Ketika
merenungkan hal ini, saya menjadi sadar akan semacam “kejutan” yang tersembunyi
dalam kumpulan gagasan ini, suatu kejutan yang di dalamnya, dengan sukacita,
saya sepertinya mengenali humor Roh Kudus. Mohon maklum atas ungkapan tersebut.
Apa
“kejutan” tersebut? Kejutannya terletak pada kenyataan bahwa biasanya kita para
gembala, ketika kita membaca kisah Pentakosta, mengidentifikasi diri kita
dengan para Rasul. Wajar dilakukan. Sebaliknya, “orang Partia, Media, Elam” dan
lainnya, yang menurut pikiran saya terkait dengan para kardinal, tidak termasuk
dalam kelompok para murid. Mereka berada di luar Ruang Atas; mereka adalah
bagian dari “orang banyak” yang “berkerumunan” setelah mendengar bunyi seperti
tiupan angin keras (bdk. ayat 6). Para Rasul “semuanya orang Galilea” (bdk.
ayat 7), sedangkan orang-orang yang berkerumunan berasal “dari segala bangsa di
bawah kolong langit” (ayat 5), sama seperti para uskup dan kardinal di zaman
kita.
Pembalikan
peran semacam ini memberi kita jeda untuk berpikir dan, jika kita melihat lebih
dekat, hal ini mengungkapkan sudut pandang menarik, yang ingin saya bagikan
kepadamu. Ini adalah soal penerapan pada diri kita sendiri – saya akan
mendahulukan diri saya sendiri – pengalaman orang-orang Yahudi yang, dengan
karunia Allah, mendapati diri mereka menjadi tokoh utama dalam peristiwa
Pentakosta, yaitu “baptisan” oleh Roh Kudus yang melahirkan Gereja yang satu,
kudus, katolik dan apostolik. Saya akan merangkum sudut pandang ini sebagai
berikut : dengan tercengang-cengang menemukan kembali karunia menerima Injil
“dalam bahasa kita sendiri” (ayat 11), sebagaimana dikatakan orang-orang
Yahudi. Mengingat kembali dengan rasa syukur karunia telah diinjili dan diambil
dari berbagai bangsa yang, pada masanya masing-masing menerima kerygma,
pewartaan misteri keselamatan, dan menyambutnya, dibaptis dalam Roh Kudus dan
menjadi bagian dari Gereja. Gereja Induk, yang berbicara dalam semua bahasa,
adalah satu dan katolik.
Kata-kata
dalam Kisah Para Rasul ini membuat kita merenungkan bahwa, sebelum menjadi
“rasul”, sebelum menjadi imam, uskup, kardinal, kita adalah “orang Partia,
Media, Elam”, dan seterusnya, dan seterusnya. Dan hal ini hendaknya
membangkitkan kekaguman dan rasa syukur dalam diri kita karena telah menerima
rahmat Injil di antara bangsa-bangsa asal kita masing-masing. Menurut saya ini
sangat penting dan tidak boleh dilupakan. Karena di sana, dalam sejarah bangsa
kita, menurut saya di dalam “daging” bangsa kita, Roh Kudus telah melakukan
keajaiban dalam menyampaikan misteri Yesus Kristus yang wafat dan bangkit
kembali. Dan hal ini datang kepada kita “dalam bahasa kita”, dari bibir dan
gerak tubuh kakek-nenek dan orangtua kita, dari para katekis, para imam, dan
para pelaku hidup bakti… Kita masing-masing dapat mengingat suara dan wajah
yang berwujud. Iman diteruskan “dalam logat”. Jangan lupakan hal ini: iman
diteruskan melalui logat, melalui para ibu dan para nenek.
Memang
benar, kita adalah para penginjil sejauh kita menghargai dalam hati kita rasa
kagum dan syukur karena telah diinjili, bahkan karena telah diinjili, karena
ini sungguh merupakan karunia yang selalu ada, yang harus terus-menerus
diperbarui dalam ingatan dan iman kita. Para penginjil yang telah diinjili,
bukan pemangku jabatan.
Saudara-saudari,
para kardinal terkasih, Pentakosta – seperti Pembaptisan kita masing-masing –
bukanlah hal masa lalu; Pentakosta adalah tindakan kreatif yang terus
diperbarui oleh Allah. Gereja – dan setiap anggotanya – menghayati misteri yang
selalu ada ini. Ia tidak hidup “dari namanya”, apalagi hidup dari warisan
arkeologis, betapapun berharga dan mulianya. Gereja, dan setiap anggota yang
dibaptis, menghayati masa kini Allah, melalui tindakan Roh Kudus. Bahkan
tindakan yang sedang kita lakukan saat ini masuk akal jika kita menghayatinya dari
sudut pandang iman. Dan hari ini, dalam terang Sabda, kita dapat memahami
kenyataan ini: kamu para Kardinal baru telah datang dari berbagai belahan
dunia, dan Roh tersebut yang membuat penginjilan bangsa-bangsamu membuahkan
hasil kini memperbaharui dalam dirimu panggilan dan perutusanmu dalam dan untuk
Gereja.
Dari permenungan ini, ditarik dari “kejutan”
yang berbuah, saya hanya ingin menarik dampak bagimu, saudara para kardinal,
dan untuk Dewan Kardinalmu. Saya ingin mengungkapkan hal ini dengan sebuah
gambaran, yaitu orkestra: Dewan Kardinal dikatakan menyerupai sebuah orkestra
simfoni, mewakili keharmonisan dan sinodalitas Gereja. Saya juga mengatakan
"sinodalitas", bukan hanya karena kita sedang menjelang Sidang Sinode
pertama yang bertemakan hal ini, tetapi juga karena tampaknya bagi saya
metafora orkestra dapat menjelaskan dengan baik karakter sinodal Gereja.
Sebuah simfoni tumbuh subur pada komposisi
warna nada instrumen yang berbeda-beda: masing-masing memberikan kontribusinya,
terkadang sendirian, terkadang bersatu dengan orang lain, terkadang dengan
keseluruhan ansambel. Keberagaman diperlukan; keberagaman sangat diperlukan.
Tetapi, setiap suara harus berkontribusi pada desain keseluruhan. Inilah
sebabnya mengapa saling mendengarkan itu penting: setiap musisi harus
mendengarkan yang lain. Jika kita hanya mendengarkan diri kita sendiri,
betapapun indahnya suara kita, hal itu tidak akan menguntungkan simfoni
tersebut; dan hal yang sama akan terjadi jika salah satu bagian dari orkestra
tidak mendengarkan bagian lainnya, bermain seolah-olah bagian tersebut
sendirian, seolah-olah tidak merupakan keseluruhan. Selain itu, pemimpin
orkestra melayani keajaiban semacam ini yaitu setiap pertunjukan simfoni. Ia
harus mendengarkan lebih dari siapa pun, dan pada saat yang sama tugasnya
adalah membantu setiap orang dan seluruh orkestra mengembangkan kesetiaan
kreatif terbesar: kesetiaan pada karya yang sedang dilakukan, tetapi juga
kreatif, mampu memberikan jiwa pada musik tersebut, membuatnya beresonansi di
sini dan saat ini dengan cara yang unik.
Saudara-saudari
terkasih, ada baiknya kita merenungkan diri kita sendiri sebagai gambaran
orkestra, untuk belajar menjadi Gereja yang semakin simfoni dan sinodal. Saya
mengusulkan hal ini secara khusus kepadamu, para anggota Dewan Kardinal, dengan
keyakinan yang menghibur bahwa kita memiliki Roh Kudus – Dialah tokoh utamanya
– sebagai majikan kita: majikan batin kita masing-masing dan majikan dalam
berjalan bersama. Ia menciptakan keragaman dan kesatuan; Ia adalah keharmonisan
itu sendiri. Santo Basilius sedang mencari perpaduan ketika ia berkata: “Ipse
harmonia est”, ia adalah keharmonisan itu sendiri. Kita mempercayakan diri
kepada bimbingan-Nya yang lembut dan kuat, serta kepada pemeliharaan penuh
rahmat Perawan Maria.
_____
(Peter
Suriadi - Bogor, 30 September 2023)