Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 28 Desember 2016 : TENTANG PENGHARAPAN ABRAHAM

Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!

Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Santo Paulus mengingatkan kita sosok besar Abraham, menunjukkan kepada kita jalan iman dan pengharapan. Tentang dia, Rasul Paulus menulis : "Namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa" (Rm 4:18); "Teguh dalam berharap terhadap semua pengharapan". Konsep ini kuat : dan bahkan ketika tidak ada pengharapan, saya berharap. Demikianlah bapa kita Abraham. Santo Paulus sedang mengacu pada iman yang dengannya Abraham percaya pada sabda Allah, yang menjanjikannya seorang anak laki-laki. Tetapi itu benar-benar sebuah berharap yang pasti "terhadap pengharapan", sangatlah tidak mungkin apa yang diberitakan Tuhan kepadanya, karena ia sudah lanjut usia - ia sudah berumur hampir seratus tahun - dan istrinya mandul. Ia tidak mampu, tetapi Allah mengatakannya dan ia percaya. Tidak ada pengharapan manusia karena ia sudah lanjut usia dan istrinya mandul, tetapi ia percaya.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 26 Desember 2016 : TENTANG PESTA SANTO STEFANUS

Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!

Sukacita Natal juga memenuhi hati kita hari ini, sebagaimana liturgi yang kita miliki merayakan kemartiran Santo Stefanus, martir pertama, mengundang kita untuk menerima kesaksian bahwa melalui pengorbanannya ia telah meninggalkan kita. Itulah kesaksian yang dengannya pengorbanannya menjadi mulia, tepatnya kemuliaan kemartiran kristiani, menderita karena mengasihi Yesus Kristus; kemartiran yang terus hadir dalam sejarah Gereja, sejak Stefanus hingga hari ini.

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI PERDAMAIAN SEDUNIA KE-50 1 Januari 2017



PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI PERDAMAIAN SEDUNIA KE-50 1 Januari 2017
ANTIKEKERASAN : LANGGAM POLITIK UNTUK PERDAMAIAN


1.    Pada awal Tahun Baru ini, saya menyampaikan keinginan akan perdamaian yang tulus kepada bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia, kepada para kepala negara dan pemerintahan, dan kepada para pemimpin keagamaan, sipil dan masyarakat. Saya mengharapkan perdamaian bagi setiap laki-laki, perempuan dan anak, serta saya berdoa agar gambar dan rupa Allah dalam setiap orang akan memungkinkan kita untuk saling mengakui sebagai karunia suci yang dilimpahi dengan martabat yang sangat besar. Terutama dalam situasi-situasi perseteruan, marilah kita menghormati hal ini, "martabat terdalam" kita,[1] dan menjadikan antikekerasan yang aktif cara hidup kita.

Inilah pesan Hari Perdamaian Sedunia ke-50. Pada bagian pertama, Beato Paus Paulus VI mengamanatkan semua orang, bukan hanya umat Katolik, dengan sangat jelas. "Perdamaian adalah satu-satunya arah yang benar kemajuan manusia - dan bukan ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh nasionalisme yang ambisius, atau bukan takluk oleh kekerasan, atau bukan pengekangan-pengekangan yang berfungsi sebagai andalan untuk tatanan sipil palsu" .Beliau memperingatkan "bahaya mempercayai bahwa kontroversi-kontroversi internasional tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara akal sehat, yaitu dengan negosiasi yang berlandaskan hukum, keadilan, dan kesetaraan, tetapi hanya dengan sarana-sarana kekuatan yang bersifat menghindarkan dan membunuh". Sebaliknya, mengutip ensiklik Pacem in Terris dari pendahulunya Santo Yohanes XXIII, beliau memuji "perasaan dan cinta akan perdamaian yang berlandaskan kebenaran, keadilan, kebebasan dan kasih".[2] Dalam lima puluh tahun yang mengetengahi, kata-kata ini tidak kehilangan satu pun pentingnya atau kemendesakannya.

Pada kesempatan ini, saya ingin merenungkan antikekerasan sebagai sebuah langgam politik untuk perdamaian. Saya memohon Allah untuk membantu kita semua membudidayakan antikekerasan dalam pikiran-pikiran dan nilai-nilai kita yang paling pribadi. Semoga amal dan antikekerasan mengatur bagaimana kita saling memperlakukan sebagai perorangan, di dalam masyarakat dan dalam kehidupan internasional. Ketika para korban kekerasan dapat menahan godaan untuk membalas, mereka menjadi para penggiat yang paling dapat dipercaya dari terciptanya perdamaian antikekerasan. Dalam kebanyakan situasi-situasi setempat dan lumrah serta dalam tatanan internasional, semoga antikekerasan menjadi ciri khas keputusan-keputusan kita, hubungan-hubungan kita dan tindakan-tindakan kita, serta tentu saja kehidupan politik dalam segala bentuknya.

Dunia yang Rusak

2.    Ketika abad terakhir memahami kehancuran dari dua Perang Dunia yang mematikan, ancaman perang nuklir dan sejumlah besar perseteruan lainnya, hari ini, sayangnya, kita mendapati diri kita terlibat sedikit demi sedikit dalam sebuah pertempuran perang dunia yang mengerikan. Tidaklah mudah memahami apakah dunia kita saat ini lebih atau kurang ganas ketimbang di masa lalu, atau memahami apakah sarana-sarana komunikasi modern dan mobilitas yang tinggi membuat kita lebih sadar akan kekerasan, atau, di sisi lain, semakin terbiasa dengannya.

Dalam kasus apapun, kita tahu bahwa kekerasan "sedikit demi sedikit" ini, dengan berbagai jenis dan tingkatannya, menyebabkan penderitaan besar : peperangan di berbagai negara dan benua; terorisme, kejahatan terorganisir dan tindakan-tindakan kekerasan yang tak terduga; perlakuan kejam yang dialami para migran dan para korban perdagangan manusia; dan kehancuran lingkungan. Ke manakah hal ini mengarah? Dapatkah kekerasan meraih beberapa tujuan nilai abadi? Atau apakah itu hanya menyebabkan pembalasan dan sebuah siklus perseteruan yang mematikan yang hanya menguntungkan beberapa "panglima perang"?

Kekerasan bukanlah obat untuk dunia kita yang rusak. Melawan kekerasan dengan kekerasan mengarah sebagus-bagusnya ke migrasi paksa dan penderitaan yang hebat, karena sejumlah besar sumber daya dialihkan ke militer pada akhirnya dan jauh dari kebutuhan sehari-hari orang-orang muda, keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan, para lansia, orang-orang lemah dan sebagian besar orang di dunia kita. Yang paling buruk, ia dapat menyebabkan kematian, jasmani dan rohani, dari banyak orang, jika tidak semua.

Kabar Baik

3.    Yesus sendiri hidup di zaman kekerasan. Namun Ia mengajarkan bahwa medan perang yang sebenarnya, di mana kekerasan dan perdamaian bertemu, adalah hati manusia : sebab "dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat" (Mrk 7:21). Tetapi pesan Kristus dalam hal ini menawarkan sebuah pendekatan radikal yang positif. Ia tak kunjung padam mewartakan kasih Allah yang tanpa syarat, yang menyambut dan mengampuni. Ia mengajarkan murid-murid-Nya untuk mengasihi musuh-musuh mereka (bdk. Mat 5:44) dan memberikan pipi kiri (bdk. Mat 5:39). Ketika Ia mencegah para pendakwa yang akan merajam seorang perempuan ketahuan berzinah (bdk. Yoh 8:1-11), dan ketika, pada malam sebelum Ia wafat, Ia mengatakan kepada Petrus untuk menyarungkan pedangnya (bdk. Mat 26:52), Yesus menandai jalan antikekerasan. Ia menjalani jalan itu hingga akhir, hingga salib, di mana Ia menjadi damai sejahtera kita dan mengakhiri permusuhan (bdk. Ef 2:14-16). Barangsiapa menerima Kabar Baik Yesus mampu mengakui kekerasan dalam pikiran dan disembuhkan oleh kerahiman Allah, menjadi pada gilirannya sebuah alat pendamaian. Dengan kata-kata Santo Fransiskus dari Asisi : "Ketika kamu memberitakan perdamaian dengan mulutmu, pastikanlah bahwa kamu memiliki kedamaian yang lebih besar dalam hatimu".[3]

Menjadi para pengikut Yesus yang sejati hari ini juga termasuk merangkul ajaran-Nya tentang antikekerasan. Sebagaimana ditinjau oleh pendahulu saya Benediktus XVI, ajaran itu "sesuai kenyataan karena ia memperhitungkan bahwa di dunia ini ada terlalu banyak kekerasan, terlalu banyak ketidakadilan, dan oleh karena itu situasi ini tidak bisa diatasi kecuali dengan melawannya dengan kasih yang lebih, dengan kebaikan yang lebih. 'Lebih' ini berasal dari Allah".[4] Beliau melanjutkan dengan menekankan bahwa : "Bagi umat kristiani, antikekerasan bukan hanya perilaku taktis tetapi cara keberadaan pribadi, sikapnya yang begitu yakin akan kasih dan kuasa Allah sehingga ia tidak takut untuk menggasak kejahatan dengan senjata kasih dan kebenaran semata. Mengasihi musuhnya merupakan inti 'revolusi kristiani'".[5] Perintah Injil untuk mengasihi musuhmu (bdk. Luk 6:27) "sudah sepantasnya dianggap magna carta antikekerasan kristiani. Ia tidak berupa mengalah pada kejahatan ..., tetapi menanggapi kejahatan dengan kebaikan (bdk Rm 12:17-21), dan dengan demikian memutus rantai ketidakadilan".[6]

Lebih Berkuasa Ketimbang Kekerasan

4.    Antikekerasan kadang-kadang diartikan penolakan, kurangnya keterlibatan dan kepasifan, tetapi ini bukan perkaranya. Ketika Bunda Teresa menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1979, ia menyatakan dengan jelas pesannya tentang antikekerasan : "Kita dalam keluarga kita tidak memerlukan bom dan senjata, untuk menghancurkan guna membawa perdamaian - cukup berkumpul, saling mengasihi ... Dan kita akan mampu mengatasi segala kejahatan yang ada di dunia".[7] Karena kekuatan senjata bersifat menipu. "Seraya para pedagang senjata melakukan pekerjaan mereka, ada para pembawa perdamaian yang malang yang memberikan nyawa mereka untuk membantu seseorang, kemudian orang lainnya dan orang lainnya serta orang lainnya"; bagi para pembawa perdamaian tersebut, Bunda Teresa adalah "lambang, ikon zaman kita".[8] Bulan September lalu, saya memiliki sukacita besar mengumunkan dirinya seorang Santa. Saya memuji kesiapsediaannya untuk menjadikan dirinya tersedia untuk semua orang "melalui penyambutan dan pembelaannya terhadap kehidupan manusia, orang-orang yang belum lahir dan orang-orang yang terlantar dan terbuang ... Ia membungkuk di hadapan mereka yang kehabisan tenaga, yang dibiarkan meninggal di tepi jalan, melihat di dalam diri mereka martabat mereka yang diberikan oleh Allah; ia membuat suaranya terdengar di hadapan para penguasa dunia ini, sehingga mereka bisa mengenali kesalahan mereka atas kejahatan-kejahatan - kejahatan-kejahatan! - terhadap kemiskinan yang mereka ciptakan".[9] Dengan tanggapan, perutusannya - dan ia berdiri bagi ribuan, bahkan jutaan orang - adalah untuk menjangkau orang-orang yang sedang menderita, dengan pengabdian yang berlimpah, menjamah dan membebat setiap tubuh yang terluka, menyembuhkan setiap kehidupan yang rusak.

Penerapan antikekerasan yang tegas dan terus menerus telah memperoleh hasil-hasil yang mengesankan. Pencapaian Mahatma Gandhi dan Khan Abdul Ghaffar Khan dalam pembebasan India, dan Dr Martin Luther King Jr dalam memerangi diskriminasi rasial tidak akan pernah terlupakan. Para perempuan khususnya sering merupakan para pemimpin antikekerasan, seperti misalnya, Leymah Gbowee dan ribuan perempuan Liberia, yang menyelenggarakan kegiatan doa dan protes antikekerasan yang mengakibatkan perundingan perdamaian tingkat tinggi untuk mengakhiri perang saudara kedua di Liberia.

Ataupun kita juga tidak bisa melupakan dekade penuh peristiwa yang berakhir dengan jatuhnya rezim komunis di Eropa. Jemaat-jemaat kristiani bersumbangsih dengan doa bersikeras dan tindakan berani mereka. Sangatlah berpengaruh pelayanan dan pengajaran Santo Yohanes Paulus II. Berkaca pada peristiwa-peristiwa tahun 1989 dalam ensikliknya di tahun 1991 Centesimus Annus, sang pendahulu saya menyoroti fakta perubahan penting dalam kehidupan orang-orang, bangsa-bangsa dan negara-negara itu telah terjadi "dengan cara-cara protes penuh damai, hanya menggunakan senjata kebenaran dan keadilan".[10] Peralihan politik yang penuh damai ini dimungkinkan sebagian "oleh komitmen antikekerasan dari orang-orang yang, seraya selalu menolak untuk menyerah pada kekuatan kekuasaan, berhasil dari waktu ke waktu dengan menemukan cara-cara yang efektif menjadi saksi terhadap kebenaran". Paus Yohanes Paulus II melanjutkan dengan mengatakan : "Semoga orang-orang belajar memperjuangkan keadilan antikekerasan, menolak memperjuangkan golongan dalam perselisihan-perselisihan internal mereka dan berperang dalam perselisihan-perselisihan internasional".[11]

Gereja telah terlibat dalam strategi-strategi pembangunan perdamaian antikekerasan di banyak negara, melibatkan bahkan pihak-pihak yang paling berkekerasan dalam upaya-upaya membangun suatu perdamaian yang adil dan abadi.

Upaya-upaya atas nama para korban ketidakadilan dan kekerasan tersebut bukanlah warisan Gereja Katolik saja, tetapi merupakan kekhasan banyak tradisi keagamaan, yang bagi mereka "belas kasih dan antikekerasan merupakan unsur-unsur penting yang mengarah ke cara hidup tersebut".[12] Saya dengan tegas memperteguh kembali bahwa "tidak ada agama yang merupakan teroris".[13] Kekerasan mencemarkan nama Allah.[14] Marilah kita tidak pernah bosan mengulangi : "Nama Allah tidak dapat digunakan untuk membenarkan kekerasan. Hanya perdamaian yang kudus. Hanya perdamaian yang kudus, bukan perang!"[15]

Akar-akar Rumah Tangga Politik Antikekerasan

5.    Jika kekerasan memiliki sumbernya pada hati manusia, maka secara fundamental antikekerasan diterapkan sebelum semuanya di dalam keluarga. Inilah bagian sukacita kasih itu yang saya jelaskan bulan Maret lalu dalam nasehat saya Amoris Laetitia, setelah dua tahun permenungan oleh Gereja tentang perkawinan dan keluarga. Keluarga adalah wadah yang sangat diperlukan yang di dalamnya pasangan suami-istri, orang tua dan anak-anak, saudara dan saudari, belajar saling berkomunikasi dan menunjukkan kepedulian yang berlimpah, dan yang di dalamnya gesekan-gesekan dan bahkan perseteruan-perseteruan harus diselesaikan bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan dialog, rasa hormat, kepedulian terhadap kebaikan orang yang lain, belas kasihan dan pengampunan.[16] Dari dalam keluarga-keluarga, sukacita kasih meluap keluar ke dalam dunia dan memancar ke seluruh masyarakat.[17] Sebuah etika persaudaraan dan hidup berdampingan secara damai di antara individu-individu dan di antara bangsa-bangsa tidak dapat didasarkan pada logika ketakutan, kekerasan dan pikiran yang tertutup, tetapi pada tanggung jawab, rasa hormat dan dialog yang tulus. Oleh karena itu, saya memohonkan  pelucutan senjata serta pelarangan dan penghapusan senjata nuklir : penolakan nuklir dan ancaman kehancuran yang ditanggung bersama tidak mampu berlandasankan etika seperti itu.[18] Saya memohonkan dengan kemendesakan yang sama sebuah akhir bagi kekerasan rumah tangga serta bagi perlakuan kejam terhadap perempuan dan anak-anak.

Yubileum Kerahiman yang berakhir pada bulan November 2016 mendorong kita masing-masing untuk melihat secara mendalam dalam pikiran dan memungkinkan kerahiman Allah masuk ke sana. Yubileum Kerahiman mengajarkan kita untuk menyadari betapa banyak dan beragamnya individu-individu dan kelompok-kelompok sosial yang diperlakukan dengan ketidakpedulian serta mengalami ketidakadilan dan kekerasan. Mereka juga adalah bagian "keluarga" kita; mereka juga saudara dan saudari kita. Politik antikekerasan harus dimulai di rumah dan kemudian menyebar ke seluruh umat manusia. "Santa Teresia dari Lisieux mengajak kita untuk menerapkan jalan kecil kasih, tidak kehilangan sebuah kata yang ramah, sebuah senyuman atau gerakan kecil apapun yang menabur perdamaian dan persahabatan. Ekologi menyeluruh juga terdiri dari gerakan-gerakan sehari-hari yang sederhana yang tidak terkait dengan logika kekerasan, eksploitasi dan egoisme".[19]

Ajakan Saya

6.    Membangun perdamaian melalui antikekerasan adalah pelengkap alamiah dan diperlukan untuk melanjutkan upaya-upaya Gereja guna membatasi penggunaan kekuasaan dengan penerapan norma-norma moral; ia melakukannya dengan keikutsertaannya dalam karya-karya lembaga-lembaga internasional dan melalui sumbangsih yang cakap yang dibuat oleh begitu banyak umat kristiani untuk penyusunan undang-undang di semua tingkatan. Yesus sendiri menawarkan "buku panduan" untuk strategi pembuatan perdamaian ini dalam Khotbah di Bukit. Delapan Sabda Bahagia (bdk. Mat 5:3-10) memberikan sebuah potret seseorang yang bisa kita gambarkan sebagai berbahagia, baik dan otentik. Berbahagialah orang yang lemah lembut, Yesus mengatakan kepada kita, orang yang penuh belas kasih dan orang yang membawa damai, orang yang suci hatinya, serta orang yang lapar dan haus akan keadilan.

Ini juga merupakan sebuah program dan sebuah tantangan bagi para pemimpin politik dan keagamaan, para kepala lembaga internasional, dan para pemimpin usaha dan pemimpin media : menerapkan Sabda Bahagia dalam menjalankan tanggung jawab mereka masing-masing. Ini adalah sebuah tantangan untuk membangun masyarakat, jemaat dan dunia usaha dengan bertindak sebagai para pembawa perdamaian. Menunjukkan kerahiman dengan menolak untuk mencampakkan orang-orang, merusak lingkungan, atau berusaha untuk menang berapapun harganya. Melakukannya memerlukan "kesediaan untuk menghadapi langsung perseteruan, mengatasinya dan membuatnya sebuah tautan dalam mata rantai sebuah proses yang baru".[20] Bertindak dengan cara ini berarti memilih kesetiakawanan sebagai cara untuk membuat sejarah dan membangun persahabatan dalam masyarakat. Antikekerasan yang aktif adalah sebuah cara untuk menunjukkan bahwa persatuan benar-benar lebih kuat dan lebih bermanfaat daripada perseteruan. Segala sesuatu di dunia adalah saling terhubung.[21] Tentu saja perbedaan-perbedaan dapat menyebabkan gesekan-gesekan. Tetapi marilah kita hadapi mereka secara membangun dan secara antikekerasan, sehingga "ketegangan-ketegangan dan perlawanan-perlawanan dapat mencapai suatu kesatuan yang beragam dan memberi kehidupan", melestarikan "apa yang berlaku dan berguna pada kedua belah pihak".[22]

Saya menjanjikan bantuan dari Gereja dalam segala upaya untuk membangun perdamaian melalui antikekerasan yang aktif dan kreatif. Pada 1 Januari 2017, dikasteri baru untuk mempromosikan pembangunan manusia secara menyeluruh akan mulai bekerja. Ia akan membantu Gereja untuk mempromosikan dengan cara yang sungguh lebih efektif "kebaikan yang tak terhitung dari keadilan, perdamaian, dan perawatan ciptaan" dan kepedulian terhadap "para migran, orang-orang yang membutuhkan, orang-orang sakit, orang-orang yang terlantar dan terpinggirkan, orang-orang yang terpenjara dan orang-orang yang tanpa pekerjaan, serta para korban perseteruan bersenjata, bencana alam, dan segala bentuk perbudakan dan penyiksaan".[23] Setiap tanggapan tersebut, namun secara tidak menonjol, membantu membangun sebuah dunia yang bebas kekerasan, langkah pertama menuju keadilan dan perdamaian.

Penutup
7.    Secara tradisional, saya menandatangani pesan ini pada tanggal 8 Desember, Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa. Maria adalah Ratu Perdamaian. Pada kelahiran Putranya, para malaikat memuliakan Allah dan mengharapkan perdamaian di bumi untuk laki-laki dan perempuan yang berkehendak baik (bdk. Luk 2:14). Marilah kita berdoa untuk bimbingannya.

"Kita semua menginginkan perdamaian. Banyak orang membangunnya dari hari ke hari melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan kecil; banyak dari mereka sedang menderita, namun dengan sabar bertekun dalam upaya-upaya mereka untuk menjadi para pembawa perdamaian".[24] Di tahun 2017, semoga kita mengabdikan diri kita dengan penuh doa dan aktif untuk mengenyahkan kekerasan dari hati, kata-kata dan perbuatan-perbuatan kita, dan menjadi orang-orang antikekerasan serta membangun jemaat-jemaat antikekerasan yang merawat rumah kita bersama. "Tidak ada yang mustahil jika kita berpaling kepada Allah dalam doa. Semua orang bisa menjadi seorang juru perdamaian".[25]

Dari Vatikan, 8 Desember 2016

Fransiskus


[1]Nasihat Apostolik Evangelii Gaudium, 228.
[2]PAULUS VI, Pesan Hari Perdamaian Sedunia I, 1 Januari 1968.
[3]“Legenda Tiga Sahabat”, Fonti Francescane, No. 1469.
[4]BENEDIKTUS XVI, Doa Malaikat Tuhan, 18 Februari 2007.
[5]BENEDIKTUS XVI, Doa Malaikat Tuhan, 18 Februari 2007.
[6]BENEDIKTUS XVI, Doa Malaikat Tuhan, 18 Februari 2007.
[7]BUNDA TERESA, Ceramah Nobel, 11 Desember 1979.
[8]Meditasi, “Jalan Perdamaian”, Kapel Kediaman Santa Marta, 19 November 2015.
[9]Homili Kanonisasi Bunda Teresa dari Kalkuta, 4 September 2016.
[10]No. 23.
[11]No. 23.
[12]Wejangan bagi Para Perwakilan Berbagai Agama, 3 November 2016.
[13]Wejangan bagi Pertemuan Ketiga Gerakan-gerakan Populer, 5 November 2016.
[14]bdk. Wejangan pada Pertemuan Lintas Agama dengan Sheikh Umat Muslim Kaukasia dan Para Perwakilan Jemaat-jemaat Lintar Agama, Baku, 2 Oktober 2016.
[15]Wejangan di Asisi, 20 Oktober 2016.
[16]bdk. Nasehat Apostolik Pasca Sinode Amoris Laetitia, 90-130.
[17]bdk. Nasehat Apostolik Pasca Sinode Amoris Laetitia, 133, 194, 234.
[18]bdk. Pesan untuk Konferensi Dampak Kemanusiaan Senjata Nuklir, 7 Desember 2014.
[19]Ensiklik Laudato Si’, 230.
[20]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 227.
[21]bdk. Ensiklik Laudato Si’, 16, 117, 138.
[22]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 228.
[23]Surat Apostolik yang mengeluarkan Motu Proprio untuk melembagakan Dikasteri untuk Promosi Pembangunan Manusia Secara Menyeluruh, 17 Agustus 2016.
[24]Doa Ratu Surga, Betlehem, 25 Mei 2014.
[25]Seruan, Asisi, 20 September 2016.