Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 31 Maret 2021 : TENTANG TRIHARI SUCI

 


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Sudah terbenam dalam suasana spiritual Pekan Suci, kita berada di malam Trihari Suci. Mulai besok hingga Minggu kita akan menjalani hari-hari pusat Tahun Liturgi, merayakan misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan. Dan kita menghidupkan misteri ini setiap kali kita merayakan Ekaristi. Ketika kita menghadiri Misa, kita tidak hanya hadir untuk berdoa, tidak : kita hadir untuk memperbaharui, mewujudkan kembali, misteri ini, misteri Paskah. Tidak melupakan hal ini adalah penting. Seolah-olah - sama saja - kita yang harus pergi ke Kalvari untuk memperbarui, menimbulkan kembali misteri Paskah.

 

Pada malam Kamis Putih, saat kita memasuki Trihari Suci, kita akan menghidupkan kembali Misa yang dikenal sebagai Perjamuan Tuhan, yaitu Misa di mana kita memperingati Perjamuan Terakhir, di sana, pada saat itu. Inilah malam ketika Kristus mewasiatkan kasih-Nya kepada murid-murid-Nya dalam Ekaristi, bukan sebagai peringatan, tetapi sebagai kenangan, sebagai kehadiran-Nya yang kekal. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, seperti yang saya katakan di awal, kita memperbarui misteri penebusan ini. Dalam Sakramen ini, Yesus menggantikan hewan kurban - domba Paskah - dengan diri-Nya sendiri : Tubuh dan Darah-Nya memberi kita keselamatan dari perbudakan dosa dan maut. Keselamatan dari setiap bentuk perbudakan ada di sana. Malam di mana Ia meminta kita untuk saling mengasihi dengan menjadi hamba satu sama lain, seperti yang dilakukan-Nya dengan membasuh kaki para murid-Nya, sebuah tindakan yang mengantisipasi persembahan-Nya yang berdarah di kayu salib. Dan memang, Sang Guru dan Tuhan akan wafat keesokan harinya untuk menyucikan bukan kaki, tetapi hati dan seluruh hidup murid-murid-Nya. Tindakan tersebut merupakan persembahan pelayanan kepada kita semua, karena dengan pelayanan dari pengorbanan-Nya Ia menebus kita semua.

 

Jumat Agung adalah hari penebusan dosa, puasa dan doa. Melalui teks Kitab Suci dan doa liturgi, kita akan berkumpul seolah-olah kita berada di Kalvari untuk memperingati sengsara dan wafat penebusan Yesus Kristus. Dalam intensitas ritus, melalui tindakan liturgi, Salib akan dihadirkan kepada kita untuk dihormati. Menghormati Salib, kita akan menghidupkan kembali perjalanan Sang Anak Domba yang tidak bersalah yang dikorbankan untuk keselamatan kita. Kita akan membawa dalam pikiran dan hati kita penderitaan orang-orang sakit, orang-orang miskin, orang-orang yang ditolak dunia ini; kita akan mengenang "domba-domba yang dikorbankan", para korban perang yang tidak bersalah, kediktatoran, kekerasan sehari-hari, pengguguran kandungan ... Di hadapan gambar Allah yang disalibkan, kita akan membawa, dalam doa, banyak orang, begitu banyak orang yang disalibkan dalam masa kita, yang hanya daripada-Nya dapat menerima penghiburan dan makna penderitaan mereka. Dan saat ini ada banyak : jangan melupakan orang-orang yang disalibkan di zaman kita, yang adalah rupa Yesus yang tersalib, dan Yesus ada di dalam diri mereka.

 

Semenjak Yesus memikul atas diri-Nya bilur-bilur umat manusia dan kematiannya, kasih Allah telah mengairi padang gurun diri kita ini, Ia telah menerangi kegelapan kita. Karena dunia berada dalam kegelapan. Marilah kita buat daftar seluruh perang yang sedang terjadi saat ini; daftar seluruh anak yang mati kelaparan; daftar anak-anak yang tidak memiliki pendidikan; daftar seluruh penduduk yang dihancurkan oleh perang, oleh terorisme. Dari sekian banyak, banyak orang yang, hanya untuk merasakan sedikit lebih baik, membutuhkan obat-obatan, industri obat-obatan yang membunuh… Sebuah bencana, sebuah padang gurun! Ada "kepulauan" kecil umat Allah, baik Kristiani maupun seluruh keyakinan lain, yang menyimpan dalam hati mereka keinginan untuk menjadi lebih baik. Tetapi marilah kita mengatakan yang sebenarnya : di Kalvari maut ini, Yesuslah yang menderita dalam diri murid-murid-Nya. Selama pelayanan-Nya, Sang Putra Allah menyebarluaskan kehidupan dengan mengenggam, menyembuhkan, mengampuni, menghidupkan ... Sekarang, pada saat puncak pengorbanan-Nya di kayu salib, Ia melaksanakan tugas yang dipercayakan kepada-Nya oleh Bapa : Ia masuk ke dalam jurang penderitaan, Ia masuk ke dalam bencana dunia ini, menebus dan mengubah rupa. Dan juga membebaskan kita masing-masing dari kuasa kegelapan, kesombongan, perlawanan untuk dikasihi oleh Allah. Dan hal ini, hanya kasih Allah yang bisa melakukan hal ini. Oleh bilur-bilur-Nya kita telah sembuh (bdk 1 Ptr 2:24), rasul Petrus berkata, melalui wafat-Nya kita telah dilahirkan kembali, kita semua. Dan berkat Dia, yang ditinggalkan di kayu salib, tak seorang pun akan sendirian lagi dalam kegelapan maut. Tidak pernah, Ia senantiasa berada di samping kita : kita hanya perlu membuka hati dan memperkenankan diri kita dipandang oleh-Nya.

 

Sabtu Suci adalah hari keheningan, yang dihayati oleh murid-murid pertama dalam duka dan kebingungan, dikejutkan oleh wafat Yesus yang hina. Sementara Sang Sabda membisu, sementara Sang Kehidupan berada di dalam kubur, orang-orang yang berharap di dalam Dia dicobai dengan ujian yang sulit, mereka merasa seperti yatim piatu, bahkan mungkin diyatimpiatukan oleh Allah. Hari Sabtu ini juga merupakan hari Maria : ia juga menjalaninya dengan air mata, tetapi hatinya penuh dengan iman, penuh harapan, penuh kasih. Bunda Yesus telah mengikuti Putranya di sepanjang jalan kesedihan dan tetap berada di kaki salib, dengan jiwanya yang tertikam. Tetapi ketika semuanya sudah berakhir, ia terus berjaga, ia tetap waspada, berharap, mempertahankan harapannya di dalam janji Allah yang membangkitkan orang-orang mati. Jadi, di saat-saat tergelap dunia, ia menjadi Bunda orang-orang percaya, Bunda Gereja dan tanda harapan. Kesaksiannya dan perantaraannya menopang kita ketika beban salib menjadi terlalu berat bagi kita masing-masing.

 

Dalam kegelapan Sabtu Suci, sukacita dan terang akan menerobos dengan ritus Malam Paskah dan, di larut malam, nyanyian meriah Aleluya. Kegelapan Sabtu Suci akan menjadi perjumpaan dalam iman dengan Kristus yang bangkit, dan sukacita Paskah akan berlanjut selama lima puluh hari, sampai kedatangan Roh Kudus. Yesus yang disalibkan telah bangkit! Seluruh pertanyaan dan ketidakpastian, keragu-raguan dan ketakutan disingkirkan oleh pewahyuan ini. Yesus yang bangkit memberi kita kepastian bahwa kebaikan selalu menang atas kejahatan, bahwa kehidupan selalu mengalahkan maut, dan bukanlah tujuan kita untuk semakin turun merendah, dari duka menuju duka, melainkan melambung tinggi. Yesus yang bangkit adalah peneguhan bahwa Yesus benar dalam segala hal : dalam menjanjikan kita kehidupan setelah kematian dan pengampunan mengatasi dosa. Para murid ragu, mereka tidak percaya. Orang yang pertama percaya dan melihat adalah Maria Magdalena; ia adalah rasul kebangkitan yang pergi untuk memberitakan bahwa ia telah melihat Yesus, yang telah memanggil namanya. Dan kemudian, semua murid melihat-Nya. Tetapi, saya ingin berhenti sejenak pada titik ini : para penjaga, para serdadu, yang berada di dalam kubur untuk mencegah para murid datang dan mengambil jasad-Nya, mereka melihat-Nya; mereka melihat-Nya hidup dan bangkit. Musuh-musuh-Nya melihat-Nya, lalu mereka berpura-pura tidak melihat-Nya. Mengapa? Karena mereka dibayar. Di sinilah misteri yang sesungguhnya dari apa yang pernah dikatakan Yesus : “Ada dua tuan di dunia ini, dua, tidak lebih : dua. Allah dan uang. Barangsiapa mengabdi uang tidak mengindahkan Allah”. Dan di sinilah uang mengubah kenyataan. Mereka telah melihat keajaiban kebangkitan, tetapi mereka dibayar untuk tetap diam. Pikirkanlah berkali-kali bahwa umat Kristiani telah dibayar untuk tidak mengakui kebangkitan Kristus dalam pengamalan, dan tidak melakukan apa yang diminta Kristus untuk kita lakukan, sebagai umat Kristiani.

 

Saudara-saudari yang terkasih, kembali tahun ini kita akan menjalani perayaan Paskah dalam konteks pandemi. Dalam banyak situasi penderitaan, terutama ketika mereka ditanggung oleh bangsa, keluarga dan penduduk yang sudah dilanda kemiskinan, bencana atau pertikaian, Salib Kristus bagaikan mercusuar yang menunjukkan pelabuhan kepada kapal-kapal yang masih berlayar di lautan badai. Salib Kristus adalah tanda harapan yang tidak mengecewakan; dan salib Kristus memberitahu kita bahwa tidak ada satu pun air mata, tidak satu pun helaan nafas yang hilang dalam rencana Allah. Marilah kita memohon kepada Tuhan untuk menganugerahi kita rahmat melayani dan mengakui-Nya, serta tidak memperkenankan diri kita dibayar untuk melupakan-Nya.

 

[Sapaan khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat yang berbahasa Inggris. Semoga Pekan Suci ini menuntun kita untuk merayakan kebangkitan Tuhan Yesus dengan hati yang dimurnikan dan diperbarui oleh anugerah Roh Kudus. Tuhan memberkati kalian!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih, besok, kita mengawali Trihari Suci dan perayaan misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus yang menyelamatkan. Pada Kamis Putih, dalam Misa Perjamuan Tuhan, kita memperingati Kristus membasuh kaki murid-murid-Nya, perintah kasih-Nya yang baru, dan pelembagaan Ekaristi oleh-Nya sebagai peringatan kekal pengorbanan tubuh dan darah-Nya demi keselamatan semua orang. Pada hari Jumat Agung, kita merayakan penderitaan dan wafat penebusan Yesus melalui pembacaan khidmat Kisah Sengsara, doa sejagat yang dipersembahkan untuk kebutuhan Gereja dan dunia, dan penghormatan salib. Dengan cara ini, kita membawa saudara-saudari kita yang sedang menderita ke hadapan Tuhan yang tersalib, dan seluruh korban perang, kekerasan dan ketidakadilan. Pada Sabtu Suci, hari keheningan yang mendalam, kita bergabung dengan Maria dalam dukacitanya atas wafat Putranya, dan pengharapannya yang penuh kepercayaan akan pemenuhan janji Allah. Pada Malam Paskah, cahaya lilin Paskah dan nyanyian Aleluya yang khidmat dengan penuh sukacita mengumandangkan kemenangan Kristus atas dosa dan maut. Di masa pandemi ini, semoga perayaan misteri Paskah kita mewartakan salib Kristus sebagai terang yang bersinar dalam kegelapan dan tanda harapan yang kekal dalam janji Allah akan kehidupan baru.

___


(Peter Suriadi - Bogor, 31 Maret 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 28 Maret 2021


Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Kita telah memulai Pekan Suci. Untuk kedua kalinya kita akan menjalaninya dalam konteks pandemi. Tahun lalu kita lebih terguncang; tahun ini kita lebih berusaha. Dan krisis ekonomi semakin parah.

 

Dalam situasi sejarah dan sosial ini, apa yang sedang dilakukan Allah? Ia memikul salib. Yesus memikul salib, yaitu, Ia mengambil kejahatan yang ditimbulkan oleh situasi ini, kejahatan fisik dan psikologis - dan terutama kejahatan spiritual - karena Si Jahat mengambil keuntungan dari krisis untuk menyebarkan ketidakpercayaan, keputusasaan, dan perselisihan.

 

Dan kita? Apa yang seharusnya kita lakukan? Yang menunjukkan kepada kita adalah Perawan Maria, Bunda Yesus, yang juga murid-Nya yang pertama. Ia mengikuti Putranya. Ia memikul ke atas dirinya bagian dari penderitaan, kegelapan, kebingungan, dan ia menempuh jalan sengsara dengan menjaga pelita iman tetap menyala di dalam hatinya. Dengan rahmat Allah, kita juga bisa melakukan perjalanan tersebut. Dan, di sepanjang jalan salib sehari-hari, kita bertemu wajah begitu banyak saudara dan saudari yang berada dalam kesulitan : janganlah kita lewat, perkenankan hati kita digerakkan oleh rasa iba, dan marilah kita mendekat. Ketika itu terjadi, seperti Kirenius, kita mungkin berpikir : "Mengapa aku?" Tetapi kemudian kita akan menemukan karunia yang, tanpa jasa kita, telah menjamah kita.

 

Marilah kita mendoakan seluruh korban kekerasan, khususnya korban penyerangan pagi ini di Indonesia, di depan Katedral Makassar.

 

Semoga Bunda Maria yang selalu mendahului kita di jalan iman membantu kita.

___


(Peter Suriadi - Bogor, 28 Maret 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 24 Maret 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 26)


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini katekese didedikasikan untuk doa dalam persekutuan dengan Maria. Katekese ini terjadi tepat pada Vigili Hari Raya Kabar Sukacita. Kita tahu bahwa jalur utama doa Kristiani adalah kemanusiaan Yesus. Kenyataannya, keyakinan khas doa Kristiani tidak akan berarti jika Sabda tidak menjelma, memberikan kita hubungan bakti-Nya dengan Bapa dalam Roh. Dalam Kitab Suci, kita mendengar tentang para murid, para perempuan saleh dan Maria yang berkumpul untuk berdoa setelah Kenaikan Yesus. Jemaat Kristen perdana sedang menantikan karunia Yesus, janji Yesus.

 

Kristus adalah Pengantara, Kristus adalah jembatan yang kita seberangi untuk berpaling kepada Bapa (lihat Katekismus Gereja Katolik, 2674). Ia adalah satu-satunya Penebus : tidak ada penebus lain selain Kristus. Ia satu-satunya. Ia adalah Pengantara yang tiada duanya. Ia adalah Pengantara. Setiap doa yang kita lambungkan kepada Allah adalah melalui Kristus, bersama Kristus dan di dalam Kristus serta tergenapi berkat pengantaraan-Nya. Roh Kudus memperluas pengantaraan Kristus melalui setiap waktu dan setiap tempat : tidak ada nama lain yang dengannya kita dapat diselamatkan : Yesus Kristus, satu-satunya Pengantara antara Allah dan umat manusia (lihat Kis 4:12).

 

Karena pengantaraan Kristus yang satu, acuan lain yang ditemukan umat Kristiani untuk menjadikan doa dan devosi mereka bermakna, pertama-tama adalah Perawan Maria, Bunda Yesus.

 

Ia mendapat tempat istimewa dalam kehidupan umat Kristiani, dan oleh karena itu, dalam doa mereka juga, karena ia adalah Bunda Yesus. Gereja-gereja Timur sering menggambarkannya sebagai Hodegetria, orang yang "menunjukkan jalan"; dan jalan tersebut adalah Putranya, Yesus Kristus. Lukisan Hodegetria yang indah dan kuno di Katedral Bari muncul di benak saya. Lukisan tersebut sederhana. Madonna yang menunjukkan Yesus telanjang; kemudian mereka memakaikan sebuah baju pada-Nya untuk menutupi ketelanjangan-Nya, tetapi sebenarnya Yesus telanjang, Ia sendirian, manusia, lahir dari Maria, adalah Pengantara. Dan Maria menunjukkan Sang Pengantara : Maria adalah Hodegetria. Kehadirannya ada di mana-mana dalam ikonografi Kristiani, terkadang sangat kasat mata, tetapi selalu dalam hubungannya dengan Putranya dan dalam hubungannya dengan-Nya. Tangannya, matanya, perilakunya adalah "katekismus" yang hidup, selalu menunjukkan sendinya, ia selalu menunjukkan pusatnya : Yesus. Maria sepenuhnya terarah kepada-Nya (lihat KGK, 2674) sedemikian rupa sehingga kita dapat mengatakan bahwa ia lebih menyerupai murid ketimbang Ibu. Petunjuk yang diberikannya pada pesta perkawinan di Kana : “Yesus : Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu”. Ia selalu mengacu pada Kristus. Ia adalah murid yang pertama.

 

Inilah peran yang dilaksanakan Maria sepanjang hidupnya di dunia dan yang dipertahankannya selama-lamanya : menjadi hamba Tuhan yang rendah hati, tidak lebih. Pada titik tertentu dalam Injil ia agak menghilang; tetapi kemudian ia muncul kembali di saat-saat yang lebih genting, seperti di Kana, ketika Putranya, berkat campur tangannya yang penuh perhatian, melakukan "tanda"-Nya yang pertama (lihat Yoh 2:1-12), dan kemudian di Golgota di kaki salib.

 

Yesus memperluas keibuan Maria kepada seluruh Gereja ketika Ia mempercayakannya kepada murid-Nya yang terkasih tidak lama sebelum wafat-Nya di kayu salib. Sejak saat itu, kita semua telah berkumpul di bawah mantelnya, seperti yang digambarkan dalam lukisan dinding atau lukisan tertentu pada abad pertengahan. Bahkan antifon Latin pertama - sub tuum praesidium confugimus, sancta Dei Genitrix : Madonna yang 'melingkupi', bagaikan seorang Ibu, yang dipercayakan Yesus kepada kita, kita semua; tetapi sebagai Ibu, bukan sebagai dewi, bukan sebagai sesama penebus : sebagai Ibu. Memang benar bahwa kesalehan Kristiani selalu memberinya berbagai gelar yang indah, bagaikan pemberian seorang anak kepada ibunya : betapa banyak hal indah yang dikatakan anak-anak tentang ibu mereka yang sangat mereka kasihi! Betapa banyak hal yang indah. Tetapi kita perlu berhati-hati : hal-hal yang dikatakan Gereja, para kudus, tentang dia, hal-hal yang indah, tentang Maria, tidak mengurangi apa pun dari penebusan tunggal Kristus. Ia adalah satu-satunya Penebus. Hal-hal tersebut adalah ungkapan kasih bagaikan seorang anak kecil kepada ibunya - beberapa ungkapan dilebih-lebihkan. Tetapi kasih, seperti kita ketahui, selalu membuat kita melebih-lebihkan sesuatu, tetapi demi kasih.

 

Maka, kita mulai berdoa kepadanya dengan menggunakan beberapa ungkapan yang ada dalam Injil yang ditujukan kepadanya : “penuh rahmat”, “Terpujilah engkau di antara wanita” (lihat KGK, 2676f). Disepakati oleh Konsili Efesus, gelar "Theotokos", "Bunda Allah", segera ditambahkan ke dalam doa Salam Maria. Dan, sejalan dengan Bapa Kami, setelah pujian kita menambahkan permohonan : kita memohon agar Maria mendoakan kita orang-orang berdosa, agar ia sudi menjadi perantara dengan kelembutannya, "kini dan pada waktu kami mati". Kini, dalam situasi kehidupan nyata, dan di saat terakhir, agar ia sudi menyertai kita - sebagai Ibu, sebagai murid yang pertama - dalam perjalanan kita menuju kehidupan kekal.

 

Maria selalu hadir di samping tempat tidur anak-anaknya saat mereka meninggalkan dunia ini. Jika seseorang sendirian dan ditinggalkan, ia adalah Ibu, ia berada di sana, dekat, seperti ia berada di samping Putranya ketika semua orang meninggalkan-Nya.

 

Maria ada dan hadir di hari-hari pandemi ini, dekat dengan orang-orang yang, sayangnya, telah menyelesaikan perjalanan duniawi mereka sendirian, tanpa kenyamanan atau kedekatan dengan orang-orang yang mereka kasihi. Maria selalu berada di samping kita, dengan kelembutan keibuannya.

 

Doa yang diucapkan kepadanya tidak sia-sia. Perempuan yang mengatakan "ya", yang langsung menyambut ajakan Malaikat, juga menanggapi permohonan kita, ia mendengarkan suara kita, bahkan yang bersemayam di dalam hati ketika kita tidak memiliki kekuatan untuk mengucapkannya di mana Allah lebih mengetahui apa yang kita lakukan. Ia mendengarkan sebagai Ibu. Sama seperti dan melebihi setiap ibu yang baik, Maria melindungi kita dari marabahaya, ia memperhatikan kita bahkan ketika kita berkonsentrasi pada urusan kita sendiri dan kehilangan kesadaran, dan ketika kita tidak hanya membahayakan kesehatan kita, tetapi juga keselamatan kita. Maria ada di sana, mendoakan kita, mendoakan mereka yang tidak sanggup berdoa. Berdoa bersama-sama kita. Mengapa? Karena ia adalah Bunda kita.

 

[Sapaan khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat yang berbahasa Inggris. Semoga perjalanan Prapaskah kita membawa kita pada sukacita Paskah dengan hati yang dimurnikan dan diperbarui oleh rahmat Roh Kudus. Atas kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Tuhan memberkati kalian!

 

[Seruan]

 

Dengan sedih saya mempelajari berita tentang serangan teroris baru-baru ini di Niger, yang menyebabkan kematian 137 orang. Marilah kita mendoakan para korban, keluarga mereka dan seluruh penduduk agar kekerasan yang diderita tidak menyebabkan mereka kehilangan kepercayaan terhadap jalan demokrasi, keadilan dan perdamaian.

 

Dalam beberapa hari terakhir, banjir besar telah menyebabkan kerusakan serius di New South Wales, Australia. Saya dekat dengan orang-orang dan keluarga yang terkena dampak bencana ini, terutama mereka yang melihat rumahnya hancur. Saya memberikan dorongan kepada mereka yang sedang melakukan segala kemungkinan untuk mencari orang-orang yang hilang dan membawa bantuan.

 

Hari ini adalah Hari Tuberkulosis Sedunia. Semoga acara tahunan ini menumbuhkan minat baru dalam pengobatan penyakit ini dan meningkatkan kesetiakawanan terhadap orang-orang yang mengidapnya. Atas mereka dan keluarga mereka, saya memohonkan penghiburan Tuhan.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang doa, sekarang kita membahas kedudukan Santa Perawan Maria dalam kehidupan doa. Seluruh doa Kristiani meneladan doa Yesus. Sebagai Sang Putra yang menjelma, Ia tidak hanya mengajarkan kita berdoa, tetapi sebagai Pengantara antara Allah dan manusia, Ia terus-menerus menjadi Pengantara kita di hadirat Bapa.

 

Maria, sebagai bunda Yesus, memiliki peranan khusus dalam kehidupan seluruh murid Kristus. Maria adalah bunda kita, Bunda Gereja, yang dipercayakan kepada kita oleh Kristus dari salib. Dengan kasih seorang ibu, ia peduli pada kita, membawa kita di bawah perlindungan mantelnya.

 

Secara khusus, saat kita mendoakan Salam Maria, ia menjadi perantara bagi orang-orang berdosa dan orang-orang yang berada dalam sakratul maut, menarik mereka semakin dekat dengan Putranya. Sama seperti ketika ia berdiri di bawah kayu salib, bersatu dengan Yesus dalam keputusasaan dan dukacita-Nya, begitu pula ia dekat dengan kasih seorang ibu bagi orang-orang yang tersesat atau tidak ada seorangpun yang mendoakan. Tentu saja ia telah hadir bagi begitu banyak saudara dan saudari kita yang pada saat pandemi ini meninggal jauh dari kehadiran yang menghibur orang-orang yang mereka kasihi.

 

Saat kita bersiap untuk merayakan Kabar Sukacita Tuhan, semoga kita bersukacita karena Maria, yang mengatakan "ya" terhadap pesan malaikat, selalu siap untuk mengatakan "ya" kepada kita, menjadi perantara kebutuhan kita dan keselamatan dunia di hadapan Putranya.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 24 Maret 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 21 Maret 2021 : KAMI INGIN MELIHAT YESUS

 


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Pada Hari Minggu Prapaskah V ini, liturgi mewartakan Injil yang di dalamnya Santo Yohanes mengacu pada peristiwa yang terjadi di hari-hari terakhir kehidupan Kristus, tak lama sebelum Sengsara-Nya (bdk. Yoh 12:20-33). Ketika Yesus berada di Yerusalem untuk merayakan Paskah, beberapa orang Yunani, yang penasaran atas apa yang telah dilakukan-Nya, mengungkapkan keinginan untuk bertemu dengan-Nya. Mereka mendekati rasul Filipus dan berkata kepadanya : "Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus" (ayat 21). “Kami ingin melihat Yesus”. Marilah kita mengingat hal ini : “Kami ingin melihat Yesus”. Filipus memberitahu Andreas dan kemudian bersama-sama mereka melaporkannya kepada Sang Guru. Dalam permintaan orang-orang Yunani itu kita dapat melihat sekilas permintaan yang diajukan banyak orang, dari setiap tempat dan waktu, kepada Gereja dan juga kepada kita masing-masing : "Kami ingin melihat Yesus".

 

Dan bagaimana Yesus menanggapi permintaan itu? Dengan cara yang membuat kita berpikir. Ia berkata : “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan ... Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (ayat 23-24). Kata-kata ini sepertinya tidak menanggapi permintaan yang diajukan oleh orang-orang Yunani itu. Sesungguhnya, kata-kata tersebut melampauinya. Pada kenyataannya, Yesus mengungkapkan bahwa bagi setiap orang yang ingin menemukan-Nya, Ia adalah benih yang tersembunyi yang siap mati untuk menghasilkan banyak buah. Seolah-olah berkata : Jika engkau ingin mengenal-Ku, jika engkau ingin memahami-Ku, lihatlah butir gandum yang mati di tanah, yaitu, lihatlah salib.

 

Tanda Salib muncul di benak, yang selama berabad-abad telah menjadi lambang kesempurnaan umat Kristiani. Bahkan saat ini, mereka yang ingin "melihat Yesus", mungkin berasal dari negara dan budaya di mana agama Kristen tidak dikenal dengan baik, apa yang mereka lihat pertama kali? Apa tanda paling umum yang mereka temui? Salib, Salib. Di gereja, di rumah orang Kristen, bahkan dikenakan pada diri mereka. Hal yang penting adalah bahwa tanda tersebut selaras dengan Injil : salib tidak bisa tidak mengungkapkan kasih, pelayanan, pemberian diri tanpa pamrih : hanya dengan cara inilah salib benar-benar menjadi "pohon kehidupan", kehidupan yang melimpah.

 

Hari ini juga, banyak orang, seringkali tanpa berkata demikian, secara tersirat ingin "melihat Yesus", bertemu dengan-Nya, mengenal-Nya. Inilah cara kita memahami tanggung jawab besar yang diemban oleh kita sebagai umat Kristiani dan komunitas. Kita juga harus menanggapi dengan kesaksian hidup yang diberikan dalam pelayanan, hidup yang menyandang atas dirinya gaya Allah - kedekatan, kasih sayang dan kelembutan - dan diberikan dalam pelayanan. Artinya, menabur benih kasih, bukan dengan kata-kata sekilas tetapi melalui teladan nyata, sederhana dan berani, bukan dengan kutukan teoretis, tetapi dengan isyarat kasih. Kemudian Tuhan, dengan rahmat-Nya, membuat kita berbuah, bahkan ketika tanah menjadi kering karena kesalahpahaman, kesulitan atau penganiayaan, atau klaim legalisme atau moralisme klerikal. Inilah tanah yang tandus. Kemudian, tepatnya, dalam pencobaan dan kesendirian, ketika benih sedang sekarat, itulah saat di mana kehidupan mekar, menghasilkan buah yang matang pada waktunya. Dalam jalinan kematian dan kehidupan inilah kita dapat mengalami sukacita dan berbuahnya kasih sejati, yang selalu, saya ulangi, diberikan dalam gaya Allah : kedekatan, kasih sayang, kelembutan.

 

Semoga Perawan Maria membantu kita untuk mengikuti Yesus, berjalan, kuat dan bersukacita, di jalan pelayanan, sehingga kasih Kristus dapat bersinar dalam setiap sikap kita dan semakin menjadi gaya hidup kita sehari-hari.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, hari ini di Italia kita merayakan hari peringatan dan komitmen untuk mengenang para korban mafia yang tidak bersalah. Mafia hadir di berbagai belahan dunia dan, memanfaatkan pandemi, mereka memperkaya diri melalui korupsi. Santo Yohanes Paulus II mencela "budaya kematian" mereka, dan Benediktus XVI mengutuk mereka sebagai "jalan kematian". Struktur dosa ini, struktur mafia, bertentangan dengan Injil Kristus, menukar iman dengan penyembahan berhala. Hari ini marilah kita mengenang semua korban dan memperbarui komitmen kita menentang mafia.

 

Besok adalah Hari Air Sedunia, yang mengundang kita untuk berkaca pada nilai karunia Allah yang luar biasa dan tak tergantikan ini. Bagi kita umat beriman, "saudari air" bukanlah barang dagangan : saudari air adalah lambang sejagat serta merupakan sumber kehidupan dan kesehatan. Terlalu banyak saudara dan saudari, begitu banyak saudara dan saudari yang terlalu sedikit memiliki akses air, dan mungkin tercemar. Memastikan air minum dan pelayanan yang higienis untuk semua orang adalah penting. Saya berterima kasih dan mendorong mereka yang, dengan profesionalisme dan aneka tanggung jawab, bekerja untuk tujuan yang sangat penting ini. Saya memikirkan, misalnya, Universitas Air, di tanah air saya, orang-orang yang bekerja untuk mengembangkannya dan membuat pentingnya air dipahami. Terima kasih banyak kepada kalian, orang-orang Argentina yang bekerja di Universitas Air ini.

 

Saya menyapa kalian semua yang terhubung melalui media, dengan mengingat secara khusus orang-orang yang sakit dan kesepian. Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kalian. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang! Sampai jumpa!

______


(Peter Suriadi - Bogor, 21 Maret 2021)

PESAN BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS KEPADA PARA PESERTA PERTEMUAN DARING “KASIH SEHARI-HARI KITA” DALAM RANGKA PEMBUKAAN TAHUN KELUARGA “AMORIS LAETITIA"


Saudara dan saudari yang terkasih!

 

Saya menyapa kamu semua yang ikut serta dalam Konferensi Studi tentang “Kasih Sehari-hari Kita”. Pikiran saya khususnya tertuju pada Kevin Joseph Kardinal Farrell, ketua Dikasteri untuk Awam, Keluarga dan Kehidupan, Angelo Kardinal de Donatis, vikaris Keuskupan Roma, dan Uskup Agung Vincenzo Paglia, rektor besar Institut Kepausan Ilmu Teologi Perkawinan dan Keluarga Yohanes Paulus II.

 

Lima tahun lalu, Seruan Apostolik Pasca-Sinode Amoris Laetitia tentang keindahan dan sukacita kasih suami-istri dan keluarga diumumkan. Pada peringatan ini saya mengundangmu untuk menghabiskan satu tahun dengan membaca ulang dokumen dan berkaca pada temanya, hingga perayaan Hari Keluarga Sedunia X yang, atas kehendak Allah, akan berlangsung di Roma pada tanggal 26 Juni 2022. Saya berterima kasih kepadamu atas prakarsa yang telah kamu lakukan untuk tujuan ini dan kontribusi yang diberikan kamu masing-masing dalam lingkup pekerjaanmu masing-masing.

 

Dalam lima tahun ini, Amoris Laetitia telah menguraikan awal dari sebuah perjalanan, berusaha untuk mendorong pendekatan pastoral baru dalam situasi keluarga. Maksud utama dokumen tersebut adalah menyampaikan, dalam waktu dan dalam budaya yang sangat berubah, bahwa saat ini ada kebutuhan akan pandangan baru tentang keluarga di pihak Gereja : menegaskan kembali nilai dan pentingnya ajaran, jika kita tidak menjadi pelindung keindahan keluarga serta tidak merasa iba untuk peduli terhadap kerapuhan dan luka-lukanya, tidaklah memadai.

 

Kedua aspek ini merupakan inti dari seluruh kepedulian pastoral keluarga : keterusterangan pewartaan Injil dan kelembutan pendampingan.

 

Memang, di satu sisi kepada suami istri, pasangan suami istri dan keluarga, kita mewartakan Sabda yang membantu mereka untuk memahami makna otentik kesatuan dan kasih mereka, tanda dan gambaran kasih Tritunggal dan persekutuan antara Kristus dan Gereja. Sabda Injil yang selalu baru tersebut, yang daripadanya seluruh ajaran berasal, bahkan ajaran tentang keluarga, dapat membentuknya. Dan Sabda yang menuntut tersebut berusaha membebaskan hubungan manusia dari perbudakan yang sering merusak dan membuatnya tidak stabil : kediktatoran emosi, peninggian yang bersifat sementara yang menghalangi komitmen seumur hidup, dominasi individualisme, ketakutan akan masa depan. Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ini, Gereja menegaskan kembali kepada pasangan suami istri Kristiani nilai perkawinan sebagai rencana Allah, sebagai buah rahmat-Nya, dan sebagai panggilan untuk hidup sepenuhnya dalam kesetiaan dan kecuma-cumaan. Inilah jalan untuk berhubungan, meskipun mungkin harus melewati jalan yang ditandai dengan kegagalan, kejatuhan dan perubahan, membuka diri terhadap kepenuhan sukacita dan kesadaran manusiawi, serta menjadi ragi bagi persaudaraan dan kasih dalam masyarakat.

 

Di sisi lain, pewartaan ini tidak boleh dan tidak dapat pernah diberikan dari atas dan dari luar. Gereja diwujudkan dalam kenyataan sejarah, seperti halnya Sang Gurunya, dan bahkan ketika ia memberitakan Injil keluarga, ia melakukannya dengan membenamkan dirinya dalam kehidupan nyata, mengetahui secara langsung perjuangan sehari-hari pasangan suami istri dan orangtua, masalah mereka, penderitaan mereka, semua situasi itu, besar dan kecil, yang memberatkan dan terkadang menghalangi perjalanan mereka. Inilah konteks nyata di mana kasih sehari-hari dihayati. Inilah judul konferensimu : "Kasih sehari-hari kita". Inilah pilihan yang berarti. Itu berkenaan dengan kasih yang ditimbulkan oleh kesederhanaan dan karya hidup yang diam-diam sebagai pasangan suami istri, oleh komitmen sehari-hari dan terkadang melelahkan yang dilakukan oleh pasangan suami istri, ibu, ayah dan anak-anak. Jika Injil harus disajikan sebagai ajaran yang diturunkan dari atas, dan tidak masuk ke dalam rupa "daging" kehidupan sehari-hari ini, Injil akan beresiko tetap menjadi teori yang bagus dan, kadang-kadang, dialami sebagai kewajiban moral. Kita dipanggil untuk menyertai, mendengarkan, memberkati perjalanan keluarga; tidak hanya untuk menentukan arah, tetapi melakukan perjalanan bersama mereka; memasuki rumah dengan kebijaksanaan dan kasih, mengatakan kepada pasangan suami-istri : Gereja besertamu, Tuhan dekat denganmu, kami ingin membantumu menjaga karunia yang telah kamu terima.

 

Mewartakan Injil dengan menyertai umat dan menempatkan diri kita untuk melayani kebahagiaan mereka : dengan cara ini, kita dapat membantu keluarga melakukan perjalanan dengan cara yang menanggapi panggilan dan perutusan mereka, menyadari keindahan ikatan dan landasan mereka dalam kasih Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.

 

Ketika keluarga hidup di bawah tanda persekutuan ilahi ini, yang ingin saya perjelas dengan aspek keberadaannya dalam Amoris Laetitia, maka keluarga menjadi sabda Allah Kasih yang hidup, yang diucapkan kepada dunia dan untuk dunia. Memang, tata bahasa hubungan keluarga - yaitu, hubungan suami istri, keibuan, kebapaan, hubungan anak dengan orangtua dan persaudaraan - adalah cara yang melaluinya bahasa kasih diteruskan, yang memberi makna pada kehidupan dan kualitas manusiawi pada setiap hubungan. Bahasa yang tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga cara hidup, cara kita berbicara, penampilan, gerak tubuh, waktu, dan ruang hubungan kita dengan orang lain. Pasangan suami istri memahami hal ini dengan baik, orangtua dan anak-anak mempelajarinya setiap hari di sekolah kasih yaitu keluarga. Di sinilah juga terjadi penerusan iman antargenerasi : melalui bahasa hubungan baik dan sehat yang dijalani dalam keluarga setiap hari, terutama saat menghadapi konflik dan kesulitan bersama-sama.

 

Di masa pandemi ini, di tengah begitu banyak kesulitan psikologis, ekonomi, dan kesehatan, semua ini menjadi bukti : ikatan keluarga telah dan masih sangat diuji, tetapi pada saat yang sama tetap menjadi titik acuan yang paling teguh, dukungan yang paling kuat, penjaga yang tak tergantikan dari seluruh umat manusia dan komunitas sosial.

 

Jadi marilah kita mendukung keluarga! Marilah kita menjaganya dari apa yang merusak keindahannya. Marilah kita mendekati misteri kasih ini dengan keajaiban, kebijaksanaan dan kelembutan. Dan marilah kita berkomitmen untuk menjaga ikatannya yang berharga dan tidak kasat mata : anak-anak, orangtua, kakek nenek ... Kita membutuhkan ikatan ini untuk hidup dan hidup dengan baik, membuat umat manusia semakin bersaudara.

 

Oleh karena itu, tahun yang didedikasikan untuk keluarga, yang dimulai hari ini, akan menjadi waktu yang tepat bagi kita melanjutkan berkaca pada Amoris Laetitia. Dan untuk ini saya mengucapkan terima kasih dari lubuk hati saya yang paling dalam, mengetahui bahwa Institut Yohanes Paulus II dapat berkontribusi dalam banyak hal, dalam dialog dengan lembaga akademis dan pastoral lainnya, untuk pengembangan perhatian manusiawi, spiritual dan pastoral dalam mendukung keluarga. Saya mempercayakanmu dan karyamu kepada Keluarga Kudus Nazaret; serta saya memintamu untuk melakukan hal yang sama untuk saya dan pelayanan saya.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 19 Maret 2021

Hari Raya Santo Yusuf, awal Tahun Keluarga Amoris Laetitia


Fransiskus

____


(Peter Suriadi - Bogor, 19 Maret 2021)

SEBAIKNYA ANDA TAHU : SEKILAS TENTANG TAHUN KELUARGA AMORIS LAETITIA


Pada akhir Desember 2021, Paus Fransiskus mencanangkan tahun khusus yang didedikasikan untuk meningkatkan jangkauan pastoral terhadap keluarga dengan sebuah tahun khusus yang mengacu seruan apostolik Amoris Laetitia. Tahun Keluarga Amoris Laetitia dimulai pada 19 Maret 2021 bertepatan dengan Hari Raya Santo Yusuf dan karena pada hari itulah 5 tahun yang lalu Paus Fransiskus menandatangani seruan apostolik tersebut. Surat bertemakan kasih dalam keluarga itu dirilis sekitar tiga minggu setelah penandatanganan. Tetapi, meskipun disebut sebagai “tahun”, perayaan Amoris Laetitia sebenarnya akan berlangsung sekitar 15 bulan karena akan berakhir pada 26 Juni 2022, dengan edisi ke-10 Pertemuan Keluarga Sedunia di Roma, Italia.

 

Paus Fransiskus mengatakan bahwa Tahun Keluarga Amoris Laetitia akan menjadi tahun untuk berkaca pada Amoris Laetitia dan akan menjadi kesempatan untuk lebih berfokus pada isi dokumen. Amoris Laetitia (“Sukacita Kasih”) ditulis setelah dua Sinode Para Uskup yang didedikasikan untuk keluarga. Salah satu dokumen terpanjang dalam sejarah kepausan ini terdiri dari sebuah pendahuluan dan sembilan bab yang berkaca pada berbagai tantangan dalam perkawinan dan kehidupan keluarga.

 

Dikasteri untuk Awam, Keluarga, dan Kehidupan, yang diketuai Kevin Kardinal Farrell, telah melakukan berbagai koordinasi untuk menyukseskan Tahun Keluarga Amoris Laetitia tersebut. Kardinal Farrell mengatakan bahwa Tahun Keluarga Amoris Laetitia ini telah dikelola dengan sebaik-baiknya karena ada banyak pasangan suami istri dan keluarga di seluruh dunia yang mengalami krisis, mengalami kemiskinan, atau merasa sendirian, dan mereka “membutuhkan perhatian, dedikasi pastoral”.

 

“Banyak keluarga perlu dibantu untuk menemukan dalam berbagai penderitaan hidup tempat kehadiran Kristus dan kasih-Nya yang berlimpah” katanya lebih lanjut. “Oleh karena itu, Tahun Keluarga Amoris Laetitia ini adalah kesempatan untuk menjangkau keluarga-keluarga, tidak membuat mereka merasa sendirian dalam menghadapi kesulitan, berjalan bersama mereka, mendengarkan mereka dan melakukan prakarsa pastoral yang dapat membantu mereka memupuk kasih setiap hari”.

 

Tahun Keluarga Amoris Laetitia berlangsung sebagian besar bersamaan dengan Tahun Santo Yusuf yang dimulai pada 8 Desember 2020, bertepatan dengan Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda dan akan berakhir pada 8 Desember 2021. Berkenaan dengan hal ini, Kardinal Farrel mengatakan, "Merupakan suatu penyelenggaraan ilahi bahwa Bapa Suci mendedikasikan tahun ini kepada Santo Yusuf, suami dan bapa, yang begitu dikasihi sehingga ia dipilih oleh Allah untuk merawat Keluarga Kudus".

 

“Pandemi telah menimbulkan dampak yang sangat menyakitkan bagi jutaan orang. Tetapi keluarga itu sendiri, meskipun terpukul dalam banyak hal, sekali lagi menunjukkan wajahnya sebagai 'penjaga kehidupan', seperti halnya Santo Yusuf. Keluarga selamanya tetap menjadi 'pamong' hubungan kita yang paling sahih dan asli, yang lahir dalam kasih dan mendewasakan kita sebagai manusia", katanya.

 

Dikasteri untuk Awam, Keluarga, dan Kehidupan telah dan akan melakukan koordinasi untuk beragam prakarsa dalam Tahun Keluarga Amoris Laetitia ini. Prakarsa pertama dimulai dengan webinar pada 19 Maret 2021 yang didedikasikan untuk berkaca pada keluarga dari segi pastoral dan teologis. Webinar dibuka dengan menyertakan pesan video dari Paus Fransiskus.

 

Dikasteri untuk Awam, Keluarga, dan Kehidupan juga mengumumkan bahwa mereka akan mengorganisir “prakarsa spiritual, pastoral, dan budaya”, termasuk proyek video bersama Paus Fransiskus di setiap bab Amoris Laetitia. "Paus Fransiskus bermaksud untuk berbicara kepada semua komunitas gerejawi di seluruh dunia, mendesak setiap orang untuk menjadi saksi kasih keluarga", kata Diskateri tersebut pada bulan Desember 2020.

 

Kantor Vatikan akan berbagi sumber dengan keuskupan, paroki, dan kelompok Gereja lainnya serta lembaga keluarga mengenai tema yang berkaitan dengan perkawinan dan kehidupan keluarga, seperti spiritualitas keluarga, persiapan perkawinan, dan kekudusan pasangan suami istri. Kantor Vatikan juga berencana mengadakan simposium akademik internasional untuk mengkaji berbagai aspek Amoris Laetitia secara mendalam.

 

Dikasteri untuk Awam, Keluarga, dan Kehidupan telah membuat halaman web untuk Tahun Keluarga Amoris Laetitia ini. Tujuannya agar umat bisa mendapatkan informasi lebih lanjut dan segala hal yang berhubungan dengan Tahun Keluarga Amoris Laetitia. Silahkan Anda mengakses www.amorislaetitia.va.

______


(Peter Suriadi - Bogor, 20 Maret 2021)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI MINGGU PANGGILAN KE-58 - 25 April 2021

 


PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI MINGGU PANGGILAN KE-58 - 25 April 2021

 SANTO YUSUF : MIMPI PANGGILAN


Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Pada tanggal 8 Desember yang lalu, peringatan seratus lima puluh deklarasi Santo Yusuf sebagai Pelindung Gereja Semesta, menandai dimulainya tahun khusus yang didedikasikan untuknya (bdk. Dekrit Penitensiari Apostolik, 8 Desember 2020). Dari pihak saya, saya menulis Surat Apostolik Patris Corde, yang bertujuan "meningkatkan cinta kita kepada orang kudus yang agung ini". Santo Yusuf adalah sosok yang luar biasa, namun sekaligus “sangat dekat dengan pengalaman manusiawi kita”. Ia tidak melakukan hal-hal yang mencengangkan, ia tidak memiliki karisma yang unik, ia juga tidak tampak istimewa di mata orang-orang yang bertemu dengannya. Ia tidak terkenal atau bahkan patut diperhatikan : Injil tidak melaporkan satu kata pun darinya. Meskipun demikian, melalui kehidupannya yang biasa, ia mencapai sesuatu yang luar biasa di mata Allah.

 

Allah melihat hati (bdk. 1 Sam 16:7), dan dalam diri Santo Yusuf Ia mengenali hati seorang bapa, yang mampu memberi dan menghasilkan kehidupan di tengah rutinitas sehari-hari. Panggilan memiliki tujuan yang sama : setiap hari melahirkan dan memperbarui kehidupan. Allah ingin membentuk hati bapa dan ibu : hati yang terbuka, mampu melakukan prakarsa besar, murah hati dalam memberikan diri, berbelas kasihan dalam menghibur kecemasan dan teguh dalam memperkokoh harapan. Dewasa ini imamat dan hidup bakti sangat membutuhkan mutu ini, di masa-masa yang ditandai dengan kerapuhan tetapi juga oleh penderitaan akibat pandemi, yang telah melahirkan ketidakpastian dan ketakutan akan masa depan dan makna kehidupan yang sesungguhnya. Santo Yusuf datang menemui kita dengan caranya yang lembut, sebagai salah satu "orang kudus pintu sebelah". Pada saat yang sama, kesaksiannya yang kuat dapat menuntun kita dalam perjalanan.

 

Santo Yusuf menyarankan kepada kita tiga kata kunci untuk panggilan setiap individu. Kata kuci yang pertama adalah mimpi. Setiap orang bermimpi menemukan kepuasan hidup. Kita seyogyanya memupuk harapan yang besar, cita-cita yang luhur yang tidak dapat dipenuhi oleh tujuan yang bersifat sementara - seperti kesuksesan, uang, dan kenikmatan. Jika kita meminta orang-orang untuk mengungkapkan mimpi hidup mereka dalam satu kata, tidak sulit untuk membayangkan jawabannya : "dikasihi". Kasihlah yang memberi makna pada kehidupan, karena kasih mengungkapkan misteri kehidupan. Sungguh, kita hanya memiliki kehidupan jika kita memberikannya; kita benar-benar memilikinya hanya jika kita dengan murah hati memberikannya. Dalam hal ini, Santo Yusuf memiliki banyak hal yang dapat diceritakan kepada kita, karena, melalui mimpinya yang diilhami oleh Allah, ia menjadikan hidupnya sebagai sebuah karunia.

 

Injil memberitahu kita tentang empat mimpi (bdk. Mat 1:20;2:13.19.22). Keempat mimpi itu adalah panggilan Allah, tetapi tidak mudah diterima. Setiap kali mendapatkan mimpi, Yusuf harus mengubah rencananya dan mengambil resiko, mengorbankan rencananya guna mengikuti rancangan Allah yang misterius, yang ia percayai sepenuhnya. Kita mungkin bertanya pada diri kita sendiri, "Mengapa begitu percaya pada mimpi di malam hari?". Meskipun pada zaman dahulu mimpi dianggap sangat penting, namun mimpi tetap merupakan perkara kecil dalam menghadapi kenyataan hidup yang sesungguhnya. Namun Santo Yusuf memperkenankan dirinya dibimbing oleh mimpi tanpa ragu-ragu. Mengapa? Karena hatinya terarah kepada Allah; hatinya sudah condong ke arah-Nya. Sebuah petunjuk kecil sudah memadai bagi "telinga batin"-nya yang waspada untuk mengenali suara Allah. Ini berlaku juga untuk panggilan kita : Allah tidak berkenan mengungkapkan diri-Nya secara spektakuler, menekan kebebasan kita. Ia menyampaikan rencana-Nya bagi kita dengan kelembutan. Ia tidak membanjiri kita dengan penglihatan yang mempesona tetapi dengan tenang berbicara di lubuk hati kita, mendekati kita serta berbicara kepada kita melalui pikiran dan perasaan kita. Dengan cara ini, seperti yang dilakukan-Nya terhadap Santo Yusuf, Ia menunjukkan kepada kita cakrawala-cakrawala yang mendalam dan tak terduga.

 

Sebaliknya, keempat mimpi Yusuf tersebut menuntunnya menuju pengalaman yang tidak akan pernah ia bayangkan. Mimpi yang pertama menjungkirbalikkan pertunangannya, malahan menjadikannya bapa Sang Mesias; mimpi yang kedua menyebabkannya melarikan diri ke Mesir, malahan menyelamatkan nyawa keluarganya. Setelah mimpi yang ketiga, yang meramalkan kepulangannya ke tanah airnya, mimpi yang keempat sekali lagi membuatnya mengubah rencana, membawanya ke Nazaret, tempat di mana Yesus akan memulai pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Di tengah semua pergolakan ini, ia menemukan keberanian untuk mengikuti kehendak Allah. Begitu juga dalam panggilan : panggilan Allah selalu mendesak kita untuk mengambil langkah awal, memberikan diri kita, untuk terus berkembang. Tidak ada iman tanpa resiko. Hanya dengan secara meyakinkan memberikan diri kita demi kasih karunia, mengesampingkan program dan kenyamanan kita, kita dapat benar-benar mengatakan "ya" kepada Allah. Dan setiap "ya" menghasilkan buah karena menjadi bagian dari rancangan yang lebih besar, yang kita lihat hanya rinciannya saja, tetapi yang dipahami dan dilaksanakan oleh Sang Seniman ilahi, yang menjadikan setiap kehidupan sebagai sebuah mahakarya. Dalam hal ini, Santo Yusuf adalah teladan yang luar biasa dalam penerimaan rencana Allah. Namun penerimaannya aktif : tidak pantang mundur atau menerima nasib. Yusuf “bukanlah orang yang mundur dengan pasif. Ia adalah pelaku yang berani dan kuat” (Patris Corde, 4). Semoga ia membantu semua orang, terutama kaum muda yang memiliki kearifan, untuk mewujudkan mimpi Allah bagi mereka. Semoga ia mengilhamkan keberanian untuk mengatakan "ya" kepada Allah yang selalu mengejutkan dan tidak pernah mengecewakan dalam diri mereka.

 

Kata kunci yang kedua menandai perjalanan Santo Yusuf dan perjalanan panggilan : pelayanan. Injil menunjukkan bagaimana Yusuf hidup sepenuhnya untuk orang lain dan tidak pernah untuk dirinya sendiri. Umat Allah yang kudus memanggilnya sebagai bapa yang amat suci, berdasarkan kemampuannya mengasihi tanpa syarat. Dengan membebaskan kasih dari segala sifat posesif, ia menjadi terbuka terhadap pelayanan yang lebih bermanfaat. Perhatiannya yang penuh kasih telah menjangkau berbagai generasi; perwaliannya yang penuh perhatian telah membuatnya menjadi pelindung Gereja. Sebagai orang yang tahu bagaimana mewujudkan makna pemberian diri dalam kehidupan, Yusuf juga pelindung kematian yang membahagiakan. Akan tetapi, pelayanan dan pengorbanannya hanya mungkin karena didukung oleh kasih yang lebih besar : “Setiap panggilan sejati lahir dari pemberian diri, yang merupakan buah kematangan dari pengorbanan sederhana. Jenis kematangan ini juga dituntut pada imamat dan hidup bakti. Di mana suatu panggilan, apakah perkawinan, selibat atau keperawanan, tidak mencapai kematangan pemberian diri, itu berhenti hanya pada logika pengorbanan. Kemudian, alih-alih menjadi tanda keindahan dan sukacita kasih, itu justru berisiko mengungkapkan ketidakbahagiaan, kesedihan, dan frustrasi" (Patris Corde, 7).

 

Bagi Santo Yusuf, pelayanan - sebagai ungkapan nyata karunia diri - bukan hanya sekedar cita-cita yang tinggi, tetapi menjadi aturan dalam kehidupan sehari-hari. Ia berusaha keras untuk menemukan dan mempersiapkan tempat di mana Yesus dapat dilahirkan; ia melakukan yang terbaik untuk melindungi-Nya dari murka Herodes dengan bergegas melakukan perjalanan ke Mesir; ia segera kembali ke Yerusalem ketika Yesus tersesat; ia menghidupi keluarganya dengan pekerjaannya, bahkan di negeri asing. Singkatnya, ia beradaptasi dengan berbagai keadaan dengan sikap orang-orang yang tidak berputus asa ketika kehidupan tidak berjalan sebagaimana yang mereka inginkan; ia menunjukkan kesediaan yang menjadi ciri khas orang-orang yang hidup untuk melayani. Dengan cara ini, Yusuf menyambut perjalanan hidup yang berulang kali dan sering tak terduga : dari Nazareth ke Betlehem untuk cacah jiwa, lalu ke Mesir dan kembali ke Nazaret, dan setiap tahun ke Yerusalem. Setiap kali ia bersedia menghadapi keadaan baru tanpa mengeluh, selalu siap mengulurkan tangan untuk membantu menyelesaikan situasi. Kita dapat mengatakan bahwa ini adalah uluran tangan Bapa surgawi kita yang menjangkau Putra-Nya di bumi. Yusuf tidak bisa urung menjadi teladan bagi segenap panggilan, dipanggil untuk menjadi tangan Bapa yang selalu aktif, terulur kepada anak-anak-Nya.

 

Maka, saya suka memikirkan Santo Yusuf, pelindung Yesus dan Gereja, sebagai pelindung panggilan. Padahal, kesediaannya untuk melayani memunculkan kepeduliannya untuk melindungi. Injil memberitahu kita bahwa “Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga” (Mat 2:14), dengan demikian mengungkapkan kepeduliannya yang ringan tangan demi kebaikan keluarganya. Ia tidak membuang waktu untuk mengkhawatirkan hal-hal yang tidak dapat ia kendalikan, memberikan perhatian penuh kepada orang-orang yang dipercayakan kepada pemeliharaannya. Perhatian yang begitu berarti adalah tanda panggilan sejati, kesaksian hidup yang terjamah oleh kasih Allah. Alangkah indahnya teladan kehidupan Kristiani yang kita berikan ketika kita menolak untuk mengejar ambisi atau memanjakan diri dalam khayalan, tetapi sebaliknya peduli terhadap apa yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita melalui Gereja! Allah kemudian mencurahkan Roh dan daya cipta-Nya atas diri kita; Ia melakukan berbagai keajaiban dalam diri kita, seperti yang dilakukan-Nya dalam diri Yusuf.

 

Bersama dengan panggilan Allah, yang menjadikan mimpi terbesar kita sebuah kenyataan, serta dalam tanggapan kita yang berupa pelayanan yang murah hati dan kepedulian yang penuh perhatian, ada ciri khas yang ketiga dari kehidupan sehari-hari Santo Yusuf dan panggilan Kristiani kita, yaitu kesetiaan. Yusuf adalah "orang yang tulus hati" (Mat 1:19) yang setiap hari secara diam-diam bertekun melayani Allah dan rencana-Nya. Pada saat yang sangat sulit dalam hidupnya, ia dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan apa yang harus dilakukannya (bdk. ayat 20). Ia tidak membiarkan dirinya tertekan secara tergesa-gesa. Ia tidak menyerah pada godaan untuk bertindak gegabah, hanya mengikuti nalurinya atau hidup untuk saat ini saja. Sebaliknya, ia mempertimbangkan banyak hal dengan sabar. Ia tahu bahwa kesuksesan hidup dibangun di atas kesetiaan yang terus menerus terhadap keputusan-keputusan penting. Hal ini tercermin dalam ketekunannya mencari nafkah sebagai seorang tukang kayu yang rendah hati (bdk. Mat 13:55), ketekunan yang jauh dari hingar-bingar yang tidak menjadi berita di masanya, namun telah mengilhami kehidupan sehari-hari para bapa, para pekerja dan umat Kristiani yang tak terhitung jumlahnya sejak saat itu. Karena sebuah panggilan - seperti kehidupan itu sendiri - menjadi matang hanya melalui kesetiaan sehari-hari.

 

Bagaimana kesetiaan itu dipupuk? Dalam terang kesetiaan Allah sendiri. Kata-kata pertama yang didengar Santo Yusuf dalam mimpi adalah ajakan jangan takut, karena Allah tetap setia pada janji-janji-Nya : “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut” (Mat 1:20). Jangan takut : kata-kata Tuhan ini juga ditujukan kepadamu, saudari terkasih, dan kepadamu, saudara terkasih, kapan pun kamu merasakan bahwa, bahkan di tengah ketidakpastian dan keraguan, kamu tidak dapat lagi menunda keinginanmu untuk memberikan hidupmu kepada-Nya. Ia mengulangi kata-kata ini ketika, mungkin di tengah pencobaan dan kesalahpahaman, kamu berusaha untuk mengikuti kehendak-Nya setiap hari, di mana pun kamu berada. Kata-kata itu akan kembali kamu dengar, di setiap langkah panggilanmu, saat kamu kembali ke cinta pertamamu. Kata-kata tersebut adalah sebuah pengulangan yang menyertai semua orang yang - seperti Santo Yusuf - mengatakan ya kepada Allah dengan hidup mereka, melalui kesetiaan mereka setiap hari.

 

Kesetiaan ini adalah rahasia sukacita. Sebuah madah liturgi berbicara tentang "sukacita yang transparan" yang hadir di kediaman Nazaret. Sukacita tersebut adalah sukacita kesederhanaan, sukacita yang dialami setiap hari oleh orang-orang yang peduli pada apa yang benar-benar penting : kedekatan penuh kesetiaan kepada Allah dan sesama kita. Alangkah baiknya jika suasana yang sama, sederhana dan berseri, tenang dan penuh harapan, meliputi seminari, biara, dan pastoran kita! Saya berdoa agar kamu juga dapat mengalami sukacita ini, saudara dan saudari terkasih yang dengan murah hati telah menjadikan Allah mimpi hidupmu, melayani-Nya dalam diri saudara-saudarimu melalui kesetiaan yang merupakan kesaksian yang kuat di zaman dengan pilihan dan perasaan yang bersifat sesaat yang tidak membawa sukacita yang kekal. Semoga Santo Yusuf, pelindung panggilan, menyertaimu dengan hati kebapaannya!

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 19 Maret 2021, Hari Raya Santo Yusuf

 

Fransiskus