Liturgical Calendar

Featured Posts

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN DI PIAZZA DELLA LIBERTÀ (CASTEL GANDOLFO) 17 Agustus 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil hari ini menyajikan kepada kita sebuah teks yang menantang (bdk. Luk 12:49-53), yang di dalamnya Yesus menggunakan gambaran yang kuat dan kejujuran yang luar biasa untuk mengajar para murid-Nya bahwa perutusan-Nya, dan bahkan perutusan para pengikut-Nya, bukanlah "hamparan bunga mawar", melainkan "tanda perbantahan" (bdk. Luk 2:34).

 

Dengan cara ini, Tuhan mengantisipasi apa yang akan Ia hadapi di Yerusalem ketika Ia ditentang, ditangkap, dihina, didera, disalibkan; ketika pesan kasih dan keadilan-Nya ditolak; ketika para pemimpin umat bereaksi dengan kejam terhadap khotbah-Nya. Lebih lanjut, banyak komunitas yang dituju oleh penginjil Lukas juga mengalami hal yang sama. Sebagaimana diceritakan dalam Kisah Para Rasul, mereka adalah komunitas yang penuh kedamaian, yang meskipun memiliki keterbatasan, berusaha sebaik mungkin untuk menghayati pesan kasih Sang Guru (lih. Kis. 4:32-33). Namun, mereka mengalami penganiayaan.

 

Semua ini mengingatkan kita bahwa menjadi baik atau berbuat baik tidak selalu mendapat tanggapan positif. Sebaliknya, karena keindahannya terkadang menjengkelkan mereka yang tidak menyukainya, kita dapat menghadapi pertentangan yang keras, bahkan penghinaan dan penindasan. Bertindak dalam kebenaran ada harganya, karena ada orang-orang di dunia yang memilih kebohongan, dan iblis, yang memanfaatkan situasi, sering kali berusaha menghalangi tindakan orang-orang baik.

 

Namun, Yesus mengajak kita dengan pertolongan-Nya untuk tidak menyerah dan menyesuaikan diri dengan mentalitas ini, melainkan terus bertindak demi kebaikan kita dan semua orang, bahkan mereka yang membuat kita menderita. Ia mengajak kita untuk tidak membalas penghinaan dengan dendam, melainkan untuk tetap setia pada kebenaran dalam kasih. Para martir menjadi saksi hal ini dengan menumpahkan darah mereka demi iman mereka. Kita juga dapat meneladani mereka, bahkan dalam berbagai keadaan dan cara.

 

Marilah kita pikirkan, misalnya, harga yang harus dibayar oleh orang tua yang baik jika mereka ingin mendidik anak-anak mereka sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar. Pada akhirnya, mereka harus berkata "tidak" dan mengoreksi anak-anak mereka; hal ini akan menyakitkan mereka. Hal yang sama berlaku bagi seorang guru yang ingin mendidik siswanya dengan benar, atau bagi seorang profesional, religius, atau politisi, yang ingin menjalankan perutusannya dengan jujur. Hal ini berlaku bagi siapa pun yang berusaha menjalankan tanggung jawabnya secara konsisten sesuai dengan ajaran Injil.

 

Sehubungan dengan hal ini, Santo Ignatius dari Antiokhia, dalam perjalanan menuju Roma untuk menjalani kemartiran, menulis kepada umat Kristiani di kota itu: "Aku tidak ingin kamu menyenangkan manusia, melainkan menyenangkan Allah" (Surat kepada Jemaat di Roma 2:1). Ia menambahkan, "Lebih baik bagiku mati dalam Yesus Kristus daripada memerintah atas ujung-ujung bumi" (idem, 6:1).

 

Saudara-saudari, marilah kita bersama-sama memohon kepada Maria, Ratu Para Martir, untuk membantu kita menjadi saksi Putranya yang setia dan berani dalam segala keadaan, dan menguatkan saudara-saudari kita yang menderita demi iman saat ini.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya dekat dengan rakyat Pakistan, India, dan Nepal yang telah dilanda banjir bandang. Saya mendoakan para korban, keluarga mereka, dan semua yang menderita akibat bencana ini.

 

Marilah kita berdoa agar upaya-upaya untuk mengakhiri perang dan mengembangkan perdamaian dapat membuahkan hasil, dan agar dalam negosiasi, kebaikan bersama masyarakat selalu diutamakan.

 

Di musim panas ini, saya menerima kabar tentang beragam prakarsa penjangkauan budaya dan penginjilan, yang seringkali diselenggarakan di destinasi wisata. Sungguh indah melihat bagaimana semangat untuk Injil menginspirasi kreativitas dan komitmen kelompok dan lembaga dari segala usia. Sebagai contoh, saya teringat akan perutusan orang muda yang baru-baru ini berlangsung di Riccione. Saya berterima kasih kepada para penyelenggara dan semua orang yang telah berpartisipasi dalam berbagai acara tersebut.

 

Dengan penuh kasih sayang saya menyapa kamu semua yang hari ini hadir di sini di Castel Gandolfo.

 

Secara khusus, dengan senang hati saya menyapa kelompok AIDO Coccaglio, yang merayakan lima puluh tahun pengabdian mereka terhadap kehidupan; para pendonor darah AVIS yang datang bersepeda dari Gavardo (Brescia); orang muda Casarano; dan para Suster Fransiskan Santo Antonius.

 

Saya juga memberkati peziarahan agung ke Tempat Ziarah Maria Piekary di Polandia.

 

Semoga kamu semua menikmati hari Minggu yang penuh berkat!
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 17 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 15 Agustus 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari raya!

 

Para Bapa Konsili Vatikan II mewariskan kepada kita sebuah teks yang luar biasa tentang Perawan Maria, yang sebagian ingin saya bacakan kepadamu hari ini saat kita merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Di akhir dokumen tentang Gereja, Konsili mengatakan, “Sementara itu Bunda Yesus telah dimuliakan di surga dengan badan dan jiwanya, dan menjadi citra serta awal Gereja yang harus mencapai kepenuhannya di masa yang akan datang. Begitu pula di dunia ini ia menyinari Umat Allah yang sedang mengembara sebagai tanda harapan yang pasti dan penghiburan, sampai tibalah hari Tuhan (lih. 2Ptr. 3:10).” (Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, 68).

 

Maria, yang jiwa dan raganya dibawa Kristus yang bangkit ke dalam kemuliaan, bersinar sebagai ikon harapan bagi anak-anaknya yang berziarah sepanjang sejarah.

 

Bagaimana mungkin kita tidak teringat pada syair Dante dalam canto terakhir Paradiso? Melalui doa yang dipanjatkan Santo Bernardus, yang dimulai dengan "Bunda Perawan, putri Putramu" (XXXIII, 1), sang penyair memuji Maria karena di antara kita manusia fana, ia adalah "sumber harapan yang hidup" (idem., 12), yaitu mata air yang hidup, yang memancar dengan harapan.

 

Saudari-saudari, kebenaran iman kita ini selaras sempurna dengan tema Yubileum: "Peziarah Pengharapan." Para peziarah membutuhkan tujuan yang mengarahkan perjalanan mereka: tujuan yang indah dan menarik yang menuntun langkah mereka dan menyegarkan mereka ketika mereka lelah, yang senantiasa menyalakan kembali kerinduan dan pengharapan dalam hati mereka. Tujuan perjalanan kehidupan kita adalah Allah, Kasih yang tak terbatas dan abadi, kepenuhan hidup, kedamaian, sukacita, dan segala hal yang baik. Hati manusia tertarik pada keindahan semacam itu dan tidak bahagia sampai menemukannya; dan sungguh berisiko tidak menemukannya jika tersesat di tengah "hutan gelap" kejahatan dan dosa.

 

Marilah kita renungkan rahmat ini: Allah datang untuk menemui kita, Ia mengambil rupa kita yang diciptakan dari tanah, dan membawanya dalam diri-Nya ke hadirat Allah, atau sebagaimana biasa kita sebut "ke surga." Itulah misteri Yesus Kristus, yang menjadi manusia, wafat, dan bangkit demi keselamatan kita. Tak terpisahkan dari-Nya, juga misteri Maria, perempuan yang dari dirinya Putra Allah telah mengambil rupa daging, dan misteri Gereja, tubuh mistik Kristus. Misteri ini menyangkut misteri kasih yang unik, dan dengan demikian misteri kebebasan. Sebagaimana Yesus berkata "ya," demikian pula Maria berkata "ya"; ia percaya kepada sabda Tuhan. Seluruh hidupnya telah menjadi peziarahan pengharapan bersama putranya, Putra Allah, sebuah peziarahan yang, melalui salib dan kebangkitan, telah mencapai tanah air surgawi, dalam pelukan Allah.

 

Oleh karena itu, seraya kita melangkah maju, sebagai individu, keluarga dan komunitas, terutama ketika awan datang dan jalan tampak sulit dan tidak pasti, marilah kita angkat pandangan kita, marilah kita memandangnya, Bunda kita, dan kita akan menemukan kembali pengharapan yang tidak mengecewakan (lih. Rm 5:5).

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita ingin memercayakan doa permohonan perdamaian kita kepada perantaraan Perawan Maria, yang diangkat ke surga. Sebagai seorang Ibu, ia menderita karena kejahatan yang menimpa anak-anaknya, terutama mereka yang kecil dan lemah. Berkali-kali selama berabad-abad, ia telah menegaskan hal ini melalui pesan dan penampakan.

 

Dalam menetapkan dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, sementara pengalaman tragis Perang Dunia II masih terasa menyakitkan, Pius XII menulis, "Kita berharap mereka yang merenungkan teladan mulia yang diberikan Maria kepada kita dapat semakin yakin akan nilai kehidupan manusia." Beliau mengungkapkan harapan agar tidak ada lagi ideologi yang "merusak kehidupan manusia dengan menimbulkan perpecahan di antara mereka" (Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus).

 

Alangkah tepat waktu kata-kata ini tetap ada! Bahkan hingga hari ini, sayangnya, kita merasa tak berdaya menghadapi meluasnya kekerasan di dunia — kekerasan yang semakin tuli dan tak peka terhadap setiap gejolak kemanusiaan. Namun, kita tidak boleh berhenti berharap: Allah lebih besar daripada dosa manusia. Kita tidak boleh menyerah pada dominasi nalar pertikaian dan senjata. Bersama Maria, kita percaya bahwa Tuhan terus datang menolong anak-anak-Nya, mengingat kerahiman-Nya. Hanya dalam kerahiman inilah kita dapat kembali ke jalan damai.

 

Sekarang, saya sampaikan salam saya kepadamu, para peziarah dari Italia dan berbagai negara.

 

Saya menyapa komunitas evangelisasi universitas dari Honduras; keluarga Gerakan Kasih Keluarga, yang baru saja menyelesaikan latihan rohani mereka; dan "Santa Rita", kelompok suami istri dan pasangan yang bertunangan.

 

Salam hangat dan pesta penuh sukacita untuk semuanya!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 13 Agustus 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 3. PASKAH YESUS. 2. PENGKHIANATAN. “BUKAN AKU, YA?” (MRK. 14:19)

Saudara-saudari terkasih,

 

Marilah kita melanjutkan perjalanan kita di sekolah Injil, mengikuti jejak Yesus di hari-hari terakhir hidup-Nya. Hari ini kita akan berhenti sejenak pada sebuah adegan yang intim, dramatis, namun juga sangat nyata: momen ketika, dalam perjamuan Paskah, Yesus menyatakan bahwa salah seorang dari dua belas murid-Nya akan mengkhianati-Nya: "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku, yaitu dia yang makan dengan Aku" (Mrk. 14:18).

 

Kata-kata yang keras. Yesus mengucapkannya bukan untuk mengutuk, melainkan untuk menunjukkan bagaimana kasih, jika sejati, tak dapat hidup tanpa kebenaran. Ruangan di lantai atas, tempat segala sesuatu dipersiapkan dengan cermat sebelumnya, tiba-tiba dipenuhi keheningan yang menyakitkan, berupa pertanyaan, kecurigaan, dan kerentanan. Penderitaan yang kita juga pahami betul, ketika bayang-bayang pengkhianatan menyelimuti hubungan terdekat.

 

Namun, cara Yesus berbicara tentang apa yang akan terjadi sungguh mengejutkan. Ia tidak meninggikan suara-Nya, tidak menunjuk jari-Nya, atau menyebut nama Yudas. Ia berbicara sedemikian rupa sehingga setiap orang dapat bertanya pada dirinya sendiri. Dan inilah yang sebenarnya terjadi. Santo Markus memberitahu kita: "Mereka pun menjadi sedih dan seorang demi seorang berkata kepada-Nya, 'Bukan aku, yah?'" (Mrk. 14:19).

 

Sahabat-sahabat terkasih, pertanyaan ini – “Bukan aku, yah?” – mungkin termasuk pertanyaan paling tulus yang dapat kita ajukan kepada diri kita sendiri. Bukan pertanyaan orang yang tidak bersalah, melainkan pertanyaan murid yang menyadari betapa rapuhnya dirinya. Bukan jeritan orang yang bersalah, melainkan bisikan orang yang, meskipun ingin mengasihi, menyadari bahwa ia mampu menyakiti. Dalam kesadaran inilah perjalanan keselamatan dimulai.

 

Yesus tidak mencela untuk merendahkan. Ia mengatakan kebenaran karena Ia ingin menyelamatkan. Dan untuk diselamatkan, kita perlu merasakan: merasakan bahwa kita terlibat, merasakan bahwa kita dikasihi terlepas dari segalanya, merasakan bahwa kejahatan itu nyata tetapi bukan akhir. Hanya mereka yang telah mengenal kebenaran kasih yang mendalam yang dapat menerima luka pengkhianatan.

 

Reaksi para murid bukan kemarahan, melainkan kesedihan. Mereka tidak gusar, melainkan berduka. Kesakitan muncul dari kemungkinan nyata untuk terlibat. Dan justru kesedihan inilah, jika disambut dengan tulus, menjadi tempat pertobatan. Injil tidak mengajarkan kita untuk menyangkal kejahatan, melainkan mengenalinya sebagai kesempatan yang menyakitkan untuk kelahiran kembali.

 

Yesus kemudian menambahkan sebuah frasa yang meresahkan dan membuat kita berpikir. "Celakalah orang yang membuat Anak Manusia itu diserahkan. Lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan" (Mrk. 14:21). Kata-kata itu memang kasar, tetapi harus dipahami dengan baik: bukan kutukan, melainkan jeritan penderitaan. Dalam bahasa Yunani, "celakalah" itu terdengar seperti ratapan, sebuah "aduh", sebuah seruan belas kasihan yang tulus dan mendalam.

 

Kita terbiasa menghakimi. Sebaliknya, Allah menerima penderitaan. Ketika Ia melihat kejahatan, Ia tidak membalasnya, melainkan berduka. Dan "lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan" bukanlah kutukan yang dipaksakan secara apriori, melainkan sebuah kebenaran yang dapat kita pahami: jika kita mengingkari kasih yang telah melahirkan kita, jika dengan berkhianat kita menjadi tidak setia pada diri kita sendiri, maka kita sungguh kehilangan makna kedatangan kita ke dunia, dan kita menjauhkan diri dari keselamatan.

 

Namun, justru di sana, di titik tergelap, terang tidak padam. Sebaliknya, ia mulai bersinar. Karena jika kita menyadari batas kita, jika kita membiarkan diri kita disentuh oleh penderitaan Kristus, maka kita akhirnya dapat dilahirkan kembali. Iman tidak menghindarkan kita dari kemungkinan berdosa, tetapi selalu menawarkan jalan keluar: yaitu belas kasihan.

 

Yesus tidak mengalami skandal oleh kerapuhan kita. Ia tahu betul bahwa tidak ada persahabatan yang kebal terhadap risiko pengkhianatan. Namun Yesus tetap percaya. Ia terus duduk di meja bersama para pengikut-Nya. Ia tidak berhenti memecah-mecahkan roti, bahkan untuk orang-orang yang akan mengkhianati-Nya. Inilah kuasa Allah yang diam-diam: Ia tidak pernah meninggalkan meja kasih, bahkan ketika Ia tahu Ia akan ditinggalkan sendirian.

 

Saudara-saudari terkasih, kita juga dapat bertanya kepada diri kita sendiri hari ini, dengan tulus: "Bukan aku, yah?". Bukan untuk merasa tertuduh, melainkan untuk membuka ruang bagi kebenaran di dalam hati kita. Keselamatan dimulai di sini: dengan kesadaran bahwa kita mungkin saja yang mengingkari kepercayaan kita kepada Allah, tetapi kita juga bisa menjadi orang yang mengumpulkannya, melindunginya, dan memperbaruinya.

 

Pada akhirnya, inilah pengharapan: mengetahui bahwa meskipun kita gagal, Allah tidak akan pernah mengecewakan kita. Bahkan jika kita mengkhianati-Nya, Ia tidak pernah berhenti mengasihi kita. Dan jika kita membiarkan diri kita tersentuh oleh kasih ini – rendah hati, terluka, tetapi selalu setia – maka kita dapat benar-benar dilahirkan kembali. Dan kita bisa mulai hidup tidak lagi sebagai pengkhianat, tetapi sebagai anak-anak yang selalu dicintai.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, khususnya rombongan dari Inggris, Hungaria, Malta, Kenya, Afrika Selatan, Uganda, Zambia, India, Indonesia, Irak, Yerusalem, Filipina, Vietnam, Barbados, dan Amerika Serikat. Selagi kita mempersiapkan diri untuk merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga pada tanggal 15 Agustus, saya memercayakanmu dan keluargamu kepada pemeliharaan Bunda Maria yang lembut. Melalui perantaraannya, semoga kamu dikuatkan dalam kelemahanmu, dihibur dalam pencobaanmu, serta diberikan sukacita serta damai sejahtera Yesus Kristus, Putranya. Allah memberkatimu.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese kita tentang tema Yubileum "Kristus Pengharapan Kita", kita melanjutkan refleksi kita tentang sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus dengan merenungkan pewahyuan Yesus pada Perjamuan Terakhir bahwa salah seorang murid-Nya akan mengkhianati-Nya. Meskipun terkesan kasar, perkataan Yesus tidak dimaksudkan untuk mengutuk atau mempermalukan sang pengkhianat-Nya. Sebaliknya, perkataan itu merupakan kebenaran yang diucapkan dengan kasih, kasih ssayang, dan dukacita yang mendalam. Ketika kita merenungkan hidup kita sendiri dengan jujur, pertanyaan para Rasul menjadi pertanyaan kita sendiri: "Bukan aku, yah?" Mengajukan pertanyaan ini membuka ruang bagi kebenaran di dalam hati kita. Hal ini penting karena keterbukaan terhadap keselamatan dimulai dengan kesadaran bahwa kita dapat mengingkari kepercayaan kepada Tuhan melalui dosa-dosa kita. Terlepas dari kesalahan kita, pengharapan kita tetap terletak pada kenyataan bahwa bahkan jika kita mengecewakan-Nya, Ia tidak akan pernah mengecewakan kita; jika kita mengkhianati-Nya, Ia tidak akan pernah mengkhianati kita. Maka, marilah kita membiarkan diri kita disentuh oleh kasih-Nya yang penuh pengampunan, agar kita sungguh-sungguh dilahirkan kembali sebagai anak-anak-Nya yang terkasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 10 Agustus 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Dalam Bacaan Injil hari ini, Yesus mengajak kita untuk memikirkan bagaimana kita akan menginvestasikan harta kita, yaitu hidup kita (bdk. Luk 12:32-48). Ia berkata, "Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah!" (ayat 33).

 

Ia menasihati kita untuk tidak menyimpan sendiri karunia yang telah diberikan Allah kepada kita, melainkan menggunakannya dengan murah hati untuk kebaikan sesama, terutama mereka yang paling membutuhkan pertolongan kita. Bukan sekadar berbagi harta benda yang kita miliki, tetapi menempatkan keterampilan, waktu, kasih, kehadiran, dan belas kasih kita untuk melayani sesama. Singkatnya, segala sesuatu dalam rencana Allah yang menjadikan kita masing-masing sebagai harta yang tak ternilai dan tak tergantikan, aset yang hidup dan bernapas, harus dipupuk dan diinvestasikan agar bertumbuh. Jika tidak, karunia ini akan mengering dan berkurang nilainya, atau akhirnya dirampas oleh orang-orang yang seperti pencuri, merampasnya sebagai sesuatu yang hanya untuk dikonsumsi.

 

Karunia Allah yang kita miliki tidak diciptakan untuk digunakan dengan cara seperti itu. Kita membutuhkan ruang, kebebasan, dan hubungan untuk mencapai kepuasan dan mengungkapkan diri. Kita membutuhkan kasih, yang dengan sendirinya mengubah rupa dan memuliakan setiap aspek keberadaan kita, menjadikan kita semakin serupa dengan Allah. Bukan suatu kebetulan bahwa Yesus mengucapkan kata-kata ini ketika Ia berada di jalan menuju Yerusalem, di mana Ia akan mengurbankan diri-Nya di kayu salib demi keselamatan kita.

 

Karya belas kasihan adalah bank yang paling aman dan menguntungkan di mana kita dapat mempercayakan harta keberadaan kita, karena di sana, sebagaimana diajarkan Injil, dengan "dua uang tembaga", yaitu uang receh terkecil, bahkan janda miskin pun menjadi orang terkaya di dunia (bdk. Mrk. 12:41-44).

 

Berkaitan hal ini, Santo Agustinus berkata, "Jika kamu memberi satu pon uang tembaga dan menerima satu pon uang perak, atau memberi satu pon uang perak dan menerima satu pon uang emas, kamu akan bersukacita atas keberuntunganmu. Apa yang kamu berikan pasti akan diubah rupa; yang akan datang kepadamu bukan emas, bukan perak, melainkan kehidupan kekal" (Khotbah 390, 2, PL 39, 1706). Dan ia menjelaskan alasannya: "Apa yang kamu berikan akan diubah rupa, karena kamu sendiri akan diubah" (idem).

 

Untuk memahami maksudnya, kita bisa membayangkan seorang ibu yang merangkul anak-anaknya: bukankah ia orang tercantik dan terkaya di dunia? Atau sepasang kekasih, ketika mereka bersama: bukankah mereka merasa seperti raja dan ratu? Kita bisa memikirkan banyak contoh lainnya.

 

Oleh karena itu, di mana pun kita berada, dalam keluarga, di paroki, sekolah, atau tempat kerja, kita hendaknya berusaha untuk tidak melewatkan kesempatan apa pun untuk bertindak dengan kasih. Inilah jenis kewaspadaan yang diminta Yesus dari kita: bertumbuh dalam kebiasaan untuk saling memperhatikan, siap sedia, dan peka terhadap satu sama lain, sebagaimana Ia menyertai kita setiap saat.

 

Saudari-saudari, marilah kita memercayakan kepada Maria kehendak dan tanggung jawab ini: semoga ia, Sang Bintang Fajar, membantu kita menjadi "penjaga" belas kasihan dan perdamaian di dunia yang ditandai oleh banyak perpecahan. Santo Yohanes Paulus II mengajarkan hal ini kepada kita (bdk. Vigili Doa untuk Hari Orang Muda Sedunia ke-15, 19 Agustus 2000). Dan dengan cara yang indah, begitu pula orang muda yang datang ke Roma dalam rangka Yubileum.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 10 Agustus 2025)