Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 27 Februari 2022 : MERENUNGKAN CARA KITA MEMANDANG DAN CARA KITA BERBICARA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam Bacaan Injil liturgi hari ini, Yesus mengajak kita untuk merenungkan cara kita memandang dan cara kita berbicara. Pandangan kita dan ucapan kita.

 

Pertama-tama, pandangan kita. Risiko yang kita hadapi, kata Tuhan, yakni kita berkonsentrasi untuk melihat selumbar di dalam mata saudara kita tanpa memperhatikan balok di dalam mata kita (bdk. Luk 6:41). Dengan kata lain, sangat memperhatikan kesalahan orang lain, bahkan bintik kecil, dengan tenang mengabaikan kesalahan kita, yang menurut kita tidak seberapa. Apa yang dikatakan Yesus benar adanya : kita selalu menemukan alasan untuk menyalahkan orang lain dan membenarkan diri kita. Dan sangat sering kita berkeluh kesah tentang hal-hal yang salah dalam masyarakat, dalam Gereja, dalam dunia, tanpa terlebih dahulu mempertanyakan diri kita dan tanpa terlebih dahulu berusaha untuk mengubah diri kita. Setiap perubahan yang bermanfaat dan positif harus dimulai dari diri kita sendiri. Jika tidak, tidak akan ada perubahan. Tetapi, Yesus menjelaskan, dengan melakukan hal ini, kita melihat secara membabi buta. Dan jika kita buta, kita tidak dapat mengaku sebagai penuntun dan guru bagi orang lain : memang, seorang buta tidak dapat menuntun orang buta lainnya, kata Tuhan (bdk. ayat 39).

 

Saudara-saudari terkasih, Tuhan mengundang kita untuk membersihkan pandangan kita. Untuk membersihkan pandangan kita. Ia pertama-tama meminta kita untuk melihat ke dalam diri kita guna mengenali kegagalan kita. Karena jika kita tidak mampu melihat kekurangan kita, kita akan selalu berkecenderungan untuk memperbesar kekurangan orang lain. Sebaliknya, jika kita mengakui kesalahan dan kekurangan kita, pintu belas kasihan terbuka untuk kita. Dan setelah melihat ke dalam diri kita, Yesus mengundang kita untuk melihat orang lain seperti yang dilakukan-Nya – inilah rahasianya, untuk melihat orang lain sebagaimana yang dilakukan-Nya – pertama-tama tidak melihat kejahatan, tetapi kebaikan. Allah memandang kita dengan cara ini : Ia tidak melihat kesalahan yang tidak dapat ditebus dalam diri kita, tetapi anak-anak yang membuat kesalahan. Sebuah perubahan dalam cara pandang : Ia tidak berkonsentrasi pada kesalahan, tetapi pada anak-anak yang melakukan kesalahan. Allah selalu mengenal orang dari kesalahannya. Ia selalu menyelamatkan orang. Ia selalu percaya pada orang dan selalu siap untuk mengampuni kesalahan. Kita tahu bahwa Allah selalu mengampuni. Dan Ia mengundang kita untuk melakukan hal yang sama : tidak mencari-cari kejahatan pada diri orang lain, tetapi kebaikan.

 

Setelah cara pandang kita, hari ini Yesus mengajak kita untuk merenungkan ucapan kita. Tuhan menjelaskan bahwa “yang diucapkan mulut, meluap dari hati” (ayat 45). Memang benar, dari cara seseorang berbicara, kamu bisa langsung mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Kata-kata yang kita gunakan menunjukkan siapa kita. Namun, kadang-kadang, kita jarang memperhatikan kata-kata kita dan kita menggunakannya secara dangkal. Tetapi kata-kata membawa beban : kata-kata memungkinkan kita untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, menyuarakan ketakutan yang kita miliki dan rencana yang ingin kita wujudkan, memuji Allah dan orang lain. Sayangnya, melalui bahasa kita juga dapat memberi makan prasangka, meningkatkan hambatan, menyakiti dan bahkan menghancurkan; kita bisa menghancurkan saudara kita dengan bahasa. Gosip menyakitkan dan fitnah bisa lebih tajam dari pisau! Saat ini, terutama di dunia digital, kata-kata menyebar dengan cepat; tetapi terlalu banyak dari mereka yang menyampaikan kemarahan dan serangan, memberi berita palsu dan memanfaatkan ketakutan bersama untuk menyebarkan gagasan yang menyimpang. Seorang diplomat, yang merupakan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan bahwa “'menyalahgunakan kata-kata berarti menghina manusia" (D. Hammarskjöld, Waymarks, Magnano BI 1992, 131).

 

Marilah kita bertanya pada diri kita jenis kata apa yang kita gunakan : kata-kata yang mengungkapkan kepedulian, rasa hormat, pengertian, kedekatan, kasih sayang, atau kata-kata yang bertujuan untuk membuat kita terlihat baik di depan orang lain? Dan kemudian, apakah kita berbicara dengan lembut atau apakah kita mencemari dunia dengan menyebarkan racun: mengkritik, mengeluh, memberi makan serangan yang meluas?

 

Semoga Bunda Maria, yang kerendahan hatinya telah dijaga Allah, Perawan keheningan yang kepadanya sekarang kita berdoa, membantu kita memurnikan pandangan dan ucapan kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Dalam beberapa hari terakhir kita telah diguncang oleh sesuatu yang tragis : perang. Berulang kali kita berdoa agar jalan ini tidak diambil. Dan janganlah kita berhenti berbicara; memang, marilah kita berdoa kepada Allah secara lebih intens. Karena alasan ini, saya memperbarui seluruh undangan untuk menjadikan 2 Maret, Hari Rabu Abu, hari doa dan puasa untuk perdamaian di Ukraina. Hari yang dekat dengan penderitaan rakyat Ukraina, merasakan kita semua adalah saudara dan saudari, serta memohon kepada Allah agar perang berakhir.

 

Mereka yang berperang melupakan kemanusiaan. Mereka tidak mulai dari rakyat, mereka tidak melihat kehidupan nyata rakyat, tetapi menempatkan kepentingan dan kekuasaan golongan di atas segalanya. Mereka percaya pada nalar senjata yang jahat dan sesat, yang paling jauh dari nalar Allah. Dan mereka menjauhkan diri dari rakyat jelata, yang menginginkan perdamaian, dan yang – rakyat jelata – adalah korban sesungguhnya dalam setiap pertikaian, yang membayar kebodohan perang dengan kulit mereka sendiri. Saya memikirkan orang tua, mereka yang mencari perlindungan di masa ini, ibu yang melarikan diri dengan anak-anak mereka… Mereka adalah saudara dan saudari yang mendesak untuk membuka koridor kemanusiaan, dan yang harus disambut. Dengan hati hancur oleh apa yang sedang terjadi di Ukraina – dan janganlah kita melupakan perang di belahan dunia lain, seperti Yaman, Suriah, Ethiopia... – Saya ulangi : letakkanlah senjatamu! Allah bersama para pembawa damai, bukan dengan mereka yang menggunakan kekerasan. Karena mereka yang mencintai perdamaian, sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Italia, “menolak perang sebagai sarana penyerangan terhadap kebebasan orang lain dan sebagai sarana untuk penyelesaian perselisihan internasional”.

 

Kemarin, imam Gaetano Giménez Martín dan lima belas martir rekannya, terbunuh di odium fidei selama penganiayaan agama tahun sembilan belas tiga puluhan di Spanyol, dinyatakan sebagai beato di Granada, Spanyol. Semoga kesaksian murid-murid Kristus yang heroik ini mengilhami setiap orang untuk berkeinginan melayani Injil dengan setia dan berani. Tepuk tangan meriah untuk para beato baru!

 

Secara khusus saya menyapa las niñas Quinceñeras dari Panama, para mahasiswa muda dari Keuskupan Porto, umat Mérida-Badajoz dan Madrid, Spanyol, umat dari Paris dan Polandia, kelompok dari Reggio Calabria, Sicilia dan unit pastoral Alta Langa, para penerima sakramen krisma dari Urgnano dan kaum muda dari Petosino, Keuskupan Bergamo.

 

Salam khusus untuk mereka yang datang pada kesempatan Hari Penyakit Langka, yang berlangsung besok. Saya mendorong berbagai perhimpunan orang sakit dan keluarganya, beserta para peneliti yang bekerja di bidang ini. Saya dekat denganmu! Dengan hangat saya menyapa orang-orang yang hadir di sini hari ini. Dan saya melihat banyak bendera Ukraina! [Dalam bahasa Ukraina] : Terpujilah Yesus Kristus!

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang, dan sampai jumpa!

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Februari 2022)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK MASA PRAPASKAH 2022

"Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang" (Gal 6:9-10)

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Masa Prapaskah adalah waktu yang baik untuk pembaruan pribadi dan komunitas, karena membawa kita kepada misteri Paskah wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Untuk menjalani Masa Prapaskah tahun 2022, ada baiknya kita merenungkan nasihat Santo Paulus kepada jemaat di Galatia : “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita (kairós), marilah kita berbuat baik kepada semua orang” (Gal 6:9-10).

 

1.       Menabur dan menuai

 

Dengan kata-kata ini, Rasul Paulus membangkitkan gambaran, yang sangat disayangi Yesus, tentang menabur dan menuai (bdk. Mat 13). Santo Paulus berbicara kepada kita tentang kairós : masih adanya kesempatan untuk menabur kebaikan mengingat tuaian kelak. Apa "masih ada kesempatan" bagi kita ini? Masa Prapaskah tentu saja merupakan masih adanya kesempatan, tetapi demikian pula seluruh keberadaan kita, yang dalam beberapa hal merupakan gambaran Masa Prapaskah.[1] Terlalu sering dalam hidup kita, keserakahan, kesombongan, dan keinginan untuk memiliki, mengumpulkan, dan menghabiskan lebih banyak, seperti kita lihat dalam kisah perumpamaan Injil tentang orang bodoh yang mengira hidupnya aman dan tenteram oleh karena ia telah menyimpan hasil tanahnya yang berlimpah-limpah dalam lumbungnya (bdk. Luk 12:16-21). Masa Prapaskah mengajak kita untuk bertobat, mengubah pola pikir, agar kebenaran dan indahnya kehidupan tidak ditemukan dalam memiliki tetapi dalam memberi, bukan dengan begitu banyak mengumpulkan melainkan dengan menabur dan berbagi kebaikan.

 

Yang pertama menabur adalah Allah sendiri, yang dengan kemurahan hati yang melimpah “terus menabur benih-benih kebaikan di antara umat manusia” (Fratelli Tutti, 54). Selama Masa Prapaskah kita dipanggil untuk menanggapi karunia Allah dengan menerima sabda-Nya, yang “ hidup dan kuat” (Ibr 4:12). Mendengarkan sabda Allah secara teratur membuat kita terbuka dan taat kepada karya-Nya (bdk. Yak 1:21) dan menghasilkan buah dalam kehidupan kita. Hal ini membawakan kita sukacita yang besar, bahkan justru, memanggil kita untuk menjadi kawan sekerja Allah (bdk. 1 Kor 3:9). Dengan mempergunakan waktu yang ada dengan baik (bdk. Ef 5:16), kita juga dapat menabur benih kebaikan. Panggilan untuk menabur kebaikan ini tidak harus dilihat sebagai beban tetapi rahmat, di mana Sang Pencipta menginginkan kita untuk secara aktif bersatu dengan kebaikan-Nya yang melimpah.

 

Bagaimana dengan tuaian? Bukankah kita menabur benih untuk menuai? Tentu saja! Santo Paulus menunjukkan hubungan yang erat antara menabur dan menuai ketika ia berkata, “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2Kor 9:6). Tetapi tuaian macam apa yang sedang kita bicarakan? Buah pertama kebaikan yang kita tabur muncul dalam diri kita dan kehidupan kita sehari-hari, bahkan dalam perbuatan kecil kebaikan kita. Di dalam Allah, perbuatan kasih, entah seberapa kecilnya, dan "upaya-upaya murah hati" tidak tanpa makna (bdk. Evangelii Gaudium, 279). Sama seperti kita mengenali pohon dari buahnya (bdk. Mat 7:16,20), demikian pula kehidupan yang penuh dengan perbuatan baik memancarkan terang (bdk. Mat 5:14-16) dan membawa bau yang harum dari Kristus ke dunia (bdk. 2Kor 2:15). Melayani Allah dalam kemerdekaan dari dosa beroleh buah pengudusan untuk keselamatan semua orang (bdk. Rm 6:22).

 

Sesungguhnya, kita hanya melihat sebagian kecil dari buah yang kita tabur, karena, menurut peribahasa Injil, “Yang seorang menabur dan yang lain menuai” (Yoh 4:37). Ketika kita menabur untuk kepentingan sesama, kita berbagi dalam kasih Allah yang sarat kebaikan : “Adalah sangat mulia untuk dapat memulai proses yang buahnya akan dipanen oleh orang lain, dengan menaruh harapan pada kekuatan rahasia yang hadir dalam kebaikan yang ditaburkan” (Fratelli Tutti, 196). Menabur kebaikan untuk kepentingan sesama membebaskan kita dari kepentingan pribadi yang dangkal, menanamkan perbuatan kita secara cuma-cuma, dan menjadikan kita bagian dari cakrawala luar biasanya rencana Allah yang sarat kebaikan.

 

Sabda Allah memperluas dan mengangkat visi kita : Sabda Allah memberitahu kita bahwa sesungguhnya tuaian itu eskatologis, tuaian hari terakhir kekal adanya. Buah matang dari kehidupan dan perbuatan kita adalah "buah untuk hidup yang kekal" (Yoh 4:36), "harta di surga" kita (Luk 12:33; 18:22). Yesus sendiri menggunakan gambaran benih yang mati di dalam tanah untuk menghasilkan buah sebagai lambang misteri wafat dan kebangkitan-Nya (bdk. Yoh 12:24); sementara Santo Paulus menggunakan gambaran yang sama untuk berbicara tentang kebangkitan tubuh kita : “Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah” (1 Kor 15:42-44). Pengharapan akan kebangkitan adalah terang besar yang dibawa Kristus yang bangkit ke dunia, karena “jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia. Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal” (1 Kor 15:19-20). Orang-orang yang secara erat bersatu dengan Dia dalam kasih "dengan apa yang sama dengan kematian-Nya" (Rm 6:5) juga akan dipersatukan dengan kebangkitan-Nya untuk hidup yang kekal (bdk. Yoh 5:29). “Pada waktu itulah orang-orang benar akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka” (Mat 13:43).

 

2.     “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik”

 

Kebangkitan Kristus menghidupkan harapan duniawi dengan "pengharapan besar" akan kehidupan kekal, menanam benih keselamatan di zaman kita sekarang (bdk. Benediktus XVI, Spe Salvi, 3; 7). Pahitnya kekecewaan atas mimpi-mimpi yang hancur, dalamnya keprihatinan terhadap tantangan-tantangan kelak dan keputusasaan karena kemiskinan sumber daya kita, dapat membuat kita tergoda untuk berupaya berlindung dalam keegoisan dan ketidakpedulian terhadap penderitaan sesama. Bahkan, sesungguhnya, sumber daya terbaik kita memiliki keterbatasan : “Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung” (Yes 40:30). Tetapi Allah “memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya … Orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah" (Yes 40:29, 31). Masa Prapaskah memanggil kita untuk menempatkan iman dan pengharapan kita kepada Tuhan (bdk. 1 Ptr 1:21), karena hanya jika kita mengarahkan pandangan kita tertuju pada Kristus yang bangkit (bdk. Ibr 12:2) barulah kita dapat menanggapi seruan Rasul Paulus, “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik” (Gal 6:9).

 

Janganlah kita jemu-jemu berdoa. Yesus mengajar kita untuk “selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu” (Luk 18:1). Kita perlu berdoa karena kita membutuhkan Allah. Berpikir bahwa kita tidak membutuhkan apa pun selain diri kita sendiri adalah khayalan yang berbahaya. Jika pandemi telah meningkatkan kesadaran akan kerapuhan pribadi dan sosial kita, semoga Masa Prapaskah ini memungkinkan kita untuk mengalami penghiburan yang diberikan berkat beriman kepada Allah, yang tanpanya kita tidak dapat berdiri teguh (bdk. Yes 7:9). Tidak ada seorang pun yang mencapai keselamatan sendirian, karena kita semua berada di perahu yang sama, di tengah badai sejarah;[2] dan tentu saja tidak ada yang mencapai keselamatan tanpa Allah, karena hanya misteri Paskah Yesus Kristus yang berkuasa atas perairan gelap maut. Iman tidak melepaskan kita dari beban dan kesengsaraan hidup, tetapi iman memungkinkan kita untuk menghadapinya dalam kesatuan dengan Allah di dalam Kristus, dengan pengharapan besar yang tidak mengecewakan, yang janjinya adalah kasih yang telah dicurahkan Allah di dalam hati kita melalui Roh Kudus (bdk. Rm 5:1-5).

 

Janganlah kita jemu-jemu mencerabut kejahatan dari kehidupan kita. Semoga puasa jasmani yang diserukan Masa Prapaskah kepada kita membentengi semangat kita untuk berperang melawan dosa. Janganlah kita jemu-jemu memohon pengampunan dalam Sakramen Tobat dan Rekonsiliasi, karena memahami Allah tidak pernah jemu-jemu mengampuni.[3] Janganlah kita jemu-jemu berjuang menentang hawa nafsu, kelemahan yang menyebabkan keegoisan dan segala kejahatan, serta yang dalam perjalanan sejarah menemukan berbagai cara untuk memikat manusia ke dalam dosa (bdk. Fratelli Tutti, 166). Salah satunya adalah kecanduan media digital, yang memiskinkan hubungan manusia. Masa Prapaskah adalah masih adanya kesempatan untuk menentang godaan-godaan ini dan sebagai gantinya memupuk bentuk komunikasi manusia yang semakin utuh (Fratelli Tutti, 43) yang berupa "perjumpaan nyata" (Fratelli Tutti, 50), tatap muka dan secara pribadi.

 

Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik dalam amal kasih yang aktif terhadap sesama kita. Selama Masa Prapaskah ini, semoga kita berderma dalam memberi dengan sukacita (bdk. 2Kor 9:7). Allah yang “menyediakan benih bagi penabur dan roti untuk dimakan” (2 Kor 9:10) memungkinkan kita masing-masing tidak hanya memiliki makanan untuk disantap, tetapi juga bermurah hati dalam berbuat baik kepada sesama. Selain meyakini bahwa kita harus menabur segenap kehidupan kita demi kebaikan, marilah kita mengambil manfaat khusus dari Masa Prapaskah ini untuk peduli terhadap orang-orang yang dekat dengan kita dan menjangkau saudara-saudari kita yang terluka di sepanjang jalan kehidupan (bdk. Luk 10:25-37). Masa Prapaskah adalah masih adanya kesempatan untuk mencari – dan bukan menghindari – orang-orang yang membutuhkan; menjangkau – dan bukan mengabaikan – orang-orang yang membutuhkan telinga yang simpatik dan kata-kata yang baik; mengunjungi – dan bukan meninggalkan – orang-orang yang kesepian. Marilah kita melaksanakan panggilan kita untuk berbuat baik kepada semua orang, dan meluangkan waktu untuk mengasihi orang-orang miskin dan membutuhkan, orang-orang yang ditinggalkan dan ditolak, orang-orang yang didiskriminasi dan terpinggirkan (bdk. Fratelli Tutti, 193).

 

3.      “Jika kita tidak menjadi lemah, kita akan menuai pada waktunya”

 

Setiap tahun selama Masa Prapaskah kita diingatkan bahwa “kebaikan, demikian juga kasih, keadilan, dan solidaritas, tidak dicapai sekali untuk selamanya; tetapi harus dimenangkan kembali setiap hari” (Fratelli Tutti, 11). Marilah kita memohon kepada Allah untuk memberi kita ketekunan petani yang sabar (bdk. Yak 5:7), dan bertekun dalam berbuat baik, selangkah demi selangkah. Jika kita jatuh, marilah kita ulurkan tangan kita kepada Bapa, yang senantiasa mengangkat kita. Jika kita tersesat, jika kita disesatkan oleh bujukan si jahat, janganlah kita ragu untuk kembali kepada Allah, yang “memberi pengampunan dengan limpahnya” (Yes 55:7). Dalam masa pertobatan ini, ditopang oleh rahmat Allah dan persekutuan Gereja, janganlah kita jemu-jemu berbuat baik. Tanah disiapkan dengan puasa, disirami dengan doa dan diperkaya dengan amal kasih. Marilah kita percaya teguh bahwa "jika kita tidak menjadi lemah, kita akan menuai pada waktunya" dan, dengan karunia ketekunan, kita akan memperoleh apa yang dijanjikan (bdk. Ibr 10:36), demi keselamatan kita dan keselamatan sesama kita (bdk. 1 Tim 4:16). Dengan membina kasih persaudaraan terhadap semua orang, kita dipersatukan dengan Kristus, yang memberikan nyawa-Nya demi kita (bdk. 2Kor 5:14-15), dan kita diberi kesempatan untuk mencicipi sukacita kerajaan surga, ketika Allah menjadi "semua di dalam semua" (1 Kor 15:28).

 

Semoga Perawan Maria, yang mengandung Sang Juruselamat di dalam rahimnya dan yang “menyimpan segala perkara di dalam hatinya” (Luk 2:19), memperolehkan bagi kita karunia kesabaran. Semoga ia menyertai kita dengan kehadiran keibuannya, sehingga masa pertobatan ini dapat menghasilkan buah keselamatan kekal.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 11 November, 2021, Peringatan Wajib Santo Martinus, Uskup.

 

FRANSISKUS

______

 

(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi dari https://www.vatican.va/content/francesco/en/messages/lent/documents/20211111-messaggio-quaresima2022.html – Bogor, 25 Februari 2022)



[1]Bdk. Santo Agustinus, Khotbah. 243, 9,8; 270, 3; Catatan dalam Mzm. 110, 1.

[2]Bdk. Momen Doa Luar Biasa yang dipimpin oleh Paus Fransiskus (27 Maret 2020).

[3]Bdk. Doa Malaikat Tuhan, 17 Maret 2013.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 23 Februari 2022 : KATEKESE TENTANG USIA TUA (BAGIAN 1) - MAKNA DAN NILAI USIA TUA

Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!

 

Kita telah menyelesaikan katekese tentang Santo Yosef. Hari ini kita memulai perjalanan katekese tentang makna dan nilai hari tua. Marilah kita merenungkan usia tua yang mengambil inspirasi dari Sabda Allah. Kini selama beberapa dekade, tahap kehidupan ini benar-benar mengkhawatirkan "orang baru", orang tua. Kita tidak pernah memiliki begitu banyak orang tua dalam sejarah manusiawi kita. Risiko dibuang bahkan lebih sering : tidak pernah kita memiliki orang tua sebanyak sekarang, dengan risiko dibuang. Orang tua sering dianggap sebagai 'beban'. Pada tahap pertama pandemi yang dramatis, merekalah yang membayar harga tertinggi. Mereka sudah menjadi kelompok yang paling lemah dan paling terabaikan : kita tidak terlalu memperhatikan mereka ketika mereka masih hidup, kita bahkan tidak melihat mereka meninggal. Saya juga menemukan Piagam tentang hak orang tua dan kewajiban masyarakat : piagam ini diredaksi oleh pemerintah, tidak diredaksi oleh Gereja, urusan sekuler : baik, menarik, untuk diketahui bahwa orang tua memiliki hak. Akan ada baiknya piagam tersebut dibaca.

 

Bersamaan dengan migrasi, usia tua merupakan salah satu masalah paling mendesak yang dihadapi keluarga manusia dewasa ini. Usia tua bukan hanya masalah perubahan kuantitatif; kesatuan tahap kehidupan dipertaruhkan : yaitu, titik acuan nyata untuk memahami dan menghargai kehidupan manusia seutuhnya. Kita bertanya pada diri kita sendiri : apakah ada persahabatan, apakah ada kerjasama di antara berbagai tahap kehidupan, atau apakah pemisahan dan pembuangan yang berkuasa?

 

Kita semua hidup di masa sekarang di mana anak-anak, orang muda, orang dewasa dan orang tua hidup berdampingan. Tetapi proporsinya telah berubah : umur panjang telah menjadi massa dan, di sebagian besar dunia, masa kanak-kanak disalurkan dalam takaran kecil. Kita berbicara tentang demografi musim dingin juga. Ketimpangan yang memiliki banyak konsekuensi. Budaya yang dominan memiliki sebagai satu-satunya model kaum dewasa muda, yaitu individu yang diciptakan sendiri yang selalu tetap muda. Namun benarkah masa muda mengandung makna kehidupan seutuhnya, sedangkan usia tua hanya mewakili kehampaan dan enyahnya makna kehidupan? Benarkah itu? Apakah hanya masa muda yang memiliki makna kehidupan sepenuhnya, dan usia tua adalah kehampaan kehidupan, enyahnya kehidupan? Pengagungan orang muda sebagai satu-satunya usia yang layak untuk mewujudkan cita-cita manusia, ditambah dengan pelecehan terhadap usia tua sebagai kelemahan, kerusakan, kecacatan, telah menjadi gambaran dominan totalitarianisme abad kedua puluh. Sudahkah kita melupakan hal ini?

 

Perpanjangan kehidupan memiliki dampak struktural pada sejarah individu, keluarga dan masyarakat. Tetapi kita harus bertanya pada diri kita : apakah kualitas spiritual dan rasa komunalnya selaras dengan fakta ini? Mungkinkah orang tua perlu meminta maaf atas kekeraskepalaan mereka dalam bertahan hidup dengan mengorbankan orang lain? Atau dapatkah mereka dihormati karena karunia yang mereka bawa kepada rasa kehidupan setiap orang? Faktanya, dalam penggambaran makna kehidupan - dan tepatnya dalam apa yang disebut budaya 'maju' - usia tua memiliki sedikit pengaruh. Mengapa? Karena dianggap sebagai usia yang tidak memiliki muatan tertentu yang ditawarkan, ataupun makna hidup. Terlebih ditambah kurangnya dorongan kepada masyarakat untuk mengusahakannya, dan kurangnya pendidikan kepada masyarakat untuk mengenalinya. Singkatnya, untuk zaman yang sekarang menjadi bagian yang menentukan dari ranah komunitas dan meluas hingga sepertiga dari seluruh rentang kehidupan, ada - kadang-kadang - rencana kepedulian, tetapi bukan rancangan keberadaan. Rencana kepedulian, ya; tetapi tidak berencana untuk menjalaninya sepenuhnya. Dan ini adalah kehampaan pemikiran, imajinasi, dan kreativitas. Di bawah pemikiran ini, yang membuat kehampaan yaitu orang tua, orang tua adalah bahan yang terbuang : dalam budaya membuang ini, orang tua seperti bahan yang terbuang.

 

Masa muda itu indah, tetapi masa muda yang abadi adalah khayalan yang sangat berbahaya. Menjadi tua sama pentingnya - dan cantik - sama pentingnya dengan menjadi muda. Marilah kita ingat hal ini. Persekutuan antargenerasi, yang memulihkan seluruh usia kehidupan kepada manusia, adalah karunia kita yang hilang dan kita harus mendapatkannya kembali. Karunia tersebut harus ditemukan, dalam budaya membuang dan dalam budaya produktivitas ini.

 

Sabda Allah memiliki banyak hal untuk dikatakan tentang perjanjian ini. Baru saja kita mendengar nubuat Yoel, nubuat yang mengawali Audiensi hari ini : "Orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan" (2:28). Nubuat itu dapat dimaknai sebagai berikut : ketika orang tua menentang Roh, mengubur impian mereka di masa lalu, orang muda tidak bisa lagi melihat hal-hal yang harus dilakukan untuk membuka masa depan. Sebaliknya, ketika orang tua menyampaikan impian mereka, orang muda melihat dengan jelas apa yang harus mereka lakukan. Orang muda yang tidak lagi mempertanyakan impian orang tua, yang membidik dengan cepat visi yang tidak melampaui hidung mereka, akan berjuang untuk membawa masa kini dan menanggung masa depan mereka. Jika kakek-nenek jatuh kembali pada melankolis mereka, orang muda akan lebih memandang gawai mereka. Layar mungkin tetap menyala, tetapi kehidupan akan mati sebelum waktunya. Bukankah reaksi paling serius dari pandemi justru hilangnya orang muda? Orang tua memiliki sumber kehidupan yang sudah dihayati yang dapat mereka panggil kapan saja. Akankah mereka berdiri dan menyaksikan orang muda kehilangan penglihatan mereka, atau akankah mereka menemani orang muda dengan menghangatkan impian mereka? Dihadapkan dengan impian orang tua, apa yang akan dilakukan orang muda?

 

Kebijaksanaan perjalanan panjang yang mengiringi usia tua hingga akhir harus dialami sebagai tawaran makna kehidupan, bukan dikonsumsi sebagai kelembaman kelangsungan hidupnya. Jika tidak dikembalikan ke martabat kehidupan yang layak secara manusiawi, usia tua ditakdirkan untuk menutup diri dalam keputusasaan yang merampas cinta setiap orang. Tantangan kemanusiaan dan peradaban ini membutuhkan komitmen kita dan pertolongan Allah. Marilah kita memohon kepada Roh Kudus. Dengan katekese tentang usia tua ini, saya ingin mendorong semua orang untuk menginvestasikan pikiran dan kasih sayang mereka dalam karunia yang dibawanya dan dalam tahap kehidupan lainnya. Usia tua adalah karunia untuk semua tahap kehidupan. Usia tua adalah karunia kedewasaan, karunia kebijaksanaan. Sabda Allah akan membantu kita membedakan makna dan nilai usia tua; semoga Roh Kudus juga memberi kita impian dan penglihatan yang kita butuhkan.

 

Dan saya ingin menekankan, seperti yang kita dengar dalam nubuat Yoel di awal, bahwa yang penting bukan hanya orang tua menempati tempat kebijaksanaan yang mereka miliki, sejarah yang hidup dalam masyarakat, tetapi juga ada percakapan, bahwa mereka berbicara dengan orang muda. Orang muda harus berbicara dengan orang tua, dan orang tua harus berbicara dengan orang muda. Dan jembatan ini akan menjadi penerusan kebijaksanaan dalam umat manusia. Semoga renungan ini bermanfaat bagi kita semua, untuk meneruskan kenyataan yang disabdakan nabi Yoel, bahwa dalam dialog antara orang tua dan orang muda, orang tua dapat memberikan impian serta orang muda dapat menerima dan membawanya ke depan. Janganlah kita lupa bahwa baik dalam keluarga maupun sosial budaya, orang tua seperti akar pohon : di sana mereka memiliki seluruh sejarah, serta orang muda seperti bunga dan buah. Jika sarinya tidak keluar, jika 'tetesan' ini - katakanlah - tidak berasal dari akarnya, mereka tidak akan pernah bisa berkembang. Marilah kita tidak melupakan puisi yang telah saya katakan berkali-kali : "Semua yang dimiliki pohon berasal dari apa yang telah dikuburnya" ("... apa yang dimiliki pohon, yang tumbuh subur, hidup dari apa yang telah dikuburnya", Francisco Luis Bernárdez). Segala yang indah yang dimiliki suatu masyarakat terkait dengan akar orang tua. Untuk itu, dalam katekese ini saya ingin mengangkat sosok orang tua, memahami betul bahwa orang tua bukanlah barang yang terbuang percuma : ia adalah berkat bagi masyarakat. Terima kasih.

________________________________________

 

[Sapaan Khusus]


Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok-kelompok dari Inggris, Irlandia dan Amerika Serikat. Atas kamu semua, dan keluargamu, dengan hormat saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

__________________________


[Seruan]

 

Hati saya sangat sakit melihat situasi yang memburuk di Ukraina. Terlepas dari upaya diplomatik beberapa minggu terakhir, skenario yang semakin mengkhawatirkan tersingkap. Seperti saya, banyak orang di seluruh dunia merasa sedih dan prihatin. Sekali lagi perdamaian semua orang terancam oleh kepentingan pihak-pihak tertentu. Saya ingin mengimbau mereka yang memiliki tanggung jawab politik untuk memeriksa hati nurani mereka dengan sungguh-sungguh di hadapan Allah, yang adalah Allah Sang Empunya damai dan bukan Allah Sang Empunya peperangan; yang adalah Bapa dari semua orang, bukan hanya beberapa orang, yang menginginkan kita menjadi saudara dan bukan musuh. Saya berdoa agar semua pihak yang terlibat menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat menyebabkan lebih banyak penderitaan bagi rakyat, mengacaukan hidup berdampingan antarnegara dan membawa hukum internasional ke dalam keburukan.

 

Dan sekarang saya ingin mengimbau kepada semua orang, baik orang percaya maupun orang tidak percaya. Yesus mengajarkan kita ketidakberperikemanusiaan kekerasan yang kejam dijawab dengan senjata Allah, dengan doa dan puasa. Saya mengundang semua orang untuk menjadikan 2 Maret mendatang, Hari Rabu Abu, sebagai Hari Puasa untuk Perdamaian. Saya khususnya mendorong orang percaya untuk mendedikasikan diri mereka secara intens untuk berdoa dan berpuasa pada hari itu. Semoga Sang Ratu Damai menjaga dunia dari kegilaan peperangan.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih : Hari ini dimulai serangkaian katekese mingguan baru tentang makna dan nilai usia tua, dilihat dalam terang sabda Allah. Peningkatan umur panjang telah menyebabkan meningkatnya jumlah orang tua di tengah-tengah kita, dan dengan demikian ada kebutuhan untuk merenungkan kembali hubungan antargenerasi. Masyarakat kita yang suka membuang sering mengagungkan orang muda dan bahkan mengabaikan orang tua sebagai beban yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dan menghargai kesuburan rohani yang dapat diberikan oleh masa kehidupan ini kepada orang tua itu sendiri, serta karunia yang dapat mereka berikan kepada komunitas di mana mereka menjadi bagian keseluruhannya. Dalam pengertian ini, kita perlu menemukan kembali “perjanjian” yang menyatukan generasi demi masa depan keluarga manusia kita. Nabi Yoel berbicara tentang saat ketika "orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan" (bdk. Yl 2:28). Di hari-hari pandemi ini, kita telah melihat sekali lagi betapa pentingnya menawarkan bimbingan, harapan, dan antusiasme yang bijak kepada orang muda saat mereka menatap masa depan. Saat kita memulai permenungan ini, marilah kita memohon Roh Kudus untuk membantu kita memahami dan menghargai sumbangsih besar yang dapat diberikan oleh orang tua demi masyarakat yang adil dan bersaudara.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 23 Februari 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 20 Februari 2022 : MEMBERIKAN PIPI YANG LAIN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam Bacaan Injil liturgi hari ini, Yesus memberikan kepada para murid-Nya beberapa pedoman dasar kehidupan. Tuhan mengacu pada situasi yang paling sulit, situasi yang menjadi ujian bagi kita, situasi yang menempatkan kita di depan orang-orang yang menjadi musuh dan seteru kita, orang-orang yang selalu berusaha untuk mencaci kita. Dalam perkara ini murid Yesus dipanggil untuk tidak takluk kepada naluri dan kebencian, tetapi melangkah lebih jauh, sangat jauh. Melampaui naluri, melampaui kebencian. Yesus berkata: "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu" (Luk 6:27). Dan yang lebih nyata : "Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain" (ayat 29).

 

Ketika kita mendengar hal ini, bagi kita, tampaknya Tuhan sedang meminta hal yang mustahil. Selain itu, mengapa mengasihi musuh? Jika kamu tidak bereaksi terhadap para perundung, setiap perundungan diberi lampu hijau, dan ini tidak adil. Tetapi benarkah demikian? Apakah Tuhan benar-benar meminta kepada kita hal-hal yang tidak mungkin, bahkan tidak adil? Apakah demikian?

 

Marilah kita perhatikan terlebih dahulu rasa ketidakadilan yang kita rasakan dalam "memberikan pipi yang lain". Dan marilah kita memikirkan Yesus. Selama sengsara-Nya, dalam persidangan-Nya yang tidak adil di hadapan imam besar, pada titik tertentu Ia menerima tamparan di wajah dari salah seorang serdadu. Dan bagaimana Ia berperilaku? Ia tidak menistanya, tidak, Ia berkata kepada serdadu : "Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?" (Yoh 18:23). Ia meminta pertanggungjawaban atas kejahatan yang diterima-Nya. Menampar pipi yang lain tidak berarti menderita dalam diam, takluk kepada ketidakadilan. Dengan pertanyaannya Yesus mencela apa yang tidak adil. Tetapi Ia melakukannya tanpa kemarahan, tanpa kekerasan, sungguh dengan kebaikan. Ia tidak ingin memicu pertengkaran, tetapi meredakan kebencian, ini penting : bersama-sama memadamkan kebencian dan ketidakadilan, berusaha memulihkan saudara yang bersalah. Ini tidak mudah, tetapi Yesus melakukannya dan Ia mengatakan kepada kita untuk berbuat demikian juga. Ini adalah memberikan pipi yang lain : Kelemahlembutan Yesus adalah tanggapan yang lebih kuat daripada tamparan yang diterima-Nya. Memberikan pipi yang lain bukanlah kemunduran bagi yang kalah, tetapi tindakan orang yang memiliki kekuatan batin yang lebih besar. Memberikan pipi yang lain berarti mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, yang membuka celah di hati musuh, memperlihatkan kemustahilan kebenciannya. Dan sikap ini, memberikan pipi yang lain, tidak didikte oleh perhitungan atau kebencian, tetapi oleh kasih.

 

Saudara-saudara yang terkasih, kasih yang cuma-cuma dan tidak layak yang kita terima dari Yesus menghasilkan di dalam hati cara untuk melakukan yang serupa dengan-Nya, yang menentang semua balas dendam. Kita terbiasa membalas dendam : "Kamu melakukan hal ini kepadaku, aku akan melakukannya kepadamu”, atau menyimpan dendam di hati kita, dendam yang merugikan, menghancurkan orang tersebut.

 

Kita sampai pada keberatan yang lain : mungkinkah seseorang mengasihi musuh-musuhnya? Jika terserah kita saja, mengasihi musuh tidak mungkin. Tetapi marilah kita ingat bahwa ketika Tuhan meminta sesuatu, Ia ingin memberikannya. Tuhan tidak pernah meminta kita untuk sesuatu yang tidak Ia berikan kepada kita terlebih dulu. Ketika Ia mengatakan kepadaku bahwa Ia mengasihi musuh, Ia ingin memberi aku kemampuan untuk melakukannya. Tanpa kemampuan itu kita tidak bisa, tetapi Ia mengatakan kepadaku bahwa "Ia mengasihi musuh" dan Ia memberi kamu kemampuan untuk mengasihi. Santo Agustinus berdoa seperti ini - dengarlah alangkah indahnya doa ini -: Tuhan, "berilah aku apa yang Engkau minta dan mintalah aku apa yang Engkau inginkan" (Pengakuan-Pengakuan, X, 29.40), karena Engkau memberikannya kepadaku terlebih dulu. Apa yang harus dimintakan kepada-Nya? Apakah Allah bahagia memberi kita? Kekuatan untuk mengasihi, bukan sesuatu hal, melainkan Roh Kudus. Kekuatan untuk mengasihi adalah Roh Kudus, dan dengan Roh Yesus kita dapat membalas kejahatan dengan kebaikan, kita dapat mengasihi orang-orang yang mencaci kita. Begitu juga umat Kristiani. Alangkah menyedihkan ketika orang-orang dan bangsa-bangsa yang bangga menjadi umat Kristiani memandang orang lain sebagai musuh dan berpikir untuk berperang! Ini sangat menyedihkan.

 

Dan kita, apakah kita berusaha untuk menghayati undangan Yesus? Marilah kita memikirkan seseorang yang telah mencaci kita. Semua orang memikirkan seseorang. Ketika kita telah dicaci seseorang, kita umumnya memikirkan orang itu. Mungkin ada dendam dalam diri kita. Jadi, di samping dendam ini kita menempatkan gambar Yesus, yang lemah lembut, selama persidangan, setelah Ia ditampar. Dan kemudian kita meminta Roh Kudus untuk bertindak di dalam hati kita. Akhirnya, marilah kita mendoakan orang itu : berdoalah bagi orang yang mencaci kamu" (bdk. Luk 6:28). Ketika orang-orang telah melakukan sesuatu yang buruk terhadap kita, kita segera pergi dan memberitahu orang lain dan kita merasa menjadi korban. Marilah kita berhenti, dan berdoa kepada Tuhan untuk orang itu, untuk membantunya, sehingga perasaan dendam ini hilang. Mendoakan orang-orang yang telah memperlakukan kita dengan buruk adalah hal pertama yang mengubah kejahatan menjadi kebaikan. Doa. Semoga Perawan Maria membantu kita menjadi pembawa damai terhadap semua orang, terutama terhadap orang-orang yang memusuhi kita dan tidak menyukai kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan penduduk yang dilanda bencana alam dalam beberapa hari terakhir, secara khusus saya sedang memikirkan tenggara Madagaskar, yang dilanda serangkaian topan, serta daerah Petropolis di Brasil, yang dihancurkan oleh banjir dan tanah longsor. Semoga Tuhan menyambut mereka yang meninggal dunia ke dalam damai-Nya, menghibur anggota keluarga dan mendukung mereka yang membantu.

 

Hari ini adalah Hari Tenaga Kesehatan Nasional dan kita harus mengingat banyak dokter, perawat dan sukarelawan, yang dekat dengan orang-orang sakit, merawat mereka, membuat mereka merasa lebih baik, membantu mereka. "Tidak ada yang menyelamatkan dirinya sendiri", demikian judul program "Dalam Citra-Nya". Tidak ada orang yang menyelamatkan dirinya sendiri. Dan dalam sakit kita membutuhkan seseorang untuk menyelamatkan kita, untuk membantu kita. Seorang dokter memberitahu saya pagi ini bahwa seseorang sedang mendekati ajal pada saat Covid dan mengatakan kepadanya : "Peganglah tanganku, aku sedang mendekati ajal dan aku membutuhkan tanganmu". Staf medis yang heroik, yang menunjukkan kepahlawanan di masa Covid ini, tetapi kepahlawanan itu tetap ada setiap hari. Untuk para dokter, perawat, sukarelawan, kita berikan tepuk tangan meriah dan terima kasih yang sebesar-besarnya!

 

Dengan hangat saya menyapa kamu semua, umat Roma serta para peziarah dari Italia dan dari berbagai negara.

 

Secara khusus, saya menyapa umat Madrid, Segovia, Burgos dan Valladolid, Spanyol - begitu banyak orang Spanyol! -; serta Paroki Santa Francesca Cabrini di Roma dan mahasiswa Institut Hati Kudus Barletta.

 

Saya menyapa dan mendorong kelompok “Progetto Arca”, yang beberapa hari ini meresmikan kegiatan sosialnya di Roma, untuk membantu para tunawisma. Dan saya menyapa anak-anak dari Yang Dikandung Tanpa Noda, sangat baik!

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu untuk semuanya. Jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat makan siang dan sampai jumpa.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 20 Februari 2022)