Liturgical Calendar

KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM KONSISTORI UMUM BIASA PENGANGKATAN KARDINAL BARU 30 September 2023

Memikirkan perayaan ini dan terutama kamu, saudara-saudara terkasih, yang akan menjadi kardinal, sebuah teks dari Kisah Para Rasul terlintas di benak saya (bdk. 2:1-11). Teks tersebut mendasar : kisah Pentakosta, baptisan Gereja… Tetapi pikiran saya tertuju pada satu rincian : ungkapan yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi yang “tinggal di Yerusalem” (ayat 5). Mereka berkata : Kita “orang Partia, Media, dan Elam” (ayat 9) dan seterusnya. Daftar panjang orang-orang ini membuat saya memikirkan para kardinal, dengan bersyukur kepada Allah, berasal dari seluruh penjuru dunia, dari negara-negara yang paling beragam. Itulah alasan saya memilih perikop biblis ini.

 

Ketika merenungkan hal ini, saya menjadi sadar akan semacam “kejutan” yang tersembunyi dalam kumpulan gagasan ini, suatu kejutan yang di dalamnya, dengan sukacita, saya sepertinya mengenali humor Roh Kudus. Mohon maklum atas ungkapan tersebut.

 

Apa “kejutan” tersebut? Kejutannya terletak pada kenyataan bahwa biasanya kita para gembala, ketika kita membaca kisah Pentakosta, mengidentifikasi diri kita dengan para Rasul. Wajar dilakukan. Sebaliknya, “orang Partia, Media, Elam” dan lainnya, yang menurut pikiran saya terkait dengan para kardinal, tidak termasuk dalam kelompok para murid. Mereka berada di luar Ruang Atas; mereka adalah bagian dari “orang banyak” yang “berkerumunan” setelah mendengar bunyi seperti tiupan angin keras (bdk. ayat 6). Para Rasul “semuanya orang Galilea” (bdk. ayat 7), sedangkan orang-orang yang berkerumunan berasal “dari segala bangsa di bawah kolong langit” (ayat 5), sama seperti para uskup dan kardinal di zaman kita.

 

Pembalikan peran semacam ini memberi kita jeda untuk berpikir dan, jika kita melihat lebih dekat, hal ini mengungkapkan sudut pandang menarik, yang ingin saya bagikan kepadamu. Ini adalah soal penerapan pada diri kita sendiri – saya akan mendahulukan diri saya sendiri – pengalaman orang-orang Yahudi yang, dengan karunia Allah, mendapati diri mereka menjadi tokoh utama dalam peristiwa Pentakosta, yaitu “baptisan” oleh Roh Kudus yang melahirkan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Saya akan merangkum sudut pandang ini sebagai berikut : dengan tercengang-cengang menemukan kembali karunia menerima Injil “dalam bahasa kita sendiri” (ayat 11), sebagaimana dikatakan orang-orang Yahudi. Mengingat kembali dengan rasa syukur karunia telah diinjili dan diambil dari berbagai bangsa yang, pada masanya masing-masing menerima kerygma, pewartaan misteri keselamatan, dan menyambutnya, dibaptis dalam Roh Kudus dan menjadi bagian dari Gereja. Gereja Induk, yang berbicara dalam semua bahasa, adalah satu dan katolik.

 

Kata-kata dalam Kisah Para Rasul ini membuat kita merenungkan bahwa, sebelum menjadi “rasul”, sebelum menjadi imam, uskup, kardinal, kita adalah “orang Partia, Media, Elam”, dan seterusnya, dan seterusnya. Dan hal ini hendaknya membangkitkan kekaguman dan rasa syukur dalam diri kita karena telah menerima rahmat Injil di antara bangsa-bangsa asal kita masing-masing. Menurut saya ini sangat penting dan tidak boleh dilupakan. Karena di sana, dalam sejarah bangsa kita, menurut saya di dalam “daging” bangsa kita, Roh Kudus telah melakukan keajaiban dalam menyampaikan misteri Yesus Kristus yang wafat dan bangkit kembali. Dan hal ini datang kepada kita “dalam bahasa kita”, dari bibir dan gerak tubuh kakek-nenek dan orangtua kita, dari para katekis, para imam, dan para pelaku hidup bakti… Kita masing-masing dapat mengingat suara dan wajah yang berwujud. Iman diteruskan “dalam logat”. Jangan lupakan hal ini: iman diteruskan melalui logat, melalui para ibu dan para nenek.

 

Memang benar, kita adalah para penginjil sejauh kita menghargai dalam hati kita rasa kagum dan syukur karena telah diinjili, bahkan karena telah diinjili, karena ini sungguh merupakan karunia yang selalu ada, yang harus terus-menerus diperbarui dalam ingatan dan iman kita. Para penginjil yang telah diinjili, bukan pemangku jabatan.

 

Saudara-saudari, para kardinal terkasih, Pentakosta – seperti Pembaptisan kita masing-masing – bukanlah hal masa lalu; Pentakosta adalah tindakan kreatif yang terus diperbarui oleh Allah. Gereja – dan setiap anggotanya – menghayati misteri yang selalu ada ini. Ia tidak hidup “dari namanya”, apalagi hidup dari warisan arkeologis, betapapun berharga dan mulianya. Gereja, dan setiap anggota yang dibaptis, menghayati masa kini Allah, melalui tindakan Roh Kudus. Bahkan tindakan yang sedang kita lakukan saat ini masuk akal jika kita menghayatinya dari sudut pandang iman. Dan hari ini, dalam terang Sabda, kita dapat memahami kenyataan ini: kamu para Kardinal baru telah datang dari berbagai belahan dunia, dan Roh tersebut yang membuat penginjilan bangsa-bangsamu membuahkan hasil kini memperbaharui dalam dirimu panggilan dan perutusanmu dalam dan untuk Gereja.

Dari permenungan ini, ditarik dari “kejutan” yang berbuah, saya hanya ingin menarik dampak bagimu, saudara para kardinal, dan untuk Dewan Kardinalmu. Saya ingin mengungkapkan hal ini dengan sebuah gambaran, yaitu orkestra: Dewan Kardinal dikatakan menyerupai sebuah orkestra simfoni, mewakili keharmonisan dan sinodalitas Gereja. Saya juga mengatakan "sinodalitas", bukan hanya karena kita sedang menjelang Sidang Sinode pertama yang bertemakan hal ini, tetapi juga karena tampaknya bagi saya metafora orkestra dapat menjelaskan dengan baik karakter sinodal Gereja.

Sebuah simfoni tumbuh subur pada komposisi warna nada instrumen yang berbeda-beda: masing-masing memberikan kontribusinya, terkadang sendirian, terkadang bersatu dengan orang lain, terkadang dengan keseluruhan ansambel. Keberagaman diperlukan; keberagaman sangat diperlukan. Tetapi, setiap suara harus berkontribusi pada desain keseluruhan. Inilah sebabnya mengapa saling mendengarkan itu penting: setiap musisi harus mendengarkan yang lain. Jika kita hanya mendengarkan diri kita sendiri, betapapun indahnya suara kita, hal itu tidak akan menguntungkan simfoni tersebut; dan hal yang sama akan terjadi jika salah satu bagian dari orkestra tidak mendengarkan bagian lainnya, bermain seolah-olah bagian tersebut sendirian, seolah-olah tidak merupakan keseluruhan. Selain itu, pemimpin orkestra melayani keajaiban semacam ini yaitu setiap pertunjukan simfoni. Ia harus mendengarkan lebih dari siapa pun, dan pada saat yang sama tugasnya adalah membantu setiap orang dan seluruh orkestra mengembangkan kesetiaan kreatif terbesar: kesetiaan pada karya yang sedang dilakukan, tetapi juga kreatif, mampu memberikan jiwa pada musik tersebut, membuatnya beresonansi di sini dan saat ini dengan cara yang unik.

 

Saudara-saudari terkasih, ada baiknya kita merenungkan diri kita sendiri sebagai gambaran orkestra, untuk belajar menjadi Gereja yang semakin simfoni dan sinodal. Saya mengusulkan hal ini secara khusus kepadamu, para anggota Dewan Kardinal, dengan keyakinan yang menghibur bahwa kita memiliki Roh Kudus – Dialah tokoh utamanya – sebagai majikan kita: majikan batin kita masing-masing dan majikan dalam berjalan bersama. Ia menciptakan keragaman dan kesatuan; Ia adalah keharmonisan itu sendiri. Santo Basilius sedang mencari perpaduan ketika ia berkata: “Ipse harmonia est”, ia adalah keharmonisan itu sendiri. Kita mempercayakan diri kepada bimbingan-Nya yang lembut dan kuat, serta kepada pemeliharaan penuh rahmat Perawan Maria.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 30 September 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 27 September 2023 : PERJALANAN APOSTOLIK KE MARSEILLE DALAM RANGKA PERTEMUAN MÉDITERANIAN

Saudara-saudari terkasih!

 

Saya pergi ke Marseille pada akhir pekan lalu untuk ikut serta dalam penutupan Pertemuan Méditeranian, yang melibatkan para uskup dan walikota di wilayah Mediterania, bersama dengan banyak kaum muda, sehingga pandangan mereka terbuka terhadap masa depan. Bahkan, acara yang terjadi di Marseille ini diberi nama “Mosaik Harapan”. Ini adalah mimpi, ini adalah tantangan : Mediteranian dapat memulihkan panggilannya, yaitu menjadi laboratorium peradaban dan perdamaian.

 

Seperti kita ketahui, Mediteranian adalah tempat lahirnya peradaban dan kehidupan! Mediteranian tidak boleh dijadikan kuburan dan tempat pertikaian. Laut Mediteranian adalah kebalikan dari bentrokan antarperadaban, perang, dan perdagangan manusia. Justru sebaliknya karena Mediteranian merupakan sarana komunikasi antara Afrika, Asia, dan Eropa; antara utara dan selatan, timur dan barat, manusia dan kebudayaan, masyarakat dan bahasa, filsafat dan agama. Tentu saja, laut selalu merupakan sebuah jurang yang harus diatasi dengan berbagai cara, dan bahkan bisa menjadi berbahaya. Tetapi perairannya menjaga kekayaan kehidupan; ombak dan anginnya membawa segala jenis kapal.

 

Injil Yesus Kristus berangkat dari pantai timurnya dua ribu tahun yang lalu. Tentu saja, pewartaan Injil tidak terjadi secara ajaib, juga tidak terlaksana untuk selamanya. Pewartaan Injil adalah buah dari sebuah perjalanan di mana setiap generasi dipanggil untuk melakukan perjalanan, membaca tanda-tanda zaman di mana ia hidup.

 

Pertemuan di Marseille terjadi setelah pertemuan serupa terjadi di Bari pada tahun 2020, dan di Florence tahun lalu. Pertemuan tersebut bukan acara yang berdiri sendiri, tetapi sebuah langkah maju dari rencana perjalanan yang dimulai dengan “Kolokium Mediteranian” yang diselenggarakan oleh Giorgio La Pira, Walikota Florence, pada akhir tahun 1950-an. Hal ini merupakan sebuah langkah maju untuk menanggapi seruan yang diluncurkan oleh Santo Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio, untuk memajukan “komunitas dunia yang lebih manusiawi, di mana semua orang dapat memberi dan menerima, serta di mana kemajuan sebagian orang tidak dibayar dengan apa yang dikorbankan orang lain” (no. 44).

 

Apa hasil dari acara di Marseille? Apa yang dihasilkan adalah pandangan mengenai Mediteranian yang saya sebut sekadar pandangan manusiawi, bukan ideologis, bukan strategis, bukan benar secara politis atau bersifat instrumental; tidak, manusiawi, yaitu mampu merujuk segala sesuatu pada nilai utama pribadi manusia dan martabatnya yang tidak dapat diganggu gugat. Kemudian, pada saat yang sama, pandangan penuh harapan muncul. Saat ini, hal ini mengejutkan – ketika kamu mendengar kesaksian dari mereka yang pernah mengalami situasi yang tidak manusiawi, atau yang pernah mengalaminya, dan mereka sendiri memberimu “pengakuan harapan”. Dan juga pandangan persaudaraan.

 

Saudara-saudari, harapan ini, persaudaraan ini tidak boleh “menguap”; tidak, melainkan perlu dikelola, diwujudnyatakan melalui tindakan jangka panjang, menengah dan pendek sehingga orang-orang, dengan bermartabat, dapat memilih untuk bermigrasi atau tidak. Mediteranian harus menjadi pesan harapan.

 

Tetapi ada aspek lain yang saling melengkapi : harapan perlu dikembalikan kepada masyarakat Eropa, terutama kepada generasi baru. Sebenarnya, bagaimana kita bisa menyambut orang lain jika kita sendiri tidak mempunyai cakrawala yang terbuka untuk masa depan? Bagaimana kaum muda, yang miskin harapan, menutup diri terhadap kehidupan pribadi mereka, khawatir menghadapi keadaan sulit, membuka diri untuk bertemu orang lain dan berbagi? Masyarakat kita, yang sering kali muak dengan individualisme, konsumerisme, dan pelarian diri yang kosong, perlu membuka diri, jiwa dan semangat mereka perlu diberi oksigen, sehingga mereka akan mampu membaca krisis ini sebagai sebuah peluang dan menghadapinya secara positif.

 

Eropa perlu mendapatkan kembali semangat dan antusiasme. Dan saya dapat mengatakan bahwa saya menemukan semangat dan antusiasme di Marseille: dalam diri para gembalanya, Kardinal Aveline; dalam diri para imam dan para pelaku hidup bakti; dalam diri kaum awam yang mengabdi pada amal, pada pendidikan; dalam umat Allah yang menunjukkan kehangatan luar biasa selama Misa di Stadion Vélodrome, saya berterima kasih kepada mereka semua dan Presiden Republik Prancis, yang kehadirannya memberikan kesaksian bahwa seluruh Prancis menaruh perhatian pada acara di Marseille. Semoga Bunda Maria, yang dihormati oleh masyarakat Marseille sebagai Notre Dame de la Garde, menemani perjalanan masyarakat Mediterania sehingga wilayah ini dapat menjadi seperti yang selama ini mereka sebut – sebuah mosaik peradaban dan harapan.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyampaikan sambutan hangat kepada para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Norwegia, Belanda, Afrika Selatan, India, india, Filipina, Kanada dan Amerika Serikat. Salam khusus saya sampaikan kepada kelas diakonat Kolose Kepausan Amerika Utara, bersama dengan keluarga dan para sahabat mereka. Atas kamu semua saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: kunjungan saya baru-baru ini ke Marseille bertepatan dengan berakhirnya pertemuan penting para pemimpin sipil dan agama, serta banyak kaum muda, dari negara-negara Mediteranian. Tema Pertemuan ini, “Mosaik Harapan”, tidak hanya menyinggung harapan akan kebebasan yang menginspirasi para migran untuk melakukan perjalanan berbahaya, tetapi juga kebutuhan Eropa akan harapan baru di masa depan. Wilayah Mediteranian, yang mencakup tiga benua dan beragam budaya, dipanggil, terutama pada masa migrasi paksa ini, untuk menjadi “bengkel peradaban dan perdamaian” dalam melayani dunia yang lebih manusiawi dan bersaudara. Pertemuan tersebut menegaskan kembali pentingnya penghormatan terhadap hak untuk bermigrasi atau tidak, dan kebutuhan mendesak, mengingat pola migrasi saat ini, akan tatanan keamanan, penerimaan dan keterpaduan yang memadai. Semoga kaum muda khususnya membantu menyusun “Mosaik Harapan” yang merupakan masa kini dan masa depan dunia Mediteranian, serta juga melihat bahwa harapan yang tercermin di wajah saudara-saudari mereka datang dari jauh.

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 28 September 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 24 September 2023 : ALLAH SELALU KELUAR MEMANGGIL KITA DAN IA MENGGANJAR SETIAP ORANG DENGAN “DINAR” YANG SAMA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil hari ini menyajikan kepada kita sebuah perumpamaan yang mengejutkan : pemilik kebun anggur keluar dari pagi hingga petang untuk memanggil beberapa pekerja, namun pada akhirnya, ia membayar semua orang tersebut dengan upah yang sama, bahkan mereka yang hanya bekerja satu jam (bdk. Mat 20:1-16). Tampaknya sebuah ketidakadilan, namun perumpamaan ini seharusnya tidak dibaca menurut kriteria upah; sebaliknya, perumpamaan ini bertujuan untuk menunjukkan kepada kita kriteria Allah, yang tidak memperhitungkan jasa kita, tetapi mengasihi kita sebagai anak-anak-Nya.

 

Marilah kita melihat lebih dekat dua tindakan ilahi yang muncul dari cerita tersebut. Pertama, Allah selalu keluar memanggil kita; kedua, Ia mengganjar setiap orang dengan “dinar” yang sama.

 

Pertama, Allah keluar setiap saat untuk memanggil kita. Perumpamaan ini mengatakan bahwa sang pemilik kebun anggur “pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya” (ayat 1), bahkan kemudian ia terus keluar pada waktu yang berbeda-beda hingga matahari terbenam, untuk mencari orang-orang yang belum diajak bekerja oleh seorang pun. Dengan demikian kita memahami bahwa dalam perumpamaan tersebut yang dimaksud dengan para pekerja bukan hanya manusia saja, tetapi terutama Allah, yang bekerja seharian tanpa lelah. Demikianlah Allah : Ia tidak menunggu upaya kita datang kepada kita, Ia tidak melakukan ujian untuk menilai kebaikan kita sebelum mencari kita, Ia tidak menyerah jika kita terlambat memberikan tanggapan kepada-Nya; sebaliknya, Ia sendiri yang berprakarsa. dan di dalam Yesus telah “keluar" kepada kita, menunjukkan kasih-Nya kepada kita. Dan Ia mencari kita sepanjang hari, yang, sebagaimana dinyatakan oleh Santo Gregorius Agung, mewakili berbagai tahapan dan masa kehidupan kita hingga usia tua (bdk. Homili tentang Injil, 19). Bagi hati-Nya, tidak ada kata terlambat; Ia selalu mencari dan menunggu kita. Janganlah kita melupakan hal ini : Tuhan senantiasa mencari kita dan menantikan kita, selalu!

 

Justru karena Ia begitu berbesar hati, Allah – ini adalah tindakan kedua – mengganjar semua orang dengan “dinar” yang sama, yaitu kasih-Nya. Inilah arti utama dari perumpamaan ini: para pekerja di saat-saat terakhir dibayar seperti yang pertama karena, pada kenyataannya, keadilan Allah adalah keadilan tertinggi. Keadilan Allah lebih jauh lagi. Keadilan manusia mengatakan "berilah setiap orang sesuai dengan apa yang pantas mereka terima”, sedangkan keadilan Allah tidak mengukur kasih berdasarkan imbalan, kinerja, atau kegagalan kita: Allah hanya mengasihi kita, Ia mengasihi kita karena kita adalah anak-anak-Nya, dan Ia melakukannya dengan kasih tanpa syarat, kasih yang diberikan secara cuma-cuma.

 

Saudara-saudari, kadang-kadang kita mengambil risiko memiliki hubungan “dagang” dengan Allah, lebih berfokus pada kehebatan kita dibandingkan pada kemurahan hati rahmat-Nya. Kadang-kadang bahkan sebagai Gereja, alih-alih keluar sepanjang hari dan mengulurkan tangan kepada semua orang, kita malah merasa menjadi yang pertama di kelas kita, menilai orang lain dari jauh, tanpa berpikir bahwa Allah juga mengasihi mereka dengan kasih yang sama dengan terhadap kita. Dan bahkan dalam hubungan kita, yang merupakan tatanan masyarakat, keadilan yang kita laksanakan terkadang gagal keluar dari kurungan perhitungan, dan kita membatasi diri untuk memberi sesuai dengan apa yang kita terima, tanpa berani bertindak lebih jauh, tanpa menghitung keefektifan kebaikan yang dilakukan secara cuma-cuma dan kasih yang diberikan dengan hati yang lapang. Saudara-saudari, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri: apakah aku, seorang kristiani, tahu bagaimana bersikap terhadap orang lain? Apakah aku bermurah hati terhadap semua orang, apakah aku tahu bagaimana memberikan pengertian dan pengampunan lebih, seperti yang telah dan sedang dilakukan Yesus setiap hari terhadapku?

 

Semoga Bunda Maria membantu kita untuk masuk ke dalam ukuran Allah : yaitu kasih tanpa ukuran.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari yang terkasih!

 

Hari ini adalah Hari Migran dan Pengungsi Sedunia, dengan tema: “Bebas memilih apakah akan bermigrasi atau tinggal”, mengingat bahwa bermigrasi harus menjadi pilihan bebas, dan tidak pernah menjadi satu-satunya pilihan yang mungkin. Memang benar, hak untuk bermigrasi kini telah menjadi sebuah kewajiban bagi banyak orang, padahal seharusnya ada hak untuk tidak bermigrasi, tetap tinggal di negaranya sendiri. Setiap laki-laki dan perempuan perlu dijamin haknya untuk menjalani kehidupan yang bermartabat dalam masyarakat di mana mereka berada. Sayangnya, kemiskinan, peperangan, dan krisis iklim memaksa begitu banyak orang mengungsi. Oleh karena itu, kita semua dituntut untuk menciptakan komunitas yang siap dan terbuka untuk menyambut, mempromosikan, mendampingi dan memadukan mereka yang mengetuk pintu kita.

 

Tantangan ini merupakan inti Pertemuan Méditeranian, yang berlangsung beberapa hari terakhir di Marseille, dan sesi penutupnya saya ikuti kemarin, melakukan perjalanan ke kota tersebut, persimpangan jalan masyarakat dan budaya.

 

Terutama saya mengucapkan terima kasih kepada para uskup Konferensi Wali Gereja Italia yang melakukan segala yang mereka bisa untuk membantu saudara-saudari migran kita. Kita baru saja mendengar Uskup Agung Baturi di televisi, dalam acara “A Sua Immagine” menjelaskan hal ini.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan banyak negara, khususnya seminari keuskupan internasional Redemptoris Mater di Cologne, Jerman. Demikian pula saya menyapa sekelompok orang yang terkena penyakit langka yang disebut ataksia, bersama para anggota keluarganya.

Saya kembali mengundang untuk ikut serta dalam acara doa ekumenis bertajuk “Bersama-sama”, yang akan berlangsung pada hari Sabtu tanggal 30 September mendatang di Lapangan Santo Petrus, sebagai persiapan untuk Sidang Sinode yang akan dimulai pada tanggal 4 Oktober.

 

Marilah kita mengingat kembali Ukraina yang terkepung, dan mendoakan bangsa yang sedang sangat menderita ini.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa mendoakanku. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!
______

(Peter Suriadi - Bogor, 25 September 2023)


WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 20 September 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 21) - SANTO DANIEL COMBONI, RASUL UNTUK AFRIKA DAN NABI PERUTUSAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Masih alam rangkaian katekese tentang semangat penginjilan, yaitu semangat apostolik, marilah hari ini kita meluangkan waktu untuk kesaksian Santo Daniel Comboni. Ia adalah seorang rasul untuk Afrika yang penuh semangat. Ia menulis tentang bangsa tersebut : “mereka telah menguasai hatiku yang hidup hanya untuk mereka” (Tulisan-tulisan, 941). “Aku akan mati dengan Afrika di bibirku” (Tulisan-tulisan, 1441). Hal itu indah, bukan? Dan ia menuliskan hal ini kepada mereka : “Hari-hariku yang paling bahagia adalah ketika aku dapat memberikan hidupku untukmu” (Tulisan-tulisan, 3159). Inilah ungkapan dari seseorang yang jatuh cinta kepada Allah dan kepada saudara-saudari yang ia layani dalam perutusan, yang tidak pernah kenal lelah ia ingatkan bahwa “Yesus Kristus juga menderita dan wafat bagi mereka” (Tulisan-tulisan, 2499; 4801).

 

Ia menegaskan hal ini dalam konteks yang bercirikan kengerian perbudakan, yang ia persaksikan. Perbudakan “mengobyektifikasi” manusia, yang nilainya dimerosotkan menjadi berguna bagi seseorang atau sesuatu. Tetapi Yesus, Allah yang menjadi manusia, meninggikan martabat setiap manusia dan menyingkapkan kepalsuan setiap perbudakan. Dalam terang Kristus, Comboni menjadi sadar akan kejahatan perbudakan. Terlebih lagi, ia memahami bahwa perbudakan sosial berakar pada perbudakan yang lebih dalam lagi, yaitu perbudakan hati, perbudakan dosa, yang daripadanya Tuhan membebaskan kita. Oleh karena itu, sebagai umat Kristiani, kita dipanggil untuk melawan segala bentuk perbudakan. Sayangnya, perbudakan, seperti halnya kolonialisme, bukan sesuatu yang terjadi di masa lalu. Di Afrika yang sangat dicintai Comboni, yang saat ini dilanda banyak pertikaian, “eksploitasi politik memberi jalan kepada ‘kolonialisme ekonomi’ yang juga memperbudak. (…) Ini adalah tragedi yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang lebih maju secara ekonomi”. Oleh karena itu saya kembali menyerukan : “Berhentilah mencekik Afrika : Afrika bukanlah sebuah tambang yang harus dilucuti atau sebuah wilayah yang harus dijarah” (Pertemuan dengan Pemerintah, Kinshasa, 31 Januari 2023).

 

Dan kembali ke kehidupan Santo Daniel. Setelah kurun waktu awal dihabiskan di Afrika, ia harus meninggalkan perutusan karena alasan kesehatan. Terlalu banyak misionaris yang meninggal setelah tertular malaria, hal ini diperburuk oleh kurangnya kesadaran terhadap situasi setempat. Meskipun orang-orang meninggalkan Afrika, Comboni tidak melakukan hal tersebut. Setelah beberapa saat melakukan pembedaan roh, ia merasa Tuhan sedang mengilhaminya di sepanjang jalan penginjilan yang baru, yang ia simpulkan dalam kata-kata ini : “Selamatkanlah Afrika dengan Afrika” (Tulisan-tulisan, 2741+). Ini adalah wawasan yang kuat, tanpa kolonialisme. Sebuah wawasan yang kuat yang membantu memperbarui jangkauan misionernya: orang-orang yang telah diinjili bukan hanya sekadar “obyek”, namun “subyek” perutusan. Dan Santo Daniel Comboni ingin setiap umat Kristiani ikut serta dalam upaya penginjilan. Dengan semangat tersebut, ia memadukan pemikiran dan tindakannya, melibatkan para klerus setempat dan mengembangkan pelayanan awam sebagai katekis. Katekis adalah khazanah dalam Gereja. Katekis adalah orang yang mengedepankan penginjilan. Ia juga memahami pembangunan manusia dengan cara ini, mengembangkan seni dan profesi, meningkatkan peran keluarga dan perempuan dalam transformasi budaya dan masyarakat. Dan, bahkan saat ini, membuat kemajuan keimanan dan pembangunan manusia dalam konteks perutusan, ketimbang mentransplantasikan model lahiriah atau membatasinya pada paham kesejahteraan yang mandul sangat penting! Baik model lahiriah maupun berpaham kesejahteraan. Mengambil cara penginjilan dari kebudayaan, dari kebudayaan masyarakat. Penginjilan budaya dan inkulturasi Injil berjalan seiring.

 

Tetapi, besarnya hasrat misioner Comboni bukan buah dari usaha manusiawi. Ia tidak terdorong oleh keberaniannya sendiri atau hanya termotivasi oleh nilai-nilai penting seperti kebebasan, keadilan dan perdamaian. Semangatnya berasal dari sukacita Injil, yang berasal dari kasih Kristus yang kemudian menuntun kepada kasih akan Kristus! Santo Daniel menulis, “Perutusan yang sulit dan melelahkan seperti yang kita lakukan tidak dapat diabaikan, dijalani oleh orang-orang berleher bengkok yang penuh dengan egoisme dan diri mereka sendiri, yang tidak peduli dengan kesehatan mereka dan pertobatan jiwa sebagaimana mestinya”. Inilah tragedi klerikalisme yang menyebabkan umat Kristiani, termasuk kaum awam, melakukan klerikalisasi terhadap diri mereka dan mengubah diri mereka – sebagaimana dikatakan di sini – menjadi orang-orang yang berleher bengkok dan penuh dengan egoisme. Inilah wabah klerikalisme. Dan ia menambahkan, “Pentingnya mengobarkan mereka dengan kasih yang bersumber dari Allah dan kasih Kristus; ketika kita benar-benar mengasihi Kristus, maka kesengsaraan, penderitaan dan kemartiran menjadi manis” (Tulisan-tulisan, 6656). Ia ingin melihat para misionaris yang bersemangat, gembira, berdedikasi, misionaris yang “kudus dan cakap”, tulisnya, “pertama-tama orang-orang kudus, yaitu, sepenuhnya bebas dari dosa dan pelanggaran terhadap Allah dan rendah hati. Tetapi ini tidak cukup: kita membutuhkan amal kasih yang memungkinkan kita menjadi subyek” (Tulisan-tulisan, 6655). Oleh karena itu, bagi Comboni, sumber kemampuan misioner adalah kasih, khususnya, semangat yang dengannya ia menjadikan penderitaan orang lain sebagai penderitaannya.

 

Selain itu, hasratnya terhadap penginjilan tidak pernah membawanya untuk bertindak sendirian, tetapi selalu dalam persekutuan, dalam Gereja. “Aku hanya mempunyai satu kehidupan untuk dipersembahkan demi keselamatan jiwa-jiwa : Aku berharap memiliki seribu kehidupan untuk dipergunakan demi tujuan ini” (Tulisan-tulisan, 2271).

 

Saudara-saudari, Santo Daniel bersaksi tentang kasih Sang Gembala yang baik yang berangkat mencari orang yang hilang dan memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Semangatnya sangat energik dan bersifat kenabian dalam menentang ketidakpedulian dan pengucilan. Dalam suratnya, ia dengan sungguh-sungguh menyebut Gerejanya yang tercinta yang sudah terlalu lama melupakan Afrika. Impian Comboni adalah sebuah Gereja yang mempunyai tujuan yang sama dengan mereka yang disalib dalam sejarah, sehingga dapat mengalami kebangkitan bersama mereka. Pada saat ini, saya ingin menyarankan kamu semua. Pikirkanlah mereka yang disalib dalam sejarah masa kini: laki-laki, perempuan, anak-anak, kaum lanjut usia, semua orang yang disalibkan oleh sejarah ketidakadilan dan dominasi. Marilah kita memikirkan mereka dan marilah kita mendoakan mereka. Kesaksiannya sepertinya ingin diulangi kepada kita semua, baik pria maupun wanita Gereja: “Janganlah melupakan kaum miskin – kasihilah mereka – karena Yesus yang tersalib hadir di dalam diri mereka, menanti untuk bangkit kembali”. Jangan sampai kita melupakan kaum miskin. Sebelum datang ke sini, saya bertemu dengan para anggota legislatif Brasil yang bekerja untuk kaum miskin, yang mencoba untuk mempromosikan kaum miskin melalui pertolongan dan keadilan sosial. Dan mereka tidak melupakan kaum miskin – mereka bekerja untuk kaum miskin. Kepada kamu semua, saya katakan: janganlah melupakan kaum miskin, karena merekalah yang akan membukakan pintu surga bagimu. Terima kasih.

 

[Imbauan]

 

Kemarin, saya mendengar berita yang meresahkan dari Nagorno Karabakh, Kaukasus Selatan, di mana situasi kemanusiaan yang sudah kritis kini diperburuk oleh bentrokan bersenjata yang terus berlanjut. Dengan tulus saya mengimbau semua pihak yang terlibat dan komunitas internasional agar membungkam senjata-senjata tersebut dan segala upaya dilakukan untuk menemukan penyelesaian damai demi kebaikan masyarakat dan penghormatan terhadap martabat manusia.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Denmark, Norwegia, Kamerun, Australia, India, india, Malaysia, Filipina dan Amerika Serikat. Bagimu dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih : Dalam katekese kita tentang semangat kerasulan, kita telah merenungkan penyebaran Injil melalui kesaksian pria dan wanita di setiap waktu dan tempat. Hari ini kita beralih ke Afrika dan visi misioner kenabian Santo Daniel Comboni, yang berpusat pada kekuatan Injil yang membebaskan. Dalam konteks sosial yang ditandai dengan kejahatan perbudakan, Daniel Comboni mewartakan Kristus, yang tersalib dan bangkit, sebagai sumber kebebasan sejati, tidak hanya dari dosa tetapi dari segala bentuk perbudakan yang merendahkan martabat kemanusiaan kita. Sebelumnya, ia menyadari perlunya penginjilan terpadu yang melibatkan para klerus, katekis, dan pemimpin awam setempat, yang berlandaskan pesan Injil dan seruannya untuk membangun tatanan sosial yang adil, bersetiakawan, dan manusiawi. Bagi Santo Daniel Comboni, kasih Kristiani, yang diwujudkan dalam kesetiakawanan kita dengan mereka yang menderita, adalah inspirasi utama dan kekuatan pendorong di balik semua penjangkauan misioner. Semoga kecintaannya terhadap Gereja, komitmennya terhadap misi semesta Gereja, dan kepedulian pastoralnya terhadap masa depan masyarakat Afrika terus mengilhami upaya penginjilan Gereja di zaman kita sekarang.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 21 September 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 17 September 2023 : MENGAMPUNI TANPA PERHITUNGAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!


Hari ini, Bacaan Injil berbicara kepada kita tentang pengampunan (bdk. Mat 18:21-35). Petrus bertanya kepada Yesus, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (ayat 21).

 

Tujuh, dalam Kitab Suci, adalah angka yang menunjukkan kesempurnaan, sehingga Petrus sangat bermurah hati dalam pengandaian pertanyaannya. Tetapi Yesus melangkah lebih jauh dan menjawabnya, “Aku berkata kepadamu : Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh” (ayat 22). Ia memberitahu Petrus bahwa ketika mengampuni, kita tanpa perhitungan; mengampuni segalanya baik, dan selalu! Sebagaimana diperbuat Allah terhadap kita, dan sebagaimana dituntut oleh mereka yang melaksanakan keadilan Allah: selalu mengampuni. Saya sering mengatakan hal ini kepada para imam, kepada para bapa pengakuan: mengampunilah selalu, sebagaimana Allah mengampuni.

 

Yesus kemudian menggambarkan kenyataan ini melalui sebuah perumpamaan, yang lagi-lagi berkaitan dengan angka. Seorang raja, setelah dimohonkan, mengampuni seorang hambanya yang berutang sepuluh ribu talenta: sepuluh ribu talenta adalah jumlah yang sangat besar nilainya, berkisar antara 200 hingga 500 ton perak: sangat besar nilainya. Suatu utang yang mustahil untuk dilunasi, sekalipun bekerja seumur hidup: tetapi sang raja ini, yang mengingatkan Bapa kita, menghapuskan utang tersebut hanya karena “belas kasihan” (ayat 27). Inilah hati Allah: Ia selalu mengampuni, karena Allah maha pengasih. Janganlah kita lupa alangkah demikian Allah itu: Ia dekat, penuh kasih sayang dan lembut; inilah cara Allah berada. Tetapi hamba yang utangnya telah dhapuskan itu tidak menunjukkan belas kasihan kepada sesama hamba yang berutang 100 dinar kepadanya. Jumlah ini juga merupakan jumlah yang besar, setara dengan upah sekitar tiga bulan – seolah-olah hendak mengatakan bahwa saling mengampuni memerlukan biaya! - tetapi sama sekali tidak sebanding dengan penghapusan yang telah ia terima dari sang raja sebelumnya.

 

Pesan Yesus jelas : Allah mengampuni tanpa batas, melebihi segala ukuran. Beginilah Dia; Ia bertindak karena kasih, dan cuma-cuma. Allah tidak bisa dibeli, Allah bebas, Ia adalah segenap kecuma-cumaan. Kita tidak dapat membalas kebaikan-Nya, tetapi ketika kita mengampuni saudara atau saudari kita, kita meneladani-Nya. Oleh karena itu, mengampuni bukanlah perbuatan baik yang bisa kita pilih untuk dilakukan atau tidak: mengampuni adalah syarat dasariah bagi umat Kristiani. Faktanya, kita masing-masing telah “diampuni”: janganlah kita melupakan hal ini, kita telah diampuni, Tuhan memberikan hidup-Nya bagi kita dan kita tidak dapat membalas belas kasihan-Nya, yang tidak pernah Ia enyahkan dari hati-Nya. Tetapi, berkaitan dengan kecuma-cumaan-Nya, yaitu dengan saling mengampuni, kita dapat memberikan kesaksian tentang Dia, menaburkan kehidupan baru di sekitar kita. Sebab di luar pengampunan tidak ada harapan; di luar pengampunan tidak ada kedamaian. Pengampunan adalah oksigen yang memurnikan udara kebencian, pengampunan adalah penangkal racun rasa dendam, cara meredakan amarah dan menyembuhkan begitu banyak penyakit hati yang mencemari masyarakat.

 

Marilah kita bertanya pada diri kita : apakah aku yakin bahwa aku telah menerima karunia pengampunan Allah yang sangat besar? Apakah aku merasakan sukacita memahami bahwa Ia selalu siap mengampuniku ketika aku terjatuh, bahkan ketika orang lain tidak melakukannya, bahkan ketika aku bahkan tidak mampu mengampuni diriku sendiri? Ia mengampuni : apakah aku percaya bahwa Ia mengampuni? Dan kemudian: sudikah aku mengampuni mereka yang bersalah kepadaku? Dalam hal ini, saya ingin mengusulkan sedikit latihan kepadamu : marilah kita mencoba, sekarang, kita masing-masing, untuk memikirkan seseorang yang telah menyakiti kita, dan memohon kepada Tuhan kekuatan untuk mengampuni mereka. Dan marilah kita mengampuni mereka demi mengasihi Tuhan: saudara-saudari, ini akan membawa kebaikan bagi kita; mengampuni mereka yang menyakiti kita akan memulihkan kedamaian di dalam hati kita.

 

Semoga Maria, Bunda Belas Kasihan, membantu kita menerima rahmat Allah dan saling mengampuni.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Pada hari Jumat saya akan pergi ke Marseille untuk ikut serta dalam penutupan Recontres Méditerranéennes, sebuah prakarsa bagus yang berlangsung di kota-kota penting di Mediterania, mempertemukan para pemimpin gerejawi dan sipil untuk mempromosikan jalan perdamaian, kerjasama dan keterpaduan di sekitar mare nostrum, dengan perhatian khusus terhadap fenomena migrasi. Hal ini merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah, seperti yang juga kita lihat dari pemberitaan beberapa hari terakhir, tetapi harus dihadapi bersama, karena hal ini penting untuk masa depan semua orang, yang hanya akan sejahtera jika dibangun atas dasar persaudaraan, sungguh mengutamakan martabat manusia dan masyarakat, terutama mereka yang paling membutuhkan. Seraya saya memintamu untuk menyertai perjalanan ini dengan doa, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada otoritas sipil dan keagamaan, dan mereka yang bekerja untuk mempersiapkan pertemuan di Marseille, sebuah kota yang kaya akan masyarakat, yang dipanggil untuk menjadi pelabuhan harapan. Saat ini saya menyapa seluruh penduduk, berharap dapat bertemu dengan begitu banyak saudara dan saudari terkasih.

 

Dan saya menyambut kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan berbagai negara, khususnya perwakilan beberapa paroki di Miami, Banda de Gaitas del Batallón de San Patricio, umat Pieve del Cairo dan Castelnuovo Scrivia, serta para Suster Misionaris Sang Penebus Mahakudus Gereja Katolik Yunani Ukraina.. Dan saya terus mendoakan rakyat Ukraina yang tersiksa, dan perdamaian di setiap negeri yang berlumuran darah akibat perang.

 

Dan saya menyapa kaum muda Immacolata!

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kamu semua, dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

____

(Peter Suriadi - Bogor, 17 September 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 30 Agustus 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 20) - BEATO JOSÉ GREGORIO HERNÁNDEZ CISNEROS, DOKTER KAUM MISKIN DAN RASUL PERDAMAIAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam katekese kita, kita terus bertemu dengan saksi-saksi yang penuh semangat bagi pewartaan Injil. Marilah kita ingat bahwa ini adalah serangkaian katekese tentang semangat kerasulan, tentang kemauan dan bahkan semangat batin untuk meneruskan Injil. Hari ini kita berangkat ke Amerika Latin, tepatnya ke Venezuela, untuk mengenal sosok seorang awam, Beato José Gregorio Hernández Cisneros. Ia dilahirkan pada tahun 1864 dan belajar keimanan terutama dari ibunya, sebagaimana diceritakannya, “Ibuku mengajariku kebajikan sejak lahir, membuat aku bertumbuh dalam pengetahuan tentang Allah dan memberiku cinta kasih sebagai panduanku”. Marilah kita perhatikan : para ibulah yang mewariskan iman. Iman disampaikan melalui logat, yaitu, bahasa para ibu, yaitu logat yang dipahami para ibu untuk berbicara dengan anak-anaknya. Dan kepada kamu para ibu : rajinlah mewariskan iman dalam logat keibuan tersebut.

 

Sungguh, cinta kasih adalah bintang utara yang mengarahkan keberadaan Beato José Gregorio : seorang yang baik dan riang dengan watak ceria, ia diberkahi dengan kecerdasan yang luar biasa; ia menjadi seorang dokter, profesor universitas, dan ilmuwan. Namun ia adalah seorang dokter yang paling dekat dengan orang-orang yang paling lemah, sehingga dia dikenal di kampung halamannya sebagai “dokter kaum miskin”. Ia selalu memperhatikan kaum miskin. Dibandingkan dengan kekayaan uang, ia lebih memilih kekayaan Injil, menghabiskan hidupnya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Dalam diri kaum miskin, orang sakit, migran, orang menderita, José Gregorio melihat Yesus. Ia menerima keberhasilan yang tidak pernah ia cari di dunia, dan terus menerimanya, dari orang-orang, yang menjulukinya “santo umat”, “rasul cinta kasih”, “misionaris pengharapan”. Nama-nama yang indah: “santo umat”, “rasul cinta kasih”, “misionaris pengharapan”.

 

José Gregorio adalah orang yang rendah hati, baik hati, dan suka menolong. Dan pada saat yang sama ia didorong oleh api batin, keinginan untuk hidup dalam pelayanan kepada Allah dan sesama. Didorong oleh semangatnya tersebut, ia beberapa kali mencoba untuk menjadi seorang rohaniwan dan imam, namun berbagai masalah kesehatan menghalanginya untuk melakukannya. Namun kelemahan fisiknya tidak membuatnya menutup diri, melainkan menjadi dokter yang semakin peka dengan kebutuhan orang lain; ia berpegang teguh pada Allah dan, tempaan jiwa membuatnya semakin melangkah menuju hal-hal yang penting. Inilah semangat kerasulan: tidak mengikuti keinginan sendiri, melainkan keterbukaan terhadap rencana Allah. Maka ia memahami bahwa, dengan merawat orang sakit, beliau dapat mengamalkan kehendak Allah, menghibur orang-orang yang menderita, memberikan harapan kepada kaum miskin, memberikan kesaksian tentang iman bukan dengan kata-kata melainkan melalui keteladanan. Jadi, melalui jalan batin ini, ia menerima obat sebagai sebuah imamat: “imamat penderitaan manusia” (M. Yaber, José Gregorio Hernández: Médico de los Pobres, Apóstol de la Justicia Social, Misionero de las Esperanzas, 2004, 107). Betapa pentingnya untuk tidak menderita secara pasif, namun, seperti dikatakan Kitab Suci, melakukan segala sesuatu dengan semangat yang baik, untuk melayani Tuhan (bdk. Kol 3:23).

 

Tetapi marilah kita bertanya pada diri kita sendiri: dari mana José Gregorio mendapatkan seluruh antusiasme dan semangat ini? Seluruh antusiasme dan semangat ini datang dari suatu kepastian dan kekuatan. Kepastiannya adalah rahmat Allah : ia menulis bahwa “jika ada orang baik dan orang jahat di dunia ini, maka orang jahat itu ada karena ia sendiri yang menjadi jahat: tetapi orang baik itu ada karena pertolongan Allah” (27 Mei 1914). Dan ia menganggap dirinya pertama-tama membutuhkan rahmat, mengemis di jalanan dan sangat membutuhkan cinta. Dan inilah kekuatan yang ia peroleh: keintiman dengan Allah. Ia adalah orang yang suka berdoa – ini adalah rahmat Allah dan keintiman dengan Tuhan. Ia adalah seorang pendoa yang ikut serta dalam Misa.

 

Dan dalam kontak dengan Yesus, yang mempersembahkan diri-Nya di altar bagi semua orang, José Gregory merasa terpanggil untuk mempersembahkan hidupnya demi perdamaian. Perang Dunia I sedang berlangsung. Jadi, kita sampai pada tanggal 29 Juni 1919: seorang sahabat datang mengunjunginya dan mendapati ia sangat bahagia. José Gregorio memang mengetahui bahwa perjanjian yang mengakhiri perang telah ditandatangani. Persembahannya telah diterima, dan seolah-olah ia meramalkan bahwa pekerjaannya di bumi telah selesai. Pagi itu, seperti biasa, ia menghadiri Misa, dan sekarang ia turun ke jalan untuk membawakan obat bagi orang yang sakit. Namun saat menyeberang jalan, ia ditabrak oleh sebuah kendaraan; dibawa ke rumah sakit, ia meninggal sambil mengucapkan nama Bunda Maria. Jadi, perjalanannya di dunia berakhir, di jalan sambil melakukan karya belas kasihan, dan di rumah sakit, tempat ia menjadikan karyanya sebuah mahakarya, sebagai seorang dokter.

 

Saudara-saudari, dengan adanya kesaksian ini marilah kita bertanya pada diri kita : apakah aku, ketika berhadapan dengan Allah yang hadir dalam diri kaum miskin di dekatku, ketika berhadapan dengan orang-orang di dunia yang paling menderita, bagaimana aku harus bereaksi? Dan teladan José Gregorio: bagaimana pengaruhnya terhadapku? Ia mendorong kita untuk terlibat dalam menghadapi permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang besar saat ini. Begitu banyak orang yang membicarakannya, begitu banyak yang mengeluh, begitu banyak yang mengkritik dan mengatakan bahwa semuanya tidak berjalan baik. Namun orang Kristiani tidak dipanggil untuk melakukan hal itu; sebaliknya, ia dipanggil untuk menghadapinya, untuk mengotori tangannya : pertama-tama, sebagaimana dikatakan Santo Paulus kepada kita, berdoalah (bdk. 1 Tim 2:1-4), dan kemudian jangan terlibat obrolan kosong – ngobrol yang tidak berguna adalah sebuah wabah – justru harus mengembangkan kebaikan, dan membangun perdamaian dan keadilan dalam kebenaran. Ini juga merupakan semangat kerasulan; pewartaan Injil; dan inilah Sabda Bahagia Kristiani : “Berbahagialah orang yang membawa damai” (Mat 5:9).

 

Marilah kita berkembang mengikuti jalan Beato [José] Gregorio: seorang awam, seorang dokter, seorang pekerja sehari-hari yang didorong oleh semangat kerasulan menjalani cinta kasih sepanjang hidupnya.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyampaikan sapaan hangat kepada para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Skotlandia, Belanda, Senegal, Korea Selatan, Malaysia, Filipina dan Amerika Serikat. Kepadamu dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkati kamu semua!

 

[Imbauan]

 

Pikiran saya tertuju kepada rakyat Libya, yang dilanda hujan lebat yang menyebabkan banjir dan genangan, menyebabkan banyak kematian dan cidera, serta kerusakan parah. Saya mengundangmu untuk bergabung dalam doa saya bagi orang-orang yang kehilangan nyawa, keluarga mereka, dan para pengungsi. Mohon jangan mengurungkan kesetiakawanan kita terhadap saudara-saudari yang telah berjuang keras menghadapi bencana ini. Dan pikiran saya juga tertuju kepada rakyat Maroko yang mulia yang telah menderita akibat pergerakan bumi ini, gempa bumi ini. Marilah kita berdoa untuk Maroko, marilah kita berdoa untuk penduduknya. Semoga Tuhan memberi mereka kekuatan untuk pulih, untuk pulih setelah bencana yang mengerikan ini yang telah menimpa mereka.


* * *

 

Akhirnya, pikiran saya tertuju kepada kaum muda, orang-orang sakit, kaum tua, dan para pengantin baru. Besok Gereja merayakan Pesta Salib Suci. Janganlah kita bosan setia pada Salib Kristus, sebuah tanda kasih dan keselamatan.

 

Dan tolong, saudara-saudarai, marilah kita terus berdoa untuk perdamaian dunia, khususnya di Ukraina yang tersiksa, yang penderitaannya selalu hadir dalam pikiran dan hati kita.

 

Dan untuk kamu semua, berkatku.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita mengenai semangat kerasulan, kita telah merenungkan penyebaran Injil melalui kesaksian pria dan wanita di setiap waktu dan tempat. Hari ini kita beralih ke Amerika Latin dan teladan Beato José Gregorio Hernández. Lahir di Venezuela pada tahun 1864, José Gregorio tidak dapat melanjutkan studi menjadi imam karena alasan kesehatan. Menerima hal ini sebagai kehendak Allah, ia belajar kedokteran dan mengabdikan hidupnya untuk merawat orang-orang yang membutuhkan. Karena pengabdiannya yang mendalam kepada Kristus, yang terungkap dalam pelayanan cinta kasih kepada saudara-saudari kita yang paling hina, ia dikenal sebagai “dokter kaum miskin”. Semangat kerasulannya lahir dari pengalaman pribadi akan belas kasihan Allah serta persatuan sehari-hari dengan Tuhan dalam Misa Kudus dan doa pribadi. Saat pecahnya Perang Dunia I, ia mempersembahkan dirinya sebagai korban pengurbanan dalam persatuan dengan Kristus, menjadi perantara bagi fajar perdamaian, dan meninggal tak lama setelah mengetahui berakhirnya perang. Kehidupan Beato José Gregorio Hernández dapat mengilhami kita, dalam keadaan nyata kehidupan kita, untuk mendekat kepada Tuhan dalam doa, untuk melayani Dia dalam diri kaum miskin, serta bekerja untuk menyebarkan Injil-Nya dan pertumbuhan kerajaan kekudusan, keadilan dan perdamaian-Nya.
_______

(Peter Suriadi - Bogor, 14 September 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 10 September 2023 : NASIHAT PERSAUDARAAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil hari ini berbicara kepada kita tentang nasihat persaudaraan (bdk. Mat 18:15-20), yang merupakan salah satu ungkapan kasih tertinggi, dan juga salah satu ungkapan yang paling menuntut, karena tidak mudah untuk menasihati orang lain. Ketika saudara seiman berbuat salah kepadamu, maka kamu, tanpa benci, tolonglah dia, nasihatilah dia: tolonglah dengan menasihati.


Tetapi sayangnya, seringkali hal pertama yang tercipta di sekitar orang yang melakukan kesalahan adalah gosip, di mana setiap orang mengetahui kesalahannya, secara terperinci dan lengkap, selain orang yang tersangkut paut! Ini tidak benar, saudara-saudari, ini tidak berkenan kepada Allah. Saya tidak bosan-bosannya mengulangi bahwa gosip merupakan wabah dalam kehidupan masyarakat dan jemaat, karena gosip menyebabkan perpecahan, penderitaan, dan skandal; gosip tidak pernah membantu meningkatkan atau menumbuhkan. Santo Bernardus, seorang guru rohani besar, mengatakan bahwa keingintahuan yang sia-sia dan perkataan yang dangkal adalah langkah pertama dalam tangga kesombongan, yang tidak mengarah ke atas, tetapi ke bawah, menjerumuskan manusia ke dalam kebinasaan dan kehancuran (bdk. Dua belas Langkah Kerendahan Hati dan Kesombongan).


Yesus justru mengajarkan kita untuk berperilaku berbeda. Inilah yang dikatakan-Nya hari ini : “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata” (ayat 15). Bicarakanlah kepadanya tentang hal itu secara “tatap muka”, berbicaralah baik-baik, untuk menolongnya memahami di mana letak kesalahannya. Dan lakukanlah hal ini demi kebaikannya, mengatasi rasa malu dan menemukan keberanian sejati, yaitu tidak memfitnah, tetapi memberitahunya secara langsung dengan lemah lembut.


Tetapi kita mungkin bertanya, bagaimana jika hal ini tidak memadai? Bagaimana jika ia tidak paham? Maka kita harus mengusahakan pertolongan. Tetapi berhati-hatilah : jangan dari kelompok yang suka bergosip! Yesus berkata, “Bawalah seorang atau dua orang lagi” (ayat 16), artinya orang-orang yang dengan tulus ingin menolong saudara yang tersesat ini.


Bagaimana jika ia masih tidak paham? Kemudian, kata Yesus, libatkanlah jemaat. Tetapi di sini pun, hal ini tidak berarti mempermalukan seseorang, mempermalukannya di muka umum, melainkan menyatukan upaya semua orang untuk menolongnya berubah. Menuding dengan0 jari tidak baik; bahkan, sering kali membuat orang yang berbuat salah semakin sulit untuk menyadari kesalahannya. Jemaat justru harus membuatnya merasa bahwa, meskipun mengutuk kesalahannya, jemaat tetap dekat dengan orang tersebut melalui doa dan kasih sayang, selalu siap untuk memberikan pengampunan, pemahaman, dan memulai kembali.


Oleh karena itu, marilah kita bertanya pada diri kita : bagaimana seharusnya aku bersikap terhadap orang yang berbuat salah terhadapku? Apakah aku menyimpannya di dalam hati dan menumpuk kebencian? “Kamu akan membayarnya”, kata-kata yang sering muncul : “Kamju akan membayarnya…”. Apakah aku membicarakannya di belakang mereka? “Tahukah kamu apa yang ia lakukan?”; dan seterusnya… Atau apakah aku teguh hati, berani, dan apakah aku berusaha membicarakannya dengannya? Apakah aku mendoakannya, memohonkan pertolongan untuk berbuat baik? Dan apakah jemaat kita peduli terhadap orang-orang yang terjatuh, sehingga mereka dapat bangkit kembali dan memulai hidup baru? Apakah mereka mengacungkan jari atau membuka tangan? Apa yang kamu lakukan : apakah kamu mengacungkan jari atau membuka tangan?


Semoga Maria, yang terus mengasihi bahkan ketika ia mendengar orang-orang mengutuk Putranya, membantu kita untuk selalu mengusahakan jalan kebaikan.

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]


Saudara-saudari terkasih,

 

Saya ingin mengungkapkan kedekatan saya dengan rakyat Maroko yang terkasih, yang dilanda gempa bumi dahsyat. Saya mendoakan mereka yang terluka, mereka yang kehilangan nyawa – begitu banyak! – dan kerabat mereka. Saya berterima kasih kepada para pekerja penyelamat dan mereka yang sedang bekerja untuk meringankan penderitaan rakyat; semoga pertolongan nyata dari semua pihak mendukung rakyat pada saat yang tragis ini: marilah kita dekat dengan rakyat Maroko!

 

Hari ini di Markowa, Polandia, Józef dan Wiktoria Ulma, bersama ketujuh anak mereka, para martir, dibeatifikasi: seluruh keluarga mereka dibinasakan oleh Nazi pada tanggal 24 Maret 1944 karena memberikan perlindungan kepada beberapa orang Yahudi yang teraniaya. Mereka menentang kebencian dan kekerasan yang menjadi ciri masa itu dengan kasih injili. Semoga keluarga Polandia ini, yang mewakili secercah cahaya di tengah kegelapan Perang Dunia II, menjadi teladan bagi kita semua dalam semangat kebaikan dan pelayanan bagi orang-orang yang membutuhkan. Tepuk tangan meriah untuk keluarga yang dibeatifikasi ini!

 

Dan dengan mengikuti teladan mereka, marilah kita mendengarkan seruan untuk menentang kekuatan senjata dengan kekuatan amal kasih, retorika kekerasan dengan kegigihan doa. Marilah kita lakukan hal ini terutama untuk banyak negara yang sedang menderita akibat perang; secara khusus, marilah kita meningkatkan doa kita untuk Ukraina yang sedang terkepung. Ada bendera Ukraina, yang sedang sangat menderita!

 

Lusa, 12 September, rakyat Etiopia terkasih akan merayakan Tahun Baru tradisional mereka. Saya ingin mengucapkan salam terhangat saya kepada seluruh rakyat, dengan harapan mereka akan diberkati dengan karunia rekonsiliasi persaudaraan dan perdamaian.

 

Marilah kita mengalihkan pemikiran kita hari ini ke Biara Mont-Saint-Michel, di Normany, yang sedang merayakan milenium konsekrasi tempat doanya.

 

Dan saya menyapa kamu semua, umat Roma serta para peziarah dari Italia dan berbagai negara, khususnya Paroki Hati Kudus Yesus, Madrid; komunitas pastoral Kristus yang bangkit dari Saronno; calon penerima sakramen krisma dari Soliera, dan siswa SMA dari Lucca.

 

Menjelang awal tahun katekese, kepada umat yang hadir di lapangan hari ini, Elemicin, penerbit Salesian, menyumbangkan sebuah buku pegangan katekese berjudul “Langkah demi Langkah” : ini adalah karunia yang indah! Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih kepada para katekis atas karya mereka yang berharga serta kepada para katekumen remaja saya mengucapkan selamat berjumpa Yesus.


Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu serta jangan lupa untuk mendoakan saya dan menikmati makananmu, dan sampai jumpa!
______

(Peter Suriadi - Bogor, 10 September 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 6 September 2023 : TENTANG PERJALANAN KE MONGOLIA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Pada hari Senin saya kembali dari Mongolia. Saya ingin menyampaikan penghargaan saya kepada mereka yang menyertai saya dalam kunjungan saya dengan doa, dan kembali berterima kasih saya kepada pihak berwenang, yang dengan sungguh-sungguh menyambut saya : khususnya Bapak Presiden Khürelsükh, dan juga mantan Presiden Enkhbayer, yang memberi saya undangan resmi untuk mengunjungi negara tersebut. Saya mengingat kembali dengan gembira Gereja setempat dan rakyat Mongolia: rakyat yang luhur dan bijaksana, yang menunjukkan kehangatan dan kasih sayang yang luar biasa kepada saya. Hari ini saya ingin membawamu ke inti perjalanan ini.

 

Mungkin ada yang bertanya: mengapa Paus pergi sejauh ini untuk mengunjungi sekelompok kecil umat beriman? Sebab justru di situlah, jauh dari sorotan, kita sering menjumpai tanda-tanda kehadiran Allah, yang tidak melihat penampilan, melainkan hati, sebagaimana kita dengar dalam bacaan dari kitab nabi Samuel (bdk. 1Sam 16:7). Tuhan tidak mencari orang yang menjadi pusat perhatian, tetapi orang yang berhati sederhana yang menginginkan dan mengasihi-Nya tanpa pura-pura, tanpa ingin menjadi lebih tinggi dari orang lain. Dan saya mendapat pengalaman pertemuan, di Mongolia, Gereja yang rendah hati, dan Gereja yang penuh sukacita, yang ada di hati Allah, dan saya dapat bersaksi tentang sukacita mereka karena mendapati mereka juga berada di pusat Gereja selama beberapa hari.

 

Komunitas itu memiliki sejarah yang menyentuh. Hal ini terjadi, berkat karunia Allah, dari semangat kerasulan – yang sedang kita renungkan saat ini – dari beberapa misionaris yang, dengan semangat akan Injil, berangkat sekitar tiga puluh tahun yang lalu ke negara yang tidak mereka kenal. Mereka mempelajari bahasanya – yang tidak mudah – dan, meskipun berasal dari berbagai bangsa, mereka menghidupkan komunitas Katolik yang bersatu dan sungguh. Memang demikianlah arti kata “katolik” yang artinya “umum”. Namun bukan umum yang menyeragamkan, melainkan umum yang menginkulturasi, umum yang terinkulturasi. Inilah kekatolikan : umum yang terwujud, “inkulturasi”, yang mencakup kebaikan di mana kebaikan itu ditemukan dan melayani orang-orang yang tinggal bersamanya. Beginilah cara Gereja hidup : memberikan kesaksian tentang kasih Yesus dengan lemah lembut, dengan mengutamakan kehidupan ketimbang kata-kata, bahagia dengan kekayaan sejatinya: melayani Tuhan dan saudara-saudara seiman.

Inilah cara Gereja muda tersebut dilahirkan : dalam semangat amal kasih, yang merupakan kesaksian iman yang terbaik. Di akhir kunjungan saya, saya bersukacita karena memberkati dan membuka “Rumah Belas Kasih”, karya amal kasih pertama yang didirikan di Mongolia sebagai ungkapan seluruh komponen Gereja setempat. Sebuah rumah yang menjadi ciri khas umat Kristiani, namun meminta setiap komunitas kita untuk menjadi rumah belas kasih : yaitu, sebuah tempat terbuka, tempat yang ramah, di mana penderitaan setiap orang dapat masuk tanpa rasa malu jika bersentuhan dengan belas kasih Allah yang meninggikan dan menyembuhkan. Inilah kesaksian Gereja Mongolia, bersama para misionaris dari berbagai negara yang merasa menyatu dengan umat, senang melayani mereka dan menemukan keindahan yang sudah ada di sana. Karena para misionaris ini tidak pergi untuk menyebarkan agama; hal ini tidak injili. Mereka pergi untuk tinggal di sana seperti rakyat Mongolia, berbicara dalam bahasa mereka, bahasa rakyat tersebut, mengambil nilai-nilai dari orang-orang tersebut dan mewartakan Injil dalam gaya Mongolia, dengan kata-kata Mongolia. Mereka pergi dan mereka “terinkulturasi” : mereka mengadopsi budaya Mongolia untuk mewartakan Injil dalam budaya tersebut.

 

Saya dapat menemukan keindahan ini, juga berkat bertemu dengan beberapa orang, mendengarkan cerita mereka, menghargai pencarian keagamaan mereka. Dalam hal ini, saya bersyukur atas pertemuan antaragama dan ekumenis pada hari Minggu lalu. Mongolia mempunyai tradisi Buddhis yang hebat, dengan kebanyakan orang menghayati keagamaan mereka dengan secara tulus dan radikal, dalam keheningan, melalui altruisme dan penguasaan nafsu mereka. Coba bayangkan betapa banyaknya benih-benih kebaikan yang tersembunyi membuat taman dunia tumbuh subur, padahal biasanya kita hanya mendengar suara pohon tumbang! Dan ini adalah suatu … umat, kita juga, yang menyukai skandal : “Tetapi lihat betapa biadabnya, sebatang pohon telah tumbang, betapa berisiknya!” “Tetapi tidakkah kamu melihat hutan yang tumbuh setiap hari?”, karena pertumbuhan itu diam. Mampu membedakan dan mengenali yang baik sangat menentukan. Namun, sering kali kita menghargai orang lain hanya sejauh mereka sesuai dengan gagasan kita; dan kita harus melihat hal ini dengan baik. Dan inilah sebabnya mengarahkan pandangan kita ke atas, menuju cahaya kebaikan penting. Hanya dengan cara ini, dimulai dari pengakuan akan kebaikan, kita dapat membangun masa depan bersama; hanya dengan menghargai orang lain kita dapat membantu mereka menjadi lebih baik.

 

Saya berada di jantung Asia, dan ini bermanfaat bagi saya. Berdialog dengan benua yang luas itu, mengumpulkan pesan-pesannya, mengetahui kebijaksanaannya, caranya memandang sesuatu, merangkul ruang dan waktu baik adanya. Saya senang sekali bisa bertemu dengan rakyat Mongolia, yang menghargai akar dan tradisi mereka, menghormati kaum tua dan hidup selaras dengan lingkungan: mereka adalah rakyat yang merenungkan langit dan merasakan nafas penciptaan. Memikirkan hamparan Mongolia yang tak terbatas dan sunyi, marilah kita tergugah oleh perlunya memperluas batas pandangan kita, tolong : perluaslah wawasan, pandanglah ke atas dan ke bawah, pandanglah dan jangan terjerumus pada hal-hal sepele. Marilah kita memperluas batas pandangan kita, sehingga kita dapat melihat kebaikan orang lain dan mampu memperluas wawasan kita, dan marilah kita juga membuka hati; kita perlu membuat hati kita bertumbuh dan berkembang, agar dapat memahami, agar dekat dengan setiap orang dan setiap peradaban. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Malta, Senegal, Australia, Indonesia dan Amerika Serikat. Atasmu dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkati kamu semua!

 

Saya ingin menambahkan bahwa, dengan sangat sedih saya mengetahui tentang kebakaran yang terjadi di sebuah gedung berlantai lima di pusat kota Johannesburg, Afrika Selatan, yang menewaskan lebih dari tujuh puluh orang, termasuk sejumlah anak-anak. Saya memintamu untuk bergabung dengan saya untuk mendoakan para korban yang malang. Kepada keluarga mereka saya menyampaikan belasungkawa yang mendalam, dan saya menyampaikan berkat khusus kepada mereka serta kepada semua orang yang bekerja untuk memberikan bantuan dan dukungan.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam Perjalanan Apostolik saya ke Mongolia baru-baru ini, saya menjumpai sebuah Gereja muda yang penuh dengan semangat kerasulan di tengah-tengah masyarakat Asia yang besar dan luhur. Karena Allah seringkali membuat kehadiran-Nya diketahui secara sederhana dan diam-diam, saya senang karena, selama beberapa hari, komunitas Katolik Mongolia, yang didirikan oleh para misionaris tiga puluh tahun yang lalu, menjadi pusat perhatian Gereja. Kekatolikan Gereja, panggilannya untuk menjelmakan Injil di semua bangsa dan budaya, mengilhaminya untuk bersaksi tentang imannya melalui kata-kata kasih. Di Ulanbaatar, saya memberkati “Rumah Belas Kasih”, karya amal kasih besar pertama yang dilakukan oleh Gereja setempat. Di sebuah negara dengan tradisi Budha yang luar biasa, saya mengakui penanaman kebaikan secara diam-diam oleh begitu banyak pengikutnya, dan dalam pertemuan saya dengan para pemimpin agama, saya mendorong bertumbuhnya dialog, saling pengertian dan persaudaraan. Saat saya mengucap syukur atas hari-hari yang dihabiskan di jantung Asia tersebut, di bawah keluasan langit Allah, saya berdoa agar semua orang bertumbuh dalam kebijaksanaan, menghormati keberagaman dan komitmen untuk bekerjasama dalam membangun masa depan bersama bagi dunia kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 7 September 2023)