Liturgical Calendar

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2016 (GAGASAN PENDUKUNG)



GAGASAN PENDUKUNG BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2016
(oleh : Petrus C. Dogo, SVD - LEMBAGA BIBLIKA INDONESIA)

KELUARGA BERSAKSI DAN MEWARTAKAN SABDA ALLAH
“Hendaknya Terangmu Bercahaya” (Matius 5:16)

PENDAHULUAN
Tema Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2016 ini adalah Keluarga yang Bersaksi dan Mewartakan Sabda Allah. Tema ini mengajak semua orang beriman untuk menjadi pewarta Sabda Tuhan dan memberikan kesaksian tentang Sabda Tuhan itu dalam hidup harian. Dalam tradisi Gereja Katolik, aspek pewartaan ini seringkali disebut “kerigma” dan kesaksian disebut dengan “martiria.” Sebagai gambaran akan kedua aspek ini, berikut akan dijelaskan secara singkat tentang kerigma dan martiria dalam Kitab Suci.


Mewartakan dalam Kitab Suci
Kata kerigma amat khas dipakai oleh Gereja untuk kegiatan pewartaan. Kata ini berasal dari kata Yunani “kerygma” yang berarti ‘proklamasi’ atau ‘pengu­muman’. Biasanya, kegiatan mengu­mumkan itu disebut kḗryxis (tidak dite­mukan dalam Perjanjian Baru), yang mana memunculkan juga kata kerja kerýssō yang berarti ‘mengumumkan’ atau ‘memproklamasikan’. Orang yang mengumumkan disebut keryx dan ia selalu memiliki tempat yang penting dalam kerajaan. Dia bertanggung jawab untuk mengumumkan dengan suara keras dan jelas, apa yang perlu diketahui oleh publik. Mengingat posisinya yang penting ini, ia bisa disejajarkan dengan pangeran atau putra raja. Pada akhir­nya, sepertinya dia yang melayani kera­jaan daripada raja karena dia berupaya mengkomunikasikan segala hal kepada publik.

Sebagai pemakluman atau pengumum­an, kata kerigma dipahami dalam dua arti yaitu sebagai aktivitas mewarta­kan dan menyangkut isi pewartaan itu sendiri. Sebagai suatu aktivitas, tindak­an kerusso juga dilakukan oleh Yesus. Ia memaklumkan apa yang akan menjadi misi perutusan-Nya dalam Luk. 4:18-19, mengutip Yes. 61:1-2. Secara eksplisit Yesus meneruskan kata kerusso (yang berarti mengumumkan) ketika berbi­cara tentang “untuk mengumumkan Tahun Rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:19). Penginjil sendiri menyim­pulkan aktivitas kerigma yang dilaku­kan Yesus ini sebagai “mengajar.... dan memberitakan (kerisso)... dan menyem­buhkan” (Mat. 4:23; Mrk. 1:39; Luk. 4:44; bdk. Mat. 9:35;11:1; Luk. 8:1).

Pemakaian kata kerigma, yang menyim­pulkan apa yang dibuat Yesus tersebut, membuat kata kerigma memiliki nilai khusus bagi komunitas Kristiani per­dana dan kemudian oleh Gereja. Kata kerigma kemudian secara khas lebih di­pakai oleh Gereja dalam hubungannya dengan kehidupan Yesus Kristus. Kerig­ma dipahami sebagai kegiatan mewar­takan hidup, wafat, kebangkitan dan kenaikan Yesus yang pada akhirnya me­minta pertobatan orang yang mende­ngarkan warta tersebut. Pewartaan ini pun sekaligus menegaskan bahwa Yesus merupakan pemenuhan janji dalam Perjanjian Lama. Aktivitas ini dijalan­kan secara nyata oleh para rasul dan ke­mudian diteruskan oleh Paulus dalam surat-suratnya.

Petrus dan rasul-rasul yang lain misal­nya memberitakan tentang Yesus di Yerusalem sesudah kebangkitan Yesus (Kis. 2:22-36). Mereka memakai hampir setiap momen untuk mewartakan Yesus Kristus yang adalah Tuhan. Ketika bertemu dengan orang yang lumpuh, mereka berbicara tentang Yesus dan atas nama Yesus orang itu pun disembuhkan (Kis. 3:1-26). Demikian pula ketika mereka di depan Mahkamah Agama, para rasul dengan tegas mewartakan Yesus meski­pun mendapatkan tekanan yang hebat dan upaya pelarangan terhadap aktivi­tas pewartaan mereka (Kis. 4:5-12). Para rasul pun kemudian meneruskan kerigma ini dalam surat-surat apostolik mereka (lih. 1Ptr 1:2, 19; 3:18; 1Yoh. 4:10).

Rasul Paulus tidak kalah hebatnya men­jadi pewarta ulung akan Yesus Kristus. Dalam surat-suratnya, terbaca dengan amat jelas kerigma tersebut. Ia bahkan menyinggung pengalaman pribadi per­temuannya dengan Tuhan Yesus yang membawanya kepada pertobatan total (1Kor. 15:3-8). Kadangkala kerigma dile­takkan Paulus pada bagian akhir dari suratnya (Rm. 16:25-27, bdk. 2Tim 4:17), bukan karena merasa tidak penting, melainkan karena itulah tujuan terakhir dirinya menulis surat. Dia mau mewar­takan Yesus Kristus yang sekarang telah dinyatakan dan bagi Dia segala kemu­liaan sampai selama-lamanya.

Bersaksi dalam Kitab Suci
Kata “saksi” dalam Kitab Suci amat ber­hubungan dengan pengadilan. Di lem­baga pengadilan orang memberikan kesaksian tentang apa yang dilihat dan diketahuinya secara pribadi. Tekanan yang paling utama dari kata “saksi” di sini adalah memberikan informasi yang benar dan apa adanya sebagaimana yang dilihat atau dialaminya sendiri. Dia akan berupaya untuk memperta­hankan apa yang benar tersebut. Karena itu, sebenarnya kata ‘saksi’ lebih berori­entasi pada bidang hukum. Ketika dipa­kai dalam Kitab Suci, konteks pengadilan dan hukum tidak bisa dilepaskan begitu saja.

Konteks pengadilan nampak cukup jelas dalam perikop-perikop dan atur­an yang berbicara tentang kesaksian. Kesaksian misalnya tidak boleh hanya satu orang. Kesaksian mesti diperkuat oleh dua atau tiga saksi lain (Ul. 17:6; 19:15) dan tidak boleh palsu. Perlindun­gan terhadap kesaksian ini diteguhkan dalam hukum kesembilan dari 10 per­intah Tuhan (Kel. 20:16; Ul. 5:20). Jika orang memberikan kesaksian palsu, orang itu akan dihukum sesuai dengan apa yang ingin dilakukannya terhadap orang yang dituduhnya (Ul. 19:16-21). Satu kisah kesaksian palsu yang ber­ujung pada kematian dialami oleh dua orang tua-tua yang memberikan ke­saksian palsu terhadap Susana. Kedua orang yang menghendaki kematian Susana, pada akhirnya dihukum mati karena tuduhan palsu mereka terhadap Susana (Dan. 13:1-64). Singkatnya, se­buah kesaksian itu harus benar dan apa adanya karena harga dari tuduhan atau kesaksian palsu adalah kematian.

Perjanjian Baru memakai kata martureo yang berarti memberikan kesaksian. Dari kata kerja martureo ini muncul kata martus (artinya, orang yang ber­saksi) dan martiria (yang berarti kesak­sian). Nuansa pengadilan masih tetap terasa di dalam kata martureo. Melan­jutkan perlindungan terhadap tuduhan atau kesaksian palsu, Perjanjian Baru juga menerapkan aturan bahwa kesak­sian yang valid hanya bisa diterima jika ada dua atau tiga orang saksi lain (bdk. Mat. 18:16; 2Kor. 13:1). Mengenai hal ini, Yesus sendiri menyatakan bahwa Bapa­Nyalah yang memberikan kesaksian atas apa yang diperbuat-Nya (Yoh. 5:37; 8:18).

Para pengikut Yesus, khususnya 12 rasul­Nya, adalah saksi Yesus. Mereka menge­tahui Sang Guru secara mendalam, mendengarkan ajaran-ajaran-Nya dan menyaksikan mukjizat-mukjizat yang dikerjakan-Nya. Mereka menjadi saksi dari transfigurasi yang terjadi di Gu­nung Tabor (Mat. 17:1-2). Mereka juga menjadi saksi kebangkitan-Nya (Luk. 24:48) dan kenaikan-Nya ke surga (Kis. 1:9). Apa yang mereka lihat dan alami inilah yang kemudian mereka wartakan (1Yoh. 1:1-3). Kesaksian yang demiki­an tidak pernah dapat dibantah. Para murid yang adalah orang-orang yang sederhana dan tidak terpelajar, mampu membungkam mereka yang mempela­jari Kitab Suci secara mendalam dan menduduki kursi pengadilan agama tertinggi seperti Mahkamah Agama.

Selanjutnya, secara cepat, kata martureo dan turunannya mendapatkan arti yang lebih rohani tanpa mengesampingkan nuansa pengadilan. Rasul Paulus yang memulai memakai kata ini untuk tu­juan yang lebih rohani. Ketika membela diri terhadap orang-orang Yahudi yang menangkapnya di Bait Allah, Paulus menyatakan bahwa dia mendapatkan tugas dari Tuhan untuk menjadi saksi­Nya. Tugas ini disampaikan lewat Ana­nias yang diutus Tuhan untuk mene­mui Paulus. Lengkapnya pernyataan tersebut adalah, “Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk me­lihat Yang Benar dan untuk mende­ngar suara yang keluar dari mulut-Nya. Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya (Yun. martus) terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar” (Kis. 22:14-15). Dengan ini, terjadi pergeseran yang cukup signifi­kan dari arti martureo.

Pada tahapan lanjutannya, kata martu­reo dihubungkan dengan orang yang berani mengorbankan diri dan nyawanya demi imannya kepada Yesus Kristus. Arti baru dari kesaksian ini diilhami oleh pengorbanan Stefanus (Kis. 7:54- 8:1a). Dia menjadi martus, martir yang mempertahankan imannya kepada Tuhan Yesus.

Pada akhirnya, martus adalah orang yang amat yakin dengan imannya akan Tuhan dan berupaya menghidupi iman­nya tersebut dengan penuh kesetiaan hingga bersedia mengorbankan segala­galanya demi imannya itu. Meskipun kini lebih dikenakan kepada orang yang menumpahkan darah dan mengur­bankan hidupnya demi imannya akan Tuhan, kata ‘martir’ mesti tetap dipa­hami sebagai kesaksian yang utuh dan setia dari iman akan Tuhan. Kesaksian ini menjadi nyata dalam tindakan dan kata-kata. Sebagaimana dalam penga­dilan, kesaksian itu tidak bisa palsu dan tidak benar. Kesaksian itu harus benar dan dibenarkan oleh perbuatan. Karena iman tanpa perbuatan, pada hakikatnya adalah mati (lih. Yak. 2:17).

Keluarga mewartakan dan bersaksi
Apa yang diwartakan oleh penginjil dan para rasul, kini sampai juga kepada kita. Pewartaan mereka sederhana saja. Mereka berfokus pada apa yang dibuat Yesus. Untuk maksud pewartaan yang sama, mereka meninggalkan tulisan­tulisan yang amat berguna bagi orang beriman dari generasi kemudian untuk meneruskan pewartaan tersebut. Ke­luarga-keluarga Kristiani diharapkan mampu mengambil peran ini karena keluarga adalah Gereja mini (ecclesia domestica). Aspek ini mesti ditanam dengan baik dari dalam keluarga se­hingga generasi iman yang selanjutnya bisa menjadi pewarta yang sama karena mereka telah mengetahui kisah Tuhan dari dalam keluarga mereka.

Generasi kita sudah amat jauh dari gen­erasi para rasul yang menjadi saksi mata dari apa yang diperbuat dan dikatakan Yesus. Itu tidak berarti bahwa kita tidak bisa memberikan kesaksian kita ten-tang Tuhan dalam hidup kita. Kita tetap memberikan kesaksian tentang Tuhan dengan meneruskan ajaran dan perin­tah-perintah-Nya. Keluarga menjadi tempat awal di mana benih iman akan Tuhan itu ditanamkan dan dihidupi. Tugas keluarga adalah saling meneguh­kan iman akan Tuhan, dan meneruskan keyakinan iman yang kokoh tersebut kepada anak-anak. Dengan memberi­kan kesaksian hidup yang benar dan baik seturut iman, keluarga-keluarga Kristiani telah menghidupi kembali se­mangat awal para rasul. Mereka tidak memiliki pengetahuan yang luar biasa dalam tentang Tuhan. Yang mereka mi­liki adalah pengalaman bersama Tuhan. Mereka menghidupi iman mereka akan Tuhan dengan penuh konsekuen hing­ga berani mengorbankan hidup mere­ka. Iman itulah yang sampai kini kita terima. Keluarga meneruskan iman ini dengan mewartakannya dan memberi­kan kesaksian di tengah keluarga dan di tengah masyarakat.

Dalam Bulan Kitab Suci Nasional 2016 ini, Gereja Indonesia merenungkan bersama berturut-turut selama empat minggu, tema-tema pewartaan dan ke­saksian sebagai berikut:
1. Yesus, model pewarta sejati (Luk. 4:16-21)
2. Saling bersaksi dan mewartakan dalam Keluarga (Kol. 3:12-17)
3. Bersaksi dan mewartakan dalam Gereja (Kis. 18:1-8)
4. Bersaksi dan mewartakan di tengah masyarakat (Mat. 5:13-16)

I.             Yesus, Model Pewarta Sejati
(Luk. 4:16-21)

16Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab. 17Kepada­Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: 18“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku 19untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang­orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” 20Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. 21Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”

Perikop singkat ini diteropong dalam tiga bagian. Bagian pertama berisikan informasi tentang kembalinya Yesus ke Nazaret dan kebiasaan Yesus (ay. 16-17). Pada bagian kedua, penginjil menginformasikan tentang pembacaan teks dari Perjanjian Lama (ay. 18-19). Bagian ketiga merupakan tanggapan Yesus terhadap teks yang dibacakan-Nya (ay. 20-21).

Datang ke tempat Ia dibesarkan
Penginjil Lukas melukiskan bahwa Yesus bersama orangtuanya berangkat tiap tahun ke Yerusalem pada hari raya Paskah (2:41-42). Namun, ketika me­mulai karya-Nya di depan umum, Yesus mengadakan perjalanannya sendiri. Awalnya Yesus menuju sungai Yordan untuk dibaptis di Sungai Yordan (3:21). Pembaptisan ini bukanlah pembaptisan penghapusan dosa, melainkan sebuah tindakan pelantikan Yesus untuk me­mulai tugas perutusan-Nya. Pelantikan ini disertai dengan suara Bapa dari lan­git yang berbunyi: “Engkaulah Anak­Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan!”.

Sekembalinya dari sungai Yordan, Yesus dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di sini Yesus dicobai oleh Iblis selama 40 hari. Peristiwa ini merupa­kan sebuah peristiwa penguatan kem­bali komitmen Yesus terhadap misi-Nya. Pencobaan ini kemudian berakhir di Ye­rusalem dan Yesus pun dilayani malai­kat-malaikat (bdk. 4:9).

Dari Yerusalem inilah, Yesus kembali ke kampung halamannya Nazaret. Per­tanyaan yang muncul adalah jika Yesus sudah berada di Yerusalem, mengapa Dia tidak langsung menyatakan diri­Nya dan mewartakan Kerajaan Allah di Yerusalem? Toh, Yerusalem menjadi pusat dari semua aktivitas keagamaan. Juga di Yerusalem, pewartaan itu akan mempengaruhi (atau minimal) dide­ngar oleh para pemuka agama. Yesus tidak memilih hal ini. Dia memilih untuk menempuh kembali perjalanan pulang dari Yerusalem menuju Nazaret dan memulainya dari sana.

Di akhir kisah kembalinya Yesus ke Naz­aret ditemukan bahwa Yesus kemudian ditolak oleh orang-orang sekampung­Nya (4:28-30). Berbeda dengan Peng­injil Markus dan Matius yang sangat mempertanyakan kemampuan Yesus, Penginjil Lukas mengarahkan pembaca kepada misi Yesus yang lebih terbuka. Dengan menyebutkan kembali kejadi­an-kejadian ajaib yang dilakukan Tuhan di daerah Sidon (janda di Sarfat) dan Siria (Naaman, panglima tentara Siria), yang nota bene di luar Israel, Yesus hendak menunjukkan bahwa misi-Nya berlaku untuk semua orang. Walaupun demikian, Dia harus memulainya dari kampung halaman-Nya; di Nazaret dan di Israel. Itulah sebabnya, Penginjil ke­mudian menuliskan lagi bukunya yang kedua yaitu Kisah Para Rasul, untuk menunjukkan bahwa misi Yesus kemu­dian diteruskan oleh Para Rasul (yang diwakili oleh Paulus) ke mana-mana.

Yesus pun memulai pelayanan publik­Nya dengan pertama-tama menyapa orang-orang sekampung-Nya, orang­orang dekat-Nya lalu perlahan-lahan menuju Kapernaum dan selanjutnya Yerusalem. Dia tidak kembali lagi ke Nazaret, bukan karena Dia ditolak, mel­ainkan karena misi-Nya sudah lebih universal.

Menurut Kebiasaan-Nya
Ada tradisi yang baik yang dijalani oleh orang-orang Yahudi semasa Yesus hidup. Setiap hari Sabat, mereka akan berkumpul di rumah ibadat dengan tujuan utama adalah untuk menden­garkan firman Tuhan. Untuk maksud ini, mereka memiliki tata urutan ibadah sebagai berikut. Ibadah dimulai dengan mendaraskan Shema Israel (Ul. 6:4-9), kemudian doa seperti delapan belas doa berkat, disusul bacaan dari kitab Taurat Musa, lalu bacaan dari kitab nabi-nabi, instruksi atau homili singkat berdasar­kan teks nabi-nabi dan diakhiri den­gan berkat penutup. Bacaan-bacaan tersebut bisa langsung diterjemahkan ke dalam bahasa lokal mereka yaitu bahasa Aram. Meskipun ada lingkaran tiga tahun dalam pembacaan teks-teks Kitab Suci, tetap terbuka juga untuk menyeleksi sendiri bacaan-bacaan tersebut. Sedangkan, bagian instruksi atau homili (yang biasanya merupa­kan tafsiran atas bacaan tersebut) bisa diminta kepada siapa saja (lelaki) yang hadir pada kesempatan itu. Jika pem­bacaan dilakukan dalam posisi berdiri, pengajaran atau instruksi dilakukan dalam posisi duduk.

Yesus mengikuti kebiasaan ini den­gan sangat baik. Ketika kembali dari Yerusalem ke Galilea, Yesus masuk ke rumah-rumah ibadat dan mengajar di situ (4:15). Meskipun tidak diberitakan secara jelas kapan momen itu terjadi, bisa dimengerti bahwa momen-momen seperti itu terjadi pada hari Sabat. Hal yang sama dilakukan Yesus ketika tiba di Nazaret. Pada hari Sabat, Dia masuk ke rumah ibadat. Karena sudah menjadi kebiasaan, Yesus tidak hanya mengikuti ibadah saja, tetapi juga aktif memberi­kan komentar atau wejangan.

Penginjil tidak menggambarkan tata liturgi ibadah yang utuh, namun lang­sung ke bagian pembacaan dari kitab para Nabi. Hal ini disebabkan karena Penginjil memberikan perhatian ke­pada Yesus. Apa yang diperbuat Yesus, itulah yang diperhatikan dan ditulis. Perhatian lebih serius tertuju kepada gulungan Kitab yang diberikan kepada Yesus. Gulungan kitab itu adalah gulun­gan kitab nabi Yesaya. Apakah ini kebet­ulan? Susah untuk diketahui. Namun, umumnya di rumah-rumah ibadat yang lebih kecil, kitab nabi Yesaya – selain kitab Taurat Musa – dianggap sebagai gulungan kitab yang wajib dimiliki. Ka­rena itu, agaknya bisa dimengerti bahwa kepada Yesus diberikan gulungan kitab nabi Yesaya.

Pertanyaan lanjutannya adalah bagai­mana menemukan teks yang akan diba­cakan? Ada kebiasaan untuk menentu­kan dan membatasi teks yang kemudian dibaca dalam siklus tiga tahun. Bisa jadi bahwa perikop yang dibuka dan ke­mudian dibaca oleh Yesus itu memang perikop yang ditentukan untuk saat itu. Namun, tetap terbuka juga kemung­kinan bahwa perikop dari kitab Nabi (dalam ibadat), dipilih oleh pembaca dan yang akan memberikan wejangan. Dalam konteks ini, Yesuslah yang me­nyeleksi dan membuka teks tersebut. Jika ini yang terjadi, Yesus sebenarnya memilih momen yang tepat untuk menyatakan siapa diri-Nya di hadapan para kenalan dan keluarga-Nya. Teks yang dipilih Yesus, menjadi teks pen­egasan identitas-Nya. Argumen bahwa Yesus memilih teks tersebut, diperkuat dengan kata-kata-Nya memulai pen­jelasannya atas teks tersebut, ““Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (4:21). Artinya, apa yang tertulis dalam teks itu merupakan nubuat untuk diri-Nya dan kini nubuat itu digenapi. Yesus pun memperkenal­kan identitas-Nya sebagai penyelamat.

Terhadap ucapan Yesus tersebut, da­patlah dimengerti reaksi orang-orang sekampung-Nya. Jika Ia adalah Me­sias atau penyelamat atau yang teru­rapi, bagaimana mungkin mereka dapat mengerti bahwa Dia juga adalah anak Yusuf (4:22)? Mereka mengenal-Nya dengan baik karena Dia satu dari anta­ra mereka, sebab ada anggapan umum bahwa “bilamana Kristus datang, tidak ada seorangpun yang tahu dari mana asal-Nya” (Yoh. 7:27). Pada tingkat se­perti ini, para pendengar Yesus tidak mengerti akan tugas perutusan Yesus, yang lebih menekankan aspek spiritual.

ManifestoYesus
Perikop yang dibaca oleh Yesus amat padat isinya. Untuk mengerti dengan lebih baik teks ini kita perlu melihat latar belakang teks ini dalam Yes. 61. Teks ini merujuk pada hamba Allah (Yes. 42) dengan nuansa mesanik. Yes. 61:1-2 sendiri merupakan bagian pem­buka dari Yes. 61-62 yang menggam­barkan penyelamatan umat oleh Allah. Bagian pembuka ini memperkenalkan identitas dari orang yang akan dipa­kai Tuhan menyelamatkan umat-Nya. Orang ini secara personal dipilih dan diteguhkan oleh Allah melalui pengura­pan oleh Roh Tuhan untuk satu tujuan, yaitu pembebasan umat-Nya.

Dalam konteks ini bacaan yang dibaca sendiri oleh Yesus ini, bisa diteropong dalam warna mesianis. Perikop ini dimulai dengan menyebut Roh Tuhan. Roh ini ada pada Yesus. Penginjil Lukas memperlihatkan bahwa Roh Tuhan me­mainkan peran yang sentral dalam ke­seluruhan hidup Yesus sejak awal. Roh ini disebut dalam kabar malaikat kepa­da Maria (1:39). Roh itu muncul ketika Yesus dibaptis di sungai Yordan (3:22). Roh yang sama menuntun Yesus ke pa­dang gurun (4:1) dan Roh itu kemudian menuntun Yesus kembali ke Galilea (4:14). Kemunculan Roh Tuhan pada tahapan-tahapan penting hidup Yesus ini menunjukkan bahwa hidup Yesus dituntun oleh Roh. Apa yang dilakukan­Nya berasal dari tuntunan Roh Tuhan.

Dengan mengambil teks dari Yes. 61 dan dimulai dengan pernyataan “Roh Tuhan ada pada-Ku,” Yesus hendak menga­takan bahwa apa yang dibacakan-Nya itu tergenapi dengan baik. Roh Tuhan sudah menuntun hidup Yesus, dan itu berarti Roh Tuhan ada dalam keselu­ruhan hidup Yesus. Dalam Perjanjian Lama, konsep tentang Roh Tuhan yang turun ke atas seseorang memiliki arti bahwa orang tersebut dipenuhi dengan kekuatan dan kebijaksanaan (lih. Kej. 41:38; Kel. 31:3; Bil. 11:17,29). Secara khu­sus dalam kitab Yesaya, Roh Tuhan ini selalu berhubungan dengan tugas pene­gakkan keadilan dan pembebasan.

Sama seperti dalam Yes. 61, Roh Tuhan itu memainkan peran penting untuk tugas perutusan dari Sang Mesias. Meskipun ada sedikit perubahan dalam kutipan dari Yes. 61, teks ini memang menunjuk­kan peran mesianis dari Yesus. Sedari awal perutusan-Nya, Yesus menunjuk­kan siapa diri-Nya. Roh Tuhan telah menuntun-Nya dan kini Roh yang sama mengurapi-Nya (mesias artinya yang terurapi), untuk melaksanakan misi berikut, “...untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku, untuk memberi­takan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang­orang buta, untuk membebaskan orang­orang yang tertindas, untuk memberita­kan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Tugas-tugas ini merupakan tugas yang pembebasan. Kelak apa yang dikatakan­Nya ini terlaksana dalam perjalanan karya-Nya. Orang buta disembuhkan­Nya (14:13) dan penyembuhan lain­nya (7:21,22:18:35). Orang-orang miskin seringkali disebut-Nya secara eksplisit (14:13, 21; 16:20; 18:22; 19:8; 21:3).
Misi yang berat ini dilaksanakan secara bertahap. Pada tahap dasar, sang utusan melaksanakan tugas verbal yaitu me­nyampaikan kabar gembira dan berita pembebasan. Pada tahap kedua, sang utusan membuat orang-orang yang tidak melihat karya agung Allah itu dapat melihatnya dengan jelas. Pada tahap ketiga, tindakan nyata dilakukan, yaitu membebaskan orang-orang yang tertindas. Semua tugas ini dilaksana­kan untuk menegaskan bahwa rahmat Tuhan sedang dan sudah datang ke te­ngah-tengah mereka. Yesus melakukan semuanya ini dengan sempurna. Dia mewartakan dengan kata-kata, mem­berikan kesaksian dengan tindakan dan hadir meneguhkan yang menderita.

Pada hari ini, genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya
Di akhir pembacaan teks tersebut, Yesus duduk dan mulai mengajar. Pengajaran­Nya dimulai dengan kata-kata berikut, “Pada hari ini, genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Penggenapan nas ini dipahami karena Yesus sendiri sebenarnya sudah membawa warta gembira. Pada tempat pertama, kegena­pan nas ini terjadi karena Yesus sendiri telah diurapi oleh Roh dalam pembap­tisan di sungai Yordan. Hal lainnya adalah apa yang dibacakan oleh Yesus sendiri tergenapi karena Yesus memang memiliki misi pembebasan. Pengajaran Yesus ini kemudian hanya diselingi oleh keheranan orang-orang atas keindahan kata-kata Yesus. Mereka heran karena setahu mereka, Yesus hanyalah anak dari Yusuf, yang mereka kenal amat baik. Mereka tidak tahu perubahan yang telah terjadi dengan Yesus.

Yesus pun memberikan pengajaran lan­jutan dengan menekankan bahwa misi perutusan-Nya bukanlah hanya untuk orang-orang Israel. Dia memberikan contoh bagaimana Yahweh – melalui nabi Elia – menyapa dan menyelamat­kan seorang janda di Sarfat, tanah Sidon sewaktu kelaparan terjadi meskipun di Israel banyak janda yang mesti ditolong. Hal serupa pula terjadi ketika mela­lui nabi Elisa, Tuhan menyembuhkan Naaman, orang Siria, padahal ada ban-yak orang kusta di Israel.

Dengan ini, Yesus membuka cakrawala mereka bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu, menginginkan kes­elamatan semua umat manusia. Itulah tugas yang diemban oleh Yesus. Roh Tuhan ada pada-Nya dan telah mengu­rapi-Nya untuk menjadi mesias yang membawa warta gembira keselamatan Tuhan. Dan “hari ini, genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”

Refleksi
1.    Yesus memilih untuk memulai menjadi pewarta Sabda Tuhan dari tengah keluarga-Nya dan di tempat di mana Dia dibesarkan. Tindakan ini memberikan peneguhan kepada kita bahwa seorang pewarta pertama-tama harus memulainya dari ruang lingkup yang kecil dan di tempat di mana dia berada. Dia harus mampu memberikan kesaksian hidup mulai dari tempat di mana dia berada. Dalam konteks ini, apakah kita sudah memberikan dukungan yang positif terhadap orang-orang dalam keluarga dan lingkungan kita yang mewartakan hal-hal yang baik? Ataukah kita menolak mereka dan membuat keselamatannya menjadi terancam?
2.    Yesus mewarisi tradisi dan kebiasaan yang baik dari dalam keluarga dan dari dalam masyarakat-Nya. Kebiasaan hidup religius atau rohani yang baik amat mewarnai hidup Yesus. Karena itu, setiap hari Sabat, Dia masuk rumah ibadat, berdoa dan mengajar. Kebiasaan-kebiasaan macam manakah yang diwariskan masyarakat dan keluarga yang memungkinkan setiap anggota keluarga menjadi pewarta atau pemberi kesaksian yang baik? Bagaimana kita membesarkan anak­anak kita? Apakah keluarga kita menjadi tempat anak-anak menimba kekuatan untuk kemudian memberikan kesaksian hidup yang baik?
3.    Hidup Yesus dituntun oleh Roh Tuhan. Penginjil memperlihatkannya dengan amat jelas. Roh Tuhan kadangkala disebut Penginjil sebagai Roh Kudus. Tuntunan Roh ini membuat Elisabet (1:41), Zakaria (1:67), Simeon (2:25) dan Yesus melakukan hal-hal yang baik. Apakah hidup kita juga dituntun oleh Roh Tuhan? Apa tandanya nyata bahwa hidup kita dituntun oleh Roh Tuhan? Roh­roh manakah yang kadangkala mengganggu relasi saya dengan Roh Tuhan?
4.    Yesus menegaskan bahwa diri-Nya datang untuk semua orang. Dalam manifesto-Nya, sekali lagi Dia memperlihatkan sikap Allah yang mengutus­Nya yaitu Dia datang untuk semua orang. Kelak, Yesus menyapa semua orang dari segala lapisan. Apakah kita juga memperlihatkan sikap yang sama kepada semua orang? Ataukah pelayanan dan perutusan kita hanya dikhususkan pada kelompok-kelompok tertentu, pada keluarga, pada orang-orang yang senang dengan kita, pada orang-orang seiman? Apakah kita takut menjadi pewarta Firman Tuhan di hadapan orang-orang yang belum mengetahui tentang Yesus?

II.           Saling Bersaksi Dan Mewartakan Dalam Keluarga (Kol. 3:12-17)

12Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. 13Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. 14Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. 15Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah. 16Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. 17Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.

Perikop ini dapat dibagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, ayat 12-14 berbicara tentang perlengkapan yang mutlak diperlukan bagi seorang pilihan Allah. Kedua, ayat 15-17 fokus pada sumber utama pewartaan yaitu Yesus sendiri.

Orang dan Jemaat di Kolose
Kolose terletak di wilayah Asia Kecil, sekitar 200 km timur kota Efesus, di wilayah yang pada masa itu dikenal se­bagai Frigia. Ketika orang Roma menak­lukkan daerah ini, mereka memasukkan wilayah ini ke dalam provinsi Asia. Kini wilayah itu adalah wilayah Turki. Pada masa Paulus Kolose membentuk tiga segitiga emas bersama dua kota lain, yaitu Hierapolis dan Laodikia, kira-kira 17 km ke arah utara dan barat, dengan Kolose sebagai kota yang tertua. Ketiga kota ini disebut Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose (4:13).

Paulus tidak membangun Jemaat di kota ini, meskipun dalam perjalanan misinya, ia melewati daerah Frigia. Jemaat di Kolose didirikan oleh Epa­fras yang mungkin mendengar warta Paulus di Efesus. Sesudah empat-lima tahun mewartakan Injil di wilayah ini, Epafras menemui banyak kesulitan. Se-lain tantangan yang diakibatkan oleh banyaknya penyembahan berhala, tan­tangan juga muncul dari orang-orang yang menuduh dia memberitakan ajar-an palsu. Padahal, merekalah yang me­wartakan ajaran palsu. Singgungan ten-tang hal ini disebutkan Paulus secara eksplisit sebagai berikut, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menu-rut Kristus” (2:8).

Tantangan lain datang dari komunitas Yahudi yang terlalu menuntut komu­nitas beriman untuk melaksanakan hukum Taurat yang berkaitan dengan makan, minum, hari raya, hari baru, dan hari Sabat (bdk. 2:16). Terhadap hal ini, Paulus menasihati mereka untuk mencari perkara yang di atas, perkara yang lebih dalam. Paulus menekankan pantangan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal du­niawi, yang umumnya dahulu dilakukan oleh orang-orang Kolose sebelum mereka bertobat (3:5-9).
Secara terus terang, Paulus menyebut orang-orang beriman di Kolose sebagai orang pilihan Allah, yang dipilih untuk memberikan kesaksian bagi orang­orang Kolose. Melalui merekalah Allah menunjukkan kasih-Nya. Karena itu, Paulus meminta mereka bertahan dan menjadi pemberi kesaksian yang benar.

Kenakanlah kasih,....
Rasul Paulus belum pernah bertemu dengan jemaat Kolose. Pengenalan Pau­lus tentang mereka diperoleh melalui Epafras (1:7), seorang yang giat bekerja memberitakan Injil di Kolose. Jemaat di Kolose cukup baik dan setia pada iman. Meskipun demikian, mereka se­dang menghadapi berbagai permasalah­an yang mengancam iman. Ancaman utama yang dihadapi mereka adalah penyembahan berhala (3:5) dan ajaran palsu tentang Yesus Kristus (bdk. 1:9-11, 2:8). Epafras akhirnya memilih untuk berangkat ke Roma, menemui Paulus di Roma untuk berkonsultasi menge­nai persoalan-persoalan tersebut. Dia mengharapkan wejangan dan kata-kata Paulus yang mumpuni untuk menjawab persoalan yang sedang mereka hadapi.
Menjawab persoalan pertama tentang penyembahan berhala, Paulus bukan hanya meminta mereka meninggalkan penyembahan berhala, melainkan juga secara tegas meminta mereka untuk mematikan perbuatan-perbuatan du­niawi yang sama dengan penyemba­han berhala (lih. 3:5-11). Untuk Paulus persoalan penyembahan berhala lebih menyangkut disposisi batin. Karena itu, pertama-tama orang harus mematikan perbuatan duniawinya seperti percabul­an, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan keserakahan. Deretan lain dari hal ini adalah marah, geram, kejahatan, fit­nah dan kata-kata kotor.

Upaya penyelesaian masalah pertama ini ditegaskan Paulus dengan mengajak umat Allah untuk menghidupi hal-hal yang positif yang merupakan keba­likan dari perbuatan-perbuatan duni­awi. Untuk maksud ini, pertama-tama Paulus menyapa orang Kolose sebagai orang-orang pilihan (3:12). Orang-orang pilihan ini dikuduskan dan dikasihi oleh Tuhan. Ucapan ini bukan hanya sekedar mengangkat martabat orang Kolose, namun memang demikianlah kenyata­annya. Mereka merupakan orang pilih­an untuk memberikan kesaksian yang lain tentang hidup yang kudus.

Selanjutnya, orang-orang yang dipilih ini diminta untuk mengenakan per­lengkapan rohani untuk melawan pe­nyembahan berhala. Jika deretan per­tama dari perbuatan duniawi berisikan lima hal negatif (percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan keser­akahan, lih. 3:5) yang mendatangkan murka Allah, orang-orang yang diku­duskan dan dikasihi Allah itu diminta untuk mengenakan lima kebajikan atau perbuatan baik yaitu belaskasihan, ke­murahan, kerendahan hati, kelemah­lembutan, dan kesabaran.
Dari semua keutamaan tersebut, Paulus secara khusus memberikan perhatian kepada kesabaran. Menjawab persoalan tentang kemarahan, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor (3:8), Paulus meminta orang-orang pilihan Allah ini untuk bersabar dan mengampuni. “Sa­barlah kamu satu terhadap yang lain...” (3:13). Kesabaran ini mesti dilengkapi lagi dengan semangat mengampuni dan tidak menaruh dendam. Jemaat diminta untuk mencontoh Tuhan.

Kelengkapan rohani terakhir yang di­pakai adalah kasih. Meskipun disebut terakhir, kasih melingkupi semuanya. Kasih memberikan warna terhadap semua kebajikan tersebut. Jika orang sudah memiliki kasih, hal-hal yang negatif tersebut akan dihilangkan dan yang muncul adalah hal-hal positif. Paulus sendiri yakin bahwa kasih me­rupakan tali pengikat yang memper­satukan semuanya. Pada titik terdalam, kasih menyempurnakan semuanya.

Berpalinglah kepada Kristus
Sehubungan dengan persoalan kedua yang berkaitan dengan ajaran palsu, Paulus memberikan banyak wejangan. Secara terang-terangan Paulus menga­jak umat Kolose untuk tidak terjebak dalam ajaran yang salah tentang Yesus Kristus. Dia sendiri sejak dari awal tu­lisannya menegaskan keutamaan Kris­tus. Baginya, Kristus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang utama dari segala yang diciptakan (1:15). Ka­rena itu, setiap orang hendaknya hidup dan berakar di dalam Dia (2:6-7).

Paulus tiba pada kesimpulan bahwa orang-orang pilihan Allah tersebut mesti diperkuat oleh Tuhan sendiri. Ka­rena itu, Paulus berharap bahwa mereka yang mengarahkan diri mereka kepada Tuhan, hendaknya dipenuhi dengan damai sejahtera Kristus dan hidupnya dikendalikan oleh kata-kata Kristus.

Paulus menyadari bahwa dalam meng­hadapi para pengajar palsu, orang­orang Kolose tidak bisa berkonfrontasi langsung. Selain mereka adalah orang­orang sederhana yang tidak meng­etahui banyak argumentasi tentang iman akan Yesus, konfrontasi itu akan menghasilkan pertikaian atau kon­flik. Epafras sendiri harus berangkat ke Roma menemui Paulus untuk mencari dukungan atas ajarannya. Berhadapan dengan situasi seperti ini, Paulus mem­inta orang-orang Kolose untuk mengu­tamakan perdamaian. Ia melihat contoh Yesus Kristus yang mendamaikan segala sesuatu dengan darah-Nya (1:20-22). Damai inilah yang diharapkan meraja di dalam hati setiap orang pilihan Allah. Sifat cinta damai akan mempersatukan semua pihak.

Meskipun demikian, Paulus menyadari bahwa umat Kolose akan berhadapan dengan orang-orang yang melakukan pelanggaran, yang patut ditegur. Pau­lus berharap bahwa teguran itu tetap dilakukan. Namun, teguran itu harus berdasarkan kata-kata Kristus sendiri (bdk. 3:18). Teguran juga merupakan pengajaran. Paulus sampai pada kes­impulan akhir bahwa semuanya harus dilakukan dalam nama Kristus. “....laku­kanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus....!” (3:17). Paulus menya­dari bahwa dia tidak mengenal dengan baik komunitas beriman di Kolose. Satu-satunya yang mempersatukan dia dengan komunitas ini adalah iman yang sama akan Tuhan Yesus. Jika kemudian mereka –yang diwakili oleh Epafras– mencarinya untuk menyelesaikan per­soalan yang mereka hadapi, penyelesa­ian tersebut harus dilakukan di dalam nama Tuhan sendiri. Kalaupun kemu­dian Paulus memberikan nasihat yang berhubungan dengan upaya menyele­saikan persoalan, dia tidak bisa mene­gur mereka dengan keras. Dia menga­rahkan mereka kepada Yesus.

Ungkapan “...lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus....!” menga­rahkan jemaat Kolose untuk senantiasa meneladan Kristus. Jika semuanya di­lakukan dalam nama Tuhan Yesus, tidak ada satu orang pun yang membawa kepentingannya sendiri dan kemudi­an merasuki dan merusak komunitas beriman yang ada. Sebab, Tuhan Yesus telah memberikan contoh untuk men­jadi pendamai, bukan saja pendamai di antara kita melainkan pendamai antara kita dengan Bapa (1:20).

Sejalan dengan pemikiran seperti ini, Paulus pun kemudian memberikan nasihat kepada keluarga-keluarga para anggota Jemaat untuk tetap melihat Yesus Kristus sebagai teladan mereka (bdk. 3:24). Paulus sendiri memberikan kesaksian bagaimana dia akhirnya men­derita (dipenjara) karena Kristus. De­ngan kesaksian ini, Paulus bisa mem­berikan wejangan yang berdaya guna, “....lakukanlah semuanya dalam nama Tuhan Yesus....!” (bdk. 4:3-4).



Refleksi
1.    Ketika membentuk keluarga, kita disadarkan bahwa persatuan tersebut dikehendaki Tuhan. Tuhanlah yang mempersatukan seorang lelaki dan seorang perempuan ke dalam keluarga. Keluarga menjadi sarana di mana orang-orang pilihan Tuhan tersebut mengekspresikan iman mereka dengan memberikan kesaksian tentang hidup yang baik. Apakah kita sudah menjadikan diri kita sebagai orang-orang pilihan Allah dalam keluarga kita? Apa-apa saja yang kita kenakan dalam keluarga kita? Apakah cinta Tuhan sungguh melingkupi keluarga kita?
2.    Setiap keluarga pasti ingin melakukan yang terbaik, ingin memberikan yang terbaik satu bagi yang lain. Apa motivasinya? Apakah semua kegiatan keluarga melibatkan Tuhan dalam perencanaan dan pelaksanaannya?

III.         Bersaksi Dan Mewartakan Dalam Gereja (Kis. 18:1-8)

1Kemudian Paulus meninggalkan Atena, lalu pergi ke Korintus. 2Di Korintus ia berjumpa dengan seorang Yahudi bernama Akwila, yang berasal dari Pontus. Ia baru datang dari Italia dengan Priskila, istrinya, karena kaisar Klaudius telah memerintahkan, supaya semua orang Yahudi meninggalkan Roma. Paulus singgah ke rumah mereka. 3Dan karena mereka melakukan pekerjaan yang sama, ia tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah. 4Dan setiap hari Sabat Paulus berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani. 5Ketika Silas dan Timotius datang dari Makedonia, Paulus dengan sepenuhnya dapat memberitakan firman, di mana ia memberi kesaksian kepada orang-orang Yahudi, bahwa Yesus adalah Mesias. 6Tetapi ketika orang-orang itu memusuhi dia dan menghujat, ia mengebaskan debu dari pakaiannya dan berkata kepada mereka: “Biarlah darahmu tertumpah ke atas kepalamu sendiri; aku bersih, tidak bersalah. Mulai dari sekarang aku akan pergi kepada bangsa-bangsa lain.” 7Maka keluarlah ia dari situ, lalu datang ke rumah seorang bernama Titius Yustus, yang beribadah kepada Allah, dan yang rumahnya berdampingan dengan rumah ibadat. 8Tetapi Krispus, kepala rumah ibadat itu, menjadi percaya kepada Tuhan bersama-sama dengan seisi rumahnya, dan banyak dari orang-orang Korintus, yang mendengarkan pemberitaan Paulus, menjadi percaya dan memberi diri mereka dibaptis.

Kis. 18:1-8 ini merupakan satu bagian dari Kis. 18:1-18 yang mengisahkan tentang keberadaan Paulus selama 18 bulan di Korintus. Bagian yang dibahas di sini merupakan kisah-kisah awal Paulus berada di Korintus, di mana dia bertemu dengan rekan sekerjanya dalam iman, yakni Akwila dan Priskila. Kegiatan Paulus di tempat ini kemudian ditopang dengan kehadiran dua orang kepercayaannya yaitu Timotius dan Silas. Meskipun demikian, kehadiran Paulus tetap menjadi perdebatan dan dia kemudian memutuskan untuk perlahan-lahan menyingkir. Perikop ini pun dapat dibagi atas dua bagian besar yaitu Kis. 18:1-5 yang berisi kegiatan Paulus yang berapi-api di Korintus. Bagian kedua adalah Kis. 18:6-8 yang memuat kisah tentang tanggapan Paulus atas penolakan orang-orang terhadap kehadirannya.


Kota Korintus
Kota Korintus berada di tanah genting Korintus, yang terbentang antara kota Peleponesus dan Yunani daratan. Kota ini sudah ada sejak masa kekuasaan Yunani. Sekitar tahun 146 SM ditakluk­kan oleh orang-orang Roma, di bawah pimpinan Lucio Mummio, tetapi kemu­dian ditinggalkan kosong. Kota ini didi­rikan kembali oleh Yulius Caesar pada tahun 44 SM. Meskipun kota ini kemu­dian dihuni oleh banyak orang, tidak ada penduduk aslinya. Jumlah penduduknya kurang lebih sekitar 600.000 orang yang terdiri dari orang Romawi dan Yunani. Komposisi penduduknya adalah para prajurit dan para budak atau bekas budak. Hanya sedikit orang saja yang kaya. Komposisi seperti ini tentu saja menimbulkan kesenjangan sosial yang besar.

Satu kultus yang amat terkenal di kota ini adalah kultus kepada Afrodite. Kul­tus kepada dewi agung kota Korintus ini dilakukan setiap hari dibarengi dengan percabulan umum. Kultus ini dengan sendirinya menyebabkan kejatuhan moral.

Paulus di Korintus
Paulus baru saja selesai mewartakan Yesus di Atena, kurang lebih 70 km dari Korintus. Dia menemui kegagalan di Atena karena setelah mewartakan ‘Allah yang tidak dikenal’ di Aeropagus Atena, ajaran Paulus disepelekan, meskipun beberapa orang bertobat dan menjadi percaya. Paulus meneruskan perjalan­annya ke arah barat menuju Korintus. Keterbukaan kota ini terhadap orang­orang asing membuat Paulus tidak menemui kesulitan untuk berinteraksi dengan warga Korintus.

Satu keluarga yang menerima Paulus adalah keluarga Akwila dan Priskila. Ke­luarga ini baru tiba dari Roma. Seturut penulis Kisah Para Rasul, keluarga ini – dan keluarga Yahudi lainnya – diusir dari Roma oleh Kaisar Klaudius. Sebabnya adalah adanya perdebatan yang meng­arah ke konflik di antara kaum Yahudi mengenai Yesus. Perdebatan ini sudah meluas dan berpotensi merusakkan sta­bilitas keamanan di kota Roma. Untuk itu, Kaisar Klaudius mengeluarkan pe­rintah kepada orang Yahudi untuk me­ninggalkan kota Roma.

Paulus memilih tinggal bersama mere­ka dengan dua alasan. Pertama, ka­rena mereka seiman. Memang tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa kedua orang Yahudi ini adalah orang Kristiani. Namun, jika dilihat dari perjuangan mereka dalam kisah selanjutnya, teru­tama yang mereka lakukan di Efesus (18:26), kita akan mengerti bahwa kedu­anya adalah pengikut Kristus sejati.

Alasan kedua adalah karena mereka memiliki kesamaan dalam pekerjaan, yaitu pembuat tenda. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang umum dan tidak banyak memerlukan ketrampilan yang rumit. Termasuk di dalam kate­gori pekerjaan ini adalah memperbaiki tenda yang rusak. Bisa dikatakan bahwa baik Paulus maupun Akwila memang memerlukan pekerjaan untuk men­dukung kehidupan mereka. Kesamaan pekerjaan mempersatukan mereka. Apa yang dilakukan Paulus ini dimak­sudkan untuk tidak membebani umat atau siapapun. Dia mau mendapatkan dukungan finansial dan akomodasi bagi dirinya sendiri.
Ketakutan Paulus adalah jika dia ber­gantung pada orang lain, akan ada kesan bahwa pewartaan yang dilaku­kannya merupakan pekerjaan untuk mendapatkan kemapanan bagi hidupn­ya. Jika ini yang terjadi, pewartaan Pau­lus akan memiliki kekurangan. Padahal, ia tidak mengharapkan apa-apa dalam pewartaannya. Hal ini secara tegas dinyatakannya dalam suratnya kepada jemaat Korintus sebagai berikut, “Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberi­takan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil.” (1Kor 9:18) Paulus ingin agar dia tidak membebani orang lain. Dengan bertindak demikian, dia bisa menegur orang yang tidak bekerja, yang membebani hidup orang lain. Ia sendiri mengungkapkan hal ini dalam suratnya kepada jemaat Tesalonika,
“Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini ke­pada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. Kami katakan ini ka­rena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna” (2Tes. 3:10-11). Karena itulah Paulus bekerja untuk se­dapat mungkin memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dengan ini, Paulus menghindarkan pandangan orang yang menilainya sebagai orang yang mema­nipulasi pewartaan demi kemapanan atau kenyamanan hidupnya.

Bantuan datang
Pelayanan Paulus kemudian mendapat­kan bantuan. Timotius dan Silas datang menguatkan pewartaan Paulus. Timo­tius berasal dari Listra, tempat di mana dia pertama kali berjumpa dengan Pau­lus dalam perjalanan misi kedua sekitar tahun 50 (Kis. 16:2-4). Sedangkan Silas adalah orang pilihan para rasul dan para penatua di Yerusalem untuk diu­tus ke komunitas beriman di Antiokhia (bersama Yudas Barsabas, Paulus dan Barnabas) untuk menjawab pertanyaan orang-orang Antiokhia tentang sunat (Kis. 15:22). Selanjutnya, Silas dipilih Paulus untuk menemaninya dalam per­jalanan misinya yang kedua. Bersama Paulus, Silas pun dipenjara sesaat di Filipi sebelum dibebaskan secara ajaib (Kis. 16:25-37).

Timotius dan Silas ditinggalkan Paulus di Berea, di wilayah Makedonia (Kis. 17:14). Ketika terjadi huru-hara di Tesa­lonika (Kis. 17:1-9), Paulus diungsikan ke Berea. Orang-orang Tesalonika terus menghasut orang Berea sehingga Pau­lus pun segera menyeberang ke Atena, namun dia meninggalkan Timotius dan Silas di Berea. Keduanya ditinggalkan Paulus untuk tetap memberikan pe­neguhan kepada jemaat yang ada, ka­rena Paulus merasa bahwa orang-orang Yahudi di Berea lebih terbuka dan me­nerima ajaran Paulus.

Kedatangan kedua orang ini merupa­kan bantuan yang amat besar bagi Paulus karena memang Paulus mengharap­kan kedatangan mereka (Kis. 17:16). Bantuan ini bisa dibaca dalam dua hal. Pertama, Paulus menemukan kembali orang-orang yang memiliki komitmen yang sama terhadap pewartaan Sabda Tuhan. Keduanya telah berjalan ber­sama Paulus sejak perjalanannya yang pertama (bersama Silas) dan yang kedua (bersama Timotius). Keduanya bisa diandalkan. Terbukti bahwa Pau­lus amat mempercayai mereka. Kelak, melalui mereka Paulus mengirimkan surat-suratnya dan bahkan ia mengutus mereka kepada komunitas-komunitas yang dianggapnya perlu mendapatkan bantuan. Karena itu, kedatangan ke­duanya, sungguh merupakan hiburan yang besar bagi Paulus.

Kedua, keduanya membantu Paulus dalam bidang finansial, sehingga Pau­lus tidak terlalu sibuk dengan urus­an ini. Timotius dan Silas membawa bantuan finansial bagi Paulus. Paulus sendiri menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan seperti ini dalam surat-suratnya (2Kor. 11:8-9). Meskipun dalam perikop ini tidak disebutkan se­cara eksplisit bahwa Timotius dan Silas membawa bantuan, secara implisit bisa diketahui bahwa Paulus menerima ban­tuan tersebut. Bantuan ini membuat Paulus tidak perlu membagi banyak waktunya untuk mencari dukungan finansial. Praktisnya, dia bisa mening­galkan pekerjaan membangun tenda dan “secara penuh” berkonsentrasi pada karya pewartaan (lih. ayat 5).

Misi dihambat
Kedatangan Paulus di Korintus me­mang diterima dengan baik. Namun, ada pula yang merasa terganggu den­gan kehadirannya. Gangguan ini datang dari komunitas Yahudi. Indikasi peno­lakan dari komunitas Yahudi ini terung­kap dalam kata-kata Paulus, “...mulai dari sekarang aku akan pergi kepada bangsa-bangsa lain” (ay. 6). Konteks bangsa-bangsa lain selalu berhubungan dengan bangsa non-Yahudi. Lihat mis­alnya ungkapan eksplisit yang disam­paikan Paulus kepada jemaat di Roma.

Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang di­tuntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri (Rom 2:14).

Atau ungkapan lain dikatakan Paulus ketika menegur Paulus yang secara mu­nafik menolak makan dengan orang-­orang kafir.

“Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: “Jika engkau, seorang Ya­hudi, hidup secara kafir dan bukan secara Ya­hudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?” Menurut kelahiran kami adalah orang Yahudi dan bukan orang berdosa dari bangsa-bangsa lain” (Gal 2:14-15).

Dalam kesempatan lain, Paulus selalu mendahulukan bangsa Yahudi, meski­pun dia juga memiliki misi utama untuk menjadi rasul bangsa-bangsa. Misalnya dalam suratnya kepada jemaat di Roma dia menulis, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, kare­na Injil adalah kekuatan Allah yang me­nyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (Rom 1:16). Paulus pun beralih kepada bangsa lain. Peralihan ini diwakili oleh dua nama yaitu Titius Yustus dan Krispus.

Dia meninggalkan Akwila yang adalah seorang Yahudi dan menumpang di rumah Titius Yustus. Siapakah Titius Yustus? Perikop hanya menyebutnya sebagai orang yang beribadah kepada Allah (ay. 7). Namun, dari namanya, bisa dipastikan bahwa dia bukan se­orang Yahudi. Namanya menunjukkan bahwa dia adalah seorang Romawi.

Itu tidak berarti bahwa Paulus mem­benci keluarga Akwila yang telah me­nerimanya ke dalam keluarga mereka. Apa yang dilakukan Paulus ini untuk menghindari perdebatan yang tidak perlu terhadap keberadaannya di antara orang Yahudi. Paulus tetap menjalin re­lasi dengan Akwila dan Priskila. Hal ini terbukti dengan kehadiran Akwila dan Priskila di Efesus, ketika Paulus pindah ke Efesus (Kis. 18:19).
Meskipun beralih kepada bangsa-bang­sa lain, Paulus tetap terikat pada rumah ibadat. Bisa jadi pilihan untuk tinggal di rumahnya Titius Yustus disebabkan karena rumahnya bersebelahan (atau berdekatan) dengan rumah ibadat. Ini akan tetap memudahkan Paulus untuk berhubungan dengan komunitas ber­iman. Paulus senantiasa memiliki ke­biasaan untuk mengunjungi rumah­rumah ibadat. Ayat 4 perikop ini sudah menunjukkan kebiasaan Paulus ini, “Dan setiap hari Sabat Paulus berbi­cara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani.” Maka, dengan berada dekat rumah ibadat, Paulus bisa tetap mewartakan Yesus ketika orang­orang berkumpul. Kalau pun tidak lagi berhubungan dengan komunitas Ya­hudi, setidak-tidaknya dia masih bisa berkumpul dengan orang-orang non Yahudi. Terbukti Paulus masih bisa bertahan lama di Korintus. Dia menghabiskan 18 bulan di Korintus sebelum berpindah ke Efesus.

Panenan Paulus
Pewartaan Paulus di Korintus mem­buahkan hasil, meskipun tidak seba­nyak yang diharapkan. Perikop ini me­nyebut satu nama utama yaitu Krispus dengan jabatan sebagai kepala rumah ibadat yang menjadi percaya. Pada ke­sempatan lain, Paulus menyebut juga Gayus sebagai orang yang dibaptis ber­sama dengan Krispus (1Kor. 1:14). Demi­kian juga cukup banyak orang Korintus yang menjadi percaya dan dibaptis. Inilah awal dari jemaat yang didirikan Paulus di Korintus. Kelak dia tetap berhubungan dengan mereka. Mereka juga senantiasa meminta bantuan Pau­lus terhadap kesulitan-kesulitan dalam komunitas mereka. Apapun hasilnya, Paulus telah menanamkan benih Sabda Tuhan di Korintus. Perikop secara ek­splisit menyebut orang-orang non Ya­hudi sebagai orang-orang yang percaya kepada pemberitaan Paulus. Ini sejalan dengan tugas Paulus untuk menjadi rasul di antara bangsa-bangsa lain.



Refleksi
1. Persatuan ke dalam komunitas. Pewartaan Sabda Tuhan mesti berawal di dalam komunitas Kristiani itu sendiri. Di dalam komunitas itu, setiap orang beriman mengekspresikan imannya dan memberikan kesaksian hidup satu terhadap yang lain. Paulus dan keluarga Akwila tidak pernah saling kenal sebelumnya. Namun, mereka akhirnya dipersatukan oleh satu iman akan Allah. Mereka pun saling mendukung dan hidup rukun dalam satu komunitas keluarga. Mereka tidak saling membebani, namun menyumbangkan sejauh dapat apa yang bisa mereka berikan kepada komunitas mereka, misalnya waktu untuk berada bersama, kerjasama, nafkah, dan sebagainya. Dari pihak Paulus, pasti ia memberikan pengajaran yang lebih mendalam akan Kristus. Dari kesaksian ini, mereka diteguhkan satu sama lain sehingga mereka mampu menjadi saksi dan pewarta iman bagi komunitas atau orang-orang di luar komunitas mereka. Apakah komunitas-komunitas kita sungguh mencerminkan persatuan dalam iman? Apakah kita pernah bekerjasama atas dasar iman kita kepada Kristus sebagai wujud nyata kesaksian kita terhadap sesama? Apakah yang bisa kita berikan ke dalam komunitas kita? Ataukah kita malah membebani komunitas kita dengan berbagai soal dan menciptakan perpecahan dalam komunitas kita?
2. Saling menolong dan mendukung dalam pemberitaan. Kedatangan Timotius dan Silas merupakan bantuan yang amat besar bagi Paulus. Kedatangan Timotius dan Silas membawa serta pesan persatuan universal dari komunitas-komunitas beriman yang telah dibentuk Paulus. Meskipun bukan satu-satunya cara, wujud nyata dari persatuan ini adalah solidaritas bantuan finansial yang dibawa oleh Timotius dan Silas, yang mana kemudian meringankan beban Paulus. Apa yang dilakukan Timotius dan Silas ini membawa pesan bahwa kita tidak dapat berjuang sendiri-sendiri. Kita terjalin satu sama lain dan kita perlu bekerja sama. Dukungan terhadap perbuatan baik merupakan juga kesaksian iman. Apakah kita juga memberikan dukungan bagi pewartaan iman di dalam komunitas kita? Ataukah kita hanya menjadi penonton dan membiarkan saudara-saudara seiman kita berjuang sendirian? Bagaimana solidaritas kita dengan komunitas lain yang mungkin lebih memerlukan bantuan kita? Pernahkah kita memikirkan cara tertentu untuk membantu pewartaan Sabda Tuhan di wilayah-wilayah misi yang masih sulit?
3.  Tidak menyerah. Paulus memang ditolak oleh komunitas Yahudi. Namun, dia tidak kehilangan akal dan tidak lari dari Korintus. Dia tetap mewartakan dan bersaksi tentang Sabda Tuhan. Dia hanya beralih ke komunitas lain. Justru di sinilah letak rahmat Tuhan. Tuhan memang menginginkan Paulus menjadi pewarta Sabda juga kepada bangsa-bangsa lain. Mengapa? Karena Paulus mengalami sendiri dibesarkan di tengah bangsa-bangsa non-Yahudi di Tarsus. Paulus kemudian mencurahkan perhatiannya secara penuh kepada umat di Korintus. Setelah membentuk komunitas beriman di Korintus, dia tetap memiliki kontak dengan mereka. Dia menulis surat peneguhan kepada mereka. Bagaimana tindakan kita jika pewartaan dan kesaksian hidup kita ditolak, terutama oleh orang-orang seiman? Apakah kita menyerah dan berkompromi dengan mereka yang menolak kesaksian kita? Ataukah kita memikirkan cara lain untuk tetap menunjukkan komitmen kita menghidupi iman kita?



IV.         Bersaksi Dan Mewartakan Di Tengah Masyarakat (Mat. 5:13-16)

13”Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. 14Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.”

Perikop pendek ini memuat tiga perumpamaan yaitu tentang garam, kota dan pelita. Kota dan pelita sama-sama memiliki pesan yang sama yaitu terang. Kota di atas bukit itu dengan sendirinya dapat terlihat dengan jelas, demikian pula pelita yang bernyala akan memberikan terang. Karena itu, perikop singkat ini dapat dibagi atas dua bagian. Bagian pertama yaitu ayat 13 yang berbicara tentang garam, dan bagian kedua yaitu ayat 14-16 yang berbicara tentang terang.

Konteks
Perikop ini ditempatkan sesudah Yesus mengucapkan Sabda Bahagia. Melalui Sabda Bahagia, Yesus sebenarnya men­gajar para murid-Nya tentang jalan men­uju kebahagiaan yang sesungguh-nya. Secara sepintas kelihatan bahwa Sabda Bahagia itu menempatkan para murid Yesus sebagai orang yang terpisah dari kelompok yang lain dan terkesan sangat idealistik. Ajaran Yesus ini bisa disama­kan dengan cara hidup monastik, yang menekankan aspek kontemplatif penuh keheningan, yang tidak menerima real­itas dunia apa adanya dengan semangat perdamaian dan ketenangan batin.

Pada perikop tentang garam dan terang dunia ini, Yesus mengarahkan para murid-Nya untuk terlibat dalam dunia, tempat mereka tinggal. Mereka tidak memisahkan diri dari dunia. Sebalik­nya, mereka harus terlibat di dalam dunia berada bersama orang lain. Yesus meminta mereka untuk berbuat lebih. Para murid-Nya harus mampu menun­jukkan eksistensi dan identitas mereka sebagai pengikut-Nya. Kesaksian hidup di tengah dunialah yang menegaskan kemuridan mereka. Ajakan untuk men­jadi garam dunia dan terang dunia men­jadi praktek nyata dari Sabda Bahagia yang diajarkan Yesus. Sabda Bahagia itu bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga mesti masuk dan mengubah hidup semua orang. Sama seperti garam dan terang memberikan manfaat bagi yang lain, Yesus berharap agar para murid­Nya bisa membawa manfaat bagi dunia.

Kamu adalah garam dunia
Topik tentang garam memang banyak juga disebutkan baik dalam Perjan­jian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Beberapa gambaran fungsi garam dalam Kitab Suci dapat disebutkan di sini. Pertama, garam dihubungkan de­ngan persembahan. Garam pun men­jadi bahan utama dalam persembahan. Hal ini misalnya disebutkan dalam Im. 2:13 dan Yeh. 43:24. Dalam kedua teks itu disebutkan bahwa tiap-tiap persem­bahan haruslah dibubuhi garam. Tidak diketahui pasti alasan pembubuhan garam karena pembubuhan garam senantiasa berhubungan dengan peng­awetan daging dan mencegah percepat­an pembusukan. Pengawetan hanya bisa dimengerti kalau kurban persem­bahan tersebut disimpan. Padahal kur­ban persembahan umumnya dibakar dan tidak disimpan.

Kedua, garam disebut dalam ‘perjan­jian garam’ (Bil. 18:19; Im. 2:13; 2Taw. 13:5). Idiom perjanjian garam berkaitan dengan sifat garam yang berfungsi mengawetkan, membuat makanan ber­tahan lebih lama. Sesuai aturan, para imam yang menyampaikan persembah­an harus membubuhkan garam pada persembahan mereka. Arti dari pem­bubuhan ini adalah agar ikatan perjan­jian antara orang yang mempersem­bahkan dengan Tuhan tetap bertahan hingga kekal. Dalam konteks ini, per­janjian garam berarti perjanjian yang ditandai dengan garam untuk menun­jukkan komitmen kesetiaan satu sama lain. 2Taw. 13:15 menegaskan hal ini, “Tidakkah kamu tahu, bahwa TUHAN Allah Israel telah memberikan kuasa kerajaan atas Israel kepada Daud dan anak-anaknya untuk selama-lamanya dengan suatu perjanjian garam?” Garam –yang berfungsi mencegah pembusu­kan– dipilih karena sesuai kebiasaan, garam dipakai untuk memperkuat kese­tiaan dalam persahabatan. Orang yang berikrar untuk saling setia akan makan garam bersama-sama.

Ketiga, Elisa melakukan mukjizat dan memakai garam untuk menyucikan air minum yang kotor (2Raj. 2:19-23). De­ngan melemparkan garam ke mata air, air tersebut disucikan dan tidak lagi ter­jadi keguguran bagi orang yang meng­konsumsinya. Hubungan antara garam dengan penyucian seperti ini mungkin berasal dari Kel. 30:35 di mana garam menjadi bahan dasar untuk ukupan yang disebut murni dan kudus.

Keempat, garam juga disebutkan dalam kitab Ayub sebagai bumbu dasar yang tidak bisa dipisahkan dari makanan (Ayb. 6:6). Lebih dalam lagi, garam di­sebut sebagai hal dasar yang dibutuh­kan manusia, selain air, api dan besi (Ams. 39:26).

Kelima, garam juga dihubungkan de­ngan perdamaian. “Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.” (Mrk. 9:50). Hubung­an ini bisa saja dihubungkan dengan perjanjian garam. Melalui perjanjian garam, orang diikatkan oleh perjanjian untuk saling setia. Maka, dengan memi­liki garam, orang senantiasa diingatkan bahwa dia harus hidup berdamai de­ngan sesamanya. Dirinya sendiri sudah menjadi garam perjanjian.

Dari uraian di atas, dapatlah diketa­hui bahwa garam memiliki peran sen­tral dalam kehidupan orang Yahudi. Garam bahkan dipakai sebagai bahan utama yang tidak boleh dilupakan dalam persembahan. Garam pun men­jadi tanda ikatan kesetiaan. Apa pun fungsinya, selain memiliki fungsi me­nambah rasa pada makanan dan meng­awetkan makanan, garam pun memiliki kaitan yang erat dengan hidup religius orang Yahudi.

Yesus meminta para pendengar-Nya menjadi garam dunia. Itu berarti orang mesti mengamalkan kesetiaan-Nya ke­pada agamanya atau hidup religiusnya dan menampakkan kesetiaan ini ke­pada dunia. Dia sendiri menjadi garam yang mewarnai hidup religius sesamanya. Dia bisa menghantar orang untuk menyadari ikatan perjanjian mereka dengan Tuhan. Itu berarti bahwa dia memberi dirinya sendiri menjadi tanda yang menghadirkan Tuhan dan meng­hantar orang kepada Tuhan.

Tidak dapat dibayangkan kalau garam itu menjadi tawar. Esensi dari garam adalah asin. Penginjil memakai kata mōrainō untuk menggambarkan garam yang menjadi tawar. Selain berarti “menjadi hambar,” kata mōrainō juga berarti “menunjukkan kebodohan,” atau “menjadi bodoh.” Jika dikenakan kepada para murid yang diminta Yesus untuk menjadi garam dunia, kehilangan rasa asin sama dengan kehilangan iden­titas dan menjadi bodoh. Itu berarti dengan menjadi garam dunia, seorang murid mesti menunjukkan identitasnya secara jelas kepada dunia. Dalam kon­teks kemuridan Yesus, menjadi garam dunia berarti menunjukkan identitas mereka sebagai murid Yesus.

Kamu adalah terang dunia
Terang adalah kata yang banyak sekali dipakai dalam Kitab Suci. Terang men­jadi ciptaan pertama yang diciptakan Tuhan (Kej. 1:3). Dalam perjalanan se­jarah umat Israel, simbol terang me­mainkan peran yang amat penting. Ke­tika berjalan di malam hari di padang gurun, TUHAN datang dalam bentuk tiang api untuk menerangi dan menun­tun mereka (Kel. 13:21). Ketika berada dalam kekelaman, Israel dijanjikan raja damai yang lahir sebagai terang yang besar (Yes. 9:1). Kutipan ini kemudian diambil oleh Penginjil Matius untuk melukiskan kelahiran Yesus.

Penginjil Yohanes secara eksplisit meli­hat Yesus sebagai Terang, “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia” (Yoh. 1:9). Warna yang serupa ditampil­kan oleh Yesus ketika menyinggung kesaksian Yohanes Pembaptis tentang diri-Nya. Yesus pun menyebut Yohanes Pembaptis sebagai pelita yang menyala dan yang bercahaya (bdk. Yoh. 5:35). Selanjutnya dalam keseluruhan injil Yo­hanes, tema terang menjadi warna khas yang mewarnai perjalanan Yesus.

Terang memiliki peran yang besar. Per­tama, dia membuat segala sesuatu men­jadi kelihatan. Terang memungkinkan orang untuk melihat benda-benda atau apa saja. Sejauh terang itu ada, mata manusia bisa melihat sesuatu dengan baik. Karena itu, esensi dari terang ada­lah menampakkan hal-hal yang tersem­bunyi. Terang membuat kegelapan itu sirna. Yesus menjelaskan fungsi terang ini dengan menyebutkan bahwa pelita yang bernyala harus diletakkan pada kaki pelita sehingga bisa menerangi semua orang di dalam rumah (ay. 15).

Kedua, terang bisa menjadi penuntun orang. Ketika berjalan di padang gurun yang gelap, Tuhan nampak dalam tiang api untuk menuntun bangsa Israel pada jalur yang benar (Kel. 13:21-22). Ketika berjalan dalam gelap, orang memakai penerang agar ia bisa melihat jalan mereka dan dengan demikian ia tertun­tun ke tempat tujuannya. Sebaliknya, ketiadaan penerang atau cahaya akan membuat orang menerka-nerka arah tujuan mereka. Pada akhirnya, orang tersebut bisa tiba di tempat yang lain atau malah tersesat.
Yesus memberikan ajakan agar para murid-Nya menjadi terang dunia. Se­jalan dengan fungsi terang di atas, da­patlah disebutkan bahwa para murid di­harapkan untuk menjadi penerang dan penuntun bagi semua orang di dunia.

Pada tempat pertama, kehadiran para murid mesti membuat orang mampu melihat karya Tuhan yang tersembunyi oleh mata biasa. Karena para murid me­nerima Terang dalam iman mereka dari Yesus, mereka pun diajak oleh Yesus untuk memancarkan terang tersebut sehingga orang mampu melihat Yesus, Sang Terang sejati. Hal ini nampak dalam perbuatan-perbuatan baik (bdk. ay. 16). Contoh perbuatan baik diung­kapkan Yesus dalam perikop tentang penghakiman terakhir (25:31-45).

Pada sisi lain, menjadi terang dunia berarti pula menjadi penuntun orang untuk menemukan Terang sejati. Peng­ikut Yesus diminta untuk menjadi ‘tiang api’ yang menjadi penerang bagi orang dalam kegelapan. Dalam hal prak­tis, orang dituntun kepada iman yang benar akan Tuhan. Tujuan akhir dari Yesus sebenarnya adalah memberikan kesaksian hidup yang baik, yang jauh lebih berdaya guna dari kata-kata. Jika kata-kata memerlukan medium (yaitu buku atau tulisan) untuk diketahui dan dimengerti, tindakan atau praktek hidup mampu menghadirkan pesan se­cara langsung. Ungkapan ‘kamu adalah terang dunia’ pun menjadi ajakan untuk bertindak secara nyata, dengan cara menjadi terang bagi orang lain.

Hendaklah terangmu bercahaya, supaya...
Yesus kemudian memberikan wejangan agar para pengikut-Nya tidak ragu-ragu untuk menjadi terang dunia. Terang itu harus bercahaya, membias dan mene­rangi semuanya. Untuk meyakinkan para murid-Nya tentang hal ini, Yesus memberikan dua contoh konkrit.

Pertama, Yesus berbicara tentang kota di atas bukit. Kota yang berada di atas bukit tentu tidak akan tersembunyi. Kota itu akan terlihat dengan amat jelas. Dengan perumpamaan ini Yesus hen­dak menyatakan bahwa para pengikut­Nya harus menampakkan diri dengan jelas. Mereka tidak boleh menyembu­nyikan identitas mereka sebagai orang Kristiani. Secara analog, karena berdiri di atas bukit iman yang kokoh, mereka tidak perlu takut untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai pengikut Yesus. Singgungan akan ketegasan ini terungkap dalam kata mōrainō seba­gaimana yang telah dijelaskan di atas. Orang yang tidak menunjukkan eksis­tensi dirinya adalah orang dangkal dan tawar. Orang harus berani menunjuk­kan dirinya dan membuat cahaya iman­nya menjadi jelas terlihat.

Kedua, Yesus memakai perumpamaan tentang pelita yang bernyala. Sangat ironis jika orang menyalakan pelita lalu meletakkan di dalam tempayan. Nyala pelita akan terperangkap dalam tempayan tersebut dan tentu saja tidak ada gunanya. Yesus menggunakan kata modios untuk menggambarkan ten-tang tempayan. Kata ini sesungguhnya berarti satu gentong yang bisa memuat sekitar 8,75 liter barang. Modios sendiri biasa digunakan sebagai tempat meng­ukur gandum. Karena itu, menempat­kan pelita di bawah modios merupakan sebuah tindakan yang bodoh (bdk. kata mōrainō) yang sama sekali tidak mem­bawa kegunaan apa pun. Yesus mem­beri makna lain dari kenyataan sehari­hari bahwa pelita itu diletakkan di atas kaki pelita sehingga bisa menerangi ruangan. Artinya, pelita hanya berguna jika nyalanya menerangi seisi rumah.

Akhirnya, Yesus memberikan simpul­an atas wejangan-Nya. Ia menegaskan bahwa para pengikut-Nya hendaknya membiarkan cahaya iman mereka ber­cahaya. Kali ini, Yesus mengungkapkan dua alasan penting dari wejangan-Nya. Pertama, ketika cahaya iman itu dibi­arkan menyala dan menerangi semua orang, orang akan dengan jelas meli­hat perbuatan baik para pengikut-Nya (bdk. ayat 16). Kebaikan mesti juga tam­pak dalam kehidupan nyata. Jika setiap orang mempromosikan dan melakukan kebaikan, dunia akan penuh dengan ke­baikan. Sebaliknya, ketika orang-orang baik tidak menampakkan cahaya keba­ikan mereka, dunia akan terasa suram dan akan dipenuhi dengan rasa curiga.

Pada tempat kedua, ketika cahaya iman itu bersinar di depan orang, orang akan memuliakan Bapa yang di surga (ay. 16). Ungkapan ini lebih menekankan aspek vertikal. Setiap pengikut Yesus mene­rima cahaya yang dari Yesus melalui pembelajaran selama berada bersama Yesus. Mereka kemudian memancar­kan kembali cahaya tersebut kepada sesama. Jika ditelusuri lebih jauh, akan kelihatan bahwa asal mula cahaya itu adalah dari Bapa di surga karena Allah adalah Terang (lih. 1Yoh. 1:5). Tuhan­lah yang menciptakan terang (Kej. 1:3) dan melalui Yesus, Bapa memberikan kemungkinan bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam terang. Itulah sebabnya, pada akhirnya Bapalah yang dimuliakan.

Metafora garam dan terang mengang­kat tema tentang keterlibatan orang Kristiani di tengah dunia. Orang Kris­tiani tidak dipanggil untuk menguasai struktur kekuasaan sekular, melainkan dipanggil untuk secara aktif menjadi orang yang terlibat dalam memperlihat­kan Terang yang sesungguhnya.



Refleksi
1. Menjadi garam dunia. Garam memiliki banyak fungsi, yang pada umumnya membawa hal-hal baik. Namun, untuk merasakan kebaikannya, garam mesti melarutkan dirinya. Apakah kita sudah menjalankan permintaan Yesus untuk menjadi garam dunia? Fungsi garam macam mana yang kita bawa ke dalam keluarga dan masyarakat anda? Ataukah kita takut menjadi larut dan hilang tanpa dikenal padahal kita melakukan hal-hal yang baik? Apakah kita melakukan hal-hal yang baik hanya supaya kita menjadi terkenal dan diketahui banyak orang? Ataukah kita melakukan hal-hal yang baik termotivasi oleh keinginan agar orang melihat hal-hal yang baik tersebut dan melanjutkannya dalam hidup mereka?
2. Menjadi terang dunia. Yesus meminta para pengikut-Nya untuk menjadi terang dan Dia memberikan wejangan yang lebih panjang tentang terang daripada tentang garam. Apakah kita sungguh-sungguh menampakkan eksistensi iman kita di tengah masyarakat sebagai pengikut Kristus dalam hidup kita? Ataukah kita takut mengungkapkannya dengan berbagai alasan? Apakah kita sungguh menghadirkan terang dalam keluarga dan masyarakat kita? Ataukah malah kita membuat segala sesuatunya menjadi kabur dan gelap karena manipulasi dan keinginan pribadi kita? Apakah kita berani melakukan kebenaran dan mencerahkan banyak orang dengan perilaku dan tutur kata kita yang baik? Ataukah kita malah menjadi kecut dan menyembunyikan kebaikan kita dengan menyimpannya di bawah gantang?

Daftar Pustaka
Albright, W. F., & Mann, C. S., Matthew: Introduction, Translation, and Notes. New Haven, London: Yale University Press., 2008.
Barth, M., Blanke, H., & Beck, A. B. Colossians: A New Translation With Introduction and Commentary. New Haven, London: Yale University Press., 2008.
Bromiley, G. W., The International Standard Bible Encyclopedia,Grand Rapids, MI.: William. B. Eerdmans, 2002.
Davies, W. D., & Allison, D. C., A Critical and Exegetical Commentary on the Gospel According to Saint Matthew. London, New York: T&T Clark International, 2004.
Elwell, W. A., & Beitzel, B. J., Baker Encyclopedia of the Bible. Grand Rapids, MI.: Baker Book House, 1988.
Hagner, D. A., Matthew 1-13. Word Biblical Commentary Vol. 33A, Dallas, TX: Word Incorporated, 2002.
Lange, J. P., et al. A Commentary on the Holy Scriptures: Acts. Bellingham, WA: Logos Research Systems, Inc., 2008.
Lucas, R. C., Fullness & Freedom: The message of Colossians & Philemon. Downers Grove, Ill.: InterVarsity Press., 1980.
Mills, M., The Acts of the Apostles. Dallas, TX: 3E Ministries, 1997.
Nolland, J., Luke 1:1-9:20. Word Biblical Commentary, Vol. 35A. Dallas, TX: Word, Incorporated, 2002.
Oswalt, J. N., The Book of Isaiah. Chapters 40-66. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1998.
Pervo, R. I., & Attridge, H. W. Acts: A Commentary on the Book of Acts. Minneapolis: Fortress Press., 2009.