Liturgical Calendar

MARIA BUNDA ALLAH DAN BUNDA GEREJA


Apakah Allah punya ibu? Dalam arti apakah Maria itu disebut Bunda Allah? Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tetap menjadi suatu tanda tanya besar bagi umat Katolik yang mau meningkatkan devosi mereka kepada Bunda Maria. Apalagi kadang kala devosi umat Katolik melewati batas wajar, seolah-olah Maria menyingkirkan Yesus, bahkan Allah sendiri. Padahal Maria, seperti digambarkan Perjanjian Baru, mengaku dirinya adalah hamba Allah yang hina dina (Luk 1:38,48).

Sebutan Bunda Allah dan Perawan yang melekat pada diri Maria sangat erat berhubungan satu sama lain. Kedua sebutan itu mengungkapkan keluhuran Yesus, sekaligus kesucian Maria. Di samping itu Gereja Katolik juga menyatakan Maria secara total bebas dari dosa dan karenanya juga bebas dari kehancuran maut. Ada empat dogma (= pernyataan iman Gereja yang tidak dapat sesat) yang menyangkut Maria, yaitu :
1.      Maria adalah Bunda Allah = Theotokos (1 Januari)
2.      Maria adalah Perawan
3.      Maria terkandung tanpa noda (8 Desember)
4.   Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan raganya (15 Agustus)
Dogma Maria Bunda Allah diproklamasikan pada tahun 431 pada Konsili Efesus, untuk melawan ajaran Nestorius. Dogma Maria Perawan sudah diakui sejak abad ke-3 karena selalu disebutkan dalam syahadat-syahadat yang dipakai pada saat itu dan secara khusus ditegaskan kembali oleh Konsili Konstantinopel II tahun 553. Dogma Maria terkandung tanpa noda (bebas dari dosa) sejak kandungan ibunya, Santa Anna, baru dinyatakan pada tahun 1854 oleh Paus Pius IX. Demikian juga dogma Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan raganya baru ditetapkan pada tanggal 1 November 1950 oleh Paus Pius XII dalam konstitusi apostolis Munificentissimus Deus. Tetapi bukan berarti bahwa kedua dogma terakhir tersebut baru ditemukan dalam 3 abad terakhir. Kebenaran dogma tersebut sudah diimani dan dihayati Gereja sejak semula, hanya belum dinyatakan sebagai dogma atau ajaran resmi. Malahan harus dikatakan bahwa keempat kebenaran tersebut saling berkaitan, yang satu tidak lengkap tanpa yang lain. 
Dasar dari keempat dogma tersebut adalah kebenaran iman bahwa Maria itu Bunda Allah : “Bunda Putra Allah, maka putri Bapa yang terkasih dan kenisah Roh Kudus” (Lumen Gentium 53), dan “sebagai Bunda Allah yang tersuci, pantas dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa” (Lumen Gentium 66). 
Nampaknya kita sendiri “dibingungkan” oleh sebutan Bunda Allah. Semua orang di luar kalangan Kristen kiranya harus mengerutkan keningnya dan yang mengakui Allah yang Mahaesa merasakan sebutan itu sebagai hujat, syirk (menurut orang Islam). Alasan mereka, jika Allah yang Mahaesa punya ibu maka Allah itu dewa, sebab seorang ibu peranannya lebih besar daripada anaknya meskipun anaknya dinamakan Allah!!! Hal inilah yang menjadi pertikaian sengit di kalangan umat Kristen pada abad V, yang diakhiri oleh proklamasi Konsili Efesus seperti dijelaskan di atas. Uskup dan batrik ibukota negara Roma Timur, Konstantinopolis, blak-blakan menolak gelar Bunda Allah itu, meskipun sudah biasa dipakai umat Kristen, karena batrik itu menilai gelar itu sebagai kemerosotan belaka (= jatuhnya umat Kristen kembali ke dalam kekafiran). Kekafiran di masa itu memang memuja cukup banyak “bunda ilahi” yang bermacam-macam. Khususnya di kota Efesus, rakyat jelata memuja bunda segala dewa-dewi (bdk. Kis 19:23+). Batrik itu bernama Nestorius, yang mengusulkan supaya Maria cukup disebut Bunda Kristus (Kristotokos) sehingga tampaknya lebih dari ibu Yesus saja, namun kurang dari Bunda Allah. 
Tentu saja umat Kristen, khususnya Konsili Efesus, tidak mungkin mengatakan bahwa Allah (Bapa, Putra dan Roh Kudus) punya ibu. Itu hujat sejati. Apa yang sebenarnya dipertikaikan pada abad IV dan V itu bukanlah apakah Maria itu Bunda Allah, melainkan apakah manusia Yesus Kristus boleh atau bahkan harus disebut Allah, seperti yang tercantum dalam Perjanjian Baru (Yoh 20:28; Rm 9:5; 1 Yoh 5:20; Ibr 1:8) dan sudah lazim pada umat. 
Kalau demikian masalahnya, bagaimana orang Kristen masih dapat berbicara tentang Bunda Allah? Penjelasannya adalah : Maria mengandung dan melahirkan manusia yang adalah Allah (=Allah Putra), yaitu Yesus. Itu tidak berarti bahwa Maria mengandung dan melahirkan Allah, tetapi hanya bahwa Dia (=Allah Putra) yang dilahirkan sebagai manusia memang Allah. Dan Dia itu bukan Allah berkat atau karena Maria. Orangnya sama : Dia itu manusia (karena berasal dari manusia) dan Allah, karena Ia sama dengan Allah yang adalah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Jelaslah pemakaian sebutan Bunda Allah  itu “gila” bunyinya bagi orang luar dan kita yang tidak paham sehingga sebutan tersebut mudah disalahartikan. Justru di sinilah masalahnya : karena sebutan Bunda Allah sering dipakai, jarang dijelaskan duduk perkaranya. Tidak mengherankan bila anda menemui teman Kristen anda dan menanyakan mereka tentang Bunda Allah, lalu mereka bingung dan berkata, “Ya itu memang salah satu misteri (= sesuatu hal yang melampaui pemahaman kita) iman kita yang tidak mungkin dijelaskan”. Memang tetap ada misteri. Tetapi misteri tersebut harus dapat kita pahami. Kalau misteri tersebut melampaui pemahaman manusia berarti misteri itu tidak masuk akal manusia. Buat apa diimani. Jadi misteri jangan dipakai untuk menutupi ketidaktahuan kita.
Di lain pihak sebutan Maria Bunda Allah membuka suatu kemungkinan yang lebih leluasa untuk menghormati Maria sebagai citra/model/pola (= typus) Gereja. Namun sebenarnya kata typus pertama-tama menunjuk pada seorang tokoh manusia, seorang yang memiliki sejarah hidup pribadi dan karier tertentu. Berdasarkan pengartian ini orang sering menyimpulkan bahwa rencana Allah untuk menyelamatkan manusia disingkapkan secara menyeluruh melalui pribadi tertentu yang bernama Maria. Jadi Allah mewujudkan cinta dan perhatian-Nya terhadap Gereja dalam gambaran Bunda Perawan Maria. Jika Maria disebut typus/citra Gereja maka sebutan itu hanya berarti bahwa keberadaan Maria dipusatkan pada peranan dan tugasnya untuk membantu setiap anggota Gereja sampai pada hidup dan kesatuan dengan Kristus, seperti halnya Maria sendiri telah hidup bersatu dengan Kristus (diangkat ke surga). Berkaitan dengan itu semua Maria disebut juga Bunda Gereja (Mater Ecclesiae). Karena selain Maria, sebagai seorang ibu, dapat bekerja sama dalam dan dengan Gereja untuk melaksanakan tugas perutusan Gereja, juga Gereja sendiri memperlihatkan dan menerima citra kebundaannya dari Maria. Sebutan Maria Bunda Gereja dinyatakan oleh Paus Paulus VI pada akhir persidangan III Konsili Vatikan II tanggal 21 Novemver 1964. Pada tanggal tersebut Paus Paulus VI membicarakan juga bab terakhir Lumen Gentium, sekaligus menyatakan Maria sebagai Bunda Gereja : “Bunda seluruh umat Allah, Bunda orang beriman dan para gembala”. Dalam hal tersebut Paus sama sekali tidak memisahkan Santa Perawan Maria dari Gereja, melainkan mempersatukannya dengan Gereja. Tetapi akhirnya sebutan Maria Bunda Gereja tidak pernah muncul dalam Lumen Gentium, kendati sempat dibicarakan. 
Akhirnya, kalau Gereja dewasa ini tetap menghormati Maria, di balik penghormatan itu tersembunyi keyakinan Gereja. Keyakinan yang menyatakan bahwa Maria sendiri membantu Gereja dalam hal mengarahkan diri kepada Yesus, Putranya. Maria dapat mengarahkan Gereja pada kurban Kristus dan cinta akan Allah Bapa. Memang di dalam Maria orang Kristen dapat melihat perjalanan iman sepanjang penderitaan menuju kemuliaan kebangkitan. Apa yang dialami Gereja selama ziarahnya ini sudah diringkaskan dalam peristiwa Maria. Maka apabila Gereja mewartakan dogma Maria, keselamatan umum turut diwartakan. Dogma Maria berkaitan langsung dengan keberadaan dan esensi Gereja, sampai muncul ungkapan “Maria dan Gereja, Gereja dan Maria”, demi menekankan hubungan tersebut.