan ikan, Ia meminta sisa makanan dikumpulkan agar tidak ada yang tersia-siakan (bdk. Yoh 6:12). Tidak menyia-nyiakan memungkinkan kita menghargai nilai diri kita, orang-orang, dan berbagai hal. Tetapi sayangnya ada prinsip yang sering terabaikan, terutama dalam masyarakat yang semakin makmur di mana budaya menyia-nyiakan, budaya mencampakkan sangat dominan. Keduanya adalah wabah. Jadi, saya ingin menawarkan kepadamu tiga tantangan melawan mentalitas menyia-nyiakan, mentalitas mencampakkan.

 

Tantangan pertama : tidak menyia-nyiakan karunia yang kita miliki. Kita masing-masing adalah orang yang baik, terlepas dari karunia yang kita miliki. Setiap wanita, setiap pria, tidak hanya kaya dalam talenta, tetapi juga dalam martabat. Ia dikasihi Allah, bernilai, berharga. Yesus mengingatkan kita bahwa kita berbahagia bukan karena apa yang kita miliki, tetapi karena siapa diri kita. Dan ketika seseorang membiarkan dan mencampakkan dirinya, ia menyia-nyiakan dirinya. Marilah kita bergumul, dengan pertolongan Allah, melawan godaan memercayai bahwa diri kita tidak mampu, bersalah, dan mengasihani diri kita.

 

Lalu, tantangan kedua : jangan menyia-nyiakan karunia yang kita miliki. Faktanya sekitar sepertiga dari seluruh produksi pangan dunia terbuang sia-sia setiap tahun, sementara begitu banyak orang mati kelaparan! Sumber daya alam tidak dapat digunakan seperti ini. Barang seharusnya dijaga dan dibagikan sedemikian rupa sehingga tidak ada orang yang berkekurangan apa yang diperlukan. Daripada menyia-nyiakan apa yang kita miliki, marilah kita menyebarluaskan ekologi keadilan dan amal kasih, ekologi berbagi!

 

Terakhir, tantangan ketiga : tidak mencampakkan orang. Budaya mencampakkan mengatakan, “Aku mempergunakanmu sebanyak yang aku butuhkan. Ketika aku tidak lagi tertarik padamu, atau kamu menghalangiku, aku mengusirmu”. Terutama orang yang paling lemah yang diperlakukan seperti ini – anak-anak yang masih dalam kandungan, orang tua, orang yang membutuhkan dan orang yang kurang beruntung. Tetapi orang-orang tidak boleh dicampakkan, orang-orang yang kurang beruntung tidak boleh disingkirkan! Setiap orang adalah karunia yang sakral, setiap orang adalah karunia yang unik, tanpa memandang usia atau keadaannya. Marilah kita selalu menghormati dan mempromosikan kehidupan! Jangan mencampakkan kehidupan!

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita bertanya pada diri kita. Terutama : Bagaimana aku menghayati kemiskinan di hadapan Allah? Apakah aku tahu bagaimana memberi ruang bagi Allah? Apakah aku percaya bahwa Ia adalah harta kekayaanku yang sebenarnya dan besar? Apakah aku percaya Ia mengasihiku, atau apakah aku mencampakkan diri dalam kesedihan, melupakan bahwa aku adalah karunia? Dan kemudian – apakah aku berhati-hati untuk tidak menyia-nyiakan? Apakah aku bertanggung jawab atas bagaimana aku menggunakan sesuatu, harta kekayaan? Apakah aku bersedia berbagi sesuatu dengan orang lain, atau apakah aku egois? Terakhir, apakah aku menganggap orang yang terlemah sebagai karunia berharga yang diminta Allah untuk kupedulikan? Apakah aku mengingat kaum miskin, orang-orang yang kehilangan apa yang diperlukan?

Semoga Maria, perempuan Sabda Bahagia, membantu kita memberi kesaksian tentang sukacita bahwa kehidupan adalah karunia dan keindahan menjadikan diri kita karunia.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Dengan sangat sedih saya mengetahui berita yang datang dari Tanah Suci, khususnya tentang kematian sepuluh orang Palestina, di antaranya adalah seorang perempuan, yang terbunuh selama aksi antiteroris militer Israel di Palestina; dan tentang apa yang terjadi di dekat Yerusalem pada Jumat malam ketika tujuh orang Yahudi Israel dibunuh oleh seorang Palestina dan tiga lainnya terluka saat mereka meninggalkan rumah ibadat. Jalinan kematian yang meningkat hari demi hari tidak lain menutup sedikit kepercayaan yang ada di antara kedua bangsa. Sejak awal tahun, puluhan warga Palestina tewas dalam baku tembak dengan tentara Israel. Saya memohon kepada pemerintah kedua belah pihak dan masyarakat internasional agar, segera dan dengan penundaan, jalan lain yang mencakup dialog dan pengupayaan perdamaian yang tulus dapat ditemukan. Saudara-saudari, marilah kita mendoakan hal ini.

 

Saya kembali mengimbau situasi kemanusiaan yang serius di Koridor Lachin, Kaukasus Selatan. Saya dekat dengan semua orang yang, di tengah musim dingin, terpaksa menghadapi keadaan yang tidak manusiawi ini. Setiap upaya harus dilakukan di tingkat internasional untuk menemukan solusi damai demi kebaikan bangsa-bangsa.

 

Hari ini adalah Hari Kusta Sedunia ke-70. Sayangnya, stigma yang terkait penyakit ini terus menimbulkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia di berbagai belahan dunia. Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan mereka yang menderita karenanya dan saya mendorong komitmen terhadap penerimaan penuh saudara-saudari ini.

 

Saya menyampaikan salam saya kepada kamu semua yang datang dari Italia dan dari negara lain. Saya menyapa kelompok Quinceañeras dari Panama dan para siswa dari Badajoz, Spagna. Saya menyapa para peziarah dari Moiano dan Monteleone di Orvieto, mereka yang berasal dari Acqui Terme dan remaja laki-laki dan perempuan dari Kelompok Agesci Cercola Primo.

 

Dan sekarang saya menyapa dengan penuh kasih sayang remaja laki-laki dan perempuan dari Aksi Katolik Keuskupan Roma! Kamu telah datang di "Karavan Perdamaian". Saya berterima kasih atas prakarsa yang sangat berharga tahun ini karena, memikirkan Ukraina yang dilanda perang, komitmen dan doa kita untuk perdamaian harus semakin kuat. Marilah kita memikirkan Ukraina dan mendoakan rakyat Ukraina, yang diperlakukan dengan sangat buruk. Marilah kita dengarkan sekarang pesan yang akan dibacakan oleh teman-temanmu di samping saya untuk kita.

 

[Pengumuman Perjalanan Apostolik ke Afrika]

 

Saudara-saudari terkasih, dua hari mendatang saya akan berangkat melakukan perjalanan apostolik ke Republik Demokratik Kongo dan Republik Sudan Selatan. Saya berterima kasih kepada otoritas sipil dan uskup setempat atas undangan mereka serta atas persiapan yang telah mereka lakukan untuk lawatan ini, dan saya menyapa dengan kasih sayang umat terkasih yang menunggu saya.

 

Negeri-negeri ini, yang terletak di tengah benua besar Afrika, sangat menderita akibat pertikaian yang berkepanjangan. Republik Demokratik Kongo, terutama di bagian timur negara itu, mengalami bentrokan dan eksploitasi bersenjata. Sudan Selatan, yang dilanda perang bertahun-tahun, merindukan diakhirinya kekerasan terus-menerus yang memaksa banyak orang mengungsi dan hidup dalam keadaan kesulitan besar. Di Sudan Selatan, saya akan tiba bersama Uskup Agung Canterbury dan Moderator Sidang Umum Gereja Skotlandia. Bersama-sama, sebagai saudara, kita akan melakukan peziarahan perdamaian ekumenis, memohon kepada Allah dan manusia untuk mengakhiri permusuhan dan rekonsiliasi.

 

Saya meminta semua orang, tolong, untuk menyertai perjalanan ini dengan doa mereka.

 

Dan kepada semuanya, saya mengucapkan selamat hari Minggu. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Januari 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 25 Januari 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 3) - YESUS, GURU PEWARTAAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi,

 

Hari Rabu lalu kita merenungkan model pewartaan Yesus, tentang hati pastoral-Nya yang selalu menjangkau sesama. Hari ini kita memandang Dia sebagai guru pewartaan. Model pewartaan. Hari ini, guru pewartaan. Marilah kita dituntun oleh peristiwa ketika Ia berkhotbah di rumah ibadat Nazaret, kampung halaman-Nya. Yesus membacakan nas dari Kitab Nabi Yesaya (bdk. 61:1-2) dan kemudian mengejutkan semua orang dengan "khotbah" yang sangat singkat satu kalimat, hanya satu kalimat. Dan Ia berkata demikian, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya" (Luk. 4:21). Inilah khotbah Yesus : “Pada hari ini nas ini telah digenapi saat kamu mendengarnya". Bagi Yesus nas kenabian itu berarti mengandung hal pokok dari apa yang ingin Ia katakan tentang diri-Nya. Jadi, setiap kali kita berbicara tentang Yesus, kita seharusnya kembali ke pewartaan pertama tentang diri-Nya. Lalu, marilah kita melihat terdiri dari apakah pewartaan tersebut. Lima unsur penting dapat diidentifikasi.

 

Unsur pertama adalah sukacita. Yesus menyatakan, “Roh Tuhan ada pada-Ku; [...] Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (ayat 18), yaitu, pewartaan kegembiraan, pewartaan sukacita. Kabar baik : kita tidak dapat berbicara tentang Yesus tanpa sukacita, karena iman adalah kisah kasih yang luar biasa yang harus dibagikan. Memberikan kesaksian tentang Yesus, melakukan sesuatu untuk sesama dalam nama-Nya, telah menerima “secara tersirat” kehidupan-Nya, karunia yang begitu indah sehingga tidak ada kata yang cukup untuk mengungkapkannya. Sebaliknya, ketika tidak ada sukacita, Injil tidak sampai menjadi, karena – itulah arti kata tersebut – kabar baik, dan “Injil” berarti “kabar baik,” sebuah pewartaan sukacita. Seorang Kristiani yang sedih dapat berbicara tentang hal-hal yang indah, tetapi semuanya sia-sia jika warta yang disampaikannya tidak menyukacitakan. Seorang pemikir pernah berkata, "Seorang Kristiani yang bersedih adalah orang Kristiani yang sedih". Jangan melupakan hal ini.

 

Kita sampai pada aspek kedua : pembebasan. Yesus mengatakan Ia diutus “untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan” (ayat 19). Arrtinya Ia bukan mewartakan Allah yang menyebarkan agama, tidak, bukan menekan orang-orang, tidak, tetapi meringankan mereka : tidak memberikan beban, tetapi menyingkirkannya; membawa damai, bukan menanggung rasa bersalah. Tentu saja, mengikuti Yesus mengandung asketisme dan pengorbanan; lagipula, jika setiap hal baik membutuhkan hal-hal ini, terlebih lagi kenyataan kehidupan yang menentukan! Akan tetapi, orang-orang yang bersaksi tentang Kristus menunjukkan keindahan tujuan daripada letih lesunya perjalanan. Kita mungkin pernah bercerita tentang perjalanan indah yang kita lakukan : misalnya, kita akan berbicara tentang keindahan tempat, apa yang kita lihat dan alami, bukan tentang waktu untuk sampai ke sana dan antrian di bandara, tidak! Jadi, setiap pewartaan yang layak bagi Sang Penebus harus menyampaikan pembebasan. Sebagaimana pewartaan Yesus. Hari ini ada sukacita, karena Aku datang untuk membebaskan.

 

Aspek ketiga : terang. Yesus mengatakan Ia datang untuk memberikan “penglihatan bagi orang-orang buta” (ayat 19). Sangat mengejutkan bahwa dalam seluruh Kitab Suci, sebelum Kristus, penyembuhan orang buta tidak pernah muncul, tidak pernah. Itu memang tanda yang dijanjikan yang akan datang bersama Mesias. Tetapi di sini bukan hanya tentang penglihatan fisik, melainkan sebuah terang yang membuat kita melihat kehidupan dunia baru, dan juga kehidupan dengan cara baru. Ada sebuah “kedatangan ke dalam terang”, kelahiran kembali yang hanya terjadi bersama Yesus. Jika kita memikirkannya, begitulah kehidupan Kristiani kita dimulai : dengan Pembaptisan, yang pada zaman dahulu dengan tepat disebut "pencerahan". Dan terang apakah yang diberikan Yesus kepada kita? Ia memberi kita terang keputraan : Ia adalah Putra Bapa yang terkasih, yang hidup selamanya; bersama Dia kita juga adalah anak-anak Allah yang terkasih selamanya, terlepas dari kesalahan dan kekurangan kita. Jadi hidup tidak lagi merupakan peningkatan kebutaan menuju kehampaan, tidak; hidup bukan masalah nasib atau keberuntungan, tidak. Hidup bukan sesuatu yang bergantung pada kebetulan atau bintang, tidak, atau bahkan pada kesehatan atau keuangan, tidak. Hidup bergantung pada kasih, pada kasih Bapa, yang peduli terhadap kita, anak-anak-Nya yang terkasih. Betapa indahnya berbagi terang ini dengan orang lain! Pernahkah terpikir bahwa hidup kita masing-masing - hidupku, hidupmu, hidup kita - adalah tindakan kasih? Dan undangan untuk mengasihi? Ini luar biasa! Tetapi seringkali kita melupakan hal ini, di hadapan kesulitan, di hadapan kabar buruk, bahkan di hadapan – dan ini buruk – keduniawian, cara hidup duniawi.

 

Aspek keempat dari pewartaan : penyembuhan. Yesus berkata Ia datang “untuk membebaskan orang-orang yang tertindas” (ayat 19). Orang-orang yang tertindas adalah mereka yang dalam hidupnya merasa hancur oleh sesuatu yang terjadi : penyakit, keletihlesuan, beban hati, rasa bersalah, kesalahan, keburukan, dosa... Tertindas oleh hal-hal ini. Kita memikirkan rasa bersalah, misalnya. Berapa banyak dari kita yang menderita hal ini? Kita sedikit berpikir tentang rasa bersalah karena hal ini atau hal itu.... Apa yang menindas kita terutama adalah kejahatan yang tidak dapat disembuhkan oleh obat atau pengobatan manusiawi : dosa. Dan jika seseorang memiliki rasa bersalah, atas sesuatu yang telah mereka lakukan, dan hal itu terasa buruk. Tetapi kabar baiknya adalah bersama Yesus, dosa lama yang jahat ini, yang tampaknya tak terkalahkan, tidak lagi memiliki kata akhir.

 

Saya bisa berbuat dosa karena saya lemah. Kita masing-masing dapat melakukannya, tetapi itu bukan kata akhir. Kata akhir adalah uluran tangan Yesus yang mengangkatmu dari dosa. “Dan Bapa, kapan kamu melakukan hal ini? Sekali?" Tidak. “Dua kali?” Tidak. “Tiga kali?” Tidak. Senantiasa. Setiap kali kamu sakit, Tuhan senantiasa mengulurkan tangan-Nya. Hanya Dia yang menginginkan kita (untuk) bertahan dan perkenanlah Ia menggendongmu. Kabar baiknya adalah bahwa bersama Yesus kejahatan lama ini tidak lagi memiliki kata akhir : kata akhir adalah tangan Yesus yang terulur yang membawamu maju.

 

Yesus menyembuhkan kita dari dosa, senantiasa. Dan berapa yang harus saya bayar untuk penyembuhan ini? Tidak ada. Ia menyembuhkan kita senantiasa dan cuma-cuma. Ia mengundang orang-orang yang “letih lesu dan berbeban berat” -- Ia mengatakannya dalam Injil – mengundang mereka untuk datang kepada-Nya (bdk. Mat 11:28). Jadi menemani seseorang untuk berjumpa Yesus berarti membawa mereka ke dokter hati, yang mengangkat kehidupan. Artinya, “Saudara, saudari, saya tidak memiliki jawaban terhadap begitu banyak permasalahanmu, tetapi Yesus mengenalmu, Yesus mengasihmu serta dapat menyembuhkan dan menenangkan hatimu. Pergi dan tinggalkanlah masalahmu bersama Yesus”.

 

Orang-orang yang berbeban membutuhkan belaian karena masa lalu. Sering kali kita mendengar, “Tetapi aku perlu menyembuhkan masa laluku ... Aku perlu belaian untuk masa lalu yang sangat membebaniku ...” Ia membutuhkan pengampunan. Dan mereka yang percaya kepada Yesus memiliki hal itu untuk diberikan kepada sesama : kekuatan pengampunan, yang membebaskan jiwa dari seluruh hutang. Saudara, saudari, jangan lupa : Allah melupakan semuanya. Bagaimana? Ya, Ia melupakan semua dosa kita. Itulah yang Ia lupakan. Itu sebabnya Ia tidak mengingat-ingat. Allah mengampuni semuanya karena Ia melupakan dosa-dosa kita. Hanya Ia yang menginginkan kita mendekat kepada Tuhan dan Ia mengampuni kita segalanya. Pikirkan sesuatu dari Injil, dari orang yang mulai berbicara, “Tuhan, aku telah berdosa!” Anak itu... Dan sang bapa meletakkan tangannya di mulutnya. "Tidak, tidak apa-apa, tidak apa-apa ...". Ia tidak memperkenankannya menyelesaikan ... Dan itu bagus. Yesus sedang menunggu kita untuk mengampuni dan memulihkan kita. Dan seberapa sering? Sekali? Dua kali? Tidak. Senantiasa. “Tetapi Bapa, saya senantiasa melakukan hal yang sama…” Dan Ia akan senantiasa melakukan hal yang sama! Mengampunimu, memelukmu. Tolong, janganlah kita tidak mempercayai hal ini. Inilah cara mengasihi Tuhan. Mereka yang berbeban berat dan membutuhkan kasih sayang akan masa lalu membutuhkan pengampunan, dan Yesus melakukan hal itu. Dan itulah apa yang diberikan Yesus : membebaskan jiwa dari segala hutang. Di dalam Kitab Suci disebutkan sebuah tahun ketika seseorang dibebaskan dari beban hutang : Tahun Yobel, tahun rahmat. Seolah-olah itu adalah titik akhir dari pewartaan.

 

Faktanya, Yesus berkata bahwa Ia datang “untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan” (Luk 4:19). Bukan tahun Yobel yang terjadwal, seperti yang kita miliki sekarang, di mana semuanya direncanakan dan kamu berpikir tentang bagaimana melakukannya atau tidak melakukannya. Tidak. Tetapi bersama Kristus rahmat yang membuat kehidupan baru senantiasa tiba dan menakjubkan. Kristus adalah Yobel setiap hari, setiap jam, mendekati, membelai, mengampunimu. Dan pewartaan Yesus pasti senantiasa membawa keheranan akan rahmat. Keheranan ini… “Tidak, aku tidak dapat memercayainya! Aku telah diampuni”. Tetapi inilah betapa hebatnya Allah kita. Karena bukan kita yang melakukan hal-hal besar, melainkan rahmat Allah yang, bahkan melalui kita, menyelesaikan hal-hal yang tidak terduga. Dan ini adalah kejutan dari Allah. Allah adalah pakar kejutan. Ia senantiasa mengejutkan kita, senantiasa menunggu, menunggu kita. Kita tiba, dan Ia telah menunggu kita. Senantiasa. Injil datang dengan rasa heran dan kebaruan yang memiliki sebuah nama : Yesus.

 

Semoga Maria membantu kita untuk mewartakannya sebagaimana yang Ia inginkan, penyampaian sukacita, pembebasan, terang, penyembuhan, dan keheranan. Inilah bagaimana orang menyampaikan tentang Yesus.

 

Aspek terakhir : Kabar baik ini, yang dikatakan Injil ditujukan “kepada orang-orang yang miskin” (ayat 18). Kita sering melupakan mereka, padahal merekalah penerima yang disebutkan secara tersurat, karena mereka adalah kekasih Allah. Marilah kita mengingat mereka, dan marilah kita mengingat bahwa, untuk menyambut Tuhan, kita masing-masing harus menjadikan diri kita “miskin batiniah”. Tidak cukup seperti ini, tidak: [kamu harus] “miskin batiniah”. Dengan kemiskinan itu… “Tuhan, aku membutuhkan, aku membutuhkan pengampunan, aku membutuhkan bantuan, aku membutuhkan kekuatan. Kemiskinan ini kita semua miliki : jadikanlah diri kita miskin secara batiniah. Kamu harus mengatasi kepura-puraan mencukupi diri sendiri guna memahami diri membutuhkan rahmat, dan senantiasa membutuhkan Dia. Entahlah seseorang mengatakan kepada saya, “Bapa, apa cara tersingkat untuk berjumpa Yesus?” Jadilah orang yang membutuhkan. Membutuhkan rahmat, membutuhkan pengampunan, membutuhkan sukacita. Dan Ia akan mendekatimu. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya mengucapkan selamat datang kepada para peziarah berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama yang berasal dari Australia dan Amerika Serikat. Dalam konteks Pekan Doa untuk Persatuan Umat Kristiani ini, saya menyampaikan salam khusus kepada kelompok dari Institut Ekumenis Bossey. Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

 

[Imbauan]

 

Lusa, 27 Januari, adalah Hari Peringatan Para Korban Holocaust Sedunia. Mengenang pemusnahan jutaan orang Yahudi dan orang-orang dari agama lain tidak boleh dilupakan atau dihindari. Tidak ada komitmen berkesinambungan untuk membangun persaudaraan bersama tanpa terlebih dahulu menghilangkan akar kebencian dan kekerasan yang memicu kengerian Holocaust.

 

* * *

 

Saya menyampaikan salam hangat kepada para peziarah berbahasa Italia. Secara khusus, saya menyapa dan berterima kasih kepada para peserta simposium yang disponsori oleh Dikasteri untuk Pengembangan Manusia Seutuhnya, berkenaan penyakit Hansen (kusta), berjudul “Tidak Seorangpun Dikecualikan”.

 

Akhirnya, pikiran saya tertuju, seperti biasa, kepada kaum muda, orang-orang sakit, kaum tua, dan para pengantin baru. Hari ini adalah penutupan Pekan Doa untuk Persatuan Umat Kristiani. Saya mendorong kita untuk menghayati, dengan situasi kehidupan kita masing-masing, tuntutan persatuan Kristiani yang datang kepada kita sejak pembaptisan. Sadar akan karunia sakramen ini, marilah kita bekerja, berdoa, dan mempersembahkan kurban kita setiap hari untuk kesatuan semua orang percaya di dalam Kristus.

Semoga Ukraina yang tersiksa, yang sangat menderita, tidak terlupakan dalam pikiran dan doa kita. Pagi ini saya mengadakan pertemuan dengan para pemimpin berbagai pengakuan iman yang ada di Ukraina – semuanya bersatu – dan mereka memberitahu saya tentang penderitaan bangsa itu. Marilah kita tidak pernah lupa, setiap hari, untuk mendoakan kepastian perdamaian di Ukraina.

 

Saya memberkati kamu semua.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang hasrat kerasulan, keinginan untuk berbagi sukacita Injil dengan orang lain, kita sekarang membahas bagaimana Yesus sendiri, Guru dan Tuhan kita, memilih untuk menyampaikan pesan-Nya. Di rumah ibadat Nazaret, pada awal pelayanan-Nya di muka umum, Tuhan mengungkapkan bahwa, sebagai penggenapan nubuat Yesaya, Ia datang untuk mewartakan kabar baik kepada orang miskin dan tahun rahmat Tuhan (bdk. Luk 4 :16-21). Injil Yesus Kristus dengan demikian, seperti yang dinubuatkan nabi, adalah pesan keselamatan yang membawa sukacita yang menjangkit, kebebasan sejati, janji kelahiran kembali secara rohani sebagai putra dan putri Allah yang terkasih, dan penyembuhan yang pasti dari penindasan dosa dan maut. Kita yang, berkat rahmat Allah, telah menaruh iman kita kepada Yesus dan mengalami kekuatan sabda-Nya yang mengubah rupa, dipanggil tidak hanya untuk mengucap syukur atas karunia yang menakjubkan ini, tetapi juga untuk membagikannya dengan bebas dan penuh sukacita kepada sesama. Oleh karena itu, bagi para pengikut Kristus, setiap hari adalah “masa rahmat” dan kesempatan baru untuk memberikan kesaksian “kabar baik” rahmat, pengampunan, dan kehidupan baru yang ditawarkan Allah secara cuma-cuma di dalam Yesus Putra-Nya yang terkasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Januari 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 22 Januari 2023 : SEGERA MENINGGALKAN DAN MENGIKUTI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil liturgi hari ini (Mat 4:12-23) menceritakan panggilan para murid pertama yang, di sepanjang danau Galilea meninggalkan segalanya untuk mengikuti Yesus. Ia telah bertemu dengan beberapa dari mereka, terima kasih kepada Yohanes Pembaptis, dan Allah telah menempatkan benih iman di dalam diri mereka (bdk. Yoh 1:35-39). Jadi sekarang, Yesus kembali mencari mereka di tempat mereka tinggal dan bekerja. Tuhan senantiasa mencari kita. Tuhan senantiasa mendekati kita, senantiasa. Kali ini, Ia memanggil mereka secara langsung : "Mari, ikutlah Aku!" (Mat 4:19). Lalu “mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia” (ayat 20). Marilah meluangkan waktu sejenak untuk merenungkan adegan ini. Ini adalah saat perjumpaan yang menentukan dengan Yesus, yang akan mereka ingat sepanjang hidup mereka dan kelak dimasukkan ke dalam Injil. Sejak saat itu, mereka mengikuti Yesus. Dan untuk mengikuti-Nya, mereka meninggalkan.

 

Segera meninggalkan dan mengikuti. Dan senantiasa seperti ini dengan Yesus. Bisa dimulai dengan rasa ketertarikan, mungkin karena orang lain. Kemudian secara pribadi dapat menjadi semakin sadar dan dapat menyalakan terang di dalam hati. Menjadi sesuatu yang indah untuk dibagikan : “Kamu tahu, perikop Injil itu menghentakku…. Kesempatan pelayanan yang telah menghentakku itu…” – sesuatu yang menyentuh hatimu. Inilah yang terjadi dengan para murid pertama (bdk. Yoh 1:40-42). Tetapi cepat atau lambat, saatnya tiba di mana perlu segera meninggalkan dan mengikuti (bdk. Luk 11:27-28). Saat itulah perlu untuk membuat keputusan: Haruskah aku meninggalkan beberapa kepastian dan memulai petualangan baru, atau akankah aku tetap seperti adanya? Ini adalah saat yang menentukan bagi setiap umat Kristiani karena makna segala sesuatu dipertaruhkan di sini. Jika seseorang tidak menemukan keberanian untuk memulai perjalanan, risikonya adalah tetap menjadi penonton dari keberadaannya sendiri dan menghayati iman setengah-setengah.

 

Oleh karena itu, tinggal bersama Yesus membutuhkan keberanian untuk meninggalkan, memulai perjalanan. Apa yang harus kita tinggalkan? Keburukan dan dosa kita, tentu saja, seperti sauh yang menahan kita dan menghalangi kita berlayar. Untuk mulai meninggalkan, sudah selayaknya kita mulai dengan memohon pengampunan – pengampunan untuk hal-hal yang tidak indah. Aku meninggalkan hal-hal ini untuk bergerak maju. Tetapi penting juga untuk meninggalkan apa yang menghalangi kita untuk hidup sepenuhnya, misalnya, ketakutan, perhitungan yang egois, jaminan yang datang dari tetap aman, sekadar bertahan. Itu juga berarti menyingkirkan waktu yang terbuang untuk begitu banyak hal yang tidak berguna. Betapa indahnya meninggalkan semua ini untuk mengalami, misalnya, risiko pelayanan yang melelahkan tetapi bermanfaat, atau mendedikasikan waktu untuk berdoa agar dapat bertumbuh dalam persahabatan dengan Tuhan. Saya juga sedang memikirkan sebuah keluarga muda yang meninggalkan kehidupan yang tenang untuk membuka diri terhadap petualangan peran sebagai ibu dan ayah yang tak terduga dan indah. Sebuah pengorbanan, tetapi yang diperlukan hanyalah satu pandangan pada seorang anak untuk memahami bahwa itu adalah pilihan yang tepat untuk meninggalkan irama dan kenyamanan tertentu guna mendapatkan sukacita ini. Saya juga sedang memikirkan, profesional tertentu, misalnya, para dokter atau para petugas kesehatan, yang banyak meluangkan waktu untuk belajar dan mempersiapkan diri, dan yang berbuat baik, mendedikasikan banyak waktu siang dan malam, dan menghabiskan begitu banyak fisik dan mental. energi untuk orang sakit. Saya memikirkan para pekerja yang meninggalkan kenyamanan, yang tidak sempat melakukan apapun untuk menyediakan makanan di atas meja. Singkatnya, untuk menjalani hidup, kita perlu menerima tantangan untuk meninggalkan. Hari ini, Yesus menyampaikan undangan ini kepada kita masing-masing.

 

Jadi, saya meninggalkanmu dengan sebuah pertanyaan tentang hal ini. Pertama-tama : Dapatkah aku mengingat “saat yang kuat” di mana aku telah berjumpa Yesus? Kita masing-masing dapat mengingat kisah kita – dalam hidupku, pernahkah ada saat penting ketika aku berjumpa Yesus? Dan, apakah ada sesuatu yang indah dan penting yang terjadi dalam hidupku sehingga aku meninggalkan hal-hal lain yang kurang penting? Dan hari ini, apakah Yesus memintaku untuk meninggalkan? Apa hal-hal materi, cara berpikir, sikap yang perlu kutinggalkan untuk benar-benar mengatakan "ya"? Semoga Maria membantu kita untuk menanggapi dengan “ya” sepenuhnya bagi Allah, seperti yang ia lakukan, untuk memahami apa yang harus ditinggalkan agar dapat mengikuti Yesus dengan lebih baik. Jangan takut untuk meninggalkan jika ingin mengikut Yesus. Kita akan senantiasa menemukan bahwa kita lebih baik.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Hari Minggu Biasa III ini didedikasikan secara khusus untuk Sabda Allah. Marilah kita menemukan kembali dengan keheranan fakta bahwa Allah berbicara kepada kita, khususnya melalui Kitab Suci. Marilah kita membacanya, mempelajarinya, merenungkannya, mendoakannya. Marilah kita membaca satu perikop Kitab Suci setiap hari, terutama perikop Injil. Yesus berbicara kepada kita di sana, Ia mencerahkan kita, Ia menuntun kita. Dan saya mengingatkanmu tentang sesuatu yang telah saya katakan di lain waktu: Marilah kita memiliki Injil kecil, Injil seukuran saku, untuk dibawa ke dalam tasmu, senantiasa bersama kita. Dan ketika ada waktu di siang hari, bacalah sesuatu dari Injil. Yesuslah yang menyertai kita. Jadi, Injil ukuran saku kecil senantiasa bersama kita.

 

Hari ini saya ingin menyampaikan harapan saya untuk kedamaian dan segala kebaikan bagi semua orang di Timur Jauh, dan di berbagai belahan dunia, yang sedang merayakan Tahun Baru Imlek. Namun demikian, pada kesempatan yang penuh sukacita ini, saya tidak dapat tidak menyebutkan kedekatan rohani saya kepada mereka yang sedang mengalami masa-masa sulit akibat pandemi virus Corona, dengan harapan kesulitan-kesulitan yang ada saat ini dapat segera teratasi. Akhir kata, semoga kebaikan, kepekaan, kebersamaan dan kerukunan yang dialami dalam keluarga-keluarga yang dipertemukan pada hari-hari ini sebagaimana lazimnya, dapat semakin merasuki dan mewarnai hubungan keluarga dan sosial kita sehingga dapat menjalani kehidupan yang tenteram dan bahagia. . Selamat Tahun Baru!

 

Sedihnya, pikiran saya secara khusus tertuju ke Myanmar, di mana Gereja Bunda Maria Diangkat Ke Surga di Desa Can Thar – salah satu tempat ibadah paling kuno dan penting di negara itu – dibakar dan dihancurkan. Saya dekat dengan penduduk sipil tak berdaya yang menjadi sasaran pencobaan berat di banyak kota. Mohon perkenanan Allah agar pertikaian ini segera berakhir, membuka babak baru pengampunan, kasih dan kedamaian. Kepada Bunda Maria marilah kita bersama-sama mendoakan Myanmar.

 

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.

 

Saya juga mengundangmu untuk berdoa agar tindakan kekerasan di Peru dapat dihentikan. Kekerasan memadamkan harapan akan penyelesaian persoalan secara adil. Saya mendorong semua pihak yang terlibat untuk menempuh jalan dialog sebagai saudara sebangsa, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan supremasi hukum. Saya bergabung dengan para uskup Peru dengan mengatakan : ¡No a la violencia, venga de donde venga! ¡No más muertes! [Tidak untuk kekerasan dari mana pun asalnya! Tidak ada lagi kematian!] Ada orang Peru di Lapangan….

 

Tanda-tanda positif datang dari Kamerun yang membawa harapan kemajuan menuju penyelesaian pertikaian di wilayah berbahasa Inggris. Saya mendorong semua pihak yang telah menandatangani Perjanjian untuk bertekun di jalur dialog dan saling pengertian, karena hanya melalui perjumpaan masa depan dapat dirancang.

 

Saya menyapa kamu semua, mereka yang berasal dari Italia dan negara-negara lain. Saya menyapa para peziarah dari Spalato, Warsawa – ada banyak orang Polandia yang saya lihat karena benderanya – dan orang-orang Mérida-Badajoz (Spanyol), serta orang-orang dari Ascoli Piceno, Montesilvano dan Gela; kelompok dari Sekolah Malaikat Pelindung, Alessandria; orang-orang dari Gioventù Ardente Mariana [Kaum Muda Maria yang Bersemangat] dari Roma; dan para anggota Lembaga Psikolog Katolik.

 

Pada hari-hari ini, saat kita secara khusus mendoakan persatuan penuh seluruh umat Kristiani, tolong, jangan lupa, untuk mendoakan perdamaian bagi Ukraina yang dilanda perang. Semoga Tuhan menghibur dan menopang orang-orang yang sedang sangat menderita itu! Mereka sedang sangat menderita!

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Juga kaum muda Immaculata. Dan jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu dan sampai jumpa.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Januari 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 18 Januari 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 2) - YESUS, MODEL PENGINJILAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari Rabu lalu kita memulai siklus katekese tentang hasrat penginjilan, tentang semangat kerasulan yang seharusnya menghidupkan Gereja dan setiap orang Kristiani. Hari ini, marilah kita melihat model penginjilan yang tak tertandingi : Yesus. Injil Natal mendefinisikannya sebagai “Sabda Allah” (bdk. Yoh 1:1). Fakta bahwa Ia adalah Logos, yaitu Sabda, menyoroti aspek penting Yesus : Ia selalu berhubungan, keluar, tidak pernah terasing, senantiasa berhubungan, keluar. Sesungguhnya, sabda ada untuk disampaikan, dikomunikasikan. Begitu pula dengan Yesus, Sabda Kekal Bapa, menjangkau kita, dikomunikasikan kepada kita. Kristus tidak hanya memiliki sabda kehidupan, tetapi menjadikan hidup-Nya sebuah Sabda, sebuah pesan : yaitu, Ia hidup senantiasa mengarah kepada Bapa dan kita. Ia senantiasa sedang melihat Bapa yang mengutus-Nya dan melihat kita yang Ia utus.

Memang, jika kita melihat hari-hari-Nya sebagaimana dijelaskan dalam keempat Injil, kita melihat bahwa keintiman dengan Bapa-Nya – doa – menempati tempat pertama. Inilah sebabnya Yesus bangun pagi-pagi, ketika hari masih gelap, dan pergi ke daerah-daerah terpencil untuk berdoa (bdk. Mrk 1:35; Luk 4:42), untuk berbicara dengan Bapa-Nya. Ia membuat semua keputusan dan pilihan yang paling penting setelah berdoa (bdk. Luk 6:12; 9:18). Secara khusus, dalam hubungan ini, dalam doa yang menghubungkan-Nya dengan Bapa dalam Roh, Yesus menemukan makna keberadaan manusiawi-Nya, keberadaan-Nya di dunia karena Ia mengemban perutusan kepada kita, diutus oleh Bapa kepada kita.

 

Oleh karena itu menarik untuk dicatat kegiatan publik pertama yang Ia lakukan setelah bertahun-tahun hidup tersembunyi di Nazaret. Yesus tidak melakukan mukjizat besar, Ia tidak menyampaikan pesan yang efektif, tetapi Ia berbaur dengan orang-orang yang akan dibaptis oleh Yohanes. Dengan cara ini, Ia menawarkan kepada kita kunci tindakan-Nya di dunia : menghabiskan diri-Nya untuk orang berdosa, Ia menempatkan diri-Nya dalam kesetiakawanan dengan kita tanpa jarak, dalam ambil bagian sepenuhnya dalam kehidupan. Faktanya, berbicara tentang perutusan-Nya, Ia akan mengatakan bahwa Ia datang bukan "untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya" (bdk. Mrk 10:45). Setiap hari setelah berdoa, Yesus mendedikasikan seluruh hari-Nya untuk pewartaan Kerajaan Allah dan mendedikasikannya untuk orang-orang, terutama untuk orang-orang yang paling miskin dan lemah, untuk orang-orang berdosa dan orang-orang sakit (bdk. Mrk 1:32-39). Jadi, Yesus berhubungan dengan Bapa dalam doa dan kemudian Ia berhubungan dengan semua orang melalui perutusan-Nya, melalui katekese, dengan mengajarkan jalan menuju Kerajaan Allah.

 

Sekarang, jika ingin menggambarkan gaya hidup-Nya, kita tidak akan sulit untuk menemukannya: Yesus sendiri memberikannya, kita telah mendengarnya, berbicara tentang diri-Nya sebagai Gembala yang baik, Ia berkata, yang “memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh 10:11). Inilah Yesus. Pada kenyataannya, menjadi seorang gembala bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi membutuhkan waktu dan banyak dedikasi. Sebuah cara hidup yang benar dan pantas : dua puluh empat jam sehari, tinggal bersama kawanan domba, menemani mereka ke padang rumput, tidur di antara domba-domba, merawat mereka yang paling lemah. Dengan kata lain, Yesus tidak melakukan sesuatu untuk kita, tetapi Ia memberikan segalanya, Ia memberikan nyawa-Nya untuk kita. Ia memiliki hati pastoral (bdk. Yeh 34:15). Ia adalah gembala bagi kita semua.

 

Memang, untuk merangkum tindakan Gereja dalam satu kata, istilah khusus “pastoral” digunakan. Dan untuk mengevaluasi “kepastoralan” kita, kita perlu menghadapkan diri kita dengan sang model, menghadapkan diri kita kepada Yesus Sang Gembala yang baik. Kita, terutama, dapat bertanya pada diri kita sendiri : apakah kita meneladan Dia, minum dari sumur doa agar hati kita selaras dengan Dia? Keintiman dengan-Nya, sebagaimana disarankan oleh buku indah Abate Chautard, adalah “jiwa dari setiap kerasulan”. Yesus sendiri dengan jelas berkata kepada murid-murid-Nya, “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Dengan tinggal bersama Yesus, kita menemukan bahwa hati pastoral-Nya senantiasa berdetak untuk orang yang bimbang, tersesat, jauh. Dan hati kita? Berapa kali kita mengungkapkan sikap kita tentang orang-orang yang agak sulit atau bersama mereka kita mengalami sedikit kesulitan : “Tetapi itu masalah mereka, biarkan mereka menyelesaikannya….”. Tetapi Yesus tidak pernah mengatakan hal ini, tidak pernah. Ia sendiri senantiasa pergi menemui semua orang yang terpinggirkan, para pendosa. Ia dituduh berkenaan dengan hal ini – tinggal bersama orang-orang berdosa agar Ia dapat membawa keselamatan Allah secara tepat kepada mereka.

 

Kita telah mendengar perumpamaan tentang domba yang hilang yang terdapat dalam Injil Lukas bab 15 (bdk. ayat 4-7). Di sana Yesus berbicara tentang dirham yang hilang dan juga tentang anak yang hilang. Jika kita ingin melatih semangat kerasulan kita, kita harus senantiasa melihat Lukas bab 15 di depan mata kita. Sering-seringlah membacanya. Di sana kita dapat memahami apa itu semangat kerasulan. Di sana kita menemukan bahwa Allah tidak terus-menerus merenungkan kandang domba, juga tidak mengancam mereka agar mereka tidak pergi. Sebaliknya, jika kita pergi dan tersesat, Ia tidak meninggalkan domba-domba tersebut, tetapi pergi mencarinya. Ia tidak berkata, “Kamu bangun dan pergi – itu salahmu – itu urusanmu!”. Hati pastoral-Nya bereaksi dengan cara lain : hati pastoral-Nya menderita dan mengambil risiko. Hati pastoral-Nya menderita : ya, Allah menderita bagi mereka yang pergi dan, seraya Ia berduka atas mereka, Ia bahkan semakin mengasihi. Tuhan menderita ketika kita menjauhkan diri dari hati-Nya. Ia menderita demi semua orang yang tidak mengenal keindahan kasih-Nya dan kehangatan pelukan-Nya. Tetapi, sebagai tanggapan atas penderitaan ini, Ia tidak menarik diri, melainkan mengambil risiko. Ia meninggalkan sembilan puluh sembilan domba yang aman dan keluar mencari domba yang hilang, sehingga melakukan sesuatu yang berisiko dan tidak masuk akal, tetapi sesuai dengan hati pastoral-Nya yang merindukan orang yang pergi, kerinduan akan seseorang yang telah pergi – ini adalah sesuatu yang konsisten dalam diri Yesus. Dan ketika kita mendengar bahwa seseorang telah meninggalkan Gereja, apa yang ingin kita katakan? "Biarkan mereka menyelesaikannya?" Tidak. Yesus mengajarkan kita untuk bernostalgia dengan mereka yang telah pergi. Yesus tidak merasakan kemarahan atau dendam tetapi murni merindukan kita. Yesus merindukan kita dan ini adalah semangat Allah.

 

Dan saya bertanya-tanya – kita, apakah kita memiliki perasaan yang sama? Mungkin kita melihat mereka yang telah meninggalkan kawanan domba sebagai musuh atau seteru. “Dan orang ini? Bukankah ia pergi ke pihak lain? Ia kehilangan imannya…. Mereka akan masuk neraka…” dan kita tenang. Ketika kita bertemu mereka di sekolah, di tempat kerja, di jalan-jalan kota kita, mengapa kita tidak berpikir bahwa kita memiliki kesempatan yang indah untuk memberi kesaksian kepada mereka tentang sukacita seorang Bapa yang mengasihi mereka dan tidak pernah melupakan mereka? Bukan untuk menyebarkan agama, bukan! Tetapi agar Sabda Bapa dapat menjangkau mereka sehingga kita dapat berjalan bersama. Menginjili bukan menyebarkan agama. Menyebarkan agama adalah sesuatu yang bersifat kafir, tidak agamawi atau injili. Ada sabda yang baik bagi mereka yang telah meninggalkan kawanan domba dan kita mendapat kehormatan dan beban menjadi orang yang mengucapkan sabda itu. Karena Sang Sabda, Yesus, meminta hal ini dari kita – senantiasa mendekati semua orang dengan hati terbuka karena Ia berlaku demikian. Mungkin kita telah mengikuti dan mengasihi Yesus selama beberapa waktu dan tidak pernah bertanya-tanya apakah kita ambil bagian dalam perasaan-Nya, jika kita menderita dan mengambil risiko selaras dengan hati Yesus, dengan hati pastoral ini, dekat dengan hati pastoral Yesus! Ini bukan tentang penyebaran agama, sebagaimana saya katakan, sehingga orang lain menjadi “salah satu dari kita” – tidak, ini tidak kristiani. Ini adalah tentang mengasihi agar mereka menjadi anak-anak Allah yang berbahagia. Dalam doa, marilah kita mohon rahmat hati pastoral, hati yang terbuka yang mendekati semua orang, untuk membawa pesan Tuhan serta merasakan kerinduan Kristus bagi mereka. Karena tanpa kasih yang menderita dan mengambil risiko ini, hidup kita tidak akan berjalan dengan baik. Jika kita umat Kristiani tidak memiliki kasih yang menderita dan mengambil risiko ini, kita berisiko hanya menggembalakan diri kita sendiri. Gembala yang menggembalakan dirinya sendiri, bukannya menjadi gembala kawanan domba, adalah orang-orang yang menyisir domba yang “indah”. Kita tidak perlu menjadi gembala bagi diri kita sendiri, tetapi menjadi gembala bagi semua orang.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Republik Demokratik Kongo, Australia dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa banyak kelompok siswa yang hadir. Saya meminta kamu semua untuk bergabung dengan saya dalam doa bagi Pastor Isaac Achi, dari Keuskupan Minna di Nigeria utara, yang terbunuh hari Minggu lalu dalam serangan di pastorannya. Begitu banyak umat Kristiani yang terus menjadi sasaran kekerasan : marilah kita mengingat mereka dalam doa kita! Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang semangat kerasulan, keinginan untuk berbagi sukacita Injil dengan orang lain, kita sekarang melihat model dan sumbernya : teladan Yesus sendiri. Sebagai Sabda Allah yang kekal, menjadi daging demi keselamatan kita, seluruh hidup Yesus dikhususkan untuk berkomunikasi dan berdialog dengan orang lain, pertama dengan Bapa surgawi-Nya dalam doa yang mendalam, dan kemudian dengan orang lain, terutama orang miskin, orang yang tercampakkan, dan para pendosa. Ia mewartakan kedatangan Kerajaan Allah tidak hanya dengan khotbah-Nya, tetapi juga dengan pelayanan penyembuhan, rekonsiliasi dan pengampunan. Sebagai Gembala yang baik, model bagi semua gwembala dalam Gereja, Yesus sepenuhnya berkomitmen untuk kesejahteraan kawanan domba-Nya, selain melindungi kandang mereka, Ia juga berangkat mencari domba yang hilang. Mengikuti teladan-Nya, semoga kita, dalam kehidupan kita sehari-hari, menimba sukacita dan kekuatan dari persatuan kita dengan Bapa dalam doa, memperkenankan hati kita dibentuk oleh semangat pastoral untuk sabda Allah, dan berjuang, dalam segenap perkataan dan perbuatan kita, untuk berbagi dengan orang lain pesan sukacita, harapan dan kehidupan baru-Nya yang menyelamatkan.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 18 Januari 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 15 Januari 2023 : JIWA PELAYANAN YOHANES PEMBAPTIS

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil liturgi hari ini (bdk. Yoh 1:29-34) menceritakan kesaksian Yohanes Pembaptis tentang Yesus, setelah membaptis-Nya di sungai Yordan. Ia berkata: “Kemudian dari padaku akan datang seorang, yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku” (ayat 29-30).

 

Pernyataan ini, kesaksian ini, mengungkapkan jiwa pelayanan Yohanes. Ia diutus untuk mempersiapkan jalan bagi Mesias, dan melakukannya tanpa menyayangkan dirinya. Berbicara secara manusiawi, orang akan berpikir bahwa ia akan diberi “hadiah”, tempat yang menonjol dalam kehidupan publik Yesus. Tetapi tidak demikian. Yohanes, setelah menyelesaikan perutusannya, tahu bagaimana menyingkir, ia menarik diri dari tempat kejadian untuk memberi jalan bagi Yesus. Ia telah melihat Roh turun ke atasnya (bdk. ayat 33-34), ia telah menunjukkan Yesus sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, dan sekarang ia pada gilirannya dengan rendah hati mendengarkan. Ia beralih dari nabi menjadi murid. Ia berkhotbah kepada orang-orang, mengumpulkan murid-murid dan melatih mereka untuk waktu yang lama. Tetapi ia tidak mengikat siapa pun untuk dirinya sendiri. Dan ini sulit, tetapi tanda pendidik sejati : tidak mengikat orang pada dirinya sendiri. Yohanes melakukan hal ini : ia menempatkan murid-muridnya dalam jejak langkah Yesus. Ia tidak tertarik untuk memiliki pengikut demi dirinya sendiri, mendapatkan prestise dan kesuksesan, tetapi ia memberikan kesaksian dan kemudian mundur selangkah, sehingga banyak orang akan bersukacita bertemu Yesus. Kita dapat mengatakan : ia membuka pintu, lalu ia pergi.

 

Dengan jiwa pelayanan ini, dengan kemampuannya untuk memberi jalan kepada Yesus, Yohanes Pembaptis mengajarkan kita satu hal penting : bebas dari keterikatan. Ya, karena mudah terikat pada peran dan posisi, pada kebutuhan untuk dipandang, diakui, dan dihargai. Dan hal ini, meskipun alami, bukanlah hal yang baik, karena pelayanan melibatkan kemurahan hati, peduli terhadap orang lain tanpa manfaat untuk diri sendiri, tanpa motif tersembunyi, tanpa mengharapkan imbalan. Ada baiknya kita juga memupuk, seperti Yohanes, keutamaan menyingkir pada saat yang tepat, memberikan kesaksian bahwa titik acuan kehidupan adalah Yesus. Menyingkir, belajar mengambil cuti : aku telah menyelesaikan perutusan ini, aku telah mengadakan pertemuan ini, aku akan menyingkir dan memberikan ruang kepada Tuhan. Belajar menyingkir, tidak mengambil sesuatu untuk diri kita sebagai imbalan.

 

Marilah kita renungkan betapa pentingnya hal ini bagi seorang imam, yang dituntut untuk berkhotbah dan merayakan, bukan karena mementingkan diri sendiri, tetapi menemani orang lain kepada Yesus. Pikirkanlah betapa pentingnya hal ini bagi orangtua, untuk membesarkan anak-anak mereka dengan banyak pengorbanan, tetapi kemudian mereka harus membiarkan mereka bebas mengambil jalan mereka sendiri dalam pekerjaan, pernikahan, kehidupan. Adalah baik dan benar bahwa orangtua terus memastikan kehadiran mereka, dengan mengatakan kepada anak-anak mereka, “Kami tidak akan meninggalkanmu sendirian”, tetapi dengan kebijaksanaan, tanpa campur tangan. Kebebasan untuk bertumbuh. Dan hal yang sama berlaku untuk bidang lain, seperti persahabatan, kehidupan sebagai suami-istri, kehidupan komunitas. Membebaskan diri dari keterikatan pada ego sendiri dan mengetahui bagaimana menyingkir ada biayanya, tetapi sangat penting : ini adalah langkah yang menentukan untuk bertumbuh dalam jiwa pelayanan, tanpa mencari imbalan.

 

Saudara-saudari, marilah kita mencoba bertanya pada diri sendiri: apakah kita mampu memberi ruang bagi orang lain? Mendengarkan mereka, membiarkan mereka bebas, tidak mengikat mereka pada diri kita sendiri, menuntut pengakuan? Dan juga, membiarkan mereka berbicara, kadang-kadang. Jangan berkata, “Tetapi kamu tidak tahu apa-apa!”. Biarkanlah mereka berbicara, berilah ruang untuk orang lain. Apakah kita menarik orang lain kepada Yesus, atau kepada diri kita sendiri? Dan lebih jauh lagi, mengikuti teladan Yohanes: tahukah kita bagaimana bersukacita karena fakta bahwa orang-orang mengambil jalan mereka sendiri dan mengikuti panggilan mereka, bahkan jika ini memerlukan pelepasan dari kita? Apakah kita bersukacita atas pencapaian mereka, dengan ketulusan dan tanpa rasa iri? Ini membiarkan orang lain bertumbuh.

 

Semoga Maria, hamba Tuhan, membantu kita untuk bebas dari keterikatan, memberi jalan bagi Tuhan dan memberi ruang bagi orang lain.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Dari tanggal 18 hingga 25 Januari Pekan Doa tradisional untuk Persatuan Kristiani akan diadakan. Tema tahun ini diambil dari Nabi Yesaya : “Belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan” (1:17). Marilah kita bersyukur kepada Tuhan yang membimbing umat-Nya menuju persekutuan penuh dengan kesetiaan dan kesabaran, serta marilah kita memohon kepada Roh Kudus untuk menerangi kita dan menopang kita dengan karunia-karunia-Nya.

Jalan menuju persatuan umat Kristiani dan jalan pertobatan sinodal Gereja saling terkait. Oleh karena itu, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengumumkan bahwa pada hari Sabtu tanggal 30 Januari, di Lapangan Santo Petrus akan diadakan Vigili Doa Ekumenis, yang dengannya kita akan mempercayakan kepada Allah karya Sidang Umum Biasa ke-16 Sinode Para Uskup. Bagi kaum muda yang datang ke Vigili akan ada acara khusus sepanjang akhir pekan, yang diselenggarakan oleh Komunitas Taizé. Sampai sekarang, saya mengundang seluruh saudara dan saudari dari segenap denominasi Kristiani untuk ikut serta dalam pertemuan Umat Allah ini.

Saudara-saudari, janganlah kita melupakan rakyat Ukraina yang tersiksa, yang sedang sangat menderita. Marilah kita tetap dekat dengan mereka dengan perasaan, bantuan dan doa kita.

 

Dan sekarang saya menyapamu, umat Roma dan para peziarah yang berkumpul di sini. Secara khusus, saya menyapa umat Spanyol di Murcia dan umat Sciacca di Sicilia. Semoga kunjunganmu ke makam Petrus menguatkan iman dan kesaksianmu.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makananmu, dan sampai jumpa!
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Januari 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 11 Januari 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 1) - PANGGILAN KERASULAN (MAT 9:9-13)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita memulai siklus katekese baru, yang didedikasikan untuk tema yang mendesak dan menentukan bagi kehidupan Kristiani : hasrat penginjilan, yaitu semangat kerasulan. Hasrat penginjilan adalah dimensi vital bagi Gereja: komunitas para murid Yesus sebenarnya bersifat kerasulan, lahir secara misioner, bukan penyebaran agama. Dan sejak awal kita harus membedakan : misioner, bersifat kerasulan, menginjili, tidak sama dengan penyebaran agama, tidak ada hubungannya satu sama lain. Semua itu menyangkut dimensi penting Gereja. Komunitas para murid Yesus lahir bersifat kerasulan dan misioner. Roh Kudus membentuknya secara lahiriah – Gereja bergerak keluar, yang berangkat – sehingga ia tidak tertutup pada dirinya sendiri, tetapi beralih ke luar, kesaksian Yesus yang memapar – iman juga memapar – menjangkau untuk memancarkan terang-Nya ke ujung bumi. Akan tetapi, dapat terjadi bahwa semangat kerasulan, keinginan untuk menjangkau orang lain dengan kabar baik Injil, berkurang, menjadi suam-suam kuku. Kadang-kadang tampaknya memudar; ada umat Kristiani yang “tertutup”, mereka tidak memikirkan orang lain. Tetapi ketika kehidupan Kristiani kehilangan cakrawala penginjilan, cakrawala pewartaan, ia menjadi sakit : ia menutup diri, mengacu dirinya sendiri, ia menjadi berhenti berkembang. Tanpa semangat kerasulan, iman akan layu. Perutusan, sebaliknya, adalah oksigen kehidupan Kristiani : perutusan menyegarkan dan memurnikannya. Maka, marilah kita memulai proses menemukan kembali semangat penginjilan, dimulai dengan Kitab Suci dan ajaran Gereja, untuk menarik semangat kerasulan dari sumbernya. Kemudian kita akan mendekati beberapa sumber yang hidup, beberapa kesaksian yang telah mengobarkan kembali semangat Injil di dalam Gereja, sehingga dapat membantu kita menyalakan kembali api yang ingin terus dinyalakan oleh Roh Kudus di dalam diri kita.

 

Dan hari ini saya ingin memulai dengan kisah Injil yang agak simbolis; kita [baru saja] mendengarnya, panggilan Rasul Matius. Dan ia sendiri menceritakan kisah tersebut dalam Injilnya, yang telah kita dengar (bdk. 9:9-13).

Semuanya dimulai dengan Yesus, yang, teks mengatakan, "melihat seorang". Hanya sedikit orang yang melihat Matius sebagaimana adanya : mereka mengenalnya sebagai orang yang “duduk di rumah cukai” (ayat 9). Ia sebenarnya adalah seorang pemungut cukai: yaitu, seseorang yang memungut pajak atas nama kekaisaran Romawi yang menduduki Palestina. Dengan kata lain, ia adalah antek, pengkhianat rakyat. Kita bisa membayangkan penghinaan yang dirasakan orang-orang terhadapnya : ia adalah seorang "pemungut cukai", begitu mereka memanggilnya. Tetapi di mata Yesus, Matius adalah seorang manusia, dengan kesengsaraan dan kebesarannya. Perhatikan hal ini : Yesus tidak berhenti pada kata sifat – Yesus selalu mencari kata benda. “Orang ini adalah orang berdosa, ia adalah orang yang seperti itu…” ini adalah kata sifat : Yesus pergi kepada pribadi, kepada hati, “Ini seseorang, ini manusia laki-laki, ini manusia perempuan.” Yesus pergi kepada subyek, kata benda, tidak pernah kata sifat, Ia mengesampingkan kata sifat. Dan sementara ada jarak antara Matius dan bangsanya – karena mereka melihat kata sifat, “pemungut cukai” – Yesus mendekatinya, karena setiap manusia dikasihi oleh Allah. "Bahkan orang hina ini?" Ya, bahkan orang hina ini. Memang, Injil mengatakan Ia datang untuk orang hina ini: "Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa". Tatapan Yesus ini sungguh indah. Ia melihat yang lain, siapa pun dia, sebagai penerima kasih, adalah awal dari hasrat penginjilan. Semuanya dimulai dari tatapan ini, yang kita pelajari dari Yesus.

 

Kita dapat bertanya pada diri kita : bagaimana kita memandang orang lain? Seberapa sering kita melihat kesalahan mereka dan bukan kebutuhan mereka; seberapa sering kita melabeli orang menurut apa yang mereka lakukan atau apa yang mereka pikirkan! Bahkan sebagai orang Kristiani kita berkata pada diri kita sendiri : apakah ia salah seorang dari kita atau bukan? Ini bukan tatapan Yesus : Ia selalu memandang setiap orang dengan belas kasihan dan memang dengan kegemaran. Dan orang Kristiani dipanggil untuk melakukan seperti yang dilakukan Kristus, memandang seperti Dia terutama pada apa yang disebut "yang jauh". Sungguh, kisah Matius tentang panggilan itu diakhiri dengan perkataan Yesus, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa" (ayat 13). Dan jika ada di antara kita yang menganggap diri benar, Yesus jauh. Ia mendekati keterbatasan kita, kesengsaraan kita, untuk menyembuhkan semua itu.

 

Semuanya dimulai, kemudian, dengan tatapan Yesus. "Ia melihat seseorang", Matius. Hal ini diikuti - langkah kedua - oleh sebuah gerakan. Pertama tatapan : Yesus melihat. Kedua, gerakan. Matius sedang duduk di rumah cukai; Yesus berkata kepadanya, ”Ikutlah Aku”. Dan “ia berdiri dan mengikut Dia” (ayat 9). Kita perhatikan bahwa teks tersebut menekankan bahwa “ia berdiri”. Mengapa rincian ini begitu penting? Karena pada masa itu barangsiapa duduk memiliki kewenangan atas orang lain, barangsiapa berdiri di hadapannya wajib untuk mendengarkan dia atau, seperti dalam kasus tersebut, membayar upeti. Barangsiapa duduk, singkatnya, memiliki kekuasaan. Hal pertama yang dilakukan Yesus adalah melepaskan Matius dari kekuasaan : dari duduk untuk menerima orang lain, Ia menggerakkannya ke arah orang lain, tidak menerima, tidak : ia pergi kepada orang lain. Ia membuatnya meninggalkan posisi supremasi untuk menempatkannya sejajar dengan saudara-saudarinya dan membuka cakrawala pelayanan baginya. Inilah yang dilakukan Kristus, dan ini mendasar bagi umat Kristiani : apakah kita murid-murid Yesus, kita Gereja, duduk-duduk menunggu orang datang, atau apakah kita tahu bagaimana berdiri, berangkat bersama orang lain, mencari orang lain? : Mengatakan, “Tetapi biarkan mereka datang kepadaku, aku di sini, biarkan mereka datang”, adalah posisi tidak Kristiani. Tidak, kamu harus pergi mencari mereka, kamu mengambil langkah pertama.

 

Pandangan – Yesus melihat; sebuah gerakan – “ia berdiri”; dan ketiga, tujuan. Setelah berdiri dan mengikut Yesus, ke manakah Matius akan pergi? Kita mungkin membayangkan bahwa, setelah mengubah hidup orang itu, Sang Guru akan menuntunnya menuju perjumpaan baru, pengalaman rohani baru. Tidak, atau setidaknya tidak segera. Pertama, Yesus pergi ke rumahnya; di sana Matius mempersiapkan "pesta besar" untuk-Nya, di mana "sekelompok besar pemungut cukai" - yaitu, orang-orang seperti dia - ambil bagian (Luk 5:20). Matius kembali ke lingkungannya, tetapi ia kembali ke sana dengan berubah dan bersama Yesus. Semangat kerasulannya tidak dimulai di tempat yang baru, murni, tempat yang ideal, jauh, tetapi sebaliknya ia mulai di sana di mana ia tinggal, dengan orang-orang yang ia kenal. Inilah pesannya untuk kita : kita tidak perlu menunggu sampai kita sempurna dan telah jauh mengikuti Yesus untuk bersaksi tentang Dia, tidak. Pewartaan kita dimulai hari ini, di sanalah kita tinggal. Dan tidak dimulai dengan mencoba meyakinkan orang lain, tidak, bukan untuk meyakinkan : dengan membawa setiap hari keindahan Sang Kasih yang telah memandang kita dan mengangkat. Dan keindahan inilah, mengomunikasikan keindahan yang akan meyakinkan orang ini – bukan mengomunikasikan diri kita tetapi Tuhan semata. Kitalah yang mewartakan Tuhan, kita tidak mewartakan diri kita, kita tidak mewartakan partai politik, sebuah ideologi. Tidak : kita mewartakan Yesus. Kita perlu menempatkan Yesus dalam berkontak dengan orang-orang, tanpa berusaha meyakinkan mereka tetapi membiarkan Tuhan yang meyakinkan kita. Sebagaimana diajarkan Paus Benediktus kepada kita, “Gereja tidak terlibat dalam penyebaran agama. Sebaliknya, Gereja tumbuh melalui ‘ketertarikan’” (Homili Misa Pembukaan Konferensi Umum V Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Aparecida, 13 Mei 2007). Jangan lupakan hal ini: ketika kamu melihat umat Kristiani menyebarkan agama, membuat daftar orang-orang yang akan datang... ini bukan umat Kristiani, mereka orang kafir yang menyamar sebagai orang Kristiani, bahkan hatinya kafir. Gereja tumbuh bukan karena penyebaran agama, melainkan bertumbuh karena ketertarikan.

 

Saya ingat suatu kali, di sebuah rumah sakit di Buenos Aires, para biarawati yang bekerja di sana pergi karena jumlah mereka terlalu sedikit, dan mereka tidak dapat menjalankan rumah sakit. Dan komunitas suster dari Korea datang. Dan mereka tiba, katakanlah pada hari Senin misalnya (saya tidak ingat harinya). Mereka mengambil alih kepemilikan rumah para biarawati di rumah sakit tersebut dan pada hari Selasa mereka datang mengunjungi orang sakit di rumah sakit, tetapi mereka tidak berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Spanyol. Mereka hanya berbicara dalam bahasa Korea dan para pasien senang, karena mereka berkomentar : “Bagus sekali! Para biarawati ini, bravo, bravo!” "Tetapi apa yang dikatakan biarawati itu kepadamu?" “Tidak ada, tetapi dengan tatapannya ia berbicara kepadaku, mereka mengomunikasikan Yesus,” bukan diri mereka sendiri, dengan tatapan mereka, dengan gerak tubuh mereka. Mengomunikasikan Yesus, bukan diri kita : Ini adalah daya tarik, kebalikan dari penyebaran agama.

 

Kesaksian yang menarik ini, kesaksian yang penuh sukacita ini adalah tujuan Yesus menuntun kita dengan tatapan kasih-Nya dan dengan gerakan keluar yang dibangkitkan Roh-Nya di dalam hati kita. Dan kita dapat mempertimbangkan apakah tatapan kita menyerupai tatapan Yesus, untuk menarik orang-orang, membawa mereka semakin dekat kepada Gereja. Marilah kita memikirkan hal tersebut.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Uganda, Australia dan Amerika Serikat. Saya menyampaikan salam khusus kepada banyak kelompok mahasiswa yang hadir, dan kepada para imam Institut Pendidikan Teologi Berkelanjutan dari Kolose Kepausan Amerika Utara. Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Hari ini kita memulai rangkaian katekese baru tentang semangat kerasulan. Gereja Kristus, yang didirikan di atas para rasul, lahir dengan hasrat misioner, diutus oleh Roh Kudus untuk memancarkan terang Kristus kepada segala negeri dan bangsa. Hasrat kerasulan adalah oksigen kehidupan Kristiani kita dan indeks kesehatan rohani Gereja. Berdasarkan Kitab Suci dan tradisi Gereja yang hidup, kita dapat menemukan contoh pertama yang mengesankan tentang hal ini dalam panggilan rasul Matius. Injil memberitahu kita bahwa Yesus “melihat” sang pemungut cukai yang hina ini; Ia memandang Matius dengan mata belas kasihan dan memanggilnya untuk menjadi murid-Nya. Matius kemudian "berdiri dan mengikut Dia"; sekarang sebagai orang yang telah berubah, ia meninggalkan keuntungan yang diperolehnya secara tidak halal serta merangkul, bersama Yesus, kehidupan pemuridan dan pelayanan bagi sesama. Hal pertama dan terutama yang dilakukan Matius adalah mengajak Yesus makan malam bersama banyak “pemungut cukai dan orang berdosa” lainnya. Ia kembali ke tempat tinggalnya dan memperkenalkan Yesus kepada orang lain. Hasrat kerasulan bisa menjadi pelajaran utama bagi kita; mengutip kata-kata mendiang Paus Benediktus XVI, hasrat kerasulan berarti mewartakan Yesus bukan dengan penyebaran agama tetapi dengan ketertarikan, karena keinginan yang penuh sukacita untuk membagikan kepada orang lain tatapan Yesus yang penuh kasih dan panggilan untuk mengikuti-Nya sebagai murid-murid-Nya.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 11 Januari 2023)