Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 28 Januari 2024 : YESUS DATANG UNTUK MEMBEBASKAN KITA DARI SEMUA BELENGGU

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil hari ini menunjukkan kepada kita Yesus membebaskan seorang yang kerasukan “roh jahat” (bdk Mrk 1:21-28), mengguncang-guncangnya dan membuatnya menjerit (bdk. ayat 23, 26). Beginilah cara iblis bertindak. Beginilah cara ia bertindak: ia ingin menguasai diri kita untuk "memikat jiwa kita". Membelenggu jiwa kita: inilah yang diinginkan iblis. Kita harus berhati-hati dengan “rantai” yang mencekik kebebasan kita, karena iblis selalu merampas kebebasan kita. Marilah kita menyebutkan beberapa rantai yang bisa membelenggu hati kita.

 

Saya sedang memikirkan kecanduan, yang memperbudak kita dan membuat kita terus-menerus merasa tidak puas, dan yang menghabiskan energi, barang, dan hubungan kita. Rantai lain yang saya pikirkan adalah kecenderungan yang menguasai yang mendorong untuk mengejar perfeksionisme, konsumerisme, dan hedonisme yang mustahil, yang menjadikan orang komoditas dan merusak hubungan. Dan masih banyak lagi rantai: ada godaan dan pengkondisian yang melemahkan harga diri, yang melemahkan kedamaian, dan kemampuan untuk memilih dan mencintai kehidupan. Rantai lainnya adalah ketakutan yang membuat kita memandang masa depan dengan pesimisme, dan ketidakpuasan yang selalu menyalahkan orang lain. Lalu ada rantai yang sangat buruk, yaitu penyembahan berhala terhadap kekuasaan, yang menimbulkan pertikaian dan menggunakan senjata yang membunuh atau menggunakan ketidakadilan ekonomi dan manipulasi pikiran.

 

Banyak rantai yang kita miliki, sebenarnya ada banyak rantai dalam hidup kita.

 

Dan Yesus datang untuk membebaskan kita dari semua belenggu ini. Hari ini, menghadapi iblis yang menantang-Nya dengan berteriak, "Apa urusan-Mu dengan kami? Apakah Engkau datang untuk membinasakan kami?" (ayat 24), Yesus menjawab, "Diam! Keluarlah dari dia!" (ayat 25). Yesus berkuasa untuk mengusir iblis. Yesus membebaskan kita dari kuasa kejahatan namun – marilah kita berhati-hati – Ia mengusir iblis namun Ia tidak pernah bernegosiasi dengannya! Yesus tidak pernah bernegosiasi dengan iblis dan ketika dicobai di padang gurun, tanggapan Yesus selalu berupa firman Kitab Suci, tidak pernah berupa dialog. Saudara-saudara: dengan iblis tidak boleh ada dialog! Hati-hatilah: tidak akan ada dialog dengan iblis, karena jika kamu mulai berbicara dengannya, ia akan selalu menang. Hati-hatilah.

 

Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika kita merasa tergoda dan tertindas? Bernegosiasi dengan iblis? Tidak: tidak boleh ada negosiasi dengannya. Kita harus memohon kepada Yesus: marilah kita berseru kepada-Nya dari tempat di mana kita merasa rantai kejahatan dan ketakutan paling erat.

 

Sekali lagi, dengan kuasa Roh-Nya, Tuhan ingin berfirman kepada si jahat pada hari ini: “Pergilah, biarkanlah hati itu dalam damai, janganlah memecah belah dunia, janganlah memecah belah keluarga dan komunitas kami; biarlah mereka hidup tenteram agar buah-buah Roh-Ku tumbuh subur di sana, bukan buah-buah rohmu", itulah yang dikatakan Yesus. Biarlah cinta, sukacita, kelembutan memerintah di antara mereka, dan alih-alih kekerasan dan teriakan kebencian, biarlah ada kebebasan dan perdamaian.

 

Marilah kita bertanya pada diri kita: Apakah aku benar-benar ingin terbebas dari belenggu yang membelenggu hatiku? Dan juga, mampukah aku mengatakan “tidak” pada godaan kejahatan sebelum godaan itu menyusup ke dalam jiwaku? Yang terakhir, apakah aku memohon kepada Yesus, memperkenankan-Nya bertindak dalam diriku, menyembuhkan batinku?

 

Semoga Santa Perawan Maria menjaga kita dari kejahatan.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Selama tiga tahun terakhir, jeritan kesakitan dan suara senjata telah menggantikan senyuman yang biasa menjadi ciri khas rakyat Myanmar. Saya mengikuti seruan beberapa uskup Myanmar “agar senjata pemusnah dapat diubah menjadi sarana untuk pertumbuhan kemanusiaan dan keadilan.” Perdamaian adalah sebuah perjalanan, dan saya mengundang semua pihak yang terlibat untuk mengambil langkah-langkah dalam dialog dan memahami sehingga tanah Myanmar dapat mencapai tujuan rekonsiliasi persaudaraan. Pengangkutan bantuan kemanusiaan harus diperbolehkan, untuk memastikan kebutuhan dasar setiap orang dapat terpenuhi.

 

Hal yang sama harus terjadi di Timur Tengah, di Palestina dan Israel, dan di mana pun terjadi pertikaian: rakyat harus dihormati! Saya selalu memikirkan secara mendalam semua korban, terutama mereka yang merupakan warga sipil, yang tewas akibat perang di Ukraina. Tolong, dengarkanlah jeritan mereka untuk perdamaian: ini adalah jeritan bangsa-bangsa, yang lelah dengan kekerasan dan ingin perang dihentikan. Sebuah bencana bagi bangsa-bangsa dan kekalahan bagi umat manusia!

 

Saya merasa lega mengetahui pembebasan para biarawati dan orang-orang lain yang diculik bersama mereka di Haiti pekan lalu. Saya meminta agar mereka yang masih ditahan dibebaskan, dan segala bentuk kekerasan dapat dihentikan. Setiap orang harus berkontribusi membangun perdamaian di negara ini, dan untuk itu diperlukan dukungan baru dari komunitas internasional.

Saya ingin mengungkapkan kedekatan saya dengan komunitas Gereja Santa Maria di Istanbul, yang mengalami serangan bersenjata saat Misa yang menyebabkan satu orang meninggal dan menyebabkan beberapa orang luka-luka.



Hari ini kita merayakan Hari Kusta Sedunia. Saya mendorong mereka yang terlibat dalam pemberian bantuan dan pengembalian orang-orang yang terkena penyakit ini secara sosial, yang meskipun sudah menurun, masih merupakan salah satu penyakit yang paling ditakuti dan mempengaruhi kelompok paling miskin dan terpinggirkan.

 

Saya menyapa kamu semua yang datang dari Roma, Italia, dan berbagai belahan dunia. Khususnya, para mahasiswa Institut "Puente Ajuda" di Olivenza (Spanyol) dan para mahasiswa Institut "Sir Michelangelo Refalo" di Gozo.


Sekarang saya menyapamu, anak-anak Aksi Katolik, paroki-paroki dan sekolah-sekolah Katolik di Roma. Kamu telah tiba di sini pada akhir "Karavan Perdamaian", di mana kamu telah merenungkan panggilan untuk menjadi penjaga ciptaan, yang merupakan karunia Allah. Terima kasih atas kehadiranmu! Dan terima kasih atas komitmenmu untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Sekarang marilah kita dengarkan pesan yang akan dibacakan teman-temanmu yang berada di sini di samping saya.

 

[Pembacaan Pesan]

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa mendoakan saya. Kamu melihat kaum muda, anak-anak Aksi Katolik, adalah orang-orang yang baik! Teguhkanlah hati! Selamat makan siang, dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 28 Januari 2024)

KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM PERAYAAN VESPER II PESTA BERTOBATNYA SANTO PAULUS RASUL 25 Januari 2024 : APAKAH AKU BERLAKU SEPERTI SESAMA MANUSIA?

Dalam Bacaan Injil yang baru saja kita dengar, seorang ahli Taurat menyebut Yesus “Guru”. Ia tidak ingin belajar apa pun dari Yesus, melainkan “mencobai”-Nya. Ia semakin tidak tulus jelas terlihat dalam pertanyaan yang ia ajukan, “Apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Luk 10:25). Berbuat untuk memperoleh, berbuat untuk memiliki: ini adalah tanda-tanda keagamaan yang diputarbalikkan berdasarkan perolehan daripada pemberian, di mana Allah menjadi sarana untuk memperoleh apa yang kuinginkan, bukan bertujuan untuk dikasihi dengan segenap hati kita. Namun Yesus sabar; Ia meminta sang ahli Taurat untuk menemukan jawabannya dalam Hukum itu sendiri, yang memerintahkan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Luk 10:27).

 

Kemudian orang itu, yang berusaha membenarkan dirinya,, mengajukan pertanyaan kedua: “Dan siapa sesamaku manusia?” (Luk 10:29). Jika pertanyaan pertama berisiko merendahkan Allah hanya untuk memenuhi kebutuhan kita, pertanyaan ini mencoba memecah belah: memisahkan orang menjadi orang yang harus kita kasihi dan orang yang harus kita hindari. Pemecahbelahan seperti ini tidak pernah berasal dari Allah; pemecahbelahan tersebut berasal dari iblis. Yesus tidak menjawab secara terang-terangan, namun menceritakan perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati, sebuah kisah tajam yang juga menantang kita. Sebab, saudara dan saudari terkasih, orang yang gagal berbuat baik, yang terbukti tidak berperasaan, adalah imam dan orang Lewi, yang lebih mementingkan menghormati tradisi agama mereka daripada menolong orang yang sedang menderita. Orang yang menunjukkan apa artinya menjadi “sesama” malahan seorang penganut sempalan agama Yahudi, seorang Samaria. Ia mendekat, ia merasa kasihan, ia membungkuk dan dengan lembut merawat luka saudaranya itu. Ia peduli terhadapnya, terlepas dari masa lalu dan kegagalannya, dan ia mengabdikan diri sepenuhnya untuk melayaninya (bdk. Luk 10:33-35). Dengan demikian, Yesus dapat menyimpulkan bahwa pertanyaan yang tepat bukanlah: “Siapa sesamaku manusia?” tetapi “Apakah aku berlaku seperti sesama manusia?” Hanya kasih yang menjadi pelayanan yang cuma-cuma, hanya kasih yang diajarkan dan diwujudkan Yesus, yang akan mendekatkan umat Kristiani yang terpisah satu sama lain. Hanya kasih, yang tidak mengacu pada masa lalu yang tetap menyendiri atau menuding, hanya kasih yang dalam nama Allah menempatkan saudara-saudari kita di hadapan pertahanan ketat tatanan keagamaan kita, hanya kasih itulah yang akan menyatukan kita. Pertama saudara-saudari kita, lalu tatanannya.

 

Saudara-saudari, di antara kita sendiri, kita tidak perlu lagi bertanya: “Siapa sesamaku manusia?” Sebab setiap orang yang dibaptis adalah anggota dari satu Tubuh Kristus; terlebih lagi, semua orang di dunia ini adalah saudara atau saudariku, dan bersama-sama kita menyusun “simfoni kemanusiaan” yang di dalamnya Kristus adalah Sang Putra Sulung dan Penebus. Sebagaimana dikatakan Santo Ireneus, yang dengan senang hati saya nyatakan sebagai “Pujangga Persatuan”, mengatakan: “Orang yang mencari kebenaran hendaknya tidak memusatkan perhatian pada perbedaan antara satu nada dengan nada lainnya, berpikir seolah-olah setiap nada diciptakan terpisah dan tercerai-berai dari nada lainnya; sebaliknya, ia harus menyadari bahwa nada dan orang yang sama menyusun seluruh melodi” (Adv. Haer., II, 25, 2). Dengan kata lain, bukan “Siapa sesamaku manusia?” tetapi “Apakah aku berlaku seperti sesama manusia? Apakah aku, dan kemudian komunitasku, Gerejaku, spiritualitasku, berlaku seperti sesama manusia? Ataukah mereka terbarikade demi membela kepentingan mereka, iri dengan otonomi mereka, terjebak dalam perhitungan apa yang menjadi kepentingan mereka, membangun hubungan dengan orang lain hanya demi mendapatkan sesuatu untuk diri mereka? Jika ini persoalannya, maka yang terjadi bukan hanya kesalahan strategi, namun juga ketidaksetiaan terhadap Injil.

 

“Apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Dari sini dialog antara ahli Taurat dan Yesus dimulai. Namun kini, pertanyaan awal tersebut dibalik, berkat Rasul Paulus, yang pertobatannya kita rayakan di Basilika yang didedikasikan baginya ini. Ketika Saulus dari Tarsus, penganiaya umat Kristiani, bertemu dengan Yesus dalam pancaran cahaya yang menyelimuti dirinya dan mengubah hidupnya, ia langsung bertanya: “Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?” (Kis 22:10). Bukan “Apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” tetapi “Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?”. Tuhanlah yang menjadi sasaran pertanyaan; dialah “perolehan” sejati, kebaikan tertinggi. Kehidupan Paulus tidak berubah karena ia mengubah tujuannya agar lebih baik dalam mencapai sasaran. Pertobatannya adalah hasil dari pembalikan keberadaan, yang mana pengabdiannya pada Hukum digantikan oleh kepatuhan kepada Allah dan keterbukaan penuh terhadap kehendak-Nya. Bukan pengabdiannya, tetapi ketaatannya: dari pengabdian menuju ketaatan. Jika Allah adalah harta kita, maka rencana tindakan gerejawi kita tentunya harus mencakup melakukan kehendak-Nya, memenuhi keinginan-keinginan-Nya. Pada malam sebelum Ia mempersembahkan nyawa-Nya demi kita, Ia berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Bapa bagi kita semua: “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:21). Kita lihat, itulah kehendak-Nya.

 

Panggilan untuk mengerahkan segala upaya guna mencapai kesatuan penuh mengikuti jalan yang sama seperti Paulus, mendesentralisasikan gagasan-gagasan kita untuk mendengarkan suara Tuhan dan memberinya ruang untuk mengambil prakarsa. Hal ini jelas dipahami oleh Paulus yang lain, pionir besar gerakan ekumenis, Abbé Paul Couturier, yang terbiasa mendoakan persatuan umat Kristiani “seturut kehendak Kristus dan seturut dengan cara yang dikehendaki-Nya”. Kita membutuhkan pembalikan sudut pandang ini dan yang terpenting adalah pertobatan hati, karena, sebagaimana dinyatakan Konsili Vatikan II enam puluh tahun yang lalu: “Tidak ada ekumenisme sejati tanpa pertobatan batin” (Unitatis Redintegratio, 7). Saat kita berdoa bersama, semoga kita mengakui, kita masing-masing memulai dari diri kita sendiri, kebutuhan kita akan pertobatan, untuk memperkenankan Tuhan mengubah hati kita. Inilah jalan yang ada di hadapan kita: melakukan berjalanan bersama dan melayani bersama, mengutamakan tempat untuk berdoa. Karena ketika umat Kristiani bertumbuh dalam pelayanan kepada Allah dan sesama, mereka juga bertumbuh dalam pemahaman timbal balik. Sebagaimana dikatakan Konsili Vatikan II: “Sebab semakin erat mereka bersatu dalam persekutuan dengan Bapa, Sang Sabda dan Roh Kudus, semakin mampu jugalah mereka untuk meningkatkan persaudaraan timbal-balik, dengan cara yang lebih mesra dan lebih mudah” (Unitatis Redintegratio, 7).

 

Itulah sebabnya kita berada di sini malam ini, datang dari berbagai negara, budaya, dan tradisi. Saya berterima kasih kepada Yang Mulia Justin Welby, Uskup Agung Canterbury, kepada Metropolitan Polycarpus, yang mewakili Patriarkat Ekumenis, dan kepada Anda semua, yang telah menghadirkan banyak komunitas Kristiaini. Saya menyampaikan salam khusus kepada para anggota Komisi Gabungan Internasional untuk Dialog Teologi antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Ortodoks Timur, yang merayakan ulang tahun kedua puluh dialog tersebut, dan kepada para uskup Katolik dan Anglikan yang ambil bagian dalam pertemuan Komisi Internasional untuk Persatuan dan Misi. Hari ini sangat menyenangkan, bersama saudara saya, Uskup Agung Justin, kita dapat menganugerahkan kepada kelompok gabungan para uskup ini mandat untuk terus memberikan kesaksian tentang kesatuan yang dikehendaki Allah bagi Gereja-Nya di wilayah masing-masing, seiring mereka bergerak maju bersama “untuk memperluas belas kasihan dan damai Allah bagi dunia yang membutuhkan” (Permohonanari Para Uskup IARCCUM, Roma, 2016). Saya juga menyapa para penerima beasiswa Komite Kerjasama Kebudayaan dengan Gereja-Gereja Ortodoks di Dikasteri untuk Mempromosikan Persatuan Umat Kristiani, dan para peserta kunjungan studi yang diselenggarakan untuk para imam dan biarawan muda dari Gereja-Gereja Ortodoks Timur, dan kunjungan-kunjungan studi yang diselenggarakan untuk para pelajar Institut Ekumenis Bossey Dewan Gereja Sedunia.

 

Bersama-sama, sebagai saudara-saudari dalam Kristus, marilah kita berdoa bersama Paulus dan berkata: “Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?”. Dengan mengajukan pertanyaan tersebut kita sudah mempunyai jawabannya, karena jawaban pertama adalah doa. Doa untuk persatuan adalah tanggung jawab utama dalam perjalanan kita bersama. Dan suatu tanggung jawab yang sakral, karena berarti berada dalam persekutuan dengan Tuhan, yang secara khusus berdoa kepada Bapa untuk persatuan. Marilah kita juga terus berdoa untuk berakhirnya perang, khususnya di Ukraina dan di Tanah Suci. Hati kita juga menjangkau rakyat Burkina Faso tercinta, dan khususnya komunitas yang menyiapkan materi Pekan Doa Sedunia untuk Persatuan Umat Kristiani ini: Semoga kasih terhadap sesama menggantikan kekerasan yang menyerang negara mereka.

 

“Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?” Tuhan, Paulus menceritakan kepada kita, bersabda: “Bangkitlah dan pergilah” (Kis 22:10). Bangkitlah, kata Yesus kepada kita masing-masing dan kepada upaya kita atas nama persatuan. Jadi marilah kita bangkit dalam nama Kristus dari rutinitas kita yang melelahkan dan memulai hidup baru, karena Ia menghendakinya, dan Ia menghendakinya “supaya dunia percaya” (Yoh. 17:21). Kalau begitu, marilah kita berdoa, dan terus bergerak maju, karena itulah yang dikehendaki Allah dari diri kita. Inilah yang dikehendaki-Nya dari diri kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Januari 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 24 Januari 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG KEBURUKAN DAN KEBAJIKAN (BAGIAN 5 : PERJUANGAN ROHANI) : KETAMAKAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

Kita masih melanjutkan katekese tentang keburukan dan kebajikan, dan hari ini kita akan berbicara tentang ketamakan, suatu bentuk keterikatan pada uang yang menghalangi manusia untuk bermurah hati.

 

Dosa tidak melanda orang-orang yang mempunyai banyak harta, justru sifat buruk yang melintanginya seringkali tidak ada hubungannya dengan saldo bank. Penyakit hati, bukan penyakit dompet.

 

Analisa para bapa padang gurun mengenai kejahatan ini menunjukkan bagaimana ketamakan bahkan dapat menguasai para rahib, yang, setelah meninggalkan sejumlah besar warisan, dalam kesendirian di kamar mereka, bergantung pada benda-benda yang bernilai kecil: mereka tidak mau meminjamkannya, tidak membagikannya, dan bahkan tidak bersedia untuk memberikannya begitu saja. Keterikatan pada hal-hal kecil, yang merampas kebebasan. Bagi mereka, benda-benda itu menjadi semacam jimat yang tidak dapat mereka lepaskan. Semacam kemunduran menjadi seperti anak-anak yang memegang mainan erat mereka dan terus-menerus berkata, “Ini milikku! Ini milikku!". Dalam klaim ini terdapat hubungan yang tidak teratur dengan kenyataan, yang dapat mengakibatkan bentuk pengumpulan yang bersifat wajib dan patologis.

 

Untuk menyembuhkan penyakit ini, para rahib mengusulkan metode drastis namun sangat efektif: meditasi kematian. Betapapun banyaknya seseorang mengumpulkan benda-benda di dunia ini, kita dapat meyakini satu hal: benda-benda tersebut tidak akan dimasukkan ke dalam peti mati kita. Kita tidak dapat membawa benda-benda yang kita miliki! Di sini ketidakberdayaan dari sifat buruk ini terungkap. Ikatan kepemilikan yang kita ciptakan dengan benda-benda bersifat semu semata, karena kita bukan penguasa dunia: bumi yang kita cintai ini sebenarnya bukan milik kita, dan kita bergerak di dalamnya seperti orang asing dan pendatang (bdk. Im 25:23) .

Pertimbangan sederhana ini selain memungkinkan kita untuk menyadari kebodohan dari ketamakan, juga merupakan alasan terdalamnya. Upaya untuk menyingkirkan rasa takut akan kematian: mengupayakan jaminan yang pada kenyataannya hancur begitu kita memegangnya. Ingatlah perumpamaan orang bodoh, yang tanahnya telah memberinya hasil panen yang sangat melimpah, sehingga ia terbuai dengan pemikiran tentang bagaimana memperluas lumbungnya agar dapat menampung seluruh hasil panen. Orang itu telah memperhitungkan segalanya, merencanakan masa depan. Namun, ia belum mempertimbangkan variabel paling pasti dalam kehidupan: kematian. "Hai Engkau orang bodoh!" kata Injil. “Pada malam ini juga jiwamu akan diambil darimu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?".

 

Dalam kasus lain, para pencuri yang memberikan layanan ini kepada kita. Bahkan di dalam Injil, mereka sering kali muncul dan, meskipun pekerjaan mereka mungkin tercela, hal ini dapat menjadi sebuah nasihat yang bermanfaat. Oleh karena itu Yesus menyampaikan dalam Khotbah di Bukit: “Janganlah mengumpulkan harta bagi dirimu di bumi, di mana ngengat dan karat merusaknya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Namun, kumpulkanlah bagimu harta di surga, yang tidak dirusak oleh ngengat dan karat, dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya" (Mat 6:19-20). Sekali lagi, dalam kisah para bapa padang gurun, diceritakan tentang seorang pencuri yang mengejutkan rahib yang sedang tertidur dan mencuri beberapa harta benda yang ia simpan di kamarnya. Ketika ia terbangun, sama sekali tidak merasa terganggu dengan apa yang telah terjadi, rahib tersebut mulai mengikuti jejak si pencuri dan, begitu ia menemukannya, alih-alih mengambil barang curiannya, ia menyerahkan beberapa barang yang tersisa, sambil berkata: “Kamu lupa mengambil ini!”.

 

Kita, saudara-saudari, mungkin sang empunya barang-barang yang kita miliki, namun seringkali yang terjadi justru sebaliknya: barang-barang tersebut yang akhirnya memiliki kita. Ada orang-orang kaya yang tidak lagi bebas, bahkan tidak mempunyai waktu untuk beristirahat, mereka harus mengurus pengumpulan barang-barang yang juga sangat memerlukan tempat penyimpanan. Mereka selalu was-was, karena warisan yang dibangun dengan banyak keringat, justru bisa lenyap dalam sekejap. Mereka melupakan pewartaan Injil, yang tidak menyatakan bahwa kekayaan adalah dosa, namun yang pasti merupakan suatu kecenderungan. Allah tidak miskin: Ia adalah Tuhan atas segala sesuatu, namun sebagaimana ditulis oleh Santo Paulus, “Sekalipun Ia kaya, oleh karena kamu Ia menjadi miskin, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2Kor 8:9).


Inilah yang tidak dipahami oleh orang tamak. Ia bisa saja menjadi sumber berkat bagi banyak orang, namun ia malah tergelincir ke dalam jalan buntu kemalangan. Dan kehidupan orang tamak itu buruk. Saya ingat sebuah kasus tentang seorang pria yang saya temui di keuskupan lain, seorang yang sangat kaya, dan ibunya sedang sakit. Ia telah menikah. Kakak-kakaknya bergiliran merawat sang ibu, dan sang ibu minum yoghurt di pagi hari. Pria ini memberinya separuh di pagi hari dan separuh lagi diberikannya di sore hari, dan bertujuan untuk menghemat separuh yoghurt. Ini adalah ketamakan, ini adalah keterikatan pada sesuatu. Kemudian pria ini meninggal, dan orang-orang yang melayat berkomentar, “Justru kamu dapat melihat bahwa pria ini tidak mempunyai apa-apa, ia meninggalkan segalanya”. Dan kemudian, dengan sedikit mengejek, mereka berkata, “Tidak, tidak, orang-orang tidak dapat menutup peti mati pria tersebut karena ia ingin membawa semuanya”. Ketamakan ini, membuat orang lain tertawa: pada akhirnya kita harus menyerahkan jiwa dan raga kita kepada Tuhan serta harus meninggalkan segalanya. Marilah kita berhati-hati! Dan marilah kita bermurah hati, bermurah hati kepada semua orang, dan bermurah hati kepada mereka yang paling membutuhkan kita. Terima kasih.

 

[Imbauan]

 

Sabtu depan, 27 Januari, diperingati hari untuk mengenang para korban Holocaust. Semoga kenangan dan kutukan atas pemusnahan mengerikan jutaan orang Yahudi dan para penganut agama lain, yang terjadi pada paruh pertama abad lalu, membantu kita semua untuk tidak lupa bahwa nalar kebencian dan kekerasan tidak akan pernah bisa dibenarkan, karena keduanya menyingkirkan kemanusiaan kita.


* * *

 

Perang itu sendiri adalah penyangkalan terhadap kemanusiaan. Janganlah kita lelah mendoakan perdamaian, berakhirnya pertikaian, penghentian penggunaan senjata dan bantuan bagi masyarakat yang terdampak bencana. Saya memikirkan Timur Tengah, Palestina, Israel, saya memikirkan berita-berita meresahkan yang datang dari Ukraina yang tersiksa, terutama pemboman yang melanda tempat-tempat yang sering dikunjungi warga sipil, menaburkan kematian, kehancuran dan penderitaan. Saya mendoakan para korban dan orang-orang yang mereka cintai, dan saya memohon kepada semua orang, terutama mereka yang mempunyai tanggung jawab politik, untuk melindungi kehidupan manusia dengan mengakhiri perang. Janganlah kita lupa: perang selalu merupakan kekalahan, selalu. Satu-satunya “pemenang” – dalam tanda petik – adalah para pemasok senjata.

_____________________________

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Skotlandia, Korea dan Amerika Serikat. Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese kita tentang kebajikan dan keburukan, kita sekarang beralih ke ketamakan, sebagai keterikatan yang tidak semestinya pada kekayaan, yang menghalangi kita untuk bermurah hati terhadap orang lain. Keserakahan bukan sekadar pengumpulan uang atau benda-benda untuk diri sendiri, melainkan hubungan yang menyimpang dengan kenyataan dan bahkan suatu bentuk perbudakan. Para bapa padang gurun melihat ketamakan sebagai upaya untuk menghindari kenyataan kematian, yang bertentangan dengan nasihat Yesus untuk mengumpulkan harta di surga daripada harta duniawi (bdk. Mat 6:19-20). Semoga penggunaan kita atas benda-benda duniawi selalu ditandai dengan kebebasan injili, tanggung jawab dan semangat kesetiakawanan yang murah hati, dengan meneladan Kristus sendiri, yang sekalipun Ia kaya, oleh karena kita Ia menjadi miskin, supaya kita menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya (bdk. 2 Kor 8:9).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Januari 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 21 Januari 2024 : TUHAN TETAP MELIBATKAN KITA MESKI KITA MEMILIKI KETERBATASAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil hari ini menceritakan panggilan para murid pertama (bdk. Mrk 1:14-20). Memanggil orang lain untuk bergabung dalam perutusan-Nya adalah salah satu hal pertama yang dilakukan Yesus di awal kehidupan-Nya di muka umum: Ia mendekati beberapa nelayan muda dan mengajak mereka mengikuti Dia untuk “menjadi penjala manusia” (ayat 17). Dan hal ini memberitahu kita sesuatu yang penting: Tuhan berkenan melibatkan kita dalam karya keselamatan-Nya, Ia ingin kita aktif bersama-Nya, Ia ingin kita bertanggung jawab dan menjadi tokoh utama. Orang Kristiani yang tidak aktif, yang tidak bertanggung jawab dalam karya mewartakan Tuhan dan yang tidak menjadi tokoh utama dalam imannya bukan orang Kristiani atau, sebagaimana biasa dikatakan nenek saya, adalah orang Kristiani “air mawar”.

 

Pada prinsipnya, Allah tidak membutuhkan kita, namun Ia melakukan sebaliknya, meskipun sesungguhnya melibatkan kita untuk mengatasi banyak keterbatasan kita: kita semua terbatas, atau lebih tepatnya orang berdosa, dan Ia mengambil alih keterbatasan ini. Lihatlah, misalnya, betapa besarnya kesabaran yang dimiliki-Nya terhadap para murid: sering kali mereka tidak memahami perkataan-Nya (bdk. Luk 9:51-56), kadang-kadang mereka tidak sepakat di antara mereka sendiri (bdk. Mrk 10:41), untuk waktu yang lama mereka tidak dapat menerima beberapa aspek penting dari khotbah-Nya, seperti pelayanan (bdk. Luk 22:27). Namun Yesus memilih mereka dan terus mempercayai mereka. Ini penting: Tuhan memilih kita menjadi orang Kristiani. Dan kita adalah orang-orang berdosa, kita melakukan satu demi satu kesalahan, namun Tuhan tetap percaya kepada kita. Ini luar biasa.

 

Sebenarnya, membawa keselamatan Allah kepada setiap orang merupakan sukacita terbesar bagi Yesus. Perutusan-Nya, makna keberadaan-Nya (bdk. Yoh 6:38), atau, seperti yang Ia katakan, makanan-Nya (bdk. Yoh 4:34). Dan dalam setiap perkataan dan perbuatan yang kita lakukan bersama-sama Dia, dalam petualangan indah memberi cinta, terang dan sukacita berlipat ganda (bdk. Yes 9:2): tidak hanya di sekitar kita, tetapi juga di dalam diri kita. Maka, mewartakan Injil bukan waktu yang terbuang: melainkan menjadi lebih berbahagia dengan membantu orang lain menjadi bahagia; mewartakan Injil membebaskan diri kita dengan membantu orang lain untuk bebas; mewartakan Injil menjadi lebih baik dengan membantu orang lain menjadi lebih baik!

 

Marilah kita bertanya pada diri kita: apakah aku sesekali berhenti sejenak untuk mengingat sukacita yang tumbuh dalam diriku dan di sekitarku ketika aku menyambut panggilan untuk mengenal dan memberikan kesaksian tentang Yesus? Dan ketika aku berdoa, apakah aku bersyukur kepada Tuhan karena telah memanggilku untuk membuat orang lain bahagia? Yang terakhir, apakah aku ingin membuat seseorang menikmati, melalui kesaksian dan sukacitaku, membuat mereka merasakan betapa indahnya mengasihi Yesus?

 

Semoga Perawan Maria membantu kita merasakan sukacita Injil.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Bulan-bulan mendatang akan membawa kita pada pembukaan Pintu Suci, yang dengannya kita akan memulai Tahun Yubileum. Saya memintamu untuk mengintensifkan doa untuk mempersiapkan kita menjalani peristiwa rahmat ini dengan baik, dan mengalami kekuatan pengharapan Allah. Oleh karena itu, hari ini kita memulai Tahun Doa; yaitu tahun yang didedikasikan untuk menemukan kembali nilai besar dan kebutuhan mutlak akan doa dalam kehidupan pribadi, dalam kehidupan Gereja, dan dalam dunia. Kita juga akan dibantu oleh sumber daya yang disediakan oleh Dikasteri Evangelisasi.

 

Pada hari-hari ini, marilah kita berdoa khususnya untuk persatuan umat Kristiani, dan jangan pernah lelah berdoa kepada Tuhan untuk perdamaian di Ukraina, Israel dan Palestina, dan di pelbagai belahan dunia lainnya: yang paling lemah selalu menderita karena tidak ada persatuan umat Kristiani. Saya memikirkan anak-anak kecil, anak-anak yang terluka dan terbunuh, mereka yang kehilangan kasih sayang, kehilangan impian dan masa depan. Marilah kita merasakan tanggung jawab untuk berdoa dan membangun perdamaian bagi mereka!

 

Saya merasakan kesedihan atas penculikan sekelompok orang di Haiti, termasuk enam biarawati: dengan tulus saya memohon pembebasan mereka, saya mendoakan kerukunan sosial di negara ini, dan saya mengundang semua orang untuk mengakhiri kekerasan, yang menyebabkan banyak penderitaan bagi masyarakat tercinta.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma, Italia dan pelbagai belahan dunia: khususnya, para peziarah dari Polandia, Albania, dan Kolombia; para mahasiswa Institut Pedro Mercedes di Cuenca, Spanyol; Mahasiswa Amerika yang sedang belajar di Florence; kelompok Quinceañeras dari Panama; dan para imam serta migran dari Ekuador, yang bagi mereka saya panjatkan doa perdamaian untuk negara mereka. Saya menyapa umat Massafra dan Perugia, Persatuan Guru, Manajer, Pendidik dan Pelatih Katolik Italia; dan Kelompok Pramuka Agesci dari Palmi.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 21 Januari 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 17 Januari 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG KEBURUKAN DAN KEBAJIKAN (BAGIAN 4 : PERJUANGAN ROHANI) : HAWA NAFSU

Saudara-saudari, selamat pagi!

 

Dan hari ini marilah kita menyimak baik-baik katekese, karena setelahnya ada sirkus yang akan tampil untuk kita. Marilah kita melanjutkan perjalanan kita mengenai keburukan dan kebajikan; dan para Bapa Gereja zaman dahulu mengajarkan kepada kita bahwa, setelah keserakahan, ‘iblis’ kedua – yaitu kejahatan – yang selalu bersembunyi di depan pintu hati adalah hawa nafsu, yang dalam bahasa Yunani disebut porneia. Meskipun keserakahan adalah kerakusan dalam hal makanan, sifat buruk yang kedua ini adalah sejenis ‘kerakusan’ terhadap orang lain, yaitu ikatan beracun yang dimiliki manusia satu sama lain, terutama dalam ranah seksualitas.

 

Berhati-hatilah : agama Kristiani tidak mengecam naluri seksual. Tidak ada kecaman. Sebuah kitab dalam Kitab Suci, Kidung Agung, adalah puisi cinta yang indah antara dua kekasih. Namun, dimensi indah ini, dimensi seksual, dimensi cinta, dimensi kemanusiaan kita bukannya tanpa bahaya, sedemikian rupa sehingga Santo Paulus sudah membahas masalah ini dalam Surat Pertama kepada Jemaat di Korintus. Santo Paulus menulis: “Memang ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah” (5:1). Celaan Rasul justru menyangkut penanganan seksualitas yang tidak sehat oleh sebagian umat Kristiani.

 

Tetapi marilah kita lihat pengalaman manusiawi, pengalaman jatuh cinta. Ada begitu banyak pengantin baru di sini: kamu bisa membicarakan hal ini. Mengapa misteri ini terjadi, dan mengapa merupakan pengalaman yang sangat menghancurkan dalam kehidupan banyak orang, tidak seorang pun dari kita yang tahu. Seseorang jatuh cinta pada orang lain, jatuh cinta terjadi begitu saja. Ini adalah salah satu kenyataan kehidupan yang paling menakjubkan. Kebanyakan lagu yang kamu dengar di radio berkisah tentang hal ini: cinta yang bersinar, cinta yang selalu dicari dan tak pernah tercapai, cinta yang penuh kebahagiaan, atau yang menyiksa kita hingga menitikkan air mata.

 

Jika tidak tercemar oleh keburukan, jatuh cinta adalah salah satu perasaan yang paling murni. Seseorang yang sedang jatuh cinta menjadi murah hati, senang memberi hadiah, menulis surat dan puisi. Ia berhenti memikirkan dirinya untuk sepenuhnya berfokus pada orang lain. Hal ini indah. Dan jika kamu bertanya kepada seseorang yang sedang jatuh cinta, “Mengapa kamu mencintai?” mereka tidak akan punya jawaban: Dalam banyak hal, cinta mereka tidak bersyarat, tanpa alasan apa pun. Kamu harus bersabar jika cinta yang begitu kuat itu juga sedikit bersahaja: sepasang kekasih tidak terlalu saling mengenal wajah, cenderung mengidealkan pasangannya, siap memberikan janji yang bobotnya tidak segera mereka pegang. Namun, 'taman' tempat keajaiban berlipat ganda ini tidak aman dari kejahatan. 'Taman' ini dikotori oleh setan nafsu, dan keburukan ini sangat menjijikkan, setidaknya karena dua alasan. Setidaknya dua.

 

Pertama, karena merusak hubungan antarmasyarakat. Sayangnya, untuk membuktikan kenyataan tersebut, berita harian saja sudah cukup. Berapa banyak hubungan yang dimulai dengan cara terbaik kemudian berubah menjadi hubungan yang beracun, kepemilikan terhadap orang lain, kurangnya rasa hormat dan batasan? Semua ini adalah cinta-cinta yang di dalamnya kesucian telah hilang: suatu kebajikan yang tidak boleh disamakan dengan pantang seksual – kesucian adalah sesuatu yang berbeda dari pantang seksual – melainkan harus dihubungkan dengan keinginan untuk tidak pernah memiliki orang lain. Mencintai berarti menghormati orang lain, mencari kebahagiaannya, menumbuhkan empati terhadap perasaannya, menempatkan diri pada pengetahuan tentang tubuh, psikologi, dan bukan jiwa kita, dan harus direnungkan karena keindahan yang dibawanya. Itulah cinta, dan cinta itu indah. Hawa nafsu, sebaliknya, mengolok-olok semua ini: hawa nafsu menjarah, merampas, mengkonsumsi dengan tergesa-gesa, tidak mau mendengarkan orang lain tetapi hanya kebutuhan dan kesenangannya sendiri; hawa nafsu menilai setiap pacaran membosankan, ia tidak mencari perpaduan antara akal, dorongan, dan perasaan yang akan membantu kita menjalani kehidupan dengan bijak. Orang yang bernafsu hanya mencari jalan pintas: ia tidak mengerti bahwa jalan menuju cinta harus dilalui secara perlahan, dan kesabaran ini, jauh dari identik dengan kebosanan, memungkinkan kita membuat hubungan cinta kita bahagia.

 

Namun ada alasan kedua mengapa hawa nafsu adalah keburukan yang berbahaya. Di antara semua kesenangan manusia, seksualitas bersuara yang kuat. Seksualitas melibatkan seluruh indra; seksualitas tinggal di dalam tubuh dan jiwa, serta sangat indah; namun jika tidak didisiplinkan dengan kesabaran, jika tidak ditorehkan dalam suatu hubungan dan dalam cerita di mana dua individu mengubahnya menjadi tarian cinta, maka akan berubah menjadi rantai yang merampas kebebasan manusia. Kenikmatan seksual yang merupakan karunia Allah dirusak oleh pornografi: kepuasan tanpa hubungan yang dapat menimbulkan bentuk-bentuk kecanduan. Kita harus mempertahankan cinta, cinta hati, cinta pikiran, cinta tubuh, cinta murni dalam memberikan diri kepada orang lain. Dan inilah indahnya hubungan seksual.

 

Memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu, melawan “obyektifikasi” orang lain, bisa menjadi upaya seumur hidup. Namun hasil dari pertarungan ini adalah yang paling penting dari semuanya, karena melestarikan keindahan yang dituliskan Allah ke dalam ciptaan-Nya ketika Ia membayangkan cinta antara pria dan wanita, yang bertujuan bukanuntuk memanfaatkan satu sama lain, namun untuk saling mencintai. Keindahan itulah yang membuat kita percaya bahwa membangun cerita bersama lebih baik daripada mencari petualangan – ada begitu banyak Don Juan di luar sana; membangun cerita bersama lebih baik daripada mencari petualangan; memupuk kelembutan lebih baik daripada tunduk pada setan kepemilikan – cinta sejati tidak memiliki, ia memberikan dirinya; melayani lebih baik daripada menaklukkan. Karena jika tidak ada cinta, hidup ini menyedihkan, kesepian yang menyedihkan.

 

[Imbauan]

 

Saya menyampaikan simpati dan kesetiakawanan saya kepada para korban, semuanya warga sipil, serangan roket yang menghantam daerah perkotaan Erbil, ibu kota wilayah otonomi Kurdistan Irak. Hubungan baik antartetangga tidak dibangun dengan tindakan seperti itu tetapi dengan dialog dan kerja sama. Saya meminta semua orang menghindari langkah apa pun yang meningkatkan ketegangan di Timur Tengah dan skenario perang lainnya.

 

[Sapaan Khusus]

 

Besok Pekan Doa Untuk Persatuan Umat Kristiani dimulai, yang tahun ini bertemakan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu... dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (bdk. Luk 10:27). Saya mengundangmu untuk berdoa agar umat Kristiani dapat mencapai persekutuan penuh dan memberikan kesaksian kasih yang seia sekata terhadap semua orang, terutama terhadap mereka yang paling rentan.

 

Saya menyapa dengan hangat kepada para peziarah berbahasa Italia. Secara khusus, saya menyapa umat Bellizzi, kelompok FederCasa, Institut Pio IX-La Salle di Roma dan Sekolah Highlands di Roma.

 

Akhirnya, pikiranku tertuju pada orang muda, orang sakit, orang tua, dan pengantin baru. Hari ini liturgi memperingati Santo Antonius Abbas, salah seorang pendiri monastisisme. Semoga teladannya mendorongmu untuk menerima Injil tanpa kompromi.

 

Dan kita jangan melupakan negara-negara yang sedang berperang, kita jangan melupakan Ukraina, kita jangan melupakan Palestina, Israel, kita jangan melupakan penduduk Jalur Gaza yang sangat menderita. Marilah kita mendoakan banyak korban perang, banyak korban. Perang selalu menghancurkan, perang tidak menebar cinta, perang menebar kebencian. Perang adalah kekalahan sejati bagi manusia. Marilah kita mendoakan orang-orang yang menderita dalam perang.

 

Berkatku untuk kamu semua!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese kita tentang kebajikan dan keburukan, kita sekarang beralih ke hawa nafsu, yang bertentangan dengan keindahan cinta yang telah ditanamkan Sang Pencipta di dalam hati kita dan memanggil kita untuk membina hubungan kita dengan orang lain, terutama penggunaan seksualitas kita secara bertanggung jawab. Hawa nafsu meracuni kemurnian cinta dengan mengubahnya dari penerimaan yang suci, sabar dan murah hati terhadap orang lain dalam segala kekayaan misterius keberadaannya, menjadi keinginan egois untuk memiliki dan kepuasan segera. Karunia seksualitas Allah, yang terungkap secara luhur dalam cinta suami-istri, bertujuan untuk memenuhi kepuasan manusia dan kebebasan sejati, sedangkan hawa nafsu membelenggu kita dalam keegoisan dan kekosongan. Semoga hati kita selalu menghargai keindahan cinta, yang ikut serta dalam misteri kasih Allah yang tak bersyarat bagi kita, yang diciptakan menurut gambar-Nya.

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 17 Januari 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 14 Januari 2024 : MENCARI, TINGGAL DAN MEWARTAKAN

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!


Bacaan Injil hari ini menyajikan perjumpaan Yesus dengan murid-murid pertama (bdk. Yoh 1:35-42). Adegan ini mengajak kita untuk mengingat perjumpaan pertama kita dengan Yesus. Kita masing-masing pernah mengalami perjumpaan pertama dengan Yesus, saat kanak-kanak, saat remaja, saat orang muda, saat dewasa… Kapan aku pertama kali berjumpa Yesus? Cobalah untuk sedikit mengingat hal ini. Dan setelah pemikiran ini, kenangan ini, memperbaharui sukacita mengikuti Dia dan bertanya pada diri kita – mengikut Yesus berarti menjadi murid Yesus – apa artinya menjadi murid Yesus? Menurut Bacaan Injil hari ini kita dapat mengambil tiga kata: mencari Yesus, tinggal bersama Yesus, dan mewartakan Yesus. Mencari, tinggal, mewartakan.

 

Pertama-tama, mencari. Dua murid, berkat kesaksian Yohanes Pembaptis, mulai mengikut Yesus; Ia “melihat bahwa mereka mengikuti Dia lalu berkata kepada mereka, ‘Apa yang kamu cari?’” (ayat 38). Kata-kata pertama yang disampaikan Yesus kepada mereka: pertama-tama, Ia mengajak mereka untuk melihat ke dalam, bertanya pada diri mereka tentang keinginan yang ada di dalam hati mereka. “Apa yang kamu cari?”. Tuhan tidak ingin merekrut para pengikut agama baru, Ia tidak ingin mendapatkan para pengikut yang dangkal; Tuhan menginginkan orang-orang yang mempertanyakan diri mereka dan membiarkan diri mereka tertantang oleh Sabda-Nya. Oleh karena itu, untuk menjadi murid Yesus, pertama-tama kita perlu mencari Dia, kita perlu mencari Dia, kemudian kita harus memiliki hati yang terbuka dan menyelidiki, bukan hati yang sarat atau berpuas diri.

 

Apa yang dicari murid-murid pertama melalui kata kerja kedua: tinggal? Mereka tidak mencari berita atau informasi tentang Allah, atau tanda-tanda atau mukjizat, namun mereka ingin bertemu Yesus, bertemu Mesias, berbicara dengan-Nya, tinggal bersama-Nya, mendengarkan-Nya. Apa pertanyaan pertama yang mereka ajukan? "Di manakah Engkau tinggal?" (ayat 38). Dan Kristus mengundang mereka untuk tinggal bersama-Nya: “Marilah dan kamu akan melihatnya” (ayat 39). Tinggal bersama-Nya, tetap bersama-Nya: inilah hal yang paling penting bagi murid Tuhan. Singkatnya, iman bukanlah sebuah teori, bukan; iman adalah sebuah perjumpaan – iman adalah sebuah perjumpaan. Iman akan melihat di mana Tuhan tinggal, dan tinggal bersama-Nya. Berjumpa Tuhan dan tinggal bersama-Nya.

 

Mencari, tinggal, dan akhirnya, mewartakan. Para murid mencari Yesus, lalu mereka pergi bersama-Nya dan tinggal sepanjang malam bersama-Nya. Dan sekarang, mewartakan. Kemudian, mereka kembali dan mewartakan. Mencari, tinggal, mewartakan. Apakah aku mencari Yesus? Apakah aku tinggal bersama Yesus? Apakah aku mempunyai keberanian untuk mewartakan Yesus? Perjumpaan pertama kedua murid dengan Yesus merupakan pengalaman yang begitu berkesan sehingga mereka selalu ingat saat itu: “kira-kira pukul empat” (ayat 39). Hal ini memungkinkan kita melihat kekuatan perjumpaan itu. Dan hati mereka sangat penuh sukacita sehingga mereka langsung merasakan kebutuhan untuk menyampaikan karunia yang telah mereka terima. Memang salah seorang dari mereka, Andreas, bergegas membagikannya kepada saudaranya.

 

Saudara-saudari, marilah hari ini kita juga mengingat perjumpaan pertama kita dengan Tuhan. Kita masing-masing pernah mengalami perjumpaan pertama, baik di dalam maupun di luar keluarga … Kapan aku berjumpa Tuhan? Kapan Tuhan menjamah hatiku? Dan marilah kita bertanya pada diri kita: apakah kita masih menjadi murid, terpikat pada Tuhan, apakah kita mencari Tuhan, ataukah kita menetap pada iman yang terbentuk dari kebiasaan? Apakah kita tinggal bersama-Nya dalam doa, tahukah kita bagaimana tinggal dalam keheningan bersama-Nya? Tahukah aku bagaimana tinggal dalam doa bersama Tuhan, tinggal dalam keheningan bersama-Nya? Lalu, apakah kita merasakan keinginan untuk berbagi, mewartakan indahnya perjumpaan dengan Tuhan?

 

Semoga Santa Maria, murid pertama Yesus, memberi kita keinginan untuk mencari Dia, keinginan untuk tinggal bersama Dia, dan keinginan untuk mewartakan Dia.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma serta para peziarah dari Italia dan pelbagai belahan dunia. Secara khusus saya menyapa para anggota Hermandad Sacramental de Nuestra Señora de los Remedios dari Villarrasa, Spanyol.

 

Kita tidak boleh lupa untuk mendoakan para korban bencana tanah longsor di Kolombia yang sudah memakan banyak korban.

 

Dan jangan lupakan mereka yang menderita akibat kekejaman perang di pelbagai belahan dunia, terutama di Ukraina, Palestina, dan Israel. Di awal tahun, kita saling bertukar harapan akan perdamaian, namun senjata terus membunuh dan menghancurkan. Marilah kita berdoa agar mereka yang berkuasa atas berbagai pertikaian ini merenungkan fakta bahwa perang bukanlah cara untuk menyelesaikan berbagai pertikaian tersebut, karena perang akan menabur kematian di kalangan warga sipil dan menghancurkan kota-kota serta infrastruktur. Dengan kata lain, perang saat ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Janganlah kita melupakan hal ini: perang itu sendiri merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Masyarakat membutuhkan perdamaian! Dunia membutuhkan perdamaian! Saya mendengar, beberapa menit yang lalu, dalam program “A Sua Immagine”, Pastor Faltas, vikaris Pamong Tanah Suci di Yerusalem: ia berbicara tentang pendidikan untuk perdamaian. Kita harus mendidik untuk perdamaian. Kita dapat melihat bahwa kita – umat manusia secara keseluruhan – belum cukup terdidik untuk menghentikan semua perang. Marilah kita selalu berdoa memohon rahmat ini: mendidik untuk perdamaian.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 14 Januari 2024)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI ORANG SAKIT SEDUNIA XXXII 11 Februari 2024

Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”.


Menyembuhkan Orang Sakit dengan Menyembuhkan Hubungan

 

“Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja” (bdk. Kej 2:18). Sejak awal, Allah, Sang Kasih, menciptakan kita untuk bersekutu dan menganugerahi kita sejak lahir kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Kehidupan kita, yang tercermin dalam rupa Allah Tritunggal, dimaksudkan untuk mencapai penggenapan melalui jaringan hubungan, persahabatan dan cinta, baik yang diberikan maupun diterima. Kita diciptakan untuk bersama, bukan sendirian. Justru karena rancangan persekutuan ini berakar kuat di dalam hati manusia, kita melihat pengalaman ditinggalkan dan sendirian sebagai sesuatu yang menakutkan, menyakitkan, dan bahkan tidak manusiawi. Hal ini terutama terjadi pada saat kerentanan, ketidakpastian dan ketidakamanan, yang seringkali disebabkan oleh timbulnya penyakit berat.

 

Berkaitan dengan hal ini, saya memikirkan semua orang yang merasa sangat sendirian selama pandemi Covid-19: bukan saja para pasien yang tidak dapat menerima pengunjung, tetapi juga banyak perawat, dokter, dan tenaga pendukung yang kewalahan bekerja dan terkurung di ruang isolasi. Tentu saja, kita tidak bisa tidak mengingat semua orang yang harus menghadapi ajal mereka sendirian, meski dibantu oleh petugas kesehatan, namun jauh dari keluarga.

 

Saya juga ikut merasakan kepedihan, penderitaan dan keterasingan yang dirasakan oleh orang-orang yang, karena perang dan dampak tragisnya, tidak mendapat dukungan dan bantuan. Perang adalah penyakit sosial yang paling mengerikan dan menimbulkan korban paling besar pada kelompok yang paling rentan.

 

Pada saat yang sama, perlu dikatakan bahwa bahkan di negara-negara yang menikmati perdamaian dan sumber daya yang lebih besar, usia tua dan penyakit sering kali dialami dalam kesendirian dan, kadang-kadang, bahkan ditinggalkan. Kenyataan suram ini terutama merupakan dampak dari budaya individualisme yang menjunjung tinggi produktivitas dengan segala cara, memupuk mitos efisiensi, dan terbukti acuh tak acuh, bahkan tidak berperasaan, ketika individu tidak lagi memiliki kekuatan yang dibutuhkan untuk mengimbanginya. Kemudian terjadi budaya mencampakkan, di mana “pribadi manusia tidak lagi dirasa sebagai nilai utama yang perlu dihormati dan dilindungi, terutama jika mereka miskin atau difabel, jika mereka ‘belum berguna’ – seperti mereka yang belum lahir – atau ‘tidak lagi berguna’ –seperti orang lansia” (Fratelli Tutti, 18). Sayangnya, cara berpikir seperti ini juga memandu keputusan politik tertentu yang tidak berfokus pada martabat manusia dan kebutuhannya, serta tidak selalu mendukung strategi dan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan bahwa setiap manusia menikmati hak dasar atas kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Pengabaian kelompok rentan dan isolasi terhadap mereka juga didukung oleh berkurangnya pelayanan kesehatan hanya menjadi sekadar penyediaan pelayanan, tanpa disertai dengan “perjanjian terapeutik” antara dokter, pasien dan anggota keluarga.

 

Kita sebaiknya kembali mendengarkan kata-kata dalam Kitab Suci, ”Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja!” Allah menyampaikan kata-kata tersebut pada awal penciptaan dan dengan demikian mengungkapkan kepada kita makna terdalam dari rancangan-Nya bagi umat manusia, namun pada saat yang sama, luka dosa yang mematikan, yang menjalar dengan menimbulkan kecurigaan, perpecahan, perpecahan dan mengakibatkan keterasingan. Dosa menyerang manusia dan seluruh hubungan mereka: dengan Allah, dengan diri mereka sendiri, dengan orang lain, dengan ciptaan. Keterasingan seperti ini menyebabkan kita kehilangan makna hidup kita; juga meniadakan sukacita cinta dan membuat kita mengalami rasa ketersendirian yang menyesakkan di segenap ranah penting kehidupan.

Saudara-saudari, bentuk perawatan pertama yang diperlukan dalam penyakit apa pun adalah kedekatan yang penuh kasih sayang. Oleh karena itu, merawat orang sakit berarti merawat hubungan mereka, seluruh hubungan: dengan Allh, dengan orang lain – anggota keluarga, teman, petugas kesehatan –, dengan ciptaan, dan dengan diri mereka sendiri. Bisakah hal ini dilakukan? Ya, bisa dilakukan dan kita semua dipanggil untuk memastikannya terjadi. Marilah kita melihat sosok orang Samaria yang baik hati (bdk. Luk 10:25-37), melihat kemampuannya untuk memperlambat dan mendekati orang lain, melihat ia merawat luka-luka saudaranya yang sedang menderita dengan kasih lembut.

 

Marilah kita ingat kebenaran utama dalam hidup ini: kita lahir ke dunia ini karena seseorang menyambut kita; kita diciptakan menuju cinta; dan kita dipanggil menuju persekutuan dan persaudaraan. Aspek kehidupan kita inilah yang menopang kita, terutama pada saat sakit dan rentan. Ini juga merupakan terapi pertama yang harus kita terapkan untuk menyembuhkan penyakit masyarakat di tempat tinggal kita.

 

Kepada kamu yang sedang mengalami penyakit, baik sementara maupun kronis, saya ingin mengatakan hal ini: Jangan malu dengan kerinduanmu akan kedekatan dan kelembutan! Jangan menyembunyikannya, dan jangan pernah menganggap dirimu menjadi beban orang lain. Kondisi orang sakit mendesak kita semua untuk melangkah mundur dari kesibukan hidup kita demi menemukan kembali diri kita.

 

Pada masa perubahan besar ini, kita umat Kristiani khususnya dipanggil untuk mengadopsi pandangan Yesus yang penuh belas kasih. Marilah kita peduli terhadap mereka yang menderita dan sendirian, mungkin terpinggirkan dan disingkirkan. Dengan saling mengasihi yang dilimpahkan Kristus Tuhan kepada kita dalam doa, khususnya dalam Ekaristi, marilah kita merawat luka kesendirian dan keterasingan. Dengan cara ini, kita dapat bekerja sama dalam memerangi budaya individualisme, ketidakpedulian dan pencampakkan, serta memungkinkan tumbuhnya budaya kelembutan dan kasih sayang.

 

Orang sakit, rentan dan miskin adalah jantung Gereja; mereka juga harus menjadi pusat perhatian kemanusiaan dan pastoral kita. Semoga kita tidak pernah melupakan hal ini! Dan marilah kita menyerahkan diri kita kepada Santa Maria, Kesehatan Orang Sakit, agar ia sudi menjadi perantara kita dan membantu kita menjadi penjalin kedekatan dan hubungan persaudaraan.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 10 Januari 2024

 

FRANSISKUS
_____

(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi - Bogor, 13 Januari 2024)