Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 29 Juni 2022 : HARI RAYA SANTO PETRUS DAN PAULUS

Saudara-saudara terkasih,

 

Bacaan Injil liturgi hari ini, hari raya dua santo pelindung Kota Roma, melaporkan kata-kata yang ditujukan Petrus kepada Yesus : "Engkau adalah Mesias, Putra Allah yang hidup!" (Mat 16:16). Kata-kata tersebut merupakan pengakuan iman, yang dinyatakan Petrus bukan berdasarkan pemahaman manusiawinya, tetapi oleh karena dirinya diilhami Allah Bapa (bdk. ayat 17). Bagi Simon sang nelayan, yang dipanggil Petrus, pengakuan iman tersebut adalah awal dari sebuah perjalanan : memang butuh waktu lama sebelum cakupan kata-kata itu masuk jauh ke dalam hidupnya, melibatkan dirinya sepenuhnya. Ada 'magang' iman serupa, yang juga melanda Rasul Petrus dan Paulus, dalam diri kita masing-masing. Kita juga percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, tetapi butuh waktu, kesabaran, dan banyak kerendahan hati agar cara berpikir dan bertindak kita sepenuhnya seturut Injil.

 

Rasul Petrus langsung mengalami hal ini. Tepat setelah menyatakan imannya kepada Yesus, ketika Yesus memberitakan bahwa Ia harus menderita dan dihukum mati, Petrus menolak kemungkinan ini, yang ia anggap tidak sesuai dengan Mesias. Ia bahkan merasa terdorong untuk menegur sang Guru, yang kemudian berkata kepadanya : 'Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia!” (ayat.23).

 

Marilah kita pikirkan : bukankah hal yang sama terjadi pada kita? Kita mengulangi Syahadat, kita mengucapkannya dengan iman; tetapi ketika dihadapkan dengan cobaan hidup yang sulit, semuanya tampak goyah. Kita cenderung melayangkan protes kepada Tuhan, mengatakan kepada-Nya bahwa itu tidak benar, bahwa harus ada jalan lain yang lebih langsung dan tidak terlalu berat. Kita mengalami luka goresan orang percaya, orang yang percaya kepada Yesus, percaya kepada-Nya; tetapi pada saat yang sama merasa sulit untuk mengikuti-Nya dan tergoda untuk mencari jalan selain jalan sang Guru. Santo Petrus mengalami drama batin ini, dan ia membutuhkan waktu dan kedewasaan. Awalnya ia ngeri memikirkan Salib; tetapi di akhir hidupnya ia bersaksi tentang Tuhan dengan berani, bahkan sampai disalibkan — menurut tradisi — secara terbalik, agar tidak setara dengan Sang Guru.

 

Rasul Paulus juga memiliki jalannya sendiri, dan ia juga melewati kedewasaan iman yang lambat, mengalami saat-saat ketidakpastian dan keraguan. Penampakan Yesus yang bangkit di jalan menuju Damsyik, yang mengubahnya dari seorang penganiaya menjadi seorang Kristiani, harus dilihat sebagai awal dari sebuah perjalanan yang di dalamnya sang Rasul menghadapi krisis, kegagalan, dan siksaan terus-menerus dari apa yang ia alami yang ia sebut "duri di dalam daging" (bdk. 2 Kor 12:7). Perjalanan iman tidak pernah berjalan di taman, bagi siapa pun, tidak bagi Petrus atau Paulus, tidak bagi umat Kristiani mana pun. Perjalanan iman bukanlah sebuah jalan di taman, tetapi sebaliknya menuntut, kadang-kadang sulit : bahkan Paulus, yang menjadi seorang Kristiani, harus belajar menyatu secara bertahap, terutama melalui masa-masa pencobaan.

 

Dalam terang pengalaman para rasul kudus Petrus dan Paulus ini, kita masing-masing dapat bertanya pada diri kita sendiri : ketika aku mengakui imanku kepada Yesus Kristus, Putra Allah, apakah aku melakukannya dengan kesadaran bahwa aku harus selalu belajar, atau apakah aku beranggapan bahwa aku "sudah mengetahui segalanya?" Dan lagi : dalam kesulitan dan pencobaan apakah aku berputus asa, apakah aku berkeluh kesah, atau apakah aku belajar menjadikannya kesempatan untuk bertumbuh dalam kepercayaan kepada Tuhan? Karena Dia — sebagaimana ditulis Paulus kepada Timotius — akan melepaskan kita dari setiap usaha yang jahat dan akan menyelamatkan kita sehingga kita masuk ke dalam Kerajaan-Nya di surga (bdk. 2 Tim 4:18). Semoga Perawan Maria, Ratu Para Rasul, mengajari kita untuk meneladan mereka dengan berkembang hari demi hari di jalan iman.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudara terkasih,

 

Setiap hari saya membawa dalam hati saya Ukraina yang terkasih dan tersiksa, yang terus didera oleh serangan biadab, seperti yang melanda pusat perbelanjaan Kremenchuk. Saya berdoa agar kegilaan perang ini segera berakhir, dan saya kembali mengajak untuk bertekun, tanpa lelah, dalam doa untuk perdamaian : semoga Tuhan membuka jalan dialog yang tidak mau atau tidak dapat ditemukan oleh manusia! Dan janganlah kita abai untuk datang membantu rakyat Ukraina, yang sangat menderita.

 

Dalam beberapa hari terakhir, beberapa kebakaran terjadi di Roma, yang dipicu oleh suhu yang sangat tinggi, sementara di banyak tempat kekeringan sekarang menjadi masalah serius yang menyebabkan kerusakan serius pada kegiatan pertanian dan lingkungan. Saya berharap akan dilakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menangani keadaan darurat ini dan mencegah keadaan darurat di masa mendatang. Semua ini harus membuat kita merenungkan perlindungan ciptaan, yang merupakan tanggung jawab kita, tanggung jawab kita masing-masing. Bukan iseng-iseng, sebuah tanggung jawab : masa depan bumi ada di tangan kita dan dengan keputusan kita!

 

Hari ini edisi pertama 'L'Osservatore di strada', majalah bulanan baru 'L'Osservatore Romano', dibagi-bagikan di lapangan ini. Dalam surat kabar ini mereka yang paling tidak menjadi tokoh utama : sebenarnya, orang-orang miskin dan terpinggirkan ikut serta dalam pekerjaan editorial, menulis, membiarkan diri mereka diwawancarai, mencerahkan halaman majalah bulanan ini, yang ditawarkan secara gratis. Jika ada yang ingin memberikan sesuatu mereka bisa memberikannya secara sukarela, tetapi ambillah dengan bebas karena majalah tersebut adalah karya indah yang datang dari akar rumput, dari kaum miskin, sebagai ungkapan dari orang-orang yang terpinggirkan.

 

Pada Hari Raya Rasul Kudus Petrus dan Paulus ini, Pelindung utama Kota Roma, saya mengucapkan selamat kepada umat Roma dan semua orang yang tinggal di kota ini, semoga semua orang dapat menemukan di dalamnya sambutan yang pantas dan layak keindahannya. Kota Roma itu indah!

 

Saya kembali mengucapkan terima kasih saya kepada Delegasi Patriarkat Ekumenis Konstantinopel, yang diutus Yang Mulia Bartholomew, saudara saya yang terkasih, dan saya menyampai kepadanya salam hangat dan persaudaraan.

 

Saya menyapa dengan kasih sayang para peziarah yang datang untuk merayakan para uskup agung metropolitan yang akan menerima palium yang saya berkati pagi ini.

 

Saya menyapa kamu semua, para peziarah terkasih, terutama mereka yang berasal dari Amerika Serikat dan Republik Ceska, Berlin dan London. Saya menyapa para penerima sakramen krisma muda dari Barbara, dekat Ancona; dan umat Grest di Zagarolo; serta para peserta peziarahan yang datang di Aquileia dan digagas oleh Associazione Europea Romea Strata; dan saya menyapa kaum muda Immacolata.

 

Kepada semuanya saya mengucapkan selamat hari raya! Tolong jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa lagi!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 26 Juni 2022

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil untuk liturgi hari Minggu ini memberitahu kita tentang titik balik. Inilah yang dikatakannya : “Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem” (bdk. Luk 9:51). Dengan demikian Ia memulai “perjalanan agung”-nya menuju Kota Suci yang memerlukan keputusan khusus karena itu adalah keputusan terakhir-Nya. Para murid, dengan penuh semangat karena mereka masih terlalu duniawi, bermimpi bahwa Sang Guru akan menemui kemenangan. Sebaliknya, Yesus tahu bahwa penolakan dan kematian menunggu-Nya di Yerusalem (bdk. Luk 9:22, 43b-45); Ia tahu Ia akan sangat menderita. Hal inilah yang menuntut keputusan tegas. Maka, Yesus berjalan maju mengambil langkah tegas menuju Yerusalem. Keputusan yang sama ini harus kita ambil jika kita ingin menjadi murid Yesus. Keputusan ini berupa apa? Karena kita harus sungguh menjadi murid Yesus, benar-benar tegas, bukan “orang Kristiani air mawar” seperti yang biasa dikatakan oleh seorang perempuan tua yang saya kenal. Tidak, tidak, tidak! Orang kristiani yang tegas. Dan kisah yang diceritakan oleh penginjil Lukas tepat setelah ini membantu kita memahami.

 

Mereka memulai perjalanan mereka. Suatu desa orang Samaria, setelah mengetahui bahwa Yesus sedang menuju Yerusalem – yang merupakan kota musuh mereka – tidak menyambut-Nya. Karena marah, Rasul Yakobus dan Yohanes menyarankan kepada Yesus agar Ia menghukum orang-orang itu dengan menyuruh api turun dari langit. Yesus tidak hanya tidak menerima tawaran ini, Ia juga menegur kedua bersaudara itu. Mereka ingin melibatkan Yesus dalam keinginan mereka untuk membalas dendam dan Ia tidak sudi melakukannya (bdk. ayat 52-55). "Api" yang dilemparkan Yesus ke bumi adalah sesuatu yang lain (bdk. Luk 12:49). Api tersebut adalah kasih Bapa yang penuh kerahiman. Dan dibutuhkan kesabaran, keteguhan, dan semangat pertobatan untuk membuat api ini membesar.

 

Yakobus dan Yohanes, sebaliknya, membiarkan diri mereka dikuasai oleh kemarahan. Hal ini juga terjadi pada kita ketika, bahkan ketika kita sedang melakukan sesuatu yang baik, bahkan mungkin dengan pengorbanan, kita menemukan pintu tertutup bukannya disambut. Jadi kita marah. Kita bahkan mencoba untuk melibatkan Allah, mengancam hukuman surgawi. Yesus, sebaliknya, mengambil jalan lain, bukan jalan kemarahan, tetapi jalan keputusan tegas untuk maju, yang, jauh dari menerjemahkan ke dalam kekerasan, menyiratkan ketenangan, kesabaran, panjang sabar, tidak mengendur sedikit pun dalam berbuat baik. Jalan menjadi ini tidak berkonotasi kelemahan, tidak, tetapi, sebaliknya, kekuatan batin yang luar biasa. Membiarkan diri kita dikuasai kemarahan ketika berhadapan dengan tentangan mudah dan naluriah. Sebaliknya, menguasai diri, melakukan seperti yang dilakukan Yesus yang, sebagaimana dikatakan Bacaan Injil, "pergi ke desa yang lain" (ayat 56). Hal ini berarti bahwa ketika kita mendapati tentangan, kita harus berbalik arah berbuat baik di tempat lain, tanpa saling menyalahkan. Dengan cara ini, Yesus membantu kita menjadi orang yang tenteram, yang senang dengan pencapaian yang baik, dan yang tidak mencari persetujuan manusia.

 

Sekarang, kita dapat bertanya pada diri sendiri : di titik mana kita berada? Kita berada di titik apa? Dalam menghadapi pertentangan, kesalahpahaman, apakah kita berpaling kepada Tuhan? Apakah kita meminta ketabahan-Nya dalam berbuat baik? Atau apakah kita lebih suka mengusahakan penegasan melalui tepuk tangan, berakhir getir dan kesal ketika kita tidak mendengarnya? Sering kali, secara sadar atau tidak sadar, kita mengusahakan tepuk tangan, persetujuan dari orang lain, dan kita melakukan sesuatu untuk mendapatkan tepuk tangan. Tidak, hal itu tidak berhasil. Kita harus berbuat baik karena pelayanan, bukan mengusahakan tepuk tangan. Terkadang kita berpikir bahwa semangat kita adalah karena rasa keadilan untuk tujuan yang baik. Namun pada kenyataannya, sebagian besar waktu itu tidak lain adalah kesombongan, bersatu dengan kelemahan, kepekaan, dan ketidaksabaran. Jadi, marilah kita memohon kepada Yesus kekuatan untuk menjadi seperti Dia, mengikuti Dia dengan teguh di jalan pelayanan, tidak dendam, tidak menjadi intoleran ketika kesulitan muncul, ketika kita menghabiskan diri dengan berbuat baik dan orang lain tidak memahami hal ini, atau bahkan ketika mereka mendiskualifikasi kita. Tidak, diam dan lanjutkan.

 

Semoga Perawan Maria membantu kita membuat keputusan tegas yang dilakukan Yesus agar tetap mengasihi sampai akhir.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya sedang mengikuti dengan prihatin apa yang sedang terjadi di Ekuador. Saya dekat dengan rakyat Ekuador dan mendorong semua pihak untuk meninggalkan kekerasan dan posisi ekstrim. Marilah kita belajar: hanya melalui dialog, perdamaian sosial dapat dicapai – saya harap segera – dengan perhatian khusus pada penduduk yang terpinggirkan dan paling miskin, tetapi selalu menghormati hak setiap orang dan hak kelembagaan negara.

 

Saya ingin mengungkapkan kedekatan saya dengan kerabat dan sejawat Suster Luisa Dell'Orto, Suster Kecil Injil Santo Charles de Foucauld, yang terbunuh kemarin di Port-au-Prince, ibu kota Haiti. Selama dua puluh tahun, Suster Luisa tinggal di sana, terutama mengabdikan diri untuk melayani anak-anak jalanan. Saya mempercayakan jiwanya kepada Allah, dan saya mendoakan rakyat Haiti, terutama yang paling hina, agar mereka memiliki masa depan yang lebih tenang, tanpa kesengsaraan dan kekerasan. Suster Luisa mempersembahkan hidupnya bagi orang lain bahkan sampai mati sebagai martir.

 

Saya menyapa kamu semua yang berasal dari Roma serta para peziarah dari Italia dan begitu banyak negara. Saya melihat bendera Argentina, warga negara asal saya, saya menyapamu. Secara khusus, saya menyapa umat beriman dari Lisbon, para mahasiswa dari Institut Notre-Dame de Sainte-Croix, Neuilly, Prancis, dan mereka yang berasal dari Telfs, Austria. Saya menyapa anggota Paduan Suara Polifonik Riesi, kelompok orang tua dari Rovigo dan komunitas pastoral Beata Serafino Morazzone dari Maggianico. Saya melihat bendera Ukraina di sana. Pengeboman terus ada di Ukraina yang menyebabkan kematian, kehancuran dan penderitaan bagi penduduk.

 

Tolong, janganlah kita melupakan orang-orang yang sedang menderita akibat perang tersebut. Janganlah kita melupakan hal ini dalam hati kita dan dengan doa-doa kita.

 

Kepada kamu semua, saya berharap kamu semua memiliki hari Minggu yang baik. Dan, tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu dan sampai jumpa.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Juni 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM PERTEMUAN KELUARGA SEDUNIA X 22 Juni 2022

Keluarga-keluarga terkasih!

 

Berada di sini bersamamu, setelah peristiwa mengejutkan yang, belakangan ini, telah menandai hidup kita : pertama pandemi dan sekarang perang di Eropa, yang menambah jumlah perang yang menimpa keluarga manusia, merupakan kegembiraan bagi saya.

 

Saya berterima kasih kepada Kardinal Farrell, Kardinal De Donatis, seluruh sejawat dari Dikasteri untuk Awam, Keluarga dan Kehidupan serta Keuskupan Roma, yang dengan dedikasi mereka memungkinkan pertemuan ini.

 

Saya juga ingin berterima kasih kepada keluarga-keluarga yang hadir, yang datang dari berbagai belahan dunia; dan khususnya mereka yang telah memberi kesaksian krepada kita : terima kasih yang tulus! Tidaklah mudah untuk berbicara di depan banyak orang tentang hidupmu, tentang kesulitan-kesulitan atau karunia-karunia yang indah namun intim dan pribadi yang telah kamu terima dari Tuhan. Kesaksianmu telah bertindak sebagai "penguat" : kamu telah menyuarakan pengalaman banyak keluarga di dunia, yang, seperti kamu, menjalani kegembiraan, kecemasan, penderitaan dan harapan yang sama.

 

Karena alasan ini, saya sekarang beralih kepada kamu yang hadir di sini dan kepada para pasutri dan keluarga yang mendengarkan kita di seluruh dunia. Saya ingin membuatmu merasakan kedekatan saya di mana pun tepatnya kamu berada, dalam kondisi kehidupan nyatamu. Dorongan saya terutama adalah ini : mulailah dari situasimu yang sebenarnya dan dari sana berusahalah untuk berjalan bersama : bersama sebagai pasutri, bersama dalam keluargamu, bersama keluarga lain, bersama Gereja. Saya memikirkan perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati, yang bertemu dengan orang yang terluka di jalan, mendekatinya, memikul tanggung jawab atasnya dan membantunya melanjutkan perjalanan. Bagimu, saya ingin Gereja menjadi seperti ini! Orang Samaria yang baik itu datang mendekat, mendekati dan membantumu untuk melanjutkan perjalanan dan mengambil "satu langkah lagi", bahkan meski langkah itu kecil. Dan jangan lupa bahwa kedekatan adalah gaya Allah : kedekatan, kasih sayang dan kelembutan.

 

Ini adalah gaya Allah. Saya mencoba menunjukkan "langkah-langkah ekstra" ini untuk kita ambil bersama, mengambil kesaksian yang telah kita dengar.

 

1.       “Satu langkah lagi” menuju pernikahan. Saya berterima kasih kepadamu, Luigi dan Serena, karena telah menceritakan pengalamanmu dengan sangat jujur, dengan kesulitan dan cita-citanya. Saya pikir apa yang kamu katakan menyakitkan bagi semua orang : "Kami belum menemukan komunitas yang akan mendukung kami apa adanya dengan tangan terbuka". Ini sulit! Ini harus membuat kita bercermin. Kita harus bertobat dan berjalan sebagai Gereja yang ramah, sehingga keuskupan dan paroki kita semakin menjadi "komunitas yang mendukung semua orang dengan tangan terbuka". Ada begitu banyak kebutuhan, dalam budaya ketidakpedulian ini! Dan kamu, secara kebetulan, telah menemukan dukungan dalam keluarga-keluarga lain, yang sebenarnya adalah gereja-gereja kecil.

 

Saya sangat terhibur ketika kamu menjelaskan alasan yang mendorongmu untuk membaptiskan anak-anakmu. Kamu mengucapkan ungkapan yang sangat indah : "Semulia apapun upaya manusia tidak memadai". Memang benar, kita dapat memiliki mimpi yang paling indah, cita-cita paling tinggi, tetapi pada akhirnya kita juga menemukan keterbatasan kita - mengetahui keterbatasan kita adalah kebijaksanaan - keterbatasan ini tidak kita atasi sendiri tetapi dengan membuka diri kita kepada Bapa, kepada kasih-Nya, kepada rahmat-Nya. Inilah makna sakramen Pembaptisan dan Perkawinan : sakramen adalah pertolongan nyata yang diberikan Allah kepada kita agar kita tidak ditinggalkan sendirian, karena "kita tidak memadai". Kalimat itu, sangat baik untuk didengar : "Kita tidak memadai".

 

Kita dapat mengatakan bahwa ketika seorang pria dan seorang wanita jatuh cinta, Allah menawarkan mereka karunia : pernikahan. Karunia yang luar biasa, yang mengandung kekuatan kasih ilahi : kuat, abadi, setia, mampu pulih dari kegagalan atau kerapuhan. Pernikahan bukanlah sebuah formalitas yang harus dipenuhi. Kamu tidak menikah untuk menjadi Katolik "dengan tatacara", mematuhi aturan, atau karena Gereja mengatakan demikian atau mengadakan pesta; tidak, kita menikah karena kita ingin menemukan pernikahan berada di atas kasih Kristus, yang kokoh bagaikan batu karang. Dalam pernikahan, Kristus memberikan diri-Nya kepadamu, sehingga kamu memiliki kekuatan untuk saling memberi. Oleh karena itu, keberanian kehidupan keluarga bukanlah perutusan yang mustahil! Dengan rahmat sakramen, Allah membuat perjalanan yang indah untuk dilakukan bersama-Nya, tidak pernah sendirian. Keluarga bukanlah cita-cita yang indah, tidak dapat dicapai dalam kenyataan. Allah memastikan kehadiran-Nya dalam pernikahan dan dalam keluarga, tidak hanya pada hari pernikahan tetapi sepanjang hidup. Dan Ia mendukungmu setiap hari dalam perjalananmu.

 

2.     “Satu langkah lagi” untuk merangkul salib. Saya berterima kasih kepadamu, Roberto dan Maria Anselma, karena telah menceritakan kepada kita kisah mengharukan tentang keluargamu dan khususnya Chiara. Kamu berbicara kepada kita tentang salib, yang merupakan bagian dari kehidupan setiap orang dan setiap keluarga. Dan kamu telah bersaksi bahwa kerasnya salib penyakit dan kematian Chiara tidak menghancurkan keluarga serta tidak menyingkirkan ketenangan dan kedamaian dari hatimu. Salib juga bisa dilihat di matamu. Kamu tidak murung, putus asa, dan marah dengan kehidupan. Di sisi lain! Ketenangan dan keyakinan luar biasa dirasakan dalam dirimu. Kamu berkata: "Ketenangan Chiara telah membuka jendela keabadian bagi kita". Melihat bagaimana ia mengalami cobaan penyakit membantumu untuk menengadah dan tidak tinggal menjadi tawanan rasa sakit, tetapi membuka dirimu pada sesuatu yang lebih besar : rancangan misterius Allah, keabadian, Surga. Saya berterima kasih atas kesaksian iman ini! Kamu juga mengutip ungkapan yang biasa dikatakan Chiara : "Allah menempatkan kebenaran dalam diri kita masing-masing dan tidak mungkin untuk disalahpahami". Dalam hati Clare, Allah menempatkan kebenaran kehidupan yang kudus, dan oleh karena itu ia ingin mempertahankan nyawa anaknya dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Dan sebagai istri, bersama suaminya, ia menghayati jalan Injil keluarga dengan cara yang sederhana dan spontan. Kebenaran salib juga masuk ke dalam hati Chiara sebagai pemberian diri : hidupnya diberikan kepada keluarganya, kepada Gereja, kepada seluruh dunia. Kita selalu membutuhkan teladan yang bagus untuk dilihat : semoga Clare menjadi inspirasi dalam perjalanan kekudusan kita, dan semoga Tuhan menopang dan membuat setiap salib yang mereka pikul menjadi berbuah.

 

3.     “Satu langkah lagi” menuju pengampunan. Paul dan Germaine, kamu memiliki keberanian untuk memberitahu kita tentang krisis yang kamu alami dalam pernikahanmu. Kita berterima kasih untuk hal ini, karena dalam setiap pernikahan ada krisis : kita harus mengatakan pada diri kita, kita harus mengungkapkannya dan berjalan untuk menyelesaikannya. Kamu tidak ingin mempermanis kenyataan dengan sedikit gula! Kamu telah menamai semua penyebab krisis : tiadanya ketulusan, perselingkuhan, penggunaan uang yang salah, berhala kekuasaan dan karier, tumbuhnya dendam dan pengerasan hati. Saat kamu sedang berbicara, saya pikir kita semua mengingat kembali pengalaman rasa sakit yang dirasakan dalam menghadapi situasi serupa dari keluarga yang bercerai. Melihat keluarga yang berantakan adalah drama yang tidak bisa membuat kita acuh tak acuh. Senyum pasutri menghilang, anak-anak hilang, ketenangan setiap orang lenyap. Dan dalam sebagian besar waktu kamu tidak tahu harus berbuat apa.

 

Inilah sebabnya mengapa ceritamu menyampaikan harapan. Paulus berkata bahwa, di saat yang paling gelap dari krisis, Tuhan menanggapi keinginan terdalam hatinya dan menyelamatkan pernikahannya. Itulah. Keinginan yang ada di lubuk hati setiap orang adalah bahwa kasih yang tak berakhir, sejarah yang dibangun bersama dengan orang yang dikasihi tidak berhenti, buah yang dihasilkannya tidak hilang. Setiap orang memiliki keinginan ini. Tidak ada yang menginginkan kasih "jangka pendek" atau "jangka waktu tetap". Dan inilah mengapa kita sangat menderita ketika kekurangan, kelalaian dan dosa manusia membuat pernikahan hancur. Tetapi bahkan di tengah badai, Allah melihat apa yang ada di dalam hati. Dan untungnya kamu telah bertemu sekelompok awam yang sungguh berdedikasi untuk keluarga. Di sana dimulailah perjalanan pemulihan hubungan dan penyembuhan hubunganmu. Kamu telah kembali saling berbicara, membuka diri dengan tulus, mengakui dosa, berdoa bersama dengan pasutri lainnya, dan semua ini mengarah pada rekonsiliasi dan pengampunan.

 

Pengampunan, saudara dan saudari, pengampunan menyembuhkan setiap luka; pengampunan adalah karunia yang mengalir dari rahmat yang dengannya Kristus memenuhi pasutri dan seluruh keluarga ketika kamu membiarkan Ia bertindak, ketika kamu berpaling kepada-Nya. Kamu merayakan "pesta pengampunan"-mu bersama anak-anakmu, memperbarui janji pernikahan dalam perayaan Ekaristi sangat menyenangkan. Ini membuat saya berpikir tentang pesta yang diadakan oleh sang bapa untuk anaknya yang hilang dalam perumpamaan Yesus (bdk. Luk 15:20-24). Hanya saja kali ini orang tua yang tersesat, bukan anak! "Orang tua yang hilang". Tetapi ini juga indah dan bisa menjadi kesaksian yang bagus untuk anak-anak. Anak-anak, pada kenyataannya, ketika masih bayi, menyadari bahwa orang tua mereka bukanlah "pahlawan yang tiada tandingannya", mereka tidak mahakuasa, dan terutama, mereka tidak sempurna. Dan anak-anakmu telah melihat sesuatu yang jauh lebih penting dalam dirimu : mereka telah melihat kerendahan hati untuk memohon pengampunan dan kekuatan yang kamu terima dari Tuhan untuk mengangkatmu dari kejatuhan. Mereka sangat membutuhkan ini! Bahkan, mereka juga akan membuat kesalahan dalam hidup dan menemukan bahwa mereka tidak sempurna, tetapi mereka akan ingat bahwa Tuhan membangkitkan kita, kita semua adalah orang berdosa yang telah diampuni, kita harus memohon pengampunan dari orang lain dan kita juga harus mengampuni diri kita sendiri. Pelajaran yang mereka terima darimu ini akan tetap ada di hati mereka selamanya. Dan kita juga senang mendengarkanmu : terima kasih atas kesaksian pengampunan ini! Terima kasih banyak.

 

4.     "Satu langkah lagi" menuju keramahan. Saya berterima kasih kepadamu, Iryna dan Sofia, atas kesaksianmu. Kamu telah memberikan suara kepada begitu banyak orang yang hidupnya dijungkirbalikkan oleh perang di Ukraina. Kita melihat di wajahmu serta kisah begitu banyak pria dan wanita yang harus meninggalkan negeri mereka. Kita bersyukur karena kamu tidak kehilangan kepercayaan pada Sang Penyelenggara, dan kamu telah melihat bagaimana Allah bekerja dalam kebaikanmu juga melalui wujud orang-orang yang telah Ia bawa untuk kamu temui : keluarga yang ramah, dokter yang telah membantumu dan banyak manusia yang baik hati. Perang telah menghadapkanmu dengan sinisme dan kebrutalan manusia, tetapi kamu juga telah bertemu orang-orang dengan kemanusiaan yang luar biasa. Manusia yang terburuk dan terbaik! Penting bagi setiap orang untuk tidak tetap terpaku pada yang terburuk, tetapi menghargai yang terbaik, kebaikan yang luar biasa yang mampu dimiliki setiap manusia, dan dari sanalah memulai lagi.

 

Saya juga berterima kasih kepadamu, Pietro dan Erika, karena telah menceritakan kisahmu dan atas kemurahan hatimu menerima Iryna dan Sofia ke dalam keluarga besarmu. Kamu menceritakan kepada kita bahwa kamu melakukannya karena rasa syukur kepada Allah dan dengan semangat iman, sebagai panggilan dari Tuhan. Erika mengatakan penerimaan itu adalah "berkat dari surga". Faktanya, keramahan adalah "karisma" keluarga, dan terutama keluarga besar! Menurut perkiraan, di sebuah rumah yang sudah memiliki banyak orang, lebih sulit untuk menerima orang lain; namun, kenyataannya tidak demikian, karena keluarga dengan banyak anak dilatih untuk memberi ruang bagi orang lain. Mereka selalu menemukan ruang untuk orang lain.

 

Dan ini terutama adalah dinamika keluarga. Keluarga mengalami dinamika penerimaan, karena pertama-tama pasutri saling menerima, seperti yang mereka katakan satu sama lain di hari pernikahan mereka : "Aku menerimamu". Dan kemudian, dengan melahirkan anak-anak, mereka menerima kehidupan makhluk baru. Dan, sementara dalam konteks anonim mereka yang lebih lemah sering ditolak, tetapi dalam keluarga sangatlah wajar untuk menerima mereka : seorang anak penyandang cacat, orang tua yang membutuhkan perawatan, kerabat dalam kesulitan yang tidak memiliki siapa pun ... Dan ini memberi harapan. Keluarga adalah tempat penerimaan, dan celakalah mereka jika gagal! Permasalahannya. Sebuah masyarakat akan menjadi dingin dan tidak layak huni tanpa keluarga yang ramah. Mereka adalah sedikit kehangatan masyarakat, keluarga yang ramah dan murah hati ini.

5. “Satu langkah lagi” menuju persaudaraan. Terima kasih, Zakia, karena telah menceritakan kisahmu kepada kita. Sungguh indah dan menghibur bahwa apa yang kamu dan Luca bangun bersama tetap hidup. Kisahmu lahir dan didasarkan pada ambil bagian dalam cita-cita yang sangat tinggi, yang kamu gambarkan sebagai berikut : "Kami mendasarkan keluarga kami pada kasih sejati, dengan rasa hormat, kesetiakawanan, dan dialog antarbudaya kami". Dan semua ini tidak hilang, bahkan setelah kematian tragis Luca. Faktanya, tidak hanya teladan Lukas dan warisan spiritual tetap hidup dan berbicara kepada hati nurani banyak orang, tetapi juga organisasi yang didirikan Zakia, dalam arti tertentu, menjalankan perutusannya. Memang, kita dapat mengatakan bahwa perutusan diplomatik Lukas kini telah menjadi "perutusan perdamaian" bagi seluruh keluarga. Dalam sejarahmu menjadi jelas bagaimana yang manusiawi dan yang religius dapat terjalin dan menghasilkan buah yang indah. Dalam diri Zakia dan Luca kita menemukan keindahan kasih manusia, gairah hidup, altruisme dan juga kesetiaan pada kepercayaan dan tradisi keagamaan seseorang, sumber inspirasi dan kekuatan batin.

 

Cita-cita persaudaraan diungkapkan dalam keluargamu. Selain sebagai suami istri, kamu telah hidup sebagai saudara dalam kemanusiaan, sebagai saudara dalam berbagai pengalaman keagamaan, sebagai saudara dalam komitmen sosial. Ini juga merupakan sekolah yang dipelajari dalam keluarga. Hidup bersama dengan mereka yang berbeda denganku, dalam keluarga kita belajar menjadi saudara. Kita belajar mengatasi perpecahan, prasangka, ketertutupan, dan membangun sesuatu yang hebat dan indah bersama, dimulai dari kesamaan yang kita miliki. Contoh persaudaraan yang berpengalaman, seperti Luca dan Zakia, memberi kita harapan dan membuat kita melihat lebih percaya diri pada dunia kita yang terkoyak oleh perpecahan dan permusuhan. Terima kasih atas teladan persaudaraan ini! Dan saya tidak ingin menyelesaikan kenangan tentang Luca dan kamu ini tanpa menyebut ibumu. Ibumu yang ada di sini dan selalu menemanimu dalam perjalananmu : inilah kebaikan yang dilakukan ibu mertua dalam sebuah keluarga, ibu mertua yang baik, ibu yang baik! Terima kasih telah datang bersamamu hari ini.

 

Sahabat-sahabat terkasih, setiap keluargamu memiliki perutusan yang harus dipenuhi di dunia, sebuah kesaksian yng harus diberikan. Kita yang dibaptis, terutama, dipanggil untuk menjadi "pesan yang Roh Kudus ambil dari kekayaan Yesus Kristus dan Ia anugerahkan kepada umat-Nya" (Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate, 21). Inilah sebabnya saya mengajukan pertanyaan ini kepadamu : apa kata yang ingin dikatakan Tuhan dengan hidup kita kepada orang-orang yang kita temui? “Langkah ekstra” apa yang Engkau minta dari keluarga kami hari ini? Kepada keluargaku : semua orang harus mengatakan ini. Dengarkan dirimu. Biarkan dirimu diubahkan oleh-Nya, sehingga kamu juga dapat mengubah dunia dan menjadikannya "rumah" bagi mereka yang perlu disambut, bagi mereka yang perlu bertemu Kristus dan merasa dikasihi. Kita harus hidup dengan mata tertuju ke Surga: seperti dikatakan Beata Maria dan Luigi Beltrame Quattrocchi kepada anak-anak mereka, menghadapi kesulitan dan kegembiraan hidup "selalu memandang dari atas".

 

Terima kasih telah datang ke sini. Saya berterima kasih atas komitmen dalam memajukan keluargamu. Majulah, dengan keberanian, dengan sukacita. Dan jangan lupa untuk mendoakan saya.
________

(Peter Suriadi - Bogor, 23 Juni 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 22 Juni 2022 : KATEKESE TENTANG USIA TUA (BAGIAN 14)

Saudara-saudari terkasih, selamat datang dan selamat pagi!



Dalam perjalanan katekese kita tentang hari tua, hari ini kita merenungkan dialog antara Yesus yang bangkit dan Petrus di akhir Injil Yohanes (21:15-23). Sebuah dialog yang mengharukan, yang daripadanya memancarkan seluruh kasih Yesus kepada murid-murid-Nya, dan juga luhurnya kemanusiaan berkat hubungan-Nya dengan mereka, khususnya dengan Petrus : hubungan yang lembut, tetapi tidak melankolis; langsung, kuat, bebas, dan terbuka. Hubungan antara manusia dan kebenaran. Jadi, Injil Yohanes, yang begitu rohani, begitu agung, ditutup dengan permintaan dan tawaran kasih yang mengharukan antara Yesus dan Petrus, yang secara wajar terjalin dengan diskusi di antara mereka. Penginjil Yohanes mengingatkan kita : ia sedang memberi kesaksian tentang kebenaran fakta-fakta tersebut (bdk. Yoh 21:24). Dan di dalam fakta-fakta itulah kebenaran harus dicari.

 

Kita dapat bertanya pada diri kita sendiri : mampukah kita memelihara arah hubungan Yesus dengan para murid ini, menurut gaya-Nya yang begitu terbuka, begitu terus terang, begitu langsung, begitu nyata secara manusiawi? Bagaimana hubungan kita dengan Yesus? Apakah seperti ini, seperti para Rasul bersama-Nya? Bukankah kita, sebaliknya, sangat sering tergoda untuk menyertakan kesaksian Injil dalam kepompong pewahyuan 'berlapis gula', yang di dalamnya secara tidak langsung ditambahkan penghormatan kita sendiri? Sikap ini, yang tampaknya penuh hormat, sebenarnya menjauhkan kita dari Yesus yang sesungguhnya, dan bahkan menjadi kesempatan untuk perjalanan iman yang sangat abstrak, sangat mengacu pada diri sendiri, sangat duniawi, yang bukan jalan Yesus. Yesus adalah Sabda Allah yang menjadi manusia, dan Ia menyelaraskan diri-Nya sebagai manusia, Ia berbicara kepada kita sebagai manusia, Allah-manusia. Dengan kelembutan ini, dengan persahabatan ini, dengan kedekatan ini. Yesus tidak seperti gambar gula-manis pada kartu bergambar, tidak : Yesus berada dalam jangkauan, Ia berada di dekat kita.

 

Dalam diskusi Yesus dengan Petrus, kita menemukan dua perikop yang secara tepat berhubungan dengan usia tua dan perjalanan waktu : waktu kesaksian, waktu kehidupan. Perikop pertama adalah peringatan Yesus kepada Petrus : Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki. Katakan padaku aku harus naik kursi roda, eh? Tetapi begitulah, begitulah hidup. Dengan usia tua kamu mendapatkan semua penyakit ini dan kita harus menerimanya saat datang, bukan. Kita tidak memiliki kekuatan masa muda! Dan kesaksianmu juga akan disertai dengan kelemahan ini. Kamu harus menjadi saksi Yesus bahkan dalam kelemahan, penyakit dan kematian. Ada perikop indah dari Santo Ignatius dari Loyola yang mengatakan : "Sama seperti dalam kehidupan, demikian juga dalam kematian kita harus bersaksi sebagai murid Yesus". Akhir kehidupan harus menjadi akhir kehidupan para murid : kehidupan para murid Yesus, yang senantiasa dikatakan Tuhan kepada kita sesuai dengan usia kita. Penginjil Yohanes lebih lanjut berkomentar, menjelaskan bahwa Yesus menyinggung kesaksian ekstrim, yaitu kemartiran dan kematian.

 

Tetapi kita dapat memahami secara lebih umum arti dari nasihat ini: untuk mengikuti jejak Yesus, kamu harus belajar untuk membiarkan dirimu dilatih dan dibentuk oleh kelemahanmu, ketidakberdayaanmu, ketergantunganmu pada orang lain, bahkan dalam berpakaian, dalam berjalan. Tetapi kamu : “Ikutlah Aku” (ayat 19). Pengikut Yesus selalu berjalan maju, dalam kesehatan yang baik, dalam kesehatan yang tidak begitu baik; tanpa keterbatasan fisik, dengan keterbatasan fisik. Tetapi mengikuti Yesus itu penting : selalu mengikuti Yesus, dengan berjalan kaki, berlari, berjalan perlahan, di kursi roda… tetapi selalu mengikuti Dia. Kebijaksanaan mengikuti [Yesus] harus menemukan cara untuk tinggal dalam pengakuan iman – demikian Petrus menjawab : “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau” (ayat 15.16.17) – bahkan dalam kondisi kelemahan yang membatasi dan usia tua. Saya suka berbicara dengan orang tua, menatap mata mereka : mereka memiliki mata yang cerah, mata yang berbicara kepadamu lebih dari kata-kata, saksi sebuah kehidupan. Dan ini indah, kita harus melestarikannya sampai akhir. Jadi mengikuti Yesus : penuh kehidupan.

 

Percakapan antara Yesus dan Petrus ini mengandung pengajaran yang berharga bagi semua murid, bagi kita semua orang percaya, dan juga bagi semua orang tua. Dari kelemahan kita, kita belajar untuk mengungkapkan kemantapan kesaksian hidup kita dalam kondisi kehidupan yang sebagian besar dipercayakan kepada orang lain, sebagian besar bergantung pada prakarsa orang lain. Dengan penyakit, dengan usia tua, ketergantungan tumbuh dan kita tidak lagi bergantung pada diri sendiri seperti sebelumnya; hal ini tumbuh dan di sana juga iman menjadi dewasa, di sana juga Yesus bersama kita, di sana juga kekayaan iman yang dihayati dengan baik di jalan kehidupan muncul.

 

Tetapi sekali lagi kita harus bertanya pada diri kita : apakah kita memiliki spiritualitas yang benar-benar mampu menafsirkan masa – sekarang panjang dan meluas – ketika kelemahan kita ini dipercayakan kepada orang lain, yang lebih besar daripada kekuatan kemandirian kita? Bagaimana kita tetap setia pada tindakan nyata mengikuti [Yesus], pada kasih yang dijanjikan, pada keadilan yang dicari pada saat kemampuan kita untuk berprakarsa, pada saat kelemahan, pada saat ketergantungan, pada saat perpisahan, dalam masa yang menjauhkan kita sebagai pelaku utama? Tidak mudah, bukan? Menjauh sebagai pelaku utama. Tidak mudah.

 

Masa baru ini juga tentu saja merupakan masa percobaan – dimulai dengan godaan – sangat manusiawi, tidak diragukan lagi, tetapi juga sangat berbahaya – untuk melestarikan kita sebagai pelaku utama. Dan terkadang pelaku utama harus mengecil, harus merendahkan diri, untuk menerima bahwa usia tua mengurangimu sebagai pelaku utama. Tetapi kamu akan memiliki cara lain untuk mengungkapkan diri, cara lain untuk ikut serta dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam kelompok teman.

 

Dan rasa ingin tahu datang kepada Petrus : "Bagaimana dengan dia?", kata Petrus, melihat murid yang dikasihi itu mengikuti mereka (bdk. ayat 20-21). Menempel hidungmu dalam kehidupan orang lain. Tetapi tidak : Yesus berkata: "Diam!". Apakah ia harus menjadi bagian-"ku" dalam mengikut [Yesus]? Apakah ia harus menempati ruang-"ku"? Akankah ia menjadi penerusku? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak baik, yang tidak membantu. Haruskah ia hidup lebih lama dariku dan menggantikanku? Jawaban Yesus terus terang dan bahkan kasar : “Apa artinya bagimu? Kamu khawatir tentang hidupmu, tentang situasimu saat ini, dan tidak menempelkan hidungmu ke dalam kehidupan orang lain. Itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku” (ayat 22).

 

Ini penting : mengikuti Yesus, mengikuti Yesus dalam hidup dan mati, dalam sehat dan sakit, dalam hidup ketika makmur dengan banyak keberhasilan, dan dalam hidup ketika sulit, dalam banyak saat buruk kegagalan. Dan ketika kita ingin memasukkan diri kita ke dalam kehidupan orang lain, Yesus menjawab, “'Itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku". Indahnya.

 

Kita para orang tua tidak boleh iri pada orang muda yang mengambil jalan mereka, yang menempati tempat kita, yang hidup lebih lama dari kita. Kehormatan kesetiaan kita pada sumpah kasih, kesetiaan mengikuti iman yang telah kita percayai, bahkan dalam kondisi yang membawa kita semakin dekat dengan akhir hidup kita, adalah klaim kita untuk mengagumi generasi yang akan datang dan pengakuan penuh syukur dari Tuhan. Belajar berpurna bakti : ini adalah kebijaksanaan orang tua. Tetapi mengucapkan selamat tinggal dengan baik, dengan masak-masak, dengan senyuman, berpurna bakti dalam masyarakat, berpurna bakti dengan orang lain. Kehidupan orang tua adalah perpisahan, perlahan-lahan, perlahan-lahan, tetapi perpisahan yang menyenangkan : aku telah menjalani hidup, aku telah menjaga imanku. Ini indah, ketika orang tua dapat berkata, “Aku telah menjalani hidup, inilah keluargaku; aku telah menjalani hidup, aku adalah orang berdosa tetapi aku juga telah berbuat baik”. Dan kedamaian yang datang ini, ini adalah perpisahan orang tua.

 

Bahkan secara terpaksa tidak aktif mengikuti [Yesus], yang berupa kontemplasi yang antusias dan mendengarkan sabda Tuhan – seperti Maria, saudara perempuan Lazarus – akan menjadi bagian terbaik dari hidup mereka, hidup kita orang-orang yang sudah lanjut usia. Semoga bagian ini tidak pernah diambil dari kita lagi, tidak pernah (bdk. Luk 10:42). Marilah kita perhatikan orang tua, marilah kita perhatikan mereka, dan marilah kita bantu mereka agar mereka dapat hidup dan mengungkapkan kebijaksanaan hidup mereka, agar mereka dapat memberi kita apa yang indah dan baik dari diri mereka. Marilah kita lihat mereka, marilah kita dengarkan mereka. Dan kita orang tua, marilah kita lihat orang muda, dan selalu dengan senyuman, pada orang muda : mereka akan mengikuti jalan, mereka akan meneruskan apa yang telah kita tabur, bahkan apa yang belum kita tabur karena kita tidak memiliki keberanian atau kesempatan : mereka akan membawanya maju. Tetapi selalu hubungan ini.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang berasal dari Malta dan Amerika Serikat. Saya menyampaikan salam khusus kepada banyak kelompok siswa yang hadir. Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Tuhan memberkati!

 

[Imbauan]

 

Dalam beberapa jam terakhir, gempa bumi telah menelan korban dan menyebabkan kerusakan yang luas di Afghanistan. Saya menyampaikan simpati saya kepada mereka yang terluka dan mereka yang terkena dampak gempa, serta saya mendoakan khususnya mereka yang kehilangan nyawa dan keluarga mereka. Saya berharap dengan bantuan semua orang, penderitaan rakyat Afghanistan yang terkasih dapat diringankan.

 

Saya juga mengungkapkan kesedihan dan kekecewaan saya atas pembunuhan, di Meksiko kemarin lusa, dua rohaniwan Yesuit – saudara saya – dan seorang awam. Berapa banyak pembunuhan yang terjadi di Meksiko! Dengan kasih sayang dan doa, saya dekat dengan umat Katolik yang terkena dampak tragedi ini. Sekali lagi, saya ulangi bahwa kekerasan tidak menyelesaikan masalah, tetapi meningkatkan penderitaan yang tidak perlu.

 

Anak-anak yang bersama saya di Mobile adalah anak-anak Ukraina : jangan lupakan Ukraina. Janganlah kita melupakan penderitaan rakyat yang mati menjadi martir tersebut.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang makna dan nilai usia tua dalam terang sabda Allah, sekarang kita membahas kata-kata Yesus yang bangkit kepada Petrus di Danau Tiberias (Yoh 21:17-18). Petrus menegaskan kembali kasihnya kepada Kristus dan menerima perintah untuk memberi makan domba-domba Tuhan. Yesus menambahkan, dengan mengacu pada akhir kemartiran Petrus, ”Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki”. Kata-kata ini memiliki arti khusus bagi orang tua, karena berlalunya tahun secara alami membawa kelemahan fisik dan meningkatnya ketergantungan pada orang lain. Namun, pada saat yang sama, usia tua dapat menjadi waktu untuk memperbarui kasih kepada Tuhan, berharap akan janji-janji-Nya, dan bertumbuh dalam kebijaksanaan rohani. Yesus selanjutnya mengatakan kepada Petrus untuk tidak menyibukkan diri dengan Yohanes, murid yang lebih muda, tetapi dengan ketekunan dalam kesetiaan pada panggilan dan perutusannya sendiri. Kata-kata-Nya mengingatkan kita tentang perlunya, di tahun-tahun terakhir kehidupan, untuk memberikan ruang bagi generasi muda dan menghormati tempat mereka dalam pengungkapan rencana penyelamatan Allah. Bagi murid-murid Kristus, usia tua dengan demikian dapat menjadi masa kontemplasi, rasa syukur dan kesaksian yang berbuah akan rahmat Allah yang terus-menerus bekerja dalam hidup kita dan di dunia di sekitar kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 23 Juni 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 19 Juni 2022 : MAKAN SAMPAI KENYANG

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi dan selamat hari Minggu!

 

Hari ini di Italia dan di negara-negara lain, Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus dirayakan. Dilembagakan selama Perjamuan Terakhir, Ekaristi laksana tujuan dari sebuah perjalanan yang sebelumnya telah dilukiskan Yesus melalui beberapa tanda, terutama penggandaan roti yang dikisahkan dalam Bacaan Injil liturgi hari ini (bdk. Luk 9:11b-17). Yesus peduli terhadap orang banyak yang telah mengikuti-Nya untuk mendengarkan sabda-Nya dan terbebas dari berbagai kejahatan. Ia memberkati lima roti dan dua ikan, memecah-mecahkannya, para murid membagi-bagikannya, dan "mereka semuanya makan sampai kenyang" (Luk. 9:17), kata Injil. Dalam Ekaristi, setiap orang dapat mengalami perhatian Tuhan yang penuh kasih dan nyata ini. Orang-orang yang menerima tubuh dan darah Kristus dengan iman tidak hanya makan, tetapi juga sampai kenyang. Makan dan sampai kenyang : inilah dua kebutuhan dasar yang dikenyangkan dalam Ekaristi.

 

Makan. “Mereka semuanya makan”, tulis Santo Lukas. Pada waktu hari mulai malam, para murid menasihati Yesus untuk membubarkan orang banyak agar mereka bisa pergi mencari makanan. Tetapi Sang Guru ingin menyediakannya juga – Ia juga ingin memberi makan orang-orang yang telah mendengarkan-Nya. Mukjizat roti dan ikan tidak terjadi dengan cara yang spektakuler, tetapi hampir secara diam-diam, seperti perkawinan di Kana – roti bertambah banyak saat berpindah dari tangan ke tangan. Dan saat orang banyak makan, mereka menyadari bahwa Yesus peduli terhadap segalanya. Inilah Tuhan yang hadir dalam Ekaristi. Ia memanggil kita untuk menjadi warga Surga, tetapi pada saat yang sama Ia memperhitungkan perjalanan yang harus kita hadapi di bumi ini. Jika aku hampir tidak memiliki roti di dalam tas kita, hanya Ia yang tahu dan peduli terhadap hal itu.

 

Kadang-kadang ada risiko membatasi Ekaristi pada dimensi yang samar dan jauh, mungkin bercahaya dan harum dengan dupa, tetapi agak jauh dari kesulitan hidup sehari-hari. Pada kenyataannya, Tuhan peduli terhadap semua kebutuhan kita, dimulai dari yang paling dasar. Dan Ia ingin memberikan teladan kepada murid-murid-Nya, dengan mengatakan, "Kamu harus memberi mereka makan" (ayat 13), kepada orang-orang yang telah mendengarkan-Nya sepanjang hari. Kita dapat mengevaluasi penyembahan Ekaristi kita ketika kita peduli terhadap sesama kita seperti yang dilakukan Yesus. Ada rasa lapar akan makanan di sekitar kita, tetapi juga akan persahabatan; ada rasa lapar akan penghiburan, persahabatan, suasana hati yang baik; ada rasa lapar akan perhatian, ada rasa lapar untuk diinjili. Kita menemukan hal ini dalam Roti Ekaristi – perhatian Kristus pada kebutuhan kita dan ajakan untuk melakukan hal yang sama terhadap orang-orang yang ada di samping kita. Kita perlu makan dan memberi makan sesama.

 

Tetapi, selain makan, kita tidak bisa melupakan dikenyangkan. Orang banyak dikenyangkan berkat kelimpahan makanan serta juga sukacita dan keheranan karena telah menerimanya dari Yesus! Kita tentu perlu memelihara diri kita, tetapi kita juga perlu dikenyangkan, memahami bahwa makanan itu diberikan kepada kita karena kasih. Di dalam tubuh dan darah Kristus, kita menemukan kehadiran-Nya, hidup-Nya yang diberikan bagi kita masing-masing. Ia tidak hanya memberi kita pertolongan untuk maju, tetapi Ia memberi kita diri-Nya sendiri - Ia menjadikan diri-Nya rekan perjalanan kita, Ia masuk ke dalam urusan kita, Ia mengunjungi kita saat kita kesepian, memberi kita kembali rasa antusias. Hal ini mengenyangkan kita, ketika Tuhan memberi makna terhadap hidup kita, ketidakjelasan kita, keraguan kita; Ia melihat maknanya, dan makna yang diberikan Tuhan ini mengenyangkan kita. Hal ini memberi kita “melebihi” yang dicari setiap orang – yaitu, kehadiran Tuhan! Karena dalam kehangatan kehadiran-Nya, hidup kita berubah. Tanpa Dia, segalanya akan benar-benar abu-abu. Menyembah tubuh dan darah Kristus, marilah kita memohon kepada-Nya dengan hati kita : “Tuhan, berilah aku roti hari ini supaya aku boleh melangkah maju, Tuhan, kenyangkanlah aku dengan kehadiran-Mu!”

 

Semoga Perawan Maria mengajari kita bagaimana menyembah Yesus, yang hidup dalam Ekaristi dan membagi-bagikan-Nya kepada saudara-saudari kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Kemarin, di Sevilla, beberapa orang dibeatifikasi : Angel Marina lvarez dan sembilan belas rekannya, biarawan dari keluarga Dominikan; Juan Aguilar Donis dan empat rekannya, dari Ordo Pengkhotbah; Isabel Sánchez Romero, seorang biarawati tua dari Ordo Santo Dominikus; dan Fructuoso Pérez Marquez, seorang awam ordo ketiga Dominikan. Mereka semua dibunuh dalam kebencian terhadap iman dalam penganiayaan agama yang terjadi di Spanyol dalam konteks perang saudara abad terakhir. Kesaksian mereka tentang kelekatan kepada Kristus dan pengampunan bagi para pembunuh mereka menunjukkan kepada kita jalan menuju kekudusan dan mendorong kita untuk menjadikan hidup kita sebagai persembahan kasih kepada Allah dan saudara-saudari kita. Marilah kita bertepuk tangan untuk para beato dan beata baru tersebut!

 

Sekali lagi dari Myanmar terdengar jeritan kesakitan dari begitu banyak orang yang kekurangan bantuan kemanusiaan dasar dan yang terpaksa meninggalkan rumah mereka yang telah terbakar serta melarikan diri dari kekerasan. Saya bergabung dengan seruan para uskup di negeri tercinta itu, agar masyarakat internasional tidak melupakan rakyat Myanmar, agar martabat manusia dan hak hidup, serta tempat ibadah, rumah sakit dan sekolah, dihormati. Dan saya memberkati rakyat Myanmar di Italia, yang perwakilannya ada di sini hari ini.

 

Rabu depan, 22 Juni, Pertemuan Keluarga Sedunia X akan dimulai; pertemuan tersebut akan dilaksanakan di Roma dan pada saat bersamaan di seluruh dunia. Saya berterima kasih kepada para uskup, pastor paroki, dan pekerja pastoral keluarga yang telah menyerukan kepada keluarga-keluarga untuk melakukan momen refleksi, perayaan dan pesta. Saya terutama berterima kasih kepada para suami istri dan keluarga-keluarga yang akan memberi kesaksian tentang kasih keluarga sebagai panggilan dan jalan menuju kekudusan. Selamat mengadakan pertemuan!

 

Dan sekarang saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara, terutama para siswa Sekolah Oratori London. Saya menyapa para peserta kursus pertama kepedulian pastoral untuk penyambutan dan kepedulian hidup baru; umat Gragnano dan lembaga pesepeda "Pedale Sestese" dari Sesto San Giovanni. Dan janganlah kita melupakan penderitaan rakyat Ukraina saat ini, rakyat yang sedang menderita. Saya ingin kamu semua mengingat sebuah pertanyaan : apa yang sedang kulakukan hari ini untuk rakyat Ukraina? Apakah aku berdoa? Apakah aku sedang melakukan sesuatu? Apakah aku sedang berusaha untuk memahami? Apa yang sedang kulakukan hari ini untuk rakyat Ukraina? Kamu masing-masing, jawablah dalam hatimu masing-masing.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makananmu, dan sampai jumpa.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Juni 2022)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI ORANG MISKIN SEDUNIA VI 13 November 2022 (Hari Minggu Biasa XXXIII)

Oleh karena kamu Kristus menjadi miskin (bdk. 2Kor 8:9)

 

1. "Yesus Kristus ... oleh karena kamu menjadi miskin" (bdk. 2 Kor 8:9). Kata-kata Rasul Paulus yang ditujukan kepada jemaat Kristiani perdana di Korintus ini bertujuan untuk mendorong mereka berupaya menunjukkan kesetiakawanan dengan saudara-saudari mereka yang membutuhkan. Tahun ini Hari Orang Miskin Sedunia tiba sebagai tantangan yang sehat, membantu kita untuk merenungkan gaya hidup kita dan berbagai bentuk kemiskinan di sekitar kita.

 

Beberapa bulan yang lalu, dunia baru saja bangkit dari prahara pandemi, menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi yang dapat memberi manfaat bagi jutaan orang yang menjadi miskin karena kehilangan pekerjaan. Sepetak langit biru baru saja terbuka yang, tanpa mengurangi kesedihan kita karena kehilangan orang-orang terkasih, berjanji untuk membawa kita kembali ke hubungan langsung antarpribadi dan saling bersosialisasi tanpa larangan atau pembatasan lebih lanjut. Tetapi, sekarang sebuah bencana baru telah muncul di cakrawala, ditakdirkan untuk memaksakan skenario yang sangat berbeda di dunia kita.

 

Perang di Ukraina kini telah meluas ke perang regional yang selama bertahun-tahun telah memakan banyak korban tewas dan kehancuran. Namun di sini situasinya bahkan semakin rumit karena campur tangan langsung dari "negara adikuasa" yang bertujuan memaksakan kehendaknya dengan melanggar prinsip penentuan nasib sendiri bangsa-bangsa. Skenario tragis sedang dimainkan kembali dan sekali lagi tuntutan timbal balik yang dibuat oleh beberapa penguasa menahan suara kemanusiaan yang menyerukan perdamaian.

 

2.     Betapa besar kemiskinan yang dihasilkan oleh perang yang tidak masuk akal! Ke mana pun kita memandang, kita dapat melihat bagaimana kekerasan menyerang mereka yang tidak berdaya dan rentan. Kita memikirkan deportasi ribuan orang, terutama anak laki-laki dan perempuan, untuk memutus asal-usul mereka dan memaksakan jatidiri lain kepada mereka. Sekali lagi kata-kata Pemazmur terbukti tepat waktu. Merenungkan kehancuran Yerusalem dan pembuangan kaum muda Ibrani, ia bermazmur : “Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita ... Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian Tuhan di negeri asing?" (Mzm 137:1-4).

 

Jutaan perempuan, anak-anak dan orang tua dipaksa untuk berani menghadapi bahaya bom hanya untuk mencari keselamatan dengan mencari perlindungan sebagai orang terlantar di negeri tetangga. Berapa banyak orang lainnya yang tetap berada di zona perang, hidup setiap hari dengan ketakutan dan kekurangan makanan, air, perawatan medis dan terutama kasih sayang manusiawi? Dalam situasi ini, akal menjadi gelap dan mereka yang merasakan dampaknya adalah orang-orang biasa yang tak terhitung jumlahnya yang akhirnya menambah dalam jumlah besar orang-orang yang membutuhkan. Bagaimana kita dapat menanggapi secara memadai situasi ini, dan membawa kelegaan dan kedamaian bagi semua orang yang berada dalam cengkeraman ketidakpastian dan ketidakstabilan ini?

 

3.     Dalam situasi pertikaian besar ini, kita merayakan Hari Orang Miskin Sedunia IV. Kita diminta untuk berkaca pada panggilan Rasul Paulus agar pandangan kita tetap tertuju pada Yesus, yang “oleh karena kamu [kita] menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu [kita] menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (bdk. 2 Kor 8:9). Selama lawatannya ke Yerusalem, Paulus bertemu dengan Petrus, Yakobus dan Yohanes, yang telah mendesaknya untuk tidak melupakan orang miskin. Jemaat Yerusalem sedang mengalami kesulitan besar karena negeri mereka sedang kekurangan pangan. Rasul Paulus segera mengelola kolekte besar untuk membantu orang-orang yang dilanda kemiskinan. Jemaat Kristiani di Korintus sangat memahami dan mendukung. Atas permintaan Paulus, di awal pekan mereka mengumpulkan apa yang bisa mereka simpan dan semuanya terbukti sangat berlimpah.

 

Sejak saat itu, setiap hari Minggu, selama perayaan Ekaristi Kudus, kita telah melakukan hal yang sama, kita mengumpulkan persembahan agar jemaat dapat memenuhi kebutuhan orang miskin. Sesuatu yang senantiasa diperbuat jemaat Kristiani dengan penuh sukacita dan rasa tanggung jawab, untuk memastikan bahwa tidak ada saudara atau saudari kita yang kekurangan kebutuhan hidup. Kita menemukan penegasan akan hal ini dari Santo Yustinus Martir, yang pada abad kedua menulis kepada Kaisar Antoninus Pius dan menggambarkan perayaan hari Minggu orang Kristiani. Ia mengatakan, “Pada hari Minggu kami mengadakan pertemuan bersama untuk semua anggota kami, baik mereka tinggal di kota maupun di tempat terpencil. Mengingat kembali para rasul atau tulisan para nabi dibacakan, selama ada waktu… Ekaristi dibagikan, setiap orang yang hadir berkomunikasi, dan para diakon mengantarkannya untuk mereka yang tidak hadir. Orang kaya, jika mereka mau, dapat memberikan kontribusi, dan mereka sendiri yang memutuskan jumlahnya. Kolekte dititipkan kepada ketua, yang mempergunakannya untuk membantu anak-anak yatim dan janda-janda serta setiap orang yang karena sebab apapun sedang berada dalam kesusahan, baik karena sakit, berada dalam penjara, maupun jauh dari rumah. Singkatnya, kepedulian diberikan kepada semua orang yang membutuhkan” (Apologi Pertama, LXVII, 1-6).

 

4.     Mengenai jemaat Korintus, setelah ledakan antusiasme awal, ketetapan hati mereka mulai goyah dan prakarsa yang diusulkan oleh Rasul Paulus kehilangan sebagian daya dorongannya. Karena alasan ini, Paulus menulis kepada mereka, meminta dengan penuh semangat agar kolekte diluncurkan kembali, “hendaklah pelaksanaannya sepadan dengan kerelaanmu, dan lakukanlah itu dengan apa yang ada padamu” (2 Kor 8:11).

 

Saya memikirkan masa kemurahan hati ini yang dalam beberapa tahun terakhir telah membuat seluruh penduduk membuka pintu mereka untuk menyambut jutaan pengungsi akibat perang di Timur Tengah, Afrika Tengah dan sekarang Ukraina. Keluarga-keluarga telah membuka rumah mereka untuk memberi ruang bagi keluarga lain, dan masyarakat telah dengan murah hati menerima banyak perempuan dan anak-anak sehingga mereka memperoleh kemungkinan untuk hidup bermartabat yang menjadi hak mereka. Meskipun demikian, semakin lama pertikaian berlangsung, dampaknya semakin memberatkan. Orang-orang yang memberikan sambutan merasa semakin sulit untuk mempertahankan upaya bantuan mereka; keluarga dan masyarakat mulai merasa terbebani oleh situasi yang terus berlanjut melewati tahap darurat. Inilah saatnya bagi kita untuk tidak berkecil hati melainkan memperbaharui motivasi awal kita. Pekerjaan yang telah kita mulai perlu diselesaikan dengan rasa tanggung jawab yang sama.

 

5.     Sesungguhnya, itulah tepatnya kesetiakawanan : berbagi sedikit yang kita miliki dengan mereka yang tidak memiliki apa-apa, sehingga tidak ada seorang pun yang akan pergi tanpanya. Rasa kebersamaan dan persekutuan sebagai gaya hidup meningkat dan rasa kesetiakawanan menjadi dewasa. Kita juga harus mempertimbangkan bahwa di beberapa negara, selama beberapa dekade terakhir, keluarga telah mengalami peningkatan kemakmuran dan jaminan yang signifikan. Ini adalah hasil positif dari prakarsa swasta dan mendukung pertumbuhan ekonomi serta dorongan nyata untuk mendukung keluarga dan tanggung jawab sosial. Manfaat dalam hal keamanan dan stabilitas sekarang dapat dibagi dengan mereka yang terpaksa meninggalkan rumah dan negara asal mereka untuk mencari keselamatan dan kelangsungan hidup. Sebagai anggota masyarakat sipil, marilah kita terus menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, tanggung jawab, persaudaraan dan kesetiakawanan. Dan sebagai umat Kristiani, marilah kita senantiasa menjadikan amal kasih, iman dan harapan sebagai dasar hidup dan perbuatan kita.

 

6.     Sangatlah menarik mengamati bahwa Rasul Paulus tidak berkeinginan untuk mewajibkan orang Kristiani untuk melakukan karya amal kasih : "Aku mengatakan hal itu bukan sebagai perintah" (2 Kor 8:8). Sebaliknya, Paulus sedang “menguji keikhlasan kasih [mereka]” dengan kesungguhan perhatian [mereka] terhadap orang miskin (2 Kor 8:8). Tentu saja, permintaan Paulus tersebut didorong oleh kebutuhan akan bantuan nyata; meskipun demikian, keinginannya jauh lebih dalam. Ia meminta jemaat Korintus untuk mengumpulkan kolekte agar bisa menjadi tanda kasih, kasih yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri. Singkatnya, kemurahan hati terhadap orang miskin memiliki motivasi yang paling kuat dalam teladan Sang Putra Allah, yang memilih untuk menjadi miskin.

 

Rasul Paulus menjelaskan bahwa teladan Kristus ini, “perampasan” ini, memang merupakan suatu kasih karunia : “kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus” (2 Kor 8:9). Hanya dengan menerimanya kita dapat memberikan ungkapan nyata dan konsisten terhadap iman kita. Ajaran seluruh Perjanjian Baru seia sekata dalam hal ini. Ajaran Paulus menggemakan kata-kata rasul Yakobus, ”Hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (Yak 1:22-25).

 

7.     Dalam perkara orang miskin, bukanlah pembicaraan yang penting; yang penting adalah menyingsingkan lengan baju dan mengamalkan iman kita melalui keterlibatan langsung, yang tidak dapat didelegasikan. Namun, kadang-kadang, semacam kelonggaran dapat menyusup dan menyebabkan perilaku yang tidak konsisten, termasuk ketidakpedulian terhadap orang miskin. Juga terjadi bahwa beberapa orang Kristiani, karena keterikatan yang berlebihan pada uang, tetap terperosok dalam penggunaan yang buruk atas harta kekayaan mereka. Situasi-situasi ini mengungkapkan iman yang lemah serta harapan yang suram dan rabun.

 

Kita tahu bahwa masalahnya bukanlah uang itu sendiri, karena uang adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari sebagai perorangan dan hubungan kita dalam masyarakat. Sebaliknya, apa yang perlu kita pertimbangkan adalah nilai yang kita pakai untuk uang : uang tidak bisa menjadi tujuan mutlak dan utama kita dalam kehidupan. Keterikatan pada uang menghalangi kita melihat kehidupan sehari-hari dengan realisme; Keterikatan pada uang mengaburkan pandangan kita dan membutakan kita terhadap kebutuhan orang lain. Tidak ada yang lebih buruk yang bisa terjadi pada seorang dan jemaat Kristiani daripada terpesona oleh berhala kekayaan, yang akhirnya merantai kita pada visi hidup yang fana dan pailit.

 

Maka, persoalannya bukan mendekati orang miskin dengan "mentalitas kesejahteraan", seperti yang sering terjadi, tetapi memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang kekurangan apa yang diperlukan. Bukan aktivisme yang menyelamatkan, tetapi kepedulian yang tulus dan murah hati yang membuat kita mendekati orang miskin sebagai saudara atau saudari yang mengulurkan tangan untuk membantuku mengenyahkan kelesuan yang kualami. Akibatnya, “tak seorang pun seharusnya mengatakan bahwa mereka menjauhkan diri dari orang-orang miskin karena pilihan hidup mereka menuntut perhatian lebih banyak kepada tugas-tugas lainnya. Hal ini adalah alasan yang biasa terdengar di kalangan akademis, bisnis atau profesional, dan bahkan di kalangan Gereja …. Tak seorang pun dari kita boleh berpikir bahwa kita dibebaskan dari kepedulian terhadap kaum miskin dan terhadap keadilan sosial” (Evangelii Gaudium, 201). Ada kebutuhan mendesak untuk menemukan solusi baru yang dapat melampaui gagasan kebijakan sosial yang dipahami sebagai “kebijakan terhadap orang miskin, tetapi tidak pernah bersama orang miskin, tidak pernah milik dari orang miskin; apalagi tidak disertakan dalam sebuah proyek yang menyatukan kembali bangsa-bangsa” (Fratelli Tutti, 169). Sebaliknya, kita perlu meniru sikap Rasul Paulus, yang sudi menulis kepada jemaat di Korintus : “Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan” (2 Kor 8: 13).

 

8.     Ada paradoks yang hari ini, seperti di masa lalu, sulit kita terima, karena bertentangan dengan cara berpikir manusiawi kita : bahwa ada bentuk kemiskinan yang bisa membuat kita kaya. Dengan mengacu pada “kasih karunia” Yesus Kristus, Paulus ingin menegaskan pesan yang ia sendiri beritakan. Pesannya, kekayaan sejati tidak berupa mengumpulkan “harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya” (Mat 6:19), melainkan dalam kasih timbal balik yang menuntun kita untuk saling menanggung sedemikian rupa sehingga tidak ada seorang pun yang terlantar atau tidak disertakan. Rasa kelemahan dan keterbatasan yang kita alami dalam beberapa tahun terakhir ini, dan sekarang tragedi perang yang berdampak globalnya, harus mengajari kita satu hal penting : kita di dunia ini tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi hidup bermartabat dan bahagia. Pesan Yesus menunjukkan jalan kepada kita dan membuat kita menyadari bahwa ada kemiskinan yang mempermalukan dan membunuh, dan kemiskinan lain, kemiskinan Kristus, yang membebaskan kita dan membawa kedamaian bagi kita.

 

Kemiskinan yang membunuh adalah kemelaratan, putri ketidakadilan, eksploitasi, kekerasan dan penyaluran sumber daya yang tidak adil. Suatu kemiskinan tanpa harapan dan keras kepala, yang dipaksakan oleh budaya membuang yang tidak menawarkan prospek masa depan maupun jalan keluar. Suatu kemelaratan yang tidak hanya membuat orang jatuh ke dalam kemiskinan materi yang ekstrim, tetapi juga merusak dimensi spiritual, yang, meskipun sering terabaikan, tetap ada dan masih penting. Ketika satu-satunya hukum adalah garis bawah keuntungan pada akhir hari, tidak ada yang menahan kita untuk melihat orang lain hanya sebagai obyek untuk dieksploitasi; orang lain hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Tidak ada lagi hal-hal seperti gaji yang adil atau jam kerja yang adil, serta bentuk-bentuk perbudakan baru muncul dan menjebak orang-orang yang tidak memiliki alternatif untuk dipaksa menerima ketidakadilan beracun ini hanya untuk mencari nafkah.

 

Di sisi lain, kemiskinan yang membebaskan kita adalah salah satu yang dihasilkan dari keputusan yang bertanggung jawab untuk membuang seluruh beban mati dan berkonsentrasi pada apa yang penting. Kita dapat dengan mudah melihat kurangnya kepuasan yang dirasakan banyak orang karena mereka merasa ada sesuatu yang penting hilang dari hidup mereka, sehingga mereka mengembara tanpa tujuan untuk mencarinya. Dalam keinginan mereka untuk menemukan sesuatu yang dapat memuaskan mereka, mereka membutuhkan seseorang untuk membimbing mereka menuju yang tidak penting, yang rentan dan miskin, sehingga pada akhirnya mereka dapat melihat kekurangan mereka. Menghadapi orang miskin memungkinkan kita untuk mengakhiri banyak kecemasan dan ketakutan kosong kita, dan untuk sampai pada apa yang benar-benar penting dalam hidup, harta yang tidak dapat dicuri oleh siapa pun dari diri kita : kasih sejati dan tanpa pamrih. Orang miskin, sebelum menjadi sasaran amal kasih kita, adalah orang-orang yang dapat membantu membebaskan kita dari jerat kecemasan dan kedangkalan.

 

Seorang Bapa dan Pujangga Gereja, Santo Yohanes Krisostomus, yang tulisannya dipenuhi dengan kritik tajam terhadap perilaku orang Kristiani terhadap orang miskin, pernah menulis, “Jika kamu tidak dapat percaya bahwa kemiskinan dapat membuatmu kaya, pikirkanlah Tuhanmu dan hentikan keraguanmu. Seandainya Ia tidak miskin, kamu tidak akan kaya. Inilah yang mencengangkan : kemiskinan telah menjadi sumber kekayaan yang melimpah. Apa yang dimaksudkan Paulus dengan "kekayaan" [bdk. 2 Kor 8:9] adalah pengetahuan tentang ketakwaan, pemurnian dari dosa, keadilan, pengudusan dan seribu kebaikan lainnya yang telah diberikan kepada kita sekarang dan selama-lamanya. Semuanya itu kita peroleh berkat kemiskinan” (Homili tentang II Korintus, 17, 1).

 

9.     Kata-kata Rasul Paulus yang dipilih sebagai tema Hari Orang Miskin Sedunia tahun ini menghadirkan paradoks besar kehidupan iman kita : kemiskinan Kristus membuat kita kaya. Paulus dapat menyampaikan ajaran ini, yang telah disebarkan dan dipersaksikan oleh Gereja selama berabad-abad, karena Allah sendiri, dalam Putra-Nya Yesus, memilih untuk mengikuti jalan ini. Karena Kristus menjadi miskin demi kita, hidup kita sendiri diterangi dan diubah rupa, dan membawa nilai yang tidak dihargai dan tidak dapat diberikan oleh dunia. Harta Yesus adalah kasih-Nya, yang tidak mengecualikan siapa pun dan mencari semua orang, terutama mereka yang terpinggirkan dan mereka yang kekurangan kebutuhan hidup. Karena kasih, Ia menanggalkan kemuliaan diri-Nya dan mengambil keadaan manusiawi kita. Karena cinta, ia menjadi seorang hamba, taat sampai menerima kematian, kematian di kayu salib (bdk. Flp 2:6-8). Karena kasih, ia menjadi “roti hidup” (Yoh 6:35), sehingga semua orang dapat memperoleh apa yang mereka butuhkan dan menemukan santapan untuk hidup yang kekal. Sama sulitnya seperti murid-murid Tuhan untuk menerima ajaran ini (bdk. Yoh 6:60), demikian juga kita hari ini. Namun perkataan Yesus jelas : jika kita ingin hidup menang atas kematian, dan martabat ditebus dari ketidakadilan, kita perlu mengikuti jalan kemiskinan Kristus, berbagi hidup kita karena kasih, memecahkan roti keberadaan kita sehari-hari dengan saudara-saudari kita, mulai dari yang paling hina, mereka yang kekurangan kebutuhan hidup yang paling mendasar. Inilah cara untuk menciptakan kesetaraan, membebaskan orang miskin dari kesengsaraan mereka dan orang kaya dari kesombongan mereka, dan keduanya dari keputusasaan.

 

10.  Pada tanggal 15 Mei yang lalu, saya mengkanonisasi Saudara Charles de Foucauld, seorang manusia yang lahir kaya, yang menyerahkan segalanya untuk mengikuti Yesus, menjadi, seperti Dia, saudara yang miskin bagi semua orang. Kehidupan Charles sebagai seorang pertapa, pertama di Nazaret dan kemudian di gurun Sahara, adalah kehidupan keheningan, doa dan berbagi, sebuah kesaksian keteladanan tentang kemiskinan Kristiani. Sebaiknya kita merenungkan kata-katanya ini : “Janganlah kita memandang rendah orang-orang miskin, orang=orang kecil, para pekerja; mereka tidak hanya saudara-saudari kita di dalam Allah, mereka juga orang-orang yang paling sempurna meneladani Yesus dalam kehidupan lahiriah-Nya. Mereka dengan sempurna mewakili Yesus, Sang Pekerja Nazaret. Mereka adalah yang sulung di antara orang-orang pilihan, yang pertama dipanggil ke palungan sang Juruselamat. Mereka adalah sahabat tetap Yesus, dari kelahiran-Nya sampai wafat-Nya… Marilah kita hormati mereka; marilah kita hormati di dalam diri mereka rupa Yesus dan kedua orangtua-Nya yang kudus… Marilah kita mengambil bagi diri kita [kondisi] yang Ia ambil bagi diri-Nya… Marilah kita tidak pernah berhenti menjadi miskin dalam segala hal, saudara-saudari bagi orang miskin, sahabat-sahabat bagi orang miskin; semoga kita menjadi yang termiskin dari yang miskin seperti Yesus, dan seperti Dia mengasihi orang miskin dan mengelilingi diri kita dengan mereka” (Ulasan Injil Lukas, Meditasi 263).[1] Bagi Saudara Charles, itu semua bukan sekadar kata-kata, tetapi cara hidup nyata yang menuntunnya untuk berbagi dengan Yesus persembahan hidupnya.

 

Semoga Hari Orang Miskin Sedunia 2022 ini menjadi momen kasih karunia bagi kita. Semoga Hari Orang Miskin Sedunia 2022 ini memampukan kita untuk melakukan pemeriksaan hati nurani secara pribadi dan komunal serta bertanya pada diri kita sendiri apakah kemiskinan Yesus Kristus adalah sahabat setia kita dalam kehidupan.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 13 Juni 2022 Peringatan Wajib Santo Antonius dari Padua

 

FRANSISKUS



(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi)


[1]Meditasi No. 263 tentang Luk 2:8-20: C. DE FOUCAULD, La Bonté de Dieu. Meditasi tentang Injil Suci (1), New City, Montrouge 1996, 214-216.