PESAN BAPA SUCI
PAUS FRANSISKUS UNTUK PERAYAAN HARI PERDAMAIAN SEDUNIA KE-48 (1 JANUARI 2015)
TIDAK
ADA LAGI BUDAK, TETAPI SAUDARA DAN SAUDARI
1.
Pada awal tahun baru ini, di mana kita menyambut sebagai karunia Allah yang
menyenangkan bagi seluruh umat manusia, saya menawarkan keinginan tulus
perdamaian bagi setiap pria dan wanita, bagi seluruh penduduk dunia dan
bangsa-bangsa, bagi para kepala negara dan pemerintahan, dan bagi para pemimpin
agama. Dalam melakukannya, saya berdoa untuk sebuah akhir bagi peperangan,
konflik dan penderitaan hebat yang disebabkan oleh aparat manusia, oleh epidemi
masa lalu dan sekarang, dan oleh pengrusakan yang ditimbulkan bencana alam.
Saya berdoa terutama, atas dasar panggilan kita bersama untuk bekerja sama
dengan Allah dan semua orang yang berkehendak baik untuk kemajuan keselarasan
dan perdamaian dalam dunia, kita bisa menahan godaan untuk bertindak dengan
cara yang tidak layak dari kemanusiaan kita.
Dalam
pesan saya untuk Hari Perdamaian Sedunia tahun lalu, saya berbicara tentang
"keinginan untuk hidup penuh ... yang mencakup kerinduan untuk
persaudaraan yang menarik kita untuk bersekutu dengan orang lain dan
memungkinkan kita untuk melihat mereka bukan sebagai musuh atau saingan, tetapi
sebagai saudara dan saudari untuk diterima dan dipeluk"[1].
Karena kita secara alami makhluk yang berkaitan, dimaksudkan untuk menemukan
kepuasan melalui hubungan antarpribadi yang diilhami oleh keadilan dan kasih,
itu merupakan dasar bagi pembangunan kemanusiaan kita sehingga martabat,
kebebasan dan kemandirian kita diakui dan dihormati. Tragisnya, tumbuhnya momok
eksploitasi manusia oleh manusia sungguh-sungguh merusak kehidupan persekutuan
dan panggilan kita untuk menempa hubungan antarpribadi yang ditandai oleh rasa
hormat, keadilan dan kasih. Fenomena keji ini, yang mengarah kepada penghinaan
terhadap hak-hak dasariah orang lain dan penindasan kebebasan dan martabat
mereka, mengambil banyak bentuk. Saya ingin secara singkat mempertimbangkan hal
ini, sehingga, dalam terang sabda Allah, kita dapat mempertimbangkan semua pria
dan wanita "bukan lagi hamba, tetapi saudara dan saudari".
Mendengarkan
rencana Allah bagi umat manusia
2.
Tema yang telah saya pilih untuk pesan tahun ini diambil dari Surat Santo
Paulus kepada Filemon, yang di dalamnya Sang Rasul meminta rekan sekerjanya
untuk menyambut Onesimus, sebelumnya budak Filemon, sekarang seorang Kristen
dan, oleh karena itu, menurut Paulus, layak dianggap saudara. Rasul
bangsa-bangsa bukan Yahudi menulis: "Sebab mungkin karena itulah dia
dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk
selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba,
yaitu sebagai saudara yang kekasih" (ayat 15-6). Onesimus menjadi saudara
Filemon ketika ia menjadi seorang Kristen. Pertobatan kepada Kristus, awal
sebuah kehidupan yang dijalani pemuridan Kristen, sehingga merupakan kelahiran
baru (bdk. 2 Kor 5:17; 1 Ptr 1:3) yang menghasilkan persaudaraan sebagai ikatan
dasariah kehidupan keluarga dan dasar kehidupan dalam masyarakat.
Dalam
Kitab Kejadian (bdk. 1:27-28), kita membaca bahwa Allah menjadikan manusia
laki-laki dan perempuan, dan memberkati mereka sehingga mereka dapat bertambah
banyak dan berkembang biak. Ia menjadikan Adam dan Hawa orang tua yang, dalam
menanggapi perintah Allah untuk berbuah dan berkembang biak, menyebabkan
persaudaraan pertama, persaudaraan Kain dan Habel. Kain dan Habel adalah
saudara karena mereka datang dari rahim yang sama. Akibatnya mereka memiliki
asal muasal, kodrat dan martabat yang sama seperti orang tua mereka, yang
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Tetapi
persaudaraan juga mencakup keberagaman dan perbedaan antara saudara dan
saudari, meskipun mereka tertaut oleh kelahiran serta kodrat dan martabat yang
sama. Sebagai saudara dan saudari, oleh karena itu, semua orang berada dalam
hubungan dengan orang lain, dari dia mereka berbeda, tetapi bersama dia mereka
berbagi asal muasal, kodrat dan martabat yang sama. Dengan cara ini, persaudaraan
merupakan jaringan hubungan penting untuk membangun keluarga manusia yang
diciptakan oleh Allah.
Tragisnya,
di antara penciptaan pertama yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian dan kelahiran
baru di dalam Kristus di mana orang-orang percaya menjadi saudara dan saudari
dari "yang sulung di antara banyak saudara" (Roma 8:29), ada
kenyataan dosa yang negatif, yang sering mengganggu persaudaraan manusia dan
terus-menerus menodai keindahan dan keluhuran menjadi saudara dan saudari kita
di dalam satu keluarga manusia. Bukan hanya itu Kain tidak bisa mempertahankan
Habel; ia membunuhnya karena iri hati dan, dengan berbuat demikian, melakukan
pembunuhan saudara yang pertama. "Pembunuhan Kain terhadap Habel
menanggung kesaksian tragis bagi penolakan radikal akan panggilan mereka untuk
menjadi saudara. Kisah mereka (bdk. Kej 4:1-16) membawa tugas sulit yang
kepadanya seluruh laki-laki dan perempuan dipanggil, untuk hidup sebagai
seseorang, masing-masing peduli pada yang lain"[2].
Ini
juga hal ihwalnya dengan Nuh dan anak-anaknya (bdk. Kej 9:18-27).
Ketidakhormatan Ham kepada ayahnya Nuh menggerakkan Nuh untuk mengutuk anaknya
yang kurang ajar dan memberkati orang lain, orang-orang yang menghormatinya.
Hal ini menciptakan kesenjangan di antara saudara-saudara yang lahir dari rahim
yang sama.
Dalam
kisah asal-usul keluarga manusia, dosa keterasingan dari Allah, dari sosok ayah
dan dari saudara, menjadi ungkapan penolakan persekutuan. Ini menimbulkan
budaya perbudakan (bdk. Kej 9:25-27), dengan segala konsekuensinya membentang
dari generasi ke generasi: penolakan orang lain, penganiayaan mereka,
pelanggaran martabat dan hak-hak dasariah mereka, dan ketidaksetaraan yang
dilembagakan. Oleh karena itu, kebutuhan untuk pertobatan terus menerus kepada
Perjanjian, yang digenapi oleh pengorbanan Yesus di kayu salib, dalam keyakinan
bahwa "di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi
berlimpah-limpah .... oleh Yesus Kristus" (Roma 5:20-21). Kristus, Putra
yang terkasih (bdk. Mat 3:17), datang untuk mengungkapkan kasih Bapa bagi umat
manusia. Barangsiapa mendengarkan Injil dan menanggapi panggilan bagi
pertobatan menjadi "saudara laki-laki, saudara perempuan dan ibu"
Yesus (Mat 12:50), dan dengan demikian anak angkat Bapa-Nya (bdk. Ef 1:5).
Orang
tidak menjadi seorang Kristen, seorang anak Bapa dan seorang saudara atau
saudari dalam Kristus, sebagai hasil dari sebuah keputusan ilahi yang penuh
kuasa, tanpa pelaksanaan kebebasan pribadi: dalam sebuah kata, tanpa secara
bebas bertobat kepada Kristus. Menjadi seorang anak Allah selalu terkait dengan
pertobatan: "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu
dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan
menerima karunia Roh Kudus" (Kis 2:38). Semua orang yang menanggapi dengan
iman dan dengan hidup mereka khotbah Petrus memasuki persaudaraan jemaat
Kristen perdana (bdk. 1 Ptr 2:17; Kis 1:15-16;6:3;15:23): orang-orang Yahudi
dan orang-orang Yunani, para hamba dan orang-orang merdeka (bdk. 1 Kor 12:13;
Gal 3:28). Berbeda asal-usul dan status sosial tidak mengurangi martabat
seseorang atau mengecualikan siapa pun dari kepemilikan Umat Allah. Jemaat
Kristen demikian merupakan sebuah tempat persekutuan yang dijalani dalam kasih
yang dibagikan di antara saudara dan saudari (bdk. Rm 12:10; 1 Tes 4:9; Ibr
13:1; 1 Ptr 1:22; 2 Ptr 1:7).
Semua
ini menunjukkan bagaimana Kabar Baik Yesus Kristus, yang di dalamnya Allah
menjadikan "semua hal-hal baru" (Why 21:5)[3],
juga mampu menebus hubungan manusia, termasuk di antara para hamba dan para
majikan, dengan mencurahkan terang pada apa kesamaan yang dimiliki keduanya:
keputraan angkat dan ikatan persaudaraan di dalam Kristus. Yesus sendiri
berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab
hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu
sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah
Kudengar dari Bapa-Ku" (Yoh 15:15).
Banyak wajah
perbudakan kemarin dan hari ini
3.
Dari zaman dahulu, masyarakat-masyarakat yang berbeda telah mengenal fenomena
penaklukan manusia oleh manusia. Ada periode-periode sejarah manusia yang di
dalamnya lembaga perbudakan diberlakukan secara umum dan diatur oleh hukum.
Undang-undang ini menentukan siapa yang lahir sebagai orang merdeka dan siapa
yang lahir sebagai budak, serta kondisi di mana seseorang yang dilahirkan
merdeka bisa kehilangan kebebasannya atau mendapatkannya kembali. Dengan kata
lain, hukum itu sendiri mengakui bahwa beberapa orang bisa atau harus dianggap
milik orang lain, dengan bebas menempatkan mereka. Seorang budak bisa dibeli
dan dijual, diberikan atau diperoleh, seolah-olah ia adalah sebuah produk
komersial.
Hari
ini, sebagai hasil dari pertumbuhan dalam kesadaran kita, perbudakan, dipandang
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan[4],
telah secara resmi dihapuskan di seluruh dunia. Hak setiap orang untuk tidak
dipertahankan dalam keadaan perbudakan atau perhambaan telah diakui dalam hukum
internasional yang tidak dapat diganggu gugat.
Namun,
meskipun masyarakat internasional telah mengadopsi berbagai kesepakatan yang
bertujuan mengakhiri perbudakan dalam segala bentuknya, dan telah meluncurkan
berbagai strategi untuk memerangi fenomena ini, jutaan orang hari ini - anak-anak,
para wanita dan para pria dari segala usia - dirampas kebebasannya dan terpaksa
hidup dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan.
Saya
memikirkan banyak buruh pria dan wanita, termasuk anak-anak di bawah umur,
diperbudak di berbagai sektor, baik formal maupun informal, di rumah atau lahan
pertanian, atau industri manufaktur atau pertambangan; entah di negara-negara
di mana peraturan ketenagakerjaan gagal mematuhi norma-norma internasional dan
standar minimum, ataupun, sama-sama melanggar, di negara-negara yang tidak
memiliki perlindungan hukum bagi hak-hak pekerja.
Saya
memikirkan juga kondisi-kondisi kehidupan banyak migran yang, dalam
pengembaraan dramatis mereka, mengalami kelaparan, kehilangan kebebasan,
dirampok harta mereka, atau mengalami kekerasan fisik dan seksual. Dengan cara
tertentu, saya memikirkan orang-orang di antara mereka yang, setelah tiba di
tempat tujuan setelah perjalanan melelahkan yang ditandai dengan rasa takut dan
ketidakamanan, ditahan dalam kondisi yang tidak manusiawi saat itu. Saya
memikirkan orang-orang di antara mereka, yang karena alasan sosial, politik dan
ekonomi yang berbeda, dipaksa untuk hidup secara sembunyi-sembunyi. Pikiran
saya juga tertuju kepada orang-orang yang, agar tetap dalam hukum, menyetujui
kondisi-kondisi hidup dan kerja yang mengenaskan, terutama dalam kasus-kasus di
mana hukum sebuah bangsa membuat atau mengizinkan ketergantungan struktural
para pekerja migran pada majikannya, seperti, misalnya, ketika keabsahan tempat
tinggal mereka dibuat tergantung pada kontrak kerja mereka. Ya, saya sedang
memikirkan "tenaga kerja budak".
Saya
memikirkan juga orang-orang yang dipaksa menjadi pelacur, banyak di antaranya
adalah anak-anak di bawah umur, serta budak-budak seks pria dan wanita. Saya
memikirkan para perempuan yang dipaksa menikah, yang dijual untuk dijodohkan
dan mereka diwariskan kepada kerabat-kerabat mendiang para suami mereka, tanpa
hak apapun untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka.
Saya
juga tidak bisa tidak memikirkan semua orang, anak-anak di bawah umur dan
orang-orang dewasa serupa, yang dijadikan obyek perdagangan untuk penjualan
organ, untuk perekrutan sebagai tentara, untuk mengemis, untuk kegiatan ilegal
seperti produksi dan penjualan narkotika, atau untuk bentuk-bentuk adopsi
lintas batas yang tersamar.
Akhirnya,
saya memikirkan semua orang yang diculik dan disandera oleh kelompok-kelompok
teroris, yang dikenakan pada tujuan mereka sebagai para pejuang, atau, terutama
dalam kasus gadis-gadis muda dan para perempuan, yang digunakan sebagai
budak-budak seks. Banyak dari orang-orang ini hilang, sementara yang lainnya
dijual beberapa kali, disiksa, dimutilasi atau dibunuh.
Beberapa
penyebab perbudakan yang lebih dalam
4.
Hari ini, seperti di masa lalu, perbudakan berakar pada angan-angan pribadi
manusia yang memungkinkan dia diperlakukan sebagai sebuah objek. Setiap kali
dosa merusak hati manusia dan menjauhkan kita dari Sang Pencipta kita dan
sesama kita, yang terakhir tidak lagi dianggap sebagai makhluk yang bermartabat
sama, sebagai saudara atau saudari berbagi kemanusiaan bersama, melainkan
sebagai obyek. Entah dengan kekerasan atau penipuan, atau dengan paksaan fisik
atau psikologis, pribadi-pribadi manusia yang diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah dirampas kebebasannya, dijual dan dikurangi menjadi milik orang
lain. Mereka diperlakukan sebagai sarana hingga akhir.
Di
samping penyebab yang lebih dalam ini - penolakan kemanusiaan orang lain - ada
penyebab lain yang membantu untuk menjelaskan bentuk-bentuk perbudakan masa
kini. Di antaranya, saya memikirkan di tempat pertama kemiskinan,
keterbelakangan dan pengucilan, terutama bila dikombinasikan dengan kurangnya
akses terhadap pendidikan atau langkanya, bahkan tidak ada, kesempatan kerja.
Bukan tak jarang, para korban perdagangan manusia dan perbudakan adalah
orang-orang yang mencari jalan keluar dari situasi kemiskinan yang ekstrim;
yang diberikan oleh janji-janji palsu pekerjaan, mereka sering berakhir di
tangan jaringan kriminal yang mengatur perdagangan manusia. Jaringan ini
terampil dalam menggunakan alat komunikasi modern sebagai cara memikat pria dan
wanita muda di berbagai belahan dunia.
Penyebab
lain dari perbudakan adalah korupsi pada pihak orang-orang yang rela melakukan
apa saja demi keuntungan finansial. Kerja paksa dan perdagangan manusia sering
membutuhkan keterlibatan perantara, mereka adalah personil penegak hukum, para
pejabat negara, atau lembaga-lembaga sipil dan militer. "Hal ini terjadi
ketika uang, dan bukan pribadi manusia, adalah pusat dari sebuah sistem
ekonomi. Ya, orang, yang diciptakan menurut gambar Allah dan diserahi kekuasaan
atas seluruh ciptaan, harus menjadi pusat dari setiap sistem sosial atau
ekonomi. Ketika orang tersebut digantikan oleh mamon, sebuah penurunan nilai
terjadi"[5].
Penyebab
lanjut perbudakan termasuk konflik-konflik bersenjata, kekerasan, kegiatan
kriminal dan terorisme. Banyak orang diculik untuk dijual, didaftar sebagai
para partisan, atau dieksploitasi secara seksual, sementara yang lain terpaksa
pindah, meninggalkan segala sesuatu: negara, rumah, harta benda mereka, dan
bahkan para anggota keluarga mereka. Mereka didorong untuk mencari alternatif
untuk kondisi mengerikan ini bahkan dengan resiko pada martabat pribadi mereka
dan hidup mereka yang sesungguhnya; mereka berisiko ditarik ke dalam lingkaran
setan yang menjadikan mereka mangsa penderitaan, korupsi dan akibat-akibatnya
yang merusak.
Sebuah
komitmen bersama untuk mengakhiri perbudakan
5.
Sering kali, ketika mempertimbangkan kenyataan perdagangan manusia, perdagangan
ilegal para migran dan bentuk-bentuk lain perbudakan yang dikenal atau tidak
dikenal, orang memiliki kesan bahwa mereka terjadi dalam konteks
ketidakpedulian umum.
Sayangnya,
ini adalah sebagian besar benar. Namun saya ingin menyebutkan upaya-upaya besar
dan sering kali bungkam yang telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh
kongregasi-kongregasi religius, terutama kongregasi-kongregasi wanita, untuk
memberikan dukungan kepada para korban. Lembaga-lembaga ini bekerja dalam
situasi-situasi yang sangat sulit, yang berkali-kali didominasi oleh kekerasan,
karena mereka bekerja untuk memutus rantai tak kelihatan yang mengikat para
korban dengan paraa pedagang dan pelaku eksploitasi. Rantai-rantai ini terdiri
dari serangkaian tautan, masing-masing terrdiri dari permainan-permainan
psikologis yang pintar yang membuat para korban tergantung pada pelaku
eksploitasi mereka. Hal ini dilakukan dengan pemerasan dan ancaman terhadap
mereka dan orang-orang yang mereka cintai, tetapi juga oleh tindakan-tindakan nyata
seperti penyitaan dokumen jatidiri mereka dan kekerasan fisik. Kegiatan
kongregasi-kongregasi religius dilakukan dalam tiga bidang utama: dalam
menawarkan bantuan kepada para korban, dalam bekerja untuk rehabilitasi
psikologis dan pendidikan mereka, dan dalam upaya-upaya untuk menyatupadukan
mereka kembali ke dalam masyarakat di mana mereka tinggal atau dari mana mereka
berasal.
Tugas
besar ini, yang menyerukan keberanian, kesabaran dan ketekunan, patut mendapat
apresiasi dari seluruh Gereja dan masyarakat. Namun, dari dirinya sendiri,
tidaklah cukup untuk mengakhiri momok eksploitasi pribadi-pribadi manusia. Ada
juga diperlukan komitmen lipat tiga pada tingkat kelembagaan: pencegahan,
perlindungan korban dan penuntutan hukum terhadap para pelaku. Selain itu,
karena organisasi-organisasi kriminal menggunakan jaringan global untuk
mencapai tujuan mereka, upaya-upaya untuk menghilangkan fenomena ini juga
menuntut upaya bersama dan, tentunya, upaya global pada pihak berbagai sektor
masyarakat.
Negara-negara
harus memastikan bahwa undang-undang mereka sendiri benar-benar menghormati
martabat manusia dalam bidang migrasi, ketenagakerjaan, adopsi, pergerakan
bisnis lepas pantai dan penjualan barang-barang yang diproduksi oleh tenaga
kerja budak. Ada kebutuhan untuk hukum yang adil yang berpusat pada pribadi
manusia, menjunjung tinggi hak-hak dasariah dan mengembalikan hak-hak tersebut
ketika mereka telah dilanggar. Undang-undang tersebut juga harus menyediakan
rehabilitasi para korban, memastikan keselamatan pribadi mereka, dan termasuk
sarana-sarana penegakan yang efektif yang tidak meninggalkan ruang untuk
korupsi atau kekebalan hukum. Peran para perempuan dalam masyarakat juga harus
diakui, sedikitnya melalui prakarsa-prakarsa di bidang budaya dan komunikasi
sosial.
Organisasi-organisasi
antarpemerintah, sesuai dengan prinsip subsidiaritas, dipanggil untuk
menyelaraskan prakarsa-prakarsa untuk memerangi jaringan lintas negara dari
kejahatan terorganisir yang mengawal perdagangan orang-orang dan perdagangan ilegal
para migran. Kerjasama jelas dibutuhkan di sejumlah tingkatan, yang melibatkan
lembaga-lembaga nasional dan internasional, badan-badan masyarakat sipil dan
dunia keuangan.
Dunia
usaha[6]
memiliki tugas untuk memastikan kondisi kerja yang bermartabat dan gaji yang
memadai bagi karyawan mereka, tetapi mereka juga harus waspada sehingga
bentuk-bentuk penaklukan atau perdagangan manusia tidak menemukan jalan mereka
ke dalam rantai distribusi. Bersama dengan tanggung jawab sosial dunia usaha,
ada juga tanggung jawab sosial para pengguna. Setiap orang harus memiliki
kesadaran bahwa "pembelian selalu merupakan sebuah tindakan moral - dan
tidak hanya sebuah tindakan ekonomi"[7].
Organisasi-organisasi
dalam masyarakat sipil, bagi pihak mereka, memiliki tugas membangkitkan hati
nurani dan mempromosikan langkah-langkah apapun yang diperlukan untuk memerangi
dan mencabut budaya perbudakan.
Dalam
beberapa tahun terakhir, Takhta Suci, dengan penuh perhatian terhadap
penderitaan para korban perdagangan manusia dan suara kongregasi-kongregasi
religius yang membantu mereka di jalan mereka menuju kebebasan, telah
meningkatkan seruannya kepada masyarakat internasional untuk kerjasama dan
perpaduan antarbadan yang berbeda dalam mengakhiri momok ini[8].
Pertemuan-pertemuan juga telah diselenggarakan untuk menarik perhatian pada
fenomena perdagangan manusia dan untuk memfasilitasi kerjasama di antara
berbagai badan, termasuk para ahli dari universitas-universitas dan
organisasi-organisasi internasional, kepolisian dari negara-negara asal,
persinggahan, atau tujuan para migran, dan para perwakilan dari
kelompok-kelompok gerejawi yang bekerja dengan para korban. Inilah harapan saya
agar upaya-upaya ini akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang.
Persaudaraan
global, bukan perbudakan atau ketidakpedulian
6.
Dalam "pemakluman kebenaran kasih Kristus dalam masyarakat"-nya[9],
Gereja terus terlibat dalam kegiatan-kegiatan amal yang diilhami oleh kebenaran
pribadi manusia. Ia diberi tanggung jawab dengan menunjukkan kepada semua orang
jalan menuju pertobatani, yang memungkinkan kita untuk mengubah cara kita
melihat sesama kita, mengenali dalam setiap orang lain seorang saudara atau
saudari dalam keluarga manusia kita, dan mengakui martabatnya yang hakiki dalam
kebenaran dan kebebasan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari kisah
Josephine Bakhita, santa yang berasal dari wilayah Darfur di Sudan yang diculik
oleh para pedagang budak dan dijual kepada para tuan yang brutal ketika ia
berusia sembilan tahun. Selanjutnya - sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman
yang menyakitkan - ia menjadi "seorang putri Allah yang merdeka"
berkat imannya, menjalani pengabdian religius dan dalam pelayanan kepada orang
lain, terutama yang paling rendah dan tak berdaya. Santa ini, yang hidup pada pergantian
abad kedua puluh, bahkan hari ini merupakan seorang saksi keteladanan
pengharapan[10]
bagi banyak korban perbudakan; ia dapat mendukung upaya-upaya semua orang yang
berkomitmen untuk memerangi "luka-luka menganga pada tubuh masyarakat masa
kini, sebuah momok di atas tubuh Kristus"[11].
Dalam
terang ini semua, saya mengajak semua orang, sesuai dengan peran dan tanggung
jawab tertentunya, untuk menerapkan tindakan-tindakan persaudaraan terhadap
mereka yang masih dalam keadaan perbudakan. Mari kita bertanya kepada diri kita
sendiri, sebagai perorangan dan sebagai jemaat, apakah kita merasa tertantang
ketika, dalam kehidupan kita sehari-hari, kita bertemu atau berurusan dengan
orang-orang yang bisa menjadi korban perdagangan manusia, atau ketika kita tergoda
untuk memilih barang-barang yang mungkin telah diproduksi dengan
mebngeksploitasi orang lain. Beberapa dari kita, demi ketidakpedulian, atau
alasan-alasan keuangan, atau karena kita terjebak dalam urusan-urusan
sehari-hari kita, menutup mata kita terhadap hal ini. Namun, orang lain
memutuskan untuk melakukan sesuatu berkaitan hal itu, bergabung dengan
lembaga-lembaga sipil atau menerapkan gerakan-gerakan kecil, setiap hari - yang
memiliki begitu banyak manfaat! - seperti menawarkan sebuah kata, sebuah ucapan
atau sebuah senyum yang manis. Ini semua tidak menghargai kita apapun tetapi
mereka dapat menawarkan harapan, membuka pintu-pintu, dan mengubah kehidupan
orang lain yang tinggal secara sembunyi-sembunyi; mereka juga bisa mengubah
hidup kita sendiri sehubungan dengan kenyataan ini.
Kita
harus mengakui bahwa kita sedang menghadapi fenomena global yang melebihi
kemampuan satu jemaat atau negara manapun. Untuk menghilangkannya, kita
membutuhkan pengerahan yang sebanding dalam ukuran dari fenomena itu sendiri.
Karena alasan ini saya dengan mendesak menyerukan kepada semua pria dan wanita
yang berkehendak baik, dan semua orang-orang yang dekat atau jauh, termasuk
taraf tertinggi lembaga-lembaga sipil, yang memberi kesaksian momok perbudakan
masa kini, tidak menjadi kaki tangan kejahatan ini, tidak berpaling dari
penderitaan saudara dan saudari kita, sesama manusia kita, yang tercabut
kebebasan dan martabat mereka. Sebaliknya, semoga kita memiliki keberanian
untuk menjamah daging penderitaan Kristus[12],
mengungkapkan dalam wajah orang-orang yang tak terhitung jumlahnya yang Ia
sebut "yang paling hina dari saudara-saudara-Ku ini" (Mat 25:40,45).
Kita
tahu bahwa Allah akan menanyai kita masing-masing: Apa yang engkau perbuat bagi
saudaramu? (bdk Kej 4:9-10). Globalisasi ketidakpedulian, yang hari ini
membebani kehidupan begitu banyak saudara dan saudari kita, membutuhkan kita
semua untuk membentuk kesetiakawanan dan persaudaraan seluruh dunia baru yang
mampu memberi mereka harapan baru dan membantu mereka untuk mengembangkan
dengan keberanian di tengah masalah-masalah zaman kita dan cakrawala-cakrawala
baru yang mereka singkapkan dan yang TAllah tempatkan dalam tangan kita.
Dari
Vatikan, 8 Desember 2014
FRANSISKUS
[1]No. 1.
[2]Pesan untuk Hari Perdamaian
Sedunia 2014, 2.
[3]Bdk. Seruan Apostolik Evangelii
Gaudium, 11.
[4]Bdk. Amanant kepada para delegasi
Lembaga Internasional Hukum Pidana, 23 Oktober 2014: L’Osservatore Romano, 24
Oktober 2014, halaman 4.
[5]Amanat kepada para peserta Pertemuan
Gerakan-gerakan Populer Sedunia, 28 Oktober 2014: L’Osservatore Romano, 29
Oktober 2014, halaman 7.
[6]Bdk. DEWAN KEPAUSAN UNTUK
KEADILAN DAN PERDAMAIAN, Panggilan Pemimpin Dunia Usaha : Sebuah Permenungan,
2013.
[7]BENEDIKTUS XVI, Surat Ensiklik
Caritas in Veritate, 66.
[8]Bdk. Pesan kepada Bapak Guy
Ryder, Direktur Jendral Organisasi Buruh Internasional, dalam rangka Sesi
ke-103 Organisasi Buruh Internasional, 22 Mei 2014: L’Osservatore Romano, 29
Mei 2014, halaman 7.
[9]BENEDIKTUS XVI, Surat Ensiklik
Caritas in Veritate, 5.
[10]"Melalui pengetahuan tentang
harapan ini ia (Gereja) 'ditebus', bukan lagi budak, melainkan anak Allah yang
merdeka. Ia mengerti apa yang dimaksud Paulus ketika ia mengingatkan
orang-orang Efesus bahwa mereka sebelumnya tanpa pengharapan dan tanpa Allah di
dunia - tanpa pengharapan karena tanpa Allah" (BENEDIKTUS XVI, Surat
Ensiklik Spe Salvi, 3).
[11]Wejangan kepada para peserta
Konferensi Internasional Kedua tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia:
Gereja dan Penegakan Hukum dalam Kemitraan, 10 April 2014: L'Osservatore
Romano, 11 April 2014, halaman 7; bdk. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 270.
[12]Bdk. Seruan Apostolik Evangelii
Gaudium, 24 dan 270.