Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 30 Agustus 2020 : UMAT KRISTIANI DIPANGGIL UNTUK MELAYANI ALLAH DAN SESAMA SEPERTI YESUS


Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!

 

Perikop Injil hari ini (bdk. Mat 16:21-27) terkait dengan hari Minggu lalu (bdk. Mat 16: 13-20). Setelah Petrus, atas nama murid-murid lainnya juga, telah menyatakan imannya kepada Yesus sebagai Mesias dan Putra Allah, Yesus sendiri mulai berbicara kepada mereka tentang sengsara-Nya. Sepanjang jalan menuju Yerusalem, Ia secara terbuka menjelaskan kepada para sahabat-Nya apa yang menanti-Nya di penghujung Kota Suci : Ia meramalkan misteri wafat dan kebangkitan-Nya, tentang penghinaan dan kemuliaan-Nya. Ia mengatakan bahwa Ia harus “menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (Mat 16:21). Tetapi perkataan-Nya tidak dimengerti, karena para murid memiliki iman yang masih belum dewasa dan terlalu terkait erat dengan mentalitas dunia ini (bdk. Rm 12:2). Mereka memikirkan kemenangan yang terlalu duniawi, dan oleh karena itu mereka tidak mengerti bahasa salib.

 

Berhadapan dengan kemungkinan bahwa Yesus akan gagal dan wafat di kayu salib, Petrus sendiri menolak dan berkata kepada-Nya : “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau!" (ayat 22). Ia percaya kepada Yesus - Petrus seperti ini, ia memiliki iman, ia percaya kepada Yesus, ia percaya - ia ingin mengikuti Dia, tetapi tidak menerima bahwa kemuliaan-Nya akan melewati sengsara. Bagi Petrus dan murid-murid lainnya - tetapi bagi kita juga! - salib adalah batu sandungan, 'rintangan', sedangkan Yesus menganggap 'rintangan' tersebut melarikan diri dari salib, yang berarti menghindari kehendak Bapa, perutusan yang telah dipercayakan Bapa kepada-Nya demi keselamatan kita. Karena alasan ini Yesus menanggapi Petrus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (ayat 23). Sepuluh menit sebelumnya, Yesus memuji Petrus, Ia menjanjikan kepadanya bahwa ia akan menjadi dasar Gereja-Nya, landasannya; sepuluh menit kemudian Ia berkata kepadanya, "Iblis". Bagaimana hal ini bisa dipahami? Hal ini terjadi pada kita semua! Pada saat-saat pengabdian, kegairahan, niat baik, kedekatan dengan sesama kita, kita memandang Yesus dan kita maju; tetapi pada saat-saat kita mendekati salib, kita lari. Setan, Iblis - seperti yang dikatakan Yesus kepada Petrus - menggoda kita. Membuat kita menyimpang dari salib, dari salib Yesus adalah ciri khas roh jahat, ciri khas setan.

 

Saat berbicara kepada semua orang, Yesus menambahkan : “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (ayat 24). Dengan cara ini Ia menunjukkan jalan murid sejati, menunjukkan dua sikap. Sikap yang pertama adalah 'meninggalkan dirinya', yang tidak berarti perubahan yang dangkal, tetapi pertobatan, pembalikan mentalitas dan nilai-nilai. Sikap lainnya adalah memikul salibnya. Hal ini bukan hanya masalah kesabaran menanggung kesengsaraan sehari-hari, tetapi menanggung dengan iman dan tanggung jawab sebagai bagian dari jerih payah, dan bagian dari penderitaan yang ditimbulkan oleh perjuangan melawan kejahatan. Kehidupan umat Kristiani selalu penuh perjuangan. Kitab Suci mengatakan bahwa kehidupan umat Kristiani adalah urusan militer: berperang melawan roh jahat, melawan kejahatan.

 

Dengan demikian tugas "memikul salib" menjadi ikut serta bersama Kristus dalam keselamatan dunia. Mempertimbangkan hal ini, kita memperkenankan salib yang tergantung di dinding rumah, atau salib kecil yang kita kenakan di leher kita, menjadi tanda keinginan kita dipersatukan dengan Kristus untuk melayani saudara-saudari kita dengan penuh kasih, terutama yang paling kecil dan paling rapuh. Salib adalah tanda suci kasih Allah, salib adalah tanda pengorbanan Yesus, dan tidak boleh direduksi menjadi obyek takhayul atau kalung hiasan. Setiap kali kita mengarahkan pandangan kita pada gambar Kristus yang disalibkan, marilah kita merenungkan bahwa Ia, sebagai Hamba Tuhan yang sejati, telah menyelesaikan perutusan-Nya, memberikan nyawa, menumpahkan darah-Nya demi pengampunan dosa. Dan marilah kita tidak memperkenankan diri kita ditarik ke sisi lain, oleh godaan Si Jahat. Akibatnya, jika kita ingin menjadi murid-murid-Nya, kita dipanggil untuk meneladani-Nya, menghabiskan hidup kita tanpa syarat demi mengasihi Allah dan sesama.

 

Semoga Perawan Maria, yang bersatu dengan Putranya menuju Kalvari, membantu kita untuk tidak mundur dalam menghadapi pencobaan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kesaksian Injil.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Besok lusa, 1 September, adalah Hari Doa Sedunia untuk Peduli Ciptaan. Mulai tanggal ini, hingga 4 Oktober, kita akan merayakan bersama saudara-saudari Kristiani dari berbagai Gereja dan tradisi "Yubileum Bumi", untuk memperingati dicanangkannya, 50 tahun yang lalu, Hari Bumi. Saya menyampaikan salam saya untuk berbagai prakarsa yang dipromosikan di pelbagai belahan dunia dan, di antaranya, Konser yang diadakan hari ini di Katedral Port-Louis, ibu kota Mauritius, yang sayangnya tempat terjadinya bencana lingkungan baru-baru ini.

 

Saya mengikuti dengan keprihatinan ketegangan di kawasan Mediterania Timur, yang terancam oleh berbagai wabah ketidakstabilan. Saya mohon, tolong, untuk berdialog yang membangung dan menghormati hukum internasional untuk menyelesaikan pertikaian yang mengancam perdamaian penduduk di wilayah itu.

 

Dan saya menyambut kalian semua yang berkumpul di sini hari ini dari Roma, Italia dan berbagai negara. Saya melihat berbagai bendera di sana, dan saya menyapa Komunitas Religius Timor Leste di Italia. Bravo, kalian yang membawa bendera! Para peziarah dari Londrina dan Formosa, Brasil; dan kaum muda Grantorto, Keuskupan Vicenza. Selamat datang! Saya juga melihat bendera Polandia, saya menyapa orang-orang Polandia; bendera Argentina, juga orang-orang Argentina. Selamat datang untuk kalian semua!

 

Kepada kalian semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat makan siang dan sampai jumpa!

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 26 Agustus 2020 : KATEKESE TENTANG AJARAN SOSIAL GEREJA (BAGIAN 4)


Saudara-saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Dalam menghadapi pandemi dan berbagai dampak sosialnya, banyak orang yang beresiko kehilangan harapan. Dalam masa ketidakpastian dan penderitaan yang berat ini, saya mengundang semua orang untuk menyambut karunia harapan yang berasal dari Kristus. Dialah yang membantu kita melayari perairan penyakit, kematian dan ketidakadilan yang bergejolak, yang tidak berkesudahan menuju tujuan akhir kita.

 

Pandemi telah menyingkapkan dan memperburuk berbagai masalah sosial, terutama kesenjangan. Beberapa orang dapat bekerja dari rumah, sementara bagi banyak orang lainnya tidak memungkinkan. Anak-anak tertentu, terlepas dari berbagai kesulitan yang membelit, dapat terus menerima pendidikan akademis, sementara bagi banyak anak lainnya telah terputus secara mendadak. Beberapa negara kuat dapat mengeluarkan uang untuk mengatasi krisis, sementara bagi negara-negara lainnya hal ini dapat berarti menggadaikan masa depan.

 

Gejala kesenjangan ini mengungkapkan penyakit sosial; sebuah virus yang berasal dari ekonomi yang sakit. Dan secara sederhana kita harus mengatakannya : ekonomi sedang sakit. Ekonomi menjadi sakit. Ekonomi sedang sakit. Ekonomi sedang sakit adalah buah pertumbuhan kesenjangan ekonomi - inilah penyakitnya : buah pertumbuhan kesenjangan ekonomi - yang mengabaikan nilai-nilai dasariah manusia. Dalam dunia dewasa ini, segelintir orang kaya memiliki kekayaan lebih banyak dibanding seluruh umat manusia lainnya. Saya akan mengulangi hal ini agar membuat kita berpikir : segelintir orang kaya, sekelompok kecil, memiliki kekayaan lebih banyak dibanding seluruh umat manusia lainnya. Murni sebuah statistik. Sebuah ketidakadilan yang berteriak ke surga! Pada saat yang sama, model ekonomi ini tidak memedulikan kerusakan yang terjadi pada rumah kita bersama. Perawatan tidak dilakukan terhadap rumah kita bersama. Kita hampir melampaui banyak batasan planet kita yang luar biasa, dengan berbagai dampak yang serius dan tidak dapat diubah : dari hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim hingga kenaikan permukaan air laut dan kerusakan hutan tropis. Kesenjangan sosial dan kemerosotan lingkungan berjalan seiring dan memiliki akar yang sama (lihat Ensiklik Laudato Si', 101) : dosa berkeinginan untuk memiliki dan menguasai saudara-saudari kita, berkeinginan untuk memiliki dan menguasai alam dan Allah itu sendiri. Tetapi hal ini bukan rancangan untuk ciptaan.

 

"Sejak awal Allah telah mempercayakan bumi dengan harta miliknya kepada manusia untuk diolah bersama, sehingga mereka mengusahakan bumi” (Katekismus Gereja Katolik, 2402). Allah telah memanggil kita untuk untuk berkuasa atas bumi dalam nama-Nya (lihat Kej 1:28), mengusahakan dan memeliharanya seperti sebuah taman, taman semua orang (lihat Kej 2:15). "'Mengusahakan' berarti menggarap, membajak atau mengerjakan, sedangkan 'memelihara' berarti merawat, menjaga, mengawasi dan melestarikan" (LS, 67). Tetapi berhati-hatilah untuk tidak menafsirkan hal ini sebagai carte blanche (kekuasaan penuh) untuk melakukan apa pun yang kamu inginkan dengan bumi. Tidak. Ada sebuah "relasi tanggung jawab timbal balik" (LS, 67). Antara diri kita dan alam. Suatu relasi tanggung jawab timbal balik antara diri kita dan alam. Kita menerima dari ciptaan dan kita memberikan kembali pada gilirannya. “Setiap komunitas dapat mengambil apa yang mereka butuhkan dari harta bumi untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki kewajiban untuk melindungi bumi” (LS, 67). Berjalan seiring.

 

Pada kenyataannya, bumi “sudah ada sebelum kita dan telah diberikan kepada kita” (LS, 67), Bumi telah diberikan oleh Allah “untuk seluruh umat manusia” (KGK, 2402). Dan oleh karena itu, tugas kita adalah memastikan bahwa buahnya menjangkau semua orang, bukan hanya segelintir orang. Dan hal ini adalah unsur pokok relasi kita dengan benda-benda duniawi. Seperti yang diingatkan oleh para Bapa Konsili Vatikan II, mereka mengatakan : "Oleh karena itu manusia, sementara menggunakannya, harus memandang hal-hal yang lahiriah yang dimilikinya secara sah bukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi sesamanya" (Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 69). Pada kenyataannya, “Pemilikan sesuatu benda membuat pemiliknya menjadi pengurus di dalam pengabdian penyelenggaraan ilahi; ia harus memanfaatkannya dan harus membagi-bagikan hasil yang diperoleh darinya dengan orang lain” (KGK, 2404). Kita adalah para pengurus benda-benda, bukan pemilik. Para pengurus. “Ya, tetapi benda-benda adalah milikku” : itu benar, itu milikmu, tetapi mengurusnya, bukan memilikinya secara egois untuk dirimu sendiri.

 

Untuk memastikan bahwa apa yang kita miliki membawa nilai bagi masyarakat, “pemerintah mempunyai hak dan kewajiban mengatur penggunaan hak milik secara halal demi kesejahteraan" (KGK, 2406).[1] "Prinsip milik pribadi tunduk pada tujuan universal segala harta, [...] adalah kaidah emas dari perilaku sosial, dan prinsip pertama dari seluruh tata-tertib sosial-etis" (LS, 93).[2]

 

Milik pribadi dan uang adalah sarana yang dapat melayani perutusan. Namun, kita dengan mudah mengubahnya menjadi tujuan, baik secara perorangan atau bersama-sama. Dan ketika hal ini terjadi, nilai-nilai kemanusiaan yang pokok terpengaruh. Homo sapiens berubah bentuk dan menjadi spesies homo Å“conomicus - dalam arti yang merugikan - spesies manusia yang individualistis, penuh perhitungan, dan menguasai. Kita lupa bahwa, karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, kita adalah makhluk sosial, berdaya cipta, dan bersetia kawan dengan kapasitas yang sangat besar untuk mengasihi. Kita sering melupakan hal ini. Pada kenyataannya, dari semua spesies, kita adalah makhluk yang paling kooperatif dan kita berkembang dalam komunitas, seperti yang kentara sekali dalam pengalaman para kudus. Ada pepatah dalam bahasa Spanyol yang mengilhami saya untuk menulis frasa ini. Dikatakan : “Florecemos en racimo, como los santos” : kita berkembang dalam komunitas, seperti yang kentara sekali dalam pengalaman para kudus.[3]

 

Ketika obsesi untuk memiliki dan menguasai membuat jutaan orang tidak memiliki benda-benda primer; ketika kesenjangan ekonomi dan teknologi sedemikian rupa sehingga tatanan sosial terkoyak; dan ketika ketergantungan pada kemajuan materi yang tidak terbatas mengancam rumah kita bersama, maka kita tidak dapat berdiam diri dan mengamati. Jangan, hal ini menyedihkan. Kita tidak bisa berdiri dan mengamati! Dengan pandangan kita tertuju pada Yesus (lihat Ibr 12:2) dan dengan kepastian bahwa kasih-Nya bekerja melalui komunitas para murid-Nya, kita harus bertindak bersama-sama, dengan harapan menghasilkan sesuatu yang berbeda dan lebih baik. Harapan kristiani, yang berakar pada Allah, adalah sauh kita. Harapan kristiani menggerakkan keinginan untuk berbagi, memperkuat perutusan kita sebagai murid-murid Kristus, yang berbagi segalanya dengan kita.

 

Komunitas Kristiani perdana memahami hal ini. Mereka menjalani masa-masa sulit, seperti kita. Sadar bahwa mereka sehati dan sejiwa, segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama, memberikan kesaksian tentang kasih karunia Kristus yang melimpah-limpah di dalam diri mereka (lihat Kis 4:32-35). Kita sedang mengalami sebuah krisis. Pandemi telah menempatkan kita semua dalam krisis. Tetapi marilah kita ingat bahwa setelah suatu krisis seseorang tidaklah sama. Kita keluar daripadanya dengan lebih baik, atau kita keluar daripadanya dengan lebih buruk. Ini adalah pilihan kita. Setelah krisis, apakah kita akan melanjutkan sistem ekonomi ketidakadilan sosial ini dan mengurangi kepedulian terhadap lingkungan, terhadap ciptaan, terhadap rumah kita bersama? Marilah kita memikirkan hal ini. Semoga komunitas-komunitas Kristiani abad kedua puluh satu memulihkan kenyataan ini - kepedulian terhadap ciptaan dan keadilan sosial : keduanya berjalan seiring… - dengan demikian memberikan kesaksian tentang Kebangkitan Tuhan. Jika kita menjaga benda-benda yang diberikan Sang Pencipta kepada kita, jika kita menempatkan segala kepunyaan kita sedemikian rupa sehingga tidak ada yang berkekurangan, maka kita benar-benar akan mengilhami harapan untuk meregenerasi dunia yang lebih sehat dan setara. Dan sebagai penutup, marilah kita memikirkan anak-anak. Bacalah statistik : berapa banyak anak dewasa ini yang sedang sekarat karena kelaparan yang diakibatkan oleh penyaluran kekayaan yang tidak baik, oleh karena sistem ekonomi seperti yang saya sebutkan di atas; dan berapa banyak anak dewasa ini yang tidak tidak memiliki hak atas pendidikan karena alasan yang sama. Semoga gambaran tentang anak-anak yang membutuhkan karena kelaparan dan kurangnya pendidikan membantu kita memahami bahwa setelah krisis ini kita harus keluar daripadanya dengan lebih baik. Terima kasih.

 

*****

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Saat musim panas semakin dekat, saya berdoa agar hari-hari istirahat ini akan membawa kedamaian dan ketenangan bagi semua orang. Kepada kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkati kalian!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih,

 

Dalam refleksi lanjutan kita tentang berbagai dampak pandemi saat ini, kita telah melihat bagaimana masalah-masalah dunia kita menjadi semakin nyata dan bahkan semakin serius.

 

Di antaranya adalah kesenjangan sosial, yang merupakan buah dari ekonomi global yang tidak adil yang menciptakan kekayaan tak terbatas bagi segelintir orang dan pemiskinan yang semakin besar bagi seluruh keluarga manusiawi kita. Dalam rencana Allah, bumi diciptakan sebagai sebuah taman, untuk dibudidayakan, bukan dieksploitasi secara membabi buta.

 

Sebagai penatalayan ciptaan, kita dipanggil untuk memastikan bahwa buah-buahnya, yang ditakdirkan untuk segenap ciptaan, pada kenyataannya dibagikan oleh segenap ciptaan. Gereja mengingatkan kita bahwa prinsip milik pribadi tunduk pada tujuan universal segala harta adalah prinsip pertama dariseluruh tata-tertib sosial-etis.

 

Ketika jutaan orang tidak memiliki akses ke benda-benda primer, ketika kesenjangan dan kurangnya kesempatan mengancam tatanan masyarakat, dan ketika keserakahan membahayakan lingkungan tempat tinggal kita, kita semua tanpa kecuali tidak bisa berdiam diri. Harapan Kristiani, yang mempercayai rahmat pengubah dari Kristus yang bangkit, mendorong kita untuk bekerja demi pemulihan dunia kita dan membangun tatanan sosial yang semakin adil dan setara.



[1]Lihat GS, 71; Santo Yohanes Paulus II, Ensiklik Sollicitudo rei socialis, 42; Ensiklik Centesimus Annus, 40.48).

[2]Lihat Santo Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercens, 19.

[3]Florecemos en racimo, como los santos” (Kita berkembang dalam rumpun, seperti para kudus) : ungkapan populer dalam bahasa Spanyol.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 23 Agustus 2020 : PENGAKUAN IMAN PETRUS

Saudara-saudari terkasih, selamat siang!

 

Bacaan Injil hari Minggu ini (lihat Mat 16:13-20) menyajikan momen di mana Petrus mengakui imannya kepada Yesus sebagai Mesias dan Putra Allah. Pengakuan Rasul Petrus dipicu oleh Yesus sendiri, yang ingin menuntun murid-murid-Nya untuk mengambil langkah yang menentukan dalam hubungan mereka dengan-Nya. Sungguh, keseluruhan perjalanan Yesus dengan orang-orang yang mengikuti-Nya, terutama dengan dua belas Rasul, adalah salah satu cara mendidik iman mereka. Pertama-tama, Ia bertanya: "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" (ayat 13). Para Rasul suka berbicara tentang orang-orang, seperti yang dilakukan kita semua. Kita suka bergosip. Berbicara tentang orang lain tidak terlalu menuntut, inilah sebabnya kita menyukainya; bahkan "menguliti" orang lain. Dalam hal ini, ketimbang gosip, sudut pandang iman sudah dibutuhkan, dan karena itu Ia bertanya, "Kata orang, siapakah Aku itu?". Dan para murid tampaknya berlomba-lomba melaporkan berbagai pendapat, yang mungkin, sebagian besar, dibagikan mereka sendiri. Mereka juga membagikan berbagai pendapat itu. Intinya, Yesus dari Nazaret dianggap sebagai seorang nabi (ayat 14).

 

Dengan pertanyaan kedua, Yesus menjamah hati mereka : "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" (ayat 15). Pada titik ini, kita tampaknya merasakan saat hening, karena masing-masing orang yang hadir dipanggil untuk mempertaruhkan diri, mewujudkan alasan mengapa mereka mengikuti Yesus; oleh karena itu, keraguan tertentu lebih dari sah-sah saja. Bahkan jika saya bertanya kepadamu sekarang, “Bagimu, siapakah Yesus itu?”, akan ada sedikit keraguan. Simon melepaskan mereka dari sangkutan tersebut dengan menyatakan secara terus terang, "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup" (ayat 16). Jawaban ini, begitu tuntas dan mencerahkan, tidak berasal dari dorongan hatinya sendiri, betapapun murah hatinya - Petrus murah hati - tetapi justru merupakan buah dari rahmat khusus Bapa surgawi. Bahkan, Yesus sendiri berkata, "Hal ini tidak diungkapkan kepadamu oleh daging dan darah" - yaitu, oleh budaya, apa yang telah kamu pelajari, tidak ada yang mengungkapkannya kepadamu. Hal ini diungkapkan kepadamu "oleh Bapa-Ku yang di surga" (ayat 17). Mengakui Yesus adalah rahmat Bapa. Mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang hidup, yakni Sang Penebus, adalah rahmat yang harus kita mohonkan : “Bapa, berikanlah kepadaku rahmat mengakui Yesus”. Pada saat yang sama, Tuhan membenarkan tanggapan langsung Simon terhadap inspirasi rahmat dan oleh karena itu menambahkan, dengan bernada resmi, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya" (ayat 18). Dengan penegasan ini, Yesus membuat Simon sadar akan arti dari nama baru yang telah Ia berikan kepadanya, "Petrus" : iman yang baru saja ia tunjukkan adalah "batu karang" yang tak tergoyahkan yang di atasnya Putra Allah ingin membangun Gereja-Nya, yaitu, komunitas. Dan Gereja selalu berkembang atas dasar iman Petrus, iman yang dikenali Yesus [di dalam diri Petrus] itu dan yang menjadikannya kepala Gereja.

 

Hari ini, kita mendengar pertanyaan Yesus ditujukan kepada kita masing-masing : "Apa katamu, siapakah Aku ini?". Kepada kita masing-masing. Dan kita masing-masing tidak boleh memberikan jawaban yang teoretis, tetapi jawaban yang melibatkan iman, yaitu kehidupan, karena iman adalah kehidupan! “Bagiku Engkau adalah…” dan kemudian mengakui Yesus. Sebuah jawaban yang menuntut agar kita juga, seperti murid-murid perdana, dalam hati mendengarkan suara Bapa dan kesesuaiannya dengan apa yang terus diwartakan oleh Gereja, yang berkumpul di sekitar Petrus. Ini adalah masalah memahami siapa Kristus bagi kita : jika Ia adalah pusat kehidupan kita, jika Ia adalah tujuan dari komitmen kita dalam Gereja, komitmen kita dalam masyarakat. Siapakah Yesus Kristus bagiku? Siapakah Yesus Kristus bagimu, bagimu, bagimu…? Jawaban yang seharusnya kita berikan setiap hari.

 

Namun waspadalah : reksa pastoral komunitas kita terbuka terhadap berbagai bentuk kemiskinan dan krisis, yang ada di mana-mana, sangat diperlukan dan patut dipuji. Amal kasih selalu merupakan jalan tertinggi dari perjalanan iman, kesempurnaan iman. Tetapi yang penting adalah karya kesetiakawanan, karya amal yang kita lakukan, tidak mengalihkan kita dari kontak dengan Tuhan Yesus. Kasih Kristiani bukanlah filantropi yang sederhana tetapi, di satu sisi, kasih memandang orang lain melalui mata Yesus sendiri dan, di sisi lain, memandang Yesus dalam wajah kaum miskin. Ini adalah jalankasih Kristiani yang sesungguhnya, dengan Yesus sebagai pusatnya, selalu. Semoga Santa Maria yang berbahagia karena ia percaya, menjadi penuntun dan teladan kita di jalan iman dalam Kristus, dan membuat kita sadar bahwa percaya kepada-Nya memberi arti penuh bagi amal kasih kita dan segenap keberadaan kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Kemarin dirayakan Hari Peringatan Korban Tindak Kekerasan Karena Agama atau Keyakinan Sedunia. Marilah kita mendoakan saudara-saudari kita ini, dan marilah kita juga mendukung mereka dengan doa dan kesetiakawanan kita, dan ada banyak orang, yang dewasa ini dianiaya karena iman dan agama mereka. Ada banyak orang.

 

Besok, 24 Agustus, adalah peringatan sepuluh tahun pembantaian 72 migran di San Fernando, di Tamaulipas, Meksiko. Mereka adalah orang-orang dari berbagai negara yang mencari kehidupan yang lebih baik. Saya menyampaikan kesetiakawanan saya kepada keluarga para korban yang saat ini masih menuntut kebenaran dan keadilan terkait peristiwa tersebut. Tuhan akan meminta pertanggungjawaban kita atas semua migran yang telah jatuh dalam perjalanan harapan mereka. Mereka adalah para korban budaya membuang.

 

Besok adalah peringatan empat tahun gempa yang melanda Italia Tengah. Saya kembali mendoakan keluarga dan komunitas yang menderita kehancuran terbesar tersebut agar mereka dapat terus berkembang dalam kesetiakawanan dan harapan, serta saya berharap agar pembangunan kembali dapat dipercepat sehingga orang-orang dapat kembali hidup tenang di wilayah Perbukitan Apennine yang indah ini.

 

Saya juga ingin menekankan kedekatan saya dengan rakyat Cabo Delgado di Mozambik utara yang sedang menderita karena terorisme internasional. Saya melakukannya dengan ingatan yang jelas akan kunjungan saya ke negara itu sekitar setahun yang lalu.

 

Saya menyampaikan salam hangat untuk kalian semua, umat Roma dan para peziarah, dan khususnya untuk kaum muda umat Cernusco sul Naviglio, orang-orang yang berbaju kuning di sana. Mereka berangkat dari Siena dengan bersepeda dan mereka tiba di Roma melalui via Francigena. Kalian sangat baik! Dan saya juga menyapa rombongan keluarga dari Carobbo degli Angeli (Provinsi Bergamo), yang datang ke sini pada sebuah peziarahan untuk mengenang para korban virus corona. Dan jangan lupa, jangan lupakan para korban virus corona. Pagi ini saya mendengar kesaksian dari sebuah keluarga yang kehilangan kakek neneknya tanpa bisa mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, di hari yang sama. Begitu banyak penderitaan, begitu banyak orang yang kehilangan nyawa, para korban penyakit ini; dan begitu banyak sukarelawan, dokter, perawat, biarawati, imam, yang juga kehilangan nyawa mereka. Marilah kita mengenang keluarga-keluarga yang menderita oleh karena hal ini.

 

Dan kepada kalian semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat makan siang, dan sampai jumpa!

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 19 Agustus 2020 : KATEKESE TENTANG AJARAN SOSIAL GEREJA (BAGIAN 3)

Saudara-saudari terkasih, selamat siang!

 

Pandemi telah menyingkap penderitaan kaum miskin dan ketimpangan besar yang menguasai dunia. Dan virus, meski tidak membedakan orang, telah menemukan, dalam jalurnya yang menghancurkan, ketimpangan dan diskriminasi yang besar. Dan ia telah memperburuk keduanya!

 

Oleh karena itu, tanggapan terhadap pandemi bersifat ganda. Di satu sisi, mendapati penangkal untuk virus yang kecil tapi mengerikan ini, yang telah membuat seluruh dunia bertekuk lutut, sangatlah penting. Di sisi lain, kita juga harus menemukan penangkal untuk virus yang lebih besar, yaitu ketidakadilan sosial, ketimpangan kesempatan, penyingkiran, dan kurangnya perlindungan terhadap orang yang paling lemah. Dalam tanggapan yang bersifat ganda untuk penyembuhan ini merupakan sebuah pilihan yang, menurut Injil, tidak boleh tidak : pilihan yang berpihak pada kaum miskin (lihat Seruan Apostolik Evangelii Gaudium [EG], 195). Dan ini bukanlah sebuah pilihan politik; juga bukan sebuah pilihan ideologis, sebuah pilihan partai… bukan. Pilihan yang berpihak pada kaum miskin berada di pusat Injil. Dan yang pertama melakukan ini adalah Yesus; kita mendengar hal ini dalam Bacaan dari Surat Rasul Paulus kepada Jemaat Korintus yang dibacakan di awal. Karena Ia kaya, Ia menjadikan diri-Nya miskin untuk memperkaya kita. Ia menjadikan diri-Nya salah seorang dari kita dan karena alasan ini, di pusat Injil, ada pilihan ini, di pusat pewartaan Yesus.

 

Kristus sendiri, yang adalah Allah, merendahkan diri-Nya, menjadikan diri-Nya serupa dengan manusia; dan Ia tidak memilih kehidupan yang istimewa, tetapi Ia memilih keadaan seorang hamba (bdk. Flp 2:6-7). Ia merendahkan diri-Nya dengan menjadikan diri-Nya seorang hamba. Ia lahir dalam sebuah keluarga yang sederhana dan bekerja sebagai tukang kayu. Pada awal khotbah-Nya, Ia memaklumkan bahwa di dalam Kerajaan Allah orang miskin berbahagia (bdk. Mat. 5:3; Luk. 6:20; EG, 197). Ia berdiri di antara orang sakit, orang miskin, orang yang tersingkir, menunjukkan kepada mereka cinta kasih Allah (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2444). Dan berkali-kali Ia dihakimi sebagai orang yang najis karena Ia pergi kepada orang-orang sakit, para penderita kusta… dan hal ini menajiskan orang-orang, menurut hukum masa itu. Dan Ia mengambil resiko dengan mendekati kaum miskin.

 

Oleh karena itu, para pengikut Yesus mengenali diri mereka melalui kedekatan mereka dengan orang miskin, orang kecil, orang sakit dan orang di berada dalam penjara, orang yang tersingkir dan terlupakan, mereka yang tidak memiliki sandang dan pangan (bdk. Mat 25:31-36; KGK, 2443). Kita bisa membaca protokol terkenal yang dengannya kita semua akan dihakimi, kita semua akan dihakimi. Injil Matius, bab 25. Inilah kriteria kunci dari keotentikan Kristiani (bdk. Gal 2:10; EG, 195). Beberapa orang secara keliru berpikir bahwa kasih yang berpihak kepada orang miskin ini adalah tugas segelintir orang, tetapi kenyataannya perutusan seluruh Gereja, seperti yang dikatakan Santo Yohanes Paulus II (bdk. Santo Yohanes Paulus II, Sollicitudo rei socialis, 42). “Setiap orang Kristiani dan setiap komunitas kristiani dipanggil menjadi alat Allah untuk membebaskan dan memajukan kehidupan kaum miskin” (EG, 187).

 

Iman, harapan dan kasih mendorong kita menuju keberpihakan pada orang-orang yang paling membutuhkan,[1] yang melampaui bantuan yang diperlukan (bdk. EG, 198). Memang keberpihakan tersebut menyiratkan berjalan bersama, membiarkan diri kita diinjili oleh orang-orang tersebut, yang mengenal Kristus yang sedang menderita dengan baik, membiarkan diri kita “terjangkiti” oleh pengalaman keselamatan mereka, kebijaksanaan mereka dan daya cipta mereka (lihat EG, 198). Berbagi dengan kaum miskin berarti saling memperkaya. Dan, jika ada tatanan sosial yang tidak sehat yang menghalangi mereka untuk memimpikan masa depan, kita harus bekerja sama untuk menyembuhkan mereka, mengubah mereka (lihat EG, 195). Dan kita dituntun kepada hal ini oleh kasih Kristus, yang sangat mengasihi kita (lihat Yoh 13:1), dan mencapai batas, tepian, sepadan keberadaan. Membawa pinggiran menuju pusat berarti memfokuskan hidup kita pada Kristus, yang “menjadikan diri-Nya miskin” oleh karena kita, supaya kita menjadi kaya “oleh karena kemiskinan-Nya” (2 Kor 8:9),[2] seperti yang telah kita dengar.

 

Kita semua khawatir berkenaan dengan dampak sosial dari pandemi. Kita semua. Banyak orang ingin kembali normal dan melanjutkan kegiatan ekonomi. Tentu saja, tetapi “normalitas” ini seharusnya tidak mencakup ketidakadilan sosial dan kemerosotan lingkungan. Pandemi adalah sebuah krisis, dan kita tidak keluar dari krisis seperti sebelumnya : entah kita keluar dari situ dengan lebih baik, atau keluar dari situ dengan lebih buruk. Kita harus keluar dari situ dengan lebih baik, untuk menentang ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan. Hari ini kita memiliki kesempatan untuk membangun sesuatu yang berbeda. Misalnya, kita dapat memelihara ekonomi pembangunan kaum miskin secara menyeluruh, dan bukan memberikan bantuan. Dengan hal ini saya tidak ingin mengecam bantuan : bantuan itu penting. Saya memikirkan sektor sukarela, yang merupakan salah satu tatanan yang terbaik dari Gereja Italia. Ya, bantuan melakukan hal ini, tetapi kita harus melampaui hal ini, untuk menyelesaikan masalah yang membuat kita memberikan bantuan. Ekonomi yang tidak menggunakan penyelesaian yang sebenarnya meracuni masyarakat, seperti keuntungan yang tidak terkait dengan penciptaan lapangan kerja yang bermartabat (lihat EG, 204). Jenis keuntungan ini terpisah dari ekonomi nyata, yang seharusnya membawa manfaat bagi rakyat jelata (lihat Ensiklik Laudato Si' [LS], 109), dan di samping itu kadang-kadang acuh tak acuh terhadap kerusakan yang menimpa rumah kita bersama. Pilihan keberpihakan pada kaum miskin, kebutuhan sosial-etis yang berasal dari kasih Allah (bdk. LS, 158), mengilhami kita untuk membayangkan dan merancang ekonomi di mana orang-orang, dan terutama orang-orang yang paling miskin, berada di pusat. Dan juga mendorong kita untuk merencanakan penangkalan terhadap berbagai virus dengan mengutamakan orang-orang yang paling membutuhkan. Sungguh menyedihkan jika pemberian vaksin Covid-19 diutamakan bagi orang-orang yang paling kaya! Sungguh menyedihkan jika vaksin ini menjadi milik bangsa ini atau bangsa lainnya, bukan universal dan untuk semua orang. Dan betapa sebuah skandal jika semua bantuan ekonomi yang sedang kita amati - sebagian besar dengan uang publik - difokuskan pada penyelamatan industri-industri yang tidak berkontribusi pada penyertaan orang-orang yang terpinggirkan, kemajuan orang-orang yang paling hina, kebaikan bersama atau pemeliharaan ciptaan (LS, 58). Ada kriteria untuk memilih industri mana yang harus dibantu : industri yang berkontribusi pada penyertaan orang-orang yang terpinggirkan, kemajuan orang-orang yang paling hina, kebaikan bersama atau pemeliharaan ciptaan. Empat kriteria.

 

Jika virus menghebat lagi di dunia yang tidak adil bagi kaum miskin dan rentan, maka kita harus mengubah dunia ini. Mengikuti teladan Yesus, sang tabib kasih ilahi yang utuh, yaitu penyembuhan fisik, sosial dan spiritual (bdk. Yoh 5:6-9) - seperti penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus - kita harus bertindak sekarang, untuk menyembuhkan epidemi disebabkan oleh virus-virus kecil yang tidak kasat mata, dan menyembuhkan berbagai hal yang disebabkan oleh ketidakadilan sosial yang besar dan kasat mata. Saya mengusulkan agar hal ini dilakukan dengan diawali dari kasih Allah, menempatkan pinggiran di pusat dan orang yang terakhir di tempat pertama. Jangan lupa protokol yang akan menghakimi kita, Injil Matius, bab 25. Marilah kita melaksanakan pemulihan epidemi ini. Dan mulai dari kasih yang berwujud ini - seperti yang dikatakan Injil, di sana - berlabuh dalam pengharapan dan didirikan dalam iman, dunia yang lebih sehat akan menjadi mungkin. Jika tidak, kita akan keluar dari krisis dengan lebih buruk. Semoga Tuhan membantu kita, dan memberi kita kekuatan untuk keluar daripadanya dengan lebih baik, menanggapi kebutuhan dunia dewasa ini. Terima kasih.

_____

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Pikiran saya tertuju pada keluarga-keluarga yang harus melewatkan liburan musim panas mereka tahun ini; saya mempercayakan mereka kepada Tuhan agar Ia sudi memberi mereka kedamaian dan sukacita. Semoga Allah memberkati kalian!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, ketika kita berkaca pada pandemi global saat ini, kita telah melihat bahwa pandemi tersebut telah membuat kita peka terhadap virus yang lebih parah yang mempengaruhi dunia kita : ketidakadilan sosial, kurangnya kesempatan yang sama dan penyingkiran kaum miskin dan orang-orang yang sangat membutuhkan. Teladan dan ajaran Kristus menunjukkan kepada kita bahwa pilihan keberpihakan pada kaum miskin adalah kriteria yang penting dari keotentikan kita sebagai para pengikut-Nya. Amal kasih Kristiani menuntut agar, mengatasi bantuan sosial, kita mendengarkan suara mereka dan bekerja untuk mengatasi semua yang menghalangi perkembangan jasmani dan spiritual mereka. Keinginan kita untuk kembali ke keadaan normal tidak berarti kembali ke ketidakadilan sosial atau penundaan reformasi yang sudah lama tertunda. Hari ini kita memiliki kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang berbeda : ekonomi yang sehat secara etis, berpusat pada orang-orang, terutama kaum miskin, sebagai pengakuan atas martabat manusiawi mereka yang sudah ada sejak lahir. Betapa menyedihkan jika, misalnya, akses ke vaksin Covid-19 hanya tersedia untuk orang kaya, dan tidak untuk orang lain yang memiliki kebutuhan yang sama atau lebih besar! Semoga Injil mengilhami kita untuk menemukan cara yang lebih kreatif untuk menjalankan amal kasih itu, yang berlandaskan iman dan berlabuh pada harapan, yang dapat menyembuhkan dunia kita yang terluka dan meningkatkan kesejahteraan sejati seluruh keluarga umat manusia kita.



[1]Lihat Kongregasi untuk Ajaran Iman, Petunjuk tentang beberapa aspek "Teologi Pembebasan", (1984), 5.

[2]Benediktus XVI, Amanat pada Sesi Pengukuhan Konferensi Umum V Para Uskup Amerika Latin dan Karibia (13 Mei 2007).

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 16 Agustus 2020

Saudara dan saudari yang terkasih, selamat siang!

 

Injil hari Minggu ini (lihat Mat 15:21-28) menggambarkan pertemuan antara Yesus dan perempuan Kanaan. Yesus berada di Galilea utara, di wilayah asing. Perempuan itu bukan orang Yahudi, ia orang Kanaan. Yesus berada di sana untuk meluangkan waktu bersama murid-murid-Nya jauh dari orang banyak, dari orang banyak yang jumlahnya selalu bertambah. Dan lihatlah, seorang perempuan mendekati-Nya mencari pertolongan untuk putrinya yang sedang sakit : “Kasihanilah aku, ya Tuhan!” (ayat 22). Itu adalah tangisan yang berasal dari kehidupan yang ditandai dengan penderitaan, dari rasa ketidakberdayaan seorang ibu yang melihat putrinya tersiksa oleh kejahatan yang tidak dapat disembuhkan; ia tidak bisa menyembuhkannya. Yesus awalnya mengabaikannya, tetapi ibu ini bersikeras; ia bersikeras, bahkan ketika Sang Guru mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia diutus hanya kepada "domba-domba yang hilang dari umat Israel" (ayat 24) dan bukan kepada orang-orang yang tidak mengenal Allah. Ia terus memohon kepada-Nya, dan pada titik tersebut, Yesus mengujinya, mengutip sebuah pepatah. Hal ini sepertinya, agak .... , sedikit kejam, tetapi Yesus mengujinya : “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (ayat 26). Dan segera, perempuan itu, dengan cepat, sedih, menjawab : “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya" (ayat 27).

 

Dan dengan kata-kata ini, ibu itu menunjukkan bahwa ia telah merasakan kebaikan Allah Yang Mahatinggi yang hadir di dalam diri Yesus yang terbuka terhadap kebutuhan segenap ciptaan-Nya. Dan hikmat ini, dipenuhi dengan kepercayaan, menjamah hati Yesus dan memicu kata-kata kekaguman : “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki" (ayat 28). Jenis iman apakah yang besar? Iman yang besar adalah iman yang membawa kisahnya sendiri, bahkan ditandai dengan luka-luka, dan membawanya ke kaki Tuhan meminta-Nya untuk menyembuhkan luka-luka itu, memberikan makna kepada luka-luka itu.

 

Kita memiliki kisah masing-masing dan tidak selalu kisah “ekspor”, tidak selalu kisah yang bersih… Sering kali kisah yang sulit, dengan banyak penderitaan, banyak kemalangan dan banyak dosa. Apa yang harus kulakukan dengan kisahku? Apakah aku menyembunyikannya? Tidak! Kita harus membawanya ke hadapan Tuhan. "Tuhan, jika Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkanku!" Inilah yang diajarkan perempuan ini kepada kita, ibu yang luar biasa ini : keberanian untuk membawa kisah kita yang menyakitkan ke hadapan Allah, ke hadapan Yesus, menjamah kelembutan Allah, kelembutan Yesus. Marilah kita coba kisah ini, doa ini: perkenankan kita memikirkan kisah masing-masing. Selalu ada hal-hal yang buruk dalam sebuah kisah. Marilah kita pergi kepada Yesus, mengetuk hati Yesus dan berkata kepada-Nya : "Tuhan, jika Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkanku!" Dan kita dapat melakukan hal ini jika kita selalu memiliki wajah Yesus di hadapan kita, jika kita memahami seperti apa hati Kristus, seperti apa hati Yesus : hati yang merasakan belas kasih, yang menanggung rasa sakit kita, yang menanggung dosa kita, kesalahan kita, kegagalan kita. Malahan hati yang mengasihi kita semacam itu, apa adanya, tanpa polesan : Ia mengasihi kita seperti itu. "Tuhan, jika Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkanku!" Inilah mengapa penting untuk memahami Yesus, akrab dengan Yesus. Saya selalu kembali ke nasihat yang saya berikan kepadamu : bawalah selalu Injil kecil berukuran saku dan bacalah satu perikop setiap hari. Di sana kamu akan menemukan Yesus sebagaimana adanya, saat Ia menampilkan diri-Nya; kamu akan menemukan Yesus yang mengasihi kita, yang sangat mengasihi kita, yang sangat menginginkan kesejahteraan kita. Marilah kita mengingat doa : “Tuhan, jika Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkanku!” Sebuah doa yang indah. Bawalah Injil : di dompetmu, di sakumu dan bahkan di gawaimu, untuk dilihat. Semoga Tuhan membantu kita, kita semua, untuk mendoakan doa yang indah ini, yang diajarkan oleh seorang perempuan yang tidak mengenal Allah : bukan perempuan Kristiani, bukan perempuan Yahudi, perempuan yang tidak mengenal Allah.

 

Semoga Perawan Maria menjadi perantara dengan doanya sehingga sukacita iman dapat tumbuh dalam diri setiap orang yang dibaptis serta keinginan untuk menyampaikannya melalui kesaksian hidup yang selaras, ia memberi kita keberanian untuk mendekati Yesus dan mengatakan kepada-Nya: “Tuhan, jika Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkanku!”.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari yang terkasih,

 

Saya terus mendoakan Lebanon, dan situasi dramatis lainnya di dunia yang sedang menyebabkan orang-orang menderita. Pikiran saya juga tertuju ke Belarusia yang tercinta. Saya mengikuti dengan seksama situasi pasca-pemilu di negara itu dan saya menyerukan dialog, penolakan kekerasan serta penghormatan terhadap keadilan dan hukum. Saya memercayakan seluruh rakyat Belarusia kepada perlindungan Bunda Maria, Ratu Perdamaian.

 

Dengan penuh kasih sayang saya menyapa kalian semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara. Secara khusus, saya menyapa para biarawan dan biarawati Brasil yang hadir di sini di Roma - dengan begitu banyak bendera - para para biarawan dan biarawati ini secara spiritual sedang mengikuti Pekan Nasional Hidup Bakti I yang dirayakan di Brasil. Pekan hidup bakti yang membahagiakan. Maju terus! Saya juga menyampaikan salam kepada kaum muda Immaculata yang pemberani!

 

Hari-hari ini adalah hari-hari liburan : ini bisa menjadi waktu untuk memulihkan tubuh, tetapi juga semangat melalui momen-momen yang didedikasikan untuk doa, keheningan dan kontak santai dengan keindahan alam, karunia Allah. Hal ini seharusnya tidak membiarkan kita melupakan masalah yang ada akibat Covid : banyak keluarga tidak memiliki pekerjaan, kehilangan pekerjaan, dan tidak memiliki makanan. Karya amal dan mendekatkan diri kepada keluarga-keluarga ini hendaknya juga menyertai liburan musim panas kita.

 

Kepada kalian semua saya mengucapkan selamat hari Minggu dan menikmati makan siang! Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Sampai jumpa!

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 16 Agustus 2020)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 15 Agustus 2020 : TENTANG HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA DIANGKAT KE SURGA


Saudara dan saudari yang terkasih, selamat siang!

Ketika manusia menginjakkan kaki di bulan, ia mengucapkan sebuah kalimat yang menjadi terkenal : “Satu langkah kecil bagi manusia, satu lompatan besar bagi umat manusia”. Intinya, umat manusia telah mencapai tujuan sejarah. Namun hari ini, dalam Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, kita merayakan penaklukan yang jauh lebih besar. Bunda Maria telah menginjakkan kaki di surga : ia pergi ke sana tidak hanya dalam jiwa, tetapi juga dengan raganya, dengan segenap dirinya. Langkah Sang Perawan Nazaret yang hina ini adalah lompatan besar bagi umat manusia. Pergi ke bulan tidak banyak membantu kita jika kita tidak hidup sebagai saudara dan saudari di Bumi. Tetapi salah seorang dari kita yang tinggal dalam daging di Surga memberikan harapan kepada kita : kita memahami bahwa kita berharga, ditakdirkan untuk bangkit kembali. Allah tidak memperkenankan raga kita lenyap menjadi ketiadaan. Bersama Allah, tidak ada yang lenyap! Dalam diri Maria, tujuan telah tercapai dan di depan mata kita memiliki alasan mengapa melakukan perjalanan : bukan untuk mendapatkan perkara-perkara yang bawah sini, yang akan lenyap, tetapi untuk mencapai tanah air di atas sana, yang untuk selamanya. Dan Bunda Maria adalah bintang yang menuntun kita. Ia pergi ke sana terlebih dulu. Ia, seperti yang diajarkan Konsili Vatikan II, bersinar "sebagai tanda harapan yang pasti dan penghiburan bagi Umat Allah selama pengembaraannya di bumi" (Lumen Gentium, 68).

Apa yang disarankan Bunda Maria kepada kita? Hari ini dalam Injil hal pertama yang diucapkannya adalah : “Jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk 1:46). Kita yang terbiasa mendengar kata-kata ini mungkin tidak lagi memperhatikan maknanya. Secara harfiah, "memuliakan" berarti "menjadikan hebat", memperbesar. Maria “mengagungkan Tuhan” : bukan berbagai masalah, yang tidak ia miliki pada saat itu, tetapi Tuhan. Sebaliknya, seberapa sering kita membiarkan diri diliputi oleh berbagai kesulitan dan diresapi oleh ketakutan! Bunda Maria tidak demikian, karena ia menempatkan Allah pertama-tama sebagai keagungan hidup. Dari sini Magnificat muncul, dari sini terlahir sukacita : bukan dari tidak adanya masalah, yang lambat laun akan datang, tetapi sukacita dilahirkan dari hadirat Allah yang membantu kita, yang ada di dekat kita. Karena Allah adalah agung. Dan terutama, Allah memandang orang-orang yang hina. Kita adalah kelemahan kasih-Nya : Allah memandang dan mengasihi orang-orang yang hina.

Maria, sesungguhnya, mengakui bahwa ia hina dan meninggikan “perbuatan-perbuatan besar” (ayat 49) yang telah dilakukan Tuhan baginya. Apakah perbuatan-perbuatan besar tersebut? Pertama dan terutama, karunia kehidupan yang tak terduga : Maria masih perawan namun ia hamil; dan Elisabet, juga, yang sudah lanjut usia, sedang menanti kelahiran seorang anak. Tuhan melakukan keajaiban terhadap orang-orang yang hina, orang-orang yang tidak meyakini bahwa mereka besar tetapi memberi ruang yang memadai bagi Allah dalam kehidupan mereka. Ia memperbesar belas kasih-Nya kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya, dan membangkitkan orang-orang yang hina. Maria memuji Allah karena hal ini.

Dan kita - kita mungkin bertanya pada diri sendiri - apakah kita ingat untuk memuji Allah? Apakah kita bersyukur kepada-Nya atas perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan-Nya untuk kita? Karena setiap hari yang diberikan-Nya kepada kita, karena Ia senantiasa mengasihi kita dan mengampuni kita, karena kelembutan-Nya? Selain itu, karena telah memberikan Bunda-Nya kepada kita, karena saudara dan saudari yang ditempatkan-Nya di jalan kita, dan karena Ia membukakan Surga bagi kita? Apakah kita bersyukur kepada Allah, memuji Allah untuk perbuatan-perbuatan ini? Jika kita melupakan kebaikan tersebut, hati kita menciut. Tetapi jika, seperti Maria, kita mengingat perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah, jika setidaknya sekali sehari kita “mengagungkan” Dia, maka kita akan mengambil sebuah langkah maju yang besar. Suatu saat di siang hari mengatakan : "Aku memuji Tuhan", mengatakan, "Terpujilah Tuhan", yang merupakan sebuah doa pujian yang singkat. Inilah memuji Allah. Dengan doa pujian yang singkat ini, hati kita akan berkembang, sukacita akan bertambah. 

Marilah kita memohonkan kepada Bunda Maria, Sang Pintu Surga, rahmat untuk memulai setiap hari dengan menengadah ke Surga, ke arah Allah, mengatakan kepadanya : "Terima kasih!" seperti yang diucapkan orang-orang yang hina kepada orang-orang yang besar. "Terima kasih".