Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 28 Februari 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG KEBURUKAN DAN KEBAJIKAN (BAGIAN 9 : PERJUANGAN ROHANI) : IRI HATI DAN KESOMBONGAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita menelaah dua sifat buruk mematikan yang kita temukan dalam daftar terkenal yang ditinggalkan oleh tradisi spiritual kepada kita: iri hati dan kesombongan.

 

Marilah kita mulai dengan sifat iri hati. Jika kita membaca Kitab Suci (bdk. Kej 4), kita melihat iri hati adalah salah satu sifat buruk tertua: kebencian Kain terhadap Habel terungkap ketika ia menyadari bahwa kurban adiknya berkenan kepada Allah. Kain adalah anak sulung Adam dan Hawa, ia telah mendapat bagian terbesar warisan ayahnya; namun, Habel, sang adik, cukup sedikit berprestasi, sehingga Kain marah. Wajah orang yang iri hati selalu sedih: ia selalu menunduk, sepertinya ia terus-menerus menyelidiki tanah; namun kenyataannya, ia tidak melihat apa-apa, karena pikirannya dipenuhi pikiran-pikiran yang penuh kejahatan. Iri hati, jika tidak dikendalikan, akan menimbulkan kebencian terhadap orang lain. Habel akan dibunuh di tangan Kain, yang tidak sanggup menanggung kebahagiaan adiknya.

 

Iri hati adalah kejahatan yang tidak hanya ditelaah dalam lingkungan kristiani: iri hati telah menarik perhatian para filsuf dan orang bijak dari setiap budaya. Dasarnya adalah hubungan kebencian dan cinta: iri hati menginginkan hal jahat bagi orang lain, namun diam-diam ingin menjadi seperti orang itu. Cinta adalah pencerahan tentang apa yang kita inginkan, dan apa yang sebenarnya tidak kita inginkan. Nasib baiknya iri hati tampaknya merupakan ketidakadilan bagi kita: tentu saja, kita memikirkan diri kita, kita lebih pantas mendapatkan kesuksesan atau nasib baik!

 

Akar dari keburukan ini adalah gagasan yang salah tentang Allah: kita tidak menerima bahwa Allah mempunyai “matematika” yang berbeda dengan "matematika” kita. Misalnya, dalam perumpamaan Yesus tentang para pekerja yang dipanggil oleh majikannya untuk pergi ke kebun anggur pada waktu yang berbeda dalam sehari, mereka yang bekerja pada jam pertama yakin berhak mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang datang terakhir; tetapi sang majikan memberikan upah yang sama kepada setiap orang, dan berkata, “Tidakkah aku boleh mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Mat 20:15). Kita ingin memaksakan nalar egois kita terhadap Allah; sebaliknya, nalar Allah adalah kasih. Hal-hal baik yang diberikan-Nya kepada kita dimaksudkan untuk dibagikan. Inilah sebabnya Santo Paulus menasihati umat Kristiani, “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Rm. 12:10). Inilah penangkal iri hati!

 

Dan sekarang kita sampai pada sifat buruk yang kedua yang kita telaah hari ini: kesombongan. Kesombongan sejalan dengan iblis iri hati, dan bersama-sama kedua sifat buruk ini merupakan ciri khas seseorang yang bercita-cita menjadi pusat dunia, bebas mengeksploitasi segala sesuatu dan semua orang, sasaran segala pujian dan cinta. Kesombongan adalah harga diri yang berlebihan dan tidak dasariah. Orang yang sombo0ng memiliki “aku” yang sulit dikendalikan: ia tidak memiliki empati dan tidak memperhatikan kenyataan bahwa ada orang lain di dunia ini selain dia. Hubungannya selalu bersifat instrumental, ditandai dengan saling menguasai. Pribadinya, prestasinya, pencapaiannya harus diperlihatkan kepada semua orang: ia adalah pengemis perhatian yang tiada henti. Dan jika kadang kualitasnya tidak dikenali, ia menjadi sangat marah. Orang lain tidak adil, mereka tidak mengerti, mereka tidak sanggup. Dalam tulisannya, Evagrius Ponticus menggambarkan kisah pahit seorang biarawan yang dilanda kesombongan. Kebetulan, setelah kesuksesan pertamanya dalam kehidupan spiritual, ia sudah merasa telah tiba, maka ia bergegas ke dunia untuk menerima pujian. Namun ia tidak menyadari bahwa ia baru berada di awal jalan spiritual, dan ada godaan yang mengintai yang akan segera menjatuhkannya.

 

Untuk menyembuhkan orang yang sombong, guru spiritual tidak menyarankan banyak solusi. Karena pada akhirnya, kejahatan kesombongan mempunyai penangkalnya sendiri: pujian yang diharapkan akan diperoleh oleh orang yang sombong dari dunia ini akan segera berbalik melawannya. Dan berapa banyak orang, yang tertipu oleh citra diri yang salah, kemudian jatuh ke dalam dosa-dosa yang membuat mereka merasa malu!

 

Petunjuk terbaik untuk mengatasi kesombongan dapat ditemukan dalam kesaksian Santo Paulus. Rasul Paulus selalu memperhitungkan kekurangan yang tidak pernah dapat diatasinya. Tiga kali ia memohon kepada Tuhan untuk melepaskannya dari siksaan itu, namun akhirnya Yesus menjawab, “Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna". Sejak hari itu Paulus terbebas. Dan kesimpulannya juga harus menjadi kesimpulan kita: “Sebab itu, aku terlebih suka bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2Kor. 12:9).

 

[Imbauan]

 

Tanggal 1 Maret adalah peringatan 25 tahun berlakunya Konvensi Pelarangan Ranjau Anti-Personil, yang terus menargetkan warga sipil, orang tak bersalah, khususnya anak-anak, bertahun-tahun setelah berakhirnya permusuhan. Saya menyatakan simpati saya terhadap banyaknya korban dari perangkat berbahaya yang mengingatkan kita akan kekejaman perang yang dramatis, dan akibat yang harus ditanggung oleh penduduk sipil. Dalam hal ini, saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam membantu para korban dan membersihkan daerah yang terkontaminasi: pekerjaan mereka merupakan tanggapan nyata terhadap panggilan universal untuk menjadi pembawa perdamaian, menjaga saudara-saudari kita.

 

* * *

 

Saudara-saudari terkasih, kita janganl melupakan bangsa-bangsa yang sedang menderita akibat perang: Ukraina, Palestina, Israel dan banyak lainnya. Dan marilah kita mendoakan para korban serangan terhadap tempat ibadah di Burkina Faso baru-baru ini; serta rakyat Haiti, di mana kejahatan dan penculikan oleh kelompok bersenjata terus berlanjut.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa dengan hangat kepada para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Irlandia, Belanda, Norwegia, Malaysia, Vietnam, dan Amerika Serikat. Saya menyapa secara khusus para mahasiswa dan guru besar Universitas Santa Maria, Twickenham, Inggris. Atas kamu semua dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih: Dalam katekese kita tentang kebajikan dan keburukan, kita sekarang beralih pada iri hati dan kesombongan. Iri hati, yang sudah ada dalam kisah Kain dan Habel, merupakan kekuatan menghancurkan yang dipicu oleh kebencian terhadap orang lain, dan dapat berujung pada kebencian yang mematikan. Penangkal iri hati terletak pada nasihat Santo Paulus: “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Rm 12:10). Kesombongan ditandai dengan harga diri yang tinggi, keinginan untuk terus-menerus dipuji, dan sering kali cenderung memanfaatkan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Teladan Santo Paulus yang menyombongkan kelemahannya dibandingkan prestasinya menawarkan cara yang efektif untuk mengatasi kesombongan. Semoga kita, seperti dia, mengetahui bahwa anugerah Allah cukup, karena kuasa-Nya menjadi sempurna dalam kelemahan, dan kita lebih suka bermegah atas kelemahan kita, supaya kuasa Kristus dapat memerdekakan kita untuk semakin mengasihi orang lain.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Februari 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 25 Februari 2024 : MARILAH KITA MEMBUKA DIRI TERHADAP TERANG YESUS!

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil Hari Minggu Prapaskah II ini menyajikan kepada kita peristiwa perubahan rupa Yesus (bdk. Mrk 9:2-10).

 

Setelah mengumumkan sengsara-Nya kepada para murid, Yesus membawa Petrus, Yakobus, dan Yohanes bersama-Nya dan naik ke sebuah gunung yang tinggi, serta secara fisik menampakkan diri-Nya di sana dalam segenap terang-Nya. Dengan cara ini, Ia mengungkapkan kepada mereka makna dari apa yang telah mereka alami bersama hingga saat itu. Pemberitaan Kerajaan Allah, pengampunan dosa, kesembuhan, dan tanda-tanda yang dilakukan, memang merupakan pancaran terang yang lebih besar, yaitu terang Yesus, terang Yesus yang sesungguhnya. Dan dari terang ini, para murid jangan sekali-kali mengalihkan pandangan mereka, terutama pada saat-saat pencobaan, seperti saat sengsara yang sudah dekat pada titik ini.

 

Inilah pesan hari ini: jangan pernah mengalihkan pandanganmu dari terang Yesus. Hal ini mirip dengan apa yang biasa dilakukan para petani di masa lalu saat membajak sawah: mereka memfokuskan pandangan mereka pada suatu titik tertentu di depan mereka dan, sambil menjaga pandangan mereka tertuju pada titik tersebut, mereka menelusuri guratan-guratan lurus.

 

Inilah panggilan kita sebagai umat Kristiani dalam perjalanan hidup kita: selalu memandang wajah Yesus yang berkilauan di depan mata kita.

 

Saudara-saudari, marilah kita terbuka menyambut terang Yesus! Ia adalah kasih, Ia adalah kehidupan tanpa akhir. Sepanjang jalan kehidupan yang sewaktu-waktu bisa berliku, marilah kita mencari wajah-Nya yang penuh kerahiman, kesetiaan, dan harapan. Doa, mendengarkan Sabda dan Sakramen-sakramen, khususnya Pengakuan Dosa dan Ekaristi, yang membantu kita melakukan hal ini: Doa, mendengarkan Sabda dan Sakramen-sakramen membantu kita untuk tetap mengarahkan pandangan kita pada Yesus.

 

Dan ini adalah resolusi masa Prapaskah yang baik: memupuk pandangan yang ramah, menjadi "pencari terang", pencari terang Yesus, baik dalam doa maupun dalam orang-orang.

 

Jadi marilah kita bertanya pada diri kita: apakah mataku tetap tertuju pada Kristus yang menyertaiku? Dan untuk melakukan hal tersebut, apakah aku memberikan ruang untuk keheningan, doa, dan penyembahan? Yang terakhir, apakah aku mencari setiap sinar kecil terang Yesus, yang tercermin dalam diriku dan setiap saudara-saudari yang kujumpai? Dan apakah aku ingat untuk bersyukur kepada-Nya untuk hal ini?

 

Semoga Maria, yang bersinar dengan terang Allah, membantu kita untuk menjaga pandangan kita tetap tertuju pada Yesus serta saling memandang dengan kepercayaan dan cinta.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Dengan sedih kita mengenang dua tahun dimulainya perang besar-besaran di Ukraina kemarin, tanggal 24 Februari. Berapa banyak korban dan orang yang terluka, berapa banyak kehancuran, penderitaan dan air mata dalam kurun waktu yang menjadi sangat panjang dan belum dapat dilihat akhirnya! Ini adalah perang yang tidak hanya menghancurkan wilayah Eropa tetapi juga menimbulkan gelombang ketakutan dan kebencian global. Sembari memperbarui kasih sayang saya yang tulus terhadap rakyat Ukraina yang tersiksa, saya terus mendoakan semua orang, terutama banyak korban tak berdosa yang tak terhitung jumlahnya. Saya dengan sungguh-sungguh memohon agar ada sedikit kemanusiaan yang diperlukan untuk menciptakan kondisi bagi solusi diplomatik dalam mengupayakan perdamaian yang adil dan abadi. Dan saudara-saudariku, jangan lupa untuk mendoakan Palestina, Israel, dan banyak negara yang terkoyak oleh perang, dan secara nyata membantu mereka yang menderita! Marilah kita memikirkan penderitaan yang sangat besar, marilah kita memikirkan anak-anak yang terluka dan tidak bersalah.

 

Saya prihatin dengan meningkatnya kekerasan di bagian timur Republik Demokratik Kongo. Saya turut serta dalam imbauan para uskup untuk berdoa bagi perdamaian, dengan harapan agar bentrokan dapat berhenti serta dialog yang tulus dan membangun dapat diupayakan.

 

Meningkatnya frekuensi penculikan di Nigeria sangat memprihatinkan. Saya mengungkapkan kedekatan saya dalam doa kepada rakyat Nigeria, berharap upaya akan dilakukan untuk sebisa mungkin membendung penyebaran insiden ini.

 

Saya juga dekat dengan penduduk Mongolia, yang terkena dampak gelombang dingin yang hebat, yang menyebabkan dampak kemanusiaan yang serius. Fenomena ekstrim ini juga menjadi pertanda perubahan iklim dan dampaknya. Krisis iklim merupakan masalah sosial global yang sangat mempengaruhi kehidupan banyak saudara-saudari, terutama kehidupan mereka yang paling rentan: marilah kita berdoa agar dapat mengambil pilihan yang bijak dan berani untuk berkontribusi dalam pemeliharaan ciptaan.

 

Saya menyapamu, umat Roma dan dari berbagai belahan dunia, khususnya para peziarah dari Jaén (Spanyol), pemuda Katolik-Yunani Rumania dari Paris, Komunitas Neokatekumenal dari Polandia, Rumania, dan Italia.

 

Saya juga menyapa Seminari Kepausan Antarwilayah Posillipo, Sekretariat Forum Internasional Aksi Katolik, Pramuka Paliano, dan para penerima sakramen krisma dari Lastra Signa, Torre Maina, dan Gorzano.

 

Saya juga menyapa Federasi Penyakit Langka Italia, Lingkaran Kebudayaan "Reggio Ricama", para anggota Gerakan Antikekerasan, dan para sukarelawan lembaga NOETAA. Dan saya menyapa kaum muda Immacolata.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Februari 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 18 Februari 2024 : BINATANG-BINATANG LIAR DAN MALAIKAT-MALAIKAT

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, Hari Minggu Prapaskah I, Bacaan Injil menyajikan kepada kita Yesus yang dicobai di padang gurun (bdk. Mrk 1:12-15). Teks mengatakan: “Di padang gurun itu selama empat puluh hari Ia dicobai oleh Iblis”. Kita juga, selama masa Prapaskah, diajak untuk “memasuki padang gurun”, yaitu keheningan, dunia batin, mendengarkan hati, bersentuhan dengan kebenaran. Di padang gurun, Bacaan Injil hari ini menambahkan, Kristus “tinggal bersama binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia” (ayat 13). Binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia. Namun, secara simbolis, mereka juga merupakan sahabat-sahabat kita: tentu saja, ketika kita memasuki keliaran batin, kita dapat bertemu binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat di sana.

 

Binatang-binatang liar. Dalam arti apa? Dalam kehidupan rohani kita dapat menganggapnya sebagai hawa nafsu yang tidak teratur yang menyayat hati, mencoba untuk menguasainya. Mereka memikat kita, tampak menggoda, tetapi jika tidak berhati-hati, kita berisiko terkoyak oleh mereka. Kita bisa menamakan “binatang-binatang liar” jiwa ini: berbagai sifat buruk, ketamakan akan kekayaan, yang memenjarakan kita dalam keserakahan dan ketidakpuasan, kesia-siaan kesenangan, yang membuat kita gelisah dan menyendiri, dan keinginan akan ketenaran, yang menimbulkan rasa tidak aman dan kebutuhan yang terus-menerus akan penegasan dan kedudukan – janganlah kita melupakan hal-hal yang dapat kita temui di dalam diri kita – ketamakan, kesombongan, dan keserakahan. Mereka seperti binatang-binatang “liar”, dan oleh karena itu mereka harus dijinakkan dan dilawan; jika tidak, mereka akan melahap kebebasan kita. Dan marilah bantu diri kita untuk memasuki keliaran batin guna memperbaiki hal-hal ini.

 

Dan kemudian, di padang gurun, ada malaikat-malaikat. Mereka adalah utusan-utusan Allah, yang menolong kita, yang berbuat baik kepada kita: memang, ciri khas mereka, menurut Bacaan Injil, adalah pelayanan (bdk. ayat 13): sangat berkebalikan dengan kepemilikan, ciri khas hawa nafsu. Pelayanan melawan kepemilikan. Sebaliknya, roh malaikat mengingat pikiran dan perasaan baik yang disarankan oleh Roh Kudus. Sementara godaan memisahkan kita, inspirasi ilahi yang baik mempersatukan kita dan membiarkan kita memasuki keselarasan : inspirasi ilahi menenangkan hati, menanamkan rasa Kristus, “rasa Surga”. Dan untuk menangkap inspirasi Allah, kita harus masuk ke dalam keheningan dan doa. Dan masa Prapaskah adalah masa untuk melakukan hal ini.

 

Kita bisa bertanya pada diri kita, pertama, apa sajakah hawa nafsu yang tidak teratur, “binatang-binatang liar” yang mengganggu hatiku? Pertanyaan kedua: untuk memperkenankan suara Allah berbicara ke dalam hatiku dan menjaganya dalam kebaikan, apakah aku berpikir untuk mundur sedikit ke “keliaran”, apakah aku mencoba mendedikasikan waktuku untuk hal ini?

 

Semoga Santa Perawan Maria, yang menaati Sabda dan tidak memperkenankan dirinya disentuh oleh godaan si jahat, membantu kita dalam perjalanan Prapaskah.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Sepuluh tahun telah berlalu sejak pecahnya pertikaian bersenjata di Sudan, yang telah menyebabkan situasi kemanusiaan yang sangat buruk. Saya sekali lagi meminta pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan perang yang sangat merugikan rakyat dan masa depan negara ini. Marilah kita berdoa agar jalan perdamaian segera ditemukan, untuk membangun masa depan Sudan yang tercinta.

 

Kekerasan terhadap rakyat yang tidak berdaya, kehancuran infrastruktur, dan ketidakamanan kembali merajalela di Provinsi Cabo Delgado, Mozambik, tempat misi Katolik Bunda Maria dari Afrika di Mazezeze juga dibakar dalam beberapa hari terakhir. Marilah kita berdoa agar perdamaian kembali ke wilayah yang tersiksa itu. Dan jangan melupakan begitu banyak pertikaian lain yang menodai benua Afrika dan pelbagai belahan dunia dengan darah: juga Eropa, Palestina, Ukraina…

 

Janganlah kita lupa: perang selalu merupakan kekalahan. Di manapun terjadi peperangan, penduduk akan kelelahan, mereka lelah dengan perang, yang selalu sia-sia dan meragukan, serta hanya membawa kematian, hanya kehancuran, dan tidak akan pernah membawa penyelesaian masalah. Sebaliknya, marilah kita berdoa tanpa kenal lelah, karena doa itu efektif, dan marilah kita memohonkan kepada Tuhan karunia pikiran dan hati yang mengabdikan diri pada terwujudnya perdamaian.

 

Saya menyapa umat Roma dan umat dari wilayah-wilayah Italia lainnya dan dunia, khususnya para peziarah dari Amerika Serikat, Komunitas Neokatekumenal dari berbagai paroki di Republik Ceska, Slovakia dan Spanyol, para mahasiswa dari Institut “Carolina Coronado” Almendralejo dan lembaga sukarela “Mengikuti Jejak Para Pelayan – Menuju Dunia”. Dan saya menyapa para petani dan peternak di lapangan!

 

Sore ini kami bersama para sejawat Kuria akan memulai Latihan Rohani. Saya mengundang komunitas-komunitas dan umat beriman untuk mendedikasikan momen-momen khusus untuk berkumpul di hadirat Tuhan selama masa Prapaskah ini dan sepanjang tahun persiapan Yubileum ini, yang merupakan “Tahun Doa”.

 

Dan kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 18 Februari 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 14 Februari 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG KEBURUKAN DAN KEBAJIKAN (BAGIAN 8 : PERJUANGAN ROHANI) : ACEDIA

Saudara-saudari terkasih,

 

Di antara semua dosa besar, ada satu yang sering diabaikan, mungkin karena namanya yang sering kali tidak dapat dipahami oleh banyak orang: Saya berbicara tentang acedia. Oleh karena itu, dalam daftar keburukan, istilah acedia sering kali diganti dengan istilah lain yang lebih umum digunakan: kelambanan, atau kemalasan. Pada kenyataannya, kemalasan lebih merupakan akibat ketimbang sebab. Kalau seseorang diam di tempat, lamban, acuh tak acuh, kita bilang ia malas. Namun sebagaimana diajarkan oleh kebijaksanaan para bapa padang gurun dahulu kala, sering kali akar dari kemalasan ini adalah acedia, yang dalam bahasa Yunani aslinya berarti “tidak peduli”.

 

Acedia adalah godaan yang sangat berbahaya dan tidak boleh dijadikan lelucon. Seolah-olah orang-orang yang menjadi korbannya dihancurkan oleh hasrat akan kematian: mereka merasa jijik pada segala hal; hubungan dengan Allah menjadi membosankan bagi mereka; dan bahkan perbuatan paling suci sekalipun, yang pada masa lalu menghangatkan hati mereka, kini tampak sama sekali tidak berguna bagi mereka. Seseorang mulai menyesali berlalunya waktu, dan masa muda yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

 

Acedia didefinisikan sebagai “iblis siang hari”: ia mencengkeram kita di tengah hari, ketika kelelahan berada pada puncaknya dan jam-jam di depan kita terasa monoton, mustahil untuk dijalani. Dalam pemaparannya yang terkenal, rahib Evagrius menggambarkan godaan ini sebagai berikut: "Mata orang yang malas terus-menerus tertuju pada jendela, dan dalam pikirannya ia berkhayal tentang pengunjung [...] Ketika ia membaca, orang yang malas sering menguap dan mudah diatasi dengan tidur, mengerutkan mata, menggosok tangan dan, mengalihkan pandangan dari buku, menatap ke dinding; lalu kembali ke buku, ia membaca sedikit lagi [...]; akhirnya, menundukkan kepalanya, ia meletakkan buku di bawahnya, dan tertidur lelap, sampai rasa lapar membangunkannya dan mendesaknya untuk memenuhi kebutuhannya”; kesimpulannya, “orang malas tidak melakukan pekerjaan Allah dengan penuh perhatian”.[1]

 

Pembaca masa kini melihat dalam pemaparan ini sesuatu yang mengingatkan kita akan buruknya depresi, baik dari sudut pandang psikologis maupun filosofis. Memang bagi mereka yang dicengkeram acedia, hidup kehilangan arti, doa menjadi membosankan, dan setiap perjuangan terasa tak ada artinya. Jika di masa muda kita memupuk hawa nafsu, kini terkesan tidak logis, impian yang tidak membuat kita bahagia. Jadi, kita membiarkan diri kita pergi, dan kebingungan, kesembronoan, tampaknya menjadi satu-satunya jalan keluar: kita ingin mati rasa, memiliki pikiran yang benar-benar kosong… Ini seperti mati terlebih dahulu, dan buruk.

 

Menghadapi sifat buruk ini, yang kita akui sangat berbahaya, para ahli spiritualitas memikirkan berbagai solusi. Saya ingin mencatat satu hal yang menurut saya paling penting, dan saya sebut kesabaran iman. Meskipun dalam cengkeraman acedia, keinginan manusia adalah untuk berada “di tempat lain”, melarikan diri dari kenyataan, namun kita harus memiliki keberanian untuk tetap tinggal dan menyambut kehadiran Allah di “di sini dan saat ini”, dalam situasi apa adanya. Para rahib mengatakan bahwa bagi mereka tembok biara adalah guru kehidupan yang terbaik, karena tembok biara adalah tempat yang secara nyata dan setiap hari berbicara kepadamu tentang kisah cintamu dengan Allah. Iblis acedia justru ingin menghancurkan kegembiraan sederhana di sini dan saat ini, keajaiban kenyataan yang penuh syukur ini; ia ingin membuatmu percaya bahwa semuanya sia-sia, tidak ada yang berarti, tidak ada gunanya mengurus apa pun atau siapa pun. Dalam kehidupan kita bertemu dengan orang-orang yang malas, orang-orang yang kita anggap “Ia membosankan!”, dan kita tidak suka bersama mereka; orang-orang yang bahkan mempunyai sikap bosan yang menular. Inilah acedia.

 

Berapa banyak orang, dalam cengkeraman acedia, yang digerakkan oleh kegelisahan yang tak berwajah, dengan bodohnya meninggalkan kehidupan baik yang telah mereka jalani! Pertempuran acedia adalah pertempuran yang menentukan dan harus dimenangkan dengan cara apa pun. Dan ini adalah sebuah peperangan yang bahkan tidak luput dari perhatian para kudus, karena dalam banyak buku harian mereka terdapat beberapa halaman yang menceritakan momen-momen mengerikan, tentang malam-malam iman yang sesungguhnya, ketika segala sesuatu tampak gelap. Para kudus ini mengajarkan kita untuk melewati malam dengan sabar, menerima kemiskinan iman. Mereka merekomendasikan, di bawah penindasan kemalasan, mempertahankan sedikit komitmen, menetapkan tujuan yang lebih mudah dijangkau, namun pada saat yang sama bertahan dan bertekun dengan bersandar pada Yesus, yang tidak pernah meninggalkan kita dalam pencobaan.

 

Iman, yang tersiksa oleh ujian acedia, tidak kehilangan nilainya. Justru iman yang benar, iman yang sangat manusiawi, yang meskipun segala sesuatunya, meskipun kegelapan membutakannya, tetap percaya dengan rendah hati. Iman itulah yang tetap ada di dalam hati, bagaikan bara api di bawah abu. Iman tersebut selalu ada. Dan jika salah satu dari kita menjadi korban kejahatan ini, atau godaan acedia, cobalah mencari ke dalam diri kita dan mengipasi bara api iman; begitulah cara kita terus maju.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa dengan hangat kepada para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Wales, Nigeria, Korea dan Amerika Serikat. Saat kita memulai Masa Prapaskah, saya memohonkan bagimu segenap sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris]

 

Dalam permenungan kita tentang keburukan dan kebajikan, kita sekarang membahas acedia atau kemalasan, yang, meskipun dalam bahasa Inggris dikaitkan dengan kemalasan, yang pada dasarnya adalah sikap acuh tak acuh spiritual yang mendalam, yang diwujudkan oleh ketidakpuasan dan keengganan terhadap doa yang penuh perhatian dan pertumbuhan dalam hubungan kita dengan Allah. Menurut tradisi monastik, “iblis siang hari” ini paling baik diatasi dengan kesabaran iman. Hal ini termasuk menerima kemiskinan atau malam kelam iman, yang kemudian memampukan kita, melalui rahmat Allah, merasakan kehadiran Ilahi dan terus menjangkau Allah. Para kudus sendiri menunjukkan kepada kita bahwa ketekunan dalam masa pencobaan menuntun kita untuk menetapkan tujuan-tujuan praktis, betapapun kecilnya, dalam kehidupan kita sehari-hari dan menggerakkan kita untuk bersandar pada Yesus, yang selalu menyertai kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 14 Februari 2024)



[1]Evagrius Ponticus, Delapan Roh Jahat, 14.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 11 Februari 2024 : JANGKAULAH ORANG YANG SEDANG MENDERITA DENGAN PERBUATAN, BUKAN PERKATAAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil hari ini menyajikan kepada kita kesembuhan seorang penderita kusta (bdk. Mrk 1:40-45). Kepada orang sakit yang memohon kepada-Nya, Yesus menjawab, “Aku mau, jadilah tahir!” (ayat 41). Ia mengucapkan sebuah ungkapan yang sangat sederhana, yang segera Ia praktikkan. Memang benar, “seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu dan ia menjadi tahir” (ayat 42). Inilah gaya Yesus terhadap orang-orang yang menderita: sedikit kata-kata, dan perbuatan nyata.

 

Seringkali, dalam Injil, kita melihat Ia berperilaku seperti ini terhadap orang-orang yang menderita: orang bisu tuli (bdk. Mrk 7:31-37), orang lumpuh (bdk. Mrk 2:1-12), dan banyak orang lain yang membutuhkan kesembuhan (bdk. Mrk 5). Ia selalu melakukan hal ini: Ia sedikit berbicara dan perkataan-Nya segera diikuti dengan tindakan: Ia membungkuk, memegang tangan, dan menyembuhkan. Ia tidak membuang-buang waktu dengan berkhotbah atau menyelidiki, apalagi dengan berpura-pura alim atau mudah terbawa perasaan. Sebaliknya, Ia dengan sangat santun dmendengarkan orang-orang serta bertindak dengan penuh perhatian, malahan tanpa terlihat mencolok.

 

Sebuah cara mencintai yang luar biasa, dan betapa bermanfaatnya bagi kita untuk membayangkannya dan mencernanya! Marilah kita juga memikirkan ketika kita kebetulan menjumpai orang-orang yang bertindak seperti ini: bijaksana dalam perkataan, namun murah hati dalam tindakan; enggan pamer tetapi siap menjadikan dirinya berguna; efektif dalam membantu karena mereka mau mendengarkan. Sahabat yang dapat berkata, “Maukah kamu mendengarkanku? Maukah kamu membantuku?”, dengan keyakinan mendengarkan mereka menjawab, hampir seperti kata-kata Yesus: “Ya, aku akan melakukannya, aku berada di sini untukmu, untuk membantumu!”. Perwujudan ini jauh lebih penting di dunia seperti dunia kita ini, di mana virtualitas hubungan yang cepat berlalu tampaknya semakin berkembang.

 

Marilah kita mendengarkan bagaimana Sabda Allah menghasut kita: “Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata, "Selamat jalan, kenakanlah pakaian hangat dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apa gunanya itu? ” (Yak 2:15-16). Rasul Yakobus mengatakan hal ini. Cinta butuh keberwujudan, cinta butuh kehadiran, perjumpaan, cinta perlu diberi waktu dan ruang: cinta tidak bisa direduksi menjadi kata-kata indah, gambar di layar, swafoto sesaat, dan pesan terburu-buru. Semua itu adalah sarana yang berguna yang dapat membantu, tetapi tidak memadai untuk cinta; semua itu tidak dapat menggantikan kehadiran nyata.

 

Hari ini marilah kita bertanya pada diri kita : apakah aku tahu cara mendengarkan orang lain, apakah aku siap memenuhi permintaan mereka? Atau apakah aku membuat alasan, menunda-nunda, bersembunyi di balik kata-kata yang abstrak atau tidak berguna? Sebenarnya, kapan terakhir kali aku menjenguk seseorang yang sendirian atau sedang sakit – semua orang bisa menjawabnya dalam hati – atau kapan terakhir kali aku mengubah rencanaku untuk memenuhi kebutuhan seseorang yang meminta pertolongan kepadaku?

 

Semoga Maria, yang penuh perhatian dan peduli, membantu kita untuk siap dan nyata dalam cinta.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Hari ini, María Antonia de Paz y Figueroa dikanonisasi: seorang santa asal Argentina. Tepuk tangan untuk santa baru!

 

Hari ini, pada peringatan Santa Perawan dari Lourdes, kita merayakan Hari Orang Sakit Sedunia, yang tahun ini memberiperhatian pada pentingnya hubungan dalam keadaan sakit. Hal pertama yang kita butuhkan ketika kita sakit adalah kedekatan dengan orang-orang terkasih, para tenaga ahli kesehatan, dan, dalam hati kita, kedekatan dengan Allah. Kita semua dituntut untuk menjadi sesama bagi mereka yang menderita, mengunjungi orang sakit sebagaimana diajarkan Yesus dalam Bacaan Injil. Oleh karena itu, hari ini saya ingin mengungkapkan kedekatan saya, dan seluruh Gereja, kepada semua orang yang sakit dan lemah. Janganlah kita melupakan gaya Allah: kedekatan, kasih sayang dan kelembutan.

 

Namun pada Hari ini, saudara-saudari, kita tidak bisa tinggal diam terhadap kenyataan bahwa saat ini banyak orang yang tidak mendapatkan hak untuk dipedulikan, dan juga hak untuk hidup! Saya memikirkan mereka yang hidup dalam kemiskinan yang ekstrim; namun saya juga memikirkan mereka yang tinggal di wilayah perang: hak asasi manusia dilanggar di sana setiap hari! Ini tidak bisa ditoleransi. Marilah kita mendoakan Ukraina yang terkepung, Palestina dan Israel, marilah kita mendoakan Myanmar dan semua orang yang tersiksa oleh perang.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara. Secara khusus, saya menyapa umat Moral de Calatrava dan Burgos, Spanyol, umat dari Brasil dan Portugal; Paduan Suara Kaum Muda dan Orkestra Mostar; Sekolah Vila Pouca de Aguiar, Portugal.

 

Saya menyapa umat Enego dan Rogno, para sukarelawan dari Tempat Kudus SantaAnna Vinadio, Paduan Suara Eraclèa dan Lembaga Santo Paola Frassinetti di San Calogero. Saya menyapa kaum muda Lodi, Petosino dan Torri di Quartesòlo; penerima Sakramen Penguatan dari Malta, Lallio dan Almenno San Salvatore; mahasiswa Institut Salesian “Sant’Ambrogio” Milan dan Paduan Suara Anak Piovène Rocchette; serta grup “Radio Mater”, dalam rangka ulang tahun ketiga puluh mereka.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 11 Februari 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 7 Februari 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG KEBURUKAN DAN KEBAJIKAN (BAGIAN 7 : PERJUANGAN ROHANI) : KESEDIHAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam rangkaian katekese kita tentang keburukan dan kebajikan, hari ini kita akan melihat keburukan yang agak jelek, kesedihan, yang dipahami sebagai keputusasaan jiwa, penderitaan terus-menerus yang menghalangi manusia untuk merasakan kegembiraan atas keberadaannya.

 

Pertama dan terutama, harus dicatat bahwa, sehubungan dengan kesedihan, para Bapa membuat pembedaan penting: yaitu ini. Sesungguhnys, ada kesedihan yang pantas dalam kehidupan Kristiani, dan yang berkat rahmat Allah dapat diubah menjadi kegembiraan: tentu saja, hal ini tidak boleh ditolak dan merupakan bagian dari jalan pertobatan. Namun ada jenis kesedihan kedua yang menyusup ke dalam jiwa dan meruntuhkannya dalam keadaan putus asa: kesedihan jenis kedua inilah yang harus dilawan dengan tegas dan sekuat tenaga, karena berasal dari si jahat. Pembedaan ini juga ditemukan dalam tulisan Santo Paulus kepada jemaat di Korintus: “Kesedihan menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan tidak akan disesalkan, tetapi kesedihan yang dari dunia ini menghasilkan kematian” (2Kor. 7:10).

 

Oleh karena itu, ada kesedihan yang bersahabat, yang menuntun kita menuju keselamatan. Pikirkanlah anak yang hilang dalam perumpamaan: ketika dirinya mengalami kemerosotan terdalam, ia merasakan kepahitan yang luar biasa, dan hal ini mendorongnya untuk sadar dan memutuskan untuk pulang ke rumah bapanya (bdk. Luk 15:11-20 ). Meratapi dosa-dosa kita, mengingat keterpurukan kita dari keadaan rahmat, menangisi kehilangan kemurnian kita yang diidamkan Allah berkenaan diri kita merupakan rahmat.

 

Namun ada kesedihan kedua, yang justru merupakan penyakit jiwa. Kesedihan tersebut muncul dalam hati manusia ketika sebuah keinginan atau harapan sirna. Di sini kita bisa merujuk pada kisah dua murid Emaus, dalam Injil Lukas. Kedua murid itu meninggalkan Yerusalem dengan hati kecewa, dan mereka bercerita isi hati mereka kepada orang asing yang berjalan bersama mereka: “Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel” (Luk 24:21). Dinamika kesedihan terkait pengalaman kehilangan, pengalaman kehilangan. Dalam hati manusia, muncul harapan-harapan yang terkadang sirna. Bisa berupa keinginan untuk memiliki sesuatu yang tidak dapat kita peroleh; tetapi bisa juga merupakan sesuatu yang penting, seperti kehilangan perasaan. Ketika hal ini terjadi, hati manusia seolah-olah jatuh dari tebing curam, dan perasaan yang ia rasakan adalah keputusasaan, pelemahan semangat, depresi, dan kesedihan. Kita semua mengalami pencobaan yang menimbulkan kesedihan dalam diri kita, karena hidup membuat kita membayangkan mimpi-mimpi yang kemudian hancur. Dalam situasi ini, beberapa orang, setelah masa-masa penuh gejolak, hanya mengandalkan harapan; namun ada juga yang berkubang dalam kesedihan, membiarkannya membusuk dalam hati mereka. Apakah kita menikmati hal ini? Lihatlah: kesedihan bagaikan kesenangan dari ketidaksenangan; kesedihan bagaikan mengambil permen pahit, pahit, pahit, tanpa gula, tidak menyenangkan, dan menghisap permen itu. Kesedihan adalah menikmati hal yang tidak menyenangkan.

 

Rahib Evagrius menceritakan bahwa semua sifat buruk bertujuan untuk mendapatkan kesenangan, betapapun fananya, sementara kesedihan menikmati kebalikannya: meninabobokan diri kita ke dalam kesedihan yang tak ada habisnya. Kesedihan tertentu yang berlarut-larut, di mana seseorang terus memperluas kehampaan orang yang sudah tiada, tidak pantas untuk hidup dalam Roh. Kepahitan tertentu, di mana seseorang selalu memiliki tuntutan di benaknya yang membuatnya menyamar sebagai korban, tidak menghasilkan kehidupan yang sehat dalam diri kita, apalagi kehidupan kristiani. Ada sesuatu di masa lalu setiap orang yang perlu disembuhkan. Kesedihan, yang awalnya merupakan perasaan alami, dapat berubah menjadi kondisi pikiran yang jahat.

 

Kesedihan adalah iblis yang licik. Para bapa padang gurun menggambarkannya ibarat cacing hati, yang mengikis dan melubangi inangnya. Ini adalah gambaran yang bagus: membuat kita mengerti. Seekor cacing di dalam hati yang memakan dan melubangi inangnya. Kita harus waspada terhadap kesedihan ini, dan berpikir bahwa Yesus memberi kita sukacita kebangkitan. Tetapi apa yang harus kuperbuat saat aku sedih? Berhenti dan lihatlah: apakah ini kesedihan yang baik? Apakah ini kesedihan yang tidak begitu baik? Dan tanggapilah sesuai dengan sifat kesedihannya. Janganlah lupa bahwa kesedihan bisa menjadi hal yang sangat buruk yang membawa kita kepada pesimisme, yang membawa kita kepada keegoisan yang sulit disembuhkan.

 

Saudara-saudari, kita harus waspada terhadap kesedihan ini dan berpikir bahwa Yesus memberi kita sukacita kebangkitan. Betapapun kehidupan mungkin penuh dengan kontradiksi, kehidupan yang dikalahkan berbagai keinginan, kehidupan yang mungkin dipenuhi mimpi yang tidak terwujud, kehidupan yang mungkin dipenuhi persahabatan yang hilang, berkat kebangkitan Yesus kita dapat percaya bahwa semua orang akan diselamatkan. Yesus bangkit kembali bukan hanya untuk diri-Nya, tetapi juga untuk kita, untuk menebus semua kebahagiaan yang belum terpenuhi dalam hidup kita. Iman menyingkirkan rasa takut, dan kebangkitan Kristus menyingkirkan kesedihan seperti batu dari kubur. Setiap hari umat Kristiani adalah latihan dalam kebangkitan. Georges Bernanos, dalam novelnya yang terkenal Buku Harian Seorang Imam Pedesaan, meminta Pastor Paroki Torcy mengatakan hal ini: “Gereja memiliki sukacita, seluruh sukacita yang disediakan untuk dunia yang menyedihkan ini. Apa yang telah kamu lakukan terhadapnya, kamu telah berlaku menentangnya”. Dan penulis Prancis lainnya, León Bloy, meninggalkan ungkapan indah kepada kita: “Hanya ada satu kesedihan, [...] yaitu tidak menjadi kudus”. Semoga Roh Yesus yang bangkit membantu kita mengatasi kesedihan dengan kekudusan.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Denmark, Malta dan Amerika Serikat. Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese kita tentang kebajikan dan keburukan, sekarang kita memusatkan perhatian kita pada kesedihan rohani. Santo Paulus berbicara tentang “kesedihan menurut kehendak Allah” dan “kesedihan duniawi” (2Kor. 7:10). Keswedihan pertama mendorong pertobatan, memampukan kita untuk berpegang teguh pada harapan dan, oleh karena itu, menuntun kepada sukacita. Kesedihan kedua berasal dari sirnanya harapan dan kekecewaan, mengikis jiwa dengan keputusasaan dan kesedihan. Tidak seperti kebanyakan sifat buruk yang mencari kesenangan sesaat, kesedihan memanjakan diri dengan berkubang dalam kesedihan, sehingga menghambat pertumbuhan rohani. Sebagai penawar keputusasaan semacam ini, para bapa padang gurun menganjurkan untuk menerima kebangkitan Kristus; karena Yesus yang bangkit menebus seluruh kebahagiaan yang belum terpenuhi dalam hidup kita. Semoga iman menyingkirkan rasa takut dan kebangkitan Kristus menyingkirkan kesedihan seperti batu di depan kubur-Nya.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 7 Februari 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 4 Februari 2024 : TIGA SIKAP ALLAH

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

Bacaan Injil liturgi hari ini menunjukkan kepada kita Yesus sedang bepergian: sungguh, Ia baru saja selesai berkhotbah dan, sekeluarnya dari rumah ibadat, Ia pergi ke rumah Simon Petrus, di sana Ia menyembuhkan ibu mertua Simon; kemudian, menjelang malam, Ia pergi keluar lagi menuju gerbang kota, di sana Ia bertemu banyak orang sakit dan kerasukan setan serta menyembuhkan mereka; keesokan paginya, Ia bangun pagi-pagi benar dan pergi keluar untuk berdoa; dan akhirnya, Ia berangkat lagi melintasi Galilea (bdk. Mrk 1:29-39). Yesus sedang bepergian.

 

Marilah kita melihat gerakan Yesus yang terus-menerus ini, yang memberitahu kita sesuatu yang penting tentang Allah dan, pada saat yang sama, menantang kita dengan beberapa pertanyaan mengenai iman kita.

 

Yesus menghampiri umat manusia yang terluka dan menunjukkan kepada kita wajah Bapa. Bisa jadi di dalam diri kita masih ada gagasan tentang Allah yang jauh dan dingin, yang acuh tak acuh terhadap nasib kita. Sebaliknya, Injil memperlihatkan kepada kita bahwa Yesus, setelah mengajar di rumah ibadat, pergi keluar, agar Sabda yang Ia khotbahkan dapat menjangkau, menyentuh, dan menyembuhkan orang-orang. Dengan melakukan hal ini, Ia menyatakan kepada kita bahwa Allah bukan majikan yang terasing dan berbicara kepada kita dari tempat tinggi; sebaliknya, Ia adalah Bapa yang penuh kasih yang menjadikan diri-Nya dekat dengan kita, yang mengunjungi rumah kita, yang ingin menyelamatkan dan membebaskan, menyembuhkan dari setiap penyakit tubuh dan jiwa. Allah selalu dekat dengan kita. Sikap Allah dapat diungkapkan dalam tiga kata: kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan. Allah mendekatkan diri-Nya untuk mendampingi kita, dengan lemah lembut, dan mengampuni kita. Jangan lupakan hal ini: kedekatan, kasih sayang dan kelembutan. Inilah sikap Allah.

 

Perjalanan Yesus yang tak henti-hentinya menantang kita. Kita mungkin bertanya pada diri kita: sudahkah kita menemukan wajah Allah sebagai Bapa yang penuh belas kasihan, atau apakah kita percaya dan mewartakan Allah yang dingin, Allah yang jauh? Apakah iman menggelisahkan perjalanan kita atau malah menjadi penghibur paling intim yang membuat kita tenang? Apakah kita berdoa hanya untuk merasa damai, atau apakah Sabda yang kita dengarkan dan wartakan membuat kita, seperti Yesus, pergi keluar kepada orang lain, untuk menyebarkan penghiburan Allah? Ada baiknya kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini pada diri kita.

 

Marilah kita melihat perjalanan Yesus dan mengingatkan diri kita bahwa tugas rohani kita yang pertama adalah meninggalkan Allah yang kita pikir kita kenali, dan setiap hari berbalik kepada Allah yang dihadirkan Yesus kepada kita dalam Bacaan Injil, yang adalah Bapa cinta dan Bapa kasih sayang. Bapa yang dekat, penuh kasih sayang dan lembut. Dan ketika kita menemukan wajah Bapa yang sebenarnya, iman kita menjadi matang: kita tidak lagi menjadi “umat kristiani sakristi”, atau “umat kristiani di ruang tamu”, namun kita merasa terpanggil untuk menjadi pembawa pengharapan dan penyembuhan Allah.

 

Semoga Santa Maria, perempuan yang sedang bepergian, membantu kita untuk menyatakan diri kita sebagai saksi Tuhan yang dekat, penuh kasih sayang dan lembut.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Tanggal 10 Februari mendatang, di Asia Timur dan berbagai belahan dunia, jutaan keluarga akan merayakan Tahun Baru Imlek. Dengan hangat saya menyapa mereka, dengan harapan agar pesta ini dapat menjadi kesempatan untuk merasakan hubungan kasih sayang dan kepedulian, yang berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang bersetia kawan dan bersaudara, di mana setiap orang diakui dan diterima dalam martabatnya yang tidak dapat diganggu gugat. Seraya saya memohonkan berkat Tuhan bagi semua orang, saya mengajakmu untuk berdoa demi perdamaian, yang sangat dirindukan dunia dan, saat ini, lebih dari sebelumnya, terancam di banyak tempat. Ini bukan tanggung jawab segelintir orang, tetapi tanggung jawab seluruh umat manusia: marilah kita semua bekerja sama untuk membangunnya dengan sikap belas kasih dan keberanian!

 

Dan marilah kita terus mendoakan rakyat yang menderita akibat perang, khususnya di Ukraina, Palestina, dan Israel.

 

Hari ini, di Italia, kita merayakan Hari Kehidupan, dengan tema “Kekuatan kehidupan mengejutkan kita”. Saya bergabung dengan para uskup Italia dalam harapan agar visi ideologis dapat diatasi sehingga dapat menemukan kembali bahwa setiap kehidupan manusia, bahkan kehidupan yang paling ditandai oleh keterbatasan, memiliki nilai yang sangat besar dan mampu memberikan sesuatu kepada orang lain.

 

Saya menyapa kaum muda di banyak negara yang datang untuk memperingati Hari Doa dan Refleksi Menentang Perdagangan Manusia Sedunia, yang akan dirayakan pada tanggal 8 Februari, untuk memperingati Santa Josephine Bakhita, biarawati asal Sudan yang diperbudak saat masih kecil. Saat ini juga, banyak saudara-saudari yang tertipu dengan janji-janji palsu dan kemudian dieksploitasi dan dianiaya. Marilah kita semua bergabung untuk melawan fenomena global perdagangan manusia yang dramatis.

 

Marilah kita juga mendoakan mereka yang tewas dan terluka dalam kebakaran dahsyat yang terjadi di pusat kota Cili.

 

Dan saya menyapa kamu semua yang datang ke Roma, dari Italia dan pelbagai belahan dunia lainnya. Secara khusus saya menyapa para pelaku hidup bakti yang berasal dari lebih enam puluh negara yang ambil bagian dalam pertemuan “Peziarah Harapan di Jalan Menuju Perdamaian”, yang diselenggarakan oleh Dikasteri Institut Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan. Saya menyapa para siswa dari Badajoz, Spanyol, dan siswa dari Sekolah Salesian “Sévigné” di Marseille, serta umat Polandia dari Warsawa dan kota-kota lain; dan kelompok dari San Benedetto del Tronto, Ostra dan Cingoli. Dan saya bisa melihat bendera Jepang di sana! Saya menyapa rakyat Jepang. Dan saya dapat melihat bendera Polandia: Saya menyapa warga Polandia dan kamu semua, serta kaum muda Immacolata juga.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kamu semua. Tolong, jangan lupa mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 4 Februari 2024)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK MASA PRAPASKAH 2024


 PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK MASA PRAPASKAH 2024

 

Melalui Padang Gurun Allah Menuntun Kita Menuju Kebebasan

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Ketika Allah kita menyatakan diri-Nya, pesan-Nya senantiasa berupa kebebasan: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel. 20:2). Inilah kata-kata pertama Sepuluh Perintah Allah yang diberikan kepada Musa di Gunung Sinai. Orang-orang yang mendengarkan kata-kata tersebut cukup akrab dengan keluaran yang dibicarakan Allah: pengalaman perbudakan masih sangat membebani mereka. Di padang gurun, mereka menerima “Dasa Firman” sebagai jalan menuju kebebasan. Kita menyebutnya “perintah”, untuk menekankan kekuatan kasih yang digunakan Allah dalam membentuk umat-Nya. Panggilan menuju kebebasan merupakan sebuah tuntutan. Panggilan tersebut tidak memerlukan jawaban langsung; panggilan tersebut harus dimatangkan sebagai bagian sebuah perjalanan. Sama seperti Israel di padang gurun yang masih bergantung pada Mesir – sering kali merindukan masa lalu dan bersungut-sungut terhadap Tuhan dan Musa – dewasa ini juga, umat Allah dapat bergantung pada perbudakan yang menindas yang seharusnya mereka tinggalkan. Kita menyadari alangkah benarnya hal ini saat kita merasa putus asa, mengembara dalam kehidupan seperti padang gurun dan tidak memiliki tanah perjanjian sebagai tujuan kita. Masa Prapaskah adalah masa rahmat di mana padang gurun sekali lagi dapat menjadi – dalam kata-kata Nabi Hosea – tempat cinta perdana kita (bdk. Hos 2:16-17). Allah membentuk umat-Nya, Ia memampukan kita meninggalkan perbudakan dan mengalami Paskah dengan beralih dari kematian menuju kehidupan. Seumpama mempelai laki-laki, Tuhan sekali lagi menarik kita kepada-Nya, membisikkan kata-kata cinta ke dalam hati kita.

 

Keluaran dari perbudakan menuju kebebasan bukan sebuah perjalanan abstrak. Jika perayaan Prapaskah kita ingin menjadi nyata, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah membuka mata kita terhadap kenyataan. Ketika Tuhan memanggil Musa dari dalam nyala api yang keluar dari semak duri, Ia segera menunjukkan bahwa Ia adalah Tuhan yang melihat dan, terutama, mendengar: “Sungguh Aku telah memperhatikan kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir. Aku telah mendengar teriakan mereka yang disebabkan oleh pengawas kerja paksa mereka. Sesungguhnya Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu, Aku turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya” (Kel 3:7-8). Dewasa ini pun, teriakan banyak saudara-saudari kita yang tertindas terdengar sampai ke surga. Marilah kita bertanya pada diri kita: Apakah kita mendengar teriakan itu? Apakah teriakan itu menyusahkan kita? Apakah teriakan itu menggerakkan kita? Terlalu banyak hal yang memisahkan kita satu sama lain, mengingkari persaudaraan yang, sejak awal, mengikat kita satu sama lain.

 

Selama kunjungan saya ke Lampedusa, sebagai cara untuk melawan globalisasi ketidakpedulian, saya mengajukan dua pertanyaan, yang kini semakin mendesak: “Di manakah engkau?” (Kej 3:9) dan “Di manakah saudaramu?” (Kej 4:9). Perjalanan Masa Prapaskah kita akan menjadi nyata jika, dengan mendengarkan sekali lagi kedua pertanyaan tersebut, kita menyadari bahwa bahkan hingga saat ini kita masih berada di bawah kekuasaan Firaun. Sebuah peraturan yang membuat kita letih dan acuh tak acuh. Sebuah model pertumbuhan yang memecah belah dan merampas masa depan kita. Bumi, udara dan air tercemar, begitu pula jiwa kita. Benar adanya, Pembaptisan telah memulai proses pembebasan kita, namun dalam diri kita masih ada kerinduan akan perbudakan yang tak dapat dijelaskan. Semacam ketertarikan terhadap jaminan hal-hal yang akrab dengan kita, hingga merugikan kebebasan kita.

 

Dalam kisah Keluaran, ada rincian penting: Allah memperhatikan, tergerak, dan memberikan kebebasan; Israel tidak meminta hal ini. Firaun meredam mimpi, menghalangi pandangan ke surga, membuat dunia ini tampak, yang di dalamnya martabat manusia diinjak-injak dan ikatan otentik diingkari, tidak akan pernah berubah. Ia mengikat segalanya kepada diri-Nya. Marilah kita bertanya: Apakah aku menginginkan dunia baru? Apakah aku siap meninggalkan kompromiku dengan yang lama? Kesaksian banyak uskup saudara saya serta sejumlah besar orang-orang yang bekerja untuk perdamaian dan keadilan semakin meyakinkan saya bahwa kita perlu memerangi ketiadaan harapan yang menghambat mimpi dan teriakan bisu yang mencapai surga dan menggerakkan hati Allah. “Defisit harapan” ini mirip dengan nostalgia akan perbudakan yang melumpuhkan Israel di padang gurun dan menghambat kemajuan mereka. Keluaran dapat disela: bagaimana lagi kita dapat menjelaskan fakta bahwa umat manusia telah sampai pada ambang persaudaraan universal serta tingkat perkembangan ilmu pengetahuan, teknis, budaya, dan yuridis yang mampu menjamin martabat semua orang, namun tetap meraba-raba dalam kegelapan kesenjangan dan pertikaian.

 

Allah tidak lelah dengan kita. Marilah kita sambut Masa Prapaskah sebagai masa agung yang di dalamnya Ia mengingatkan kita: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel. 20:2). Masa Prapaskah adalah masa pertobatan, masa kebebasan. Yesus sendiri, sebagaimana kita ingat setiap tahun pada Hari Minggu Prapaskah I, dibawa ke padang gurun oleh Roh untuk dicobai dalam kebebasan. Selama empat puluh hari, Ia akan berdiri di hadapan kita dan bersama kita: Sang Putra yang menjelma. Berbeda dengan Firaun, Allah tidak menginginkan budak, melainkan putra dan putri. Padang gurun adalah tempat di mana kebebasan kita bisa matang dalam keputusan pribadi untuk tidak kembali menjadi budak. Dalam Masa Prapaskah, kita menemukan kriteria baru mengenai keadilan dan komunitas yang dengannya kita dapat terus maju dalam jalan yang belum ditempuh.

 

Namun hal ini memerlukan perjuangan, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Keluaran dan pencobaan Yesus di padang gurun. Suara Allah yang berkata, “Engkaulah Putra-Ku yang terkasih” (Mrk 1:11), dan “Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku” (Kel 20:3) ditentang oleh musuh dan kebohongannya. Berhala-berhala yang kita dirikan lebih menakutkan dibanding Firaun; kita dapat menganggapnya sebagai suara Allah yang berbicara di dalam diri kita. Menjadi mahakuasa, dihormati oleh semua orang, menguasai orang lain: setiap manusia menyadari alangkah kebohongan itu sangat menggoda. Jalan tersebut sering kita lalui. Kita bisa terikat pada uang, pada rancangan, gagasan atau tujuan tertentu, pada kedudukan kita, pada tradisi, bahkan pada individu tertentu. Bukannya membuat kita bergerak maju, semua itu justru melumpuhkan kita. Alih-alih perjumpaan, semua itu justru menciptakan pertikaian. Namun ada juga kemanusiaan baru, umat yang terdiri dari orang-orang kecil dan rendah hati yang tidak menyerah pada daya tarik kebohongan. Sementara orang-orang yang menyembah berhala menjadi seperti orang bisu, buta, tuli dan tidak bisa bergerak (bdk. Mzm 114:4), orang-orang yang miskin di hadapan Allah terbuka dan siap sedia: kekuatan bisu kebaikan menyembuhkan dan menopang dunia.

 

Saatnya untuk berbuat, dan dalam Masa Prapaskah, berbuat juga berarti berhenti sejenak. Berhenti sejenak dalam doa, untuk menerima sabda Allah, berhenti sejenak seperti orang Samaria di hadapan saudara-saudari yang terluka. Cinta kepada Allah dan cinta terhadap sesama adalah satu cinta. Tidak memiliki allah lain berarti berhenti sejenak di hadirat Allah di samping tubuh sesama kita. Oleh karena alasan tersebut, doa, derma, dan puasa bukan tiga perbuatan yang tidak saling berhubungan, melainkan satu gerakan keterbukaan dan pengosongan diri, yang di dalamnya kita menyingkirkan berhala-berhala yang memberatkan kita, keterikatan yang memenjarakan kita. Kemudian hati yang berhenti berkembang dan terasing akan hidup kembali. Demikianlah, perlahan-lahan, dan berhenti sejenak! Dimensi kehidupan kontemplatif yang membantu kita menemukan kembali Masa Prapaskah akan melepaskan energi baru. Di hadirat Allah, kita menjadi saudara-saudari, semakin peka satu sama lain: alih-alih ancaman dan musuh, kita menemukan sahabat dan sesama pengembara. Inilah impian Allah, tanah perjanjian yang akan kita tuju setelah kita meninggalkan perbudakan.

 

Bentuk sinodal Gereja, yang pada tahun-tahun ini kita temukan kembali dan kembangkan, menunjukkan Masa Prapaskah juga merupakan masa pengambilan keputusan komunitas, keputusan, baik kecil maupun besar, yang menentang arus. Keputusan yang mampu mengubah kehidupan sehari-hari individu dan sesama, seperti cara kita memperoleh barang, merawat ciptaan, dan berusaha untuk menyertakan mereka yang tidak terlihat atau dipandang rendah. Saya mengajak setiap komunitas Kristiani untuk melakukan hal ini: memberikan waktu bagi para anggotanya untuk memikirkan kembali gaya hidup mereka, waktu untuk mengkaji keberadaan mereka dalam masyarakat dan kontribusi yang mereka berikan terhadap kemajuan masyarakat. Celakalah kita jika penebusan dosa Kristiani kita menyerupai jenis penebusan dosa yang membuat Yesus kecewa. Kepada kita juga, Ia bersabda: “Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa” (Mat 6:16). Sebaliknya, biarkan orang lain melihat wajah penuh sukacita, mencium aroma kebebasan dan merasakan cinta yang membuat segala sesuatu menjadi baru, dimulai dari yang terkecil dan terdekat dengan kita. Hal ini dapat terjadi di setiap komunitas Kristiani kita.

 

Perkenankan saya mengulangi apa yang saya katakan kepada kaum muda yang saya temui di Lisbon musim panas lalu: “Teruslah mencari dan bersiap mengambil risiko. Saat ini, kita menghadapi risiko yang sangat besar; kita mendengar permohonan penuh penderitaan dari begitu banyak orang. Memang benar, kita sedang mengalami perang dunia ketiga yang terjadi sedikit demi sedikit. Namun marilah kita menemukan keberanian untuk melihat dunia kita, bukan sebagai dunia yang sedang berada di ambang kematiannya, melainkan sedang dalam proses melahirkan, bukan pada akhir tetapi pada awal babak baru yang besar dalam sejarah. Kita perlu keberanian untuk berpikir seperti ini” (Wejangan kepada Mahasiswa, 3 Agustus 2023). Keberanian untuk bertobat semacam itu lahir dari perbudakan. Demi iman dan cinta, raihlah harapan, sang kanak mungil ini. Mereka mengajari-Nya berjalan, dan pada saat yang sama, Ia menuntun mereka maju.[1]


Sejauh Masa Prapaskah ini menjadi masa pertobatan, umat manusia yang cemas akan melihat ledakan kreativitas, secercah harapan baru. Perkenankan saya mengulangi apa yang saya katakan kepada kaum muda yang saya temui di Lisbon musim panas lalu: “Teruslah mencari dan bersiap mengambil risiko. Dewasa ini kita menghadapi risiko yang sangat besar; kita mendengar permohonan penuh penderitaan dari begitu banyak orang. Memang benar, kita sedang mengalami perang dunia ketiga yang terjadi sedikit demi sedikit. Namun marilah kita menemukan keberanian untuk melihat dunia kita, bukan sebagai dunia yang sedang berada di ambang kematiannya, melainkan sedang dalam proses melahirkan, bukan pada akhir tetapi pada awal babak baru yang besar dalam sejarah. Kita perlu keberanian untuk berpikir seperti ini” (Wejangan kepada Mahasiswa, 3 Agustus 2023). Demikianlah keberanian untuk bertobat, yang lahir dari perbudakan. Demi iman dan amal kasih, genggamlah harapan, sang kanak mungil ini. Mereka mengajarinya berjalan, dan pada saat yang sama, ia menuntun mereka maju.[1]

 

Saya memberkati kamu semua dan perjalanan Prapaskahmu.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 3 Desember 2023, Hari Minggu Adven I.

 

FRANSISKUS



[1]Bdk. CH. PÉGUY, Serambi Misteri Kebajikan II.