Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 30 Januari 2022 : TEMUKAN YESUS DALAM DIRI ORANG-ORANG TERDEKATMU SETIAP HARI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam liturgi hari ini, Bacaan Injil menceritakan khotbah pertama Yesus di kota kelahirannya, Nazaret. Hasilnya pahit : bukannya menerima persetujuan, Yesus menemukan ketidakpahaman dan bahkan permusuhan (bdk. Luk 4:21-30). Orang-orang di tempat asal-Nya, alih-alih kata-kata kebenaran, menginginkan mukjizat dan tanda-tanda yang luar biasa. Tuhan tidak memperlihatkannya dan mereka menolak-Nya, karena mereka mengatakan telah mengenal-Nya sejak kecil : ia adalah anak Yusuf (bdk. ayat 22), dan seterusnya. Oleh karena itu Yesus mengucapkan sebuah ungkapan yang telah menjadi sebuah pepatah: “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya” (ayat 24).

 

Kata-kata ini mengungkapkan bahwa kegagalan Yesus tidak sepenuhnya tidak terduga. Ia tahu bangsa-Nya, Ia tahu hati bangsa-Nya, Ia tahu risiko yang dihadapi-Nya, Ia memperhitungkan penolakan. Dan, maka, kita mungkin bertanya-tanya : tetapi jika seperti ini, jika Ia melihat kegagalan, mengapa Ia pergi ke tempat asal-Nya jika sama saja? Mengapa berbuat baik kepada orang yang tidak mau menerimamu? Sebuah pertanyaan yang terlalu sering kita tanyakan pada diri kita sendiri. Justru sebuah pertanyaan yang membantu kita memahami Allah dengan lebih baik. Berhadapan dengan ketertutupan kita, Ia tidak menarik diri : Ia tidak mengerem kasih-Nya. Berhadapan dengan ketertutupan kita, Ia berjalan maju. Kita melihat cerminan hal ini dalam diri para orangtua yang menyadari anak-anak mereka tidak tahu berterima kasih, tetapi tidak berhenti mengasihi mereka dan berbuat baik kepada mereka karena hal ini. Allah sama, tetapi pada tingkatan yang jauh lebih tinggi. Dan hari ini Ia mengundang kita juga untuk percaya pada kebaikan, melakukan segala kemungkinan untuk melakukan kebaikan.

 

Tetapi, dalam apa yang terjadi di Nazaret kita juga menemukan sesuatu yang lain. Permusuhan terhadap Yesus di pihak bangsa-Nya menggugah kita : mereka tidak menyambut – tetapi bagaimana dengan kita? Untuk menperjelas hal ini, marilah kita lihat model penerimaan yang ditawarkan Yesus hari ini, kepada kita dan kepada orang-orang di tempat asal-Nya. Modelnya adalah dua orang asing : seorang janda dari Sarfat di tanah Sidon dan Naaman, orang Siria. Keduanya menyambut para nabi : janda dari Sarfat menyambut Elia, Naaman menyambut Elisa. Tetapi itu bukan penerimaan yang mudah, melalui cobaan. Janda itu menyambut Elia, meski sedang kelaparan dan sang nabi dianiaya (bdk. 1 Raj 17:7-16), ia dianiaya karena alasan politik dan keagamaan. Naaman, di sisi lain, meskipun seorang pejabat tinggi, menerima permintaan nabi Elisa, yang menuntunnya untuk merendahkan diri, mandi tujuh kali di sungai (bdk. 2 Raj 5:1-14), seolah-olah ia adalah anak yang bodoh. Janda dari Sarfat dan Naaman, singkatnya, diterima melalui kesiapan dan kerendahan hati. Jalan menerima Allah adalah selalu siap, menyambut-Nya dan rendah hati. Iman melalui jalan ini : kesiapan dan kerendahan hati. Janda dari Sarfat dan Naaman tidak menolak jalan Allah dan para nabi-Nya; mereka taat, tidak kaku dan tertutup.

 

Saudara-saudari, Yesus juga mengikuti jalan para nabi : Ia menampilkan diri-Nya tidak seperti dugaan kita. Ia tidak ditemukan oleh orang-orang yang mencari mukjizat – jika kita mencari mukjizat, kita tidak akan menemukan Yesus – oleh orang-orang yang mencari sensasi baru, pengalaman intim, hal-hal luar biasa; orang-orang yang mencari iman yang berupa kuasa dan tanda-tanda lahiriah. Tidak, mereka tidak akan menemukannya. Sebaliknya, Ia hanya ditemukan oleh orang-orang yang menerima jalan dan tantangan-Nya, tanpa keluh-kesah, tanpa kecurigaan, tanpa kritik dan muka masam. Dengan kata lain, Yesus memintamu untuk menerima-Nya dalam kenyataan sehari-hari yang kamu jalani; di dalam Gereja dewasa ini, sebagaimana adanya; dalam diri orang-orang yang dekat denganmu setiap hari; dalam kenyataan orang-orang yang membutuhkan, dalam masalah keluargamu, dalam orangtuamu, dalam anak-anakmu, dalam kakek-nenekmu, dalam menyambut Allah di sana. Ia ada di sana, mengundang kita untuk menyucikan diri di sungai kesediaan dan di banyak pemandian kerendahan hati yang menyehatkan. Dibutuhkan kerendahan hati untuk berjumpa Allah, untuk membiarkan diri kita dijumpai oleh-Nya.

 

Dan kita, apakah kita menyambut atau kita mirip dengan orang-orang di tempat asal-Nya, yang percaya bahwa mereka tahu segalanya tentang Dia? “Aku belajar teologi, aku mengambil kursus katekese… Aku tahu segalanya tentang Yesus!” Ya, seperti orang bodoh! Jangan bodoh, kamu tidak mengenal Yesus. Mungkin, setelah bertahun-tahun sebagai orang percaya, kita sering berpikir bahwa kita mengenal Tuhan dengan baik, dengan gagasan dan penilaian kita. Risikonya adalah kita terbiasa, kita terbiasa dengan Yesus. Dan dengan cara ini, bagaimana kita menjadi terbiasa? Kita menutup diri, kita menutup diri terhadap kebaruan-Nya, pada saat Ia mengetuk pintu kita dan meminta kepadamu sesuatu yang baru, dan ingin masuk ke dalam dirimu. Kita harus berhenti terpaku pada posisi kita. Dan ketika orang memiliki pikiran terbuka, hati yang sederhana, ia memiliki kemampuan untuk terkejut, bertanya-tanya. Tuhan selalu mengejutkan kita : inilah indahnya perjumpaan dengan Yesus. Sebaliknya, Tuhan meminta kita untuk berpikiran terbuka dan berhati sederhana. Semoga Bunda Maria, teladan kerendahan hati dan kesediaan, menunjukkan kepada kita jalan untuk menyambut Yesus.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara dan saudari terkasih,

 

Hari ini adalah Hari Kusta Sedunia. Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan orang-orang yang menderita penyakit ini, dan saya berharap tidak akan ada kekurangan bantuan rohani dan bantuan kesehatan. Perlu kerjasama menuju penyatupaduan penuh orang-orang ini, mengatasi segala bentuk diskriminasi yang terkait dengan penyakit yang sayangnya masih menimpa banyak orang, terutama dalam konteks sosial orang-orang yang paling tidak beruntung.

 

Lusa, 1 Februari, Tahun Baru Imlek akan dirayakan di Timur Jauh, serta berbagai belahan dunia lainnya. Saya menyampaikan salam hormat saya, dan menyampaikan harapan agar di Tahun Baru semua orang dapat menikmati perdamaian, kesehatan, serta kehidupan yang damai dan aman. Betapa indahnya ketika keluarga-keluarga menemukan kesempatan untuk berkumpul bersama serta mengalami saat kasih dan sukacita! Sayangnya, banyak keluarga yang tidak bisa berkumpul tahun ini berhubung pandemi. Semoga kita bisa segera melewati cobaan ini. Akhirnya, saya berharap agar, berkat niat baik pribadi maupun kesetiakawanan bangsa-bangsa, segenap keluarga umat manusia akan dapat mencapai dengan dinamisme tujuan kemakmuran materi dan rohani.

 

Pada malam pesta Santo Yohanes Bosco, saya ingin menyapa para Salesian dan para wanita Salesian, yang melakukan begitu banyak kebaikan dalam Gereja. Saya mengikuti Misa yang dirayakan di Gua Maria Penolong Umat Kristiani [di Turin] oleh Rektor Utama Ángel Fernández Artime, saya mendoakan bersamanya semua orang. Kita memikirkan santo yang agung ini, bapa dan guru kaum muda. Ia tidak menutup diri dalam sakristi, ia tidak menutup diri dalam urusan pribadinya. Ia turun ke jalan untuk mencari kaum muda, dengan kreativitas yang menjadi ciri khasnya. Salam hangat untuk semua Salesian!

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari seluruh dunia. Secara khusus, saya menyapa umat Torrejón de Ardoz, Spanyol, dan para siswa dari Murça, Portugal.

 

Dengan penuh kasih sayang saya menyapa anak laki-laki dan perempuan Aksi Katolik Keuskupan Roma! Mereka di sini berkelompok. Kaum muda yang terkasih, tahun ini juga, ditemani oleh para orangtua, para pendidik, dan para imam pembantumu, kamu telah datang – sebuah kelompok kecil, berhubung pandemi – di akhir Karavan untuk Perdamaian. Sloganmu adalah "Marilah kita pulihkan perdamaian". Sebuah slogan yang bagus! Sebuah slogan penting! Ada kebutuhan besar untuk “memulihkan”, mulai dari hubungan pribadi kita, hingga hubungan antarnegara. Terima kasih! Teruskan! Dan sekarang kamu akan melepaskan balon sebagai tanda harapan… di sana! Sebuah tanda harapan bahwa kaum muda Roma sedang membawakan kita hari ini, “karavan untuk perdamaian” ini.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 30 Januari 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 26 Januari 2022 : KATEKESE TENTANG SANTO YOSEF (BAGIAN 9) - SANTO YOSEF, MANUSIA YANG "BERMIMPI"

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini saya ingin berfokus pada sosok Santo Yosef sebagai manusia yang bermimpi. Dalam Kitab Suci, seperti dalam budaya masyarakat kuno, mimpi dianggap sebagai sarana tempat Allah mengungkapkan diri-Nya. Mimpi melambangkan kehidupan rohani kita masing-masing, ruang batin kita masing-masing di mana kita dipanggil untuk memelihara dan menjaganya, tempat Allah mewujudkan diri-Nya dan sering berbicara kepada kita. Tetapi kita juga harus mengatakan bahwa di dalam diri kita masing-masing tidak hanya ada suara Allah : ada banyak suara lainnya. Misalnya, suara ketakutan kita, suara pengalaman masa lalu, suara harapan; serta ada juga suara si jahat yang ingin memperdaya dan membingungkan kita. Oleh karena itu dapat mengenali suara Allah di tengah suara-suara lain sangatlah penting. Yosef menunjukkan ia tahu bagaimana perlunya memelihara keheningan dan, terutama, bagaimana membuat keputusan yang tepat di hadapan Sabda yang disampaikan Tuhan kepadanya di dalam hati. Hari ini, kita sebaiknya mengambil empat mimpi dalam Injil di mana ia menjadi tokoh utamanya, untuk memahami bagaimana menempatkan diri kita di hadapan wahyu Allah. Injil menceritakan kepada kita tentang empat mimpi Yosef.

 

Dalam mimpi pertama (bdk. Mat 1:18-25), malaikat membantu Yosef menyelesaikan drama yang melandanya ketika ia mengetahui kehamilan Maria : “Janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (ayat 20-21). Dan ia segera menanggapinya : “Sesudah bangun dari tidurnya, Yosef berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya” (ayat 24). Hidup sering menempatkan kita dalam situasi yang tidak kita pahami dan tampaknya tidak memiliki penyelesaian. Berdoa pada saat-saat ini — ini berarti memperkenankan Tuhan menunjukkan kepada kita hal yang benar untuk dilakukan. Faktanya, sangat sering doa yang memberi kita gerak batin jalan keluar. Saudara-saudari terkasih, Tuhan tidak pernah memperkenankan masalah muncul tanpa juga memberi kita bantuan yang kita butuhkan untuk mengatasinya. Ia tidak melemparkan kita sendirian ke dalam api. Ia tidak melemparkan kita di antara binatang buas. Tidak. Ketika Tuhan menunjukkan kepada kita masalah, atau mengungkapkan masalah, Ia selalu memberi kita gerak batin, bantuan, kehadiran-Nya, untuk keluar daripadanya, untuk menyelesaikannya.

 

Dan mimpi Yosef yang kedua yang terungkap muncul ketika kehidupan Kanak Yesus dalam bahaya. Pesannya jelas : “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia" (Mat 2:13). Tanpa ragu-ragu Yosef menuruti : "Yosef pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga", Injil mengatakan, "lalu menyingkir ke Mesir, dan tinggal di sana hingga Herodes mati" (ayat 14-15). Dalam hidup kita semua mengalami bahaya yang mengancam keberadaan kita atau keberadaan orang yang kita cintai. Dalam situasi seperti ini, berdoa berarti mendengarkan suara yang dapat memberi kita keberanian yang sama seperti Yossef, untuk menghadapi kesulitan tanpa menyerah.

 

Di Mesir, Yosef menunggu tanda dari Allah agar ia bisa kembali ke rumah, dan ini adalah isi mimpi ketiga. Malaikat menyatakan kepadanya bahwa orang yang ingin membunuh Anak itu sudah mati serta memerintahkannya untuk pergi bersama Maria dan Yesus dan kembali ke tanah airnya (bdk. Mat 2:19-20). Yosef "bangun", Injil mengatakan, "dan mengambil Anak itu serta ibu-Nya dan berangkatlah ke tanah Israel" (ayat 21). Tetapi dalam perjalanan pulang, “setelah didengarnya, bahwa Arkhelaus menjadi raja di Yudea menggantikan Herodes, ayahnya, ia takut ke sana” (ayat 22). Inilah pewahyuan keempat : “Karena dinasihati dalam mimpi, pergilah Yosef ke daerah Galilea. Setibanya di sana ia pun tinggal di sebuah kota yang bernama Nazaret” (ayat 22-23). Ketakutan juga merupakan bagian dari kehidupan dan juga membutuhkan doa kita. Allah tidak menjanjikan kita bahwa kita tidak akan pernah memiliki rasa takut, tetapi dengan pertolongan-Nya, ketakutan tidak akan menjadi kriteria untuk membuat keputusan. Yosef mengalami ketakutan, tetapi Allah juga membimbingnya melewatinya. Kuasa doa membawa terang ke dalam situasi kegelapan.

 

Pada saat ini saya sedang memikirkan begitu banyak orang yang dihancurkan oleh beban hidup dan tidak bisa lagi berharap atau berdoa. Semoga Santo Yosef membantu mereka membuka diri untuk berdialog dengan Allah guna menemukan terang, kekuatan, dan kedamaian.

 

Dan saya juga sedang memikirkan para orangtua dalam menghadapi masalah anak-anak mereka : Anak-anak dengan banyak penyakit, anak-anak yang sakit, bahkan dengan penyakit menahun. - berapa banyak penderitaan yang ada! — para orangtua yang melihat kelainan orientasi seksual pada anak-anak mereka; bagaimana menghadapi hal ini dan menemani anak-anak mereka dan tidak bersembunyi dalam sikap mengutuk. Para orangtua yang melihat anak-anak mereka meninggal karena sakit, dan juga — yang lebih menyedihkan lagi, kita membacanya setiap hari di surat kabar — anak-anak yang melakukan kenakalan dan berakhir dengan kecelakaan mobil. Para orangtua yang melihat anak mereka tidak berkembang di sekolah dan tidak tahu harus bagaimana... Begitu banyak masalah para orangtua. Marilah kita pikirkan : bagaimana membantu mereka. Dan kepada para orangtua ini saya katakan : janganlah kamu takut. Ya, ada penderitaan. Banyak. Tetapi pikirkan tentang Tuhan, pikirkan tentang bagaimana Yosef memecahkan masalah dan mintalah Yosef untuk membantumu. Jangan pernah mengutuk anak.

 

Itu semua memenuhi diri saya dengan rasa iba — itu terjadi di Buenos Aires — ketika saya naik bus dan bus itu lewat di depan penjara. Ada antrian orang yang harus masuk untuk mengunjungi para tahanan. Dan ada para ibu di sana. Dan saya sangat tersentuh oleh ibu ini yang, menghadapi masalah karena putranya telah melakukan kesalahan dan berada di dalam penjara, tidak meninggalkannya sendirian, menyodorkan wajahnya dan menemaninya. keberanian ini; keberanian seorang ayah dan ibu yang selalu, selalu menemani anak-anaknya. Marilah kita memohon kepada Tuhan untuk memberikan keberanian ini kepada semua ayah dan ibu, seperti yang diberikan-Nya kepada Yosef. Dan berdoa, bukan? Berdoalah agar Tuhan membantu kita di saat-saat ini.

 

Doa, bagaimanapun, tidak pernah merupakan gerakan yang abstrak atau murni lahiriah, seperti gerakan spiritual yang lebih bersifat gnostik daripada Kristiani. Tidak, bukan itu. Doa selalu terkait erat dengan amal. Hanya ketika kita menggabungkan doa dengan kasih, mengasihi anak-anak dalam kasus yang baru saja saya sebutkan, atau mengasihi sesama kita, barulah kita dapat memahami pesan Tuhan. Yosef berdoa, bekerja, dan mengasihi — tiga hal yang indah bagi para orangtua : berdoa, bekerja, dan mengasihi — dan oleh karena itu ia selalu menerima apa yang ia butuhkan untuk menghadapi pencobaan hidup. Marilah kita mempercayakan diri kita kepadanya dan kepada pengantaraannya.

 

Santo Yosef, engkau adalah manusia yang bermimpi, ajarilah kami untuk memulihkan kehidupan rohani sebagai tempat batin di mana Allah mewujudkan diri-Nya dan menyelamatkan kami. Singkirkanlah dari diri kami pemikiran tiada gunanya berdoa; tolonglah kami masing-masing untuk menyesuaikan diri dengan apa yang ditunjukkan Tuhan kepada kami. Semoga penalaran kami diterangi oleh terang Roh, hati kami dibesarkan oleh kekuatan-Nya dan ketakutan kami diselamatkan oleh belas kasihan-Nya. Amin.

 

[Imbauan]

 

Besok adalah Hari Peringatan Holokos Internasional. Penting untuk mengingat pemusnahan jutaan orang Yahudi, dan orang-orang dari berbagai bangsa dan keyakinan agama. Kekejaman yang tak terucapkan ini tidak boleh terulang. Saya mengimbau semua orang, terutama para pendidik dan keluarga-keluarga, untuk menumbuhkan kesadaran generasi baru akan kengerian lembaran hitam sejarah ini. Lembaran hitam sejarah ini tidak boleh dilupakan, agar kita bisa membangun masa depan di mana martabat manusia tidak lagi diinjak-injak.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya mengucapkan selamat datang kepada para peziarah berbahasa Italia. Secara khusus, saya menyapa Pemadam Kebakaran Potenza dan perwakilan Liga Nasional Sepakbola Serie B.

 

Akhirnya, pikiran saya, seperti biasa, tertuju kepada kaum tua, orang-orang sakit, kaum muda dan para pengantin baru. Hari ini liturgi memperingati Santo Timotius dan Titus, yang, dilatih di sekolah Rasul Paulus, mewartakan Injil dengan semangat yang tak kenal lelah. Semoga keteladanan mereka mendorongmu untuk terus menerus menghayati panggilan Kristianimu, menemukan di dalam Tuhan kekuatan untuk menghadapi kesulitan hidup.

 

Dan perkenankanlah saya menjelaskan kepadamu bahwa hari ini saya tidak akan dapat beranjak berada di antaramu untuk menyapamu, karena saya bermasalah dengan kaki kanan saya; ligamen di lutut saya meradang. Tetapi saya akan turun dan menyapamu di sana [di kaki panggung] dan kamu akan bisa lewat untuk menyapa. Hal yang sedang berlalu. Mereka bilang ini hanya terjadi pada kaum tua, dan saya tidak tahu mengapa itu datang kepada saya, tetapi... saya tidak tahu.

 

Untuk semuanya, selalu, berkat saya.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang Santo Yosef, kita sekarang membahas empat mimpi yang dengannya Allah berbicara kepada Yosef dan mengungkapkan kehendak-Nya kepadanya. Kesiapan tanggapan Yosef terhadap Tuhan dapat menjadi model bagi upaya kita untuk mendengarkan suara Allah dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam mimpi pertama, Yosef terbantu untuk mengatasi kesedihannya saat mengetahui bahwa Maria mengandung seorang anak, dan ia segera menanggapinya dengan mengambil Maria sebagai istrinya. Dalam mimpi kedua, Yosef diperintahkan untuk mengungsi bersama Keluarga Kudus ke Mesir untuk menghindari murka Raja Herodes. Selama di Mesir, Yosef belajar dalam mimpi ketiga bahwa mereka dapat dengan aman kembali ke tanah air mereka. Selama perjalanan, ia diberitahu dalam mimpi keempat untuk menetap di Nazaret. Keteladanam Yosef tentang keterbukaan batin terhadap suara Tuhan dapat membantu kita menemukan kebijaksanaan dalam menanggapi ketidakpastian dalam hidup kita, keberanian dalam menghadapi situasi yang mengancam, dan keyakinan dalam mempercayakan bahkan ketakutan kita pada penyelenggaraan ilahi Allah. Semoga pengantaraan Santo Yosef membantu semua orang yang merasa sulit untuk berdoa, dan mendorong kita untuk mengembangkan kehidupan batin yang membawa kita semakin dekat dengan Tuhan, membuat kita semakin patuh pada kehendak-Nya dan semakin terbuka terhadap kebutuhan saudara-saudari kita.

_____



(Peter Suriadi - Bogor, 26 Januari 2022)

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM PERAYAAN VESPER II PEKAN DOA SEDUNIA UNTUK PERSATUAN UMAT KRISTIANI KE-55 DI BASILIKA SANTO PAULUS DI LUAR TEMBOK 25 Januari 2022 : BERCERMIN PADA TIGA LANGKAH PERJALANAN PARA MAJUS

Sebelum bertukar pikiran, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Yang Mulia Metropolitan Polykarpos, perwakilan Patriarkat Ekumenis, kepada Yang Mulia Ian Ernest, perwakilan pribadi Uskup Agung Canterbury di Roma, dan kepada para perwakilan umat Kristiani lainnya atas kehadirannya. Saya juga berterima kasih kepada Anda semua, saudara dan saudari terkasih, karena datang ke sini untuk berdoa. Secara khusus, saya menyapa para mahasiswa Institut Ekumenis Bossey yang memperdalam pengetahuan mereka tentang Gereja Katolik, mahasiswa Anglikan dari Kolose Nashotah Amerika Serikat, dan para penerima beasiswa Gereja Ortodoks dan Ortodoks Oriental dari Komite untuk Kerjasama Budaya dengan Gereja-Gereja Ortodoks. Marilah kita mewujudkan keinginan Yesus yang mendalam agar kita menjadi “satu” (Yoh 17:21) dan, dengan rahmat-Nya, berkembang di sepanjang jalan menuju persatuan penuh!

 

Di jalan ini, para Majus dapat membantu kita. Marilah petang ini kita memikirkan perjalanan mereka, yang terdiri tiga langkah : dimulai dari Timur, melewati Yerusalem, dan akhirnya tiba di Betlehem.

 

1.       Pertama, para Majus berangkat “dari Timur” (Mat 2:1), karena di sanalah mereka pertama kali melihat bintang. Mereka berangkat dari Timur, asal matahari terbit, namun mereka mencari terang yang lebih besar. Para bijak ini tidak puas dengan pengetahuan dan tradisi mereka ; mereka menginginkan sesuatu yang lebih. Oleh karena itu, mereka memulai perjalanan yang berisiko, didorong oleh kegelisahan pencarian Allah. Saudara-saudari terkasih, semoga kita juga mengikuti bintang Yesus! Semoga kita tidak membiarkan diri kita terganggu oleh gemerlapnya terang dunia ini, bintang-bintang yang cemerlang namun jatuh. Semoga kita tidak mengikuti mode saat ini, bintang jatuh yang terbakar habis. Semoga kita tidak mengikuti godaan bersinar dengan terang kita sendiri, hanya peduli dengan kelompok kita dan pelestarian diri kita. Marilah kita mengarahkan pandangan kita kepada Kristus, kepada surga, kepada bintang Yesus. Marilah kita mengikuti-Nya, Injil-Nya, undangan-Nya untuk bersatu, tanpa khawatir tentang berapa lama dan melelahkan jalan menuju kepenuhan tersebut dapat dicapai. Janganlah kita lupa bahwa dengan melihat terang, Gereja – Gereja kita – di jalan kesatuan, terus menjadi “misterium luna”. Marilah kita berhasrat untuk melakukan perjalanan bersama, saling mendukung, seperti yang dilakukan para Majus. Secara tradisional, para Majus digambarkan dengan jubah warna-warni yang mewakili berbagai bangsa. Di dalamnya, kita dapat melihat cermin perbedaan kita, perbedaan tradisi dan pengalaman Kristiani kita, tetapi juga kesatuan kita, yang lahir dari keinginan yang sama : memandang surga dan melakukan perjalanan bersama di bumi.

 

Timur juga membuat kita memikirkan umat Kristiani yang tinggal di berbagai daerah yang hancur karena perang dan kekerasan. Dewan Gereja-Gereja Timur Tengah menyiapkan bahan untuk Pekan Doa ini. Saudara-saudari kita ini menghadapi sejumlah tantangan yang sulit, namun dengan kesaksian mereka, mereka memberi kita harapan. Mereka mengingatkan kita bahwa bintang Kristus bersinar dalam kegelapan dan tidak pernah terbenam; dari tempat tinggi, Tuhan menyertai dan menyemangati langkah kita. Di sekeliling-Nya, di surga, di sana bersinar bersama, tanpa perbedaan pengakuan, sekelompok besar martir; mereka menunjukkan kepada kita di sini di bawah jalan yang jelas, jalan persatuan!

 

2.     Dari Timur, para Majus tiba di Yerusalem, hati mereka membara dengan kerinduan akan Allah. Mereka memberitahu Herodes : “Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia" (ayat 2). Namun, keinginan surga mereka dibawa kembali ke bumi dan kepada kenyataan pahitnya : "Ketika raja Herodes mendengar hal itu", Injil memberitahu kita, "terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem" (ayat 3). Di kota suci tersebut para Majus tidak melihat pantulan terang bintang, tetapi mengalami perlawanan dari kekuatan gelap dunia ini. Herodes sendiri juga tidak merasa terancam oleh kerajaan baru dan berbeda ini, tidak diperburuk oleh kekuatan duniawi : seluruh Yerusalem terkejut oleh pesan para Majus.

 

Sepanjang perjalanan kita menuju persatuan, kita juga bisa berhenti karena alasan yang sama yang melumpuhkan orang-orang itu : kebingungan dan ketakutan. Ketakutan akan hal baru yang mengganggu kelaziman kebiasaan dan rasa aman kita; ketakutan orang lain akan mengacaukan tradisi dan polaku yang sudah lama ada. Namun jauh di lubuk hati ketakutan yang mengintai setiap hati manusia adalah ketakutan yang hendak dienyahkan dari diri kita oleh Tuhan yang bangkit. Dalam perjalanan persekutuan kita, semoga kita tidak pernah urung untuk mendengar kata-kata penyemangatnya : “Janganlah kamu takut” (Mat 28:5.10). Janganlah kita takut untuk menempatkan saudara-saudara kita di atas ketakutan kita sendiri! Tuhan ingin kita percaya satu sama lain dan berjalan bersama, terlepas dari kegagalan dan dosa kita, terlepas dari kesalahan masa lalu dan luka kita bersama.

 

Di sini juga, kisah para Majus mendorong kita. Tepatnya di Yerusalem, tempat kekecewaan dan pertentangan, di mana jalan yang ditunjukkan oleh surga tampaknya bertabrakan dengan tembok yang didirikan oleh manusia, mereka menemukan jalan menuju Betlehem. Mereka mempelajarinya dari para imam kepala dan para ahli Taurat bangsa Yahudi, yang menelaah Kitab Suci (bdk. Mat 2:4). Para Majus menemukan Yesus tidak hanya dari bintang, yang sementara itu menghilang; mereka juga membutuhkan sabda Allah. Kita juga umat Kristiani tidak dapat datang kepada Tuhan tanpa sabda-Nya yang hidup dan kuat (bdk. Ibr 4:12). Sabda itu telah diberikan kepada seluruh umat Allah untuk disambut dan didoakan, sehingga dapat direnungkan bersama, oleh seluruh umat Allah. Kemudian, marilah kita mendekat kepada Yesus melalui sabda-Nya, bahkan marilah kita juga mendekat kepada saudara-saudari kita melalui sabda Yesus. Bintang-Nya akan muncul kembali dalam perjalanan kita, dan Ia akan memberi kita sukacita.

 

3.      Itulah yang terjadi dengan para Majus, begitu mereka tiba di tujuan akhir mereka : Betlehem. Di sana mereka masuk ke dalam rumah, sujud menyembah Anak itu (bdk. Mat 2:11). Jadi perjalanan mereka berakhir: bersama, di rumah yang sama, dalam penyembahan. Dengan cara ini, para Majus menggambarkan murid-murid Yesus, banyak tetapi satu, yang pada akhir Injil sujud menyembah di hadapan Tuhan yang bangkit di bukit di Galilea (bdk. Mat 28:17). Dengan cara ini, mereka juga menjadi tanda kenabian bagi kita yang merindukan Tuhan, rekan seperjalanan kita di sepanjang jalan dunia, para pencari tanda-tanda Allah dalam sejarah melalui Kitab Suci. Saudara-saudari, bagi kita juga, persatuan penuh, di rumah yang sama, hanya akan dicapai melalui penyembahan kepada Tuhan. Saudara-saudari terkasih, tahap menentukan perjalanan menuju persekutuan penuh membutuhkan doa yang semakin giat, membutuhkan penyembahan, penyembahan kepada Allah.

 

Selain itu, para Majus mengingatkan kita bahwa penyembahan menuntut sesuatu yang lain dari diri kita : pertama, kita harus sujud. Begitulah caranya : membungkuk, mengesampingkan kepura-puraan kita agar Tuhan semata yang menjadi pusat segalanya. Berapa kali kesombongan sungguh terbukti menghambat persekutuan! Para Majus memiliki keberanian untuk meninggalkan harga diri dan reputasi mereka guna merendahkan diri di rumah hina di Betlehem; dan sebagai hasilnya mereka mendapati diri mereka “sangat bersukacita” (Mat 2:10). Untuk merendahkan diri, meninggalkan hal-hal tertentu, menyederhanakan hidup kita: malam ini, marilah kita memohonkan kepada Allah keberanian itu, keberanian kerendahan hati, satu-satunya cara untuk datang menyembah Allah di rumah yang sama, di sekitar altar yang sama.

 

Di Betlehem, setelah mereka sujud menyembah, para Majus membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan emas, kemenyan dan mur (bdk. ayat 11). Persembahan ini mengingatkan kita bahwa, hanya setelah kita berdoa bersama, hanya di hadirat Allah dan dalam terang-Nya, kita menjadi benar-benar sadar akan harta kepunyaan kita masing-masing. Tetapi, harta tersebut adalah kepunyaan bersama, dan dimaksudkan untuk dibagikan. Karena harta tersebut adalah karunia Roh, yang ditujukan untuk kebaikan bersama, untuk pembangunan dan persatuan umat-Nya. Kita dapat melihat hal ini dengan doa, tetapi juga dengan pelayanan : ketika kita memberi orang-orang yang membutuhkan, kita memberikan persembahan kita kepada Yesus, yang menyerupakan diri-Nya dengan orang-orang miskin dan terpinggirkan (bdk. Mat 25:34-40); dan Ia menjadikan kita satu.

 

Pemberian para Majus melambangkan pemberian yang ingin diterima Tuhan dari kita. Allah harus diberikan emas, yang paling berharga, karena tempat pertama harus selalu diberikan kepada Allah. Kita harus memandang-Nya, bukan diri kita; kehendak-Nya, bukan kehendak kita; jalan-Nya, bukan jalan kita. Jika Tuhan benar-benar di tempat pertama, pilihan kita, termasuk pilihan gerejawi kita, tidak bisa lagi didasarkan pada politik dunia ini, tetapi pada kehendak Allah. Lalu ada kemenyan, yang mengingatkan pentingnya doa, yang terangkat kepada Allah sebagai wewangian yang berkenan (bdk. Mzm 141:2). Semoga kita tidak pernah lelah untuk saling mendoakan dan berdoa bersama. Akhirnya, ada mur, yang akan digunakan untuk menghormati tubuh Yesus yang diturunkan dari salib (bdk. Yoh 19:39), dan berbicara kepada kita tentang kepedulian terhadap daging Tuhan yang sedang menderita, yang tercermin dalam luka-luka kaum miskin. Marilah kita melayani orang-orang yang membutuhkan. Bersama-sama, marilah kita melayani Yesus yang sedang menderita!

 

Saudara-saudari yang terkasih, marilah kita mengambil arah para Majus untuk perjalanan kita, dan melakukan seperti yang mereka lakukan, pulang ke rumah “melalui jalan lain” (Mat 2:12). Seperti Saulus sebelum perjumpaannya dengan Kristus, kita perlu mengubah arah, membalikkan kebiasaan dan jalan kita, untuk menemukan jalan yang ditunjukkan Tuhan kepada kita : jalan kerendahan hati, persaudaraan dan penyembahan. Ya Tuhan, anugerahi kami keberanian untuk mengubah haluan, bertobat, mengikuti kehendak-Mu dan bukan kehendak kami; berkembang bersama-sama, menuju Engkau, yang berkat Roh-Mu ingin menjadikan kita satu. Amin.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Januari 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 23 Januari 2022 : SABDA ALLAH SELALU MERUPAKAN HARI INI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam Bacaan Injil liturgi hari ini, kita melihat Yesus memulai pewartaan-Nya (bdk. Luk 4:14-21) : ini adalah khotbah pertama Yesus. Ia pergi ke Nazaret, tempat Ia dibesarkan, dan ikut serta dalam doa di rumah ibadat. Ia berdiri hendak membaca dan, dalam gulungan kitab nabi Yesaya, Ia menemukan nas tentang Mesias, yang menyatakan pesan penghiburan dan pembebasan bagi kaum miskin dan tertindas (bdk. Yes 61:1-2). Di akhir pembacaan, “mata semua orang ... tertuju kepada-Nya” (ayat 20). Dan Yesus memulai mengajar mereka dengan mengatakan : “Pada hari ini genaplah nas ini” (ayat 21). Hari ini marilah kita memikirkan hal ini. Kata pertama dari pewartaan Yesus yang dicatat dalam Injil Lukas. Perkataan Tuhan ini menunjukkan "hari ini" yang berjalan sepanjang masa dan selalu tetap berlaku. Sabda Allah selalu merupakan “hari ini”. Sabda Allah dimulai dengan "hari ini" : ketika kamu membaca Sabda Allah, "hari ini" dimulai dalam jiwamu, jika kamu memahaminya dengan baik. Hari ini. Nubuat Nabi Yesaya sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, tetapi Yesus, “dalam kuasa Roh” (ayat 14), menjadikannya relevan dan, terutama, menggenapinya, dan menunjukkan bagaimana menerima Sabda Allah : hari ini. Sabda Allah tidak seperti sejarah kuno, tidak : hari ini. Hari ini, Sabda Allah berbicara kepada hatimu.

 

Orang-orang di tempat Yesus dibesarkan heran dengan kata-kata-Nya. Meskipun, diselimuti oleh prasangka, mereka tidak percaya kepada-Nya, mereka menyadari bahwa pengajaran-Nya berbeda dari guru-guru lainnya (bdk. ayat 22) : mereka merasakan ada lebih banyak hal pada Yesus. Apa yang ada? Ada urapan Roh Kudus. Kadang-kadang terjadi khotbah dan ajaran kita tetap generik, abstrak; khotbah dan ajaran kita tidak menyentuh jiwa dan kehidupan orang-orang. Dan mengapa? Karena mereka tidak memiliki kuasa hari ini; apa yang dimaksudkan Yesus dengan “digenapi” oleh kuasa Roh, adalah hari ini. Hari ini sedang berbicara kepadamu. Ya, kadang-kadang kita mendengar konferensi tanpa cela, pidato yang disusun dengan baik, tetapi semuanya tidak menggerakkan hati sehingga tetap seperti sebelumnya. Bahkan banyak homili – saya mengatakannya dengan hormat tetapi pedih – bersifat abstrak, dan bukannya membangkitkan jiwa, tetapi menidurkannya. Ketika umat mulai melihat jam tangan mereka – “kapan ini akan berakhir?” – banyak homili membuat jiwa tertidur. Pewartaan menanggung risiko ini : tanpa urapan Roh, pewartaan memiskinkan Sabda Allah, dan turun ke dalam moralisme dan konsep abstrak; pewartaan menyajikan Injil dengan keterpisahan, seolah-olah berada di luar waktu, jauh dari kenyataan. Dan ini bukan caranya. Tetapi sebuah kata di mana kekuatan hari ini tidak berdenyut tidak layak bagi Yesus dan tidak membantu kehidupan umat. Itulah sebabnya mereka yang berkhotbah, tolong, adalah orang-orang pertama yang mengalami hari ini Yesus, sehingga dapat menyampaikannya dalam hari ini orang lain. Dan jika mereka ingin memberikan kuliah, konferensi, biarkan mereka melakukannya, tetapi di tempat lain, bukan pada saat homili, di mana mereka harus memberikan Sabda dengan cara yang membangkitkan hati.

 

Saudara-saudari terkasih, pada Hari Minggu Sabda Allah ini saya ingin berterima kasih kepada para pengkhotbah dan pewarta Injil yang tetap setia kepada Sabda yang membangkitkan hati, yang tetap setia kepada “hari ini”. Marilah kita mendoakan mereka, agar mereka dapat menghayati hari ini Yesus, kuasa manis Roh-Nya yang membuat Kitab Suci menjadi hidup. Sabda Allah, memang hidup dan kuat (bdk. Ibr 4:12); Sabda Allah mengubah diri kita, Sabda Allah masuk ke dalam perkara kita, Sabda Allah menerangi kehidupan kita sehari-hari, Sabda Allah menghibur dan membawa ketertiban. Ingatlah : Sabda Allah mengubah rupa hari biasa menjadi hari ini yang di dalamnya Allah berbicara kepada kita. Jadi, marilah kita mengambil Injil serta setiap hari memilih perikop untuk dibaca dan dibaca ulang. Simpanlah Injil di saku atau tasmu, untuk dibaca dalam perjalananmu, kapan saja, dan dibaca dengan tenang. Pada waktunya kita akan menemukan bahwa kata-kata ini dibuat khusus untuk kita, untuk hidup kita. Kata-kata ini akan membantu kita untuk menyambut setiap hari dengan pandangan yang lebih baik dan lebih tenang, karena ketika Injil masuk ke dunia saat ini, ia menggenapinya bersama Allah. Saya ingin menyarankan. Pada hari Minggu tahun liturgi ini Injil Lukas, Injil belas kasihan, diwartakan. Mengapa tidak membacanya secara pribadi, seluruhnya, sebuah perikop setiap hari? Sebuah perikop. Marilah kita membiasakan diri dengan Injil, kita akan dibawanya kepada kebaruan dan sukacita Allah!

 

Sabda Allah juga menjadi mercusuar yang menuntun perjalanan sinode yang telah dimulai di seluruh Gereja. Saat kita berusaha untuk saling mendengarkan, dengan perhatian dan kearifan – karena ini bukan masalah pendapat, bukan, tetapi mengarifkan Sabda, di sana – marilah kita bersama-sama mendengarkan Sabda Allah dan Roh Kudus. Dan semoga Bunda Maria mendapatkan bagi kita keteguhan untuk memelihara diri kita dengan Injil setiap hari.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Kemarin, imam Yesuit Rutilio Grande García dan dua rekan awam, dan imam Fransiskan Cosme Spessotto, para martir iman, dibeatifikasi di San Salvador. Mereka berdiri di dekat kaum miskin, menjadi saksi-saksi Injil, kebenaran dan keadilan bahkan sampai menumpahkan darah mereka. Semoga teladan kepahlawanan mereka mengilhami setiap orang keinginan untuk menjadi pekerja persaudaraan dan perdamaian yang berani. Tepuk tangan untuk para beato baru!

 

Saya sedang mengikuti dengan keprihatinan meningkatnya ketegangan yang mengancam akan menimbulkan pukulan baru bagi perdamaian di Ukraina, dan mempertanyakan keamanan benua Eropa, dengan dampak yang lebih luas. Saya menghimbau dengan sepenuh hati kepada semua orang yang berkehendak baik, agar mereka dapat memanjatkan doa kepada Allah yang Mahakuasa, agar setiap tindakan dan prakarsa politik dapat mengabdi pada persaudaraan manusia, daripada kepentingan pihak tertentu. Mereka yang mengejar kepentingan mereka, dengan merugikan orang lain, mengabaikan panggilan kemanusiaan mereka, karena kita semua diciptakan sebagai saudara dan saudari. Karena alasan ini, dan dengan keprihatinan, mengingat ketegangan saat ini, saya mengusulkan agar hari Rabu depan, 26 Januari menjadi hari doa untuk perdamaian.

 

Dalam konteks Pekan Doa Sedunia untuk Persatuan Umat Kristiani, saya telah menerima usulan yang datang dari berbagai pihak, dan menyatakan Santo Ireneus dari Lyon sebagai Pujangga Gereja semesta. Ajaran sang gembala dan guru kudus ini bagaikan jembatan antara Timur dan Barat : inilah sebabnya kita menyebutnya Pujangga Persatuan, Pujangga Unitatis. Semoga Tuhan menganugerahkan kita, melalui perantaraannya, untuk bekerjasama demi persatuan penuh umat Kristiani.

 

Dan sekarang saya menyampaikan salam saya kepada kamu semua, umat Roma yang terkasih serta para peziarah yang datang dari Italia dan negara-negara lain. Saya menyapa secara khusus keluarga rohani dari Hamba Penderitaan dan Pramuka Agesci Lazio. Dan saya juga melihat bahwa ada sekelompok rekan senegara : Saya menyapa orang-orang Argentina yang hadir di sini! Dan juga kaum muda Yang Dikandung Tanpa Noda.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang, dan sampai jumpa.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 23 Januari 2022)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 19 Januari 2022 : KATEKESE TENTANG SANTO YOSEF (BAGIAN 8) - SANTO YOSEF, BAPA DALAM KELEMBUTAN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, saya ingin menjelajahi sosok Santo Yosef sebagai seorang bapa dalam kelembutan.

 

Dalam Surat Apostolik saya Patris Corde, (8 Desember 2020) saya berkesempatan untuk bercermin pada aspek kelembutan ini, aspek kepribadian Santo Yosef. Faktanya, meskipun keempat Injil tidak memberi kita rincian apa pun tentang bagaimana ia melaksanakan kebapaannya, kita dapat yakin bahwa ke-"tulus hati"-annya juga diterjemahkan ke dalam pendidikan yang diberikannya kepada Yesus. “Yosef melihat Yesus bertumbuh dari hari ke hari 'bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia'” (Luk 2:52) : begitulah dikatakan Injil. Seperti dilakukan Tuhan kepada Israel, demikian juga Yosef “mengajar-Nya berjalan, dengan memegang-Nya dengan tangannya : Bagi-Nya ia seperti seorang ayah yang mengangkat seorang anak ke pipinya, dengan membungkuk kepada-Nya untuk memberi-Nya makan (bdk. Hos 11:3-4)" (Patris Corde, 2). Sungguh indah, definisi dalam Kitab Suci ini, yang menunjukkan hubungan Allah dengan umat Israel. Menurut kami, hubungan yang sama ada di antara Santo Yosef dan Yesus.

 

Keempat Injil membuktikan bahwa Yesus selalu menggunakan kata "bapa" untuk berbicara tentang Allah dan kasih-Nya. Banyak perumpamaan memiliki tokoh utamanya seorang bapa. Salah satu perumpamaan yang paling terkenal tentu saja adalah Bapa yang penuh belas kasihan, yang diceritakan oleh Penginjil Lukas (bdk. Luk 15:11-32). Perumpamaan ini tidak hanya menekankan pengalaman dosa dan pengampunan, tetapi juga cara pengampunan mencapai orang yang telah berbuat salah. Teks itu mengatakan : “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia” (ayat 20). Anaknya itu mengharapkan sebuah hukuman, sebuah keadilan yang setidaknya bisa memberinya tempat sebagai salah seorang upahan, tetapi ia mendapati dirinya terbungkus dalam pelukan bapanya. Kelembutan adalah sesuatu yang lebih besar dari nalar dunia. Kelembutan adalah cara yang tidak terduga untuk melakukan keadilan. Itulah sebabnya kita tidak boleh lupa bahwa Allah tidak takut dengan dosa-dosa kita : marilah kita perbaiki hal ini dengan jelas dalam pikiran kita. Allah tidak takut dengan dosa-dosa kita, Ia lebih besar dari dosa-dosa kita : Ia adalah bapa, Ia adalah kasih, Ia lembut. Ia tidak takut dengan dosa-dosa kita, kesalahan kita, kekeliruan kita, tetapi Ia takut dengan ketertutupan hati kita – ini, ya, ini membuat-Nya menderita – Ia takut oleh kurangnya iman kita akan kasih-Nya. Ada kelembutan yang luar biasa dalam pengalaman kasih Allah. Dan sungguh indah untuk berpikir bahwa orang pertama yang menyampaikan kenyataan ini kepada Yesus adalah Yosef sendiri. Karena perkara Allah selalu datang kepada kita melalui perantaraan pengalaman manusiawi. Dulu – saya tidak tahu apakah saya sudah menceritakan kisah ini – sekelompok anak muda yang mementaskan drama teater, kelompok teater pop, di depan kurva, dikejutkan oleh perumpamaan bapa yang penuh belas kasihan ini dan memutuskan untuk membuat sebuah produksi teater pop tentang hal ini, dengan cerita ini. Dan mereka melakukannya dengan baik. Dan akhir ceritanya adalah seorang teman mendengarkan seorang anak laki-laki yang terpisah dari ayahnya, yang ingin kembali ke rumah tetapi takut ayahnya akan mengusir dan menghukumnya. Dan teman itu berkata, “Kirimkanlah utusan untuk mengatakan bahwa kamu ingin pulang ke rumah, dan jika ayahmu sudi menerimamu, suruhlah ia meletakkan saputangan di jendela, yang dapat kamu lihat segera setelah kamu akhirnya memutuskan untuk pulang”. Dan ini dilakukan. Dan ini dilakukan, dengan nyanyian dan tarian, berlanjut sampai saat anak itu berbelok ke jalan terakhir dan melihat rumah itu. Dan ketika ia mendongak, ia melihat rumah itu penuh dengan saputangan putih: penuh dengannya. Bukan satu, tapi tiga atau empat di setiap jendela. Ini adalah belas kasihan Allah. Ia tidak terhalang oleh masa lalu kita, oleh hal-hal buruk yang telah kita lakukan; Menyelesaikan pertanggungjawaban dengan Allah adalah hal yang indah, karena kita mulai berbicara, dan Ia memeluk kita. Kelembutan!

 

Jadi, kita bisa bertanya pada diri sendiri apakah kita sendiri pernah mengalami kelembutan ini, dan apakah kita pada gilirannya menjadi saksinya. Karena kelembutan pada dasarnya bukanlah masalah emosi atau kepekaan perasaan : kelembutan adalah pengalaman merasa dikasihi dan disambut justru dalam kemiskinan dan kesengsaraan kita, dan dengan demikian diubah rupa oleh kasih Allah.

 

Allah tidak hanya mengandalkan talenta kita, tetapi juga kelemahan kita yang telah ditebus. Ini, misalnya, membuat Santo Paulus mengatakan bahwa ada juga rencana untuk kerapuhan kita. Bahkan, ia menulis kepada jemaat Korintus : “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku ... Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: 'Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna'” (2Kor 12:7-9). Tuhan tidak mengambil semua kelemahan kita, tetapi membantu kita untuk berjalan dengan kelemahan kita, memegang tangan kita. Ia mengambil kelemahan kita dan menempatkan diri-Nya di sisi kita. Dan ini adalah kelembutan.

 

Pengalaman kelembutan tepatnya berupa melihat kuasa Allah mengatasi apa yang membuat kita paling rapuh; tetapi, syaratnya kita bertobat dari pandangan si Jahat yang "menyebabkan kita memandang kerapuhan kita dengan penilaian negatif", sementara Roh Kudus "meneranginya dengan kelemahlembutan" (Patris Corde, 2). “Kelemahlembutan adalah cara terbaik untuk menyentuh apa yang rapuh dalam diri kita [...] Lihatlah bagaimana perawat menyentuh luka orang sakit: dengan kelembutan, agar tidak semakin terluka. Dan beginilah cara Tuhan menyentuh luka kita, dengan kelembutan yang sama. Itulah sebabnya penting menjumpai Belas Kasih Allah, terutama dalam Sakramen Rekonsiliasi, di mana kita memperoleh pengalaman kebenaran dan kelemahlembutan. Secara paradoks meskipun si Jahat dapat mengatakan kepada kita kebenaran, tetapi itu dilakukannya hanya untuk menghukum kita. Namun demikian, kita tahu bahwa Kebenaran yang datang dari Allah tidak menghukum kita, tetapi menerima kita, mendukung kita, mengampuni kita” (Patris Corde, 2). Allah selalu mengampuni : simpanlah ini dengan jelas di kepala dan hatimu. Allah selalu mengampuni. Kita adalah orang-orang yang lelah memohon pengampunan. Tetapi Ia selalu mengampuni, bahkan hal terburuk sekalipun.

 

Maka, ada baiknya kita mencerminkan diri kita dalam kebapaan Yosef, yang merupakan cermin kebapaan Allah, dan bertanya pada diri sendiri apakah kita memperkenankan Tuhan untuk mengasihi kita dengan kelembutan-Nya, mengubah rupa diri kita masing-masing menjadi manusia yang mampu mengasihi dengan cara ini. Tanpa "revolusi kelembutan" ini – ada kebutuhan akan revolusi kelembutan! - kita berisiko tetap terpenjara dalam keadilan yang tidak memungkinkan kita untuk bangkit dengan mudah dan yang mengacaukan penebusan dengan hukuman. Karena alasan ini, hari ini saya ingin mengingat secara khusus saudara-saudara kita yang berada di dalam penjara. Memang benar bahwa orang-orang yang melakukan kesalahan harus membayar kesalahan mereka, tetapi juga benar bahwa orang-orang yang melakukan kesalahan harus dapat menebus kesalahan mereka. Mereka tidak bisa menjadi kalimat tanpa jendela harapan. Setiap kalimat harus selalu memiliki jendela harapan. Marilah kita memikirkan saudara-saudari kita yang berada di dalam penjara, dan memikirkan kelembutan Allah bagi mereka, dan marilah kita mendoakan mereka, agar mereka menemukan di dalam jendela harapan itu jalan keluar menuju kehidupan yang lebih baik.

 

Dan kita akhiri dengan doa ini:

 

Santo Yosef, bapa dalam kelembutan, ajarilah kami untuk menerima bahwa kami dikasihi justru dalam hal yang paling lemah dalam diri kami. Anugerahilah kami agar tidak merintangi kemiskinan kami dan kebesaran kasih Allah. Bangkitkanlah dalam diri kami keinginan untuk menerima Sakramen Rekonsiliasi, agar kami diampuni dan juga dimampukan untuk mengasihi dengan lembut saudara-saudara kami dalam kemiskinan mereka. Dekatlah dengan orang-orang yang telah melakukan kesalahan dan sedang menebusnya; bantulah mereka untuk menemukan tidak hanya keadilan tetapi juga kelembutan sehingga mereka dapat memulai lagi. Dan ajarilah mereka bahwa cara pertama untuk memulai lagi adalah dengan tulus memohonkan pengampunan, merasakan belaian Bapa. Amin.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris, terutama yang berasal dari Amerika Serikat. Saya juga menyapa para imam dari Institut Pendidikan Teologi Berkelanjutan Universitas Kepausan Amerika Utara. Dalam Pekan Doa untuk Persatuan Umat Kristiani ini, marilah kita berdoa agar segenap pengikut Kristus bertekun di jalan menuju persatuan. Atas kamu semua, dan keluargamu, saya memohon sukacita dan damai Tuhan. Semoga Allah memberkatimu!

 

[Seruan]

 

Pikiran saya tertuju pada penduduk Pulau Tonga, yang akhir-akhir ini terkena dampak letusan gunung berapi bawah laut, yang telah menyebabkan kerusakan material yang sangat besar. Secara rohani saya dekat dengan semua orang yang menderita, memohonkan pertolongan Allah atas penderitaan mereka. Saya mengundang semua orang untuk bergabung dengan saya dalam mendoakan saudara-saudari ini.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang sosok Santo Yosef, sekarang kita membahas keteladanannya tentang kasih kebapaan dan pentingnya hal itu dalam kehidupan Yesus. Dalam Injil, secara berarti, Yesus selalu mengacu pada gambaran seorang bapa duniawi ketika berbicara tentang Bapa surgawi dan kasih-Nya. Kita melihat hal ini khususnya dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (bdk. Luk 15:11-32), yang tidak hanya berbicara tentang dosa dan pengampunan, tetapi juga tentang kasih yang memperbarui dan menebus hubungan yang rusak. Seperti anak yang hilang, kita juga diundang untuk mengakui dosa dan kegagalan kita, tetapi juga memperkenankan diri kita diubah oleh pelukan kasih Tuhan. Kelembutan kasih Allah juga terlihat dalam kepercayaan yang diberikan-Nya kepada kita untuk melaksanakan kehendak-Nya dengan kuasa kasih karunia-Nya, yang bekerja bahkan melalui kelemahan manusiawi kita. Sebagai Bapa yang mahapengasih, Allah membantu kita untuk melihat kebenaran tentang diri kita, untuk membuat kita bertumbuh menuju kedewasaan rohani di dalam Kristus. Itulah sebabnya menemukan kasih-Nya yang penuh kerahiman dalam sakramen-sakramen, khususnya sakramen Tobat, sangat penting. Melalui perantaraan Santo Yosef, semoga kita belajar untuk mengikuti Kristus dan menjadi saksi kuasa kasih ilahi-Nya yang sedang mengubah rupa.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Januari 2022)