Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA RATU SURGA 29 Mei 2022 : MEMBERITAKAN KARUNIA ROH DAN MEMBERKATI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini di Italia dan di banyak negara Hari Raya Kenaikan Tuhan, yaitu kepulangan Yesus kepada Bapa, dirayakan. Dalam Liturgi, Bacaan Injil menurut Lukas menceritakan penampakan terakhir Kristus yang bangkit kepada para murid-Nya (bdk. 24:46-53). Kehidupan duniawi Yesus memuncak tepat pada saat Kenaikan-Nya, yang juga kita akui Syahadat : "Yang naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa". Apa maksud dari peristiwa ini? Bagaimana seharusnya kita menafsirkannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita berfokus pada dua tindakan yang dilakukan Yesus sebelum Ia naik ke surga : pertama, Ia memberitakan karunia Roh – Ia memberitakan karunia Roh – dan kemudian Ia memberkati para murid. Ia memberitakan karunia Roh, dan Ia memberkati.

 

Pertama-tama, Yesus berkata kepada para sahabat-Nya : "Aku akan mengirim kepadamu apa yang dijanjikan Bapa-Ku" (ayat 49). Ia berbicara tentang Roh Kudus, Sang Penghibur, yang akan menyertai mereka, membimbing mereka, mendukung perutusan mereka, membela mereka dalam peperangan rohani. Jadi, kita memahami sesuatu yang penting : Yesus tidak meninggalkan para murid-Nya. Ia naik ke surga, tetapi Ia tidak meninggalkan mereka sendirian. Sebaliknya, justru dengan naik menuju Bapa, Ia memastikan pencurahan Roh Kudus, Roh-Nya. Pada kesempatan lain Ia berkata, “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu” (Yoh 16:7). Dalam hal ini juga, kita melihat kasih Yesus kepada kita : kehadiran-Nya yang tidak ingin membatasi kebebasan kita. Sebaliknya, Ia meninggalkan ruang bagi kita, karena kasih sejati selalu menghasilkan kedekatan yang tidak menindas, tidak posesif, dekat tetapi tidak posesif; sebaliknya, kasih sejati yang menjadikan kita sosok utama. Dan dengan cara ini, Kristus meyakinkan, “Aku akan pergi kepada Bapa, dan kamu akan diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi : Aku akan mengirimkan kepadamu Roh-Ku dan dengan kekuatan-Nya, kamu akan melanjutkan pekerjaan-Ku di dunia!” (bdk. Luk 24:49). Dengan demikian, naik ke surga, bukannya tinggal di samping beberapa orang dengan tubuh-Nya, Yesus menjadi dekat dengan semua orang bersama Roh Kudus. Roh Kudus membuat Yesus hadir di dalam diri kita, mengatasi ruang dan waktu, untuk menjadikan kita para saksi-Nya di dunia.

 

Segera setelah itu – tindakan kedua – Kristus mengangkat tangan-Nya dan memberkati para rasul (bdk. ayat 50). Sebuah sikap imami. Allah, sejak zaman Harun, telah mempercayakan kepada para imam tugas memberkati umat (bdk. Bil 6:36). Bacaan Injil ingin memberitahu kita bahwa Yesus adalah imam besar dalam hidup kita. Yesus naik kepada Bapa untuk menjadi perantara kita, mempersembahkan kemanusiaan kita kepada-Nya. Jadi, di hadapan mata Bapa, dengan kemanusiaan Yesus, ada dan akan selalu ada hidup kita, harapan kita, luka-luka kita. Jadi, saat Ia melakukan "keluaran" ke surga, Kristus "membuka jalan" bagi kita, Ia pergi untuk menyediakan tempat bagi kita dan, mulai saat ini, Ia menjadi perantara kita, sehingga kita dapat selalu disertai dan diberkati oleh Bapa.

 

Saudara-saudari, hari ini marilah kita berpikir tentang karunia Roh yang telah kita terima dari Yesus untuk menjadi saksi Injil. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri apakah kita benar-benar apa adanya; dan juga, apakah kita mampu mengasihi sesama, memperkenankan mereka bebas dan memberi ruang bagi mereka. Dan kemudian: apakah kita tahu bagaimana membuat diri kita menjadi perantara doa bagi sesama, yaitu, apakah kita tahu bagaimana mendoakan mereka dan memberkati hidup mereka? Atau apakah kita melayani sesama untuk kepentingan kita sendiri? Marilah kita mempelajari hal ini : doa perantaraan, perantara harapan dan penderitaan dunia, perantara perdamaian. Dan marilah kita memberkati dengan mata dan kata-kata kita, orang-orang yang kita temui setiap hari!

 

Sekarang marilah kita berdoa kepada Bunda Maria, yang terberkati di antara para wanita, yang dipenuhi dengan Roh Kudus, selalu berdoa dan menjadi perantara kita.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Kemarin, di Modena, Don Luigi Lenzini dibeatifikasi. Ia adalah seorang martir iman, dibunuh pada tahun 1945 karena menunjukkan nilai-nilai kristiani sebagai jalan hidup yang utama, dalam iklim kebencian dan pertikaian saat itu. Semoga imam ini, seorang gembala di hati Kristus dan pembawa pesan kebenaran dan keadilan, membantu kita dari Surga untuk bersaksi tentang Injil dengan kasih dan kejujuran. Marilah kita bertepuk tangan untuk sang beato baru!

 

Hari ini adalah Hari Komunikasi Sosial Sedunia, dengan tema Mendengarkan dengan telinga hati. Mengetahui cara mendengarkan, selain menjadi sikap amal pertama, juga merupakan unsur pertama yang tak terpisahkan dari dialog dan komunikasi yang baik : mengetahui cara mendengarkan, membiarkan orang lain mengatakan segalanya, tidak memotong pembicaraan, mengetahui cara mendengarkan dengan telinga dan dengan hati. Saya berharap agar setiap orang dapat bertumbuh untuk mampu mendengarkan dengan hati.

 

Hari ini adalah Hari Pertolongan Nasional Italia. Marilah kita ingat bahwa "pasien selalu lebih penting daripada penyakitnya", pasien selalu lebih penting daripada penyakitnya, dan "bahkan ketika penyembuhan tidak mungkin, perawatan selalu dapat diberikan. Selalu mungkin untuk menghibur, selalu mungkin untuk membuat orang merasakan kedekatan” (Pesan untuk Hari Orang Sakit Sedunia 2022).

 

Lusa, hari terakhir bulan Mei, pesta liturgi Santa Perawan Maria Mengunjungi Elisabet, pada pukul 18.00 di Basilika Santa Maria Maggiore kita akan berdoa Rosario untuk Perdamaian, terhubung dengan berbagai tempat suci di banyak negara. Saya mengundang umat beriman, keluarga dan komunitas untuk bergabung dalam seruan ini, untuk memperoleh dari Allah, melalui perantaraan Sang Ratu Damai, karunia yang dinantikan dunia.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah. Secara khusus, saya menyapa umat dari Belanda, Spanyol dan Australia. Saya menyapa Paroki Santo Robertus Bellarminus, yang mengakhiri tahun Yubileum selama 400 tahun sejak wafatnya Santo Robertus Bellarminus. Saya menyapa orang Polandia – selalu ada banyak para peziarah Polandia! – dengan berkat bagi mereka di tanah air mereka yang ikut serta dalam peziarahan agung ke Gua Maria Piekary ÅšlÄ…skie. Saya menyapa murid-murid sekolah San Vincenzo, Olbia dan para calon penerima sakramen krisma dari Luras.

 

Pada hari Senin 29 dan Selasa 30 Agustus akan diadakan pertemuan semua kardinal untuk merenungkan Praedicate Evangelium, konstitusi apostolik baru, dan pada hari Sabtu 27 Agustus, saya akan mengadakan Konsistori untuk pengangkatan kardinal baru. Berikut nama-nama kardinal baru:

 

1.       Uskup Agung Arthur Roche - Prefek Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen

2.     Uskup Agung Lazzaro You Heung sik – Prefek Kongregasi untuk Klerus

3.     Uskup Agung Fernando Vergez Alzaga, L.C. – Presiden Komisi Kepausan untuk Negara Kota Vatikan dan Presiden Kegubernuran untuk Negara Kota Vatikan

4.     Uskup Agung Jean-Marc Aveline - Uskup Keuskupan Agung Marseille (Prancis)

5.     Uskup Peter Okpaleke - Uskup Keuskupan Ekwulobia (Nigeria)

6.     Uskup Agung Leonardo Ulrich Steiner, OFM - Uskup Keuskupan Agung Manaus (Brasil)

7.     Uskup Agung Filipe Neri António Sebastião di Rosário Ferrão - Uskup Keuskupan Agung Goa dan Damão (India)

8.     Uskup Robert Walter McElroy – Uskup Keuskupan San Diego (Amerika Serikat)

9.     Uskup Agung Virgilio Do Carmo Da Silva, SDB – Uskup Keuskupan Agung Dili (Timor Leste)

10.  Uskup Oscar Cantoni - Uskup Keuskupan Como (Italia)

11.    Uskup Agung Anthony Poola - Uskup Keuskupan Agung Hyderabad (India).

12.  Uskup Agung Paulo Cezar Costa - Uskup Keuskupan Agung Brasília (Brasil)

13.  Uskup Richard Kuuia Baawobr, M. Afrika - Uskup Keuskupan Wa (Ghana)

14.  Uskup Agung William Goh Seng Chye - Uskup Keuskupan Agung Singapura (Singapura)

15.  Uskup Agung Adalberto Martínez Flores - Uskup Keuskupan Agung Asunción (Paraguay)

16.  Uskup Agung Giorgio Marengo, IMC – Prefek Apostolik Ulaanbaatar (Mongolia)

 

Bersamaan dengan para kardinal di atas, saya akan menambah anggota Dewan Kardinal :

17.  Uskup Agung Jorge Enrique Jiménez Carvajal - Uskup Emeritus Keuskupan Agung Cartagena (Kolombia)

18.  Uskup Agung Lucas Van Looy, SDB - Uskup Emeritus Keuskupan Agung Gent (Belgia)

19.  Uskup Agung Arrigo Miglio - Uskup Emeritus Keuskupan Agung Cagliari (Italia)

20.Pastor Gianfranco Ghirlanda, S.J. – Guru Besar Teologi

21.  Mgr. Fortunato Frezza – Kanon Basilika Santo Petrus

 

Kepadamu saya mengucapkan selamat hari Minggu! Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makananmu, dan sampai jumpa.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Mei 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 25 Mei 2022 : KATEKESE TENTANG USIA TUA (BAGIAN 10)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam permenungan kita tentang usia tua – kita terus merenungkan usia tua – hari ini kita berurusan dengan Kitab Qoheleth, atau Pengkhotbah, permata lain yang ada di dalam Kitab Suci. Pada bacaan pertama, kitab pendek ini mengejutkan dan membuat orang bingung dengan pengulangannya yang terkenal : "Segala sesuatu adalah sia-sia", segala sesuatu adalah sia-sia : pengulangan yang terus-menerus, segala sesuatu adalah sia-sia, segala sesuatu adalah "kabut", segala sesuatu adalah "asap", segala sesuatu adalah "kekosongan". Sungguh mengejutkan menemukan dalam Kitab Suci ungkapan-ungkapan yang mempertanyakan makna keberadaan di dalamnya. Pada kenyataannya, kebimbangan terus-menerus Qoheleth antara indrawi dan bukan indrawi adalah perwakilan yang ironis dari kesadaran hidup yang terlepas dari hasrat akan keadilan, di mana Penghakiman Allah penjaminnya. Dan akhir kata Kitab menunjukkan jalan keluar dari pencobaan : “Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang” (12:13). Ini adalah saran untuk menyelesaikan masalah ini.

 

Menghadapi kenyataan bahwa pada waktu-waktu tertentu kita tampaknya mengakomodasi setiap pertentangan, menghubungkan takdir serupa dengan pertentangan-pertentangan tersebut – yang berakhir dalam ketiadaan – jalan ketidakpedulian mungkin juga tampak bagi kita sebagai satu-satunya obat untuk kekecewaan yang menyakitkan. Pertanyaan seperti ini muncul dalam diri kita : Apakah usaha kita telah mengubah dunia? Adakah yang mampu mengesahkan perbedaan antara yang adil dan yang tidak adil? Sepertinya semua ini tidak ada gunanya… Mengapa harus berusaha keras?

 

Ada semacam gerak batin negatif yang dapat mewujudkan dirinya dalam setiap masa kehidupan, tetapi tidak ada keraguan bahwa usia tua membuat perjumpaan dengan kekecewaan ini hampir tak terelakkan. Kekecewaan datang di usia tua. Maka perlawanan usia tua terhadap dampak demoralisasi dari kekecewaan ini sangat menentukan : jika orang tua, yang telah melihat semuanya pada saat itu, tetap mempertahankan hasrat mereka untuk keadilan, maka ada harapan untuk cinta, dan juga untuk iman. Dan bagi dunia masa kini, perjalanan melalui krisis ini, krisis yang sehat, menjadi sangat penting. Mengapa? Karena budaya yang mengandaikan mengukur segala sesuatu dan memanipulasi segala sesuatu juga berakhir dengan menghasilkan demoralisasi kolektif makna, demoralisasi cinta, demoralisasi kebaikan.

 

Demoralisasi ini menghilangkan keinginan kita untuk bertindak. Sebuah "kebenaran" yang dianggap membatasi dirinya untuk mengamati dunia, juga mencatat ketidakpeduliannya terhadap hal-hal yang bertentangan dan menyerahkannya, tanpa penebusan, kepada aliran waktu dan nasib ketiadaan. Dalam bentuk ini – terselubung dalam perangkap ilmu pengetahuan, tetapi juga sangat tidak peka dan sangat tidak bermoral – pencarian kebenaran modern telah tergoda untuk meninggalkan hasratnya akan keadilan sama sekali. Tidak lagi mempercayai takdir, janji, penebusan.

 

Bagi budaya modern kita, yang dalam pelaksanaannya ingin menyerahkan segala sesuatunya pada pengetahuan yang tepat tentang berbagai hal, munculnya alasan sinis baru ini – yang menggabungkan pengetahuan dan tidak bertanggung jawab – adalah tolakan ke belakang yang keras. Memang, pada awalnya pengetahuan yang membebaskan kita dari moralitas tampaknya menjadi sumber kebebasan, sumber energi, tetapi segera berubah menjadi kelumpuhan jiwa.

 

Dengan ironinya, Qoheleth telah membuka kedok godaan mematikan dari kemahakuasaan pengetahuan ini – sebuah “igauan kemahatahuan” – yang menghasilkan ketidakmampuan kehendak. Para biarawan dari tradisi Kristiani paling kuno telah dengan tepat mengidentifikasi penyakit jiwa ini, yang tiba-tiba menemukan kesia-siaan pengetahuan tanpa iman dan tanpa moralitas, khayalan kebenaran tanpa keadilan. Mereka menyebutnya "acedia". Dan ini adalah godaan untuk semua orang, bahkan orang tua… Tetapi ini adalah [godaan] untuk semua orang. Bukan sekadar kemalasan; bukan, lebih dari itu. Bukan sekadar depresi. Bukan. Sebaliknya, acedia adalah penyerahan diri kepada pengetahuan tentang dunia tanpa hasrat untuk keadilan dan tindakan yang berakibat.

 

Kekosongan makna dan kurangnya kekuatan yang dibuka oleh pengetahuan ini, yang menolak tanggung jawab etis dan kasih sayang apa pun untuk kebaikan sejati, bukannya tidak berbahaya. Kekosongan tersebut tidak hanya menghilangkan kekuatan untuk keinginan terhadap kebaikan : dengan reaksi balik, kekosongan tersebut membuka pintu terhadap agresivitas kekuatan jahat. Inilah kekuatan akal yang menggila, dibuat sinis oleh ideologi yang berlebihan. Nyatanya, dengan segala kemajuan kita, dengan segala kemakmuran kita, kita benar-benar telah menjadi “masyarakat yang letih”. Pikirkanlah : kita adalah masyarakat yang letih. Kita seharusnya telah menghasilkan kesejahteraan yang luas dan kita mentolerir pasar yang secara ilmiah selektif berkaitan dengan kesehatan. Kita seharusnya telah menempatkan ambang perdamaian yang tidak dapat diatasi, dan kita melihat semakin banyak perang yang kejam melawan orang-orang yang tidak berdaya. Ilmu pengetahuan berkembang, tentu saja, dan itu bagus. Tetapi kebijaksanaan hidup adalah sesuatu yang lain sama sekali, dan tampaknya terhenti.

 

Akhirnya, alasan yang afektif dan tidak bertanggung jawab ini juga menyingkirkan makna dan energi dari pengetahuan tentang kebenaran. Bukan kebetulan bahwa zaman kita adalah zaman berita palsu, takhayul kolektif, dan kebenaran ilmiah semu. Sangat mengherankan : dalam budaya pengetahuan ini, mengetahui segalanya, bahkan ketepatan pengetahuan, banyak guna-guna telah menyebar, tetapi guna-guna berbudaya. Guna-guna dengan budaya tertentu tetapi yang membawamu kepada kehidupan takhayul : di satu sisi, berkembang dengan kecerdasan mengetahui hal-hal sampai ke akarnya; di sisi lain, jiwa yang membutuhkan sesuatu yang lain dan mengambil jalan takhayul, dan berakhir dalam guna-guna. Dari kebijaksanaan Qoheleth yang kecut, usia tua dapat belajar seni mengungkap penipuan yang tersembunyi dalam igauan kebenaran pikiran tanpa kasih sayang untuk keadilan. Orang tua yang kaya akan kebijaksanaan dan humor melakukan banyak hal baik untuk orang muda! Orang tua menyelamatkan orang muda dari godaan pengetahuan dunia yang suram dan tanpa kebijaksanaan hidup. Dan orang tua ini juga membawa orang muda kembali kepada janji Yesus : "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan" (Mat 5:6). Merekalah yang akan menaburkan rasa lapar dan haus akan keadilan bagi orang muda. Kuatkan hati, kita semua yang lebih tua! Kuatkan hati dan majulah! Kita memiliki perutusan yang sangat besar di dunia. Tetapi, tolong, kita tidak boleh mencari perlindungan dalam idealisme yang agak tidak nyata, tidak berwujud, tanpa akar ini – marilah kita bicara dengan jelas – dalam guna-guna kehidupan.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang berasal dari Nigeria, Lebanon, dan Amerika Serikat. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan atas kamu dan keluargamu belas kasihan Allah Bapa kita. Semoga Tuhan memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang makna dan nilai usia tua dalam terang sabda Allah, sekarang kita menelaah Kitab Pengkhotbah, dengan pengulangannya yang terkenal, “Kesia-siaan belaka, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (1:2). Dengan kesungguhan yang luar biasa, sang penulis yang sudah lanjut usia berbicara tentang alangkah mudahnya kecewa dengan kehidupan dan menyerah untuk memperjuangkan dunia kita menjadi tempat yang semakin baik. Godaan itu, tentu saja, bersifat abadi; bahkan dewasa ini, kemajuan ilmiah dan teknis yang luar biasa sering kali disertai dengan meningkatnya kekecewaan dan kepasrahan : kita mengkhawatirkan keadilan dan perdamaian adalah tujuan yang tidak dapat dicapai. Tradisi rohani kristiani berbicara tentang dosa “kemalasan”, kelesuan yang lahir dari hilangnya kegairahan akan panggilan kita untuk menentang kejahatan serta berjuang untuk bertumbuh dalam kekudusan dan setia terhadap sabda Allah dan janji-janji-Nya bagi dunia kita. Pengkhotbah menolak semua pengunduran diri semacam itu dan justru mendesak ketaatan terhadap perintah-perintah dan percaya pada rencana penyelamatan Allah. Semoga kebijaksanaan dan pengalamannya tercermin dalam diri seluruh orang lanjut usia yang terus meletakkan iman mereka pada sabda Allah serta kuasanya untuk memperbarui hidup kita dan mengubah dunia kita.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Mei 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA RATU SURGA 22 Mei 2022

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Dalam Bacaan Injil liturgi hari ini, mengucapkan selamat tinggal kepada murid-murid-Nya selama Perjamuan Terakhir, Yesus mengatakan hampir-hampir sebagai semacam wasiat : "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu". Dan Ia segera menambahkan, “Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu” (Yoh 14:27). Marilah kita merenungkan kalimat singkat ini.

 

Pertama-tama, damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Yesus mengucapkan selamat tinggal dengan kata-kata yang mengungkapkan kasih sayang dan ketenangan. Tetapi Ia melakukannya di saat yang sama sekali tidak tenang. Yudas telah pergi untuk mengkhianati-Nya, Petrus akan menyangkal-Nya, dan hampir semua orang meninggalkan-Nya. Tuhan mengetahui hal ini, namun, Ia tidak menegur, Ia tidak menggunakan kata-kata kasar, Ia tidak memberikan pidato yang kasar. Alih-alih menghasut, Ia tetap baik sampai akhir. Ada pepatah yang mengatakan kamu mati dengan cara hidupmu. Akibatnya, jam-jam terakhir kehidupan Yesus bagaikan inti dari seluruh hidup-Nya. Ia merasa takut dan pedih, tetapi tidak memberi jalan kepada kebencian atau bantahan. Ia tidak membiarkan diri-Nya menjadi getir, Ia tidak melampiaskan, Ia sabar. Ia berada dalam damai sejahtera, damai sejahtera yang datang dari hati-Nya yang lemah lembut yang terbiasa percaya. Inilah sumber damai sejahtera yang diberikan Yesus kepada kita. Karena tidak ada yang bisa meninggalkan damai sejahtera bagi sesama jika mereka tidak memilikinya di dalam diri mereka sendiri. Tidak ada seorang pun yang bisa memberikan damai sejahtera kecuali orang itu berada dalam damai sejahtera.

 

Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu : Yesus menunjukkan bahwa kelembutan hati itu mungkin. Ia menjelmakannya secara khusus di saat yang paling sulit, dan Ia ingin kita berperilaku seperti itu juga, karena kita juga adalah pewaris damai sejahtera-Nya. Ia ingin kita menjadi lemah lembut, terbuka, bersedia mendengarkan, mampu meredakan ketegangan dan menjalin kerukunan. Ini adalah kesaksian tentang Yesus dan bernilai lebih dari seribu kata dan banyak khotbah. Kesaksian damai sejahtera. Sebagai murid Yesus, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri apakah kita berperilaku seperti ini di tempat kita tinggal – apakah kita meredakan ketegangan, dan meredakan pertikaian? Apakah kita terlalu bertentangan dengan seseorang, selalu siap untuk bereaksi, meledak-ledak, atau apakah kita tahu bagaimana menanggapi tanpa kekerasan, apakah kita tahu bagaimana menanggapi dengan perbuatan damai sejahtera? Bagaimana aku bereaksi? Semua orang bisa menanyakan hal ini kepada diri mereka sendiri.

 

Tentu saja, kelembutan ini tidak mudah. Betapa sulitnya, di setiap tingkatan, untuk meredakan pertikaian! Kalimat kedua Yesus membantu kita di sini : damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu. Yesus tahu bahwa kita sendiri tidak dapat membina damai sejahtera, kita membutuhkan pertolongan, kita membutuhkan karunia. Damai sejahtera, yang merupakan kewajiban kita, pertama-tama adalah karunia Allah. Bahkan, Yesus berkata, ”Damai sejahtera-Ku kuberikan kepadamu. Bukan seperti yang diberikan dunia, yang Kuberikan kepadamu” (ayat 27). Apakah damai sejahtera yang tidak dikenal dunia dan diberikan Tuhan kepada kita ini? Damai sejahtera ini adalah Roh Kudus, Roh Yesus sendiri. Roh Kudus adalah kehadiran Allah di dalam diri kita, Roh Kudus adalah "kekuatan damai sejahtera" Allah. Dialah, Roh Kudus, yang melucuti hati dan memenuhinya dengan ketenangan. Dialah, Roh Kudus, yang mengendurkan kekakuan dan memadamkan godaan untuk menyerang sesama. Dialah, Roh Kudus, yang mengingatkan kita bahwa ada saudara dan saudari di samping kita, bukan rintangan atau musuh. Dialah, Roh Kudus, yang memberi kita kekuatan untuk mengampuni, untuk memulai kembali, untuk memulai yang baru karena kita tidak dapat melakukan hal ini dengan kekuatan kita sendiri. Dan bersama-Nya, bersama Roh Kudus, kita menjadi pria dan wanita damai sejahtera.

 

Saudara-saudari terkasih, seharusnya tidak ada dosa, tidak ada kegagalan, tidak ada dendam yang mematahkan semangat kita untuk terus-menerus memohon karunia Roh Kudus yang memberi kita damai sejahtera ini. Semakin hati kita merasa gelisah, semakin kita merasa gugup, tidak sabar, marah, semakin kita perlu memohon Roh damai sejahtera dari Tuhan. Marilah kita belajar untuk mengatakan setiap hari : “Tuhan, berilah aku damai sejahtera-Mu, berilah aku Roh Kudus-Mu”. Ini adalah doa yang indah. Haruskah kita mengucapkannya bersama-sama? “Tuhan, berilah aku damai sejahtera-Mu, berilah aku Roh Kudus-Mu”. Saya tidak mendengarnya dengan baik. Sekali lagi: “Tuhan, berilah aku damai sejahtera-Mu, berilah aku Roh Kudus-Mu”. Dan marilah kita juga memohon hal ini untuk orang-orang yang tinggal di samping kita, untuk orang-orang yang kita temui setiap hari, dan untuk para pemimpin bangsa.

 

Semoga Bunda Maria membantu kita menyambut Roh Kudus sehingga kita bisa menjadi pembawa damai sejahtera.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sore ini di Lyon, Pauline Marie Jericot, Pendiri Serikat Penyebaran Iman untuk mendukung misi, akan dibeatifikasi. Wanita awam yang setia ini hidup selama paruh pertama tahun 1800-an. Ia adalah seorang wanita pemberani, memperhatikan perubahan yang terjadi pada saat itu, dan memiliki visi universal mengenai misi Gereja. Semoga keteladanannya mengobarkan dalam diri setiap orang keinginan untuk ikut serta melalui doa dan amal dalam penyebaran Injil ke seluruh dunia. Tepuk tangan meriah untuk sang Beato baru!

 

Hari ini, Pekan Laudato Si’ dimulai, untuk semakin mendengarkan jeritan bumi yang mendesak kita untuk bertindak bersama dalam menjaga rumah kita bersama. Saya berterima kasih kepada Dikasteri untuk Mempromosikan Pembangunan Manusia Seutuhnya, dan banyak organisasi yang ambil bagian di dalamnya, dan saya mengundang semua orang untuk ikut serta.

 

Selasa mendatang ini adalah Peringatan Santa Perawan Maria Pertolongan Orang Kristen, khususnya umat Katolik di Tiongkok yang memuliakan Maria, Pertolongan Orang Kristen sebagai Pelindung mereka di Tempat Suci Sheshan di Shanghai, di banyak gereja di seluruh negeri, dan di rumah-rumah. Kesempatan yang membahagia ini memberi saya kesempatan untuk meyakinkan mereka sekali lagi tentang kedekatan rohani saya. Dengan penuh perhatian dan aktif saya mengikuti kehidupan dan situasi yang seringkali rumit dari umat dan gembala, dan saya mendoakan mereka setiap hari. Saya mengundang kamu semua untuk mempersatukan dirimu dalam doa ini agar Gereja di Tiongkok, dalam kebebasan dan ketenangan, dapat hidup dalam persekutuan yang efektif dengan Gereja semesta, dan dapat menjalankan misinya mewartakan Injil kepada semua orang, dan dengan demikian memberikan kontribusi positif bagi kemajuan rohani dan materi masyarakat juga.

 

Dan saya menyapa kamu semua, para peziarah dari Roma, dan Italia, dan banyak negara lainnya. Secara khusus, saya menyapa umat dari Spanyol, Portugal, Prancis, Belgia, Polandia dan Puerto Riko; para imam dari Ekuador; komunitas Emaus dari Foggia; para sukarelawan Soccorso di Saint-Pierre (Aosta); para siswa dari Verona serta anak laki-laki dan perempuan dari Sombreno, Keuskupan Bergamo.

 

Saya menyapa kamu semua, mereka di sini, yang ikut serta dalam acara nasional Scegliamo la vita [Ayo Pilih Kehidupan]. Saya berterima kasih atas dedikasimu dalam mengembangkan kehidupan dan membela keberatan hati nurani, yang sering kali berusaha untuk membatasi. Sayangnya, dalam tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perubahan dalam mentalitas umum, dan hari ini kita semakin digiring untuk berpikir bahwa hidup adalah kebaikan yang kita miliki sepenuhnya, bahwa kita dapat memilih untuk memanipulasi, melahirkan atau mengambil kehidupan sesuka kita, seolah-olah konsekuensi eksklusif dari pilihan individu. Marilah kita ingat bahwa kehidupan adalah karunia Allah! Kehidupan selalu kudus dan tidak dapat diganggu gugat, dan kita tidak dapat membungkam suara hati nurani.

 

Selamat hari Minggu semuanya! Tolong jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Mei 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 18 Mei 2022 : KATEKESE TENTANG USIA TUA (BAGIAN 9)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Perikop Kitab Suci yang baru saja kita dengar mengakhiri Kitab Ayub, sebuah karya sastra klasik yang mendunia. Dalam rangkaian katekese kita, kita bertemu Ayub ketika ia sudah tua. Kita menjumpainya sebagai saksi iman yang tidak menerima "karikatur" Allah, tetapi menghadapi kejahatan dengan memprotes keras sampai Allah menanggapi dan mengungkapkan wajah-Nya. Dan pada akhirnya, Allah menanggapi, seperti biasa, dengan cara yang mengejutkan - Ia menunjukkan kemuliaan-Nya kepada Ayub tanpa menghancurkannya, atau lebih baik lagi, dengan kelembutan yang berdaulat, dengan lembut, sebagaimana senantiasa diperbuat Allah. Halaman-halaman buku ini perlu dibaca dengan baik, tanpa prasangka, tanpa stereotip, untuk memahami kekuatan jeritan Ayub. Alangkah baiknya kita menempatkan diri kita di sekolahnya untuk mengatasi godaan moralisme akibat pedih dan getirnya penderitaan kehilangan segalanya.

 

Dalam perikop penutup kitab ini – kita ingat ceritanya, bukan? Ayub kehilangan segalanya dalam hidupnya, ia kehilangan kekayaannya, ia kehilangan keluarganya, ia kehilangan putranya dan ia bahkan kehilangan kesehatannya, dan di sanalah ketika ia merasa terusik dalam dialog dengan ketiga sahabatnya, sahabatnya yang keempat, datang untuk menyapanya : inilah ceritanya – dan hari ini dalam perikop ini, perikop penutup kitab ini, ketika Allah akhirnya melantai (dan dialog antara Ayub dan sahabat-sahabatnya ini bagaikan jalan menuju saat di mana Allah mengucapkan sabda-Nya), Ayub dipuji karena ia memahami misteri kelembutan Allah yang tersembunyi di balik kesunyian-Nya. Allah menegur sahabat-sahabat Ayub yang menganggap mereka tahu segalanya, mengetahui tentang Allah dan penderitaan, dan, setelah datang untuk menghibur Ayub, akhirnya menghakiminya dengan paradigma mereka yang telah terbentuk sebelumnya. Allah lindungilah kami dari religiusitas munafik dan lancang ini! Tuhan melindungi kita dari keagamaan moralistik serta keagamaan ajaran yang memberi kita anggapan tertentu dan membawamu kepada kefarisian dan kemunafikan ini.

 

Beginilah cara Tuhan mengungkapkan diri-Nya dalam persoalan mereka. Beginilah sabda Tuhan : “Murka-Ku menyala terhadap engkau […] karena kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub”, inilah apa yang dikatakan Tuhan kepada sahabat-sahabat Ayub. “Hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, karena hanya permintaannyalah yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub” (42:7-8). Pernyataan Allah mengejutkan kita karena kita telah membaca halaman-halaman yang berapi-api dengan protes Ayub yang membuat kita kecewa. Namun, Tuhan mengatakan Ayub berbicara dengan baik, bahkan ketika ia marah, dan bahkan marah kepada Allah, bahkan ia berbicara dengan baik karena ia menolak untuk menerima bahwa Allah adalah "Penganiaya". Allah adalah sesuatu yang lain. Dan apa itu? Ayub mencari hal itu. Dan sebagai ganjarannya, Allah memulihkan keadaan Ayub dengan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu, setelah memintanya untuk mendoakan sahabat-sahabatnya yang jahat itu.

 

Titik balik percakapan iman tersebut datang tepat pada puncak pelampiasan Ayub, di mana ia berkata, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain” (19:25-27). Bagian ini benar-benar indah. Bagian ini membuat saya berpikir tentang akhir dari oratorio brilian Handel, Sang Mesias, setelah perayaan Hallelujah, penyanyi sopran tersebut perlahan menyanyikan bagian ini : "Aku tahu Penebusku hidup", dengan damai. Jadi, setelah pengalaman Ayub yang menyakitkan dan menyenangkan ini, suara Tuhan adalah sesuatu yang lain. “Aku tahu Penebusku hidup” – benar-benar hal yang indah. Kita bisa memaknainya seperti ini : “Ya Allah, aku tahu Engkau bukan Penganiaya. Allahku akan datang dan melakukan keadilan kepadaku”. Iman sederhana dalam kebangkitan Allah, iman sederhana dalam Yesus Kristus, iman yang sederhana bahwa Tuhan senantiasa sedang menunggu kita dan akan datang.

 

Perumpamaan Kitab Ayub secara dramatis menggambarkan dengan cara yang patut diteladani apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup – pencobaan yang sangat berat yang menimpa seseorang, sebuah keluarga, sebuah bangsa, pencobaan tidak proporsional dibandingkan dengan kerendahan dan kelemahan manusiawi. Sering terjadi dalam hidup bahwa "ketika hujan turun", seperti kata pepatah. Dan beberapa orang dikuasai oleh akumulasi kejahatan yang benar-benar tampak berlebihan dan tidak adil. Hal seperti inilah terjadi pada banyak orang.

 

Kita semua tahu orang-orang seperti ini. Kita terkesan dengan jeritan mereka, tetapi kita juga mengagumi keteguhan iman dan cinta mereka dalam keheningan mereka. Saya memikirkan orangtua yang memiliki anak-anak dengan cacat serius, apakah kamu memikirkan orangtua yang memiliki anak-anak dengan cacat serius? Sepanjang hidup mereka… Saya juga memikirkan mereka yang hidup dengan penyakit permanen, atau mereka yang membantu anggota keluarga mereka…. Situasi ini sering diperparah oleh kelangkaan sumber daya ekonomi. Pada titik-titik tertentu dalam sejarah, akumulasi beban memberi kesan bahwa mereka diberi janji temu kelompok. Inilah yang terjadi di tahun-tahun ini dengan pandemi Covid-19, dan sekarang terjadi dengan perang di Ukraina.

 

Dapatkah kita membenarkan "kelebihan beban" ini hingga kecerdasan alam dan sejarah yang semakin tinggi? Dapatkah kita secara keagamaan memberkati mereka sebagai tanggapan yang dibenarkan atas dosa-dosa para korban, seolah-olah mereka layak menerimanya? Tidak, kita tidak dapat. Ada jenis hak yang harus diprotes para korban vis-à-vis misteri kejahatan, hak yang dianugerahkan Allah kepada semua orang, yang memang, bagaimanapun juga diilhami-Nya sendiri. Kadang-kadang saya bertemu orang-orang yang mendekati saya dan berkata, “Tetapi, Bapa, saya memprotes Allah karena saya memiliki masalah ini dan itu ….” Tetapi tahukah sahabat, melakukan protes adalah cara berdoa bila dilakukan seperti itu. Ketika anak-anak, ketika orang muda keberatan terhadap orangtua mereka, melakukan protes adalah cara untuk menarik perhatian dan meminta orangtua untuk peduli terhadap mereka. Jika kamu memiliki luka di hatimu, rasa sakit, dan kamu ingin berkeberatan, berkeberatan bahkan kepada Allah, Allah akan mendengarkanmu. Allah adalah Bapa. Allah tidak takut dengan doa protes kita, tidak! Allah mengerti. Tetapi bebaslah, bebaslah dalam doamu. Jangan memenjarakan doamu dalam paradigma yang sudah terbentuk sebelumnya! Jangan! Doa harus seperti ini : spontan, seperti seorang anak dengan ayahnya, yang mengatakan segala sesuatu yang keluar dari mulutnya karena ia tahu ayahnya memahaminya. Pada saat pertama drama, “keheningan” Allah menandakan hal ini. Allah tidak menghindar dari konfrontasi, tetapi, sejak awal, membiarkan Ayub melampiaskan protesnya, dan Allah mendengarkan. Kadang-kadang, mungkin kita perlu belajar rasa hormat dan kelembutan ini dari Allah. Dan Allah tidak menyukai ensiklopedia itu – sebut saja ini – penjelasan, renungan yang dilakukan sahabat-sahabat Ayub. Ini adalah hal-hal tidak benar yang keluar dari ujung lidah mereka – jenis keagamaan yang menjelaskan segalanya, tetapi hati tetap dingin. Allah tidak berkenan terhadap hal ini. Ia lebih berkenan terhadap protes Ayub dan lebih banyak hening.

 

Pengakuan iman Ayub – yang muncul justru dari jeritannya yang tiada henti kepada Allah, kepada keadilan tertinggi – diakhiri pada akhirnya dengan pengalaman yang hampir mistis yang membuatnya berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (42:5). Berapa banyak orang, berapa banyak dari kita setelah pengalaman yang agak buruk, agak gelap, mengambil langkah dan mengenal Allah dengan lebih baik dari sebelumnya! Dan kita dapat mengatakan seperti Ayub : “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”. Kesaksian ini khususnya dapat dipercaya jika dipetik pada masa tua, dalam kelemahan dan kehilangan yang berkembang. Orang-orang yang sudah tua telah menyaksikan begitu banyak pengalaman ini dalam hidup! Dan mereka juga telah melihat ketidakkonsistenan janji-janji manusiawi. Pengacara, ilmuwan, bahkan pemeluk agama, yang merancukan penganiaya dengan korban, menyindir bahwa mereka bertanggung jawab penuh atas penderitaan mereka sendiri. Mereka keliru!

 

Para orang tua yang menemukan jalan kesaksian ini, yang mengubah dendam karena kehilangan menjadi kegigihan untuk menunggu janji Allah – ada perubahan dari dendam karena kehilangan menuju kegigihan mencari janji Allah – para orang tua ini adalah garnisun yang tak tergantikan bagi masyarakat berkenaan dampak kejahatan. Orang percaya yang pandangannya terarah kepada Salib belajar akan hal itu. Semoga kita juga mempelajari hal ini, dari banyak kakek-nenek, yang seperti Maria, mempersatukan doa-doa mereka yang terkadang memilukan, dengan doa Sang Putera Allah yang menyerahkan diri-Nya kepada Bapa di kayu salib. Marilah kita memandang orang tua, marilah kita memperhatikan pria dan wanita tua, orang tua. Marilah kita menjaga mereka dengan kasih. Marilah kita memandang pengalaman pribadi mereka. Mereka telah begitu banyak menderita dalam hidup, mereka telah belajar begitu banyak dalam hidup, mereka telah melalui begitu banyak, tetapi pada akhirnya mereka memiliki kedamaian ini, kedamaian, menurut saya, yang hampir mistis, yaitu kedamaian berjumpa Allah sampai-sampai mereka bisa berkata, "Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau". Para orang tua ini menyerupai kedamaian Sang Putra Allah yang di kayu salib diserahkan kepada Bapa.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang berasal dari Inggris, Denmark, Israel dan Timur Tengah, Kanada dan Amerika Serikat. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan atasmu dan keluargamu belas kasihan Allah Bapa kita. Semoga Tuhan memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang makna dan nilai usia tua dalam terang sabda Allah, sekarang kita beralih ke sosok Ayub yang luar biasa dalam Kitab Suci. Iman Ayub yang gigih di tengah penderitaan yang mendalam membuatnya memahami bahwa Allah, yang sering tampak diam di hadapan kejahatan, namun secara misterius hadir dengan belas kasihan dan kasih penebusan-Nya. Dalam penderitaannya, Ayub menolak penjelasan halus tentang kejahatan yang ditawarkan oleh sahabat-sahabatnya dan mencurahkan semua rasa sakit dan protesnya yang kejam di hadapan Allah. Pada saat yang sama, ia mengungkapkan kepercayaannya pada keadilan Allah, yang akan terungkap pada waktunya. Kita semua tahu situasi di mana orang baik menanggung penderitaan yang tampak tidak adil dan tak tertahankan, namun, seperti Ayub, terus menaruh iman mereka pada janji-janji Allah. Para orang tua, dengan visi yang lahir dari iman dan pengalaman panjang, dapat memberikan kesaksian yang istimewa dalam hal ini. Melalui teladan doa yang penuh kepercayaan, mereka dapat mengajar kita untuk mempersatukan diri kita dengan Yesus yang disalibkan, yang di kayu salib menyerahkan diri-Nya sepenuhnya ke dalam tangan Bapa surgawi-Nya, yang kasih-Nya yang tak terbatas mengubah kematian menjadi kehidupan dan kejahatan terbesar menjadi kebaikan yang berlimpah.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Mei 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 11 Mei 2022 : KATEKESE TENTANG USIA TUA (BAGIAN 9)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita akan berbicara tentang Yudit, seorang pahlawan perempuan dalam Kitab Suci. Penutup kitab yang menyandang namanya – kita telah mendengarkan sebuah perikop – merangkum bagian akhir kehidupan perempuan ini, yang membela Israel dari musuh-musuhnya. Yudit adalah seorang janda Yahudi yang masih belia dan berbudi luhur yang, berkat iman, kecantikan dan kecerdikannya, menyelamatkan kota Betulia dan orang-orang Yehuda dari pengepungan Holofernes, panglima besar tentara Nebukadnezar, Raja Asyur, musuh yang sombong dan menghina Allah. Maka, dengan cara berperilaku cerdik, ia mampu memenggal kepala sang diktator yang datang melawan negara. Ia berani, perempuan ini, tetapi ia beriman ...

 

Setelah petualangannya yang hebat, Yudit kembali untuk tinggal di kotanya, Betulia, tempat ia menjalani masa tuanya dengan indah, sampai ia berusia seratus lima tahun. Sebagaimana dialami banyak orang : terkadang setelah hidup dengan kerja tiada henti, terkadang setelah hidup yang penuh petualangan, atau pengabdian yang luar biasa. Kepahlawanan tidak hanya berupa peristiwa-peristiwa besar yang menjadi sorotan, seperti Yudit, yang membunuh sang diktator; kepahlawanan ini sering ditemukan, , dalam kegigihan kasih yang dicurahkan dalam keluarga yang kesulitan dan atas nama komunitas yang terancam.

 

Yudit hidup lebih dari seratus tahun, suatu berkat khusus. Tetapi dewasa ini hidup bertahun-tahun setelah pensiun tidak lazim. Bagaimana kita memaknai, bagaimana kita memanfaatkan waktu yang kita miliki ini? Aku akan pensiun hari ini, dan tahun depan aku akan memiliki banyak waktu, dan apa yang dapat kulakukan, di tahun-tahun ini? Bagaimana aku bisa bertumbuh – dalam usia, yang urusan usia itu sendiri; tetapi bagaimana aku dapat bertumbuh dalam kewibawaan, dalam kekudusan, dalam kebijaksanaan?

 

Rencana pensiun bagi kebanyakan orang bertepatan dengan masa istirahat yang layak dan ditunggu-tunggu dari kegiatan yang menuntut dan melelahkan. Tetapi juga terjadi bahwa akhir masa kerja dapat menjadi sumber kekhawatiran, dan disertai dengan beberapa keraguan. "Apa yang akan kulakukan, sekarang hidupku akan dikosongkan dari apa yang mengisinya sekian lama?" : inilah pertanyaannya. Pekerjaan sehari-hari juga berarti serangkaian hubungan, kepuasan mencari nafkah, pengalaman memiliki peran, pengakuan yang layak, pekerjaan purnawaktu yang melampaui jam kerja semata.

 

Pasti ada tugas, yang menyenangkan dan melelahkan, merawat cucu, dan dewasa ini kakek dan nenek memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga dengan membantu membesarkan cucu; tetapi kita tahu bahwa semakin sedikit anak yang lahir dewasa ini, dan para orangtua sering kali semakin jauh, semakin rawan terhadap pemindahan, dengan pekerjaan dan kondisi perumahan yang tidak menguntungkan. Kadang-kadang mereka juga lebih enggan untuk memberikan ruang kepada kakek-nenek untuk mendidik, hanya memberikan apa yang terkait erat dengan kebutuhan akan bantuan. Tetapi seseorang berkata kepada saya, dengan senyum ironis, “Dewasa ini, dalam situasi sosial ekonomi seperti ini, kakek-nenek menjadi semakin penting karena mereka telah pensiun”. Mereka berpikir dengan cara ini. Ada tuntutan baru, juga dalam bidang pendidikan dan hubungan keluarga, yang menuntut kita untuk membentuk kembali hubungan tradisional antargenerasi.

 

Tetapi, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : apakah kita melakukan upaya ini untuk "membentuk kembali"? Atau apakah kita hanya menderita kelembaman kondisi material dan ekonomi? Kehadiran bersama generasi-generasi, pada kenyataannya, menyambungkan kembali. Apakah kita semua berusaha bersama untuk membuat kondisi ini semakin manusiawi, semakin penuh kasih, semakin adil, sesuai dengan kondisi baru masyarakat modern? Bagi kakek-nenek, bagian penting panggilan mereka adalah mendukung putra-putri mereka dalam membesarkan anak-anak mereka. Anak-anak kecil belajar kekuatan kelembutan dan rasa hormat terhadap kelemahan : pelajaran yang tak tergantikan yang lebih mudah untuk diberikan dan diterima bersama kakek-nenek. Dari pihak kakek-nenek, mereka belajar bahwa kelembutan dan kelemahan bukan semata-mata tanda kemunduran : bagi kaum muda, kelembutan dan kelemahan adalah kondisi yang memanusiawikan masa depan.

 

Yudit segera menjadi janda dan tidak memiliki anak, tetapi, sebagai seorang perempuan tua, ia mampu menjalani masa kepenuhan dan ketenangan, dengan pemahaman bahwa ia telah menjalani sepenuhnya perutusan yang telah dipercayakan Tuhan kepadanya. Sudah waktunya baginya untuk meninggalkan warisan baik kebijaksanaan, kelembutan, maupun karunia untuk keluarga dan komunitasnya : warisan kebaikan dan bukan hanya harta benda. Ketika kita memikirkan warisan, terkadang kita memikirkan benda, dan bukan kebaikan yang dilakukan di masa tua, dan yang telah ditaburkan, kebaikan itulah yang merupakan warisan terbaik yang bisa kita tinggalkan.

 

Justru di masa tuanya Yudit “memberikan kebebasan kepada dayang perempuan kesayangannya”. Ini adalah tanda pendekatan yang penuh perhatian dan manusiawi kepada orang-orang yang pernah dekat dengannya. Hamba ini telah menemaninya pada saat petualangan tersebut, untuk mengalahkan sang diktator dan memenggal kepalanya. Ketika kita tua, kita kehilangan sebagian penglihatan kita, tetapi pandangan batin kita menjadi semakin tajam – kita melihat dengan hati. Kita menjadi mampu melihat hal-hal yang sebelumnya luput dari kita. Orang tua tahu bagaimana memandang, dan mereka tahu bagaimana melihat… Memang benar: Tuhan tidak mempercayakan talenta-Nya hanya kepada orang yang masih muda dan kuat. Ia memiliki berbagai talenta untuk semua orang, disesuaikan dengan masing-masing orang, orang tua juga. Kehidupan komunitas kita harus tahu bagaimana memanfaatkan talenta dan karisma dari begitu banyak orang tua yang sudah pensiun, tetapi merupakan kekayaan yang harus dihargai. Dari pihak orang tua, hal ini membutuhkan perhatian yang kreatif, perhatian yang baru, ketersediaan yang murah hati. Keterampilan-keterampilan hidup aktif sebelumnya kehilangan batasannya dan menjadi sumber daya yang harus diberikan : mengajar, menasihati, membangun, merawat, mendengarkan... terlebih bagi mereka yang paling kurang beruntung yang tidak mampu belajar apa pun atau yang ditinggalkan dalam kesepian mereka.

 

Yudit membebaskan dayangnya dan menghujani semua orang dengan perhatian. Sebagai seorang perempuan belia, ia telah memenangkan penghargaan masyarakat dengan keberaniannya. Sebagai seorang perempuan tua, ia mendapatkan penghargaan karena kelembutan yang dengannya ia memperkaya kebebasan dan kasih sayang mereka. Yudit bukanlah seorang pensiunan yang menjalani kekosongan yang dibawanya secara melankolis : ia adalah perempuan dewasa yang penuh gairah yang mengisi waktu yang diberikan Allah kepadanya dengan karunia. Ingat : suatu hari, ambillah Kitab Suci dan lihatlah Kitab Yudit : sangat pendek, kamu dapat membacanya ... panjangnya sepuluh halaman, tidak lebih. Bacalah kisah seorang perempuan pemberani yang berakhir seperti ini, dengan kelembutan, kemurahan hati, perempuan yang layak. Dan demikianlah saya menginginkan semua nenek kita jadinya : pemberani, bijaksana, dan yang mewariskan kepada kita bukan uang, tetapi warisan kebijaksanaan, yang ditaburkan pada cucu-cucu mereka. Terima kasih.

 

[Imbauan]

 

Secara khusus saya memikirkan rakyat Sri Lanka, terutama kaum muda, yang belakangan ini menyuarakan pendapat mereka dalam menghadapi tantangan serta masalah sosial dan ekonomi negara tersebut. Saya bergabung dengan para pemuka agama untuk mendesak semua pihak yang terlibat guna menjaga pendekatan damai, tanpa menyerah pada kekerasan. Saya mengimbau semua pihak yang bertanggung jawab untuk mendengarkan aspirasi rakyat, menjamin penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia dan kebebasan sipil.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang berasal dari Inggris, Swedia dan Amerika Serikat. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan atas kamu dan keluargamu belas kasihan Allah Bapa kita. Semoga Tuhan memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang makna dan nilai usia tua dalam terang sabda Allah, sekarang kita beralih kepada Yudit, pahlawan perempuan dalam Kitab Suci. Sebagai seorang perempuan belia, Yudit telah menyelamatkan bangsanya dengan membunuh panglima besar tentara Asyur, Holofernes. Kitab Suci memberitahu kita bahwa setelah kemenangan ini ia kembali ke rumah dan menghabiskan sisa hidupnya bersama keluarganya. Yudit dapat menjadi teladan bagi semua orang tua yang, di masa pensiun, menemukan diri mereka menyesuaikan diri dengan babak baru kehidupan dan peluang baru untuk pertumbuhan pribadi. Seperti Yudit, yang, di akhir hayatnya, membagikan warisannya dan membebaskan dayang perempuannya, orang tua dapat menjadi guru bagi orang muda dalam nilai-nilai sosial dasar kedermawanan dan perhatian penuh terhadap kebutuhan orang lain. Di masa tua juga, Allah meminta kita untuk menggunakan talenta kita dengan bijaksana demi kebaikan keluarga kita dan masyarakat secara keseluruhan. Seperti halnya Yudit, semoga kita dikenang bukan hanya karena pencapaian masa muda kita, tetapi juga atas kreativitas dan semangat yang terus kita gunakan untuk menghasilkan buah yang baik di setiap masa kehidupan.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 11 Mei 2022)