Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 26 April 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 12) - SAKSI-SAKSI : MEMBIARA DAN KEKUATAN PENGANTARAAN. GREGORIUS DARI NAREK

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Marilah kita lanjutkan katekese kita tentang saksi-saksi semangat kerasulan. Kita mengawali dengan Santo Paulus, dan terakhir kali kita melihat para martir, yang mewartakan Yesus dengan hidup mereka, hingga memberikan nyawa mereka untuk Dia dan Injil. Tetapi ada kesaksian besar lainnya yang berjalan sepanjang sejarah iman : kesaksian para biarawan dan biarawati, saudara-saudari yang meninggalkan diri mereka dan dunia untuk meneladanu Yesus di jalan kemiskinan, kekudusan, dan ketaatan, serta menjadi pengantara. atas nama semua orang. Kehidupan mereka dengan sendirinya berbicara, tetapi kita mungkin bertanya : bagaimana orang yang tinggal di biara dapat membantu pewartaan Injil? Bukankah mereka akan lebih baik mengerahkan energi ke dalam perutusan? Keluar dari biara dan memberitakan Injil, di luar … di luar biara? Pada kenyataannya, para biarawan dan biarawati adalah jantung pewartaan. Ini aneh : mereka adalah jantung yang berdetak. Doa mereka adalah oksigen bagi seluruh anggota Tubuh Kristus, doa mereka adalah kekuatan tak terlihat yang menopang perutusan. Bukan kebetulan bahwa pelindung perutusan adalah seorang biarawati, Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Marilah kita dengarkan bagaimana ia menemukan panggilannya – ia menulis : “Aku mengerti bahwa Gereja memiliki Jantung dan Jantung ini membara dengan cinta. Aku mengerti hanya Cinta yang membuat anggota Gereja bertindak, bahwa jika Cinta sirna, para rasul tidak akan memberitakan Injil dan para martir tidak akan menumpahkan darah mereka. Aku mengerti bahwa cinta terdiri dari semua panggilan. … Kemudian, dalam sukacitaku yang meluap, aku berseru : Ya Yesus, Cintaku .... panggilanku, akhirnya aku menemukannya .... panggilanku adalah cinta! … Di jantung Gereja, Bundaku, Aku akan menjadi Cinta” (Naskah Otobiografi “B”, 8 September 1896). Kontemplatif, biarawan, biarawati : orang-orang yang berdoa, bekerja, berdoa, dalam keheningan, untuk seluruh Gereja. Dan inilah cinta : inilah cinta yang diungkapkan dengan berdoa untuk Gereja, bekerja untuk Gereja, dalam biara-biara.


Cinta untuk semua orang ini mengilhami kehidupan para biarawan dan biarawati, serta diterjemahkan ke dalam doa pengantaraan mereka. Dalam hal ini, saya ingin menawarkan kepadamu teladan Santo Gregorius dari Narek, Pujangga Gereja. Ia adalah seorang biarawan Armenia, yang hidup sekitar tahun 1000, yang mewariskan buku doa, di mana iman bangsa Armenia, yang pertama memeluk agama Kristen, dicurahkan; sebuah bangsa yang, bergabung dengan salib Kristus, telah begitu banyak menderita sepanjang sejarah. Dan Santo Gregorius menghabiskan hampir seluruh hidupnya di biara Narek. Di sana ia belajar untuk mengintip ke kedalaman jiwa manusia dan, dengan menggabungkan puisi dan doa bersama, menandai puncak sastra dan spiritualitas Armenia. Yang paling mencolok tentang dia adalah kesetiakawanan semesta yang ia tafsirkan. Dan di antara para biarawan dan biarawati ada kesetiakawanan semesta : apapun yang terjadi di dunia, mendapat tempat di hati, di hati mereka, dan mereka berdoa, dan mereka berdoa. Hati para biarawan dan biarawati adalah hati yang menangkap seperti antena, menangkap apa yang terjadi di dunia, dan berdoa serta menjadi perantara untuk hal ini. Dan dengan cara ini : mereka hidup dalam persatuan dengan Tuhan dan dengan semua orang. Dan salah seorang dari mereka berkata : "Aku telah dengan sukarela menanggung semua kesalahan, dari bapa pertama hingga keturunannya yang terakhir, dan aku telah menganggap diriku bertanggung jawab atas kesalahan tersebut". Itulah yang dilakukan Yesus : mereka mengambil ke atas diri mereka masalah dunia, kesulitan, penyakit, banyak hal, dan mereka mendoakan hal itu. Dan inilah para penginjil besar. Biara adalah… tetapi bagaimana mereka bisa hidup tertutup, dan menginjili? Memang benar… karena dengan kata, misalnya dengan doa pengantaraan dan kerja sehari-hari, mereka menjadi jembatan pengantaraan bagi semua orang dan segala dosa. Mereka menangis, bahkan meneteskan air mata, mereka menangisi dosa-dosa mereka – lagipula, kita semua adalah para pendosa – dan mereka juga menangisi dosa-dosa dunia, serta mereka berdoa dan menjadi pengantara dengan mengangkat tangan dan hati mereka. Marilah kita renungkan sedikit tentang hal ini – jika saya memperkenankan diri saya menggunakan kata – “cadangan” yang kita miliki di dalam Gereja : mereka adalah kekuatan sejati, gaya sejati yang membawa Umat Allah maju, dan di sinilah tempatnya asalnya kebiasaan orang-orang itu – Umat Allah – yang mengatakan “Doakanlah aku, doakanlah aku”, ketika mereka bertemu dengan seorang biarawan dan biarawati, karena mereka tahu ada doa pengantaraan. Akan bermanfaat bagi kita – semampu kita – untuk mengunjungi sebuah biara, karena di sana biara berdoa dan bekerja. Masing-masing biara memiliki aturan sendiri, tetapi tangan mereka selalu sibuk : sibuk bekerja, sibuk berdoa. Semoga Tuhan memberi kita biara-biara baru, semoga Ia memberi kita biarawan dan biarawati baru untuk memajukan Gereja dengan pengantaraan mereka. Terima kasih.


[Sapaan Khusus]

 

Saya menyampaikan sapaan hangat kepada para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Inggris, Denmark, Malta, Kenya, Kuwait, Australia, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Amerika Serikat. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan atasmu dan keluargamu kerahiman Allah Bapa kita yang penuh kasih. Semoga Tuhan memberkati kamu semua!


[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]


Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang semangat kerasulan, kita sekarang beralih ke teladan para kudus dari setiap zaman, dimulai dari orang-orang yang menjalani kehidupan membiara. Kesaksian mereka mengikuti Kristus dalam kemiskinan, kekudusan dan ketaatan digabungkan dengan doa pengantaraan yang tiada henti untuk penyebaran Injil dan pertumbuhan Gereja. Hari ini kita menelaah Santo Gregorius dari Narek, seorang biarawan Armenia abad pertengahan dan pujangga Gereja, yang tulisannya mewujudkan tradisi Kristiani yang mendalam bangsa Armenia, yang pertama memeluk Injil. Di dalam biaranya yang tersembunyi, Gregorius merasakan kesetiakawanan yang mendalam dengan seluruh Gereja dan perutusannya untuk mewartakan Kabar Baik Yesus Kristus kepada semua bangsa dan negara. Diidentifikasi dengan umat manusia yang berdosa, ia mengabdikan seluruh keberadaannya untuk menjadi perantara bagi para pendosa, kaum miskin serta orang-orang yang membutuhkan penyembuhan dan pengampunan Tuhan. Teladan Santo Gregorius dari Narek mengingatkan kita akan tanggung jawab kita untuk bekerja sama, dengan doa pengantaraan kita, dalam perutusan Gereja mewartakan pesan Injil tentang rekonsiliasi, penebusan dan perdamaian bagi segenap keluarga manusia.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 April 2023)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI MINGGU PANGGILAN SEDUNIA KE-60 30 April 2023

Panggilan : Rahmat dan Perutusan

 

Saudara-saudari yang terkasih, kaum muda yang terkasih!

 

Sekarang ini kita sedang merayakan Hari Panggilan Sedunia Ke-60, yang digagas Santo Paulus VI pada tahun 1964 selama Konsili Ekumenis Vatikan II. Prakarsa ilahi ini berusaha untuk membantu anggota Umat Allah, baik sebagai individu maupun komunitas, untuk menanggapi panggilan dan perutusan yang dipercayakan Tuhan kepada kita masing-masing di dunia dewasa ini, di tengah kesulitan dan harapannya, tantangan dan pencapaiannya.

Tahun ini saya akan memintamu, dalam refleksi dan doamu, untuk mengambil tema “Panggilan : Rahmat dan Perutusan” sebagai panduanmu. Hari ini adalah kesempatan berharga untuk mengingat kembali dengan takjub bahwa panggilan Tuhan adalah rahmat, karunia yang lengkap, dan pada saat yang sama berketetapan hati untuk membawa Injil kepada sesamamu. Kita dipanggil untuk memiliki iman yang memberi kesaksian, iman yang berkaitan erat dengan kehidupan rahmat, sebagaimana kita alami dalam sakramen-sakramen dan persekutuan gerejawi, dengan karya kerasulan kita di dunia. Dibimbing oleh Roh Kudus, umat Kristiani ditantang untuk menanggapi pinggiran keberadaan dan drama manusiawi, senantiasa menyadari perutusan adalah karya Allah; perutusan tidak dilakukan oleh diri kita semata, tetapi senantiasa dalam persekutuan gerejawi, bersama dengan saudara-saudari kita, dan di bawah bimbingan para gembala Gereja. Karena inilah yang senantiasa menjadi dambaan Allah : kita hendaknya hidup bersama Dia dalam persekutuan kasih.

 

“Dipilih sebelum penciptaan dunia”

 

Rasul Paulus membuka sebuah cakrawala yang luar biasa di hadapan kita : di dalam Kristus, Allah Bapa “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula melalui Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef 1:4-5). Kata-kata ini memungkinkan kita untuk melihat kehidupan sepenuhnya : Allah telah "mengandung" kita menurut gambar dan rupa-Nya serta menghendaki kita menjadi putra dan putri-Nya. Kita diciptakan melalui kasih, demi kasih dan dengan kasih, serta kita diciptakan demi kasih.

 

Dalam perjalanan kehidupan kita, panggilan ini, yang merupakan bagian jalinan keberadaan dan rahasia kebahagiaan kita, datang kepada kita melalui karya Roh Kudus dengan cara yang senantiasa baru. Karya Roh Kudus menerangi pikiran kita, memperkuat keinginan kita, membuat kita takjub dan menjadikan hati kita berkobar-kobar. Terkadang, Roh Kudus datang kepada kita dengan cara yang sama sekali tidak terduga. Demikian pula dengan saya, pada tanggal 21 September 1953, ketika sedang dalam perjalanan menuju perayaan tahunan sekolah, saya dituntun untuk mampir ke sebuah gereja dan mengaku dosa. Hari itu mengubah hidup saya dan meninggalkan bekas yang bertahan hingga hari ini. Panggilan Allah untuk pemberian diri cenderung diketahui secara bertahap : dalam perjumpaan kita dengan berbagai situasi kemiskinan, pada saat-saat doa, ketika kita melihat sebuah kesaksian yang jelas tentang Injil, atau membaca sesuatu yang membuka pikiran kita. Ketika kita mendengar sabda Allah dan merasakannya diucapkan langsung kepada kita, dalam nasihat yang diberikan oleh saudara-saudari seiman kita, di saat sakit atau sedih… Dalam segenap cara Ia memanggil kita, Allah menunjukkan daya cipta yang tak terbatas.

Prakarsa Tuhan dan karunia-Nya yang murah hati menuntut tanggapan kita. Panggilan adalah “interaksi antara pilihan ilahi dan kebebasan manusiawi”[1], hubungan yang dinamis dan menggairahkan antara Allah dan hati manusia. Karunia panggilan laksana benih ilahi yang tumbuh di tanah keberadaan kita, membuka hati kita terhadap Allah dan sesama kita, sehingga kita dapat membagikan kepada mereka harta yang telah kita temukan. Ini adalah tatanan dasar dari apa yang kita maksudkan panggilan : Allah memanggil kita dalam kasih dan kita, dengan rasa syukur, menanggapinya dengan kasih. Kita menyadari bahwa kita adalah putra-putri terkasih dari satu Bapa, dan kita melihat diri kita sebagai saudara-saudari satu sama lain. Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus, ketika akhirnya ia “melihat” hal ini dengan jelas, berseru, “Akhirnya aku menemukan panggilanku: panggilanku adalah kasih. Sungguh, aku telah menemukan tempatku yang layak di dalam Gereja… Dalam hati Gereja, Bundaku, aku akan menjadi kasih”.[2]

 

“Aku adalah sebuah perutusan di bumi ini”

 

Panggilan Allah, kita katakan, mencakup “pengiriman”. Tidak ada panggilan tanpa perutusan. Tidak ada kebahagiaan dan pernyataan diri sepenuhnya jika kita tidak menawarkan kepada sesama kita kehidupan baru yang telah kita temukan. Panggilan Allah untuk mengasihi adalah sebuah pengalaman yang tidak memungkinkan kita untuk berdiam diri. Santo Paulus berkata, “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9:16). Dan Surat Pertama Yohanes dimulai dengan kata-kata, “Apa yang telah kami dengar dan lihat, yang telah kami saksikan dan raba – Sabda yang menjadi daging – kami nyatakan juga kepadamu, supaya sukacita kami menjadi sempurna” (bdk. 1:1-4).

 

Lima tahun yang lalu, dalam Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate, saya berbicara kepada setiap orang yang dibaptis, mengatakan, “Kamu juga perlu memandang keseluruhan hidupmu sebagai perutusan” (No. 23). Ya, karena kita masing-masing dapat berkata : “Aku adalah perutusan di atas bumi ini; itulah alasan mengapa aku berada di dunia ini” (Evangelii Gaudium, 273).

 

Perutusan bersama kita sebagai umat Kristiani adalah memberikan kesaksian penuh sukacita di mana pun kita berada, melalui perbuatan dan perkataan kita, pengalaman bersama Yesus dan anggota-anggota komunitas-Nya, yaitu Gereja. Perutusan itu terungkap dalam karya kerahiman jasmani dan rohani, dalam cara hidup yang ramah dan lembut yang mencerminkan kedekatan, kasih sayang dan kelembutan, berbeda dengan budaya mencampakkan dan ketidakpedulian. Dengan menjadi sesama, seperti orang Samaria yang baik hati (bdk. Luk 10:25-37), kita memahami pokok panggilan Kristiani kita : meneladan Yesus Kristus, yang datang untuk melayani, bukan untuk dilayani (bdk. Mrk 10:45).

 

Kegiatan perutusan ini tidak muncul dari kemampuan, rencana, dan rancangan kita semata, atau dari kemauan keras atau upaya kita untuk mengamalkan keutamaan-keutamaan; kegiatan perutusan adalah hasil pengalaman mendalam bersama Yesus. Hanya dengan demikian kita dapat bersaksi tentang sesosok Pribadi, Sang Kehidupan, dan dengan demikian menjadi “rasul”. Hanya dengan demikian kita dapat mengenal diri kita sebagai “dimeteraikan, atau ditandai, bagi perutusan untuk membawa terang, memberkati, memberi daya hidup, membangkitkan, menyembuhkan dan membebaskan ini” (Evangelii Gaudium, 273).

 

Ikon Injil pengalaman ini adalah dua murid yang melakukan perjalanan menuju Emaus. Setelah berjumpa dengan Yesus yang bangkit, mereka berkata satu sama lain, “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?" (Luk 24:32). Dalam diri kedua murid tersebut, kita dapat melihat apa artinya memiliki “hati yang berkobar-kobar, kaki yang bergerak”.[3] Ini juga harapan saya yang kuat untuk Hari Orang Muda Sedunia yang akan datang di Lisbon, yang saya nantikan dengan penuh sukacita, dengan motonya : “Maria berangkat dan bergegas” (Luk 1:39). Semoga setiap pria dan wanita merasa terpanggil untuk berangkat dan bergegas, dengan hati yang berkobar-kobar.

 

Dipanggil bersama untuk berkumpul

 

Penginjil Markus mengisahkan saat Yesus memanggil dua belas murid-Nya, masing-masing dengan namanya. Ia menetapkan mereka untuk menyertai Dia dan diutus untuk mewartakan, menyembuhkan penyakit dan mengusir setan (bdk. Mrk 3:13-15). Dengan demikian Tuhan meletakkan dasar komunitas baru-Nya. Kelompok Dua Belas adalah orang-orang dari kelas sosial dan ekonomi yang berbeda; tak seorang pun dari mereka adalah orang yang berpengaruh. Keempat Injil juga berbicara tentang panggilan lain, seperti panggilan 72 murid yang diutus Yesus berdua-dua (bdk. Luk 10:1).

 

Gereja adalah sebuah Ecclesia, kata Yunani untuk kumpulan orang-orang yang dipanggil untuk berkumpul, membentuk komunitas murid misioner Yesus Kristus yang berketetapan hati untuk berbagi kasih di antara mereka (bdk. Yoh 13:34; 15:12) dan menyebarkan kasih itu kepada seluruh sesama, sehingga kerajaan Allah dapat datang.

 

Di dalam Gereja, kita semua adalah pelayan, sesuai dengan keragaman panggilan, karisma, dan pelayanan kita. Panggilan kita bersama untuk memberikan diri kita dalam kasih berkembang dan menemukan ungkapan nyata dalam kehidupan kaum awam, yang mengabdikan diri untuk membesarkan keluarga sebagai Gereja rumah tangga kecil dan bekerja sebagai ragi Injil untuk memperbarui berbagai lingkup masyarakat; dalam kesaksian para pelaku hidup bakti yang berketetapan hati kepada Allah demi saudara-saudari mereka sebagai tanda kenabian kerajaan Allah; dalam diri para pelayan tertahbis – diakon, imam dan uskup – yang ditempatkan untuk melayani pewartaan, doa dan membina persekutuan Umat Allah yang kudus. Hanya dalam kaitannya dengan semua yang lain itu, setiap panggilan khusus dalam Gereja sepenuhnya mengungkapkan sifat dan kekayaannya yang sebenarnya. Dilihat dari sudut pandang ini, Gereja adalah sebuah “simfoni” panggilan, dengan setiap panggilan bersatu namun berbeda, selaras dan bergabung bersama dalam “berangkat keluar” untuk memancarkan kehidupan baru kerajaan Allah ke seluruh dunia.

 

Rahmat dan perutusan : karunia dan tugas

 

Saudara-saudari terkasih, panggilan adalah karunia dan tugas, sumber kehidupan baru dan sukacita sejati. Semoga prakarsa doa dan kegiatan yang terkait dengan Hari Panggilan Sedunia ini memperkuat kesadaran panggilan dalam keluarga, komunitas paroki, komunitas hidup bakti, serta lembaga dan gerakan gerejawi kita. Roh Tuhan yang bangkit menyingkirkan sikap acuh tak acuh kita serta memberi kita karunia simpati dan empati. Dengan cara ini, Ia memampukan kita untuk setiap hari hidup dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah Sang Kasih (bdk. 1 Yoh 4:16) dan pada gilirannya menawarkan kasih itu kepada sesama kita. Menghadirkan kehidupan di mana pun, terutama di tempat-tempat pengucilan dan eksploitasi, kemiskinan dan kematian, memperluas ruang-ruang kasih[4], agar Allah semakin berkuasa di dunia ini.

 

Semoga doa yang disusun Santo Paulus VI untuk Hari Panggilan Sedunia Ke-1, 11 April 1964, menyertai kita dalam perjalanan kita :

 

“Ya Yesus, Sang Gembala ilahi jiwa-jiwa, Engkau memanggil para rasul dan menjadikan mereka penjala manusia. Teruslah menarik jiwa-jiwa yang bersemangat dan murah hati dari kalangan kaum muda, untuk menjadikan mereka pengikut dan pelayan-Mu. Jadikanlah mereka ambil bagian dalam dahaga-Mu akan penebusan semua orang… Di hadapan mereka bukalah cakrawala seluruh dunia… Dengan menanggapi panggilan-Mu, semoga cakrawala tersebut meluaskan perutusan-Mu di bumi ini, membangun Gereja, Tubuh mistik-Mu, serta menjadi 'garam dunia' dan 'terang dunia' (Mat 5:13)”.

 

Semoga Perawan Maria menjaga dan melindungimu. Dengan berkat saya.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 30 April 2023, Hari Minggu Paskah IV.

 

FRANSISKUS

(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi - Bogor, 26 April 2023)



[1]Dokumen Akhir Sidang Umum Biasa XV Sinode Para Uskup (2018) : “Kaum Muda, Iman dan Pembedaan Roh Panggilan, No. 78.

[2]Naskah B, ditulis selama retret terakhirnya (September 1896), Oeuvres completes, Paris, 1992, hal. 226.

[3]bdk. Pesan untuk Hari Minggu Misi Sedunia 2023 (6 Januari 2023).

[4]“Dilatentur spatia caritatis”: SANTO AGUSTINUS , Sermo 69: PL 5, 440-441.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA RATU SURGA 23 April 2023 : MARILAH KITA MEMBACA ULANG SEJARAH KITA BERSAMA YESUS

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Pada Hari Minggu Paskah III ini, Bacaan Injil menceritakan perjumpaan Yesus yang bangkit dengan kedua murid Emaus (bdk. Luk 24:13-35). Mereka adalah dua murid yang, pasrah akibat kematian Sang Guru, pada hari Paskah memutuskan untuk meninggalkan Yerusalem dan kembali ke rumah mereka. Mungkin mereka sedikit gelisah karena mereka telah mendengar para perempuan datang dari kubur dan mengatakan bahwa Tuhan seperti itu… mereka pergi. Dan saat mereka sedang berjalan, dengan sedih membicarakan apa yang telah terjadi, Yesus muncul di samping mereka, tetapi mereka tidak mengenali-Nya. Ia bertanya kepada mereka mengapa mereka begitu sedih, dan mereka berkata kepada-Nya : "Apakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari ini?" (ayat 18). Dan Yesus menjawab : "Apakah itu?" (ayat 19). Dan mereka menceritakan kepada-Nya keseluruhan kisah, dan Yesus membuat mereka menceritakan kisah itu kepada-Nya. Kemudian, saat mereka sedang berjalan, Ia membantu mereka menafsirkan kembali fakta-fakta dengan cara yang berbeda, dalam terang nubuat, terang sabda Allah, terang semua yang telah diwartakan kepada bangsa Israel. Membaca ulang : itulah yang dilakukan Yesus dengan mereka, membantu membaca ulang. Marilah kita memikirkan aspek ini.

 

Memang, penting bagi kita untuk membaca ulang sejarah kita bersama Yesus : kisah hidup kita, kisah kurun waktu tertentu, hari-hari kita, dengan berbagai kekecewaan dan harapannya. Selain itu, kita juga, seperti para murid itu, berhadapan dengan apa yang terjadi pada kita, dapat menemukan diri kita tersesat dalam menghadapi peristiwa-peristiwa ini, sendirian dan tidak pasti, dengan banyak pertanyaan dan kekhawatiran, kekecewaan, banyak hal. Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk menceritakan segala sesuatu kepada Yesus, dengan tulus, tanpa takut mengganggu-Nya : Ia mendengarkan; tanpa takut mengatakan hal yang salah, tanpa rasa malu pada perjuangan kita untuk mengerti. Tuhan bahagia setiap kali kita membuka diri kepada-Nya; hanya dengan cara inilah Ia dapat menggandeng tangan kita, menemani kita dan membuat hati kita kembali berkobar-kobar (bdk. ayat 32). Maka kita juga, seperti kedua murid Emaus, dipanggil untuk menghabiskan waktu bersama-Nya sehingga, ketika malam tiba, Ia sudi tinggal bersama kita (bdk. ayat 29).

 

Ada cara yang baik untuk melakukan hal ini, dan hari ini saya ingin mengusulkannya kepadamu : cara tersebut berupa mendedikasikan waktu, setiap malam, untuk pemeriksaan batin singkat. Tetapi, hari ini apa yang terjadi di dalam diriku? Itulah pertanyaannya. Membaca ulang hari bersama Yesus, membaca ulang hariku adalah persoalannya : membuka hati kepada-Nya, membawa kepada-Nya orang-orang, berbagai pilihan, ketakutan, kejatuhan dan harapan, semua hal yang terjadi; belajar secara bertahap untuk melihat sesuatu dengan mata yang berbeda, dengan mata-Nya dan bukan hanya mata kita. Dengan demikian kita dapat menghidupkan kembali pengalaman kedua murid tersebut. Di hadapan kasih Kristus, bahkan apa yang tampak melelahkan dan tidak berhasil dapat muncul di bawah terang lain : salib yang sulit untuk dipeluk, keputusan untuk memaafkan pelanggaran, kehilangan kesempatan untuk memperbaiki, kerja keras, ketulusan yang harus dibayar, dan pencobaan kehidupan keluarga dapat menampakkan diri kepada kita dalam terang baru, terang Yesus yang tersalib dan bangkit, yang tahu bagaimana mengubah setiap kejatuhan menjadi langkah maju. Tetapi untuk melakukan hal ini, penting untuk meruntuhkan pertahanan kita: meninggalkan ruang dan waktu untuk Yesus, tidak menyembunyikan apa pun dari-Nya, membawa penderitaan kita kepada-Nya, membiarkan diri kita terluka oleh kebenaran-Nya, membiarkan hati kita bergetar, membiarkan hati kita bergetar pada nafas sabda-Nya.

 

Hari ini kita bisa memulai, mendedikasikan malam ini sebagai momen doa di mana kita bertanya pada diri kita sendiri : bagaimana hariku? Apa kegembiraannya, apa kesedihannya, apa keduniawiannya, apa yang terjadi? Apa mutiara hari itu, yang mungkin tersembunyi, yang harus disyukuri? Apakah ada sedikit cinta dalam apa yang kulakukan? Dan apakah kejatuhan, kesedihan, keraguan dan ketakutan yang dibawa kepada Yesus sehingga Ia dapat membuka jalan baru bagiku, mengangkat dan menyemangatiku? Semoga Maria, Perawan yang bijaksana, membantu kita mengenali Yesus yang berjalan bersama kita dan membaca ulang sabda : membaca ulang – setiap hari dalam hidup kita di hadapan-Nya.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Kemarin, di Paris, Henri Planchat, imam Kongregasi Santo Vinsensius a Paulo, Ladislas Radigue dan tiga rekan imam Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria dibeatifikasi. Para gembala tersebut diilhami oleh semangat apostolik, mereka dipersatukan dalam kesaksian iman mereka sampai wafat sebagai martir, yang mereka derita di Paris pada tahun 1871, selama apa yang disebut “Komune” Paris. Tepuk tangan meriah untuk para Beato baru!

 

Kemarin adalah Hari Bumi. Saya mengharapkan ketetapan hati untuk merawat ciptaan dapat selalu disatukan dengan kesetiakawanan yang efektif dengan kaum yang termiskin.

 

Sayangnya, situasi di Sudan tetap parah, dan oleh karena itu saya kembali menyerukan untuk mengakhiri kekerasan secepat mungkin dan kembali ke jalan dialog. Saya mengundang semua orang untuk mendoakan saudara-saudari kita di Sudan.

 

Hari ini adalah peringatan 99 tahun Universitas Katolik Hati Kudus, dengan tema Demi Cinta Ilmu Pengetahuan. Berbagai tantangan humanisme baru. Saya berharap universitas Katolik Italia terbesar itu dapat menghadapi berbagai tantangan ini dengan semangat para pendirinya, khususnya Armida Barelli muda, yang dibeatifikasi setahun yang lalu.

 

Hari Jumat depan saya akan pergi ke Budapest, Hungaria, selama tiga hari, untuk merampungkan perjalanan yang saya lakukan pada tahun 2021 dengan menghadiri Kongres Ekaristi Internasional. Perjalanan ini akan menjadi kesempatan untuk merangkul sekali lagi sebuah Gereja dan umat yang sangat saya kasihi. Perjalanan ini juga akan menjadi perjalanan ke pusat Eropa, di mana angin perang dingin terus bertiup, sementara pengungsian begitu banyak orang menempatkan pertanyaan kemanusiaan yang mendesak dalam agenda. Tetapi sekarang saya ingin menyapamu dengan kasih sayang, saudara-saudari Hungaria yang terkasih, karena saya berharap dapat mengunjungi kamu semua sebagai seorang peziarah, sahabat dan saudara, serta mengunjungi, antara lain, pihak pemerintah, uskup, imam, dan pelaku hidup bakti, kaum muda, kalangan perguruan tinggi dan kaum miskin. Saya tahu kamu berusaha keras untuk mempersiapkan kedatangan saya : dari lubuk hati saya mengucapkan terima kasih untuk hal ini. Dan saya meminta kamu semua untuk menemani saya dalam perjalanan ini dengan doa-doamu.

 

Dan janganlah kita melupakan saudara-saudari Ukraina kita, yang masih menderita akibat perang ini.

 

Dari hati saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan banyak negara – saya melihat bendera dari begitu banyak negara – khususnya yang datang dari Salamanca dan para siswa Albacete, serta kelompok Veneto-Trentino dari Ordo Malta Korps Pertolongan.

 

Saya menyapa umat Ferrara, Palermo dan Grumello del Monte; komunitas Sekolah Keuskupan Lodi; kaum muda dari berbagai kota di Keuskupan Alba, Bergamo, Brescia, Como dan Milan; para calon penerima sakramen krisma dari banyak paroki di Italia; murid Institut Hati Kudus Cadoneghe; koperasi “VolÅ“ntieri” Casoli dan kelompok “Mototurismo” Agna.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu; dan jangan lupa untuk doakan saya. Selamat menikmati makananmu, dan sampai jumpa!
______

(Peter Suriadi - Bogor, 23 April 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 19 April 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 11) - SAKSI-SAKSI : PARA MARTIR

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Setelah… berbicara tentang penginjilan dan berbicara tentang semangat kerasulan, setelah menelaah kesaksian Santo Paulus, “juara” sejati semangat kerasulan, hari ini kita akan mengalihkan perhatian bukan kepada satu sosok, tetapi kepada para martir, pria dan wanita dari setiap zaman, bahasa dan bangsa yang telah memberikan nyawa mereka untuk Kristus, yang telah menumpahkan darah mereka demi mengakui Kristus. Setelah generasi para Rasul, mereka adalah “saksi-saksi” Injil yang utama. Para martir : yang pertama adalah diakon Santo Stefanus, yang dirajam sampai mati di luar tembok Yerusalem. Kata “martir” berasal dari bahasa Yunani martyria, yang memang berarti saksi. Artinya, seorang martir adalah seorang saksi, seorang yang memberikan kesaksian sampai menumpahkan darah mereka. Tetapi, segera di dalam Gereja kata martir mulai digunakan untuk merujuk pada orang-orang yang memberikan kesaksian sampai menumpahkan darah mereka.[1] Artinya, seorang martir bisa menjadi saksi setiap hari. Tetapi setelah itu digunakan dipergunakan untuk orang yang menumpahkan darahnya, yang memberikan nyawanya.

 

Akan tetapi, para martir tidak dilihat sebagai "pahlawan" yang bertindak secara individu, seperti bunga yang bermekaran di padang gurun, tetapi sebagai buah yang matang dan unggul kebun anggur Tuhan, yaitu Gereja. Secara khusus, umat Kristiani, berkat ketekunan mereka ikut serta dalam perayaan Ekaristi, dituntun oleh Roh Kudus melandaskan hidup mereka pada misteri kasih tersebut : yaitu, pada fakta bahwa Tuhan Yesus telah memberikan hidup-Nya bagi mereka, dan oleh karena itu mereka juga dapat dan harus memberikan hidup mereka untuk Dia dan untuk saudara-saudari mereka. Sebuah kemurahan hati yang besar, perjalanan kesaksian Kristiani. Santo Agustinus sering menggarisbawahi dinamika perasaan syukur dan balas memberi yang cuma-cuma ini. Misalnya, apa yang ia khotbahkan pada pesta Santo Laurensius : dalam Gereja Roma, kata Santo Agustinus, “ia mengemban jabatan diakon; di sana ia memberikan cawan suci darah Kristus; di sana ia menumpahkan darahnya demi nama Kristus. Rasul Yohanes yang terberkati dengan jelas mengutarakan misteri perjamuan Tuhan ketika ia berkata, 'Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita' (1 Yoh 3:16). Saint Laurensius memahami hal ini, saudara-saudaraku, dan ia melakukannya; dan ia pasti menyiapkan hal-hal yang mirip dengan apa yang ia terima di meja itu. Ia mengasihi Kristus dalam hidupnya, ia meneladan Kristus dalam wafat-Nya” (Khotbah 304, 14; PL 38, 1395-1397). Dengan cara ini Santo Agustinus menjelaskan dinamisme rohani yang mengilhami para martir. Dengan kata-kata ini : para martir mengasihi Kristus dalam hidup-Nya dan meneladani-Nya dalam wafat-Nya.

 

Hari ini, saudara-saudari terkasih, marilah kita mengingat seluruh martir yang telah menyertai kehidupan Gereja. Seperti yang sebelumnya telah saya katakan berkali-kali, jumlah mereka lebih banyak di zaman kita daripada di abad pertama. Saat ini ada banyak martir dalam Gereja, banyak dari mereka, karena mengaku beriman kristiani diusir dari masyarakat atau berakhir di penjara… ada banyak. Konsili Vatikan II mengingatkan kita bahwa “Gereja memandang sebagai kurnia luar biasa dan bukti cinta kasih tertinggi kematian sebagai martir, yang menjadikan murid serupa dengan Guru yang dengan rela menerima wafat-Nya demi keselamatan dunia, serupa dengan Dia dalam menumpahkan darah” (Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 42). Para martir, dalam meneladani Kristus dan berkat rahmat-Nya, mengubah kekerasan orang-orang yang menolak pewartaan mereka menjadi peristiwa kasih yang besar, tertinggi, yang sampai kepada pengampunan bagi para penyesah mereka. Ini menarik : para martir selalu mengampuni para penyesah mereka. Stefanus, martir pertama, wafat sambil berdoa, “Tuhan, ampunilah mereka, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Para martir mendoakan para penyesah mereka.

 

Meskipun hanya sedikit diminta kemartiran, “namun semua harus siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang, dan mengikuti-Nya menempuh jalan salib di tengah penganiayaan, yang selalu saja menimpa Gereja” Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 42). Tetapi, apakah penganiayaan ini sesuatu yang merupakan bagian dari masa itu? Tidak, tidak : hari ini. Hari ini ada penganiayaan terhadap umat Kristen di seluruh dunia, banyak, banyak. Ada lebih banyak martir hari ini daripada di masa lalu. Banyak. Para martir menunjukkan kepada kita bahwa setiap umat Kristiani dipanggil untuk menjadi saksi kehidupan, bahkan ketika ini tidak sampai pada pertumpahan darah, memberikan diri mereka kepada Allah dan kepada saudara-saudara mereka, meneladan Yesus.

 

Dan saya ingin mengakhiri dengan mengingat kembali kesaksian Kristiani yang hadir di setiap penjuru dunia. Saya memikirkan, misalnya, Yaman, sebuah negeri yang selama bertahun-tahun dilanda perang yang mengerikan dan terlupakan, yang telah menyebabkan banyak kematian dan masih menyebabkan banyak orang, terutama anak-anak, menderita hari ini. Di negeri ini juga telah ada saksi-saksi iman yang cemerlang, seperti para biarawati Misionaris Cinta Kasih, yang telah memberikan hidup mereka di sana. Hari ini mereka masih hadir di Yaman, tempat mereka menawarkan bantuan kepada orang tua yang sakit dan orang cacat. Beberapa dari mereka telah wafat sebagai martir, tetapi para biarawati lainnya melanjutkan, mempertaruhkan hidup mereka, bahkan mereka terus berjalan. Para biarawati ini menyambut semua orang, dari agama apa pun, karena cinta kasih dan persaudaraan tidak mengenal batas. Pada bulan Juli 1998, Suster Aletta, Suster Zelia dan Suster Michael, saat kembali ke rumah setelah menghadiri Misa, dibunuh oleh seorang yang fanatik, karena mereka beragama Kristen. Baru-baru ini, tidak lama setelah dimulainya pertikaian yang masih berlangsung, pada bulan Maret 2016, Suster Anselmul, Suster Marguerite, Suster Reginette dan Suster Judith dibunuh bersama dengan beberapa kaum awam yang membantu mereka dalam karya cinta kasih. Mereka adalah para martir di zaman kita. Di antara kaum awam yang terbunuh, serta umat Kristiani ada beberapa umat Islam yang bekerja dengan para biarawati. Hal tersebut menggerakkan kita untuk melihat bagaimana kesaksian darah dapat mempersatukan orang-orang yang berbeda agama. Kita seharusnya tidak membunuh atas nama Allah, karena bagi Dia kita semua adalah saudara dan saudari. Tetapi bersama-sama kita dapat memberikan hidup kita bagi sesama.

 

Maka, marilah kita berdoa, agar kita tidak pernah lelah memberikan kesaksian tentang Injil, bahkan di saat-saat kesengsaraan. Semoga seluruh para kudus martir menjadi benih perdamaian dan rekonsiliasi di antara bangsa-bangsa, demi dunia yang semakin manusiawi dan bersaudara, seraya menantikan perwujudan penuh Kerajaan Surga, ketika Allah menjadi semua di dalam semua (bdk. 1 Kor 15:28). Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyampaikan sapaan hangat kepada para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Inggris, Belanda, India, Australia dan Amerika Serikat. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan bagimu dan keluargamu kerahiman Allah Bapa kita yang penuh kasih. Semoga Tuhan memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang semangat kerasulan, kita sekarang beralih ke teladan para martir, pria dan wanita dari segala usia, bangsa dan bahasa yang telah memberikan hidup mereka sebagai saksi-saksi Injil. Secara luar biasa, para martir menjadi saksi-saksi cinta yang kita rayakan setiap kali Misa : cinta yang menuntun Kristus untuk menyerahkan nyawanya bagi kita dan yang pada gilirannya dipanggil untuk kita teladani (bdk. 1 Yoh 3:16). Sementara semua orang Kristiani harus siap untuk bersaksi tentang iman mereka dalam menghadapi penganiayaan, kemartiran melambangkan, dalam kata-kata Konsili Vatikan II, “kurnia luar biasa dan bukti cinta kasih tertinggi” (Lumen Gentium, 42). Para martir iman di masa kita bahkan lebih banyak daripada di masa-masa awal Gereja. Kita dapat memikirkan, misalnya, dua kelompok Misionaris Cinta Kasih yang membantu orang tua dan orang cacat di Yaman, dan dibunuh secara brutal selama pertikaian yang sedang berlangsung di negara itu. Semoga teladan para martir terus mengilhami upaya kita untuk menjadi saksi-saksi Injil seraya kita menantikan kedatangan kerajaan Allah yang membawa rekonsiliasi, keadilan dan perdamaian bagi semesta.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 19 April 2023)



[1]Origenes, In Johannem, II, 210: “Sekarang setiap orang yang memberikan kesaksian tentang kebenaran, apakah ia mendukungnya dengan perkataan atau perbuatan, atau dengan cara apa pun, dapat disebut sebagai saksi (martir); tetapi sudah menjadi kebiasaan persaudaraan, karena mereka terpesona dengan mengagumi orang-orang yang berjuang mati-matian demi kebenaran dan keberanian, karenanya semakin melanggengkan nama martir bagi orang-orang yang telah menjadi saksi-saksi misteri kesalehan. dengan menumpahkan darah mereka”.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA RATU SURGA 16 April 2023 : JIKA KAMU INGIN BERTEMU YESUS YANG BANGKIT, JANGANLAH PERGI JAUH-JAUH, TINGGALLAH DALAM KOMUNITAS BERSAMA MURID-MURID LAINNYA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, Hari Minggu Kerahiman Ilahi, Bacaan Injil menceritakan dua penampakan Yesus yang bangkit kepada murid-murid-Nya, dan khususnya, kepada Tomas, “Rasul yang peragu” (bdk. Yoh 20:24-29).

 

Kenyataannya, Tomas bukan satu-satunya orang yang berjuang untuk percaya. Sesungguhnya, ia agak mewakili kita semua. Memang, tidak senantiasa mudah untuk percaya, apalagi ketika, seperti dalam kasusnya, ia mengalami kekecewaan yang luar biasa. Dan setelah kekecewaan yang begitu besar, ia sulit untuk percaya. Ia telah mengikuti Yesus selama bertahun-tahun, menanggung risiko, dan menderita ketidaknyamanan. Tetapi Sang Guru telah disalibkan laksana seorang penjahat, dan tidak ada seorang pun yang membebaskan-Nya. Tidak ada seorang pun yang berbuat apa pun! Ia telah wafat dan semua orang ketakutan. Bagaimana Ia bisa percaya lagi? Bagaimana Ia bisa mempercayai berita seperti itu yang mengatakan bahwa Ia masih hidup? Ada keraguan dalam dirinya.

 

Tetapi Tomas menunjukkan bahwa ia berani. Sementara murid-murid lainnya menutup diri di dalam Ruang Atas karena takut, ia keluar, menanggung risiko seseorang akan mengenali, melaporkan, dan menangkapnya. Kita bahkan bisa berpikir bahwa, dengan keberaniannya, ia lebih layak untuk bertemu Tuhan yang bangkit ketimbang murid-murid lainnya. Sebaliknya, justru karena ia sedang pergi, Tomas tidak ada ketika Yesus pertama kali menampakkan diri kepada para murid pada Paskah malam, sehingga kehilangan kesempatan itu. Ia telah pergi dari komunitas. Bagaimana ia bisa mengambil kesempatan itu? Hanya dengan kembali bersama murid-murid lainnya, kembali ke keluarga yang ditinggalkannya itu, dengan takut dan sedih. Ketika ia berbuat demikian, ketika ia kembali, mereka memberitahunya bahwa Yesus telah datang, tetapi ia berjuang untuk percaya – ia ingin melihat luka-luka Yesus. Dan Yesus memuaskan Tomas : delapan hari kemudian, Ia kembali menampakkan diri di tengah-tengah murid-murid-Nya dan menunjukkan kepada mereka luka-luka-Nya, tangan-Nya, kaki-Nya, luka-luka ini adalah bukti kasih-Nya, yang merupakan saluran kerahiman-Nya yang senantiasa terbuka.

 

Marilah kita renungkan fakta-fakta ini. Untuk percaya, Tomas menginginkan tanda yang luar biasa – menjamah luka-luka. Yesus menunjukkan luka-luka tersebut kepadanya, tetapi dengan cara yang biasa, datang di hadapan semua orang, di dalam komunitas, bukan di luar komunitas. Seolah-olah Yesus berkata kepadanya : jika kamu ingin bertemu-Ku, jangan jauh-jauh, tinggallah dalam komunitas, bersama murid-murid lainnya. Jangan pergi… berdoalah bersama mereka… pecahkanlah roti bersama mereka. Dan Ia mengatakan hal ini kepada kita juga. Di situlah kamu akan menemukan-Ku; di situlah Aku akan menunjukkan tanda-tanda luka yang membekas di tubuh-Ku : tanda Sang Kasih yang mengalahkan kebencian, tanda Sang Pengampun yang melucuti balas dendam, tanda Sang Kehidupan yang mengalahkan maut. Di sanalah, dalam komunitas, kamu akan menemukan wajah-Ku, saat kamu ambil bagian dalam saat-saat keraguan dan ketakutan saudara-saudarimu, semakin melekat erat pada mereka. Tanpa komunitas, sulit menemukan Yesus.

 

Saudara-saudari terkasih, undangan yang diberikan kepada Thomas berlaku juga bagi kita. Kita, ke manakah kita mencari Yesus yang bangkit? Dalam suatu peristiwa tertentu, dalam suatu wujud keagamaan yang spektakuler atau menakjubkan, semata-mata pada tingkat emosional atau sensasional? Atau lebih tepatnya di dalam komunitas, di dalam Gereja, menerima tantangan untuk tinggal di sana, meski tidak sempurna? Terlepas dari segala keterbatasan dan kegagalannya, yang merupakan keterbatasan dan kegagalan kita, Gereja Bunda kita adalah Tubuh Kristus. Dan di sanalah, di dalam Tubuh Kristus, sekarang dan selama-lamanya, tanda-tanda kasih-Nya yang terbesar dapat ditemukan mengesankan. Marilah kita bertanya pada diri kita, tetapi, jika atas nama kasih ini, atas nama luka-luka Yesus, apakah kita bersedia membuka tangan kita bagi mereka yang terluka oleh kehidupan, tidak mengecualikan siapa pun dari kerahiman Allah, tetapi menyambut semua orang - masing-masing orang seperti saudara, seperti saudari, seperti Allah menyambut semua orang. Allah menyambut semua orang.

 

Semoga Maria, Bunda Kerahiman, membantu kita mengasihi Gereja dan menjadikannya rumah yang ramah bagi semua orang.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya ingin mengungkapkan kedekatan saya kepada semua saudara dan saudari kita yang, khususnya di Timur, merayakan Paskah hari ini: Saudara dan saudari yang terkasih, semoga Tuhan yang bangkit menyertaimu dan memenuhi kamu semua dengan Roh Kudus-Nya! Selamat Paskah untuk kamu semua!

 

Dan sayangnya, kontras dengan pesan Paskah, perang terus berlanjut, dan mereka terus menabur kematian dengan cara yang mengerikan. Marilah kita berduka atas kekejaman ini dan marilah kita mendoakan para korban, memohon kepada Allah agar dunia tidak pernah lagi mengalami goncangan kematian yang kejam oleh tangan manusia, tetapi kekaguman akan kehidupan yang Ia berikan dan perbarui dengan rahmat-Nya!

 

Saya sedang mengikuti dengan prihatin peristiwa yang terjadi di Sudan. Saya dekat dengan rakyat Sudan, yang telah sangat dicobai, dan saya mengundangmu untuk berdoa agar mereka dapat meletakkan tangan mereka, serta mengambil jalan perdamaian dan kerukunan.

 

Dan saya sedang memikirkan saudara-saudari kita baik di Rusia maupun di Ukraina yang sedang merayakan Paskah. Semoga Tuhan dekat dengan mereka dan membantu mereka berdamai!

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah, khususnya kelompok doa yang membina spiritualitas Kerahiman Ilahi, yang berkumpul hari ini di Tempat Suci Roh Kudus, Sassia. Dan, dengan keyakinan menafsirkan perasaan umat beriman di seluruh dunia, dengan penuh syukur saya mengarahkan pikiran, yang pada hari-hari ini telah dipengaruhi oleh ketidakadilan tanpa dasar, untuk mengenang Santo Yohanes Paulus II,

 

Saya menyapa kelompok yang datang dari Prancis, Brasil, Spanyol, Polandia, dan Lituania; anak-anak dari Kolose Saint-Jean de Passy Paris, bersama para guru dan keluarga mereka. Saya menyapa umat dari Pescara, para siswa dari Scuola Santa Maria ad Nives dari Genoa, dan anak-anak dari Marcheno, Brescia.

Saya menyapa para petugas pemadam kebakaran dari berbagai negara Eropa, yang berkumpul di Roma untuk demonstrasi besar yang terbuka untuk umum. Terima kasih atas pelayananmu! Dan saya ingin memberitahumu sesuatu: ketika saya mendoakanmu, saya memohonkan rahmat : agar kamu tidak bekerja!

 

Kepada semuanya saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 16 April 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 12 April 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 10) - SAKSI-SAKSI : SANTO PAULUS. 2

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Setelah melihat, dua minggu lalu, hasrat pribadi Santo Paulus untuk penginjilan, sekarang kita dapat merenungkan lebih mendalam hasral penginjilan sebagaimana dikatakan dan digambarkannya dalam beberapa surat-suratnya.

Berdasarkan keutamaan pengalamannya, Paulus bukannya tidak menyadari bahaya hasrat yang menyimpang, yang berorientasi pada arah yang salah. Ia sendiri telah jatuh ke dalam bahaya ini sebelum takdir rebahnya ia di jalan menuju Damsyik. Kadang-kadang kita harus berurusan dengan hasrat yang salah arah, gigih dalam mematuhi norma-norma yang murni manusiawi dan usang demi komunitas Kristiani. “Mereka dengan giat berusaha untuk menarik kamu", tulis Rasul Paulus, “tetapi tidak dengan tulus hati” (Gal 4:17). Kita tidak dapat mengabaikan kepedulian beberapa orang yang mengabdikan diri mereka pada pengupayaan yang salah bahkan di dalam komunitas Kristiani; kita dapat menyombongkan hasrat penginjilan palsu sementara sebenarnya mengejar keangkuhan atau keyakinan kita atau sedikit cinta diri.


Karena alasan ini, kita bertanya pada diri kita, apa ciri-ciri hasrat penginjilan sejati menurut Paulus? Teks yang kita dengar di awal tampaknya berguna untuk hal ini, sebuah daftar “senjata” yang ditunjukkan Rasul Paulus untuk peperangan rohani. Salah satu di antaranya adalah kesiapan untuk menyebarkan Injil, yang diterjemahkan oleh beberapa orang sebagai “hasrat” – orang ini berhasrat dalam meneruskan gagasan-gagasan ini, hal-hal ini – dan disebut sebagai “sepatu”. Mengapa? Bagaimana hasrat penginjilan berhubungan dengan apa yang dikenakan di kakimu? Metafora ini diambil dari kitab nabi Yesaya, yang mengatakan ini : “Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kaki-kaki pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: 'Allahmu itu Raja!'” (52:7).


Di sini juga, kita menemukan acuan tentang kaki seorang pewarta yang baik. Mengapa? Karena orang yang pergi mewartakan harus bergerak, harus berjalan! Tetapi kita juga mencatat bahwa Paulus, dalam teks ini, berbicara tentang alas kaki sebagai bagian dari baju zirah, mengikuti analogi perlengkapan prajurit yang pergi ke medan perang : dalam pertempuran memiliki pijakan yang stabil untuk menghindari jebakan medan penting – karena musuh sering mengotori medan perang dengan jebakan – dan memiliki kekuatan untuk berlari dan bergerak ke arah yang benar. Jadi alas kaki adalah untuk berlari dan menghindari seluruh perkara musuh.


Hasrat penginjilan adalah penopang yang menjadi dasar pewartaan, dan para pewarta agaknya seperti kaki dari tubuh Kristus yaitu Gereja. Tidak ada pewartaan tanpa gerakan, tanpa ‘berangkat’, tanpa prakarsa. Ini berarti tidak ada umat Kristiani jika tidak bergerak; bukan umat Kristiani jika mereka tidak keluar dari diri mereka untuk memulai perjalanan dan menyampaikan pewartaan. Tidak ada pewartaan tanpa gerakan, tanpa berjalan. Kita tidak mewartakan Injil dengan berdiri diam, terkunci di kantor, di meja atau di komputer kita, berdebat seperti 'pejuang papan ketik' dan mengganti kreativitas pewartaan dengan gagasan salin dan tempel yang diambil dari sana-sini. Injil diwartakan dengan bergerak, dengan berjalan, dengan berangkat.

Istilah yang digunakan oleh Paulus untuk menunjukkan alas kaki dari orang-orang yang mewartakan Injil adalah kata Yunani yang menunjukkan kesiapan, persiapan, kesigapan. Justru berlawanan dengan kecerobohan, yang tidak sesuai dengan kasih. Nyatanya, di tempat lain Paulus mengatakan: “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan” (Rm 12:11). Sikap inilah yang dituntut dalam Kitab Keluaran untuk merayakan kurban pembebasan Paskah : “Dan beginilah kamu memakannya: pinggangmu berikat, kasut pada kakimu dan tongkat di tanganmu; buru-burulah kamu memakannya; itulah Paskah bagi TUHAN. Sebab pada malam ini Aku akan menjalani tanah Mesir” (12:11-12a).


Seorang pewarta siap untuk pergi, dan mengetahui bahwa Tuhan lewat dengan cara yang mengejutkan. Oleh karena itu, ia harus bebas dari skema dan bersiap untuk tindakan yang tidak terduga dan baru : bersiap terhadap berbagai kejutan. Orang yang mewartakan Injil tidak dapat difosilkan dalam kurungan yang masuk akal atau gagasan bahwa “selalu dilakukan seperti ini,” tetapi siap untuk mengikuti hikmat yang bukan dari dunia ini, sebagaimana dikatakan Paulus ketika berbicara tentang dirinya : "Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah" (1 Kor 2:4-5).


Inilah sebabnya, saudara-saudari, pentingnya memiliki kesiapan akan kebaruan Injil, sikap yang melibatkan momentum, mengambil prakarsa, maju lebih dulu. Artinya tidak melewatkan kesempatan untuk mewartakan Injil damai sejahtera, damai sejahtera yang dipahami Kristus bagaimana memberi lebih banyak dan lebih baik daripada yang diberikan dunia.


Dan karena alasan ini saya menasihatimu untuk menjadi penginjil yang bergerak, tanpa rasa takut, yang berjalan maju, untuk membawa keindahan Yesus, membawa kebaruan Yesus yang mengubah segalanya. “Ya Bapa, Ia mengubah penanggalan, karena sekarang kita menghitung tahun dimulai dengan Yesus…” Tetapi apakah Ia juga mengubah hati? Dan apakah kamu bersedia memperkenankan Yesus mengubah hatimu? Atau apakah kamu orang Kristiani yang suam-suam kuku, yang tidak sedang bergerak? Coba pikirkan : Apakah kamu orang yang antusias terhadap Yesus, apakah kamu sudi berjalan maju? Sedikit pikirkan tentang hal itu.


[Sapaan Khusus]


Saya menyampaikan sapaan hangat kepada para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, terutama kelompok dari Swedia, Swiss, Kanada, dan Amerika Serikat. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonan atasmu dan keluargamu kerahiman Allah Bapa kita yang penuh kasih kita. Semoga Tuhan memberkati kamu semua!


[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]


Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang hasrat kerasulan, kita telah merenungkan teladan Rasul Paulus. Dari pengalaman sebelumnya sebagai penganiaya Gereja, Paulus sangat menyadari bahaya hasrat yang salah arah, atau hasrat yang termotivasi bukan oleh kasih Kristus tetapi oleh kesia-siaan atau penonjolan diri. Hasrat penginjilan yang otentik, sebaliknya, Paulus mengajarkan, sepenuhnya berpusat pada Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya. Dalam Surat-suratnya, Paulus menggunakan perumpamaan mengenakan "perlengkapan senjata Allah" dan menasihati para pendengarnya agar "mengenakan kasut" kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera (bdk. Ef 6:13). Gambaran yang elok, karena kaki seorang penginjil harus tertanam kokoh namun tetap bergerak, selalu siap menghadapi situasi baru dalam upaya mewartakan Kabar Gembira dengan kreativitas dan berpendirian. Semoga kita masing-masing, dalam situasi kehidupan kita sehari-hari, terbukti berhasrat dalam melakukan pembedaan roh kapan dan bagaimana cara terbaik untuk mewartakan Yesus yang bangkit serta janji-Nya akan kepenuhan hidup dan damai sejahtera.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 12 April 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA RATU SURGA 10 April 2023 : KAMU SELALU MENEMUKAN YESUS DI JALAN PEWARTAAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini Bacaan Injil (Mat 28:8-15) memungkinkan kita menghidupkan kembali perjumpaan para perempuan dengan Yesus yang bangkit pada pagi Paskah. Dengan demikian Bacaan Injil mengingatkan kita bahwa merekalah, para murid perempuan, yang pertama kali melihat dan berjumpa dengan-Nya.

 

Kita mungkin bertanya pada diri kita : mengapa mereka? Karena alasan yang sangat sederhana : karena mereka yang pertama kali pergi ke kubur. Seperti semua murid, mereka juga sedang menderita oleh karena jalan cerita Yesus tampaknya telah berakhir; tetapi, tidak seperti murid-murid lainnya, mereka tidak tinggal di rumah dilumpuhkan oleh kesedihan dan ketakutan : di pagi hari, saat matahari terbit, mereka pergi untuk menghormati tubuh Yesus, membawa minyak wangi. Kubur itu telah disegel dan mereka bertanya-tanya siapa yang dapat memindahkan batu yang begitu berat itu (bdk. Mrk 16:1-3). Tetapi keinginan mereka untuk melakukan gerakan cinta ini mengalahkan segalanya. Mereka tidak berkecil hati, mereka mengatasi ketakutan dan kesedihan. Inilah cara untuk menemukan Yesus yang bangkit : keluar dari ketakutan kita, keluar dari kesedihan kita.

 

Marilah kita telusuri adegan yang dijelaskan dalam Bacaan Injil : para perempuan tiba, mereka melihat kubur yang kosong dan, “dengan takut dan dengan sukacita yang besar", mereka berlari cepat-cepat, teks mengatakan, "untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus” (Mat 28:8). Sekarang, tepat ketika mereka akan menyampaikan kabar ini, Yesus datang ke arah mereka. Marilah kita perhatikan baik-baik hal ini : Yesus bertemu dengan mereka saat mereka akan mewartakan-Nya. Ini indah : Yesus bertemu mereka saat mereka akan mewartakan-Nya. Ketika kita mewartakan Tuhan, Tuhan datang kepada kita. Terkadang kita berpikir bahwa cara untuk dekat dengan Tuhan adalah dengan membuat-Nya tetap dekat dengan kita; karena kemudian, jika kita mengungkapkan diri kita dan mulai membicarakannya, maka penilaian, kritik datang, mungkin kita tidak tahu bagaimana menanggapi pertanyaan atau provokasi tertentu, jadi lebih baik tidak membicarakannya, dan tutup mulut : tidak Sebaliknya, Tuhan datang saat kita mewartakan-Nya. Kamu selalu menemukan Tuhan di jalan pewartaan. Mewartakan Tuhan dan kamu akan berjumpa dengan-Nya. Carilah Tuhan dan kamu akan berjumpa dengan-Nya. Selalu di jalan tersebut, inilah yang diajarkan para perempuan kepada kita : kita berjumpa Yesus dengan mempersaksikan-Nya. Kita berjumpa Yesus dengan mempersaksikan-Nya.

 

Marilah kita beri contoh. Kadang-kadang kita akan menerima kabar baik, seperti, misalnya, kelahiran seorang anak. Jadi, salah satu hal pertama yang kita lakukan adalah mengumumkan kabar bahagia ini kepada para sahabat : “Kamu tahu, aku memiliki seorang bayi… Ia cantik”. Dan, dengan menceritakannya, kita juga mengulanginya untuk diri kita dan entah bagaimana membuatnya hidup kembali untuk kita. Jika hal ini terjadi untuk kabar baik, setiap hari atau pada beberapa hari penting, untuk Yesus terjadi jauh lebih banyak, bukan hanya kabar baik, atau bahkan kabar terbaik kehidupan, bukan hanya itu, tetapi Ia adalah hidup itu sendiri, Ia adalah “kebangkitan. dan hidup” (Yoh 11:25). Setiap kali kita mewartakannya, bukan dengan propaganda atau penyebaran agama – tidak : mewartakan adalah satu hal, propaganda dan penyebaran agama adalah hal lain – setiap kali kita mewartakan-Nya, Tuhan datang kepada kita. Ia datang dengan hormat dan cinta, sebagai karunia terindah yang harus dibagikan, Yesus tinggal di dalam diri kita setiap kali kita mewartakan-Nya.

 

Marilah kita pikirkan kembali para perempuan dalam Bacaan Injil : ada batu yang disegel dan meskipun demikian, mereka pergi ke kubur; ada seluruh kota yang telah melihat Yesus di kayu salib dan meskipun demikian mereka pergi ke kota untuk mewartakan bahwa Ia hidup. Saudara-saudari terkasih, ketika kita berjumpa Yesus, tidak ada rintangan yang dapat menghalangi kita untuk mewartakan-Nya. Sebaliknya jika kita menyimpan sukacita-Nya untuk diri kita sendiri, mungkin karena kita belum benar-benar berjumpa dengan-Nya.

Saudara, saudari, berhadapan dengan pengalaman para perempuan tersebut kita bertanya pada diri kita : katakanlah kepadaku, kapan terakhir kali kamu memberikan kesaksian tentang Yesus? Kapan terakhir kali aku bersaksi tentang Yesus? Hari ini, apa yang harus kulakukan agar orang-orang yang kutemui menerima sukacita pewartaan-Nya? Dan kembali : dapatkah seseorang berkata : orang ini tenteram, bahagia, baik, karena ia telah bertemu Yesus? Bisakah hal ini dikatakan tentang kita masing-masing? Marilah kita meminta Bunda Maria untuk membantu kita menjadi para pewarta Injil yang penuh sukacita.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Hari ini adalah peringatan dua puluh lima tahun apa yang disebut Perjanjian Belfast atau Jumat Agung, yang mengakhiri kekerasan yang telah meresahkan Irlandia Utara selama beberapa dekade. Dengan semangat syukur, saya berdoa kepada Allah sang empunya perdamaian agar apa yang dicapai dalam langkah bersejarah itu diperkokoh demi kepentingan semua orang di pulau kecil Irlandia.

 

Saya kembali mengucapkan selamat Paskah kepada kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara : “Kristus telah bangkit; Ia sungguh telah bangkit”. Saya menyapamu dengan hangat, khususnya para remaja paroki-paroki di Vigevano, kaum muda Pisa dan kaum muda Appiano Gentile.

 

Saya berterima kasih kepada kamu semua yang menyampaikan harapan yang baik kepada saya di hari-hari ini. Saya sangat berterima kasih atas doa-doamu : dengan perantaraan Perawan Maria, semoga Allah mengganjar kita masing-masing dengan karunia-karunia-Nya!

 

Dan saya berharap semua orang akan menghabiskan hari-hari Oktaf Paskah ini, di mana kebangkitan Kristus masih dirayakan, dalam sukacita iman. Marilah kita bertekun memohon karunia perdamaian untuk seluruh dunia, terutama untuk Ukraina yang tersayang dan tersiksa.

 

Selamat hari Senin Malaikat! Tolong jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 10 April 2023)