Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 29 Oktober 2023 : MENGASIHI ALLAH DAN SESAMA TIDAK DAPAT DIPISAHKAN SATU SAMA LAIN

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil hari ini berbicara kepada kita tentang perintah yang terutama (bdk. Mat 22:34-40). Seorang ahli hukum mempertanyakan Yesus tentang hal ini dan Ia menjawab dengan “perintah kasih yang terutama” : “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu (…) dan (…) kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (ayat 37.39). Mengasihi Allah dan sesama tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jadi, marilah kita berhenti sejenak untuk merenungkan hal ini.

 

Pertama : sesungguhnya mengutamakan mengasihi Allah mengingatkan kita bahwa Allah selalu mendahului kita, Ia menantikan kita dengan kelembutan-Nya yang tak terhingga (bdk. Yoh 4:19), dengan kedekatan-Nya, dengan belas kasihan-Nya, karena Ia selalu dekat, lembut dan penyayang. Seorang bayi belajar mengasihi di pangkuan ibu dan ayahnya, dan kita mempelajarinya dalam pelukan Allah. Mazmur berkata, “Seperti anak yang disapih dalam gendongan ibunya” (bdk. 131:2). Inilah yang seharusnya kita rasakan dalam pelukan Allah. Dan di sana, kita menyerap kasih sayang Tuhan; di sana, kita menemukan kasih yang mendorong kita untuk memberikan diri kita dengan murah hati. Santo Paulus mengingatkan hal ini ketika ia mengatakan bahwa kasih Kristus mempunyai kuasa yang mendorong ke arah kasih (bdk. 2Kor 5:14). Dan segala sesuatu berasal dari Dia. Kamu tidak dapat sungguh mengasihi sesama jika kamu tidak memiliki asal-usul ini, yaitu mengasihi Allah, mengasihi Yesus.

 

Dan sekarang aspek kedua yang muncul dari perintah kasih. Aspek ini menghubungkan mengasihi Allah dengan mengasihi sesama : artinya dengan mengasihi saudara-saudari kita, kita memantulkan kasih Bapa bagaikan cermin. Memantulkan kasih Allah, inilah intinya – mengasihi Dia yang tidak kita lihat melalui saudara/saudari yang kita lihat (bdk. 1 Yoh 4:20). Suatu hari, Santa Teresa dari Kalkuta menjawab seorang wartawan yang bertanya kepadanya apakah ia mempunyai khayalan mengenai perubahan dunia yang ia lakukan, “Aku tidak, aku tidak pernah memikirkan diriku bisa mengubah dunia! Aku hanya ingin menjadi setetes air bersih, yang melaluinya kasih Allah dapat terpancar” (Pertemuan dengan para wartawan setelah menerima Hadiah Nobel Perdamaian, Roma, 1979). Inilah bagaimana Ia, yang masih sangat kecil, mampu melakukan banyak kebaikan – dengan memantulkan kasih Allah bagaikan setetes air. Dan jika kadang-kadang, memandangnya dan para kudus lainnya, kita mungkin tergerak untuk berpikir bahwa mereka adalah pahlawan yang tidak dapat diteladani, marilah kita memikirkan kembali setetes kecil itu : kasih adalah setetes yang dapat mengubah banyak hal. Dan bagaimana hal ini dapat dilakukan? Selalu mengambil langkah pertama. Terkadang tidak mudah untuk mengambil langkah pertama, melupakan sesuatu…, mengambil langkah pertama – marilah kita lakukan. Inilah saatnya – untuk mengambil langkah pertama.

 

Jadi, saudara-saudari terkasih, memikirkan tentang kasih Allah yang selalu mendahului kita, kita dapat bertanya pada diri kita : Apakah aku bersyukur kepada Allah karena Ia terlebih dahulu mengasihiku? Apakah aku merasakan kasih Allah dan apakah aku bersyukur kepada-Nya? Dan apakah aku mencoba memantulkan kasih-Nya? Apakah aku berusaha untuk mengasihi saudara-saudariku, dan mengambil langkah kedua ini?

 

Semoga Perawan Maria membantu kita menjalankan keagungan perintah kasih dalam kehidupan kita sehari-hari: mengasihi dan memperkenankan Allah untuk mengasihi kita, dan mengasihi saudara-saudari kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya berterima kasih kepada semua pihak yang – di banyak tempat dan dalam berbagai cara – bersatu pada hari puasa, doa dan penebusan dosa yang kita jalani pada Jumat lalu, memohon perdamaian dunia. Janganlah kita berhenti. Marilah kita terus mendoakan Ukraina, juga situasi serius di Palestina dan Israel, serta wilayah lain yang sedang dilanda perang. Khususnya di Gaza, semoga ruang dibuka untuk menjamin bantuan kemanusiaan, dan semoga para sandera segera dibebaskan. Jangan ada seorangpun yang mengabaikan kemungkinan bahwa senjata akan dibungkam – biarlah ada gencatan senjata. Pastor Ibrahim Faltas, yang baru-baru ini saya dengar di acara A Sua Immagine, Pastor Ibrahim berkata: “Biarkan senjata berhenti! Biarkan senjata berhenti!” Ia adalah vikaris Tanah Suci. Bersama Pastor Ibrahim, marilah kita juga mengatakan: biarlah senjata berhenti. Berhentilah, saudara-saudari! perang selalu merupakan kekalahan — selalu!


Saya dekat dengan penduduk di daerah Acapulco, Meksiko, yang dilanda badai yang sangat dahsyat. Saya mendoakan para korban, keluarga mereka, dan orang-orang yang menderita luka serius. Semoga Perawan Guadalupe menopang anak-anaknya dalam kesulitan ini.


Saya menyapa kamu semua, umat Roma serta para peziarah dari Italia dan berbagai belahan dunia. Secara khusus, saya menyapa para orangtua “anak-anak di Surga” dari Torano Nuovo, umat beriman dari Campana, kelompok panggilan “Talità Kum” dari Paroki Santo Yohanes dari Florentines, Roma, para putra dan putri kelas krisma yang datang dari Slovenia dan Gandosso, serta peziarahan Anak-anak Santo Kamilus dan Para Pelayan Orang Sakit.


Saya harap kamu semua menikmati hari Minggumu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makananmu dan sampai jumpa!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Oktober 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 25 Oktober 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 24) - SANTO SIRILUS DAN SANTO METODIUS, RASUL BANGSA SLAVIA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!


Hari ini saya akan berbicara kepadamu tentang dua bersaudara, yang sangat terkenal di timur, sampai-sampai disebut “rasul bangsa Slavia” : Santo Sirilus dan Santo Metodius. Lahir di Yunani pada abad kesembilan dari keluarga bangsawan, mereka meninggalkan karier politik untuk mengabdikan diri pada kehidupan membiara. Tetapi impian mereka untuk hidup terpencil hanya berumur pendek. Mereka diutus sebagai misionaris ke Moravia Raya, yang pada saat itu mencakup berbagai bangsa, yang sebagian sudah diinjili, tetapi di antara mereka banyak adat istiadat dan tradisi kafir yang masih bertahan. Pangeran di sana meminta seorang guru untuk menjelaskan iman kristiani dalam bahasa mereka.

 

Oleh karena itu, tugas pertama Sirilus dan Metodius adalah mempelajari budaya bangsa tersebut secara mendalam. Kalimat yang selalu sama: iman harus diinkulturasi dan kebudayaan harus diinjili. Inkulturasi iman, penginjilan budaya, selalu. Sirilus bertanya apakah mereka punya alfabet; mereka mengatakan kepadanya bahwa mereka tidak punya. Ia menjawab: “Siapakah yang dapat menulis pidato di atas air?”. Memang benar, untuk mewartakan Injil dan berdoa, kita memerlukan alat yang tepat, cocok, dan khas. Maka, ia menciptakan alfabet Glagolitik. Ia menerjemahkan Alkitab dan teks liturgi. Bangsa tersebut merasa iman kristiani tidak ‘asing’ lagi, justru sudah menjadi iman mereka, yang diucapkan dalam bahasa ibu mereka. Bayangkan saja: dua biarawan Yunani memberikan alfabet kepada bangsa Slavia. Keterbukaan hati inilah yang mengakarkan Injil di antara mereka. Keduanya tidak takut, mereka berani.

 

Tetapi tak lama kemudian, sejumlah pertentangan muncul dari sebagian orang-orang berbahasa Latin, yang merasa kehilangan hak monopoli mereka dalam mewartakan kepada bangsa Slavia; pertarungan di dalam Gereja, selalu seperti itu. Keberatan mereka bersifat keagamaan, tetapi hanya secara lahiriah : Allah dapat dipuji, kata mereka, hanya dalam tiga bahasa yang tertulis di kayu salib : Ibrani, Yunani dan Latin. Mereka mempunyai pola pikir yang tertutup, untuk mempertahankan otonomi mereka. Tetapi Sirilus menjawab dengan tegas : Allah ingin setiap umat memuji Dia dalam bahasa mereka sendiri. Bersama Metodius, saudaranya, ia mengajukan banding kepada Paus dan Paus menyetujui teks liturgi mereka dalam bahasa Slavia. Ia menempatkannya di altar Gereja Santa Maria Maggiore, dan menyanyikan bersama mereka pujian kepada Tuhan menurut buku-buku tersebut. Sirilus meninggal beberapa hari kemudian, dan relikuinya masih dihormati di sini di Roma, di Basilika Santo Klemens. Metodius, sebaliknya, ditahbiskan menjadi uskup dan diutus kembali ke wilayah Slavia. Di sini ia akan sangat menderita: ia bahkan akan dipenjarakan, tetapi, saudara dan saudari, kita tahu Sabda Allah tidak terbelenggu dan disebarluaskan ke seluruh bangsa tersebut.

Melihat kesaksian kedua penginjil ini, yang dipilih oleh Santo Yohanes Paulus II sebagai pelindung Eropa dan diperuntukkan kepada keduanya ia menulis Ensiklik Slavorum Apostoli, marilah kita melihat tiga aspek penting.

 

Aspek pertama, persatuan. Bangsa Yunani, Paus, bangsa Slavia : pada saat itu, terdapat kekristenan yang tidak terbagi di Eropa, yang bekerja sama untuk melakukan penginjilan.

 

Aspek penting yang kedua adalah inkulturasi, yang telah saya katakan sebelumnya: penginjilan kebudayaan dan inkulturasi menunjukkan penginjilan dan kebudayaan mempunyai hubungan yang erat. Kita tidak dapat mewartakan Injil secara abstrak dan tersuling, tidak: Injil harus diinkulturasi dan juga merupakan ungkapan budaya.

 

Aspek terakhir adalah kebebasan. Mewartakan membutuhkan kebebasan, tetapi kebebasan selalu membutuhkan keberanian; seseorang itu bebas sepanjang ia berani dan tidak membiarkan dirinya terbelenggu oleh banyak hal yang merampas kebebasannya.

 

Saudara-saudari, marilah kita memohon kepada Santo Sirilus dan Metodius, rasul bangsa Slavia, agar kita dapat menjadi sarana “kebebasan dalam amal kasih” bagi sesama kita. Kreatif, terus-menerus dan rendah hati, dengan doa dan pelayanan.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Irlandia, Albania, Denmark, Norwegia, Zimbabwe, Indonesia, Filipina, Vietnam, Kanada dan Amerika Serikat, khususnya para Pembina Seni Louisiana Vatikan, lara anggota Lembaga Direktur Konferensi Katolik Negara dan sekelompok kapelan militer. Kepada kamu semua dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Semoga Allah memberkatimu!

 

[Imbauan]

 

Saya selalu memikirkan situasi genting di Palestina dan Israel: Saya mendorong pembebasan para sandera dan masuknya bantuan kemanusiaan di Gaza. Saya terus berdoa bagi mereka yang menderita, dan mengharapkan jalan perdamaian di Timur Tengah, di Ukraina yang terkepung, dan di wilayah lain yang terkena dampak perang. Saya ingatkan kamu semua bahwa lusa, Jumat tanggal 27 Oktober, akan menjadi hari puasa, doa dan penebusan dosa: pukul 18.00, di Lapangan Santo Petrus, kita akan berkumpul untuk memohonkan perdamaian dunia.

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih: Dalam katekese kita tentang semangat kerasulan, kita telah merenungkan penyebaran Injil melalui kesaksian umat Kristiani di setiap waktu dan tempat. Hari ini kita mengenang Santo Sirilus dan Santo Metodius, dua bersaudara yang dihormati sebagai “Rasul bangsa Slavia” karena karya misioner mereka yang luar biasa di antara masyarakat Moravia. Sebagai bagian dari upaya mereka untuk mewartakan dan menginkulturasi sabda Allah di antara bangsa Slavia, mereka mengembangkan alfabet Sirilik, yang memungkinkan pemberitaan sabda Allah dan merayakan Liturgi Ilahi dalam bahasa masyarakat. Menghadapi tentangan, mereka datang ke Roma, tempat mereka menerima dukungan Paus. Sirilus meninggal di Roma, sementara Metodius, yang sekarang ditahbiskan menjadi uskup, kembali untuk melanjutkan karya penginjilan di tanah Slavia, tempat ia meninggal sebagai martir. Santo Yohanes Paulus II menetapkan Sirilus dan Metodius sebagai pelindung Eropa sebagai pengakuan atas melimpahnya panen iman dan budaya kristiani yang benihnya mereka tabur. Semoga doa kedua santo besar ini mengilhami masyarakat Eropa saat ini untuk memperbarui komitmen terhadap rekonsiliasi, persatuan dan perdamaian yang merupakan karunia Roh Kudus untuk pertobatan hati serta membangun budaya keadilan dan persaudaraan sejati.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Oktober 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 22 Oktober 2023 : YESUS INGIN MEMBANTU KITA MENEMPATKAN “KAISAR” DAN “ALLAH” PADA TEMPATNYA MASING-MASING

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil liturgi hari ini bercerita tentang beberapa orang Farisi yang bergabung dengan kaum Herodian untuk menjebak Yesus. Mereka selalu berusaha memasang jebakan bagi-Nya. Mereka mendatangi Dia dan bertanya, “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?" (Mat 22:17). Sebuah tipu muslihat : jika Yesus mengesahkan pajak, Ia menempatkan diri-Nya di pihak kekuatan politik yang kurang mendapat dukungan dari masyarakat, sedangkan jika Ia mengatakan tidak boleh membayar pajak, Ia dapat dituduh melakukan pemberontakan melawan kekaisaran. Benar-benar sebuah jebakan. Tetapi, Ia lolos dari jerat ini. Ia meminta mereka untuk menunjukkan kepada-Nya sebuah mata uang, yang bergambar Kaisar, dan berkata kepada mereka, “Berikanlah milik kaisar kepada kaisar dan milik Allah kepada Allah" (ayat 21). Apa artinya ini?

 

Perkataan Yesus ini sudah menjadi hal yang lumrah, tetapi terkadang digunakan secara tidak tepat – atau setidaknya diperosotkan – untuk membicarakan hubungan Gereja dan negara, umat kristiani dan politik; sering kali hubungan tersebut ditafsirkan seolah-olah Yesus ingin memisahkan “Kaisar” dari “Allah”, yaitu kenyataan duniawi dan kenyataan rohani. Kadang-kadang kita juga berpikir seperti ini: iman dengan pengamalannya adalah satu hal, dan kehidupan sehari-hari adalah hal lain. Dan ini tidak akan berhasil. Ini adalah salah satu bentuk “skizofrenia”, seolah-olah iman tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata, dengan tantangan-tantangan masyarakat, dengan keadilan sosial, dengan politik dan sebagainya.

 

Pada kenyataannya, Yesus ingin membantu kita menempatkan “Kaisar” dan “Allah” pada tempatnya masing-masing. Kepedulian terhadap tatanan dunia adalah tanggung jawab Kaisar – yaitu, politik, lembaga sipil, proses sosial dan ekonomi, dan kita yang tenggelam dalam kenyataan ini harus memberikan kembali kepada masyarakat apa yang ditawarkan kepada kita, melalui kontribusi kita sebagai warga negara yang bertanggung jawab, peduli terhadap apa yang dipercayakan kepada kita, mengedepankan hukum dan keadilan di dunia kerja, membayar pajak dengan jujur, berkomitmen pada kebaikan bersama, dan sebagainya. Tetapi, pada saat yang sama, Yesus menegaskan kenyataan dasariah : manusia adalah milik Allah : seluruh manusia dan setiap umat manusia. Dan ini berarti kita tidak termasuk dalam kenyataan duniawi mana pun, dalam “Kaisar” mana pun. Kita milik Tuhan, dan kita tidak boleh menjadi budak kuasa duniawi mana pun. Kemudian, pada mata uang itu ada gambar kaisar, tetapi Yesus mengingatkan kita bahwa hidup kita tercetak dengan gambar Allah, yang tidak dapat dikaburkan oleh apa pun atau siapa pun. Segala sesuatu di dunia ini milik Kaisar, tetapi manusia dan dunia itu sendiri milik Allah: jangan lupakan ini!

 

Maka kita memahami bahwa Yesus sedang memulihkan jatidiri kita masing-masing : pada mata uang dunia ini ada gambar Kaisar, tetapi kamu – kita masing-masing – gambar manakah yang kamu bawa dalam dirimu? Marilah kita mengajukan pada diri kita pertanyaan ini: gambar apa yang kubawa dalam diriku? Kamu - gambar siapakah gambar hidupmu? Apakah kita ingat bahwa kita milik Tuhan, atau apakah kita membiarkan diri kita dibentuk oleh nalar dunia dan menjadikan pekerjaan, politik, dan uang sebagai berhala untuk disembah?

 

Semoga Santa Perawan membantu kita mengenali dan menghormati martabat kita dan martabat setiap umat manusia.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sekali lagi pikiran saya tertuju pada apa yang sedang terjadi di Israel dan Palestina. Saya sangat prihatin, sedih. Saya berdoa dan saya dekat dengan semua orang yang sedang menderita: para sandera, orang-orang yang terluka, para korban dan keluarga mereka. Saya memikirkan situasi kemanusiaan yang serius di Gaza dan saya sedih karena rumah sakit Anglikan dan paroki Ortodoks Yunani juga terkena dampaknya dalam beberapa hari terakhir. Saya kembali mengimbau agar ruang dibuka, bantuan kemanusiaan terus berdatangan, dan para sandera dibebaskan.

 

Perang, perang apa pun yang terjadi di dunia – saya juga memikirkan penderitaan Ukraina – adalah sebuah kekalahan. Perang selalu merupakan kekalahan; perang adalah kehancuran persaudaraan manusia. Saudaraku, berhentilah! Berhentilah!

 

Saya mengingatkanmu bahwa Jumat depan, tanggal 27 Oktober, saya telah mengumumkan hari puasa, doa dan penebusan dosa, dan petang itu pukul 18.00 di Lapangan Santo Petrus kita akan menghabiskan satu jam dalam doa untuk memohon perdamaian di dunia.

 

Hari ini kita merayakan Hari Minggu Misi Sedunia yang bertemakan: “Hati yang membara, kaki yang bergerak”. Dua gambar yang mengatakan segalanya! Saya mendorong semua orang, di keuskupan dan paroki, untuk ikut serta secara aktif.

 

Saya menyambut kamu semua, umat Roma dan para peziarah, khususnya para suster Siervas de los Pobres hijas del Sagrado Corazón de Jesús, dari Granada; para anggota Centro Académico Romano Fundación, Persaudaraan Señor de los Milagros Peru di Roma; dan terima kasih, terima kasih atas kesaksianmu! Teruslah berkarya, dengan kesalehan yang begitu indah.

 

Saya menyambut para anggota gerakan misioner awam “Seluruh Penjaga Kemanusiaan”; paduan suara polifonik “Sant’Antonio Abate” dari Cordenons, serta lembaga umat dari Napoli dan Casagiove.

 

Saya juga menyapa kaum muda “Casa Giardino”, “Rumah Taman” Casalmaggiore; kelompok sahabat muda Komunitas Emmanuel; para direktur dan guru Sekolah Katolik “Yohanes XXIII” di Toulon, dan para siswa Sekolah Menengah “Santo Croix” di Neuilly.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Kamu juga, kaum muda Immaculata. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

_________

 

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Oktober 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 18 Oktober 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 23) - SANTO CHARLES DE FOUCAULD, DETAK JANTUNG AMAL KASIH DALAM KEHIDUPAN TERSEMBUNYI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!


Marilah kita lanjutkan perjumpaan kita dengan beberapa kesaksian kristiani yang kaya akan semangat untuk mewartakan Injil. Semangat kerasulan, semangat untuk mewartakan: dan kita sedang melihat beberapa umat kristiani yang telah menjadi teladan dari semangat kerasulan ini. Hari ini saya ingin berbicara kepadamu tentang seseorang yang menjadikan Yesus dan saudara-saudaranya yang paling miskin sebagai hasrat kehidupannya. Saya mengacu pada Santo Charles de Foucauld, yang “pengalamannya yang intens akan Allah, telah melakukan perjalanan transformasi hingga merasa dirinya sebagai saudara bagi semua” (Ensiklik Fratelli Tutti, 286).


Dan apa “rahasia” kehidupan Charles de Foucauld? Setelah menjalani masa muda yang jauh dari Allah, tanpa memercayai apa pun selain mengejar kesenangan yang tidak teratur, ia menceritakan hal ini kepada seorang sahabatnya yang tidak beriman, yang kepadanya, setelah bertobat dengan menerima rahmat pengampunan Allah dalam Sakramen Tobat, ia mengungkapkan alasan kehidupannya. Ia menulis: “Aku telah kehilangan hatimu bagi Yesus dari Nazaret”.[1] Saudara Charles mengingatkan kita bahwa langkah pertama dalam penginjilan adalah dengan memiliki Yesus di dalam hati kita; "jatuh cinta" kepada-Nya. Jika hal ini tidak terjadi, kita sulit menunjukkannya dengan kehidupan kita. Sebaliknya, kita berisiko berbicara tentang diri kita, kelompok di mana kita berada, moralitas atau, lebih buruk lagi, seperangkat aturan, tetapi bukan tentang Yesus, kasih-Nya, belas kasihan-Nya. Saya melihat hal ini dalam beberapa gerakan baru yang muncul : mereka berbicara tentang visi kemanusiaan mereka, mereka berbicara tentang spiritualitas mereka dan mereka merasa bahwa jalan mereka adalah sebuah jalan baru… Tetapi mengapa kamu tidak berbicara tentang Yesus? Mereka berbicara tentang banyak hal, tentang organisasi, tentang perjalanan rohani, tetapi mereka tidak tahu bagaimana berbicara tentang Yesus. Saya pikir saat ini ada baiknya kita masing-masing bertanya pada diri kita : “Apakah aku memiliki Yesus di pusat hatiku? Apakah aku sudah sedikit 'kehilangan akal' demi Yesus?”.


Charles pernah melakukannya, sampai-sampai ia beralih dari tertarik kepada Yesus menjadi meneladan Yesus. Dinasihati oleh bapa pengakuannya, ia pergi ke Tanah Suci untuk mengunjungi tempat-tempat di mana Tuhan tinggal dan berjalan di tempat di mana Sang Guru berjalan. Secara khusus, di Nazareth ia menyadari bahwa ia harus dibentuk dalam sekolah Kristus. Ia mengalami hubungan yang erat dengan Tuhan, menghabiskan waktu berjam-jam membaca Injil, dan merasa seperti adik-Nya. Dan ketika ia mengenal Yesus, keinginan untuk membuat Yesus dikenal muncul dalam dirinya; selalu terjadi seperti ini. Ketika salah seorang dari kita semakin mengenal Yesus dengan baik, muncullah keinginan untuk memperkenalkan-Nya, membagikan harta ini. Ketika mengulas kisah kunjungan Bunda Maria ke Santa Elisabet, ia membuat dirinya berkata, kepada Bunda Maria, kepada dirinya sendiri : “Aku telah memberikan diriku kepada dunia... bawalah aku ke dunia”. Ya, tetapi bagaimana cara melakukannya? Sebagaimana Maria dalam misteri kunjungannya kepada Elisabet : “dalam keheningan, melalui teladan, dalam kehidupan”.[2] Demi kehidupan, karena “seluruh keberadaan kita”, tulis Saudara Charles, “harus menyerukan Injil”.[3] Dan sering kali keberadaan kita menyerukan keduniawian, menyerukan banyak hal bodoh, hal-hal aneh, dan ia berkata: “Tidak, seluruh keberadaan kita harus meneriakkan Injil”.


Ia kemudian memutuskan untuk menetap di daerah yang jauh untuk mewartakan Injil dalam keheningan, hidup dalam semangat Nazaret, dalam kemiskinan dan ketersembunyian. Ia pergi ke Gurun Sahara, di antara orang-orang bukan kristiani, dan ia pergi ke sana sebagai sahabat dan saudara, membawa kelembutan Yesus dalam Ekaristi. Charles membiarkan Yesus bertindak diam-diam, meyakini “kehidupan Ekaristi” adalah penginjilan. Memang benar, ia percaya bahwa Kristus adalah penginjil pertama. Maka ia tetap berdoa di kaki Yesus, di depan Kemah Suci, selama belasan jam sehari, meyakini kekuatan penginjilan berdiam di sana dan merasa bahwa Yesuslah yang akan mendekatkan dia kepada begitu banyak saudara yang jauh. Dan apakah kita, saya bertanya pada diri saya sendiri, percaya pada kekuatan Ekaristi? Apakah kepergian kita kepada orang lain, pelayanan kita, menemukan awal dan penggenapannya di sana, dalam penyembahan? Saya meyakini kita telah kehilangan rasa penyembahan: kita harus mendapatkannya kembali, dimulai dari kita para anggota hidup bakti, para uskup, para imam, para biarawati dan semua anggota hidup bakti. “Buang-buang” waktu di hadapan tabernakel, mendapatkan kembali rasa penyembahan.

Charles de Foucauld menulis: “Setiap umat Kristiani adalah rasul”,[4] dan mengingatkan seorang sahabat awam bahwa “perlu ada umat awam yang dekat dengan para imam, untuk melihat apa yang tidak dilihat oleh imam, yang menginjili dengan kedekatan kasih, dengan kebaikan bagi semua orang, dengan kasih sayang yang selalu siap diberikan”.[5] Kaum awam yang menjadi orang kudus, bukan para pendaki, tetapi umat awam, laki-laki dan perempuan awam, yang mengasihi Yesus, menyadarkan imam bahwa ia bukan seorang pejabat, ia adalah seorang perantara, seorang imam. Betapa kami, para imam, perlu memiliki di samping kami kaum awam yang benar-benar beriman, dan yang mengajari kami jalan melalui kesaksian mereka.


Charles de Foucauld, dengan pengalaman awami ini, memberi gambaran tentang masa Konsili Vatikan II; ia memahami pentingnya kaum awam dan memahami bahwa pewartaan Injil terserah seluruh umat Allah. Tetapi bagaimana kita dapat meningkatkan keikutsertaan ini? Cara yang dilakukan Charles de Foucauld : dengan berlutut dan menyambut tindakan Roh Kudus, yang selalu mengilhami cara-cara baru untuk terlibat, bertemu, mendengarkan dan berdialog, selalu dalam kerjasama dan kepercayaan, selalu dalam persekutuan dengan Gereja dan para gembala.


Santo Charles de Foucauld, sosok yang menjadi nubuat bagi zaman kita, memberikan kesaksian tentang indahnya pewartaan Injil melalui kerasulan kelembutan: menganggap dirinya sebagai “saudara universal” dan menyambut semua orang, ia menunjukkan kepada kita kekuatan penginjilan dari kelembutan hati, kelembutan. Janganlah kita lupa bahwa gaya Allah dapat dirangkum menjadi tiga kata: kedekatan, kasih sayang, dan kelembutan. Allah selalu dekat, Ia selalu penyayang, Ia selalu lembut. Dan kesaksian Kristiani harus mengambil jalan ini: kedekatan, kasih sayang dan kelembutan. Dan beginilah Dia, lemah lembut dan lembut hati. Ia ingin setiap orang yang ditemuinya melihat, melalui kebaikannya, kebaikan Yesus. Memang, ia sering berkata bahwa ia adalah “hamba seseorang yang jauh lebih baik dariku”.[6] Menghidupi kebaikan Yesus menuntunnya untuk menjalin persahabatan persaudaraan dengan ikatan persahabatan dengan orang miskin, dengan orang Tuareg, dengan mereka yang bermental jauh darinya. Lambat laun ikatan ini menghasilkan persaudaraan, penyertaan, dan penghargaan terhadap budaya satu sama lain. Kebaikan itu sederhana dan meminta kita menjadi orang sederhana, yang tidak takut untuk memberikan senyuman. Dan dengan senyumannya, dengan kesederhanaannya, Saudara Charles memberikan kesaksian tentang Injil. Tidak pernah melalui penyebaran agama, tidak pernah: melalui kesaksian. Kita tidak menginjili melalui penyebaran agama, tetapi melalui kesaksian, melalui ketertarikan.


Maka akhirnya, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri apakah kita membawa sukacita kristiani, kelembutan hati kristiani, kelembutan Kristiani, kasih sayang Kristiani, kedekatan Kristiani. Terima kasih.


[Sapaan Khusus]


Saya menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang mengambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Irlandia, Norwegia, Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Kanada dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa para mahasiswa yang ambil bagian dalam Seminar Internasional untuk Perdamaian Roma. Saya juga menyapa para imam dari Institut Pendidikan Teologi Berkelanjutan dari Kolose Kepausan Amerika Utara. Kepada kamu semua saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

[Imbauan Bapa Suci]


Hari ini juga, saudara dan saudari terkasih, pikiran kita beralih ke Palestina dan Israel. Jumlah korban meningkat dan situasi di Gaza memprihatinkan. Tolong, biarkan segala kemungkinan dilakukan untuk menghindari bencana kemanusiaan. Kemungkinan meluasnya pertikaian memang meresahkan, padahal sudah banyak medan perang yang terbuka di dunia. Semoga senjata dibungkam, dan marilah kita memperhatikan imbauan perdamaian bagi masyarakat miskin, rakyat, anak-anak… Saudara-saudara, perang tidak menyelesaikan masalah apa pun: perang hanya menabur kematian dan kehancuran, mengobarkan kebencian, dan memperbanyak balas dendam. Perang meniadakan masa depan, perang meniadakan masa depan. Saya mendorong umat beriman untuk memihak satu saja dalam pertikaian ini: memihak perdamaian. Tetapi tidak dengan kata-kata – dalam doa, dengan dedikasi penuh. Mengingat hal ini, saya memutuskan untuk mengadakan hari puasa dan doa pada hari Jumat tanggal 27 Oktober 2023, hari penebusan dosa di mana saya mengundang saudara-saudari dari berbagai denominasi kristiani, mereka yang menganut agama lain dan semua orang yang memperjuangkan perdamaian di dunia, untuk bergabung menurut keinginan mereka. Petang itu, pukul 18.00 di Gereja Santo Petrus, kita akan menghabiskan satu jam doa dalam semangat penebusan dosa untuk memohon perdamaian di zaman kita, perdamaian di dunia ini. Saya meminta semua Gereja setempat untuk ikut serta dengan mengadakan kegiatan serupa yang melibatkan Umat Allah.


[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]


Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita mengenai semangat kerasulan, kita telah merenungkan penyebaran Injil melalui kesaksian para pria dan wanita di setiap waktu dan tempat. Hari ini kita merenungkan kehidupan Santo Charles de Foucauld, yang hasrat kasihnya kepada Kristus menuntunnya untuk menetap di gurun Sahara dan menjadi saudara dan sahabat bagi kaum miskin. Setelah pertobatannya, Charles mengunjungi Tanah Suci dan tergerak mengabdikan hidupnya untuk membawa Kristus kepada orang lain seperti yang dilakukan Maria dalam kunjungannya kepada Elisabet : dalam keheningan dan dengan keteladanan. Tinggal sebagai seorang pertapa di antara masyarakat Tuareg, ia memberikan kesaksian tentang Tuhan terutama melalui kehidupan yang miskin dan rendah hati yang berpusat pada doa yang teduh di hadirat Ekaristi, dengan keyakinan penuh akan kuasanya untuk menarik hati kepada Yesus. Dengan mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan kaum miskin, ia berusaha menjadi “saudara sejagat” dan dengan cara ini membagikan sukacita Injil kepada mereka. Semoga teladan Santo Charles de Foucauld mengilhami kita, dalam kehidupan kita sehari-hari, untuk memberikan kesaksian yang teduh dan penuh sukacita tentang Tuhan, serta melihat dan menghormati Dia dalam diri setiap saudara-saudari kita.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 18 Oktober 2023)



[1]Lettres à un ami de lycée. Correspondance avec Gabriel Tourdes (1874-1915), Paris 2010, 161.

[2]Crier l’Evangile, Montrouge 2004, 49.

[3]M/314 in C. de Foucauld, La bonté de Dieu. Méditations sur les Saints Evangiles (1), Montrouge 2002, 285.

[4]Surat kepada Jam-jam Yosef, dalam Correspondances lyonnaises (1904-1916), Paris 2005, 92.

[5]Ivi, 90.

[6]Carnets de Tamanrasset (1905-1916), Paris 1986, 188.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 15 Oktober 2023 : APAKAH KITA MENGINDAHKAN UNDANGAN ALLAH?

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil hari ini menceritakan tentang seorang raja yang menyiapkan perjamuan kawin untuk anaknya (bdk. Mat 22:1-14). Ia adalah orang yang berkuasa, tetapi terutama, ia adalah seorang bapa yang murah hati, yang mengajak orang lain untuk ikut serta dalam sukacitanya. Secara khusus, ia mengungkapkan kebaikan hatinya dalam kenyataan bahwa ia tidak memaksa siapa pun, tetapi mengundang semua orang, meskipun cara ini menghadapkannya pada kemungkinan penolakan. Perhatikan : ia menyiapkan jamuan makan, dengan bebas menawarkan kesempatan untuk bertemu, kesempatan untuk berpesta. Inilah yang dipersiapkan Allah bagi kita: sebuah perjamuan, untuk bersekutu dengan Dia dan di antara kita. Dan kita semua diundang oleh Allah. Tetapi sebuah perjamuan kawin memerlukan waktu dan komitmen dari pihak kita: sebuah perjamuan kawin memerlukan jawaban “ya” : untuk pergi, untuk memenuhi undangan Tuhan. Ia mengundang, tetapi Ia membiarkan kita bebas.

 

Inilah jenis hubungan yang ditawarkan Bapa kepada kita : Ia memanggil kita untuk tinggal bersama-Nya, memberi kita kemungkinan untuk menerima menerima undangan tersebut atau tidak. Ia tidak menawarkan kita hubungan atasan-bawahan, melainkan hubungan kebapaan dan status sebagai anak, yang tentu saja dikondisikan oleh persetujuan bebas kita. Allah menghormati kebebasan; sangat menghormati. Santo Agustinus menggunakan ungkapan yang sangat indah berkenaan hal ini, dengan mengatakan : “Dia yang menciptakan kita tanpa pertolongan kita tidak akan menyelamatkan kita tanpa persetujuan kita” (Khotbah CLXIX, 13). Dan tentu saja bukan karena Ia tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan hal tersebut – Allah Mahakuasa! – tetapi karena, sebagai kasih, Ia menghormati kebebasan kita sepenuhnya. Allah menawarkan : Ia tidak memaksa, tidak pernah.

Lalu, marilah kita kembali ke perumpamaan : sang raja – sebagaimana tertulis dalam teks – “menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang yang telah diundang ke perjamuan kawin itu, tetapi orang-orang itu tidak mau datang.” (ayat 3). Inilah drama cerita : “tidak” bagi Allah. Tetapi mengapa orang-orang itu tidak mengindahkan undangannya? Mungkinkah undangan tersebut tidak menyenangkan? Tidak, tetapi – Injil mengatakan – “orang-orang yang diundang itu tidak mengindahkannya; ada yang pergi ke ladangnya, ada yang pergi mengurus usahanya” (ayat 5). Mereka tidak peduli, karena mereka memikirkan urusan mereka. Dan raja itu, yang merupakan seorang bapa, Allah, apa yang dilakukannya? Ia tidak menyerah, ia terus mengundang; sungguh, ia memperluas undangan tersebut, sampai ia menemukan orang-orang yang menerimanya, di antara orang-orang miskin. Di antara mereka yang mengetahui bahwa mereka tidak mempunyai apa-apa lagi, banyak yang datang, hingga mereka memenuhi ruang perjamuan kawin (bdk. ayat 8-10).

 

Saudara-saudara, berapa kali kita tidak mengindahkan undangan Allah, karena kita sibuk dengan urusan kita! Seringkali, kita berjuang untuk memiliki waktu luang, tetapi hari ini Yesus mengajak kita untuk menemukan waktu yang memberi kebebasan: waktu untuk mengabdi kepada Allah, yang meringankan dan menyembuhkan hati kita, yang meningkatkan kedamaian, keyakinan dan sukacita dalam diri kita, yang menyelamatkan kita dari kejahatan, kesepian dan kehilangan makna. Karena bersama Tuhan itu baik, memberi ruang bagi-Nya sangat berharga. Di mana? Dalam Misa, dalam mendengarkan Sabda, dalam doa dan juga dalam amal kasih, karena dengan membantu mereka yang lemah atau miskin, dengan menemani mereka yang kesepian, dengan mendengarkan mereka yang meminta perhatian, dengan menghibur mereka yang menderita, bersatu dengan Tuhan, yang hadir dalam diri mereka yang membutuhkan. Tetapi, banyak yang berpikir bahwa hal-hal ini hanya “membuang-buang waktu”, sehingga mereka mengurung diri di dunia pribadi mereka; dan menyedihkan. Dan hal ini menimbulkan kesedihan. Berapa banyak hati yang sedih! Karena alasan ini: karena mereka tertutup.

 

Marilah kita bertanya pada diri kita : bagaimana aku menanggapi undangan Allah? Ruang apa yang kuberikan kepada-Nya di hari-hariku? Apakah mutu hidupku bergantung pada urusan dan waktu luangku, ataukah pada mengasihi Tuhan dan saudara-saudaraku, khususnya mereka yang paling membutuhkan? Marilah kita menanyakan pada diri kita tentang hal ini.

Semoga Maria, yang dengan jawaban “ya”-nya memberikan ruang bagi Allah, membantu kita untuk tidak menjadi tuli terhadap undangan-Nya.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari yang terkasih!

 

Saya terus mengikuti dengan penuh kesedihan apa yang sedang terjadi di Israel dan Palestina. Saya memikirkan kembali banyak orang… khususnya anak-anak dan orang tua. Saya kembali mengimbau untuk membebaskan para sandera dan saya sangat memohon agar anak-anak, orang sakit, orang lanjut usia, perempuan, dan semua warga sipil tidak menjadi korban pertikaian. Hukum kemanusiaan harus dihormati, terutama di Gaza, di mana memastikan koridor kemanusiaan dan memberikan bantuan kepada seluruh masyarakat mendesak dan diperlukan. Saudara-saudari, sudah banyak yang meninggal. Tolong, jangan sampai ada lagi darah orang tak bersalah yang tertumpah, baik di Tanah Suci, maupun di Ukraina, atau di tempat lain di mana pun! Cukup! Perang selalu merupakan kekalahan, selalu!

Doa adalah kekuatan yang lemah lembut dan suci untuk melawan kekuatan jahat berupa kebencian, terorisme, dan perang. Saya mengundang semua umat untuk bergabung dengan Gereja di Tanah Suci dan mendedikasikan Selasa depan, 17 Oktober, untuk berdoa dan berpuasa. Dan sekarang marilah kita berdoa kepada Bunda Maria.

 

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.

 

Kekhawatiran saya terhadap krisis di Nagorno-Karabakh masih terus berlanjut. Selain situasi kemanusiaan para pengungsi – yang sangat serius – secara khusus saya juga ingin mengimbau untuk melindungi biara dan tempat ibadah di wilayah tersebut. Saya berharap, dimulai dari Pemerintah dan seluruh masyarakat, mereka dapat dihormati dan dilindungi sebagai bagian dari budaya lokal, ungkapan iman dan tanda persaudaraan yang memungkinkan untuk hidup bersama meskipun ada perbedaan.

Hari ini seruan apostolik tentang Santa Theresia dari Kanak Yesus dan Wajah Kudus diterbitkan, berjudul “C'est la confiance”: sungguh, sebagaimana dipersaksikan oleh sang santa dan pujangga Gereja yang agung ini, kepercayaan pada kasih Allah yang maharahim adalah jalan yang membawa kita kepada hati Tuhan dan Injil-Nya.

 

Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan komunitas Yahudi di Roma, yang besok memperingati delapan puluh tahun deportasi Nazi.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan pelbagai belahan dunia, khususnya Persaudaraan Agung Gonfalone Subiaco dan Klub “Fiat 500” Roma.

 

Saya menyapa lebih dari 400 misionaris muda New Horizons serta lembaga dan komunitas lainnya, yang dari kemarin hingga Minggu depan terlibat dalam “Misi Jalanan” di sini di Roma, pergi ke tempat-tempat di mana kaum muda berkumpul, di sekolah, rumah sakit, penjara dan di jalan-jalan untuk mewartakan sukacita Injil. Mereka bagus! Marilah dengan doa kita mendukung mereka untuk berkomitmen mendengarkan tangisan banyak kaum muda dan banyak orang yang membutuhkan kasih sayang.

 

Saya melihat bendera Ukraina: jangan lupakan Ukraina yang tersiksa.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Dan tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Oktober 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 20 September 2023 : HASRAT PENGINJILAN : SEMANGAT KERASULAN ORANG PERCAYA (BAGIAN 22) - SANTA JOSEPHINE BAKHITA: SAKSI KUASA PENGAMPUNAN KRISTUS YANG MENGUBAH RUPA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam perjalanan katekese kita tentang semangat kerasulan – kita sedang merenungkan semangat apostolik – hari ini kita akan terilhami oleh kesaksian Santa Josephine Bakhita, seorang santa asal Sudan. Sayangnya, selama berbulan-bulan Sudan dilanda pertikaian bersenjata yang mengerikan, yang jarang dibicarakan saat ini; marilah kita mendoakan rakyat Sudan, agar mereka bisa hidup damai! Tetapi ketenaran Santa Bakhita telah melampaui segala batasan dan menjangkau semua orang yang jatidiri dan martabatnya tidak diakui.

 

Lahir di Darfur – Darfur yang bermasalah! – pada tahun 1869, ia diculik dari keluarganya pada usia tujuh tahun, dan dijadikan budak. Para penculiknya memanggilnya “Bakhita”, yang berarti “beruntung”. Ia mengabdi pada delapan majikan – ia dijual dari satu majikan ke majikan berikutnya. Penderitaan fisik dan moral yang dideritanya semasa kecil membuatnya tidak memiliki jatidiri. Ia menderita kekejaman dan kekerasan: tubuhnya memiliki lebih dari seratus bekas luka. Tetapi ia sendiri bersaksi : “Sebagai seorang budak aku tidak pernah putus asa, karena aku merasakan kekuatan misterius yang mendukungku”.

 

Menghadapi hal ini, saya bertanya-tanya : apa rahasia Santa Bakhita? Kita tahu sering kali orang yang terluka justru pada gilirannya melukai : orang yang tertindas dengan mudahnya menjadi penindas. Sebaliknya, panggilan kaum tertindas adalah membebaskan diri mereka dan para penindasnya, serta menjadi pemulih kemanusiaan. Hanya dalam kelemahan kaum tertindas barulah kekuatan kasih Allah, yang memerdekakan keduanya, dapat terungkap. Santa Bakhita mengungkapkan kebenaran ini dengan sangat baik. Suatu hari gurunya memberinya sebuah salib kecil dan ia, yang tidak pernah memiliki apa pun, menyimpan benda tersebut dengan hati-hati. Memandang salib tersebut, ia mengalami pembebasan batin, karena ia merasa dipahami dan dicintai sehingga mampu memahami dan mencintai : inilah awalnya. Ia merasa dimengerti, ia merasa dicintai, dan akibatnya ia mampu memahami dan mencintai orang lain. Bahkan, ia melanjutkan dengan berkata, “Kasih Allah selalu menemaniku secara misterius… Tuhan mengasihiku: kamu harus mengasihi semua orang… kamu harus merasa kasihan!”. Inilah jiwa Bakhita. Sungguh, mengasihani berarti menderita bersama para korban ketidakmanusiawian besar di dunia, serta juga mengasihani mereka yang melakukan kesalahan dan ketidakadilan, bukan membenarkan, tetapi memanusiawikan. Inilah kasih sayang yang diajarkannya kepada kita: memanusiawikan. Ketika kita memasuki nalar pertengkaran, perpecahan di antara kita, perasaan buruk, satu orang melawan orang lainnya, kita kehilangan rasa kemanusiaan kita. Dan seringkali kita berpikir bahwa kita membutuhkan kemanusiaan, untuk menjadi lebih manusiawi. Dan inilah karya yang diajarkan Santa Bakhita kepada kita : memanusiawikan, memanusiawikan diri sendiri, dan memanusiawikan orang lain.

 

Santa Bakhita, yang menjadi orang kristiani, diubah rupa oleh kata-kata Kristus yang direnungkannya setiap hari : “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34). Maka ia berkata, “Jika Yudas memohon pengampunan dari Yesus, ia juga akan mendapatkan kerahiman”. Kita dapat mengatakan bahwa kehidupan Santa Bakhita menjadi perumpamaan pengampunan yang nyata. Alangkah baiknya mengatakan kepada seseorang, “kamu mampu mengampuni, selalu”. Dan ia selalu mampu mengampuni; sungguh, hidupnya adalah perumpamaan pengampunan yang nyata. Mengampuni karena dengan demikian kita akan diampuni. Jangan melupakan hal ini: pengampunan, yang merupakan kasih sayang Allah kepada kita semua.

 

Pengampunan membebaskannya. Pengampunan pertama-tama diterima melalui kasih Allah yang maharahim, dan kemudian pengampunan yang diberikan tersebut menjadikannya perempuan yang bebas, penuh sukacita, dan mampu mencintai.

 

Bakhita mampu merasakan pelayanan bukan sebagai perbudakan, tetapi sebagai ungkapan pemberian diri secara cuma-cuma. Dan ini sangat penting: dijadikan pelayan tanpa disengaja – ia dijual sebagai budak – ia kemudian dengan bebas memilih menjadi pelayan, memikul beban orang lain di pundaknya.

Santa Josephine Bakhita, melalui keteladanannya, menunjukkan kepada kita cara untuk pada akhirnya terbebas dari perbudakan dan ketakutan kita. Ia membantu kita mengungkap kemunafikan dan keegoisan kita, mengatasi kebencian dan pertikaian. Dan ia selalu menyemangati kita.

 

Saudara-saudari terkasih, pengampunan tidak mengenyahkan apa pun kecuali menambah – apa yang ditambahkan oleh pengampunan? – martabat: mengampuni tidak mengambil apa pun dari dirimu tetapi menambahkan martabat dirimu, mengampuni membuat kita mengalihkan pandangan dari diri kita sendiri ke arah orang lain, melihat mereka sama rapuhnya dengan kita, tetapi selalu bersaudara di dalam Tuhan. Saudara-saudari, pengampunan adalah sumber semangat yang menjadi kerahiman dan memanggil kita menuju kekudusan yang rendah hati dan penuh sukacita, seperti yang dilakukan Santa Bakhita.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Skotlandia, Denmark, Norwegia, Indonesia, Malaysia, Filipina, Kanada dan Amerika Serikat. Saya juga menyapa delegasi Akademi Pertahanan NATO yang terhormat, dengan doa dan harapan yang baik atas pengabdian mereka demi perdamaian. Kepada kamu semua saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!

[Imbauan]

Saya terus mengikuti apa yang sedang terjadi di Israel dan Palestina dengan air mata dan ketakutan : banyak orang terbunuh, yang lainnya terluka. Saya mendoakan keluarga-keluarga yang telah melihat hari raya berubah menjadi hari berkabung, dan saya meminta agar para sandera segera dibebaskan. Orang-orang yang diserang berhak membela diri, tetapi saya sangat prihatin dengan pengepungan total yang dialami warga Palestina di Gaza, di mana terdapat banyak korban tak berdosa. Terorisme dan ekstremisme tidak membantu mennyelesaikan pertikaian antara Israel dan Palestina, tetapi mengobarkan kebencian, kekerasan, balas dendam, dan hanya menyebabkan penderitaan satu sama lain. Timur Tengah tidak membutuhkan perang, tetapi perdamaian, perdamaian yang dibangun berdasarkan dialog dan keberanian persaudaraan.

 

Secara khusus saya memikirkan penduduk Afganistan, yang sedang menderita akibat gempa bumi dahsyat yang melanda, yang memakan ribuan korban, termasuk banyak perempuan dan anak-anak, serta para pengungsi. Saya mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk membantu masyarakat ini, yang sudah berusaha keras, memberikan kontribusi dalam semangat persaudaraan untuk meringankan penderitaan masyarakat dan mendukung pembangunan kembali yang diperlukan.

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese kita tentang semangat kerasulan, kita telah merenungkan penyebaran Injil melalui kesaksian orang-orang di setiap waktu dan tempat. Hari ini kita sekali lagi beralih ke Afrika dan kesaksian kuat dari Santa Josephine Bakhita. Lahir di Darfur, Sudan, Josephine diculik saat masih kecil dan dijual sebagai budak. Meskipun kekerasan dan penderitaan mengerikan yang ia alami, ia tidak pernah putus asa. Dalam salib Kristus ia menemukan sumber cinta kasih yang penuh kerahiman yang meneguhkan martabat bawaan kita sebagai anak-anak Allah, membawa kebebasan sejati dan memampukan kita untuk mengampuni dan bahkan mengasihi orang-orang yang bersalah kepada kita. Mengalami kerahiman dan pengampunan Allah mengilhami Josephine untuk mengabdikan dirinya kepada Kristus sebagai seorang rohaniwati serta melayani orang lain dengan rendah hati dan tanpa pamrih di Italia, negara barunya. Kehidupan Santa Josephine Bakhita mengungkapkan kuasa rahmat Allah yang mengubah rupa kehidupan, menyelesaikan pertikaian dan mewujudkan keadilan, rekonsiliasi dan perdamaian yang sangat dibutuhkan di zaman kita. Marilah kita mempercayakan diri kita kepada doa-doanya dan memohonkan secara khusus karunia perdamaian bagi saudara-saudari kita di Sudan yang dilanda perang dan di banyak belahan dunia lainnya.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Oktober 2023)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 8 Oktober 2023 : JANGAN LUPA BERSYUKUR

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Bacaan Injil hari ini menyajikan kepada kita sebuah perumpamaan dramatis yang berakhir menyedihkan (bdk. Mat 21:33-43). Seorang tuan tanah membuka kebun anggur dan merawatnya dengan baik. Kemudian, karena ingin pergi, ia menitipkannya kepada beberapa penyewa. Ketika musim petik hampir tiba, ia mengutus hamba-hambanya untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya. Tetapi para penyewa menganiaya dan membunuh mereka. Maka, sang tuan tanah mengutus anaknya, dan para penyewa itu bahkan membunuhnya. Bagaimana bisa? Apa yang salah? Ada pesan Yesus dalam perumpamaan ini.

 

Sang tuan tanah melakukan segalanya dengan baik, dengan cinta. Ia sendiri bekerja keras untuk menanami kebun anggur; ia membuat pagar di sekelilinginya untuk melindunginya; menggali lubang tempat memeras anggur, dan mendirikan menara jaga (bdk. ayat 33). Kemudian ia mempercayakan kebun anggurnya kepada beberapa petani, menyewakan harta miliknya yang berharga kepada mereka, sehingga memperlakukan mereka dengan setara, agar kebun anggurnya dapat dibudidayakan dengan baik dan dapat menghasilkan buah. Mengingat keadaan ini, musim petik raya seharusnya berakhir dengan bahagia, dalam suasana meriah, dengan pembagian hasil yang adil untuk kepuasan semua orang.

 

Sebaliknya, pikiran tidak tahu berterima kasih dan serakah menyusup ke dalam benak para petani. Persoalannya, akar pertikaian selalu terletak pada perasaan tidak tahu berterima kasih dan serakah untuk segera menguasai sesuatu. “Kami tidak perlu memberikan apapun kepada sang tuan tanah. Hasil karya kami adalah milik kami. Kami tidak perlu memberikan pertanggungjawaban kepada siapa pun!” Inilah wacana yang dilontarkan para petani ini. Dan ini tidak benar: mereka seharusnya bersyukur atas apa yang mereka terima dan bagaimana mereka diperlakukan. Justru, perasaan tidak tahu berterima kasih menimbulkan keserakahan dan perasaan pemberontakan yang setahap demi setahap tumbuh di dalam diri mereka, yang menyebabkan mereka melihat situasi dengan cara yang menyimpang, merasa bahwa sang tuan tanah berhutang budi dan bukannya merasa berhutang budi kepada sang tuan tanah yang memberi mereka pekerjaan. Ketika melihat anak sang tuan tanah, mereka akhirnya berkata : “Inilah ahli warisnya, mari kita bunuh dia dan kita miliki warisannya!” (ayat 38). Dan yang tadinya petani, mereka menjadi pembunuh. Ini adalah keseluruhan proses. Dan sering kali, proses ini terjadi di dalam hati manusia, bahkan di dalam hati kita.

 

Melalui perumpamaan ini, Yesus mengingatkan kita apa yang terjadi ketika seseorang menipu dirinya sendiri dengan berpikir bahwa ia melakukan segala sesuatunya sendirian, dan orang itu lupa bersyukur, mereka lupa dasar kehidupan yang sebenarnya : kebaikan berasal dari rahmat Allah, kebaikan berasal dari karunia Allah semata. Ketika seseorang lupa bersyukur kepada Allah, ia akhirnya tidak lagi menghadapi situasi dan keterbatasannya dengan sukacita karena merasa dicintai dan diselamatkan, tetapi dengan khayalan yang menyedihkan karena tidak membutuhkan cinta atau keselamatan. Orang itu berhenti membiarkan dirinya dicintai dan mendapati dirinya menjadi tawanan keserakahannya, tawanan kebutuhan untuk memiliki lebih dari orang lain, keinginan untuk menonjol dibandingkan orang lain. Proses ini buruk dan sering kali terjadi pada diri kita. Marilah kita memikirkan hal ini secara serius. Hal ini pada gilirannya menimbulkan banyak ketidakpuasan dan tudingan, begitu banyak kesalahpahaman dan begitu banyak perasaan iri; dan karena kebencian, orang tersebut dapat terjerumus ke dalam pikinan kekerasan. Ya, saudara-saudari terkasih, perasaan tidak tahu berterima kasih menghasilkan kekerasan, menyingkirkan kedamaian, dan membuat kita merasa dan berteriak ketika kita berbicara, tanpa kedamaian, padahal ucapan “terima kasih” yang sederhana dapat memulihkan kedamaian!

 

Maka, marilah kita bertanya pada diri kita : Apakah aku menyadari bahwa kehidupan dan iman adalah karunia yang kuterima. Apakah aku menyadari bahwa diriku sendiri adalah karunia? Apakah aku percaya bahwa segala sesuatu berasal dari rahmat Tuhan? Apakah aku mengerti bahwa, tanpa memperhitungkan jasa, aku adalah penerima manfaat dari hal-hal ini, bahwa aku dicintai dan diselamatkan secara cuma-cuma? Dan yang terpenting, sebagai tanggap terhadap rahmat, tahukah aku bagaimana mengucapkan “terima kasih”? Apakah aku tahu cara mengucapkan “terima kasih”? Tiga ungkapan yang menjadi rahasia hidup berdampingan manusiawi : terima kasih, tolong, maaf. Apakah aku tahu bagaimana mengatakan tiga hal ini? Terima kasih, tolong, maaf, permisi. Apakah aku tahu cara mengucapkan ketiga ungkapan ini? Sebuah kata sederhana, “terima kasih” - “tolong” adalah sebuah kata sederhana, tiga kata sederhana untuk meminta maaf, “Aku meminta maaf” – adalah apa yang diharapkan Allah dan saudara-saudari kita setiap hari. Marilah kita bertanya pada diri kita apakah kata-kata sederhana “terima kasih”, “tolong”, “maaf” ini ada dalam hidup kita. Apakah aku tahu harus berterima kasih, mengucapkan “terima kasih”? Apakah aku tahu cara memaafkan diriku, memohon pengampunan? Apakah aku tahu cara untuk tidak bersikap menyerang – “tolong”? Terima kasih, mohon maaf.

 

Semoga Maria, yang jiwanya memuliakan Tuhan, membantu kita menjadikan rasa syukur sebagai cahaya yang bersinar setiap hari di dalam hati kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya sedang mengikuti dengan penuh kekhawatiran dan kesedihan apa yang terjadi di Israel di mana kekerasan telah meledak lebih dahsyat lagi, menyebabkan ratusan kematian dan korban jiwa. Saya mengungkapkan kedekatan saya dengan keluarga dan para korban. Saya mendoakan mereka serta semua orang yang hidup dalam teror dan penderitaan. Semoga serangan dan persenjataan terhenti. Tolong! Dan perlu dipahami bahwa terorisme dan perang tidak menghasilkan resolusi apa pun, tetapi hanya menyebabkan kematian dan penderitaan begitu banyak orang yang tidak bersalah. Perang adalah kekalahan! Setiap perang adalah kekalahan! Marilah kita berdoa agar ada perdamaian di Israel dan Palestina.

 

Di bulan Oktober yang didedikasikan, selain misi, untuk berdoa Rosario, marilah kita tidak lelah memohonkan melalui perantaraan Maria karunia perdamaian di banyak negara di seluruh dunia yang ditandai dengan perang dan pertikaian. Dan marilah kita terus mengingat Ukraina tercinta, yang setiap hari sangat menderita dan babak belur.

 

Saya berterima kasih kepada semua pihak yang mengikuti, dan terutama menyertai dengan doa, Sinode yang sedang berlangsung, sebuah kegiatan gerejawi yang berkenaan dengan mendengarkan, berbagi dan persekutuan persaudaraan dalam Roh. Saya mengundang semua orang untuk mempercayakan proses ini kepada Roh Kudus.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah yang datang dari Italia dan berbagai belahan dunia, khususnya para siswa dan guru dari Pusat Formasi Stigmata Verona, dan para Yesuit dari berbagai negara yang menjadi tamu Kolose Santo Robertus Bellarminus Roma. Banyak umat Polandia : Saya melihat banyak bendera Polandia di sini, kepada kamu semua… Dan kepada umat dari Immacolata.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu dan, tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siang dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 8 Oktober 2023)