Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 27 November 2022 : BAGAIMANA TUHAN KELAK DATANG SERTA BAGAIMANA KITA KELAK MENGENALI DAN MENYAMBUT-NYA?

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi, selamat hari Minggu!

 

Dalam Bacaan Injil liturgi hari ini kita mendengar janji indah yang memperkenalkan kita kepada Masa Adven : “Tuhanmu datang” (Mat 24:42). Ini adalah landasan pengharapan kita, apa yang mendukung kita bahkan di saat-saat paling sulit dan menyakitkan dalam hidup kita : Allah akan datang, Allah sudah dekat dan akan datang. Marilah kita tidak pernah melupakan hal ini! Tuhan selalu datang, Tuhan mengunjungi kita, Tuhan mendekatkan diri-Nya, dan akan kembali di akhir zaman untuk menyambut kita dalam pelukan-Nya. Dihadapkan kata ini, kita bertanya pada diri kita : Bagaimana Tuhan kelak datang? Dan bagaimana kita kelak mengenali dan menyambut-Nya? Marilah kita membahas secara singkat dua pertanyaan ini.

 

Pertanyaan pertama : bagaimana Tuhan kelak datang? Sangat sering kita mendengar dikatakan bahwa Tuhan hadir di jalan kita, Ia menyertai kita dan berbicara kepada kita. Tetapi mungkin, karena kita terganggu oleh banyak hal, kebenaran ini tetap hanya teoretis bagi kita; ya, kita tahu bahwa Tuhan kelak datang tetapi kita tidak hidup menurut kebenaran ini, atau kita membayangkan bahwa Tuhan kelak datang dengan cara yang spektakuler, mungkin melalui suatu tanda yang ajaib. Dan sebaliknya, Yesus berkata bahwa Ia akan datang seperti pada "zaman Nuh" (bdk. ayat 37). Dan apa yang mereka lakukan pada zaman Nuh? Singkatnya, perkara kehidupan sehari-hari yang lumrah, seperti biasanya : "makan dan minum, kawin dan mengawinkan" (ayat 38). Marilah kita mengingat hal ini : Allah tersembunyi dalam hidup kita, Ia selalu ada – Ia tersembunyi dalam situasi yang paling umum dan paling biasa dalam hidup kita. Ia tidak datang dalam peristiwa luar biasa, tetapi dalam perkara sehari-hari; Ia mewujudkan diri-Nya dalam perkara sehari-hari. Ia ada di sana, dalam pekerjaan kita sehari-hari, dalam perjumpaan secara tidak sengaja, dalam menghadapi seseorang yang membutuhkan, bahkan ketika kita menghadapi hari-hari yang tampak kelabu dan monoton, di sanalah kita menemukan Allah, yang memanggil kita, berbicara kepada kita dan mengilhami perbuatan kita.

 

Tetapi, ada pertanyaan kedua : bagaimana kita kelak mengenali dan menyambut Tuhan? Kita harus berjaga-jaga, siap siaga, waspada. Yesus memperingatkan kita : ada bahaya kita tidak menyadari kedatangan-Nya dan tidak siap sedia untuk kunjungan-Nya. Pada kesempatan lain saya ingat apa yang dikatakan Santo Agustinus : “Aku takut akan Tuhan yang lewat” (Khotbah, 88, 14.13), yaitu, aku takut Ia kelak lewat dan aku kelak tidak mengenali-Nya! Memang, Yesus mengatakan bahwa orang-orang pada zaman Nuh itu makan dan minum "tetapi mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua" (ayat 39). Perhatikan ini : mereka tidak menyadari apa-apa! Mereka asyik dengan urusan mereka sendiri dan tidak menyadari bahwa air bah akan segera datang. Memang, Yesus mengatakan bahwa, ketika Ia kelak datang, “kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan” (ayat 40). Dalam arti apa? Apa bedanya? Singkatnya, yang seorang siap siaga, ia menunggu, mampu melihat kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan yang lain terganggu, “terseret”, dan tidak memperhatikan apa pun.

 

Saudara-saudari, dalam Masa Adven ini, marilah kita terguncang dari kelambanan kita dan marilah kita bangun dari tidur kita! Marilah kita mencoba bertanya pada diri kita : apakah aku sadar akan apa yang sedang aku jalani, apakah aku siap siaga, apakah aku berjaga-jaga? Apakah aku berusaha mengenali kehadiran Allah dalam situasi sehari-hari, atau apakah aku terganggu dan sedikit kewalahan oleh berbagai hal? Jika kita tidak menyadari kedatangan-Nya hari ini, kita juga tidak akan siap ketika Ia datang di akhir zaman. Oleh karena itu saudara-saudari sekalian, marilah kita tetap berjaga-jaga! Menanti Tuhan datang, menanti Tuhan datang dekat dengan kita, karena Ia ada di sana, tetapi siap sedia menanti. Dan semoga Santa Perawan, perempuan penantian, yang tahu bagaimana memahami Allah yang lewat dalam kehidupan Nazaret yang sederhana dan tersembunyi serta menyambut-Nya di dalam rahimnya, membantu kita dalam perjalanan ini untuk penuh perhatian menanti Tuhan yang ada di antara kita dan lewat.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Saya mengikuti dengan keprihatinan meningkatnya kekerasan dan bentrokan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan di Negara Palestina dan di Israel. Rabu lalu, dua serangan yang bersifat pengecut di Yerusalem melukai banyak orang dan menewaskan seorang anak laki-laki Israel; dan pada hari yang sama, selama bentrokan bersenjata di Nablus, seorang anak laki-laki Palestina tewas. Kekerasan membunuh masa depan, menghancurkan kehidupan kaum muda dan melemahkan harapan akan perdamaian. Marilah kita mendoakan para pemuda yang meninggal ini dan keluarga mereka, terutama ibu mereka. Saya berharap pihak berwenang Israel dan Palestina akan lebih siap mengambil hati untuk mengupayakan dialog, membangun rasa saling percaya, yang tanpanya tidak akan pernah ada penyelesaian damai di Tanah Suci.

 

Dan saya juga ingin mengingat Burkhard Scheffler, yang meninggal tiga hari lalu di sini di bawah barisan tiang Lapangan Santo Petrus; ia mati kedinginan.

 

Dengan penuh kasih saya menyapa kamu semua, dari Italia dan berbagai negara, terutama para peziarah dari Warsawa dan Granada, perwakilan komunitas Rumania dan komunitas Timor Leste yang hadir di Roma, serta warga Ekuador yang sedang merayakan Pesta Bunda Maria dari El Quinche. Saya menyapa para relawan Palang Merah Acerenza, Ente Nazionale Pro Loco d'Italia, serta umat Turin, Pinerolo, Palermo, Grottammare dan Campobasso. Secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada para pembuat roti Italia, dengan harapan mereka dapat mengatasi kesulitan saat ini.

 

Saya menyapa para peserta pawai yang berlangsung pagi ini untuk mengecam kekerasan seksual terhadap perempuan, sayangnya sebuah kenyataan yang umum dan tersebar luas di mana-mana serta juga digunakan sebagai senjata perang. Janganlah kita bosan mengatakan tidak untuk perang, tidak untuk kekerasan, ya untuk dialog, ya untuk perdamaian; khususnya bagi rakyat Ukraina yang bermartir. Kemarin kita mengingat tragedi Holodomor.

 

Saya menyapa sekretariat FIAC (Forum Internasional Aksi Katolik), yang berkumpul di Roma pada kesempatan Sidang Kedelapan.

 

Dan kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu dan menjalani Masa Adven. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang, dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 27 November 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 23 November 2022 : KATEKESE TENTANG PEMBEDAAN ROH (BAGIAN 9) - PENGHIBURAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Kita melanjutkan katekese tentang pembedaan roh dan bagaimana membedakannya ketika terjadi di dalam hati dan jiwa kita. Setelah membahas beberapa aspek kehancuran – kegelapan di dalam jiwa – hari ini marilah kita berbicara tentang penghiburan – yang merupakan terang di dalam jiwa dan unsur penting lainnya dalam pembedaan roh, yang tidak boleh dianggap remeh, karena hal itu dapat menyebabkan kesalahpahaman. Kita harus memahami apa itu penghiburan, sama seperti kita telah mencoba memahami dengan baik apa itu kehancuran.

 

Apakah penghiburan rohani? Penghiburan rohani adalah pengalaman sukacita batin, yang terdiri dari melihat kehadiran Allah dalam segala hal. Penghiburan rohani memperkuat iman dan harapan, serta bahkan kemampuan untuk berbuat baik. Orang yang mengalami penghiburan tidak pernah menyerah dalam menghadapi kesulitan karena ia selalu mengalami kedamaian yang lebih kuat dari cobaan apa pun. Oleh karena itu, penghiburan rohani adalah karunia yang luar biasa untuk kehidupan rohani dan juga kehidupan pada umumnya … serta menjalani sukacita batin ini.

 

Penghiburan adalah gerakan batin yang menyentuh kedalaman kita. Penghiburan tidak mencolok tetapi lembut, halus, bagaikan setetes air di atas bunga karang (bdk. Santo Ignatius dari Loyola, Latihan Rohani, 335). Orang tersebut merasakan diselimuti kehadiran Allah dengan cara yang selalu menghormati kebebasannya sendiri. Tidak pernah ada sesuatu yang tidak selaras, yang mencoba memaksakan kehendak kita; juga bukan euforia yang berlalu. Sebaliknya, seperti yang telah kita lihat, bahkan penderitaan – yang disebabkan misalnya oleh dosa-dosa kita – dapat menjadi alasan penghiburan.

Marilah kita mengingat kembali pengalaman yang dialami Santo Agustinus ketika ia berbicara dengan Monika, ibunya, tentang keindahan hidup yang kekal; atau sukacita sempurna Santo Fransiskus terkait dengan situasi yang sangat sulit yang harus ia tanggung; dan marilah kita memikirkan banyak orang kudus yang mampu melakukan hal-hal besar bukan karena mereka berpikir mereka hebat atau mampu, tetapi karena mereka telah ditaklukkan oleh manisnya kasih Allah yang penuh kedamaian. Inilah kedamaian yang ditemukan Santo Ignatius dalam dirinya dengan begitu takjub ketika ia membaca kehidupan para kudus. Terhibur adalah berdamai dengan Allah, merasa bahwa segala sesuatu diselesaikan dalam damai, semuanya selaras dalam diri kita. Inilah kedamaian yang dirasakan Edith Stein setelah pertobatannya. Setahun setelah ia dibaptis, ia menulis – inilah yang dikatakan Edith Stein : “Ketika aku meninggalkan diriku pada perasaan ini, sedikit demi sedikit kehidupan baru mulai memenuhi diriku dan – tanpa menekankan keinginanku – mendorongku ke arah pengejawantahan yang baru. Pencurahan hidup ini tampaknya muncul dari suatu kegiatan dan kekuatan yang bukan milikku serta, tanpa melakukan kekerasan apa pun terhadap diriku, menjadi aktif dalam diriku” (Psicologia e scienze dello spirito, Città Nuova, 1996, 116). Jadi, kedamaian sejati adalah kedamaian yang membuat perasaan baik berkembang dalam diri kita.

 

Penghiburan, terutama, memengaruhi harapan, dan menjangkau masa depan, membawa kita dalam perjalanan, memungkinkan kita mengambil prakarsa yang selalu tertunda atau bahkan tidak terbayangkan, seperti pembaptisan bagi Edith Stein.

 

Penghiburan adalah jenis kedamaian tersebut, tetapi bukan berarti kita tetap duduk di sana menikmatinya, bukan…. Penghiburan memberimu kedamaian serta menarikmu kepada Tuhan dan membuatmu berangkat untuk melakukan berbagai hal, melakukan hal-hal yang baik. Di saat penghiburan, ketika kita dihibur, kita selalu ingin melakukan banyak hal baik. Sebaliknya, ketika ada momen kesedihan, kita merasa seperti menutup diri dan tidak melakukan apa-apa…. Penghiburan mendorong kita berkembang dalam pelayanan kepada sesama, masyarakat, orang lain.

 

Penghiburan rohani tidak “dipiloti” – kamu tidak dapat mengatakan sekarang bahwa penghiburan akan datang – tidak, penghiburan rohani tidak dapat “dipiloti”, diprogram sesuka hati. Penghiburan rohani adalah karunia Roh Kudus. Penghiburan rohani memungkinkan keakraban dengan Allah yang tampak meniadakan jarak. Ketika ia mengunjungi Basilika Santa Croce di Gerusalemme Roma pada usia empat belas tahun, Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus mencoba menyentuh paku yang dihormatinya di sana, salah satu paku yang dengannya Yesus disalibkan. Theresia memahami keberaniannya sebagai pembawa cinta dan kepercayaan diri. Kemudian, ia menulis, “Aku benar-benar terlalu berani. Tetapi Tuhan melihat kedalaman hati kita. Ia tahu kemurnian niatku […] Aku bertindak bersama-Nya sebagai seorang anak yang percaya bahwa segala sesuatu diperkenan dan yang menganggap harta Bapa sebagai miliknya” (Manuskrip Autobiografi, 183). Penghiburan terjadi secara spontan. Penghiburan menuntunmu untuk melakukan segala sesuatu secara spontan, seolah-olah kita adalah anak-anak. Anak-anak itu spontan, dan penghiburan menuntunmu untuk menjadi spontan dengan kelembutan, dengan kedamaian yang sangat dalam. Seorang gadis empat belas tahun memberi kita gambaran yang bagus tentang penghiburan rohani. Kita dapat merasakan kelembutan terhadap Allah yang membuat kita berani berkeinginan untuk ikut serta dalam kehidupan-Nya, melakukan apa yang berkenan kepada-Nya karena kita merasa akrab dengan-Nya, kita merasa bahwa kediaman-Nya adalah kediaman kita, kita merasa diterima, dicintai, dipulihkan. Dengan penghiburan ini, kita tidak menyerah dalam menghadapi kesulitan – bahkan, dengan keberanian yang sama, Theresia meminta izin kepada Paus untuk memasuki ordo Karmel meskipun ia terlalu muda, dan keinginannya dikabulkan. Apa artinya ini? Artinya, penghiburan membuat kita berani. Ketika kita menemukan diri kita berada dalam saat kegelapan, kehancuran, kita berpikir : “Aku tidak mampu melakukan ini, tidak….” Kehancuran membawamu ke bawah. Semuanya gelap…. "Tidak, aku tidak bisa melakukan ini ... Aku tidak sudi melakukannya". Sebaliknya, di saat-saat penghiburan, hal yang sama – “Tidak, aku akan maju. Aku akan lakukan". "Tapi apakah kamu yakin?" “Aku merasakan kekuatan Allah dan aku akan terus maju”. Jadi, penghiburan mendorongmu untuk terus maju dan melakukan hal-hal yang tidak akan mampu kamu lakukan dalam sekejap; penghiburan mendorongmu untuk mengambil langkah pertama. Inilah indahnya penghiburan.

 

Tetapi marilah kita berhati-hati. Kita harus membedakan dengan baik antara penghiburan yang datang dari Allah dan penghiburan palsu. Hal ini terjadi dalam kehidupan rohani yang serupa dengan produksi manusia : ada yang asli dan ada yang tiruan. Jika penghiburan otentik bagaikan sebuah tetesan pada bunga karang, lembut dan intim, penghiburan palsu lebih berisik dan lebih mencolok, penghiburan palsu adalah antusiasme semata, bagaikan api jerami, tidak hakiki, membuat kita menutup diri dan tidak memperhatikan sesama. Pada akhirnya, penghiburan palsu membuat kita kosong, jauh dari pusat keberadaan kita. Oleh karena itu, ketika kita merasa bahagia, damai, kita mampu melakukan apa saja. Tetapi jangan merancukan kedamaian itu dengan antusiasme yang berlalu karena antusiasme tersebut ada dewasa ini, tetapi kemudian lenyap dan tidak ada lagi.

 

Inilah sebabnya mengapa kita harus melakukan pembedaan roh bahkan ketika kita merasa terhibur. Penghiburan palsu bisa menjadi bahaya jika kita mencarinya secara obsesif sebagai tujuan itu sendiri, melupakan Tuhan. Seperti dikatakan Santo Bernardus, ini mencari penghiburan Allah ketimbang Allah penghiburan. Kita perlu mencari Allah, dan Allah menghibur kita dengan kehadiran-Nya. Ia menghibur kita, membuat kita bergerak maju. Dan kita seharusnya tidak mencari Allah yang memberikan kita penghiburan di bawah ini : Tidak, ini tidak benar, kita seharusnya tidak tertarik dengan hal ini. Ini adalah dinamika anak yang kita bicarakan terakhir kali yang mencari orangtuanya hanya untuk mendapatkan sesuatu, tetapi tidak mencarinya – ia sedang mencari kepentingannya sendiri. “Papa, Mama” – anak-anak tahu cara melakukan ini, mereka tahu cara bermain … dan ketika keluarga bercerai, dan mereka terbiasa pergi kepada sang ayah dan pergi kepada sang ibu, ini tidak baik, ini bukan penghiburan, tetapi kepentingan pribadi. Kita juga menanggung risiko menjalani hubungan kita dengan Allah secara kekanak-kanakan, mencari kepentingan kita, memerosotkannya menjadi obyek yang kita gunakan dan konsumsi, kehilangan karunia terindah yaitu Allah sendiri. Jadi, marilah kita bergerak maju dalam hidup kita yang berkembang di antara penghiburan Allah dan kehancuran akibat dosa dunia, bahkan mengetahui bagaimana membedakan penghiburan Allah yang membawa kedamaian kepada lubuk jiwamu, dari berlalunya antusiasme, yang tidak buruk, tetapi yang bukan penghiburan dari Allah.

 

[Imbauan]

 

Dalam beberapa jam terakhir, pulau Jawa di Indonesia diguncang gempa yang kuat. Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan penduduk yang terkasih itu dan saya mendoakan yang meninggal dan yang terluka.

Hari Minggu lalu, Pastor Giuseppe Ambrosoli dibeatifikasi di Kalongo, Uganda. Ia adalah seorang misionaris Comboni, imam dan dokter, lahir di Keuskupan Como, yang meninggal di Uganda pada tahun 1987 setelah menghabiskan hidupnya untuk orang-orang sakit yang di dalam diri mereka ia melihat wajah Kristus. Semoga kesaksiannya yang luar biasa membantu kita masing-masing untuk menjadi layak bagi Gereja yang sedang bergerak. Tepuk tangan meriah untuk sang Beato baru!

 

Saya ingin menyampaikan salam saya kepada para atlet, penggemar dan penonton yang mengikuti Kejuaraan Dunia sepak bola yang berlangsung di Qatar. Semoga peristiwa penting ini menjadi kesempatan untuk perjumpaan dan kerukunan antarbangsa, memupuk persaudaraan dan perdamaian antarbangsa. Marilah kita berdoa untuk perdamaian dunia, dan berakhirnya seluruh pertikaian, dengan secara khusus memikirkan penderitaan yang mengerikan dari rakyat Ukraina terkasih dan bermartir. Dan marilah kita memikirkan Ukraina yang dilanda perang. Sabtu ini adalah peringatan genosida Holodomor yang mengerikan, pemusnahan oleh kelaparan pada tahun 1932-33 yang secara artifisial disebabkan oleh Stalin. Marilah kita mendoakan para korban genosida ini dan marilah kita mendoakan seluruh rakyat Ukraina, anak-anak, wanita dan orang tua, bayi yang hari ini menjadi martir akibat agresi.

 

Semoga Hari Perikanan Sedunia, yang diperingati kemarin, mendorong kesinambungan penangkapan ikan dan budidaya melalui penghormatan terhadap hak-hak para nelayan, yang melalui pekerjaan mereka berkontribusi pada ketahanan pangan, gizi, dan pengentasan kemiskinan di dunia.

 

Semoga Hari Perikanan Sedunia dirayakan

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat. Atas kamu semua saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Kristus, Tuhan kita. Aklah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang pembedaan roh, sekarang kita membahas pengalaman “penghiburan” rohani, perasaan sukacita batin yang dalam, suatu karunia Roh Kudus, yang memungkinkan kita untuk merasakan kehadiran Allah yang menghibur dan penyelenggaraan ilahi dalam segala hal, bahkan dalam saat-saat pencobaan dan kesulitan. Santo Ignatius membandingkan gerakan hati yang penuh rahmat ini dengan tetesan air di atas bunga karang : dengan tenang dan sepenuhnya menghormati kebebasan kita, Tuhan meneguhkan kita dalam iman dan harapan serta kepercayaan penuh keyakinan dalam kasih-Nya yang kekal. Dalam kehidupan para kudus besar seperti Ignatius, Edith Stein dan Teresa dari Lisieux, kita melihat bagaimana pengalaman penghiburan rohani tidak hanya membawa kedamaian dan keyakinan batin yang mendalam, tetapi juga memberikan kekuatan untuk mencapai hal-hal luar biasa dalam melayani Tuhan. Tanda penghiburan sejati adalah kedamaian yang tenang, berbuah dan kekal yang dibawanya. Pembedaan roh diperlukan untuk membedakan penghiburan sejati dari penghiburan palsu, dangkal, dan memanjakan diri sendiri; dalam perjalanan rohani kita, semoga kita selalu mengindahkan nasihat yang baik dari Santo Bernardus, yang mendorong kita untuk mencari penghiburan Allah, dan bukan Allah penghiburan.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 23 November 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 16 November 2022 : KATEKESE TENTANG PEMBEDAAN ROH (BAGIAN 8) - MENGAPA KITA GERSANG?

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi dan selamat datang!

 

Hari ini, marilah kita lanjutkan katekese yang bertema pembedaan roh. Kita telah melihat betapa pentingnya membaca apa yang bergerak dalam diri kita, agar tidak membuat keputusan tergesa-gesa, didorong oleh emosi sesaat, hanya untuk menyesalinya ketika sudah terlambat. Artinya, membaca apa yang terjadi dan kemudian membuat keputusan.

 

Dalam pengertian ini, bahkan keadaan rohani yang kita sebut kegersangan, ketika di dalam hati semuanya gelap, sedih, hal-hal ini, keadaan gersang ini bisa menjadi peluang untuk berkembang. Memang, jika tidak ada sedikit ketidakpuasan, sedikit kesedihan yang sehat, kemampuan yang sehat untuk berdiam dalam kesendirian dan untuk tinggal sendiri tanpa melarikan diri, kita berisiko selalu berada di permukaan dan tidak pernah berhubungan dengan pokok keberadaan kita. Kegersangan menyebabkan “kebangkitan jiwa” : ketika kita sedih seolah-olah jiwa kita terguncang; kegersangan membuat kita waspada, kegersangan menumbuhkan kewaspadaan dan kerendahan hati, serta melindungi kita dari angin khayalan. Ini adalah kondisi yang sangat diperlukan untuk kemajuan hidup, dan karenanya juga kemajuan hidup rohani. Ketenangan yang sempurna tetapi “aseptik”, tanpa perasaan, ketika menjadi kriteria untuk keputusan dan perilaku, membuat kita tidak manusiawi. Kita tidak dapat mengabaikan perasaan kita : kita adalah manusia dan perasaan adalah bagian dari kemanusiaan kita. Dan tanpa memahami perasaan, kita tidak manusiawi; tanpa menghayati kepekaan perasaan, kita juga akan acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain dan tidak mampu menerima penderitaan kita. Belum lagi “ketenangan sempurna” seperti itu tidak dapat dicapai melalui jalan ketidakpedulian ini. Jarak steril ini : "Aku tidak akan terlibat dalam berbagai hal, aku akan menjaga jarak" : ini bukan kehidupan, seolah-olah kita hidup di laboratorium, tertutup, agar tidak memiliki mikroba dan penyakit. Bagi banyak orang kudus, kegelisahan merupakan dorongan yang menentukan untuk mengubah hidup mereka. Ketenangan buatan ini tidak akan berhasil. Ya, kegelisahan yang sehat baik-baik saja, hati yang gelisah, hati yang mencari jalannya. Ini adalah persoalan, misalnya, Agustinus dari Hippo, Edith Stein, Joseph Benedict Cottolengo, atau Charles de Foucauld. Pilihan penting datang dengan harga yang ditawarkan kehidupan, harga yang terjangkau oleh semua orang; atau lebih tepatnya, pilihan penting tidak datang dari lotere, tidak; pilihan penting memiliki harga dan kamu harus membayar harga itu. Ini adalah harga yang harus kamu bayar dengan hatimu, harga dari keputusan, harga dari membuat beberapa usaha. Tidak cuma-cuma, tetapi harga yang terjangkau oleh semua orang. Kita semua harus membayar keputusan ini untuk meninggalkan keadaan ketidakpedulian. Keadaan ketidakpedulian membawa kita ke bawah, selalu.

 

Kegersangan juga merupakan ajakan untuk kecuma-cumaan, untuk tidak bertindak selalu dan semata-mata dengan maksud untuk kepuasan emosional. Menjadi gersang menawarkan kita kemungkinan pertumbuhan, memulai hubungan yang lebih dewasa, lebih indah dengan Tuhan dan dengan orang-orang yang kita kasihi, hubungan yang tidak dimerosotkan menjadi sekadar pertukaran memberi dan memiliki. Marilah kita pikirkan masa kecil kita, misalnya, berpikir : sebagai anak-anak, sering terjadi bahwa kita mencari orangtua kita untuk mendapatkan sesuatu dari mereka, mainan, uang untuk membeli es krim, izin… Jadi, kita mencari mereka bukan untuk diri mereka, tetapi untuk keuntungan pribadi. Namun, karunia terbesar adalah mereka, orangtua kita, dan kita memahami ini secara bertahap saat kita tumbuh dewasa.

 

Banyak dari doa-doa kita juga hampir seperti ini : doa-doa kita adalah memohon kebaikan yang ditujukan kepada Tuhan, tanpa sungguh berkepentingan kepada-Nya. Kita pergi untuk memohon, memohon, memohon kepada Tuhan. Injil mencatat bahwa Yesus sering dikelilingi oleh banyak orang yang mencari Dia untuk mendapatkan sesuatu : penyembuhan, bantuan materi, tetapi tidak semata untuk bersama dengan Dia. Ia didorong oleh orang banyak, namun Ia sendirian. Beberapa orang kudus, dan bahkan beberapa seniman, telah merenungkan kondisi Yesus ini. Mungkin tampak aneh, tidak menurut kenyataan, bertanya kepada Tuhan : “Bagaimana kabar-Mu?” Sebaliknya, ini adalah cara yang indah untuk masuk ke dalam hubungan yang benar dan tulus, dengan kemanusiaannya, dengan penderitaannya, bahkan dengan kesendiriannya. Bersama-Nya, bersama Tuhan, yang ingin berbagi kepenuhan hidup-Nya dengan kita.

 

Sangat baiklah bagi kita untuk belajar bersama-Nya, bersama Tuhan, belajar bersama Tuhan tanpa motif tersembunyi, persis seperti yang terjadi dengan orang-orang yang kita sayangi : kita ingin semakin mengenal mereka, karena bersama mereka ada baiknya.

 

Saudara-saudari terkasih, kehidupan rohani bukanlah teknik yang kita miliki, bukan program untuk “kesejahteraan” batin yang perencanaannya terserah kita. Tidak. Kehidupan rohani adalah hubungan dengan Dia yang hidup, dengan Allah, Dia yang hidup yang tidak dapat dimerosotkan menjadi kategori kita. Dan kegersangan, kemudian, adalah tanggapan paling jelas terhadap keberatan bahwa pengalaman akan Tuhan adalah bentuk angan-angan, proyeksi sederhana dari keinginan kita. Kegersangan bukan tidak merasakan apa-apa, ketika semuanya gelap, tetapi kamu mencari Allah dalam kegersangan. Dalam hal ini, jika kita berpikir bahwa Ia adalah proyeksi keinginan kita, kita akan selalu menjadi orang yang merencanakan, serta kita akan selalu bahagia dan puas, seperti rekaman yang mengulang musik yang sama. Sebaliknya, orang-orang yang berdoa menyadari bahwa hasilnya tidak dapat diprediksi : pengalaman dan kisah Kitab Suci yang sering membuat kita terpesona, dewasa ini, anehnya, tidak menggerakkan kita. Dan, secara tak terduga, pengalaman, perjumpaan, dan bacaan yang tidak pernah kita perhatikan atau hindari – seperti pengalaman salib – membawa kedamaian yang luar biasa. Jangan takut akan kegersangan; hadapilah dengan ketekunan, jangan menghindarinya. Dan dalam kegersangan, cobalah untuk menemukan hati Kristus, menemukan Tuhan. Dan jawabannya akan tiba, selalu.

 

Menghadapi kesulitan, oleh karena itu, jangan pernah berkecil hati, tolong, bahkan hadapi ujian dengan tekad, dengan pertolongan rahmat Allah, yang tidak pernah tiada. Dan jika kita mendengar di dalam diri kita suatu suara yang mendesak yang ingin menjauhkan kita dari doa, marilah kita belajar untuk membuka kedoknya sebagai suara si penggoda; dan janganlah kita terpengaruh; marilah kita lakukan kebalikan dari apa yang dikatakannya kepada kita! Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah berbahasa Inggris yang mengikuti Audiensi hari ini, terutama yang berasal dari Inggris, Denmark, Belanda, Indonesia, Kanada, dan Amerika Serikat. Atas kamu semua saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Kristus, Tuhan kita. Allah memberkatimu!

 

[Imbauan]

 

Saya telah mempelajari dengan sedih dan prihatin berita tentang serangan rudal baru dan bahkan lebih parah di Ukraina, yang telah menyebabkan kematian dan kerusakan pada banyak prasarana sipil. Marilah kita berdoa agar Tuhan sudi mempertobatkan hati orang-orang yang masih bersikeras untuk berperang, dan berkeinginan untuk memenangkan perdamaian bagi Ukraina yang bermartir, menghindari perluasannya serta membuka jalan bagi gencatan senjata dan dialog.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang pembedaan roh, kita telah melihat pentingnya menafsirkan gerakan hati kita, termasuk pengalaman sesekali "kegersangan" atau keresahan dan ketidakpuasan batin. Saat-saat seperti itu sebenarnya merupakan tantangan bagi kepuasan diri kita dan insentif untuk pertumbuhan dalam kehidupan rohani. Dalam persoalan banyak santo besar seperti Agustinus, perasaan gelisah batin ini merupakan awal dari pertobatan yang mendalam. Pengalaman kegersangan dapat membuka mata kita untuk melihat berbagai hal dalam terang baru, menghargai berkat-berkat yang sering kita anggap remeh, dan menemukan kedamaian kita dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan cara ini, kita memperdalam hubungan kita dengan Yesus, yang tidak hanya membawa penghiburan, tetapi juga tantangan baru untuk menjadi dewasa dalam pemuridan Kristiani. Pada saat kegersangan atau keputusasaan, semoga kita menerima pengalaman itu sebagai undangan untuk berdoa semakin dalam, persatuan yang lebih dekat dengan Kristus dan kepercayaan yang teguh akan janji-janji-Nya.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 16 November 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 13 November 2022 : KETAHANAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi, hari Minggu yang terberkati!


Bacaan Injil hari ini membawa kita ke Yerusalem, di tempat yang paling suci : Bait Allah. Di sana, di sekitar Yesus, beberapa orang berbicara tentang kemegahan bangunan yang mengagumkan itu, yang “dihiasi dengan batu yang indah-indah” (Luk 21:5). Tetapi Tuhan menyatakan, “Akan datang harinya di mana tidak ada satu batupun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan” (Luk 21:6). Ia kemudian menambahkan ceritanya, menjelaskan bagaimana dalam sejarah hampir semuanya runtuh : akan ada, kata-Nya, pemberontakan dan peperangan, gempa bumi dan kelaparan, penyakit sampar dan penganiayaan (bdk. ayat 9-17). Seolah-olah mau dikatakan : kita hendaknya tidak terlalu percaya pada kenyataan duniawi yang akan berlalu. Inilah kata-kata bijak, yang bagaimanapun bisa membuat kita agak pahit. Sudah ada banyak hal yang keliru. Tetapi mengapa Tuhan membuat pernyataan negatif seperti itu? Sesungguhnya Ia tidak berniat untuk membuat pernyataan negatif, sebaliknya – memberi kita ajaran yang berharga, yaitu jalan keluar dari semua kerawanan ini. Dan apa jalan keluarnya? Bagaimana kita bisa keluar dari kenyataan yang berlalu dan akan berlalu, dan tidak akan ada lagi?

 

Ajaran tersebut terletak pada sebuah kata yang mungkin akan mengejutkan kita. Kristus mengungkapkannya dalam kalimat terakhir Bacaan Injil, ketika Ia berkata : “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu” (ayat 19). Ketahanan. Apa itu ketahanan? Kata itu menunjukkan "sangat ketat"; tetapi ketat dalam arti apa? Dengan diri kita, menganggap diri kita tidak sesuai baku? Tidak. Dengan orang lain, menjadi kaku dan tidak lentur? Bukan ini juga. Yesus meminta kita untuk menjadi "ketat", tanpa kompromi, gigih dalam apa yang ada di dalam hati, dalam apa yang penting. Karena, apa yang benar-benar penting, seringkali tidak sesuai dengan apa yang menarik minat kita. Seperti orang-orang di Bait Allah, kita sering memprioritaskan pekerjaan tangan kita, pencapaian kita, tradisi agama dan sipil kita, simbol sakral dan sosial kita. Ini baik-baik saja, tetapi kita memberikan terlalu banyak prioritas kepada semua itu. Hal-hal ini penting, tetapi semuanya akan berlalu. Sebaliknya, Yesus berkata untuk berkonsentrasi pada apa yang tinggal, menghindari mengabdikan hidup kita untuk membangun sesuatu yang kemudian akan diruntuhkan, seperti Bait Allah itu, dan lupa untuk membangun apa yang tidak akan runtuh, membangun di atas sabda-Nya, di atas cinta, di atas kebaikan. Bertahan, ketat dan tegas dalam membangun apa yang tidak akan berlalu.

 

Maka, inilah ketahanan : membangun kebaikan setiap hari. Bertahan berarti terus menerus tetap dalam kebaikan, terutama ketika kenyataan di sekitar kita mendesak kita untuk melakukan sebaliknya. Mari kita renungkan beberapa contoh : saya tahu bahwa doa itu penting, tetapi, seperti semua orang, saya juga selalu punya banyak pekerjaan, jadi saya menundanya : “Tidak, saya sibuk sekarang, saya tidak bisa, saya 'akan melakukannya nanti'. Atau, saya melihat banyak orang licik yang memanfaatkan situasi, yang menghindari aturan, jadi saya juga berhenti mematuhinya dan bertahan dalam keadilan dan legalitas: “Tetapi jika bajingan ini melakukannya, saya juga akan melakukannya!”. Waspadalah terhadap hal ini! Dan kembali : saya melakukan pelayanan di Gereja, untuk komunitas, untuk orang miskin, tetapi saya melihat banyak orang di waktu luang mereka hanya berpikir untuk bersenang-senang, jadi saya merasa ingin menyerah dan melakukan apa yang mereka lakukan. Karena saya tidak melihat hasilnya, atau saya bosan, atau tidak membuat saya bahagia.

 

Ketahanan, sebaliknya, adalah tetap dalam kebaikan. Marilah kita bertanya pada diri kita : seperti apa ketahanan saya? Apakah saya berkesinambungan, atau apakah aku mengamalkan iman, keadilan dan kasih menurut saat tertentu : aku berdoa jika aku menginginkannya; aku adil, bersedia dan membantu jika cocok untukku; sedangkan jika aku tidak puas, jika tidak ada yang berterima kasih kepadaku, apakah aku berhenti? Singkatnya, apakah doa dan pelayananku bergantung pada keadaan atau pada hati yang teguh di dalam Tuhan? Jika kita bertahan – Yesus mengingatkan kita – kita tidak perlu takut, bahkan dalam peristiwa kehidupan yang menyedihkan dan buruk, bahkan dalam kejahatan yang kita lihat di sekitar kita, karena kita tetap berpijak pada kebaikan. Dostoevsky menulis: “Jangan takut akan dosa manusia. Kasihilah seorang manusia bahkan dalam dosanya, karena serupa dengan Sang Kasih Ilahi dan merupakan cinta tertinggi di bumi” (Karamazov Bersaudara, II, 6, 3g). Ketahanan adalah cerminan dalam dunia kasih Allah, karena kasih Allah itu setia, berkesinambungan, tidak pernah berubah.

Semoga Bunda Maria, hamba Tuhan, bertekun dalam doa (bdk. Kis 1:12), membentengi ketahanan kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]


Saudara-saudari terkasih


Besok akan menjadi peringatan pertama peluncuran Ajang Aksi Laudato Si', yang mempromosikan pertobatan ekologis dan gaya hidup yang selaras dengannya. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah merangkul prakarsa ini : ada sekitar enam ribu peserta, termasuk perorangan, keluarga, lembaga, bisnis, dan lembaga keagamaan, budaya dan kesehatan. Ini adalah awal yang sangat baik untuk perjalanan tujuh tahun yang ditujukan untuk menanggapi jeritan bumi dan orang miskin. Saya mendorong misi ini, yang sangat penting untuk masa depan umat manusia, sehingga dapat menumbuhkan dalam diri setiap orang ketetapan hati yang tulus untuk memelihara ciptaan.


Dari sudut pandang ini, saya ingin mengingat Konferensi Tingkat Tinggi COP27 tentang Perubahan Iklim, yang berlangsung di Mesir. Saya berharap langkah-langkah maju akan dibuat, dengan keberanian dan tekad, setelah Perjanjian Paris.


Marilah kita selalu tetap dekat dengan saudara-saudari kita di Ukraina yang menjadi martir. Dekat dalam doa dan dengan kesetiakawanan nyata. Perdamaian itu mungkin! Janganlah kita menyerah pada peperangan.

 

Dan saya menyapa kamu semua, para peziarah dari Italia dan berbagai negara, keluarga, paroki, lembaga dan umat perorangan. Secara khusus, saya menyapa grup karismatik “El Shaddai” dari Amerika Serikat, musisi “bandoneon” Uruguay – saya melihat benderamu di sana, bravo! – Misi Katolik Yunani Rumania di Paris, perwakilan pastoral sekolah dari Limoges dan Tulle dengan uskup masing-masing, dan anggota komunitas Eritrea di Milan, yang kepadanya saya memastikan doa saya untuk negara mereka. Saya senang menyapa para pelayan altar Ovada, Koperasi “Nuova Famiglia” Monza, perlindungan sipil Lecco, umat Perugia, Pisa, Sassari, Catania dan Bisceglie, serta para putra dan putri Yang Dikandung Tanpa Noda.

 

Kepada kamu semua, saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang, dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 12 November 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 9 November 2022 : PERJALANAN APOSTOLIK KE BAHRAIN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Agak dingin, bukan? Tetapi indah.

 

Sebelum mulai berbicara tentang apa yang telah saya persiapkan, saya ingin memberi perhatian kepada dua anak yang telah datang ke sini. Mereka tidak meminta izin. Mereka tidak mengatakan, "Aku takut". Mereka datang langsung. Inilah bagaimana kita perlu bersama Allah : langsung. Mereka telah memberi kita contoh bagaimana kita perlu berperilaku terhadap Allah, terhadap Tuhan : lanjutkan! Ia selalu sedang menanti kita. Senang rasanya melihat kepercayaan kedua anak ini. Menjadi contoh bagi kita semua. Inilah bagaimana kita harus selalu mendekat kepada Tuhan – dengan bebas. Terima kasih.

 

Tiga hari yang lalu, saya kembali dari perjalanan saya ke Kerajaan Bahrain yang sama sekali tidak saya ketahui. Saya benar-benar tahu seperti apa kerajaan itu. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang menyertai lawatan ini melalui dukungan doa mereka, dan kembali mengucapkan terima kasih saya kepada Yang Mulia Raja Bahrain, aparat pemerintah lainnya, Gereja dan umat setempat, atas sambutan hangat mereka. Dan saya juga ingin berterima kasih kepada orang-orang yang mengatur perjalanan ini. Untuk melakukan hal ini ada pergerakan orang-orang, Sekretariat Negara bekerja keras mempersiapkan jadwal perjalanan, mempersiapkan logistik, segalanya, ada banyak pergerakan…kemudian para penerjemah…dan kemudian, korps Gendarmeria, Garda Swiss yang luar biasa…. Segalanya. Sejumlah pekerjaan yang luar biasa! Kepada semua orang, kepada kamu semua, saya ingin mengucapkan terima kasih secara terbuka atas semua yang kamu lakukan sehingga perjalanan Paus dapat berjalan dengan baik. Terima kasih.

 

Ada pertanyaan yang muncul secara spontan tentang mengapa Paus ingin mengunjungi negara kecil dengan mayoritas penduduk beragama Islam yang begitu besar? Ada begitu banyak negara Kristiani – mengapa tidak pergi dulu ke satu atau dua dari negara-negara tersebut? Saya ingin menanggapinya melalui tiga kata : dialog, perjumpaan dan perjalanan.

 

Dialog : kesempatan untuk perjalanan yang telah lama diidam-idamkan atas undangan yang diberikan Raja Bahrain untuk Forum Dialog antara Timur dan Barat, sebuah dialog yang berusaha menemukan kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat, tradisi, dan kepercayaan lain. Bahrain, negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau, membantu kita memahami bahwa hidup tidak perlu dengan mengasingkan diri, tetapi dengan mendekat. Di Bahrain, yang terdiri dari pulau-pulau, mereka mendekat, mereka tidak saling bergesekan. Menciptakan perdamaian membutuhkan hal ini, dan dialog adalah “oksigen perdamaian”. Jangan melupakan hal ini. Dialog adalah “oksigen perdamaian”. Bahkan perdamaian di rumah kita, bukan? Jika ada perang antara suami dan istri, dengan dialog mereka dapat bergerak maju dengan perdamaian. Dalam keluarga, dialog, karena perdamaian dipertahankan melalui dialog.

 

Hampir enam puluh tahun yang lalu, Konsili Vatikan II, berbicara tentang membangun sebuah bangunan besar perdamaian, menyatakan bahwa “sudah pasti sekarang itu menuntut, agar mereka memperluas cakarawala hati dan budi melampaui batas negara mereka sendiri, menanggalkan egoisme nasional dan ambisi menguasai bangsa-bangsa lain, serta memupuk sikap hormat yang mendalam terhadap seluruh umat manusia, yang dengan banyak jerih payah sudah melangkah maju ke arah kesatuan semakin erat” (Gaudium et Spes, 82). Inilah yang dikatakan Konsili. Saya merasakan kebutuhan ini di Bahrain dan saya berharap agar para pemimpin agama dan sipil di seluruh dunia memungkinkan dapat melihat melampaui batas mereka, komunitas mereka, untuk peduli terhadap keseluruhan. Inilah satu-satunya cara untuk menghadapi isu-isu semesta tertentu, misalnya, bahwa Allah terlupakan, tragedi kelaparan, peduli terhadap ciptaan, perdamaian. Hal-hal ini dapat dipikirkan bersama-sama. Dalam pengertian ini, Forum Dialog yang bertajuk: “Timur dan Barat untuk Hidup Berdampingan Manusiawi” – ini judulnya, “Timur dan Barat untuk Hidup Berdampingan Manusiawi” – mendorong untuk memilih jalan perjumpaan dan menolak perseteruan. Betapa kita membutuhkan hal ini! Ada kebutuhan untuk saling berjumpa seperti itu. Saya memikirkan kegilaan perang - kegilaan - yang menjadi korban Ukraina yang babak belur, dan banyak pertikaian lainnya, yang tidak akan pernah terselesaikan melalui berkembangnya artileri, tetapi hanya dengan kekuatan dialog yang lembut. Tetapi selain Ukraina, yang sedang tersiksa, negeri ini. Tetapi marilah kita pikirkan perang yang berlangsung selama bertahun-tahun, dan marilah kita pikirkan Suriah – lebih dari 10 tahun! -- marilah kita pikirkan, misalnya, Suriah, marilah pikirkan anak-anak di Yaman, marilah pikirkan Myanmar: di semua tempat! Saat ini, Ukraina lebih dekat. Dan apa yang dilakukan perang? Perang menghancurkan, menghancurkan umat manusia, menghancurkan segalanya. Pertikaian tidak harus diselesaikan melalui perang.

 

Tetapi tidak akan ada dialog tanpa kata kedua – perjumpaan. Kata pertama - dialog. Kata kedua - perjumpaan. Kita saling bertemu di Bahrain. Beberapa kali saya mendengar muncul keinginan agar perjumpaan antara umat Kristiani dan umat Muslim meningkat, agar mereka membentuk hubungan yang lebih kuat, agar hal ini lebih diperhatikan. Seperti kebiasaan di Timur, di Bahrain, orang-orang meletakkan tangan mereka di hati mereka ketika mereka menyapa seseorang. Saya melakukan ini juga, untuk memberi ruang di dalam diri saya bagi orang yang saya temui. Karena tanpa sambutan ini, dialog tetap kosong, seolah-olah, tetap pada tingkat gagasan daripada kenyataan. Di antara banyak pertemuan, saya mengingat satu pertemuan dengan saudaraku terkasih, Imam Besar Al-Azhar – saudaraku terkasih – dan satu pertemuan dengan kaum muda di Sekolah Hati Kudus, siswa-siswa yang memberi kita teladan yang luar biasa : umat Kristiani dan umat Muslim belajar bersama. Kaum muda, laki-laki dan perempuan, anak-anak perlu saling mengenal sehingga pertemuan persaudaraan dapat mencegah perpecahan ideologis. Dan sekarang saya ingin berterima kasih kepada Sekolah Hati Kudus; saya berterima kasih kepada Suster Rosalyn yang telah mengembangkan sekolah ini dengan baik, dan anak-anak yang ikut serta dengan berwacana, melalui doa, tarian, lagu – saya mengingat semuanya dengan baik! Terima kasih banyak! Tetapi bahkan orang tua memberikan kesaksian tentang kebijaksanaan persaudaraan. Saya mengingat pertemuan dengan Dewan Sesepuh Muslim, sebuah organisasi internasional yang dibentuk beberapa tahun lalu yang mempromosikan hubungan baik antara komunitas Islam di bawah panji rasa hormat, moderasi dan perdamaian, menentang fundamentalisme dan kekerasan.

 

Maka kita bergerak menuju kata ketiga: perjalanan. Perjalanan ke Bahrain tidak boleh dilihat sebagai kisah terpisah. Perjalanan tersebut adalah bagian dari proses yang diprakarsai oleh Santo Yohanes Paulus II ketika beliau melakukan perjalanan ke Maroko. Jadi, kunjungan pertama seorang Paus di Bahrain merupakan langkah baru dalam perjalanan antara umat Kristiani dan umat Muslim – bukan untuk merancukan atau melemahkan iman, tidak. Dialog tidak meredakan, tetapi menciptakan ikatan persaudaraan dalam nama Bapa kita Abraham, yang adalah seorang peziarah di bumi di bawah tatapan penuh belas kasihan dari satu Allah Surga, Allah perdamaian. Inilah sebabnya mengapa moto perjalanan adalah : "Damai di bumi untuk orang-orang yang memiliki kehendak baik". Dan mengapa saya melihat dialog itu tidak mudah? Karena untuk berdialog kamu harus memiliki jatidiri. Jika kamu tidak memiliki jatidiri, kamu tidak dapat berdialog karena kamu bahkan tidak mengerti siapa dirimu. Agar dialog menjadi baik, selalu harus berakar pada jatidiri, menyadari jatidirimu, dan dari sana dialog dapat terjadi.

Dialog, perjumpaan, dan perjalanan di Bahrain juga terjadi di antara umat Kristini. Misalnya, perjumpaan pertama bersifat ekumenis, mendoakan perdamaian bersama Patriark dan Saudara Bartholomew yang terkasih, dan bersama saudara dan saudari dari berbagai pengakuan dan ritus. Peristiwa tersebut terjadi di Katedral yang didedikasikan untuk Santa Maria dari Arabia, yang strukturnya menyerupai tenda, tempat, menurut Kitab Suci, Allah akan bertemu dengan Musa di padang gurun sepanjang perjalanan. Saudara-saudari seiman, yang saya temui di Bahrain, benar-benar hidup “dalam perjalanan”. Sebagian besar, mereka adalah para pekerja migran yang, jauh dari rumah, menemukan akar mereka dalam Umat Allah dan keluarga mereka di dalam keluarga besar Gereja. Sungguh luar biasa melihat para migran ini – dari Filipina, dari India dan dari tempat lain – umat kristiani yang berkumpul dan saling mendukung dalam iman. Dan mereka bergerak maju dengan sukacita, dalam kepastian bahwa harapan Allah tidak mengecewakan (bdk. Rm 5:5). Bertemu dengan para imam, para pelaku hidup bakti, para pekerja pastoral, dan dalam Misa yang meriah dan mengharukan yang dirayakan di stadion dengan begitu banyak umat yang juga datang dari negara-negara Teluk lainnya, saya membawakan mereka kasih sayang seluruh Gereja. Ini adalah perjalanan.

 

Dan hari ini saya ingin menyampaikan kepadamu sukacita mereka yang tulus, sederhana dan indah. Saling bertemu dan berdoa bersama, kami merasa sehati dan sejiwa. Memikirkan perjalanan mereka, pengalaman dialog mereka sehari-hari, marilah kita semua merasa terpanggil untuk memperluas wawasan kita – tolong buka hati! Tidak tertutup, keras hati. Bukalah hatimu karena kita semua bersaudara dan agar persaudaraan manusia ini bisa terus berkembang. Perluas cakrawalamu, terbuka, perluas minatmu dan mari mendedikasikan diri untuk memahami orang lain. Jika kamu mendedikasikan diri untuk memahami orang lain, kamu tidak akan pernah terancam. Tetapi jika kamu takut pada orang lain, kamu akan terancam. Setiap orang dibutuhkan agar perjalanan persaudaraan dan perdamaian dapat berkembang. Saya dapat memberikan tangan saya, tetapi jika tidak ada tangan lainnya, saya tidak bisaberbuat apa-apa. Semoga Bunda Maria menolong kita dalam perjalanan ini! Terima kasih!

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang berasal dari Denmark, Finlandia, Kanada, dan Amerika Serikat. Atas kamu semua saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Kristus, Tuhan kita. Allah memberkati!

 

[Ringkasan yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Perjalanan Apostolik saya baru-baru ini ke Bahrain diadakan oleh Forum Internasional untuk Dialog, yang mempertemukan para pemimpin berbagai agama dalam pelayanan perdamaian. Dialog sebenarnya adalah “oksigen perdamaian”, membuka pikiran dan hati untuk menghadapi dan meruntuhkan tembok kekerasan dan perpecahan. Di dunia kita, yang terkoyak oleh perang dan pertikaian, para pemimpin agama dan sipil, dan semua orang yang berkehendak baik, ditantang untuk melihat melampaui kepentingan-kepentingan sempit serta mengupayakan persatuan dan perdamaian seluruh keluarga manusia. Kunjungan saya ke Bahrain, negara berpenduduk mayoritas Muslim, merupakan langkah lain dalam perjalanan dialog, perjumpaan, dan kerjasama persaudaraan yang menjanjikan antara umat Kristiani dan umat Muslim. Pada hari-hari itu, saya juga dapat bergabung dengan para pemimpin Kristiani dalam doa paduan suara untuk perdamaian dan merayakan Misa Kudus dengan umat Katolik Bahrain dan wilayah Teluk yang lebih luas. Semoga doa-doa Our Santa Maria dari Arabia meneguhkan mereka dalam kesaksian iman mereka yang penuh sukacita dan membantu semua orang percaya untuk bertekun di jalan menuju perdamaian, pemahaman dan hidup berdampingan persaudaraan.
_______

(Peter Suriadi - Bogor, 9 November 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 1 November 2022 : MENJADI PEMBAWA DAMAI

Saudara-saudari terkasih, selamat hari raya, selamat pagi!

 

Hari ini, kita merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus, dan kita mungkin memiliki kesan yang menyesatkan : kita mungkin berpikir bahwa kita sedang merayakan saudara-saudari kita yang dalam hidupnya sempurna, selalu lurus, persis, atau lebih tepatnya “kaku”. Sebaliknya, Bacaan Injil hari ini memungkiri pandangan stereotip ini, "kekudusan yang sempurna". Faktanya, Sabda Bahagia Yesus (bdk. Mat 5:1-12), yang merupakan kartu jatidiri orang-orang kudus, menunjukkan kebalikannya : mereka berbicara tentang kehidupan dengan budaya tandingan, kehidupan revolusioner! Orang-orang kudus adalah para revolusioner sejati.

 

Marilah kita ambil contoh, sabda bahagia yang sangat topikal : “Berbahagialah orang yang membawa damai” (ayat 9), dan kita melihat bagaimana damai Yesus sangat berbeda dari damai yang kita bayangkan. Kita semua mendambakan damai, tetapi seringkali yang kita inginkan bukanlah damai yang sesungguhnya, melainkan damai, tinggal dalam damai, tidak memiliki masalah bahkan memiliki ketenangan. Yesus, sebaliknya, tidak menyebut berbahagia orang-orang yang tenang, orang-orang yang berada dalam damai, tetapi orang-orang yang membuat damai dan berusaha untuk membuat damai, para perancang, para pembawa damai. Memang, damai harus dibangun, dan seperti rancangan apa pun damai membutuhkan usaha, kerjasama, kesabaran. Kita ingin damai turun dari atas, tetapi Kitab Suci justru berbicara tentang “penaburan damai” (Zak 8:12), karena damai tumbuh dari tanah kehidupan, dari benih hati kita; damai tumbuh dalam keheningan, hari demi hari, melalui karya keadilan dan karya belas kasih, seperti yang ditunjukkan oleh saksi-saksi gemilang yang kita sedang rayakan hari ini. Sekali lagi, kita dituntun untuk percaya bahwa damai datang dengan kekuatan dan kekuatan : bagi Yesus damai adalah kebalikannya. Kehidupan-Nya dan kehidupan para kudus memberitahu kita bahwa benih damai, untuk tumbuh dan menghasilkan buah, harus mati terlebih dahulu. Damai tidak dicapai dengan menaklukkan atau mengalahkan seseorang, tidak pernah dengan kekerasan, tidak pernah bersenjata. Saya sedang menonton program televisi “A Sua Immagine” (“Dalam Gambar-Nya”) – banyak orang kudus yang telah berjuang, telah membuat damai tetapi melalui karya, memberikan hidup mereka, menawarkan hidup mereka.

 

Lalu bagaimana kita menjadi pembawa damai? Pertama-tama, kita harus melucuti hati. Ya, karena kita semua dilengkapi dengan pikiran agresif terhadap satu sama lain, dan memangkas kata-kata, dan kita berpikir untuk membela diri dengan kawat berduri ratapan dan dinding beton ketidakpedulian, serta di antara ratapan dan ketidakpedulian kita mengeluh, dan ini bukan damai, tetapi perang. Benih damai menyerukan demiliterisasi ranah hati. Bagaimana hatimu? Apakah sudah didemiliterisasi atau seperti itu, dengan hal-hal itu, dengan keluhan dan ketidakpedulian, dengan penyerangan? Dan bagaimana kita mendemiliterisasi hati. Dengan membuka diri kita kepada Yesus, yang adalah “damai sejahtera kita” (Ef 2:14); dengan berdiri di depan Salib-Nya, yang merupakan katedral perdamaian; dengan menerima dari Dia, dalam Sakramen Tobat, "pengampunan dan damai". Di sinilah tempat kita memulai, karena menjadi pembawa damai, menjadi orang kudus, bukanlah kemampuan kita, menjadi orang kudus adalah karunia, salah satu karunia-Nya, menjadi orang kudus adalah rahmat.

 

Saudara-saudari, marilah kita melihat ke dalam diri kita dan bertanya pada diri kita : apakah kita pembawa damai? Di tempat kita tinggal, belajar dan bekerja, apakah kita membawa ketegangan, kata-kata yang menyakitkan, obrolan yang meracuni, kontroversi yang memecah belah? Atau apakah kita membuka jalan menuju damai, mengampuni orang-orang yang telah menyakiti kita; apakah kita peduli pada mereka yang terpinggirkan, apakah kita mengentaskan ketidakadilan dengan membantu mereka yang berkekurangan? Inilah yang disebut membangun damai.

 

Namun, pertanyaan terakhir mungkin muncul, yang berlaku untuk setiap Sabda Bahagia: apakah layak hidup seperti ini? Bukankah merugi? Yesuslah yang memberi kita jawaban : pembawa damai “akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9) : di dunia mereka tampak tidak memiliki tempat, karena mereka tidak menyerah pada nalar kekuasaan dan menang, di surga mereka akan menjadi yang paling dekat dengan Allah, yang paling serupa dengan Dia. Tetapi, pada kenyataannya, bahkan di sini orang-orang yang menang tetap dengan tangan kosong, sementara orang-orang yang mengasihi semua orang dan tidak menyakiti siapa pun menang : sebagaimana dikatakan pemazmur, "pada orang yang suka damai akan ada masa depan" (bdk. Mzm 37:37).

 

Semoga Perawan Maria, Ratu semua orang kudus, membantu kita menjadi pembawa damai dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Lusa saya akan berangkat untuk perjalanan apostolik di Kerajaan Bahrain, di mana saya akan tinggal sampai hari Minggu. Sampai sekarang, saya ingin menyapa dan mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Raja, pihak pemerintah, saudara-saudari seiman, dan seluruh penduduk negeri ini, terutama mereka yang bekerja untuk mempersiapkan kunjungan ini. Kunjungan ini akan menjadi perjalanan yang didedikasikan untuk dialog : memang, saya akan ikut serta dalam Forum dengan tema kebutuhan yang tak tergantikan bagi Timur dan Barat untuk bergerak lebih dekat bersama-sama demi kebaikan hidup berdampingan manusiawi; saya akan memiliki kesempatan untuk berbicara dengan para perwakilan agama, khususnya Islam. Saya meminta kamu semua untuk menyertai saya dengan doa, sehingga setiap pertemuan dan acara dapat menjadi kesempatan yang bermanfaat untuk mendukung, dalam nama Tuhan, penyebab persaudaraan dan perdamaian, yang saat ini sangat dibutuhkan dan mendesak.

 

Dengan penuh kasih sayang saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan berbagai negara. Secara khusus, saya menyapa umat Setúbal, di Portugal, dan para remaja dari Cassina de’ Pecchi, Keuskupan Milan yang memberikan pengakuan iman mereka.

 

Saya senang menyapa para peserta lomba Corsa dei Santi, yang diselenggarakan oleh Yayasan “Misi Don Bosco” untuk menghayati peringatan Hari Raya Semua Orang Kudus dalam dimensi perayaan kerakyatan. Terima kasih atas prakarsamu yang indah dan atas kehadiranmu!

 

Saudara-saudari terkasih, tolong, jangan lupakan Ukraina yang bermartir: marilah kita berdoa untuk perdamaian, marilah kita berdoa agar ada perdamaian di Ukraina.

 

Besok didedikasikan untuk memperingati semua orang beriman yang telah meninggal. Selain kunjungan tradisional ke makam orang yang kita cintai, saya mengundangmu untuk mengingat mereka dalam doa demi ketenangan jiwa mereka, terutama selama Misa Kudus.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat pesta. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang, dan sampai jumpa!
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 1 November 2022)