Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 29 Maret 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 9) - SAKSI-SAKSI : SANTO PAULUS. 1

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam rangkaian katekese tentang semangat apostolik, hari ini marilah kita mengawalinya dengan melihat beberapa tokoh yang, dengan cara dan waktu yang berbeda, memberikan kesaksian keteladanan tentang apa artinya hasrat penginjilan. Dan saksi pertama tentu saja adalah Rasul Paulus. Saya ingin mengabdikan dua katekese ini untuknya.

 

Dan sejarah Paulus dari Tarsus merupakan lambang dalam hal ini. Dalam bab pertama Surat kepada Jemaat Galatia, seperti dalam narasi Kisah Para Rasul, kita dapat melihat bahwa hasrat penginjilannya muncul setelah pertobatannya, dan menggantikan hasrat Yudaisme terdahulunya. Ia adalah seorang yang bersemangat berkenaan dengan hukum Musa demi Yudaisme, dan setelah pertobatannya, semangat ini berlanjut, tetapi demi mewartakan, memberitakan Yesus Kristus. Paulus mengasihi Yesus. Saulus – nama terdahulu Paulus – sudah bersemangat, tetapi Kristus mengubah semangatnya : dari Hukum Injil. Semangatnya mula-mula ingin menghancurkan Gereja, sedangkan setelah itu membangunnya. Kita mungkin bertanya pada diri kita sendiri : apa yang terjadi, yang beralih dari penghancuran ke pembangunan? Apa yang berubah dalam diri Paulus? Bagaimana semangatnya, perjuangannya untuk kemuliaan Allah, berubah rupa? Apa yang terjadi di sana?


Santo Thomas Aquinas mengajarkan bahwa hasrat, dari sudut pandang moral, tidak baik atau jahat : penggunaannya yang luhur menjadikannya baik secara moral, dosa menjadikannya buruk.[1] Dalam kasus Paulus, apa yang mengubahnya bukan gagasan atau keyakinan sederhana : apa yang mengubahnya adalah sebuah perjumpaan, kata ini, perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit – jangan lupakan hal ini, perjumpaan dengan Tuhan mengubah hidup – perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit itulah yang mengubah rupa seluruh keberadaannya. Kemanusiaan Paulus, hasratnya akan Allah dan kemuliaan-Nya tidak sirna, tetapi diubah rupa, “ditobatkan” oleh Roh Kudus. Satu-satunya yang dapat mengubah hati kita, mengubah, adalah Roh Kudus. Dan itu berlaku untuk setiap ranah kehidupannya. Seperti yang terjadi dalam Ekaristi : roti dan anggur tidak sirna, tetapi menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Semangat Paulus tetap ada, tetapi menjadi semangat Kristus. Semangatnya tetap sama tetapi mengubah arah. Tuhan dilayani dengan kemanusiaan kita, dengan hak prerogatif dan karakteristik kita, tetapi yang mengubah segalanya bukan gagasan, melainkan kehidupan itu sendiri, seperti dikatakan Paulus sendiri : "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru" - kamu diubah dari dalam, perjumpaan dengan Yesus Kristus mengubahmu dari dalam, membuatmu menjadi orang yang lain – “yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Kor 5:17). Jika kita ada di dalam Kristus, kita adalah ciptaan baru, inilah artinya menjadi ciptaan baru. Menjadi kristiani bukan penyamaran, yang mengubah wajahmu, tidak! Jika kamu umat Kristiani, hatimu diubah, tetapi jika kamu adalah umat Kristiani dalam penampilan, hal ini tidak akan berhasil: umat Kristiani yang menyamar, tidak, mereka tidak akan melakukannya. Perubahan yang sebenarnya adalah hati. Dan hal ini terjadi pada Paulus.


Hasrat penginjilan bukan masalah pemahaman atau studi – kamu dapat mempelajari seluruh teologi yang kamu inginkan, kamu dapat mempelajari Kitab Suci dan semua itu, serta menjadi ateis atau duniawi, hasrat penginjilan bukan perkara studi; dalam sejarah ada banyak teolog yang ateis, tidak! Belajar memang berguna tetapi tidak menghasilkan kehidupan baru yang penuh rahmat; sebaliknya, bertobat berarti mengalami pengalaman “kejatuhan dan kebangkitan” sama seperti yang dialami Saulus/Paulus dan yang merupakan asal muasal perubahan rupa semangat kerasulannya. Memang, seperti yang dikatakan Santo Ignatius : “Karena tidak banyak memahami, tetapi menyadari dan menikmati hal-hal secara batiniah, itu yang menyenangkan dan memuaskan”.[2] Kita masing-masing, pikirkanlah. “Aku seorang yang religius” – “Baik-baik saja” – “Aku berdoa” – “Ya” – “Aku berusaha untuk mematuhi perintah-perintah” – “Ya” – “Tetapi di manakah Yesus dalam hidupmu?” – “Ah, tidak, aku melakukan hal-hal yang diperintahkan Gereja”. Tetapi Yesus, di manakah Dia? Pernahkah kamu bertemu Yesus, apakah kamu pernah berbicara dengan Yesus? Jika kamu mengambil Injil atau berbicara dengan Yesus, apakah kamu ingat siapakah Yesus? Dan ini adalah sesuatu yang sangat sering tidak ada dalam diri kita; sebuah kekristenan, menurut saya, bukan tanpa Yesus, tetapi dengan Yesus yang abstrak… Tidak! Bagaimana Yesus memasuki hidupmu, bagaimana Ia memasuki kehidupan Paulus, dan ketika Yesus masuk, semuanya berubah. Berkali-kali, kita telah mendengar komentar tentang umat : “Tetapi lihatlah dia, ia adalah orang yang malang dan sekarang ia adalah pria yang baik, ia adalah wanita yang baik… siapa yang mengubah mereka? Yesus, mereka menemukan Yesus. Apakah kehidupan kristianimu berubah? “Tidak, kurang lebih, ya…”. Jika Yesus tidak memasuki hidupmu, hidupmu tidak berubah. Kamu bisa menjadi umat kristiani hanya lahiriah. Tidak, Yesus harus masuk dan ini mengubah Anda, dan inilah yang terjadi pada Paulus. Paulus menemukan Yesus, dan inilah sebabnya ia mengatakan bahwa kasih Kristus menggerakkan kita, kasih Kristus yang membawa kamu maju. Terjadi hal yang sama, perubahan ini, pada semua orang kudus, yang bergerak maju ketika mereka menemukan Yesus.


Kita dapat merenungkan lebih jauh perubahan yang terjadi pada diri Paulus, yang dari seorang penganiaya menjadi rasul Kristus. Kita mencatat bahwa ada semacam paradoks dalam dirinya: memang, selama ia merasa dirinya benar di hadapan Allah, ia merasa berwenang untuk menganiaya, menangkap, bahkan membunuh, seperti dalam kasus Stefanus; tetapi ketika, diterangi oleh Tuhan yang bangkit, ia menemukan bahwa ia adalah seorang “penghujat dan penganiaya” (bdk. 1 Tim 1:13) – inilah yang ia katakan tentang dirinya, “Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya” – kemudian ia mulai menjadi benar-benar mampu mengasihi. Dan inilah jalannya. Jika salah seorang dari kita berkata, “Ah, terima kasih Tuhan, karena aku adalah orang yang baik, aku berbuat baik, aku tidak melakukan dosa besar…”, ini bukan jalan yang baik, ini adalah jalan kecukupan diri, jalan yang tidak membenarkanmu, jalan yang membuatmu mengangkat hidung… seorang Katolik yang anggun, tetapi seorang Katolik yang anggun bukan seorang Katolik yang suci, ia anggun. Katolik sejati, orang Kristiani sejati adalah orang yang menerima Yesus di dalam hatinya, yang mengubah hatimu. Inilah pertanyaan yang saya ajukan kepada kamu semua hari ini : apa arti Yesus bagiku? Apakah aku memperkenankan-Nya masuk ke dalam hatiku, atau apakah aku membuat-Nya tetap dalam jangkauan tetapi Ia tidak benar-benar masuk ke dalam hatiku? Apakah aku memperkenankan diriku diubah oleh-Nya? Atau apakah Yesus hanya sebuah gagasan, sebuah teologi yang berjalan terus… Dan inilah semangat, ketika kita menemukan Yesus dan merasakan api, seperti Paulus, dan harus mewartakan Yesus, harus berbicara tentang Yesus, harus membantu orang-orang, harus melakukan hal-hal yang baik. Ketika kita menemukan gagasan tentang Yesus, kita tetap menjadi ideolog kekristenan, dan hal ini tidak membenarkan, hanya Yesus yang membenarkan kita. Semoga Tuhan membantu kita menemukan Yesus, berjumpa Yesus, dan semoga Yesus ini mengubah hidup kita dari dalam dan membantu kita untuk membantu sesama. Terima kasih.


[Sapaan Khusus]


Dengan hangat saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Inggris, Irlandia, Denmark, Norwegia, Indonesia, Filipina, Kanada, dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa delegasi dari Akademi Pertahanan NATO serta banyak siswa dan guru yang hadir. Semoga perjalanan Prapaskah kita membawa kita menuju Paskah dengan hati yang dimurnikan dan diperbarui oleh rahmat Roh Kudus. Atasmu dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan kedamaian di dalam Kristus Sang Penebus kita!

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]


Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang semangat kerasulan, kita sekarang membahas beberapa pria dan wanita besar dalam sejarah Gereja yang kehidupannya menunjukkan kasih kepada Kristus dan semangat untuk menyebarkan Injil. Kita mulai, tentu saja, dengan Rasul Paulus. Perjumpaan Paulus dengan Yesus yang bangkit dalam perjalanan menuju Damsyik mengubah semangatnya terhadap Hukum Taurat, yang telah membuatnya menganiaya umat Kristiani, menjadi keinginan yang membara untuk mewartakan Injil belas kasih Allah, yang terungkap dalam misteri paskah. Pertobatan Paulus benar-benar merupakan pengalaman kematian dan kebangkitan yang mendalam; dilahirkan kembali dalam Kristus, ia menjadi “ciptaan baru” (2 Kor 5:17), sekarang dipenuhi dengan semangat untuk membawa kabar baik tentang keselamatan kita kepada semua bangsa. Teladan Paulus menunjukkan kepada kita bahwa inti dari seluruh semangat misioner adalah perjumpaan yang hidup dengan Tuhan yang telah bangkit. Juga ditunjukkan kepada kita bahwa hasrat penginjilan tidak pernah dapat membenarkan kekerasan atau penganiayaan atas nama Allah yang berbelas kasih, yang mengundang kita dengan bebas untuk menerima rahmat kehidupan baru Allah dengan percaya kepada Injil Yesus Putra-Nya.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Maret 2023)



[1]Bdk. Quaestio “De veritate” 24, 7.

[2]Latihan Rohani, Catatan, 2, 4.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 26 Maret 2023 : YESUS MEMBERIKAN KEHIDUPAN BAHKAN KETIKA TAMPAKNYA SEMUA HARAPAN TELAH SIRNA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, Hari Minggu Prapaskah V, Bacaan Injil menyajikan kepada kita kebangkitan Lazarus (bdk. Yoh 11:1-45). Kebangkitan Lazarus adalah mukjizat terakhir Yesus yang diceritakan sebelum Paskah : kebangkitan Lazarus, sahabat-Nya. Lazarus adalah sahabat Yesus, yang diketahui akan meninggal; Ia berangkat melakukan perjalanan, tetapi tiba di rumah Lazarus empat hari setelah ia dikubur, ketika kini semua harapan telah sirna. Tetapi, kehadiran Yesus menghidupkan kembali sedikit kepercayaan di hati kedua saudari Lazarus, Marta dan Maria (bdk. ayat 22, 27). Keduanya berpegang teguh pada cahaya ini, pada harapan kecil ini, terlepas dari penderitaan mereka. Yesus mengundang mereka untuk memiliki iman, dan meminta kubur dibuka. Ia kemudian berdoa kepada Bapa dan berteriak kepada Lazarus : “Marilah ke luar!" (ayat 43). Dan Lazarus hidup kembali dan keluar. Inilah mukjizat, hanya seperti itu, sederhana.

 

Pesannya jelas: Yesus memberikan kehidupan bahkan ketika tampaknya semua harapan telah sirna. Kadang-kadang, merasa putus asa – hal ini terjadi pada kita semua – atau bertemu orang-orang yang telah putus harapan : sakit hati oleh pengalaman buruk, hati yang terluka tidak dapat berharap. Karena kehilangan yang menyakitkan, penyakit, kekecewaan yang pahit, kesalahan atau pengkhianatan yang diderita, kesalahan besar yang dilakukan… mereka telah kehilangan harapan. Terkadang kita mendengar mereka yang mengatakan bahwa “Tidak ada lagi yang harus dilakukan!”, dan menutup pintu bagi setiap harapan. Semua itu adalah saat-saat ketika hidup tampak seperti kuburan yang tersegel : semuanya gelap, dan di sekitar kita, kita hanya melihat kesedihan dan keputusasaan. Mukjizat hari ini memberitahu kita bahwa tidak seperti itu, ini bukan akhir, bahwa pada saat-saat ini kita tidak sendirian; sebaliknya, justru pada saat-saat inilah Ia datang lebih dekat dari sebelumnya untuk memulihkan hidup kita. Yesus menangis : Injil memberitahu kita bahwa Yesus menangis di depan kubur Lazarus, dan hari ini Yesus menangis bersama kita, karena Ia mampu menangisi Lazarus : Injil mengulangi dua kali bahwa hati-Nya masygul (bdk. ayat 33, 38), menekankan bahwa Ia menangis (bdk. ayat 35). Dan pada saat yang sama Yesus mengajak kita untuk tidak berhenti percaya dan berharap, tidak membiarkan diri kita dihancurkan oleh perasaan negatif yang menghilangkan air mata kita. Ia mendekati kuburan kita dan berkata kepada kita, seperti saat itu : "Angkat batu itu!" (ayat 39). Pada saat-saat ini, seolah-olah kita memiliki batu di dalam diri kita, dan satu-satunya yang mampu menyingkirkannya adalah Yesus, dengan kata-kata-Nya: “Angkat batu itu!”.

 

Yesus mengatakan hal ini kepada kita juga. Angkat batu itu : penderitaan, kesalahan, bahkan kegagalan, jangan sembunyikan di dalam dirimu, di ruangan yang gelap, sepi, dan tertutup. Angkat batu itu : keluarkan semua yang ada di dalam dirimu. “Ah, tetapi aku malu”. Lemparkan kepadaku dengan percaya diri, kata Tuhan, Aku tidak akan marah; lemparkan kepada-Ku tanpa rasa takut, karena Aku bersamamu, Aku peduli padamu dan Aku ingin kamu mulai hidup kembali. Dan, seperti yang Ia lakukan terhadap Lazarus, Ia mengulangi kepada kita masing-masing : Keluarlah! Bangkit kembali, kembali ke jalan, dapatkan kembali kepercayaan dirimu! Berapa kali, dalam hidup, kita mendapati diri kita seperti ini, dalam situasi tidak lagi memiliki kekuatan untuk bangkit kembali. Dan Yesus: “Marilah, marilah! Aku bersamamu". Aku akan memegang tanganmu, kata Yesus, seperti ketika kamu masih kecil belajar untuk mengambil langkah pertamamu . Saudara yerkasih, saudari terkasih, lepaskan perban yang mengikatmu (bdk. ayat 45); tolong, jangan menyerah pada pesimisme yang menekanmu, jangan menyerah pada rasa takut yang mengasingkan, jangan menyerah pada keputusasaan yang disebabkan oleh ingatan akan pengalaman buruk, jangan menyerah pada rasa takut yang melumpuhkan. Yesus memberitahu kita, “Aku ingin kamu bebas dan hidup, Aku tidak akan meninggalkanmu dan Aku bersamamu! Semuanya gelap, tetapi Aku bersamamu! Jangan biarkan dirimu terpenjara penderitaan, jangan biarkan matinya harapan. Saudara, saudari, hiduplah kembali!”. "Dan bagaimana aku bisa melakukan hal ini?". "Peganglah tangan-Ku", dan Ia memegang tangan kita. Biarkan kamu ditarik keluar : dan Ia mampu melakukannya. Di saat-saat buruk yang terjadi pada diri kita semua.


Saudara-saudari terkasih, perikop ini, dalam Injil Yohanes bab 11 dan yang sangat bermanfaat untuk dibaca, adalah madah kehidupan, dan dikumandangkan saat Paskah sudah dekat. Mungkin kita juga pada saat ini membawa beban atau penderitaan di dalam hati kita, yang tampaknya meremukkan diri kita; sesuatu yang buruk, beberapa dosa lama yang tidak dapat kita keluarkan, beberapa kesalahan masa muda, kamu tidak pernah tahu. Hal-hal buruk ini harus keluar. Dan Yesus berkata, “Keluarlah!”. Jadi, inilah saatnya untuk mengambil batu itu dan pergi menuju Yesus yang dekat. Bisakah kita membuka hati kita kepada-Nya dan mempercayakan kekhawatiran kita kepada-Nya? Haruskah kita melakukannya? Apakah kita mampu membuka kubur masalah, apakah kita mampu, dan melihat melewati ambang pintu, menuju terang-Nya, atau apakah kita takut akan hal ini? Dan pada gilirannya, sebagai cermin kecil kasih Allah, apakah kita berhasil menerangi lingkungan tempat kita hidup dengan kata-kata dan sikap? Apakah kita menjadi saksi harapan dan sukacita Yesus? Kita, orang berdosa, kita semua? Dan juga, saya ingin mengatakan sepatah kata pun kepada para bapa pengakuan : saudara-saudara terkasih, jangan lupa bahwa kamu juga orang berdosa, dan kamu berada di kamar pengakuan bukan untuk menyiksa, tetapi untuk mengampuni, dan mengampuni segalanya, sama seperti Tuhan mengampuni segalanya. Semoga Maria, Bunda Harapan, memperbaharui dalam diri kita sukacita karena tidak merasa sendirian dan panggilan untuk membawa terang ke dalam kegelapan yang mengelilingi kita.

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]


Saudara-saudari terkasih!

 

Kemarin, Hari Raya Kabar Sukacita, kita kembali menyerahkan kepada Hati Maria Tak Bernoda, dengan keyakinan bahwa hanya pertobatan hati yang dapat membuka jalan menuju perdamaian. Marilah kita terus mendoakan rakyat Ukraina yang tersiksa.

 

Dan marilah kita tetap dekat juga dengan korban gempa Turki dan Suriah. Hasil pengumpulan khusus yang berlangsung hari ini di seluruh paroki di seantero Italia ditujukan untuk mereka. Marilah kita juga mendoakan penduduk negara bagian Mississippi yang diterjang angin puting beliung yang menghancurkan.


Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari banyak negara, khususnya dari Madrid dan Pamplona, dan Meksiko; serta Peru, kembali mendoakan rekonsiliasi dan perdamaian di Peru. Kita harus mendoakan Peru, yang sedang sangat menderita.

 

Saya menyambut umat Zollino, Rieti, Azzano Mella dan Capriano del Colle, Bellizzi, Crotone dan Castelnovo Monti bersama Unitalsi; dan saya menyapa calon penerima sakramen krisma dari Pavia, Melendugno, Cavaion dan Sega, Settignano dan Prato; kaum muda Ganzanigo, Acilia dan Longi; dan Lembaga Amici del Crocifisso dari Marches.

 

Saya menyampaikan salam khusus kepada delegasi Angkatan Udara Italia, yang merayakan 100 tahun berdirinya. Saya berharap kamu baik-baik saja di ulang tahun ini, dan saya mendorongmu untuk selalu bekerja membangun keadilan dan perdamaian.

 

Saya mendoakan kamu semua; dan lakukan hal ini untuk saya. Dan kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Selamat menikmati makananmu, dan sampai jumpa.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Maret 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 22 Maret 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 8) - JALAN PERTAMA PENGINJILAN : KESAKSIAN (BDK. EVANGELII NUNTIANDI)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita akan mendengarkan “magna carta” penginjilan di dunia masa kita : Seruan Apostolik Santo Paulus VI Evangelii Nuntiandi (EN, 8 Desember 1975). Evangelii Nuntiandi kekinian, ditulis pada tahun 1975 tetapi seolah-olah ditulis kemarin. Penginjilan lebih dari sekadar penyampaian doktrinal dan moral yang sederhana. Penginjilan adalah, pertama-tama dan terutama, kesaksian – kita tidak dapat menginjili tanpa kesaksian – kesaksian tentang perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjelma yang di dalamnya keselamatan tergenapi. Kesaksian yang tak tergantikan karena, pertama, dunia “memanggil para penginjil untuk berbicara kepadanya tentang Allah yang seharusnya dikenal dan diakrabi oleh mereka” (EN, 76). Bukan untuk menyebarkan ideologi atau “doktrin” tentang Allah, bukan. Kesaksian adalah untuk menyampaikan Allah yang hidup dalam diriku : inilah kesaksian, dan terlebih lagi, karena “manusia modern lebih suka mendengarkan para saksi daripada para guru, dan jika ia mendengarkan para guru, itu karena mereka adalah para saksi” (EN, 41). Kesaksian Kristus, kemudian, pada saat yang sama adalah sarana pertama penginjilan (bdk. EN, dan syarat penting untuk keberhasilannya (bdk. EN, 76), sehingga pewartaan Injil dapat berbuah. Menjadi para saksi.


Penting untuk diingat bahwa kesaksian juga mencakup pengakuan iman, yaitu, ketaatan yang meyakinkan dan nyata kepada Allah Bapa dan Putra dan Roh Kudus, yang menciptakan kita dari kasih, dan menebus kita. Iman yang mengubah rupa kita, yang mengubah rupa hubungan kita, kriteria dan nilai yang menentukan pilihan kita. Oleh karena itu, kesaksian tidak dapat dipisahkan dari kesesuaian antara apa yang kita percayai dan apa yang kita wartakan, serta apa yang kita hayati. Kita tidak dapat dipercaya hanya dengan menyatakan doktrin atau ideologi, tidak. Kita dapat dipercaya jika ada keselarasan antara apa yang kita percayai dan hayati. Banyak orang Kristiani hanya mengatakan bahwa mereka percaya, tetapi mereka menghayati sesuatu yang lain, seolah-olah tidak percaya. Dan ini adalah kemunafikan. Kebalikan dari kesaksian adalah kemunafikan. Berapa kali kita mendengar, “Ah, orang ini menghadiri Misa setiap hari Minggu dan kemudian ia hidup seperti ini, atau itu” : ini memang benar, ini adalah kesaksian tandingan.


Kita masing-masing dituntut untuk menjawab tiga pertanyaan dasariah, yang diajukan dengan cara ini oleh Paulus VI : “Percayakah kamu pada apa yang kamu wartakan? Apakah kamu menghayati apa yang kamu percayai? Apakah kamu mewartakan apa yang kamu hayati?” (bdk. EN). Apakah ada keselarasan : apakah kamu percaya apa yang kamu nyatakan? Apakah kamu menghayati apa yang kamu percayai? Apakah kamu mewartakan apa yang kamu hayati? Kita tidak bisa puas dengan jawaban yang mudah dan telah dikemas sebelumnya. Kita dipanggil untuk menerima risiko pencaharian, meskipun merusuhi, percaya sepenuhnya pada tindakan Roh Kudus yang bekerja dalam diri kita masing-masing, mendorong kita lebih jauh : melampaui batas kita, melampaui penghalang kita, melampaui keterbatasan kita, macam apa pun.


Dalam pengertian ini, kesaksian hidup Kristiani melibatkan perjalanan kekudusan, berdasarkan baptis, yang menjadikan kita “ikut serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci” (Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 40). Sebuah kekudusan yang tidak diperuntukkan bagi segelintir orang; kekudusan adalah karunia Allah serta tuntutan yang harus diterima dan dilaksanakan untuk menghasilkan buah bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain. Dipilih dan dikasihi Allah, harus membawa kasih ini kepada sesama. Paulus VI mengajarkan bahwa hasrat penginjilan bersumber dari kekudusan, bersumber dari hati yang dipenuhi Allah. Dibina dengan doa dan terutama oleh kasih akan Ekaristi, penginjilan pada gilirannya meningkatkan kekudusan dalam diri orang-orang yang melaksanakannya (bdk. EN, 76). Pada saat yang sama, tanpa kekudusan, sabda penginjil “akan mengalami kesulitan untuk menjamah hati manusia modern”, serta “berisiko menjadi sia-sia dan mandul” (EN, 76).


Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa orang-orang yang dituju oleh penginjilan bukan hanya orang lain, mereka yang menganut kepercayaan lain atau bukan orang percaya, tetapi juga diri kita sendiri, orang yang percaya kepada Kristus dan anggota aktif Umat Allah. Dan kita harus bertobat setiap hari, menerima sabda Allah dan mengubah hidup kita : setiap hari. Dan inilah bagaimana hati diinjili. Untuk memberikan kesaksian ini, Gereja sendiri juga harus mulai dengan menginjili dirinya sendiri. Jika Gereja tidak menginjili dirinya sendiri, ia tetap menjadi benda museum. Sebaliknya, dengan menginjili dirinya sendiri, Gereja terus diperbarui. Ia perlu mendengarkan tanpa henti apa yang harus ia percayai, alasan pengharapannya, perintah kasih yang baru. Gereja, yang merupakan Umat Allah yang tenggelam dalam dunia, dan sering digoda oleh berhala – banyak di antaranya – dan ia selalu perlu mendengar pewartaan karya-karya Allah. Singkatnya, ini berarti bahwa ia selalu membutuhkan penginjilan, ia perlu membaca Injil, berdoa dan merasakan kekuatan Roh mengubah hatinya (bdk. EN, 15).


Gereja yang menginjili dirinya sendiri agar dapat menginjili adalah Gereja yang, dibimbing oleh Roh Kudus, dituntut untuk menempuh jalan yang menuntut, jalan pertobatan dan pembaharuan. Ini juga memerlukan kemampuan untuk mengubah cara memahami dan menghayati kehadirannya yang menginjili dalam sejarah, menghindari berlindung di zona terlindungi nalar "selalu dilakukan dengan cara ini". Mereka adalah tempat perlindungan yang menyebabkan Gereja menjadi sakit. Gereja harus maju, ia harus terus bertumbuh; dengan cara ini ia akan tetap awet muda. Gereja ini sepenuhnya berpaling kepada Allah, oleh karena itu ikut serta dalam rencana keselamatan-Nya bagi umat manusia, dan, pada saat yang sama, sepenuhnya berpaling kepada umat manusia. Gereja harus menjadi Gereja yang secara dialogis menjumpai dunia masa kini, yang menjalin hubungan persaudaraan, yang menghasilkan ruang perjumpaan, menerapkan praktik keramahtamahan yang baik, penyambutan, pengakuan dan saling berbaur dan keberbedaan, dan yang memperhatikan kepentingan rumah bersama yaitu ciptaan. Artinya, sebuah Gereja yang secara dialogis menjumpai dunia masa kini, yang berdialog dengan dunia masa kini, tetapi yang berjumpa Allah setiap hari, dan berdialog dengan Allah, dan memperkenankan Roh Kudus, agen penginjilan, masuk. Tanpa Roh Kudus kita hanya dapat mempublikasikan Gereja, bukan menginjili. Roh di dalam diri kitalah yang mendorong kita menuju penginjilan, dan inilah kebebasan sejati anak-anak Allah.


Saudara-saudari terkasih, saya kembali mengundangmu untuk membaca dan membaca ulang Evangelii Nuntiandi : Saya akan mengatakan yang sebenarnya, saya sering membacanya, karena merupakan mahakarya Santo Paulus VI, warisan yang beliau tinggalkan untuk kita, untuk menginjili.


[Sapaan Khusus]


Saya mengucapkan selamat datang kepada para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang mengikuti Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Inggris, Indonesia, Filipina, dan Amerika Serikat. Semoga perjalanan Prapaskah kita membawa kita menuju Paskah dengan hati yang dimurnikan dan diperbarui oleh rahmat Roh Kudus. Atasmu dan keluargamu, saya memohon sukacita dan damai dalam Kristus Sang Penebus kita.

[Imbauan]

Hari ini adalah Hari Air Sedunia. Kata-kata Santo Fransiskus dari Asisi terlintas dalam pikiran : "Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Air; dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni". Dengan kata-kata sederhana ini kita merasakan keindahan ciptaan dan kesadaran akan tantangan untuk melibatkan diri dalam merawatnya. Selama hari-hari ini, Konferensi Air Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) II sedang berlangsung di New York. Saya mendoakan hasil yang sukses dan berharap acara penting ini akan mempercepat prakarsa untuk mendukung mereka yang menderita kelangkaan air, barang utama ini. Air tidak dapat disia-siakan dan disalahgunakan atau menjadi penyebab perang, tetapi harus dilestarikan untuk keuntungan kita dan generasi mendatang.


Sabtu nanti merupakan Hari Raya Kabar Sukacita, dan pikiran kita beralih ke tanggal 25 Maret tahun lalu, ketika, dalam persatuan dengan semua uskup sedunia, Gereja dan umat manusia, terutama Rusia dan Ukraina, diserahkan kepada Hati Maria Tak Bernoda. Janganlah kita lelah mempercayakan tujuan perdamaian kepada Sang Ratu Damai. Oleh karena itu saya ingin mengajak setiap orang percaya dan komunitas, khususnya kelompok doa, untuk memperbaharui tindakan penyerahan kepada Bunda Maria setiap tanggal 25 Maret, agar ia, yang adalah Bunda, dapat menjaga kita semua dalam persatuan dan perdamaian.


Dan janganlah kita melupakan, pada hari-hari ini, Ukraina yang bermasalah, yang sedang sangat menderita.


[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]


Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang hasrat penginjilan, kita sekarang membahas ajaran Santo Paulus VI dalam Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi, tentang penginjilan di dunia modern. Paus Paulus menegaskan bahwa penginjilan terutama merupakan kesaksian pribadi terhadap Injil dan kebenarannya yang menyelamatkan. Karena alasan ini, beliau menekankan pentingnya, dalam diri semua orang yang dibaptis, iman yang hidup kepada Allah Tritunggal, yang dinyatakan dalam kehidupan kekudusan yang sepenuhnya selaras dengan pesan yang kita wartakan. Kekudusan hidup, berdasarkan karunia Roh Kudus yang diterima dalam sakramen baptis, adalah sumber hasrat kita untuk berbagi dengan orang lain khazanah kehidupan baru dan harapan kita. Paus Paulus melanjutkan dengan mengatakan bahwa Gereja bukan hanya para penginjil, tetapi juga menginjili dirinya, yaitu terus-menerus dipanggil kepada pertobatan dan pembaharuan batin dalam Roh Kudus. Sebuah Gereja yang menginjili sepenuhnya berpaling kepada Allah, sumber keselamatan kita, dan, pada saat yang sama, sepenuhnya terlibat dalam dialog kreatif dengan dunia, bekerjasama dengan rencana Tuhan yang murah hati demi persatuan dan perdamaian keluarga umat manusia kita.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Maret 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 19 Maret 2023 : MELIHAT BAGAIMANA HATI MANUSIA BERPROSES

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, Bacaan Injil menggambarkan Yesus memberikan penglihatan kepada seorang yang buta sejak lahir (bdk. Yoh 9:1-41). Tetapi keajaiban ini disambut buruk oleh berbagai orang atau kelompok. Mari kita lihat rinciannya.

 

Tetapi saya ingin mengatakan : hari ini, ambillah Injil Yohanes dan bacalah tentang mukjizat Yesus ini. Cara Yohanes menceritakannya di bab 9 sungguh indah. Hanya butuh dua menit untuk membacanya. Kita dibuat melihat bagaimana Yesus berproses dan bagaimana hati manusia berproses : hati manusia yang baik, hati manusia yang suam-suam kuku, hati manusia yang ketakutan, hati manusia yang berani. Bab 9 Injil Yohanes. Bacalah hari ini. Membacanya akan banyak membantumu. Dan bagaimana cara orang-orang ini menyambutnya?

 

Pertama-tama, ada murid-murid Yesus yang, berhadapan dengan orang yang terlahir buta, terlibat dalam obrolan ringan dan bertanya apakah orang tuanya atau orang itu yang harus disalahkan (bdk. ayat 2). Mereka mencari pelakunya. Dan kita sering jatuh ke dalam hal yang sangat nyaman ini – mencari pelakunya daripada mengajukan pertanyaan yang menantang dalam kehidupan. Dan hari ini, kita dapat berkata : Apa arti kehadiran orang ini bagi kita, dalam hidupku? Apa yang diminta orang ini dari kita?

 

Kemudian, setelah penyembuhan terjadi, reaksi meningkat. Reaksi pertama berasal dari para tetangga yang skeptis : “Orang ini selalu buta. Tidak mungkin sekarang ia melihat – tidak mungkin dia! Itu orang lain” – skeptisisme (bdk. ayat 8-9). Hal ini tidak dapat diterima oleh mereka. Lebih baik biarkan semuanya seperti semula agar kita tidak perlu menghadapi masalah ini (bdk. ayat 16). Mereka takut, mereka takut pada otoritas agama dan tidak menyatakan diri mereka (bdk. ayat 18-21).

 

Dalam seluruh reaksi ini, karena berbagai alasan, muncul hati yang tertutup di hadapan tanda Yesus : karena mereka mencari pelakunya, karena mereka tidak tahu bagaimana terkejut, karena mereka tidak mau berubah, karena mereka dihalangi oleh rasa takut. Dewasa ini ada banyak situasi serupa. Berhadapan dengan sesuatu yang benar-benar sebuah kesaksian seseorang, sebuah pesan tentang Yesus, kita jatuh ke dalam hal ini – kita mencari penjelasan lain, kita tidak ingin berubah, kita mencari jalan keluar yang lebih elegan daripada menerima kebenaran.

 

Satu-satunya orang yang bereaksi dengan baik adalah orang buta itu. Senang melihat, ia bersaksi tentang apa yang terjadi padanya dengan cara yang paling sederhana : “Aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat” (ayat 25). Ia mengatakan yang sebenarnya. Sebelumnya, ia terpaksa meminta sedekah untuk hidupnya, dan menderita karena prasangka orang-orang : “Ia miskin dan buta sejak lahir. Ia harus menderita. Ia harus membayar dosa-dosanya atau dosa-dosa leluhurnya”. Sekarang tubuh dan jiwanya bebas, ia memberikan kesaksian tentang Yesus – ia tidak menciptakan atau menyembunyikan apa pun. “Aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat”. Ia tidak takut dengan apa yang akan dikatakan orang lain. Ia sudah tahu pahitnya terpinggirkan sepanjang hidupnya. Secara pribadi ia telah mengalami ketidakpedulian, penghinaan dari orang-orang yang lewat, dari mereka yang menganggapnya sebagai orang buangan dalam masyarakat, paling-paling berguna untuk pengamalan kesalehan dalam memberi sedekah. Sekarang setelah sembuh, ia tidak lagi takut terhadap sikap-sikap penghinaan tersebut karena Yesus telah memberinya martabat penuh. Dan hal ini jelas, selalu terjadi ketika Yesus menyembuhkan kita. Ia memulihkan martabat kita, martabat penyembuhan Yesus, penuh, martabat yang muncul dari lubuk hati, yang menguasai seluruh hidup kita. Dan, pada hari Sabat di depan semua orang, Yesus membebaskannya dan memberinya penglihatan tanpa meminta apa pun darinya, bahkan ucapan terima kasih pun tidak, dan ia bersaksi tentang hal ini. Inilah martabat orang yang mulia, martabat orang yang tahu bahwa ia sembuh dan memulai lagi, terlahir kembali. Kelahiran kembali dalam hidup tersebut mereka bicarakan hari ini dalam program televisi “A Sua Immagine” : dilahirkan kembali.

 

Saudara, saudari, melalui semua karakter ini, Bacaan Injil hari ini menempatkan kita juga di tengah-tengah adegan, sehingga kita dapat bertanya pada diri kita : Posisi apa yang kita ambil? Lalu apa yang akan kita katakan? Dan yang terpenting, apa yang akan kita lakukan hari ini? Seperti orang buta tersebut, tahukah kita bagaimana melihat kebaikan dan mensyukuri karunia-karunia yang kita terima? Saya bertanya pada diri saya sendiri : Bagaimana martabat saya? Bagaimana martabatmu? Apakah kita bersaksi tentang Yesus, atau malah menyebarkan kritik dan kecurigaan? Apakah kita bebas ketika menghadapi prasangka atau apakah kita mengaitkan diri kita dengan mereka yang menyebarkan hal-hal negatif dan obrolan remeh temeh? Apakah kita senang mengatakan bahwa Yesus mengasihi kita, bahwa Ia menyelamatkan kita, atau, seperti orangtua dari orang yang terlahir buta, apakah kita membiarkan diri kita dikurung oleh ketakutan akan apa yang dipikirkan orang lain? Hati yang suam-suam kuku yang tidak menerima kebenaran dan tidak memiliki keberanian untuk mengatakan, “Tidak, sebaiknya seperti ini”. Dan selanjutnya, bagaimana kita menerima kesulitan dan ketidakpedulian orang lain. Bagaimana kita menerima orang-orang yang memiliki begitu banyak keterbatasan dalam hidup? Entah secara fisik, seperti orang buta ini; atau secara sosial, seperti para pengemis yang kita temukan di jalanan? Apakah kita menerima mereka laksana ketidaknyamanan atau sebagai kesempatan untuk mendekat kepada mereka dengan kasih?

 

Saudara-saudari, hari ini, marilah kita memohon rahmat untuk dikejutkan setiap hari oleh karunia-karunia Allah dan melihat berbagai suasana kehidupan, bahkan yang paling sulit untuk diterima, sebagai kesempatan untuk berbuat baik, seperti yang dilakukan Yesus terhadap orang buta itu. Semoga Bunda Maria membantu kita dalam hal ini, bersama dengan Santo Yosef, orang yang tulus dan setia.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Kemarin di Ekuador, gempa bumi menyebabkan kematian, luka-luka dan kerusakan yang cukup parah. Saya dekat dengan rakyat Ekuador dan saya memastikan doa saya untuk orang-orang yang meninggal dan semua orang yang sedang menderita.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari banyak negara – saya melihat bendera Kolombia, Argentina, Polandia… banyak, banyak negara…. Saya menyapa umat dari Spanyol yang datang dari Murcia, Alicante dan Albacete.

 

Saya menyapa Paroki Santo Raymond Nonnato dan Paroki Para Martir Kanada Roma, dan Paroki Kristus Raja Civitanova Marche; Lembaga Kerjasama Salesian; anak laki-laki dan perempuan dari Arcore, calon penerima sakramen krisma dari Empoli dan umat dari Paroki Bunda Maria dari Rosario Roma. Saya menyapa kaum muda dari Maria Tak Bernoda, mereka hebat!

 

Senang sekali bisa menyapa para peserta Marathon Roma! Saya mengucapkan selamat kepadamu karena, didorong oleh “Atletik Vatikan” kamu sedang menjadikan acara olahraga yang penting ini sebagai kesempatan untuk bersetia kawan kepada kaum termiskin.

 

Dan hari ini, kita menyampaikan harapan terbaik untuk semua ayah! Semoga mereka menemukan dalam diri Santo Yosef teladan, dukungan dan penghiburan untuk menjalani kebapaan mereka dengan baik. Dan bersama-sama, untuk para ayah, marilah kita berdoa kepada Bapa.

 

Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga. Berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.

 

Saudara-saudari, marilah kita jangan lupa untuk mendoaan rakyat Ukraina yang terpukul, yang terus menderita akibat kejahatan perang.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Maret 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 15 Maret 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 7) - KONSILI VATIKAN II. 2. MENJADI PARA RASUL DALAM GEREJA APOSTOLIK

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Marilah kita melanjutkan katekese tentang hasrat penginjilan : tidak hanya tentang “menginjili”, hasrat untuk menginjili dan, di sekolah Konsili Vatikan II, hari ini marilah kita mencoba untuk lebih memahami apa artinya menjadi “rasul”. Kata “rasul” mengingatkan kita pada kelompok dua belas murid pilihan Yesus. Kadang-kadang kita menyebut beberapa orang kudus, atau lebih umum para uskup, sebagai "rasul" : mereka adalah rasul, karena mereka berangkat dalam nama Yesus. Tetapi apakah kita sadar bahwa menjadi rasul adalah urusan setiap umat Kristiani? Apakah kita sadar menjadi rasul menyangkut diri kita masing-masing? Memang, kita dituntut untuk menjadi rasul – yaitu utusan – dalam Gereja yang, dalam Syahadat, kita akui apostolik.

 

Jadi, apa artinya menjadi rasul? Menjadi rasul berarti diutus untuk sebuah perutusan. Peristiwa di mana Kristus yang bangkit mengutus para rasul-Nya ke dunia, menyampaikan kepada mereka kuasa yang Ia sendiri terima dari Bapa dan memberi mereka Roh-Nya, adalah teladan dan dasar. Kita membaca dalam Injil Yohanes : “Yesus berkata lagi kepada mereka, ‘Damai sejahtera bagi kamu. Sebagaimana Bapa telah mengutus Aku demikian pula Aku mengutus kamu’. Dan setelah berkata demikian, Ia menghembusi mereka dan berkata kepada mereka, 'Terimalah Roh Kudus'” (20:21-22).

 

Aspek dasariah lainnya dari menjadi seorang rasul adalah pekerjaan, yaitu panggilan. Demikianlah sejak awal, ketika Tuhan Yesus “memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya dan mereka pun datang kepada-Nya” (Mrk 3:13). Ia membentuk mereka sebagai sebuah kelompok, menyebut mereka "rasul", agar mereka dapat menyertai Dia dan diutus (bdk. Mrk 3:14; Mat 10:1-42). Santo Paulus, dalam surat-suratnya, menampilkan diri sebagai “Paulus, yang oleh kehendak Allah dipanggil menjadi rasul Kristus Yesus, yaitu utusan (1 Kor 1:1), dan sekali lagi, “Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul” (Rm 1:1). Dan ia menekankan fakta bahwa Paulus adalah “seorang rasul, bukan karena manusia, juga bukan oleh seorang manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah, Bapa, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati" (Gal 1:1). Allah telah memanggilnya sejak kandungan ibunya dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya untuk memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi" (bdk. Gal 1:15-16).

 

Pengalaman dua belas rasul dan kesaksian Paulus juga menantang kita hari ini. Mereka mengundang kita untuk menelaah sikap kita, menelaah pilihan kita, keputusan kita, berdasarkan poin-poin tetap ini : semuanya tergantung pada panggilan cuma-cuma dari Allah; Allah juga memilih kita untuk pelayanan yang terkadang tampak melebihi kemampuan kita atau tidak sesuai dengan harapan kita; panggilan yang diterima sebagai karunia cuma-cuma harus dijawab dengan cuma-cuma.

 

Konsili mengatakan : “panggilan kristiani menurut hakikatnya merupakan panggilan untuk merasul” (Dekrit Apostolicam Actuositatem [AA], 2). Panggilan Kristiani adalah panggilan yang bersifat umum, sama seperti “martabat para anggota karena kelahiran mereka kembali dalam Kristus; sama rahmat para putera; sama pula panggilan kepada kesempurnaan; satu keselamatan, satu harapan dan tak terbagilah cinta kasih” (Lumen Gentium, 32).

 

Panggilan kristiani adalah panggilan yang menyangkut baik kaum tertahbis, kaum hidup bakti, dan seluruh umat awam, pria atau wanita : panggilan kristiani adalah panggilan untuk semua. Kamu, harta yang telah kamu terima dengan panggilan Kristianimu, berkewajiban untuk memberikannya : panggilan kristiani adalah kodrat panggilan yang dinamis, kodrat hidup yang dinamis. Panggilan kristiani adalah panggilan yang memberdayakan mereka untuk secara aktif dan kreatif melakukan tugas kerasulan mereka, dalam Gereja di mana "terdapat keanekaan pelayanan, tetapi kesatuan perutusan. Para Rasul serta para pengganti mereka oleh Kristus diserahi tugas mengajar, menyucikan dan memimpin atas nama dan kuasa-Nya. Sedangkan kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap Umat Allah dalam Gereja dan di dunia" (AA, 2).

 

Dalam kerangka ini, apa yang dimaksud Konsili sehubungan kerjasama kaum awam dengan hierarki? Bagaimana maksudnya? Apakah ini sekadar adaptasi strategis terhadap situasi baru yang akan datang? Tidak sama sekali, tidak sama sekali: ada sesuatu yang lebih, yang melebihi kemungkinan saat ini dan yang mempertahankan nilainya bagi kita juga. Gereja seperti itu, didirikan dan apostolik.

 

Dalam kerangka kesatuan perutusan, keanekaragaman karisma dan pelayanan tidak boleh menimbulkan, dalam tubuh gerejawi, kategori tertentu : di sini tidak ada promosi, dan ketika Anda memahami kehidupan Kristiani sebagai promosi, yang berada di tampuk memerintah semua yang lain karena ia telah berhasil mendaki, ini bukan kekristenan. Inilah paganisme murni. Panggilan Kristiani bukanlah promosi, agar naik, tidak! Panggilan Kristiani adalah sesuatu yang lain. Panggilan Kristiani adalah hal yang luar biasa karena, meskipun atas kehendak Kristus beberapa berada dalam posisi penting, mungkin, para guru, “para pembagi misteri-misteri dan gembala bagi sesama, namun semua toh sungguh-sungguh sederajat martabatnya, sederajat pula kegiatan yang umum bagi semua orang beriman dalam membangun Tubuh Kristus” (LG, 32).

 

Masalah kesetaraan dalam martabat meminta kita untuk memikirkan kembali aspek-aspek hubungan kita, yang menentukan untuk penginjiln. Misalnya, apakah kita menyadari fakta bahwa dengan kata-kata kita dapat merusak martabat orang, sehingga merusak hubungan di dalam Gereja? Sementara kita mencoba berdialog dengan dunia, apakah kita juga tahu bagaimana berdialog di antara kita sebagai orang percaya? Atau di paroki, satu orang menentang yang lain, seseorang berbicara buruk tentang orang lain untuk naik lebih jauh? Apakah kita tahu bagaimana mendengarkan untuk memahami alasan orang lain, atau apakah kita memaksakan diri, bahkan mungkin dengan kata-kata yang menyenangkan? Mendengarkan, menjadi rendah hati, melayani orang lain : ini adalah melayani, ini adalah menjadi Kristiani, ini adalah seorang rasul.

 

Saudara-saudari terkasih, janganlah kita takut untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini. Marilah kita menghindari kesombongan, kesombongan kedudukan. Kata-kata ini dapat membantu kita untuk meneguhkan bagaimana kita menghayati panggilan pembaptisan kita, bagaimana kita menghayati cara kita menjadi rasul dalam Gereja apostolik, yang melayani sesama. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Swedia dan Amerika Serikat. Dengan harapan doa yang baik agar Masa Prapaskah ini menjadi masa rahmat dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu, saya memohonkan bagi kamu semua sukacita dan damai dalam Tuhan kita Yesus Kristus.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang hasrat misioner, kita sekarang membahas dimensi kerasulan dari penginjilan. Dalam Syahadat, kita mengakui bahwa Gereja bersifat “apostolik”. Seorang "rasul" secara harfiah adalah orang yang "diutus". Dalam Kitab Suci, kita membaca bahwa Yesus memilih kedua belas Rasul, memanggil mereka dan kemudian mengutus mereka untuk memberitakan Injil. Setelah kebangkitan-Nya, Ia menampakkan diri kepada kelompok Dua Belas dan berkata : "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu", mengembusi mereka dengan Roh Kudus untuk pengampunan dosa (Yoh 20:21-22). Dalam keanekaragaman pelayanan dan karisma dalam Tubuh Kristus, semua orang yang dibaptis dipanggil dan diutus untuk mengembangkan kerasulan Gereja. Kaum tertahbis telah menerima perutusan mengajar, memimpin dan menguduskan atas nama dan kuasa Yesus, tetapi semua anggota umat beriman, sebagai bagian dalam tugas imamat, kenabian dan rajawi Tuhan, dipanggil untuk menjadi murid misioner, “rasul dalam Gereja apostolik”. Semoga pengakuan atas martabat dan kesetaraan kita bersama mengilhami kita untuk semakin bersatu dan bekerjasama dalam mewartakan, melalui perkataan dan teladan, kabar baik tentang keselamatan kita dalam Kristus.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Maret 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 12 Maret 2023 : BERILAH AKU MINUM

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi, selamat hari Minggu!

 

Hari Minggu ini, Bacaan Injil menyajikan kepada kita salah satu perjumpaan Yesus yang paling indah dan mempesona – perjumpaan dengan perempuan Samaria (bdk. Yoh 4:5-42). Yesus dan murid-murid-Nya beristirahat di dekat sebuah sumur di Samaria. Seorang perempuan datang dan Yesus berkata kepadanya, “Berilah Aku minum” (ayat 8 ). Saya ingin berhenti sejenak pada ungkapan ini : Berilah Aku minum.

 

Adegan ini menggambarkan Yesus, haus dan lelah. Seorang perempuan Samaria mendapati-Nya pada siang bolong, di tengah hari, meminta penyegaran bagaikan seorang pengemis. Sebuah gambaran perendahan diri Allah. Allah merendahkan diri-Nya di dalam Yesus Kristus untuk menebus kita. Ia datang kepada kita. Di dalam Yesus, Allah menjadikan dirinya salah seorang dari kita, Ia merendahkan diri-Nya. Haus seperti kita, Ia mengalami kehausan sama seperti kita. Memikirkan adegan ini, kita masing-masing dapat berkata : Tuhan, Guru, “meminta minum dariku. Jadi, Ia haus sepertiku. Ia ambil bagian dalam rasa hausku. Engkau benar-benar dekat denganku, Tuhan! Engkau berhubungan dengan kemiskinanku". Tetapi aku tidak percaya! “Engkau telah mencengkeramku dari bawah, dari bagian terbawah diriku, di mana tak seorang pun menjangkauku” (P. Mazzolari, La Samaritana, Bologna 2022, 55-56). Dan Engkau datang kepadaku dari bawah dan Engkau telah menangkapku dari bawah karena Engkau sedang haus dan haus akan aku. Sesungguhnya, Yesus tidak hanya mengalami kehausan fisik. Kehausan fisik Yesus mengungkapkan kehausan terdalam dalam hidup kita, dan terutama, kehausan akan cinta kita. Ia lebih dari seorang pengemis. Ia “haus” akan cinta kita. Dan hal ini akan muncul pada saat puncak sengsara-Nya, di kayu salib, di mana, sebelum wafat, Yesus akan berkata: "Aku haus" (Yoh 19:28). Rasa haus akan cinta itu membawa-Nya turun, merendahkan diri-Nya, menghinakan diri-Nya, menjadi salah seorang dari kita.

 

Tuhan yang meminta minum justru memberi minum. Bertemu perempuan Samaria, Ia berbicara kepadanya tentang air hidup Roh Kudus. Dan dari kayu salib, darah dan air mengalir dari lambung-Nya yang tertikam (bdk. Yoh 19:34). Haus akan cinta, Yesus memuaskan rasa haus kita dengan cinta. Dan Ia melakukan terhadap kita apa yang Ia lakukan terhadap perempuan Samaria – Ia datang menemui kita dalam kehidupan kita sehari-hari, Ia ambil bagian dalam kehausan kita, Ia menjanjikan kita air hidup yang membuat kehidupan kekal memancar di dalam diri kita.

 

Berilah Aku minum. Ada aspek kedua. Kata-kata ini bukan hanya permintaan Yesus kepada perempuan Samaria, tetapi jeritan – kadang-kadang hening – yang menemui kita setiap hari dan meminta kita untuk memuaskan rasa haus sesama, peduli terhadap rasa haus sesama. Berapa banyak yang mengatakan 'berilah aku minum' kepada kita - dalam keluarga kita, di tempat kerja, di tempat lain kita menemukan diri kita sendiri. Mereka haus akan kedekatan, perhatian, telinga yang mendengarkan. Orang-orang mengatakannya yang haus akan Sabda Allah dan perlu menemukan oasis dalam Gereja tempat mereka mendapatkan minum. Berilah aku minum adalah jeritan yang terdengar dalam masyarakat kita, di mana hiruk pikuk kecepatan, terburu-buru untuk mengkonsumsi, dan terutama ketidakpedulian, budaya ketidakpedulian tersebut, menghasilkan kegersangan dan kekosongan batin. Dan – janganlah kita melupakan hal ini – ‘berilah aku minum’ adalah jeritan banyak saudara dan saudari yang kekurangan air untuk hidup, sementara rumah kita bersama terus tercemar dan rusak. Lelah dan kering, rumah kita bersama juga "haus".

 

Berhadapan dengan tantangan-tantangan ini, Bacaan Injil hari ini menawarkan air hidup kepada kita masing-masing yang dapat menjadi mata air yang menyegarkan bagi sesama. Maka, seperti perempuan Samaria yang meninggalkan tempayannya di sumur dan pergi memanggil orang-orang di desanya (bdk. ayat 28), kita juga tidak akan lagi hanya berpikir untuk memuaskan rasa haus kita, rasa haus materi kita, akal budi kita. atau rasa haus budaya, tetapi dengan bersukacita bertemu Tuhan, kita akan memuaskan rasa haus sesama, memberi makna pada kehidupan sesama, bukan sebagai tuan, tetapi sebagai hamba sabda Allah yang telah haus akan kita, yang terus menerus haus akan kita. Kita akan memahami rasa haus mereka dan ambil bagian dalam cinta yang telah Ia berikan kepada kita. Sebuah pertanyaan untuk saya dan kamu semua akan tiba : Apakah kita dapat memahami rasa haus sesama, rasa haus orang-orang, rasa haus yang dimiliki begitu banyak keluarga saya, di lingkungan saya? Hari ini, kita dapat bertanya pada diri kita : Apakah aku haus akan Tuhan? Apakah aku sadar bahwa aku membutuhkan cinta-Nya seperti air untuk kehidupan? Dan kemudian : aku yang haus, apakah aku peduli dengan rasa haus sesama, rasa haus rohani mereka, rasa haus material mereka?

 

Semoga Bunda Maria menjadi perantara bagi kita dan menopang kita di jalan.

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya menyapa kamu semua, anggota umat beriman dari Roma dan para peziarah dari berbagai negara, terutama mereka yang datang dari Madrid dan Spalato.

 

Saya menyapa kelompok paroki dari Padua, Caerano San Marco, Bagolino, Formia dan Sant'Ireneo Roma.

 

Jumat, 17 Maret, dan Sabtu, 18, prakarsa “24 Jam untuk Tuhan” akan diulangi di seluruh Gereja. Ini adalah waktu yang didedikasikan untuk doa, adorasi, dan Sakramen Rekonsiliasi. Pada hari Jumat sore, saya akan pergi ke sebuah paroki di Roma untuk Perayaan Tobat. Setahun yang lalu, dalam konteks ini, kami melakukan Tindakan Konsekrasi yang khidmat kepada Hati Maria yang Tak Bernoda, memohon karunia perdamaian. Tindakan mempercayakan kita tidak goyah, harapan kita goyah! Tuhan selalu mendengarkan doa-doa yang ditujukan umat-Nya kepada-Nya melalui perantaraan Bunda Perawan. Marilah kita tetap bersatu dalam iman dan kesetiakawanan dengan saudara-saudari kita yang menderita karena perang. Marilah kita terutama tidak melupakan rakyat Ukraina yang babak belur!

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Maret 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 8 Maret 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 6) - KONSILI VATIKAN II. 1. PENGINJILAN SEBAGAI PELAYANAN GEREJAWI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam katekese terakhir kita melihat bagaimana “konsili” pertama dalam sejarah Gereja – konsili, sebagaimana Konsili Vatikan II – konsili pertama, diadakan di Yerusalem untuk membahas persoalan yang terkait dengan penginjilan, yaitu pewartaan Kabar Baik. kepada orang-orang bukan Yahudi – dianggap bahwa Injil harus diberitakan hanya kepada orang-orang Yahudi. Pada abad ke-20, Konsili Ekumenis Vatikan II menampilkan Gereja sebagai peziarah Umat Allah dari waktu ke waktu, dan karena sifat misionernya (bdk. Dekrit Ad Gentes, 2). Apa artinya ini? Ada jembatan antara konsili pertama dan konsili terakhir, di bawah bendera penginjilan, jembatan yang arsiteknya adalah Roh Kudus. Hari ini kita mendengarkan Konsili Vatikan II untuk menemukan penginjilan selalu merupakan pelayanan gerejawi, tidak pernah tersendiri, tidak pernah terasing, tidak pernah individualistis. Penginjilan selalu dilakukan di dalam gereja, yaitu di dalam komunitas, dan tanpa penyebaran agama, karena penyebaran agama bukanlah penginjilan.

 

Memang, penginjil selalu menyampaikan apa yang telah ia terima. Santo Paulus adalah orang pertama yang menulis hal ini : Injil yang ia wartakan dan diterima komunitas, dan yang di dalamnya mereka teguh berdiri, adalah sama dengan yang ia terima (bdk. 1 Kor 15:1-3). Iman diterima dan disampaikan. Dinamisme penyampaian pesan gerejawi ini mengikat dan menjamin otentisitas pewartaan Kristiani. Paulus juga menulis kepada jemaat Galatia: “Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari surga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia” (1:8). Ini indah, dan ini bagus untuk banyak tampilan yang menjadi kebiasaan yang baik …

 

Akan tetapi, dimensi penginjilan gerejawi merupakan kriteria untuk meneguhkan semangat kerasulan. Sebuah penegasan diperlukan, karena godaan untuk melanjutkan “kesendirian” selalu mengintai, terutama saat jalan menjadi tidak dapat dilalui dan kita merasakan beban berkomitmen. Yang sama berbahayanya adalah godaan untuk mengikuti jalan semu-gerejawi yang lebih mudah, mengadopsi logika angka dan jajak pendapat duniawi, mengandalkan kekuatan gagasan, program, tatanan, "hubungan yang diperhitungkan". Hal ini tidak akan berhasil; hal ini seharusnya sedikit membantu tetapi hal dasariahnya adalah kekuatan yang diberikan Roh Kudus kepadau untuk mewartakan kebenaran Yesus Kristus, untuk mewartakan Injil. Hal-hal lain bersifat sekunder.

 

Sekarang, saudara-saudari, kita menempatkan diri semakin langsung di sekolah Konsili Vatikan II, membaca ulang beberapa bagian Dekrit Ad Gentes (AG), dokumen tentang kegiatan misioner Gereja. Teks Konsili Vatikan II ini sepenuhnya mempertahankan nilainya bahkan dalam konteks kita yang rumit dan plural.

 

Pertama-tama, dokumen ini, Ad Gentes, mengundang kita untuk memikirkan kasih Allah Bapa sebagai mata air, yang “karena kemurahan-Nya yang melimpah dan belas kasihan Bapa yang bebas menciptakan kita serta penuh kasih memanggil kita, untuk bersama dengan-Nya ikut menikmati kehidupan dan kemuliaan-Nya. Dengan murah hati Ia melimpahkan dan tiada hentinya mencurahkan kebaikan ilahi-Nya, sehingga Dia yang menciptakan segalanya, akhirnya menjadi 'semuanya dalam segalanya' (1Kor 15:28), dengan sekaligus mewujudkan kemuliaan-Nya dan kebahagiaan kita” (no. 2). Perikop ini mendasar, karena dikatakan bahwa kasih Bapa diperuntukkan bagi setiap manusia. Kasih Allah bukan hanya untuk sekelompok kecil orang, tidak… untuk semua orang. Ingatlah kata itu dengan teguh di dalam hati : setiap orang, setiap orang, tidak seorang pun dikecualikan: inilah yang dikatakan Tuhan. Dan kasih untuk setiap manusia inilah kasih yang menjangkau setiap pria dan wanita melalui perutusan Yesus, perantara keselamatan dan penebus kita (bdk. AG, 3), dan melalui perutusan Roh Kudus (bdk. AG, 4 ), yang – Roh Kudus – bekerja dalam diri setiap orang, baik yang dibaptis maupun yang tidak. Roh Kudus bekerja!

 

Konsili, selanjutnya mengingatkan kita bahwa tugas Gereja adalah melanjutkan perutusan Kristus, yang “diutus untuk mewartakan Injil kepada kaum miskin”; oleh karena itu, dokumen Ad Gentes melanjutkan, “Atas dorongan Roh Kristus Gereja harus menempuh jalan yang sama seperti yang dilalui oleh Kristus sendiri, yakni jalan kemiskinan, ketaatan, pengabdian dan pengorbanan diri sampai mati, dan dari kematian itu muncullah Ia melalui kebangkitan-Nya sebagai Pemenang” (AG, 5). Jika tetap setia pada “jalan” ini, perutusan Gereja “tidak lain dan tidak kurang dari pada penampakan rencana Allah atau epifania, serta pelaksanaannya di dunia dan dalam sejarahnya” (AG, 9).

 

Saudara-saudari, ulasan singkat ini juga membantu kita memahami makna gerejawi semangat kerasulan setiap murid-misionaris. Semangat kerasulan bukanlah antusiasme; semangat kerasulan adalah hal lain, semangat kerasulan adalah rahmat Allah, yang harus kita pelihara. Maknanya harus kita pahami, karena dalam peziarahan dan penginjilan Umat Allah tidak ada individu yang aktif maupun pasif. Tidak ada orang-orang yang berkhotbah, orang-orang yang mewartakan Injil dengan satu atau lain cara, dan mereka yang tetap diam. “Semua orang yang dibaptis”, kata Evangelii Gaudium, “apa pun kedudukan mereka di Gereja atau tingkat pendidikan mereka dalam iman, adalah pelaku-pelaku penginjilan” (Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 120). Apakah kamu orang Kristiani? “Ya, aku telah menerima Baptisan”. Dan apakah kamu menginjili?” "Tetapi apa artinya ini?" Jika kamu tidak menginjili, jika kamu tidak memberikan kesaksian, jika kamu tidak memberikan kesaksian tentang baptisan yang telah kamu terima, tentang iman yang diberikan Allah kepadamu, kamu bukan orang Kristiani yang baik. Berdasarkan baptisan yang diterima dan penggabungan dalam Gereja, setiap orang yang dibaptis mengambil bagian dalam perutusan Gereja dan, dalam hal ini, dalam perutusan Kristus Raja, Imam dan Nabi. Saudara-saudari, tugas ini “satu dan tetap sama, di mana pun juga dalam segala situasi, meskipun menurut kenyataan tidak dilaksanakan dengan cara yang sama” (AG, 6). Hal ini mengajak kita untuk tidak menjadi kaku atau membatu; hal ini menebus kita dari kegelisahan yang bukan berasal dari Allah. Semangat misioner umat beriman juga mengungkapkan dirinya sebagai pencarian kreatif akan cara-cara baru untuk mewartakan dan bersaksi, cara-cara baru untuk menjumpai umat manusia yang terluka yang ditanggung oleh Kristus. Singkatnya, tentang cara-cara baru dalam melayani Injil dan melayani umat manusia. Penginjilan adalah pelayanan. Jika seseorang mengatakan bahwa ia adalah seorang penginjil, dan tidak memiliki sikap itu, hati hamba itu, serta memercayai dirinya sebagai seorang tuan, ia bukanlah seorang penginjil, tidak… ia celaka.

 

Kembali ke sumber kasih Bapa serta perutusan Putra dan Roh Kudus tidak menutup kita dalam ruang ketenangan pribadi yang statis. Sebaliknya, kita dituntun untuk mengenali kemurahan hati karunia kepenuhan hidup yang merupakan panggilan kita, sebuah karunia Allah yang kita puji dan syukuri. Karunia ini bukan hanya untuk kita, tetapi untuk diberikan kepada sesama. Dan kita juga dituntun untuk menghayati semakin penuh apa yang telah kita terima, dengan membagikannya kepada sesama, dengan rasa tanggung jawab dan bepergian bersama di sepanjang jalan, yang seringkali merupakan sejarah yang berliku-liku dan sulit, dalam pengharapan yang waspada dan giat akan penggenapannya. Marilah kita memohon kepada Tuhan rahmat ini, untuk menerima panggilan Kristiani ini dan bersyukur kepada Tuhan atas apa yang telah Ia berikan kepada kita, harta ini. Dan mencoba menyampaikannya kepada sesama.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyampaikan sambutan hangat kepada para peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya para anggota Wilton Park Conference serta berbagai kelompok dari Inggris, Denmark, Swiss dan Amerika Serikat. Dengan doa saya mengharapkan agar Masa Prapaskah ini akan menjadi masa rahmat dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu, saya memohonkan bagi kamu semua sukacita dan damai dalam Tuhan kita Yesus Kristus.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese kita tentang semangat kerasulan, kita sekarang memikirkan aspek gerejani penginjilan. Pewartaan Injil bukan tugas individu-individu yang terasing, tetapi pelayanan komunal untuk iman kerasulan Gereja, yang harus diwariskan dalam keutuhannya kepada setiap generasi. Semangat untuk menyebarkan Injil tidak dapat dipisahkan dari dimensi gerejawi ini, yang melindungi pesan Kristiani dari bias dan akomodasi kepentingan duniawi serta cara berpikir. Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja menyatakan bahwa segenap penginjilan bersumber dari kasih Allah Bapa kita yang tak terhingga besarnya, yang dicurahkan ke dunia melalui perutusan Putra dan Roh Kudus, serta diteruskan dalam perutusan Gereja untuk mewartakan kasih yang menyelamatkan ini ke seluruh ujung bumi. Sebagai “murid misionaris”, semua orang yang dibaptis dipanggil untuk meneladani kasih Kristus yang rela berkorban dengan memberikan kesaksian yang kreatif serta meyakinkan akan kebenaran sabda dan kuasa pendamaian-Nya, tidak hanya untuk individu, tetapi untuk kehidupan segenap keluarga umat manusia kita.

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Maret 2022)