Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 28 April 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 30) - DOA MEDITASI


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita akan berbicara tentang bentuk doa yang disebut meditasi. Bagi orang Kristiani, "bermeditasi" adalah mencari makna : "bermeditasi" menyiratkan menempatkan diri di hadapan halaman yang sangat luas dari pewahyuan untuk mencoba menjadikannya milik kita, menerimanya sepenuhnya. Dan umat Kristiani, setelah menerima Sabda Allah, tidak menyimpannya tertutup di dalam dirinya sendiri, karena Sabda itu harus bertemu dengan "buku lain", yang oleh Katekismus disebut "buku kehidupan" (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2706). Inilah yang berusaha kita lakukan setiap kali kita merenungkan Sabda.

 

Praktek meditasi telah mendapat banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya umat Kristiani yang membicarakannya : praktik meditasi ada di hampir semua agama di dunia. Tetapi praktik meditasi juga merupakan kegiatan yang meluas di antara orang-orang yang tidak memiliki pandangan hidup religius. Kita semua perlu bermeditasi, bercermin, menemukan diri kita, sebuah dinamika yang manusiawi. Terutama di dunia barat yang tamak, orang-orang mengusahakan meditasi karena meditasi mewakili pembatas yang tinggi melawan stres dan kekosongan sehari-hari yang ada di mana-mana. Inilah gambaran orang muda dan orang dewasa yang duduk dalam meditasi, dalam keheningan, dengan mata setengah tertutup ... Tetapi apa yang dilakukan orang-orang ini, kita mungkin bertanya? Mereka bermeditasi. Bermeditasi adalah fenomena yang harus dipandang baik : sesungguhnya, kita tidak dibuat untuk berlari sepanjang waktu, kita memiliki kehidupan batin yang tidak dapat selalu diabaikan. Oleh karena itu, bermeditasi adalah kebutuhan setiap orang. Bermeditasi, bisa dikatakan, seperti berhenti dan menarik napas dalam kehidupan. Berhenti dan diam.

 

Tetapi kita menyadari bahwa kata ini, sekali diterima dalam konteks Kristiani, memiliki keunikan yang tidak boleh disingkirkan. Meditasi adalah dimensi manusiawi yang diperlukan, tetapi meditasi dalam konteks Kristiani - kita umat Kristiani - melangkah lebih jauh : sebuah dimensi yang tidak boleh disingkirkan. Pintu besar yang dilewati doa orang yang dibaptis - marilah kita ingatkan diri kita sekali lagi - adalah Yesus Kristus. Bagi umat Kristiani, meditasi masuk melalui pintu Yesus Kristus. Praktek meditasi juga mengikuti jalan ini. Dan orang Kristiani, ketika ia berdoa, tidak menginginkan transparansi diri yang penuh, tidak mencari pusat ego yang terdalam. Ini sah, tetapi orang Kristiani mencari sesuatu yang lain. Doa Kristiani pertama-tama adalah sebuah perjumpaan dengan Orang Lain, dengan 'O' huruf besar : perjumpaan yang transenden dengan Allah. Jika pengalaman doa memberi kita kedamaian batin, atau penguasaan diri, atau kejelasan tentang jalan yang harus diambil, hasil ini merupakan, kita bisa mengatakan, konsekuensi rahmat doa Kristiani, yaitu perjumpaan dengan Yesus. Yakni, bermeditasi berarti pergi - dibimbing oleh sebuah frasa Kitab Suci, dari sebuah sabda - menuju perjumpaan dengan Yesus di dalam diri kita.

 

Sepanjang sejarah, istilah “meditasi” memiliki berbagai makna. Bahkan dalam agama Kristen, meditasi mengacu pada bermacam-macam pengalaman spiritual. Namun demikian, beberapa garis umum dapat dilacak, dan dalam hal ini kita dibantu lagi oleh Katekismus, yang mengatakan, Katekismus mengatakan : "Metode-metode meditasi sangat beragam seperti halnya guru-guru rohani [...] Tetapi satu metode hanyalah merupakan satu penuntun; yang terpenting ialah maju bersama Roh Kudus menuju Yesus Kristus, jalan doa satu-satunya” (no. 2707). Dan di sini ditunjukkan rekan seperjalanan, rekan yang membimbing : Roh Kudus. Meditasi Kristiani tidak mungkin tanpa Roh Kudus. Dialah yang membimbing kita untuk berjumpa Yesus. Yesus berkata kepada kita, “Aku akan mengutus Roh Kudus kepadamu. Ia akan mengajarimu dan akan menjelaskan kepadamu. Ia akan mengajarimu dan menjelaskan kepadamu”. Dan dalam meditasi juga, Ia adalah penuntun untuk berkembang dalam perjumpaan kita dengan Yesus Kristus.

 

Jadi, ada banyak metode meditasi Kristiani : beberapa sangat sederhana, lainnya lebih terperinci; beberapa menonjolkan dimensi intelektual pribadi, lainnya menonjolkan dimensi afektif dan emosional. Semuanya adalah metode. Semuanya penting dan semuanya layak untuk dipraktekkan, sejauh dapat membantu. Apa yang mereka bantu? Pengalaman iman menjadi tindakan pribadi seutuhnya : orang tidak hanya berdoa dengan pikiran; seluruh orang tersebut berdoa, orang secara keseluruhan, sama seperti kita tidak hanya berdoa dengan perasaan kita. Tidak, seluruhnya. Orang zaman dulu mengatakan bahwa bagian tubuh yang berdoa adalah hati, dan dengan demikian mereka menjelaskan bahwa seluruh pribadi, mulai dari pusat - hati - masuk ke dalam hubungan dengan Allah, bukan hanya beberapa indera. Beginilah cara orang zaman dulu menjelaskannya. Inilah sebabnya harus selalu diingat bahwa metode adalah jalan, bukan tujuan : metode doa apa pun, jika ingin menjadi Kristiani, adalah bagian dari sequela Christi (mengikuti Kristus) yang merupakan inti iman kita. Metode meditasi adalah jalan untuk melakukan perjalanan agar sampai pada perjumpaan dengan Yesus, tetapi jika kamu berhenti di jalan, dan hanya melihat jalan, kamu tidak akan pernah menemukan Yesus. Kamu akan membuat "allah" keluar dari jalan. “allah” tidak sedang menunggumu di sana, Yesuslah yang menunggumu. Dan jalan itu ada untuk membawamu kepada Yesus. Katekismus menjelaskan : "Meditasi memakai pikiran, daya khayal, gerak perasaan dan kerinduan. Usaha ini penting untuk memperdalam kebenaran iman, untuk menggerakkan pertobatan hati dan memperkuat kehendak guna mengikuti Kristus. Doa Kristiani terutama berusaha untuk bermeditasi tentang 'misteri Kristus'”(no. 2708).

 

Di sinilah, kemudian, rahmat doa Kristiani : Kristus tidak jauh, tetapi selalu dalam hubungan dengan kita. Tidak ada aspek pribadi ilahi-Nya yang tidak bisa menjadi tempat keselamatan dan kebahagiaan bagi kita. Setiap saat dalam kehidupan duniawi Yesus, melalui rahmat doa, dapat langsung menjadi milik kita, berkat Roh Kudus, sang pembimbing. Tetapi, tahukah kamu, seseorang tidak bisa berdoa tanpa bimbingan Roh Kudus. Dialah yang membimbing kita! Dan syukur kepada Roh Kudus, kita juga hadir di sungai Yordan ketika Yesus membenamkan diri-Nya untuk menerima baptisan. Kita juga menjadi tamu di pesta pernikahan di Kana, ketika Yesus memberikan anggur yang terbaik untuk kebahagiaan kedua mempelai, yaitu Roh Kudus yang menghubungkan kita dengan misteri kehidupan Kristus ini karena dengan merenungkan Yesus kita mengalami doa, menggabungkan kita semakin dekat dengan-Nya. Kita juga heran menyaksikan ribuan penyembuhan yang dilakukan oleh Sang Guru. Kita mengambil Injil, dan merenungkan misteri-misteri dalam Injil itu, dan Roh Kudus membimbing kita untuk hadir di sana. Dan dalam doa - ketika kita berdoa - kita semua seperti penderita kusta yang telah ditahirkan, Bartimeus yang buta yang mendapatkan kembali penglihatannya, Lazarus yang keluar dari kubur ... Kita juga disembuhkan oleh doa seperti Bartimeus yang buta, orang buta lainnya, penderita kusta … Kita juga bangkit kembali, sebagaimana Lazarus bangkit kembali, karena doa meditasi yang dibimbing oleh Roh Kudus menuntun kita untuk menghidupkan kembali misteri kehidupan Kristus ini dan berjumpa Kristus, serta mengatakan, bersama orang buta itu, “Tuhan, kasihanilah aku! Kasihanilah aku!" - “Dan apa yang engkau inginkan?” - "Melihat, masuk ke dalam dialog itu". Dan meditasi Kristiani, dibimbing oleh Roh Kudus, membawa kita kepada dialog dengan Yesus ini. Tidak ada halaman Injil yang di dalamnya tidak ada tempat bagi kita. Bagi kita umat Kristiani, meditasi adalah cara untuk berhubungan dengan Yesus. Dan dengan cara ini, hanya dengan cara ini, kita menemukan diri kita. Dan ini bukanlah penarikan diri ke dalam diri kita, tidak, tidak : melainkan pergi kepada Yesus, dan dari Yesus, menemukan diri kita, disembuhkan, bangkit, kuat berkat rahmat Yesus. Dan berjumpa Yesus, Sang Juruselamat semua orang, termasuk saya. Dan ini, berkat bimbingan Roh Kudus. Terima kasih.

 

[Sambutan Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat yang berbahasa Inggris. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan atas kalian dan keluarga kalian belas kasihan Allah Bapa kita. Semoga Tuhan memberkati kalian semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang doa Kristiani, sekarang kita membahas pentingnya doa meditasi. Setiap orang membutuhkan saat rekoleksi di tengah kesibukan keseharian kita. Bagi umat Kristiani, meditasi bukan hanya masalah introspeksi tetapi sebuah metode doa, sebuah sarana untuk berjumpa Kristus, terutama dalam misteri kehidupan duniawi-Nya. Meskipun ada banyak metode meditasi dalam kekayaan tradisi spiritual Gereja, seluruhnya memiliki satu tujuan : memungkinkan kita untuk bertumbuh dalam hubungan kita dengan Yesus, Sang Juruselamat kita. Berkat rahmat Roh Kudus, persatuan kita dengan Kristus dalam iman dipupuk melalui penggunaan pikiran, daya khayal, gerak perasaan dan kerinduan kita. Katekismus mengajarkan bahwa meditasi misteri Kristus memperdalam iman kita, menggerakkan pertobatan hati kita, dan memperkuat kehendak kita guna mengikuti jejak-Nya. Dengan demikian, setiap perkataan dan perbuatan Tuhan kita dapat menjamah kita dan menjadi bagian kehidupan kita. Di setiap halaman Injil kita diundang untuk berjumpa Kristus dan menemukan di dalam Dia sumber keselamatan kita dan kebahagiaan kita yang sesungguhnya.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 28 April 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA RATU SURGA 25 April 2021 : YESUS, SANG GEMBALA YANG BAIK

 


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Pada Hari Minggu Paskah IV ini, yang disebut Hari Minggu Gembala yang Baik, Bacaan Injil (Yoh. 10:11-18) menampilkan Yesus sebagai gembala yang sungguh membela, mengenal dan mengasihi domba-domba-Nya.

 

"Orang upahan" adalah kebalikan dari Gembala yang baik, orang yang tidak peduli dengan domba-domba karena domba-domba tersebut bukan miliknya. Ia melakukan pekerjaan tersebut hanya untuk mendapatkan bayaran dan tidak peduli untuk membela mereka : ketika seekor serigala datang, ia melarikan diri dan meninggalkan domba-domba tersebut (bdk. ayat 12-13). Sebaliknya, Yesus, Sang Gembala sejati, selalu membela kita dan menyelamatkan kita dari begitu banyak situasi sulit, situasi berbahaya melalui terang sabda-Nya dan kekuatan kehadiran-Nya yang selalu kita alami jika kita sudi mendengarkan, setiap hari.

 

Aspek kedua yaitu Yesus, Sang Gembala yang baik, mengenal - aspek yang pertama : membela; aspek yang kedua : Ia mengenal domba-domba-Nya dan domba-domba-Nya mengenal-Nya (ayat 14). Betapa indah dan menghiburnya mengetahui bahwa Yesus mengenal kita satu per satu, kita tidak dikenal oleh-Nya, nama kita dikenal oleh-Nya! Kita bukan "massa", "orang banyak" bagi-Nya, bukan. Kita adalah pribadi yang unik, kisah kita masing-masing, Ia mengenal kisah kita, nilai kisah kita masing-masing, karena kita telah diciptakan maupun telah ditebus oleh Kristus. Kita masing-masing dapat berkata : Yesus, kenali aku! Kita masing-masing : Yesus mengenalku! Memang benar, seperti ini : Ia mengenal kita tidak seperti orang lain. Hanya Ia yang mengenal apa yang ada di dalam hati kita, niat kita, perasaan kita yang paling tersembunyi. Yesus mengenal kekuatan dan kekurangan kita, serta selalu siap untuk merawat kita, menyembuhkan luka-luka kesalahan kita dengan kelimpahan belas kasihan-Nya. Di dalam Dia, gambaran yang diberikan nabi-nabi tentang gembala umat Allah benar-benar terpenuhi : Yesus memperhatikan domba-domba-Nya, Ia mengumpulkan mereka, Ia membalut luka-luka mereka, menyembuhkan penyakit mereka. Kita dapat membaca hal ini dalam Kitab Nabi Yehezkiel (bdk. Yeh. 34:11-16).

 

 

Oleh karena itu, Yesus Sang Gembala yang baik membela, mengenal, dan terutama mengasihi domba-domba-Nya. Dan inilah sebabnya Ia memberikan nyawa-Nya untuk mereka (bdk. Yoh. 10:15). Mengasihi domba-domba-Nya, yaitu, kita masing-masing, akan menuntun-Nya kepada kematian di kayu salib. Karena inilah kehendak Bapa - bahwa tak seorang pun yang hilang. Kasih Kristus tidak pilih-pilih; kasih Kristus merangkul semua orang. Ia sendiri mengingatkan kita tentang hal ini dalam Injil hari ini ketika Ia berkata : “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (Yoh 10:16). Kata-kata ini memberi kesaksian tentang kepedulian universal : Ia adalah Gembala semua orang. Yesus ingin setiap orang dapat menerima kasih Bapa dan berjumpa Allah.

 

Dan Gereja dipanggil untuk menjalankan perutusan Kristus ini. Di luar mereka yang ikut serta dalam komunitas kita, ada mayoritas, banyak orang, yang melakukannya hanya pada saat-saat tertentu atau tidak pernah. Tetapi hal ini tidak berarti mereka bukan anak-anak Allah : Bapa mempercayakan setiap orang kepada Yesus Sang Gembala yang baik, dan Ia memberikan nyawa-Nya untuk semua orang.

 

Saudara dan saudari, Yesus membela, mengenal dan mengasihi kita, setiap orang. Semoga Santa Maria membantu kita menjadi orang pertama yang menyambut dan mengikuti Sang Gembala yang baik, bekerjasama dalam sukacita perutusan-Nya.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Hari Jumat lalu, di Santa Cruz de Quiché, Guatemala, José Maria Gran Cirera dan sembilan rekan martir dibeatifikasi : tiga imam dan tujuh awam dari Kongregasi Misionaris Hati Kudus Yesus, yang berketetapan hati untuk membela kaum miskin, yang dibunuh antara 1980 dan 1991, saat Gereja Katolik dianiaya. Dengan iman yang hidup kepada Kristus, mereka adalah saksi-saksi keadilan dan kasih yang heroik. Semoga teladan mereka membuat kita semakin murah hati dan berani dalam menghayati Injil. Marilah beri tepuk tangan untuk para beato baru. (Tepuk Tangan)

 

Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan orang-orang yang tinggal di Kepulauan St Vincent dan Grenadines di mana letusan gunung berapi menyebabkan kerusakan dan kesulitan. Saya memastikan doa saya. Saya memberkati semua orang yang ikut serta dalam upaya pertolongan dan bantuan.

 

Saya juga dekat dengan para korban kebakaran di rumah sakit untuk pasien Covid di Baghdad. Hingga saat ini, sudah ada 82 orang yang meninggal dunia. Marilah kita mendoakan mereka semua.

 

Saya akui saya sangat sedih atas tragedi yang sekali lagi terjadi di Mediterania. Seratus tiga puluh orang migran tewas di laut. Mereka adalah manusia. Mereka adalah manusia yang sia-sia memohon pertolongan selama dua hari penuh - pertolongan yang tak kunjung tiba. Saudara dan saudari, marilah kita semua bertanya pada diri sendiri tentang tragedi kesekian ini. Momen yang memalukan. Marilah kita mendoakan saudara dan saudari ini, serta semua yang terus meninggal dalam penyeberangan yang tragis ini. Mari kita juga mendoakan mereka yang dapat membantu tetapi lebih memilih untuk melihat ke arah lain. Marilah kita mendoakan mereka dalam keheningan …

 

Hari ini, seluruh Gereja merayakan Hari Doa Panggilan Sedunia yang bertema Santo Yusuf : Impian Panggilan. Marilah kita bersyukur kepada Allah agar Ia dapat terus memperbanyak orang-orang di dalam Gereja yang, karena mengasihi-Nya, mengabdikan diri untuk pewartaan Injil dan pelayanan kepada saudara-saudari mereka. Dan hari ini secara khusus, marilah kita mengucap syukur atas sembilan imam yang telah saya tahbiskan di Basilika Santo Petrus - saya tidak tahu apakah mereka berada di sini - dan marilah kita memohon kepada Allah untuk mengutus pekerja-pekerja yang baik untuk bekerja di kebun anggur-Nya dan agar Ia sudi memperbanyak panggilan hidup bakti.

 

Dan sekarang dengan sepenuh hati saya menyapa kalian semua, umat Roma dan para peziarah. Secara khusus, saya menyapa keluarga dan sahabat para imam yang baru ditahbiskan, serta komunitas Kolose Kepausan Jerman-Hungaria yang melakukan peziarahan tradisional Gereja-gereja ketujuh hari ini.

 

Kepada kalian semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Dan tolong jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang. Sampai jumpa!

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 21 April 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 29) - DOA LISAN

Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Doa adalah dialog dengan Allah; dan setiap makhluk, dalam arti tertentu, "berdialog" dengan Allah. Di dalam diri manusia, doa menjadi kata, permohonan, madah, syair … Sabda ilahi menjadi daging, dan dalam daging setiap orang sabda kembali kepada Allah dalam doa.

 

Kita menciptakan kata-kata, tetapi kata-kata itu ibu kita juga, dan sampai batas tertentu kata-kata itu membentuk diri kita. Kata-kata doa membawa kita dengan selamat melalui lembah kekelaman, menuntun kita menuju padang rumput yang hijau yang kaya akan air, dan memungkinkan kita untuk berpesta pora di depan mata musuh, sebagaimana diajarkan Pemazmur kepada kita (bdk. Mzm 23). Kata-kata lahir dari perasaan, tetapi ada juga jalan sebaliknya, di mana kata-kata membentuk perasaan. Kitab Suci mendidik orang untuk memastikan bahwa segala sesuatu menjadi terang benderang melalui sabda, tidak ada seorang pun yang dikecualikan, dipindai. Kepedihan berbahaya, terutama, jika tetap tersembunyi, tertutup di dalam diri kita ... Kepedihan yang tertutup di dalam diri kita, yang tidak dapat mengungkapkan atau melampiaskan diri, dapat meracuni jiwa. Kepedihan tersebut mematikan.

 

Inilah sebabnya Kitab Suci mengajarkan kita berdoa, terkadang bahkan dengan kata-kata yang berani. Para penulis Kitab Suci tidak ingin menipu kita berkenaan dengan pribadi manusia : mereka tahu bahwa hati kita juga menyembunyikan perasaan yang tidak mendidik, bahkan kebencian. Tidak seorang pun dari kita yang dilahirkan kudus, dan ketika perasaan buruk ini datang mengetuk pintu hati kita, kita harus mampu meredakannya dengan doa dan sabda Allah. Kita juga menemukan ungkapan yang sangat kasar terhadap musuh dalam Mazmur - ungkapan yang diajarkan oleh guru rohani kepada kita tersebut ditujukan kepada iblis dan dosa-dosa kita - namun kata-kata tersebut merupakan kenyataan manusia dan berakhir di dalam palung Kitab Suci. Kata-kata tersebut berada di sana untuk membuktikan kepada kita bahwa jika, dalam menghadapi kekerasan, tiada kata-kata yang dapat membuat perasaan buruk tidak berbahaya, menyalurkannya sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan, maka dunia akan kewalahan.

 

Doa manusiawi pertama selalu berupa pelafalan lisan. Bibir selalu bergerak terlebih dulu. Meskipun kita semua sadar bahwa berdoa tidak berarti mengulangi kata-kata, namun doa lisan adalah yang paling pasti, dan selalu bisa dipraktekkan. Perasaan, di sisi lain, betapapun luhurnya, selalu tidak pasti : perasaan datang dan pergi, meninggalkan kita dan kembali. Tidak hanya itu, rahmat doa juga tidak dapat diduga : kadang-kadang penghiburan berlimpah, tetapi pada hari-hari yang paling kelam rahmat doa tampaknya menguap sepenuhnya. Doa hati penuh misteri, dan pada waktu-waktu tertentu tidak ada. Sebaliknya, doa bibir yang dibisikkan atau dilafalkan dengan paduan suara selalu dapat diakses, dan sama pentingnya dengan pekerjaan manual. Katekismus mengajarkan kita tentang hal ini, dan menyatakan bahwa : “Doa lisan merupakan unsur hakiki dalam kehidupan Kristen. Kristus mengajar murid-murid-Nya yang merasa tertarik pada doa batin dari Gurunya, satu doa lisan : Bapa Kami” (no. 2701). "Ajarlah kami berdoa", para murid meminta kepada Yesus, dan Yesus mengajari mereka doa lisan : Doa Bapa Kami. Dan semuanya ada di sana, dalam doa itu.

 

Kita semua seharusnya memiliki kerendahan hati khas kaum tua yang, dalam gereja, mungkin karena pendengaran mereka tidak lagi tajam, melafalkan dengan tenang doa-doa yang mereka pelajari ketika masih anak-anak, memenuhi bagian tengah dengan bisikan. Doa tersebut tidak mengganggu keheningan, tetapi membuktikan kesetiaan mereka terhadap kewajiban doa, yang dipraktikkan sepanjang hidup mereka tanpa henti. Para praktisi doa yang rendah hati ini sering menjadi pendoa syafaat yang luar biasa di paroki : mereka adalah pohon tarbantin yang dari tahun ke tahun menyebarkan cabangnya untuk memberi keteduhan kepada banyak orang. Hanya Allah yang tahu kapan dan seberapa besar hati mereka telah dipersatukan dengan doa-doa yang mereka ucapkan : tentu saja orang-orang ini juga harus menghadapi malam dan saat-saat kosong. Tetapi kita selalu bisa tetap setia pada doa lisan. Bagaikan sebuah jangkar : kita dapat berpegangan pada tali dan tetap setia, apa pun yang terjadi.

 

Kita semua dapat mempelajari sesuatu dari ketekunan peziarah Rusia, yang disebutkan dalam sebuah karya terkenal tentang spiritualitas, yang mempelajari seni berdoa dengan mengulangi doa yang sama berulang kali : “Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah, kasihanilah aku orang berdosa!” (bdk. KGK, 2616; 2667). Ia hanya mengulangi ini : "Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah, kasihanilah aku orang berdosa!". Jika rahmat datang dalam hidup kita, jika suatu hari doa menjadi begitu hangat sehingga kehadiran Kerajaan dirasakan di sini di antara kita, jika penglihatan itu dapat diubah rupa hingga menjadi seperti seorang anak kecil, itu karena kita telah bersikeras untuk melafalkan seruan Kristiani yang sederhana. Pada akhirnya, itu menjadi bagian dari pernapasan kita. Indahnya kisah peziarah Rusia tersebut : sebuah buku yang dapat diakses oleh semua orang. Saya sarankan kalian membacanya; membacanya akan membantu kalian memahami apa itu doa lisan.

 

Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan doa lisan. Kita mungkin berkata, “Ah, ini untuk anak-anak, untuk orang-orang yang bodoh; aku sedang mengusahakan doa batin, meditasi, kehampaan batin agar Allah sudi datang kepadaku …”. Tolong! Jangan menyerah pada kebanggaan mencemooh doa lisan. Doa lisan adalah doa yang sederhana, doa yang diajarkan Yesus : Bapa kami, yang di surga… Kata-kata yang kita ucapkan memegang kita; kadang-kadang doa lisan memulihkan rasa, doa lisan membangunkan bahkan hati yang paling mengantuk; doa lisan membangkitkan kembali perasaan yang telah kita lupakan. Dan doa lisan menuntun kita menuju pengalaman akan Allah, kata-kata ini… Dan terutama, doa lisan adalah satu-satunya yang, dengan secara pasti, mengarahkan kepada Allah pertanyaan-pertanyaan yang ingin didengar-Nya. Yesus tidak meninggalkan kita dalam kabut. Ia mengatakan kepada kita : "Karena itu berdoalah demikian". Dan Ia mengajarkan Doa Bapa Kami (bdk. Mat 6:9).

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan atas kalian dan keluarga kalian belas kasihan Allah Bapa kita. Semoga Allah memberkati kalian semua!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang doa Kristiani, sekarang kita mengulas pentingnya doa lisan. Dalam dialog kita dengan Allah, Ia pertama kali berbicara kepada kita melalui Sabda-Nya yang menjadi daging. Ia mengundang kita secara bergiliran untuk berbicara dengan-Nya dengan kata-kata yang mewujudkan pikiran, perasaan, dan pengalaman terdalam kita. Kata-kata tidak hanya mengungkapkan gagasan kita, tetapi juga membentuk diri kita dan sering kali mengungkapkan diri kita kepada diri kita sendiri.

 

Dalam kata-kata yang terinspirasi dari Kitab Mazmur, kita menemukan model doa lisan. Pemazmur memberi kita kata-kata untuk membawa kegembiraan, ketakutan, harapan dan kebutuhan kita kepada Allah serta mengikutsertakan-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita. Doa hati dan doa bibir kita tidak pernah bisa dipisahkan. Sebagaimana dikatakan Katekismus, "doa lisan merupakan unsur hakiki dalam kehidupan Kristen" (No. 2701). Melalui doa kita yang diucapkan atau dinyanyikan, sendirian atau bersama-sama, kita menemukan kata-kata yang memungkinkan kita untuk bertumbuh setiap hari dalam hubungan kita dengan Allah. Jadi, berdoa dengan tenang menjadi unsur hakiki hidup kita, seperti udara yang kita hirup. Ketika murid-murid meminta Yesus untuk menunjukkan kepada mereka bagaimana berdoa, Ia menanggapinya dengan mengajarkan mereka, dan kita, kata-kata Bapa Kami.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 21 April 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA RATU SURGA 18 April 2021 : TIGA KATA KERJA KASIH : MELIHAT, MERABA, MAKAN

Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Pada Hari Minggu Paskah III ini, kita kembali ke Yerusalem, di Ruang Atas, seperti dibimbing oleh dua murid Emaus, yang dengan perasaan yang luar biasa telah mendengarkan kata-kata Yesus di sepanjang perjalanan dan kemudian telah mengenali-Nya “dalam pemecahan roti” (Luk 24:35). Sekarang, di Ruang Atas, Kristus yang bangkit menampakkan diri di tengah-tengah kelompok murid dan menyapa : "Damai sejahtera bagi kamu!" (ayat 36). Tetapi mereka takut dan menyangka "bahwa mereka melihat hantu" (ayat 37), seperti dikatakan Injil. Kemudian Yesus menunjukkan kepada mereka luka-luka di tubuh-Nya dan berkata : “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku" - luka-luka tersebut - "Aku sendirilah ini; rabalah Aku” (ayat 39). Dan untuk meyakinkan mereka, Ia meminta makanan dan memakannya di depan mata mereka yang masih heran (bdk. ayat 41-42).

 

Ada rincian di sini, dalam uraian ini. Injil mengatakan bahwa para Rasul “belum percaya karena girangnya”. Kegirangan yang mereka miliki sedemikian rupa sehingga mereka tidak percaya bahwa hal ini benar. Dan rincian kedua : mereka bingung, heran; heran karena perjumpaan dengan Allah selalu membawamu kepada keheranan : perjumpaan dengan Allah melampaui antusiasme, melampaui sukacita; perjumpaan dengan Allah adalah pengalaman lain. Dan mereka penuh sukacita, tetapi sukacita membuat mereka berpikir : tidak, ini tidak mungkin benar! ... Inilah keheranan akan kehadiran Allah. Jangan lupakan kerangka pikiran yang begitu indah ini.

 

Tiga kata kerja yang sangat nyata menjadi ciri khas perikop Injil ini. Dalam arti tertentu, ketiga kata kerja tersebut mencerminkan kehidupan individu dan komunitas kita : melihat, meraba, dan makan. Tiga tindakan yang dapat memberikan sukacita berkat perjumpaan sejati dengan Yesus yang hidup.

 

Melihat. “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku”, kata Yesus. Melihat tidak sekadar melihat, lebih dari itu; melihat juga melibatkan niat, kehendak. Karena alasan ini, melihat adalah salah satu kata kerja kasih. Seorang ibu dan ayah melihat anak mereka; sepasang kekasih saling melihat; seorang dokter yang baik melihat pasien dengan seksama …. Melihat adalah langkah pertama menentang ketidakpedulian, menentang godaan untuk melihat ke arah lain di hadapan kesulitan dan penderitaan orang lain. Melihat. Apakah aku melihat atau memandang Yesus?

 

Kata kerja yang kedua adalah meraba. Dengan mengundang murid-murid untuk meraba-Nya, memastikan Ia bukan hantu - rabalah Aku! - Yesus menunjukkan kepada mereka dan kepada kita bahwa hubungan dengan-Nya dan dengan saudara-saudari kita tidak bisa tetap “dalam jarak”. Kekristenan tidak berada dalam kejauhan; kekristenan tidak hanya berada pada tingkatan melihat. Kasih membutuhkan penampilan dan juga membutuhkan kedekatan; kasih membutuhkan kontak, berbagi kehidupan. Orang Samaria yang baik tidak mengekang dirinya untuk melihat orang yang ia temukan hampir mati di jalan : ia berhenti, ia membungkuk, ia merawat luka-lukanya, ia merabanya, ia mengangkatnya ke atas kuda tunggangannya dan membawanya ke penginapan. Dan serupa dengan Yesus : mengasihi-Nya berarti masuk ke dalam persekutuan hidup, persekutuan dengan-Nya.

 

Dan dengan demikian, kita sampai pada kata kerja yang ketiga, makan, yang dengan jelas mengungkapkan kemanusiaan kita dalam kemiskinannya yang paling alami, yaitu kebutuhan kita untuk memberi makan diri kita sendiri agar dapat hidup. Tetapi makan, ketika kita melakukannya bersama, di antara keluarga atau teman, juga menjadi ungkapan kasih, ungkapan persekutuan, ungkapan perayaan…. Betapa sering Injil menampilkan kepada kita Yesus yang mengalami dimensi keramahtamahan ini! Bahkan ketika Ia sudah bangkit, bersama murid-murid-Nya. Sampai-sampai Perjamuan Ekaristi telah menjadi lambang komunitas Kristiani. Makan bersama-sama tubuh Kristus : inilah inti kehidupan Kristiani.

 

Saudara dan saudari, perikop Injil ini memberitahu kita bahwa Yesus bukan "hantu", tetapi Pribadi yang hidup; ketika Yesus mendekati kita, Ia memenuhi kita dengan sukacita, sampai pada titik ketidakpercayaan, dan Ia membuat kita bingung, dengan keheranan yang hanya diberikan oleh kehadiran Allah, karena Yesus adalah Pribadi yang hidup.

 

Menjadi Kristiani pertama-tama bukanlah ajaran atau cita-cita moral; menjadi Kristiani adalah hubungan yang hidup dengan-Nya, dengan Tuhan yang bangkit : kita melihat-Nya, kita meraba-Nya, kita dipelihara oleh-Nya dan, diubah rupa oleh kasih-Nya, kita melihat, meraba dan memelihara orang lain sebagai saudara dan saudari kita. Semoga Perawan Maria membantu kita menghayati pengalaman rahmat ini.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Saudara-saudari yang terkasih!

 

Kemarin di Biara Casamari, Cardon dan lima rekan martirnya, biarawan Cistercian biara itu, dinyatakan sebagai Beato. Pada tahun 1799, ketika tentara Prancis yang menarik diri dari Napoli menjarah berbagai gereja dan biara, murid-murid Kristus yang lembut ini melawan dengan keberanian heroik, hingga menemui ajal, demi mempertahankan Ekaristi dari penistaan. Semoga teladan mereka memacu kita untuk semakin berketetapan hati untuk setia kepada Allah, bahkan mampu mengubah rupa masyarakat dan menjadikannya semakin adil dan bersaudara. Tepuk tangan yang meriah untuk para beato baru!

 

Dan ini adalah sesuatu yang menyedihkan. Saya sedang mengikuti dengan keprihatinan yang mendalam peristiwa-peristiwa di beberapa daerah di Ukraina timur, di mana dalam beberapa bulan terakhir pelanggaran gencatan senjata telah berlipat ganda, dan saya mengamati dengan sangat ketakutan peningkatan kegiatan militer. Tolong, saya sangat berharap agar peningkatan ketegangan dapat dihindari dan, sebaliknya, tindakan yang mampu meningkatkan rasa saling percaya serta mendorong rekonsiliasi dan perdamaian yang perlu dan diinginkan dapat dilakukan. Semoga kita juga tetap memperhatikan situasi kemanusiaan yang berat yang dialami oleh penduduk tersebut, yang kepada mereka saya mengungkapkan kedekatan saya dan bagi mereka saya mengundang kalian untuk berdoa.

 

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuh-Mu, Yesus. Santa Maria, bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.

 

Hari ini di Italia kita sedang merayakan Hari Universitas Katolik Hati Kudus, yang selama seratus tahun telah memberikan pelayanan yang berharga untuk pembentukan generasi baru. Semoga universitas tersebut terus menjalankan misi pendidikannya untuk membantu kaum muda menjadi pelaku utama masa depan yang kaya akan harapan. Dengan tulus, saya memberkati para staf, guru besar, dan mahasiswa Universitas Katolik tersebut.

 

Dan sekarang saya menyampaikan salam hangat kepada kalian semua, umat Roma dan para peziarah…, umat Brasil, Polandia, Spanyol…, dan saya melihat bendera lain di sana…. Syukur kepada Tuhan kita kembali dapat menemukan diri di Lapangan [Santo Petrus] ini demi janji hari Minggu dan hari libur. Saya akan memberitahu sesuatu kepada kalian : saya merindukan Lapangan Santo Petrus ketika saya harus mendaraskan doa Malaikat Tuhan di perpustakaan. Saya senang, syukur kepada Allah! Dan terima kasih atas kehadiran kalian …. Kepada kaum muda Imakulata, yang baik…. Dan kepada semuanya, saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang. Sampai jumpa!

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 18 April 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 14 April 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 28) - GEREJA SEKOLAH DOA


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Gereja adalah sekolah doa yang luar biasa. Banyak dari kita belajar bagaimana membisikkan doa pertama kita di pangkuan orangtua atau kakek nenek kita. Kita mungkin, mungkin, menyimpan dalam hati kenangan akan ibu dan ayah kita yang mengajari kita berdoa sebelum tidur. Saat-saat pengenangan kembali ini sering kali merupakan saat-saat di mana para orangtua mendengarkan beberapa rahasia dengan intim dan dapat memberikan nasihat yang diilhami oleh Injil. Kemudian, saat mereka tumbuh dewasa, ada perjumpaan lainnya, dengan saksi-saksi dan guru-guru doa lainnya (lihat Katekismus Gereja Katolik, 2686-2687). Hal ini baik untuk diingat.

 

Kehidupan paroki dan setiap komunitas Kristiani ditandai dengan saat liturgi dan saat doa komunitas. Kita menjadi sadar bahwa karunia yang kita terima dengan kesederhanaan saat masih bayi adalah warisan yang luar biasa, warisan yang kaya dan pengalaman doa semakin layak untuk diperdalam (lihat Katekismus Gereja Katolik 2688). Busana iman tidak dikelantang, tetapi berkembang bersama diri kita; busana iman tidak kaku, ia bertumbuh, bahkan melalui saat krisis dan saat kebangkitan. Sebenarnya, tidak ada pertumbuhan tanpa saat krisis karena krisis membuatmu bertumbuh. Mengalami krisis adalah cara yang diperlukan untuk bertumbuh. Dan nafas iman adalah doa : kita bertumbuh dalam iman sejauh kita belajar berdoa. Setelah bagian-bagian tertentu dalam kehidupan, kita menjadi sadar bahwa tanpa iman kita tidak dapat berdoa dan kekuatan kita adalah doa - tidak hanya doa pribadi, tetapi juga doa saudara-saudari kita, dan doa komunitas yang menyertai dan mendukung kita, doa orang-orang yang mengenal kita, doa orang-orang yang kita minta untuk mendoakan kita.

 

Karena alasan ini, komunitas dan kelompok yang mengabdi pada doa tumbuh subur dalam Gereja. Beberapa umat Kristiani bahkan merasakan panggilan untuk menjadikan doa sebagai tindakan utama hari mereka. Ada biara-biara, pertapaan-pertapaan dalam Gereja tempat tinggal para pelaku hidup bakti. Mereka sering menjadi pusat cahaya spiritual. Mereka adalah pusat doa komunitas yang memancarkan spiritualitas. Mereka adalah oasis kecil di mana doa yang giat diikutsertakan dan persekutuan persaudaraan dibangun dari hari ke hari. Mereka adalah sel yang sangat penting tidak hanya untuk tatanan gerejawi, tetapi juga sel masyarakat itu sendiri. Marilah kita memikirkan, misalnya, peran yang dimainkan kehidupan membiara dalam kelahiran dan pertumbuhan peradaban Eropa, dan juga budaya-budaya lainnya. Berdoa dan bekerja dalam komunitas membuat dunia terus berjalan. Berdoa dan bekerja adalah motornya!

 

Segala sesuatu dalam Gereja berasal dari doa dan segala sesuatu tumbuh berkat doa. Ketika Musuh, Si Jahat, ingin memerangi Gereja, ia melakukannya terlebih dahulu dengan mencoba menguras wadahnya, menghalangi orang-orang untuk berdoa. Misalnya, kita melihat hal ini dalam kelompok-kelompok tertentu yang sepakat untuk mengedepankan reformasi gerejawi, perubahan dalam kehidupan Gereja dan seluruh organisasi, media menginformasikan semua orang… Tetapi doa tidak terwujud, tidak ada doa. Kita perlu mengubah hal ini; kita perlu membuat keputusan yang agak sulit ini … Tetapi tawaran tersebut menarik. Ini menarik! Hanya dengan diskusi, hanya melalui media. Tetapi di mana doa? Dan doa adalah apa yang membuka pintu menuju Roh Kudus, yang mengilhami kemajuan. Perubahan dalam Gereja tanpa doa bukanlah perubahan yang dilakukan oleh Gereja. Perubahan dalam Gereja tanpa doa adalah perubahan yang dibuat oleh kelompok. Dan ketika Musuh - seperti yang saya katakan - ingin memerangi Gereja, ia melakukannya pertama-tama dengan menguras wadahnya, menghalangi doa dan mengajukan tawaran lainnya. Jika doa berhenti, untuk sesaat tampaknya semuanya bisa berjalan seperti biasa - dengan kelambanan, bukan? - tetapi setelah beberapa saat, Gereja menjadi sadar bahwa ia telah menjadi seperti cangkang kosong, telah kehilangan bantalannya, ia tidak lagi memiliki sumber kehangatan dan kasih.

 

Orang-orang kudus tidak memiliki kehidupan yang lebih mudah dibandingkan orang lain. Bahkan mereka sebenarnya memiliki permasalahan terkait mereka masing-masing, dan terlebih lagi, mereka sering menjadi sasaran pihak yang berseberangan. Tetapi kekuatan mereka adalah doa. Mereka selalu mengambil dari "sumber" Gereja Induk yang tak ada habisnya. Melalui doa mereka memelihara nyala api iman mereka, seperti yang biasa dilakukan minyak untuk pelita. Dan dengan demikian, mereka terus berjalan dengan iman dan harapan. Para kudus, yang sering kali dianggap remeh di mata dunia, pada kenyataannya adalah orang-orang yang menopangnya, bukan dengan bersenjatakan uang dan kekuasaan, media komunikasi - dan seterusnya - tetapi dengan bersenjatakan doa.

 

Dalam Injil Lukas, Yesus mengajukan pertanyaan dramatis yang selalu membuat kita merenung : "Jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Luk 18:8), atau akankah Ia hanya mendapati organisasi, seperti kelompok pengusaha yang beriman, semuanya terkelola dengan baik, yang melakukan karya amal, banyak hal, atau akankah Ia mendapati iman? “Jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” Pertanyaan ini muncul di akhir perumpamaan yang menunjukkan perlunya berdoa dengan ketekunan tanpa merasa jemu (lihat ayat 1-8). Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pelita iman akan selalu menyala di bumi selama masih ada minyak doa. Inilah yang menuntun iman maju dan menuntun hidup kita - orang lemah, orang berdosa - maju, tetapi doa menuntunnya maju dengan aman. Pertanyaan yang perlu ditanyakan kita, orang-orang Kristiani, kepada diri kita sendiri adalah : Apakah aku berdoa? Apakah kita berdoa? Bagaimana caraku berdoa? Seperti seekor burung beo atau apakah aku berdoa dengan hati? Bagaimana caraku berdoa? Apakah aku berdoa, yakin bahwa aku berada di dalam Gereja dan aku berdoa bersama Gereja? Atau apakah aku berdoa sedikit menurut gagasanku dan kemudian membuat gagasanku menjadi doa? Ini adalah doa orang yang tidak beriman, tidak Kristiani. Saya ulangi : Kita dapat menyimpulkan bahwa pelita iman akan selalu menyala di bumi selama masih ada minyak doa.

 

Dan inilah tugas penting Gereja : berdoa dan mengajarkan cara berdoa. Meneruskan pelita iman dan minyak doa dari generasi ke generasi. Pelita iman yang menerangi memulihkan segala sesuatu sebagaimana adanya, tetapi hanya bisa maju dengan minyak iman. Jika tidak, pelita tersebut akan padam. Tanpa cahaya pelita ini, kita tidak akan bisa melihat jalan penginjilan, atau lebih tepatnya, kita tidak akan bisa melihat jalan untuk percaya dengan baik; kita tidak akan bisa melihat wajah saudara-saudari yang harus kita dekati dan layani; kita tidak akan bisa menerangi ruangan tempat kita bertemu dalam komunitas. Tanpa iman semuanya ambruk; dan tanpa doa iman terpadamkan. Iman dan doa bersama-sama. Tidak ada alternatif lain. Karena alasan ini, Gereja, sebagai rumah dan sekolah persekutuan, adalah rumah dan sekolah iman dan doa.

 

[Salam Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat yang berbahasa Inggris. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan atas kalian dan keluarga kalian belas kasihan Allah Bapa kita. Semoga Tuhan memberkati kalian semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang doa Kristiani, kita sekarang membahas Gereja sendiri sebagai sekolah doa yang luar biasa. Orangtua kita, yang pertama kali mengajari kita berdoa, menanamkan di dalam diri kita benih yang matang melalui pengalaman hidup Kristiani kita. Melalui teladan orang beriman lainnya, melalui keikutsertaan kita dalam kehidupan paroki dan terutama melalui liturgi kudus, kita tidak hanya mengembangkan kehidupan doa kita sebagai individu, tetapi secara bertahap menghargai kekayaan yang diwariskan Gereja. doa dan spiritualitas. Khususnya pada saat-saat sulit dalam hidup, kita mulai menyadari pentingnya doa dalam memperkuat iman dan harapan kita. Sejarah menunjukkan pentingnya komunitas doa - biara dan tarekat religius - untuk pembaruan spiritual Gereja dan masyarakat secara keseluruhan. Doa tetap menjadi sumber kehidupan Gereja dan sumber kekuatannya yang sejati dalam memberikan kesaksian tentang Tuhan yang bangkit. Karena alasan ini, Yesus menekankan murid-murid-Nya perlu berdoa tanpa jemu dan tanpa henti. Lalu, berdoa dan mengajarkan orang lain berdoa adalah penting untuk perutusan Gereja dalam mewartakan Injil, melayani Kristus dalam diri saudara dan saudari kita, dan menarik semua orang ke dalam kesatuan kerajaan-Nya.

___

 

(Peter Suriadi - Bogor, 14 April 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 7 April 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 27)

Saudara-saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, saya ingin bercermin pada hubungan antara doa dan persekutuan para kudus. Pada kenyataannya, ketika kita berdoa, kita tidak pernah melakukannya sendirian : bahkan jika kita tidak memikirkannya, kita terbenam dalam sungai doa permohonan yang megah yang mendahului kita dan terus berlanjut setelah kita. Sungai yang megah.

 

Dalam doa-doa yang kita temukan di dalam Kitab Suci, yang sering bergema dalam liturgi, terkandung jejak cerita kuno, pembebasan yang menakjubkan, pembuangan dan pengasingan yang menyedihkan, kepulangan yang sarat emosi, pujian yang berceloteh riuh di hadapan keajaiban penciptaan ... Dan dengan demikian, suara-suara ini diwariskan dari generasi ke generasi, dalam jalinan yang terus menerus antara pengalaman pribadi dan pengalaman orang-orang serta umat manusia di tempat kita berada. Tak seorang pun bisa memisahkan diri dari sejarahnya, sejarah bangsanya. Kita selalu menyandang dalam sikap kita warisan ini, bahkan dalam cara kita berdoa. Dalam doa pujian, terutama yang terungkap dari hati orang-orang kecil dan rendah hati, bergemlah kidung Magnificat yang dilantunkan Maria ke hadapan Allah di depan sepupunya Elisabet; atau seruan Simeon yang sudah lanjut usia yang, sambil menatang Bayi Yesus, mengatakan demikian : “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu” (Luk 2:29).

 

Doa yang baik "meluas", seperti segala sesuatu yang baik; doa yang baik terus menerus menyebarkan diri, dengan atau tanpa diunggah di jejaring sosial : dari bangsal rumah sakit, dari saat-saat pertemuan yang meriah hingga saat-saat di mana batin kita menderita … Kesengsaraan seseorang adalah kesengsaraan semua orang, dan kebahagiaan seseorang diteruskan kepada jiwa orang lainnya. Kesengsaraan dan kebahagiaan, semua sebuah cerita, cerita-cerita yang menciptakan cerita hidup kita masing-masing, cerita ini dihidupkan kembali melalui kata-kata kita, tetapi pengalamannya sama.

 

Doa selalu dilahirkan kembali : setiap kali kita bergandengan tangan dan membuka hati kepada Allah, kita menemukan diri ditemani oleh para kudus, baik yang tak dikenal maupun yang dikenal, yang berdoa bersama kita dan menjadi perantara kita sebagai saudara-saudari tua yang telah mendahului kita dalam petualangan manusiawi yang sama ini. Dalam Gereja, tidak ada kesedihan yang ditanggung sendirian, tidak ada air mata yang dilupakan, karena setiap orang bernapas dan ikut serta dalam rahmat yang sama. Bukan kebetulan bahwa dalam gereja kuno orang-orang dimakamkan di taman-taman yang mengelilingi bangunan suci, seolah-olah mengatakan bahwa, dalam beberapa hal, sejumlah besar orang yang telah mendahului kita ikut serta dalam setiap Ekaristi. Para orangtua dan para kakek-nenek kita ada di sana, para wali baptis kita ada di sana, para katekis kita dan para guru lainnya ada di sana… Iman yang diteruskan, diwariskan, yang telah kita terima. Seiring dengan iman, cara berdoa dan doa telah diwariskan.

 

Para kudus masih di sini tidak jauh dari kita; dan keterwakilan mereka dalam Gereja-gereja membangkitkan "awan para saksi" yang selalu mengelilingi kita (lihat Ibr 12:1). Pada permulaan, kita mendengar bacaan Surat kepada orang Ibrani. Mereka adalah para saksi yang tidak kita sembah - artinya kita tidak menyembah para kudus ini - tetapi kita hormati dan dalam ribuan cara membawa kita kepada Yesus Kristus, satu-satunya Tuhan dan Pengantara antara Allah dan umat manusia. "Orang kudus" yang tidak membawamu kepada Yesus bukanlah orang kudus, bahkan bukan orang Kristiani. Orang kudus membuatmu mengingat Yesus Kristus karena ia menempuh jalan hidup sebagai seorang Kristiani. Para kudus mengingatkan kita bahwa bahkan betapapun lemahnya hidup kita dan ditandai oleh dosa, kekudusan dapat diungkapkan. Bahkan saat menjelang ajal. Pada kenyataannya, kita membaca dalam Injil bahwa orang kudus pertama yang dikanonisasi oleh Yesus adalah seorang penjahat, bukan Paus. Kekudusan adalah perjalanan hidup, perjumpaan panjang maupun pendek atau seketika dengan Yesus. Tetapi ia selalu menjadi seorang saksi, orang kudus adalah seorang saksi, seorang manusia yang berjumpa Yesus dan mengikuti Yesus. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat kepada Tuhan yang pengasih dan berlimpah kasih setia (lihat Mzm 103:8).

 

Katekismus menjelaskan bahwa para kudus memandang Allah, memuja Dia dan tanpa henti-hentinya memperhatikan mereka yang ditinggalkannya di dunia ini [...] Doa syafaatnya adalah pelayanan yang tertinggi bagi rencana Allah. Kita dapat dan harus memohon mereka, supaya membela kita dan seluruh dunia” (KGK, 2683). Ada kesetiakawanan penuh misteri di dalam Kristus di antara mereka yang telah meninggal dunia dan kita para peziarah dalam kehidupan ini : dari Surga, orang-orang tercinta kita yang sudah meninggal terus menjaga kita. Mereka mendoakan kita, dan kita mendoakan mereka serta kita berdoa bersama mereka.

 

Hubungan dalam doa antara diri kita dan mereka yang telah tiba - kita telah mengalami hubungan ini dalam doa di sini dalam kehidupan duniawi ini. Kita saling mendoakan, kita memanjatkan permohonan dan berdoa…. Cara pertama mendoakan seseorang adalah dengan berbicara kepada Allah tentang dia. Jika kita sering melakukan hal ini, setiap hari, hati kita tidak tertutup tetapi terbuka terhadap saudara-saudari kita. Mendoakan orang lain adalah cara pertama mengasihi mereka dan menggerakkan kita untuk sungguh mendekat. Bahkan di saat-saat perselisihan, cara menyelesaikan perselisihan, melembutkannya, adalah dengan mendoakan orang yang berselisih denganku. Dan sesuatu berubah dengan doa. Hal pertama yang berubah adalah hati dan sikapku. Tuhan mengubahnya sehingga perselisihan bisa berubah menjadi perjumpaan, perjumpaan baru agar perselisihan tidak menjadi perang yang tidak kunjung berakhir.

 

Cara pertama untuk menghadapi saat kesukaran adalah dengan meminta saudara-saudari kita, terutama para kudus, untuk mendoakan kita. Nama yang diberikan kepada kita saat Pembaptisan bukanlah label atau hiasan! Biasanya nama perawan, atau orang kudus, yang tidak mengharapkan apa pun selain "memberi kita bantuan" dalam hidup, memberi kita bantuan untuk mendapatkan rahmat Allah yang kita butuhkan. Jika pencobaan hidup belum mencapai titik puncaknya, jika kita masih mampu bertahan, jika terlepas dari segalanya kita melanjutkan dengan penuh kepercayaan, terlepas dari jasa kita, mungkin kita berhutang semua ini kepada perantaraan seluruh orang kudus, beberapa telah berada di Surga, lainnya adalah para peziarah seperti kita di bumi, yang telah melindungi dan menemani kita, karena kita semua tahu ada orang-orang kudus di bumi ini, orang-orang kudus yang hidup dalam kekudusan. Mereka tidak mengetahuinya; kita juga tidak menyadarinya. Tetapi ada orang-orang kudus, orang-orang kudus sehari-hari, orang-orang kudus yang tersembunyi, atau seperti yang saya suka katakan, "orang-orang kudus yang tinggal di pintu sebelah", mereka yang berbagi kehidupan dengan kita, yang bekerja dengan kita dan hidup dalam kekudusan.

 

Oleh karena itu, terpujilah Yesus Kristus, satu-satunya Juruselamat dunia, bersama dengan perkembangan luar biasa para kudus ini yang memenuhi muka bumi dan telah memuji Allah melalui kehidupan mereka. Karena - seperti ditegaskan oleh Santo Basilius - "Roh adalah benar-benar tempat para kudus, dan seorang kudus adalah tempat yang cocok untuk Roh, karena ia membiarkan Allah tinggal dalam dirinya dan ia disebut kenisah Roh Kudus" (Tentang Roh Kudus, 26, 62: PG 32, 184A; lihat KGK, 2684).

 

[Salam khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan atas kalian dan keluarga kalian belas kasihan Allah Bapa kita. Semoga Tuhan memberkati kalian semua!

 

[Seruan]

 

Dalam doa saya ingin mengenang kembali para korban banjir yang melanda Indonesia dan Timor Timur beberapa hari ini. Semoga Tuhan menyambut mereka yang meninggal, menghibur keluarga mereka dan menyokong mereka yang kehilangan tempat tinggal.

 

Kemarin dirayakan Hari Olahraga untuk Pembangunan dan Perdamaian Sedunia, yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya berharap ini dapat menggerakkan sekali lagi pengalaman olahraga sebagai peristiwa beregu, untuk mempromosikan dialog melalui berbagai budaya dan bangsa.

 

Dalam sudut pandang tersebut, dengan senang hati saya mendorong Atletik Vatikan untuk melanjutkan komitmen mereka dalam menyebarkan budaya persaudaraan melalui dunia olahraga, dengan memperhatikan mereka yang paling lemah, sehingga menjadi saksi-saksi perdamaian.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang doa Kristiani, sekarang kita membahas persekutuan para kudus. Kapanpun kita berdoa, kita mendapati diri kita terbenam dalam aliran besar perantaraan masa lalu, masa kini dan masa depan demi kebutuhan individu dan seluruh dunia, karena kita berdoa bersama dengan semua orang kudus dalam persekutuan tubuh Kristus yaitu Gereja. Para kudus - “awan para saksi” yang luar biasa ini (Ibr 12:1) baik yang dikenal maupun yang tak dikenal - berdoa tanpa henti bersama kita dan untuk kita dengan memuliakan Allah. Penghormatan kita terhadap para kudus membawa kita semakin dekat kepada Yesus, satu-satunya Pengantara antara Allah dan manusia. Di dalam Kristus juga, kita merasakan kesetiakawanan yang penuh misteri dengan orang-orang tercinta kita yang telah meninggal, yang terus kita doakan. Kita juga mengalami kesetiakawanan penuh doa ini di sini di bumi ini, saat kita mendoakan satu sama lain serta saudara dan saudari kita yang miskin, menderita dan paling membutuhkan. Di masa-masa yang penuh tantangan ini, marilah kita bersyukur kepada Allah atas karunia agung para kudus dan dengan penuh keyakinan mempercayakan diri kita kepada perantaraan mereka, demi penyebaran Injil dan keselamatan keluarga manusia kita.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 7 April 2021)