Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 21 Februari 2021 : MEMIKIRKAN PADANG GURUN


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Hari Rabu lalu, dengan ritus pertobatan abu, kita mengawali perjalanan Prapaskah kita. Hari ini, hari Minggu pertama masa liturgi ini, Sabda Allah menunjukkan kepada kita jalan untuk hidup empat puluh hari yang berbuah menuju perayaan tahunan Paskah. Cara Yesus melangkah, yang disimpulkan Injil, dengan gaya esensial Markus, dengan dikatakan bahwa sebelum Ia memulai khotbah-Nya, Ia menarik diri ke padang gurun selama empat puluh hari, di mana Ia dicobai oleh Iblis (lihat 1:12-15). Penginjil menekankan bahwa “segera sesudah itu Roh - Roh Kudus - memimpin Dia ke padang gurun” (ayat 12). Roh Kudus turun ke atas diri-Nya segera sesudah baptisan yang diterima-Nya dari Yohanes di Sungai Yordan; Roh juga sekarang mendorong-Nya untuk pergi ke padang gurun, menghadapi si Penggoda, memerangi Iblis. Seluruh keberadaan Yesus ditempatkan di bawah tanda Roh Allah, yang menghidupkan, mengilhami dan membimbing-Nya.

 

Tetapi marilah kita memikirkan padang gurun. Marilah kita berhenti sejenak pada lingkungan alami dan simbolis ini, yang sangat penting dalam Kitab Suci. Padang gurun adalah tempat Allah berbicara kepada hati manusia, dan tempat doa terjawab, yaitu, padang gurun kesunyian, hati yang tidak terikat hal-hal lain, dan yang hanya dalam kesendirian membuka dirinya terhadap Sabda Allah. Tetapi padang gurun juga merupakan tempat pencobaan dan godaan, tempat si Penggoda, memanfaatkan kelemahan dan kebutuhan manusia, menyisipkan suara dustanya, sebagai alternatif suara Allah, suara alternatif yang membuatmu melihat jalan lain, jalan penipuan lain. Si Penggoda mengelabui. Memang, selama empat puluh hari yang dihabiskan Yesus di padang gurun, “duel” antara Yesus dan iblis adalah permulaannya, yang akan berakhir dengan Sengsara dan Salib. Seluruh pelayanan Kristus adalah perjuangan melawan Si Jahat dalam banyak perwujudannya : penyembuhan dari penyakit, pengusiran roh jahat dari orang yang kerasukan, pengampunan dosa. Seluruh pelayanan adalah sebuah perjuangan. Setelah tahap pertama yang di dalamnya Yesus menunjukkan bahwa Ia berbicara dan bertindak dengan kuasa Allah, Iblis tampaknya berada di atas angin, ketika Putra Allah ditolak, ditinggalkan serta akhirnya ditangkap dan dihukum mati. Ia telah menaklukkan Iblis, stampaknya. Tampaknya Dialah pemenangnya. Pada kenyataannya, kematian adalah “padang gurun” terakhir yang harus diseberangi agar pada akhirnya mengalahkan Iblis dan membebaskan kita semua dari kuasanya. Dan dengan cara ini Yesus menang di padang gurun maut, sehingga menang dalam Kebangkitan.

 

Setiap tahun, pada awal Prapaskah, Injil tentang pencobaan Yesus di padang gurun ini mengingatkan kita bahwa kehidupan umat Kristiani, dalam jejak langkah Allah, adalah pertempuran melawan roh jahat. Pertempuran itu menunjukkan kepada kita bahwa Yesus dengan rela menghadapi si Penggoda, dan mengalahkannya; seraya mengingatkan kita bahwa Iblis diberikan kemungkinan untuk bertindak atas kita juga, dengan godaannya. Kita harus menyadari kehadiran musuh yang cerdik ini, yang mengusahakan penghukuman abadi kita, kegagalan kita, dan bersiap untuk membela diri menentangnya dan memeranginya. Rahmat Allah meyakinkan kita, dengan iman, doa dan penebusan dosa, kemenangan kita atas musuh tersebut. Tetapi saya ingin menggarisbawahi satu hal : dalam pencobaan, Yesus tidak pernah berdialog dengan Iblis, tidak pernah. Dalam hidup-Nya Yesus tidak pernah berdialog dengan iblis, tidak pernah. Ia mengusir roh jahat dari mereka yang kerasukan maupun mengutuknya, atau Ia menunjukkan kebencian-Nya, tetapi tidak pernah berdialog. Dan di padang gurun tampaknya ada dialog karena Iblis mengajukan tiga tawaran dan Yesus menanggapinya. Tetapi Yesus tidak menanggapi dengan kata-kata-Nya sendiri. Ia menjawabnya dengan Sabda Allah, dengan tiga bagian Kitab Suci. Dan hal ini, untuk kita semua. Ketika si Penggoda mendekat, ia mulai merayu kita : "Tetapi pikirkanlah hal ini, lakukanlah hal itu ...", godaannya adalah berdialog dengannya, seperti yang dilakukan Hawa. Hawa berkata : "Tetapi engkau tidak bisa, karena kita ...", dan memasuki dialog. Dan jika kita berdialog dengan Iblis, kita akan dikalahkan. Simpanlah hal ini dalam benak dan hatimu : kamu tidak akan pernah bisa berdialog dengan Iblis, tidak dimungkinkan adanya dialog. Sabda Allah semata.

 

Selama Masa Prapaskah, Roh Kudus memimpin kita juga, seperti Yesus, ke padang gurun. Seperti yang telah kita lihat, padang gurun bukan tempat fisik, tetapi lebih merupakan dimensi keberadaan yang di dalamnya kita dapat diam dan mendengarkan Sabda Allah, “sehingga pertobatan sejati dapat terjadi di dalam diri kita” (Doa Pembuka, Hari Minggu Prapaskah I, tahun B, dialihbahasakan dari bahasa Italia). Jangan takut terhadap padang gurun, carilah saat-saat untuk lebih banyak berdoa, hening, masuk ke dalam diri kita. Jangan takut. Kita dipanggil untuk berjalan mengikuti jejak langkah Allah, memperbarui janji baptis kita: menyangkal Setan, dan seluruh pekerjaannya dan seluruh janji kosongnya. Musuh sedang berjongkok di sana, waspadalah. Tetapi jangan pernah berdialog dengannya. Marilah kita mempercayakan diri kepada pengantaraan keibuan Perawan Maria.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih!

 

Saya menyampaikan salam hangat untuk kalian semua, umat Roma dan para peziarah. Secara khusus, saya menyapa umat Polandia yang berada di depan. Hari ini pikiran saya tertuju ke Tempat Kudus PÅ‚ock di Polandia, tempat Tuhan Yesus mewujudkan diri-Nya kepada Santo Faustina Kowalska sembilan puluh tahun yang lalu, guna mempercayakan pesan khusus kerahiman ilahi kepadanya. Melalui Santo Yohanes Paulus II, pesan ini menjangkau seluruh dunia, serta tidak lain dan tidak bukan adalah Injil Yesus Kristus, yang telah wafat dan bangkit kembali, dan yang memberikan kita kerahiman Bapa-Nya. Marilah kita membuka hati kita, mengatakan dengan iman, “Yesus, aku percaya kepada-Mu”.

 

Saya menyapa kaum muda dan dewasa dari kelompok Talitha Kum Paroki San Giovanni dei Fiorentinim, Roma. Terima kasih atas kehadiran kalian, dan lanjutkanlah dengan sukacita pekerjaan baik kalian.

 

Dan kepada kalian semua, saya mengucapkan selamat hari Minggu yang indah, indah, di bawah sinar matahari, dan hari Minggu yang berbahagia!

 

Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang kalian, dan sampa jumpa!

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 14 Februari 2021 : BELAJAR MENJADI PELANGGAR

Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Lapangan [Santo Petrus] indah dengan matahari! Indahnya!

 

Bacaan Injil hari ini (bdk. Mrk 1:40-45) menyajikan kepada kita perjumpaan Yesus dengan seorang penderita  kusta. Penderita kusta dianggap najis dan, menurut ketentuan Hukum, mereka harus tinggal di luar pusat hunian. Mereka dikecualikan dari setiap hubungan manusia, sosial dan agama : misalnya, mereka tidak dapat masuk ke rumah ibadah, mereka tidak dapat masuk ke Bait Allah, inilah batasan agama. Yesus, sebaliknya, membiarkan orang ini mendekati-Nya, Ia tergerak bahkan sampai mengulurkan tangan-Nya dan menjamah. Hal ini tidak terpikirkan saat itu.

 

Inilah cara Ia menggenapi Kabar Baik yang diwartakan-Nya : Allah semakin dekat dengan hidup kita, Ia tergerak untuk berbelas kasih karena nasib umat manusia yang terluka dan datang untuk mendobrak setiap penghalang yang menghalangi kita untuk berhubungan dengan Dia, dengan sesama dan dengan diri kita sendiri. Ia mendekat… Kedekatan. Kasih sayang. Injil mengatakan bahwa Yesus, melihat penderita kusta, tergerak oleh belas kasihan, kelembutan. Tiga kata yang menunjukkan gaya Allah : kedekatan, kasih sayang, kelembutan. Dalam kisah ini, kita bisa melihat dua “pelanggaran” yang bersilangan : pelanggaran si penderita kusta yang mendekati Yesus, dan seharusnya ia tidak melakukannya; dan Yesus yang, tergerak oleh belas kasihan, menjamahnya dengan kasih sayang guna menyembuhkannya. Ia seharusnya tidak melakukan hal itu. Keduanya pelanggar. Ada dua pelanggaran.

 

Pelanggaran pertama adalah pelanggaran si penderita kusta : meskipun ada aturan Hukum, ia keluar dari pengasingan dan pergi kepada Yesus. Penyakitnya dianggap sebagai hukuman ilahi, tetapi, di dalam Yesus, ia dapat melihat segi lain dari Allah : bukan Allah yang menghukum, tetapi Bapa yang penuh cinta kasih yang membebaskan kita dari dosa dan tidak pernah mengecualikan kita dari belas kasihan-Nya. Dengan demikian, orang itu dapat keluar dari keterasingannya karena di dalam Yesus ia menemukan Allah yang turut merasakan penderitaannya. Perilaku Yesus menariknya, mendorongnya untuk keluar dari dirinya dan mempercayakan kisah pedihnya kepada-Nya. Dan, di sini, perkenankan saya memikirkan banyak bapa pengakuan yang baik yang memiliki perilaku menarik orang-orang ini, dan banyak orang yang merasakan diri mereka bukan apa-apa, yang merasakan diri mereka terkapar di tanah karena dosa-dosa mereka, yang dengan kelembutan, dengan belas kasih ... Para bapa pengakuan yang baik yang tidak memiliki cambuk di tangan mereka, tetapi hanya menyambut, mendengarkan dan mengatakan bahwa Allah itu baik dan selalu mengampuni, Allah tidak lelah mengampuni. Saya meminta kalian semua yang hari ini berada di sini di Lapangan [Santo Petrus], untuk memberikan tepuk tangan bagi para bapa pengakuan yang penuh belas kasih ini.

 

Pelanggaran kedua adalah pelanggaran Yesus : meskipun Hukum melarang menyentuh penderita kusta, Ia tergerak, mengulurkan tangan-Nya dan menjamahnya untuk menyembuhkannya. Seseorang akan berkata : Ia berdosa. Ia melakukan sesuatu yang dilarang hukum. Ia adalah seorang pelanggar. Itu benar : Ia adalah seorang pelanggar. Ia tidak membatasi diri pada kata-kata, tetapi menjamahnya. Menjamah dengan cinta berarti menjalin hubungan, masuk ke dalam persekutuan, terlibat dalam kehidupan sesama bahkan sampai ambil bagian dalam luka-luka. Dengan perilaku tersebut, Yesus mengungkapkan bahwa Allah, yang tidak acuh tak acuh, tidak menjaga diri-Nya pada “jarak aman”. Sebaliknya, Ia mendekat karena belas kasihan dan menjamah hidup kita untuk menyembuhkannya dengan kelembutan. Itulah gaya Allah : kedekatan, kasih sayang dan kelembutan. Pelanggaran Allah. Ia adalah pelanggar yang hebat dalam hal ini.

 

Saudara dan saudari, bahkan di dunia dewasa ini, banyak saudara dan saudari kita masih menderita penyakit ini, penyakit Hansen, atau penyakit dan kondisi lain yang membawa stigma sosial pada diri mereka. “Orang ini adalah orang berdosa”. Pikirkan sejenak ketika perempuan itu memasuki perjamuan dan menuangkan minyak wangi itu di kaki Yesus … Yang lainnya berkata : “Tetapi jika Ia seorang nabi Ia akan tahu siapa perempuan ini : seorang pendosa”. Penghinaan. Sebaliknya, Yesus menyambut, malahan, berterima kasih padanya : "Dosamu telah diampuni". Kelembutan Yesus. Prasangka sosial menjauhkan orang-orang ini melalui kata-kata : “Orang ini tidak murni, orang itu orang berdosa, orang ini penipu, orang itu…” Ya, kadang-kadang itu benar. Tetapi jangan menghakimi melalui prasangka. Kita masing-masing mungkin mengalami luka, kegagalan, penderitaan, keegoisan yang membuat kita menutup diri dari Allah dan sesama karena dosa menutup diri kita oleh karena rasa malu, karena penghinaan, tetapi Allah ingin membuka hati kita. Menghadapi semua ini, Yesus mewartakan kepada kita bahwa Allah bukanlah gagasan atau ajaran tak berwujud tetapi Allah adalah yang "mencemari" diri-Nya dengan luka kita sebagai manusia dan tidak takut untuk bersentuhan dengan luka kita. “Tetapi, Bapa, apa yang kamu katakan? Apakah Allah mencemari diri-Nya sendiri?" Saya tidak mengatakan hal ini, Santo Paulus yang mengatakannya : Ia menjadikan diri-Nya berdosa. Ia yang bukan orang berdosa, yang tidak bisa berbuat dosa, menjadikan diri-Nya berdosa. Lihatlah bagaimana Allah mencemari diri-Nya untuk mendekati kita, memiliki kasih sayang dan membuat kita memahami kelembutan-Nya. Kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan.

 

Demi menghormati aturan berkenaan nama baik dan adat istiadat sosial, kita sering membungkam rasa sakit atau kita memakai topeng yang menyamarkannya. Demi menyeimbangkan perhitungan keegoisan kita dan hukum batin ketakutan kita, kita tidak mau terlibat dengan penderitaan sesama. Sebaliknya, marilah kita memohonkan kepada Tuhan rahmat untuk menjalani dua "pelanggaran" ini, dua "pelanggaran" dari Injil hari ini : pelanggaran penderita kusta, sehingga kita dapat memiliki keberanian untuk keluar dari keterasingan kita dan, ketimbang tinggal diam dan mengasihani diri sendiri atau menangisi kegagalan kita, mengeluh, dan ketimbang hal ini, marilah kita pergi kepada Yesus sebagaimana adanya; "Yesus, aku seperti ini". Kita akan merasakan pelukan itu, pelukan Yesus yang begitu indah itu. Dan kemudian pelanggaran Yesus, kasih yang melampaui kesepakatan, yang mengatasi prasangka dan ketakutan untuk terlibat dengan kehidupan sesama. Marilah kita belajar menjadi pelanggar seperti dua orang ini : seperti penderita kusta dan seperti Yesus.

 

Semoga Perawan Maria menyertai kita dalam perjalanan ini seraya kita sekarang memohon kepadanya dalam doa Malaikat Tuhan.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Dengan rasa syukur saya selalu melihat dedikasi orang-orang yang bekerjasama untuk para migran. Saya berterima kasih kepada kalian semua atas apa yang kalian lakukan untuk para migran. Hari ini secara khusus, saya bergabung dengan para uskup Kolombia dalam mengungkapkan rasa syukur kepada pihak berwenang Kolombia karena telah menerapkan undang-undang perlindungan sementara bagi para migran Venezuela yang hadir di negara itu, mendorong penyambutan, perlindungan, dan penyatupaduan. Bukan negara yang mahakaya, sedang berkembang yang melakukan hal ini… Tidak : hal ini dilakukan oleh sebuah negara yang memiliki banyak masalah pembangunan, kemiskinan dan perdamaian… Hampir 70 tahun perang gerilya. Tetapi dengan masalah ini mereka memiliki keberanian untuk melihat para migran tersebut dan menciptakan undang-undang ini. Terima kasih untuk Kolumbia. Terima kasih!

 

Hari ini adalah Pesta Santo Sirilus dan Metodius, penginjil bangsa Slavia, yang ditetapkan Santo Yohanes Paulus II sebagai pelindung Eropa. Dengan penuh kasih saya menyapa semua komunitas yang tinggal di wilayah yang diinjili oleh saudara-saudara yang kudus tersebut. Semoga doa pengantaraan mereka membantu kita menemukan cara baru untuk menyampaikan Injil. Keduanya tidak takut menemukan cara baru untuk menyampaikan Injil. Dan melalui pengantaraan mereka, semoga Gereja-gereja Kristen bertumbuh dalam keinginan mereka untuk berjalan menuju persatuan penuh seraya menghormati perbedaan.

 

Dan hari ini, Hari Santo Valentinus, saya tidak bisa urung menyampaikan pemikiran dan salam kepada pasangan yang telah bertunangan, mereka yang sedang jatuh cinta. Saya menyertai kalian dengan doa saya dan saya memberkati kalian semua.

 

Dan sekarang saya menyampaikan salam kepada umat Roma dan para peziarah. Saya juga melihat orang-orang Prancis, dan Meksiko, Spanyol, Polandia. Selamat datang untuk kalian semua! Salam untuk semuanya!

 

Kita mengawali Prapaskah Rabu mendatang ini. Prapaskah akan menjadi masa yang tepat untuk memberikan makna iman dan harapan terhadap krisis yang sedang kita jalani. Dan sebelumnya, saya tidak ingin melupakan : tiga kata yang membantu kita memahami gaya Allah. Jangan lupa : kedekatan, kasih sayang, kelembutan. Ucapkanlah ketiganya bersama-sama.

 

Kedekatan, kasih sayang, kelembutan.

 

Kepada kalian semua, saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makanan kalian dan sampai jumpa!

 

Terima kasih!

____


(Peter Suriadi - Bogor, 14 Februari 2021)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK MASA PRASPASKAH 2021


"Sekarang kita pergi ke Yerusalem" (Mat 20:18)

 

Masa Prapaskah : Waktu untuk Memperbarui Iman, Harapan dan Kasih

 

Saudara dan saudari terkasih,

 

Yesus mengungkapkan kepada murid-murid-Nya makna terdalam perutusan-Nya ketika Ia memberitahu mereka tentang sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, sebagai penggenapan kehendak Bapa. Ia kemudian memanggil murid-murid-Nya untuk ambil bagian dalam perutusan ini demi keselamatan dunia.

 

Dalam perjalanan Prapaskah kita menuju Paskah, marilah kita mengingat Dia yang “telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai wafat, bahkan sampai wafat di kayu salib” (Flp 2:8). Selama masa pertobatan ini, marilah kita memperbarui iman kita, menimba dari “air hidup” harapan, dan dengan hati terbuka menerima kasih Allah, yang menjadikan kita saudara dan saudari di dalam Kristus. Pada malam Paskah, kita akan memperbarui janji baptisan kita dan mengalami kelahiran kembali sebagai manusia baru melalui karya Roh Kudus. Perjalanan Prapaskah ini, sebagaimana seluruh perjalanan peziarahan dalam kehidupan Kristiani, bahkan sekarang diterangi oleh cahaya kebangkitan, yang mengilhami pemikiran, sikap dan keputusan para pengikut Kristus.

 

Puasa, doa dan sedekah, seperti yang dikhotbahkan oleh Yesus (bdk. Mat 6:1-18), memungkinkan dan mengungkapkan pertobatan kita. Jalan kemiskinan dan penyangkalan diri (puasa), kepedulian dan kasih sayang kepada orang miskin (sedekah), dan seperti anak kecil berdialog dengan Bapa (doa) memungkinkan kita untuk menjalani kehidupan dengan iman yang tulus, harapan yang hidup dan memberlakukan amal kasih.

 

1.       Iman memanggil kita untuk menerima kebenaran serta memberikan kesaksian terhadapnya di hadapan Allah dan semua saudara-saudari kita.

 

Dalam Masa Prapaskah ini, menerima dan menghayati kebenaran yang diwahyukan dalam Kristus berarti, pertama-tama, membuka hati kita terhadap sabda Allah, yang diwariskan Gereja dari generasi ke generasi. Kebenaran ini bukanlah konsep abstrak yang diperuntukkan bagi segelintir orang cerdas pilihan. Sebaliknya, kebenaran tersebut merupakan pesan yang dapat diterima dan dipahami oleh kita semua berkat kebijaksanaan hati yang terbuka terhadap kemuliaan Allah, yang mengasihi kita bahkan sebelum kita menyadarinya. Kristus sendiri adalah sang kebenaran ini. Dengan mengambil kemanusiaan kita, bahkan sampai melebihi batas-batasnya, Ia telah menjadikan diri-Nya jalan - menuntut, namun terbuka bagi semua orang - yang menuntun pada kepenuhan hidup.

 

Puasa, dialami sebagai bentuk penyangkalan diri, membantu orang-orang yang melakukannya dalam kesederhanaan hati untuk menemukan kembali karunia Allah serta menyadari bahwa, diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, kita menemukan pemenuhan diri kita di dalam Dia. Dengan merangkul pengalaman kemiskinan, mereka orang-orang yang berpuasa menjadikan dirinya miskin bersama kaum miskin serta mengumpulkan khazanah kasih baik yang diterima maupun yang dibagikan. Dengan cara ini, puasa membantu kita untuk mengasihi Allah dan sesama kita, karena kasih, seperti yang diajarkan Santo Thomas Aquino, adalah gerakan ke luar yang memusatkan perhatian kita pada sesama dan menganggap mereka satu dengan diri kita (bdk. Fratelli Tutti, 93).

 

Prapaskah adalah masa untuk percaya, menyambut Allah ke dalam hidup kita dan memperkenankan Dia untuk "berdiam" di antara kita (bdk. Yoh 14:23). Puasa melibatkan pembebasan dari semua yang membebani kita - seperti konsumerisme atau informasi berlebihan, entah benar atau salah - guna membuka pintu hati kita terhadap Dia yang datang kepada kita, miskin dalam segala hal, namun “penuh kasih karunia dan kebenaran ”(Yoh 1:14) : Putra Allah, Sang Juruselamat kita.

 

2.     Harapan sebagai "air hidup" yang memungkinkan kita melanjutkan perjalanan.

 

Perempuan Samaria di sumur, yang dimintai minum oleh Yesus, tidak mengerti apa yang dimaksudkan Yesus ketika Ia mengatakan bahwa Ia dapat memberikan "air hidup" (Yoh 4:10). Secara alami, ia berpikir bahwa yang dimaksudkan Yesus adalah air secara fisik, tetapi Yesus sedang berbicara tentang Roh Kudus yang akan dilimpahkan kepadanya melalui misteri Paskah, menganugerahkan harapan yang tidak mengecewakan. Yesus telah berbicara tentang harapan ini ketika, dalam menceritakan penderitaan dan wafat-Nya, Ia mengatakan bahwa Ia akan “dibangkitkan pada hari ketiga” (Mat 20:19). Yesus sedang berbicara tentang masa depan yang tersingkap oleh belas kasihan Bapa. Berharap bersama Dia dan oleh karena Dia berarti percaya bahwa sejarah tidak berakhir dengan kesalahan kita, kekerasan dan ketidakadilan kita, atau dosa yang menyalibkan Sang Kasih. Artinya, dari hati yang terbuka menerima pengampunan Bapa.

 

Di masa-masa sulit ini, ketika segala sesuatu tampak rapuh dan tidak pasti, mungkin tampak menantang untuk berbicara tentang harapan. Padahal Prapaskah justru merupakan masa harapan, saat kita berpaling kembali kepada Allah yang dengan sabar terus memelihara ciptaan-Nya yang selama ini sering kita perlakukan tidak benar (bdk. Laudato Si', 32-33;43-44). Santo Paulus mendorong kita untuk menempatkan harapan kita dalam pendamaian : “didamaikan dengan Allah” (2 Kor 5:20). Dengan menerima pengampunan dalam sakramen yang terletak di jantung proses pertobatan kita, pada gilirannya kita dapat menyebarkan pengampunan kepada orang lain. Setelah menerima pengampunan, kita dapat menawarkannya melalui kesediaan kita untuk masuk ke dalam dialog yang penuh perhatian dengan orang lain dan memberikan penghiburan kepada orang-orang yang sedang mengalami kesedihan dan kepedihan. Pengampunan Allah, ditawarkan juga melalui perkataan dan perbuatan kita, memungkinkan kita untuk mengalami Paskah persaudaraan.

 

Dalam Prapaskah, semoga kita semakin peduli dengan “mengucapkan kata-kata penghiburan, kekuatan, pelipur dan penyemangat, dan bukan kata-kata yang merendahkan, menyedihkan, amarah atau menunjukkan cemoohan” (Fratelli Tutti, 223). Guna memberikan harapan kepada orang lain, kadang-kadang cukup dengan bersikap baik semata, "bersedia menyingkirkan segala sesuatu untuk menunjukkan minat, memberikan karunia berupa senyuman, mengucapkan kata-kata penyemangat, mendengarkan di tengah-tengah ketidakpedulian yang berlaku umum” (Fratelli Tutti, 224).

 

Melalui rekoleksi dan doa hening, harapan diberikan kepada kita sebagai inspirasi dan cahaya batin, menerangi tantangan dan pilihan yang kita hadapi dalam perutusan kita. Oleh karena itu, kebutuhan untuk berdoa (bdk. Mat 6:6) dan, secara diam-diam, berjumpa Bapa yang penuh kasih.

 

Mengalami Prapaskah dalam harapan memerlukan pertumbuhan dalam kesadaran bahwa, di dalam Yesus Kristus, kita adalah saksi-saksi zaman baru, yang di dalamnya Allah "menjadikan segala sesuatu baru" (bdk. Why 21:1-6). Mengalami Prapaskah berarti menerima harapan dari Kristus, yang memberikan nyawa-Nya di kayu salib dan dibangkitkan oleh Allah pada hari ketiga, dan selalu “siap sedia untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban [dari kita] tentang pengharapan yang ada pada [kita]” (1 Ptr 3:15).

 

3.      Kasih, mengikuti jejak Kristus, dalam perhatian dan kasih sayang kepada semua orang, adalah ungkapan tertinggi dari iman dan harapan kita.

 

Kasih bersukacita melihat orang lain bertumbuh. Oleh karena itu kasih menderita ketika orang lain menderita, kesepian, sakit, tanpa tempat tinggal, dihina atau membutuhkan. Kasih adalah lompatan hati; ia membawa kita keluar dari diri sendiri dan menciptakan ikatan berbagi dan persekutuan.

 

"'Kasih sosial' memungkinkannya untuk maju menuju peradaban kasih, yang kepadanya kita semua dapat merasa terpanggil. Dengan dorongannya menuju universalitas, kasih mampu membangun dunia baru. Bukan sekadar kepekaan perasaan, kasih adalah cara terbaik untuk menemukan jalan perkembangan yang berlaku bagi semua orang” (Fratelli Tutti, 183).

 

Kasih adalah karunia yang memberi makna pada kehidupan kita. Kasih memungkinkan kita untuk memandang orang-orang yang membutuhkan sebagai anggota keluarga, sebagai sahabat, saudara atau saudari kita. Jumlah yang kecil, jika diberikan dengan kasih, tidak pernah berakhir, tetapi menjadi sumber kehidupan dan kebahagiaan. Seperti halnya dengan tempayan berisi makanan dan buli-buli berisi minyak milik janda dari Sarfat, yang mempersembahkan sepotong roti bundar kecil kepada nabi Elia (bdk. 1 Raj 17:7-16); demikian juga halnya dengan roti yang diberkati, dipecah-pecahkan dan diberikan oleh Yesus kepada para murid-Nya untuk dibagikan kepada orang banyak (bdk. Mrk 6:30-44). Demikian juga halnya dengan sedekah kita, baik kecil maupun besar, ketika dipersembahkan dengan sukacita dan kesederhanaan.

 

Mengalami Prapaskah dengan kasih berarti peduli terhadap orang-orang yang menderita atau merasa ditinggalkan dan ketakutan karena pandemi Covid-19. Di hari-hari ketidakpastian yang mendalam berkenaan dengan masa depan, marilah kita mengingat sabda Tuhan kepada Hamba-Nya, “Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau” (Yes 43:1). Dalam amal kasih kita, semoga kita mengucapkan kata-kata kepastian dan membantu orang lain untuk menyadari bahwa Allah mengasihi mereka sebagai putra dan putri-Nya.

 

“Hanya pandangan yang diubah oleh kasih yang dapat memungkinkan martabat orang lain diakui dan, sebagai akibatnya, orang miskin diakui dan dihargai martabatnya, dihormati jatidiri dan budayanya, dan dengan demikian benar-benar disatupadukan ke dalam masyarakat” (Fratelli Tutti, 187).

 

Saudara dan saudari yang terkasih, setiap saat dalam kehidupan kita adalah waktu untuk percaya, berharap dan mengasihi. Panggilan untuk mengalami Prapaskah sebagai perjalanan pertobatan, doa dan berbagi kepunyaan kita, membantu kita - sebagai komunitas dan sebagai individu - untuk menghidupkan kembali iman yang berasal dari Kristus yang hidup, harapan yang diilhami oleh nafas Roh Kudus dan kasih mengalir dari hati Bapa yang penuh belas kasihan.

 

Semoga Maria, Bunda Sang Juruselamat, yang selalu setia di kaki salib dan di dalam hati Gereja, mendukung kita dengan kehadirannya yang penuh kasih. Semoga berkat Tuhan yang bangkit menyertai kita semua dalam perjalanan kita menuju terang Paskah.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 11 November 2020, Peringatan Santo Martinus dari Tours

 

FRANSISKUS

______

 

(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi - Bogor, 12 Februari 2021)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 10 Februari 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 24)


Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam katekese sebelumnya kita melihat bagaimana doa Kristiani “berlabuh” dalam Liturgi. Hari ini, kita akan menjelaskan bagaimana Liturgi selalu memasuki kehidupan sehari-hari : di jalanan, di kantor, di angkutan umum… Dan di sana dialog dengan Allah berlanjut : orang yang berdoa bagaikan seseorang yang sedang jatuh cinta yang selalu menyandang orang dicintai dalam hatinya ke manapun ia pergi.

 

Intinya, segala sesuatu menjadi bagian dari dialog dengan Allah ini : setiap sukacita menjadi alasan untuk pujian, setiap pencobaan adalah kesempatan untuk meminta pertolongan. Doa selalu hidup dalam kehidupan kita, seperti bara api, meskipun mulut tidak berbicara, tetapi hati berbicara. Setiap pikiran, bahkan yang tampak "profan", dapat diresapi oleh doa.

 

Bahkan ada segi yang berkenaan dengan doa dalam kecerdasan manusia; pada kenyataannya, segi tersebut merupakan sebuah jendela yang mengintip ke dalam misteri : segi tersebut menerangi beberapa langkah di depan kita dan kemudian menyingkap seluruh kenyataan, kenyataan yang mendahuluinya dan melampauinya. Misteri ini tidak memiliki wajah yang gelisah atau cemas. Tidak, pengetahuan tentang Kristus membuat kita yakin bahwa terlepas dari apapun yang tidak bisa dilihat oleh mata kita dan mata pikiran kita, ada seseorang yang sedang menunggu kita, ada rahmat yang tak terbatas. Dan dengan demikian, doa Kristiani menanamkan harapan yang tak terkalahkan dalam hati manusia : apapun pengalaman yang kita sentuh dalam perjalanan kita, kasih Allah dapat mengubahnya menjadi kebaikan.

 

Mengenai hal ini, Katekismus mengatakan : “Kalau kita mendengar Sabda Tuhan dan mengambil bagian dalam misteri Paska, kita belajar berdoa pada waktu-waktu tertentu. Tetapi Roh-Nya dikaruniakan kepada kita setiap saat, dalam peristiwa-peristiwa setiap hari, sebagai sumber doa. [...] Waktu terletak dalam tangan Bapa; kita menjumpai Dia hari ini, bukan kemarin atau esok" (no. 2659). Hari ini saya bertemu Allah, hari ini selalu hari perjumpaan.

 

Tidak ada hari yang indah selain hari yang sedang kita jalani. Mereka yang hidup selalu memikirkan masa depan, di masa depan : "Tetapi akan lebih baik memikirkannya ...", tetapi tidak menggunakan setiap hari apa adanya : inilah orang-orang yang hidup dalam khayalan mereka, mereka tidak tahu bagaimana menghadapi dengan kenyataan yang sesungguhnya. Dan hari ini nyata, hari ini berwujud. Dan doa harus dilakukan hari ini. Yesus datang menemui kita hari ini, hari yang sedang kita jalani. Dan doalah yang mengubah rupa hari ini menjadi rahmat, atau lebih baik, doa mengubah diri kita : doa menenangkan kemarahan, menopang cinta, melipatgandakan sukacita, menanamkan kekuatan untuk mengampuni. Kadang-kadang tampaknya bukan kita yang sedang menjalani, tetapi rahmat yang menjalani dan bekerja di dalam diri kita melalui doa. Rahmat yang menunggu, tetapi selalu hal ini, jangan lupa : gunakanlah hari ini sebagaimana adanya. Dan marilah kita pikirkan ketika sebuah pikiran marah datang kepadamu, tentang ketidakbahagiaan, yang menggerakkanmu menuju kepahitan, hentikan dirimu. Dan katakanlah kepada Tuhan: “Di manakah Engkau? Dan ke mana aku sedang pergi?” Dan Tuhan ada di sana, Tuhan akan memberimu kata yang tepat, nasihat untuk terus maju tanpa rasa pahit dan negatif tersebut. Karena doa selalu, menggunakan kata profan, positif. Selalu. Doa akan membawamu ke depan. Setiap hari akan diawali dengan iringan keberanian jika disambut dalam doa. Dengan demikian, masalah yang kita hadapi sepertinya bukan lagi halangan bagi kebahagiaan kita, tetapi imbauan dari Allah, kesempatan untuk bertemu dengan-Nya. Dan ketika seseorang disertai oleh Tuhan, ia merasakan lebih berani, lebih bebas, dan bahkan lebih bahagia.

 

Marilah kita selalu mendoakan semua orang, bahkan musuh kita. Yesus menasihati kita untuk melakukan hal ini : “Doakanlah musuhmu”. Marilah kita mendoakan orang-orang yang kita kasihi, bahkan mereka yang tidak kita kenal. Marilah kita mendoakan bahkan musuh kita, seperti yang saya katakan, seperti yang sering diminta oleh Kitab Suci untuk kita lakukan. Doa mendorong kita menuju cinta yang melimpah. Marilah kita mendoakan terutama orang-orang yang bersedih, orang-orang yang menangis dalam kesendirian dan keputusasaan agar masih ada seseorang mencintai mereka. Doa menghasilkan mukjizat; dan orang miskin kemudian memahami, berkat rahmat Allah bahwa, bahkan dalam situasi genting mereka, doa seorang Kristiani menghadirkan kasih sayang Kristus. Ia, pada kenyataannya, memandang dengan kelembutan yang besar sejumlah besar orang banyak yang letih dan tersesat yang bagaikan domba tanpa gembala (bdk. Mrk 6:34). Tuhan adalah - jangan lupa - Tuhan yang berbelas kasih, yang dekat, yang lembut : tiga kata yang tidak akan pernah dilupakan berkenaan dengan Tuhan. Karena inilah gaya Tuhan : kasih sayang, kedekatan, kelembutan.

 

Doa membantu kita mencintai orang lain, terlepas dari kesalahan dan dosa mereka. Orang selalu lebih penting daripada tindakan mereka, dan Yesus tidak menghakimi dunia, tetapi Ia menyelamatkannya. Betapa mengerikan kehidupan orang yang selalu menghakimi orang lain, yang selalu mengutuk, menghakimi… Ini adalah kehidupan yang mengerikan, tidak bahagia, ketika Yesus datang untuk menyelamatkan kita. Bukalah hatimu, memaafkan, memercayai, memahami, dekat dengan orang lain, berbelas kasih, lembut, seperti Yesus. Kita perlu mencintai setiap orang, dengan mengingat dalam doa bahwa kita semua adalah orang berdosa dan pada saat yang sama dikasihi secara pribadi oleh Allah. Mencintai dunia dengan cara ini, mencintainya dengan kelembutan, kita akan menemukan bahwa setiap hari dan segala sesuatu mengandung di dalamnya penggalan misteri Allah.

 

Sekali lagi, Katekismus mengatakan : “Satu dari rahasia-rahasia Kerajaan Allah yang dinyatakan kepada 'orang-orang kecil', pelayan-pelayan Kristus, orang-orang miskin menurut sabda bahagia, ialah berdoa dalam peristiwa-peristiwa setiap hari dan setiap saat. Adalah baik dan layak berdoa agar Kerajaan kebenaran dan perdamaian mempengaruhi perjalanan sejarah; juga penting, meresapi situasi-situasi biasa dan sehari-hari dengan bantuan doa. Semua bentuk doa dapat menjadi ragi, yang dengannya Tuhan membanding-bandingkan Kerajaan Allah” (no. 2660).

 

Pribadi manusia - pria dan wanita, kita semua, - pribadi manusia adalah seperti nafas, seperti sehelai rumput (bdk. Mzm 144:4;103:15). Filsuf Pascal pernah menulis : “Tidak perlu seluruh alam semesta mengangkat senjata untuk menghancurkannya : uap, setetes air sudah cukup untuk membunuhnya”.[1] Kita adalah makhluk yang rapuh, tetapi kita tahu bagaimana caranya berdoa : inilah martabat terbesar kita dan juga kekuatan kita. Milikilah keberanian. Berdoalah dalam setiap saat, dalam setiap situasi agar Tuhan sudi mendekati kita. Dan ketika doa diucapkan sesuai dengan hati Yesus, doa mendapatkan mujizat.

 

[Sapaan khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Saya mengundang semua orang, terutama di masa pandemi ini, untuk mendekat kepada Tuhan dalam doa setiap hari, membawa kepada-Nya kebutuhan-kebutuhan kita dan kebutuhan-kebutuhan dunia di sekitar kita. Atas kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Tuhan memberkati kalian!

 

[Imbauan]

 

Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan para korban bencana yang kembali terjadi selama tiga hari di India Utara di mana sebagian gletser terpisah dengan sendirinya sehingga memicu banjir dahsyat yang menghancurkan lokasi pembangunan dua pembangkit listrik. Saya mendoakan para pekerja yang meninggal serta keluarga mereka dan semua orang yang terluka dan merugi.

 

Di Timur Jauh dan di berbagai belahan dunia lainnya jutaan pria dan wanita akan merayakan Tahun Baru Imlek pada hari Jumat, 12 Februari mendatang. Atas mereka semua dan keluarga mereka, saya ingin menyampaikan salam saya yang tulus, bersama dengan harapan agar tahun baru dapat menghasilkan buah persaudaraan dan kesetiakawanan. Di saat kita sangat prihatin menghadapi tantangan pandemi yang menyentuh orang-orang baik secara fisik maupun secara rohani, bahkan juga memengaruhi hubungan sosial, saya mengungkapkan harapan agar semua orang dapat sepenuhnya menikmati kesehatan dan ketenangan hidup.

 

Terakhir, seraya saya mengajak kita mendoakan karunia perdamaian dan setiap kebaikan lainnya, saya ingin mengingatkan semuanya bahwa ini diperoleh melalui kebaikan, rasa hormat, pandangan jauh dan keberanian. Jangan pernah lupa memberikan kecenderungan untuk merawat orang-orang yang paling miskin dan paling lemah.

_____

 

(Peter Suriadi – Bogor, 10 Februari 2021)

 



[1]Pemikiran, 186.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 7 Februari 2021 : MERAWAT ORANG SAKIT BUKAN MANASUKA

Saudara dan saudari yang terkasi, selamat pagi! 

Sekali lagi di Lapangan! Perikop Injil hari ini (bdk. Mrk 1:29-39) menceritakan penyembuhan ibu mertua Petrus oleh Yesus serta kemudian banyak orang sakit dan menderita lainnya yang berkumpul di sekeliling-Nya. Penyembuhan ibu mertua Petrus adalah penyembuhan fisik pertama yang diceritakan oleh Markus : perempuan itu terbaring di tempat tidur karena demam; sikap dan tindak tanduk Yesus terhadapnya merupakan lambang : "Ia pergi ke tempat perempuan itu, dan sambil memegang tangannya" (ayat 31), catat Penginjil. Ada begitu banyak kelembutan dalam tindakan sederhana ini, yang tampaknya hampir alami : “Lalu lenyaplah demamnya. Kemudian perempuan itu melayani mereka” (ayat 31). Kuasa penyembuhan Yesus tidak menemui perlawanan; dan orang yang disembuhkan melanjutkan kehidupan normalnya, segera memikirkan orang lain dan bukan dirinya sendiri - dan hal ini penting; merupakan tanda “kesehatan” yang sesungguhnya!

 

Hari itu adalah hari Sabat. Penduduk desa menunggu matahari terbenam dan kemudian, setelah kewajiban istirahat berakhir, mereka pergi keluar dan membawa kepada Yesus semua orang yang sakit dan kerasukan setan. Dan Ia menyembuhkan mereka, tetapi tidak memperbolehkan setan-setan itu mengungkapkan bahwa Ia adalah Kristus (bdk. ayat 32-34). Jadi, sejak awal, Yesus menunjukkan kecenderungannya kepada orang-orang yang menderita secara jasmani dan rohani : kecenderungan Yesus tersebut mendekatkan-Nya kepada orang-orang yang menderita baik jasmani maupun rohani. Kecenderungan Bapa tersebut menjelma dan mewujud dengan perbuatan dan perkataan-Nya. Murid-murid-Nya adalah para saksi mata hal ini; mereka melihat hal ini dan kemudian memberi kesaksian terhadapnya. Tetapi Yesus tidak menginginkan mereka hanya menjadi para penonton perutusan-Nya : Ia melibatkan mereka; Ia mengutus mereka; Ia juga memberi mereka kuasa untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan (bdk. Mat 10:1; Mrk 6:7). Dan hal ini terus berlanjut tanpa gangguan dalam kehidupan Gereja, hingga hari ini. Dan hal ini penting. Merawat orang sakit dari berbagai kalangan bukanlah “kegiatan mana suka” bagi Gereja, tidak! Merawat orang sakit bukan sesuatu yang berupa tambahan, tidak. Merawat orang sakit dari berbagai kalangan adalah bagian menyeluruh perutusan Gereja, seperti halnya perutusan Yesus. Dan perutusan ini adalah membawa kelembutan Allah kepada umat manusia yang sedang menderita. Kita akan diingatkan tentang hal ini dalam beberapa hari, pada 11 Februari 2021, dengan Hari Orang Sakit Sedunia.

 

Kenyataan yang sedang kita alami di seluruh dunia karena pandemi membuat pesan ini, perutusan penting Gereja ini, sangat relevan. Suara Ayub, yang menggema dalam liturgi hari ini, sekali lagi adalah penafsir kondisi manusiawi kita, bermartabat paling luhur - kondisi manusiawi kita, bermartabat paling mulia - dan pada saat yang sama begitu rapuh. Menghadapi kenyataan ini, pertanyaan "mengapa?" selalu muncul di hati.

 

Dan terhadap pertanyaan ini Yesus, Sang Sabda yang menjelma, tidak menanggapi dengan penjelasan - terhadap hal ini karena kita bermartabat sangat luhur dan berkondisi yang sangat rapuh, Yesus tidak menanggapi 'mengapa' ini dengan penjelasan -, tetapi dengan kehadiran penuh kasih yang membungkuk, yang memegang tangan dan membangunkan, seperti yang dilakukan-Nya terhadap ibu mertua Petrus (bdk. Mrk 1:31). Membungkuk untuk membangunkan orang lain. Jangan lupa bahwa satu-satunya cara yang sah untuk memandang seseorang dari atas ke bawah adalah dengan mengulurkan tangan untuk membantunya bangun. Satu satunya cara. Dan inilah perutusan yang dipercayakan Yesus kepada Gereja. Putra Allah mewujudkan ke-Tuhan-an-Nya bukan “dari atas ke bawah”, bukan dari kejauhan, tetapi dengan membungkuk, mengulurkan tangan; Ia mewujudkan ke-Tuhan-an-Nya dalam kedekatan, kelembutan, belas kasihan. Kedekatan, kelembutan, belas kasihan adalah gaya Allah. Allah mendekat, dan Ia mendekat dengan kelembutan dan belas kasihan. Berapa kali dalam Injil kita membaca, berhadapan dengan masalah kesehatan atau masalah apa pun : "Ia berbelas kasihan". Belas kasihan Yesus, kedekatan Allah dalam Yesus adalah gaya Allah. Perikop Injil hari ini juga mengingatkan kita bahwa belas kasihan ini berakar kuat dalam hubungan intim dengan Bapa. Mengapa? Sebelum fajar dan setelah matahari terbenam, Yesus menarik diri dan tinggal sendirian untuk berdoa (ayat 35). Dari sana Ia mendapatkan kekuatan untuk menggenapi perutusan-Nya, berkhotbah dan menyembuhkan.

 

Semoga Santa Perawan Maria membantu kita untuk memperkenankan Yesus menyembuhkan kita - kita selalu membutuhkan hal ini, semua orang - agar kita pada gilirannya menjadi para saksi kelembutan penyembuhan Allah.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih!

 

Hari-hari ini saya mengikuti dengan keprihatinan yang mendalam perkembangan situasi yang telah terjadi di Myanmar, sebuah negara yang, sejak kunjungan apostolik saya pada tahun 2017, telah saya bawa ke dalam hati saya dengan begitu banyak kasih sayang. Di saat yang paling peka ini saya ingin sekali lagi memastikan kedekatan rohani saya, doa saya dan kesetiakawanan saya kepada rakyat Myanmar. Dan saya berdoa agar mereka yang memegang tanggung jawab di negara ini sudi menempatkan diri mereka dengan kesediaan yang tulus untuk melayani kebaikan bersama, mempromosikan keadilan sosial dan stabilitas nasional, demi hidup berdampingan yang rukun. Marilah kita mendoakan Myanmar.

 

[mengheningkan cipta]

 

Saya ingin menyampaikan seruan yang mendukung para migran di bawah umur yang tanpa pendamping. Ada banyak sekali! Sayangnya, di antara mereka yang karena berbagai alasan terpaksa meninggalkan tanah air, selalu ada puluhan anak dan remaja yang sendirian, tanpa keluarga dan terancam bahaya. Di hari-hari ini, saya telah mempelajari situasi dramatis dari mereka yang berada di jalur yang disebut "rute Balkan". Tetapi ada beberapa di semua “rute”. Marilah kita memastikan agar makhluk yang rapuh dan tidak berdaya ini tidak kekurangan perawatan yang tepat dan saluran kemanusiaan yang mengutamakan.

 

Hari ini di Italia kita merayakan Hari Kehidupan dengan tema "Kebebasan dan kehidupan". Saya bergabung dengan para uskup Italia untuk mengingat bahwa kebebasan adalah karunia agung yang telah diberikan Allah kepada kita untuk mengusahakan dan mencapai kebaikan kita dan orang lain, dimulai dengan kebaikan utama dalam hidup. Masyarakat kita dibantu untuk menyembuhkan kehidupan dari semua serangan, sehingga dapat dilindungi di semua tahapannya. Dan perkenankan saya menambahkan salah satu kekhawatiran saya : musim dingin demografis Italia. Di Italia, kelahiran mengalami penurunan dan masa depan dalam bahaya. Marilah kita menanggapi keprihatinan ini dan berusaha memastikan bahwa musim dingin demografis ini berakhir dan musim semi baru anak laki-laki dan perempuan tumbuh subur.

 

Besok, dalam peringatan liturgi Santa Josephine Bakhita, seorang biarawati asal Sudan yang akrab dengan penghinaan dan penderitaan perbudakan, kita merayakan Hari Doa dan Kesadaran terhadap Perdagangan Manusia. Tahun ini tujuannya adalah bekerja untuk ekonomi yang tidak menguntungkan, bahkan secara tidak langsung, perdagangan yang tercela ini, yaitu ekonomi yang tidak pernah menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai barang, obyek, tetapi selalu menjadi tujuan. Melayani laki-laki, perempuan, tetapi tidak menggunakan mereka sebagai barang dagangan. Marilah kita memohon kepada Santa Josephine Bakhita agar membantu kita dengan hal ini.

 

Dan saya menyampaikan salam ramah kepada kalian semua, umat Roma dan para peziarah: Saya senang melihat kalian berkumpul lagi di Lapangan, bahkan para pecandu itu, para biarawati Spanyol di sini, yang selalu baik; turun hujan atau cerah mereka berada di sana! Dan juga kaum muda dari Yang Dikandung Tanpa Noda ... kalian semua. Saya merasa senang. Kepada semuanya saya mengucapkan selamat hari Minggu. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang! Sampai jumpa!

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 7 Februari 2021)