MISERICORDIAE VULTUS (WAJAH KERAHIMAN)
FRANSISKUS,
USKUP ROMA, HAMBA DARI PARA HAMBA ALLAH KEPADA SEMUA ORANG YANG MEMBACA SURAT
INI
RAHMAT,
KERAHIMAN, DAN KEDAMAIAN
1.
Yesus Kristus adalah wajah kerahiman Bapa. Kata-kata ini mungkin juga merangkum
misteri iman Kristiani. Kerahiman telah menjadi hidup dan kasat mata dalam
Yesus dari Nazaret, mencapai puncaknya dalam diri-Nya. Bapa, "kaya dengan
kerahiman" (Ef 2: 4), setelah menyatakan nama-Nya kepada Musa sebagai
"Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan
setia-Nya" (Kel 34:6), tidak pernah berhenti menunjukkan, dalam berbagai
cara sepanjang sejarah, kodrat ilahi-Nya. Dalam "kegenapan waktu"
(Gal 4:4), ketika segalanya telah diatur sesuai dengan rencana keselamatan-Nya,
Ia mengutus Putra-Nya ke dalam dunia, yang lahir dari Perawan Maria, untuk
menyatakan kasih-Nya bagi kita dalam sebuah cara yang definitif. cara Siapapun
yang melihat Yesus melihat Bapa (Yoh 14: 9). Yesus dari Nazaret, dengan
kata-kata-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan seluruh pribadi-Nya[1]
menyatakan kerahiman Allah.
2.
Kita perlu terus-menerus merenungkan misteri kerahiman. Ia adalah sebuah sumber
sukacita, ketenangan, dan kedamaian. Keselamatan kita tergantung padanya.
Kerahiman : kata tersebut mengungkapkan sungguh-sungguh misteri Tritunggal
Mahakudus. Kerahiman : tindakan utama dan tertinggi yang olehnya Allah datang
untuk menemui kita. Kerahiman : hukum dasar yang berdiam di dalam hati setiap
orang yang memandang dengan tulus ke dalam mata saudara dan saudarinya di jalan
kehidupan. Kerahiman : jembatan yang menghubungkan Allah dan manusia, membuka
hati kita kepada sebuah harapan dikasihi selamanya meskipun kedosaan kita.
3.
Kadang-kadang kita dipanggil untuk menatap dengan lebih penuh perhatian pada
kerahiman sehingga kita dapat menjadi sebuah tanda yang lebih efektif dari
tindakan Bapa dalam hidup kita. Karena alasan ini saya telah mencanangkan
sebuah Yubileum Agung Kerahiman sebagai sebuah waktu khusus bagi Gereja; sebuah
waktu ketika kesaksian umat beriman akan tumbuh lebih kuat dan lebih efektif.
Tahun
Suci akan dibuka pada tanggal 8 Desember 2015, Hari Raya Santa Perawan Maria
Dikandung Tanpa Noda. Hari raya liturgis ini mengingatkan tindakan Allah dari
sangat awal sejarah umat manusia. Setelah dosa Adam dan Hawa, Allah tidak ingin
meninggalkan manusia sendirian dalam pergolakan kejahatan. Maka Ia memalingkan
pandangan-Nya kepada Maria, yang kudus dan tak bernoda dalam kasih (bdk. Ef
1:4), memilihnya untuk menjadi Bunda Sang Penebus manusia. Ketika dihadapkan
dengan gentingnya dosa, Allah menanggapi dengan kepenuhan kerahiman. Kerahiman
akan selalu lebih besar dari dosa apapun, dan tidak ada seorang pun yang dapat
menempatkan batasan-batasan kasih Allah yang selalu siap untuk mengampuni. Saya
akan bersukacita membuka Pintu Suci pada Hari Raya Santa Perawan Maria
Dikandung Tanpa Noda. Pada hari itu, Pintu Suci akan menjadi sebuah pintu
kerahiman yang melalui siapa pun yang masuk akan mengalami kasih Allah yang
menghibur, mengampuni, dan menanamkan harapan.
Pada
hari Minggu berikutnya, Hari Minggu Adven III, Pintu Suci Katedral Roma -
yaitu, Basilika Santo Yohanes Lateran - akan dibuka. Dalam minggu-minggu
berikutnya, Pintu-pintu Suci dari Basilika-basilika Kepausan lainnya akan
dibuka. Pada hari Minggu yang sama, saya akan mengumumkan bahwa dalam setiap
Gereja lokal, di katedral - gereja ibu dari umat di wilayah tertentu manapun -
atau sebaliknya, pada yang setara katedral atau gereja lain bermakna khusus,
sebuah Pintu Kerahiman akan dibuka selama Tahun Suci. Berdasarkan kebijaksanaan
ordinaris setempat, sebuah pintu yang sama dapat dibuka di setiap tempat ziarah
yang sering dikunjungi oleh kelompok-kelompok besar peziarah, karena
kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat suci adalah saat-saat yang begitu sering
dipenuhi rahmat, ketika orang-orang menemukan sebuah jalan kepada pertobatan.
Setiap Gereja partikular, oleh karena itu, akan terlibat langsung dalam
menghayati dengan lebih lama Tahun Suci ini sebagai sebuah saat yang luar biasa
rahmat dan pembaruan rohani. Dengan demikian Yubileum akan dirayakan baik di
Roma maupun di Gereja-gereja partikular sebagai sebuah tanda kasat mata dari
persekutuan universal Gereja.
4.
Saya telah memilih tanggal 8 Desember karena maknanya yang kaya dalam sejarah
Gereja belakangan ini. Bahkan, saya akan membuka Pintu Suci pada ulang tahun
kelimapuluh penutupan Konsili Ekumenis Vatikan II. Gereja merasakan sebuah
kebutuhan besar untuk menjaga peristiwa ini tetap hidup. Bersama Konsili
tersebut, Gereja memasuki sebuah tahap baru sejarahnya. Para Bapa Konsili
dengan sangat merasakan, sebagai sebuah nafas sejati dari Roh Kudus, sebuah
kebutuhan untuk berbicara tentang Allah kepada pria dan wanita dari waktu
mereka dengan sebuah cara yang lebih mudah diakses. Dinding-dinding yang
terlalu panjang membuat Gereja semacam benteng yang dirobohkan dan waktunya
telah tiba untuk memberitakan Injil dengan sebuah cara baru. Ia adalah sebuah
tahap baru penginjilan yang sama yang telah ada sejak awal. Ia adalah sebuah
usaha yang menyegarkan bagi semua orang Kristiani untuk menjadi saksi bagi iman
mereka dengan antusiasme dan keyakinan yang lebih besar. Gereja merasakan
sebuah tanggung jawab untuk menjadi sebuah tanda hidup dari kasih Bapa di
dunia.
Kita
ingat kata-kata pedih Santo Yohanes XXIII ketika, membuka Konsili, beliau
menunjukkan jalan untuk diikuti: "Sekarang Mempelai Kristus ingin menggunakan
obat kerahiman ketimbang mengangkat senjata kekejaman ... Gereja Katolik,
karena ia memegang tinggi obor kebenaran Katolik di Konsili Ekumenis ini, ingin
menunjukkan dirinya seorang ibu yang penuh kasih bagi semua orang, sabar, baik,
tergerak oleh belas kasihan dan kebaikan terhadap anak-anaknya yang
terpisah"[2]
Beato Paulus VI berbicara dalam nada yang sama pada penutupan Konsili :
"Kami lebih memilih untuk menunjukkan bagaimana amal telah menjadi ciri
religius utama Konsili ini ... cerita lama tentang orang Samaria yang baik
telah menjadi model spiritualitas Konsili ... sebuah gelombang kasih sayang dan
kekaguman mengalir dari Konsili atas dunia modern umat manusia.
Kesalahan-kesalahan dikutuk, memang, karena amal menuntut ini tidak kurang
daripada menuntut kebenaran, tapi bagi individu-individu mereka sendiri hanya
ada teguran, rasa hormat dan kasih. Alih-alih menekankan diagnosis, mendorong
pengobatan; alih-alih dugaan-dugaan yang mengerikan, pesan-pesan kepercayaan
dikeluarkan dari Konsili kepada dunia masa kini. Nilai-nilai dunia modern tidak
hanya dihormati tetapi dijunjung, upaya-upayanya disetujui,
aspirasi-aspirasinya dimurnikan dan diberkati ... Hal lain yang kita harus
tekankan adalah ini : semua ajaran yang kaya ini disalurkan dalam satu arah,
pelayanan umat manusia, pelayanan setiap keadaan, pelayanan dalam setiap
kelemahan dan kebutuhan".[3]
Dengan
perasaan-perasaan syukur atas segalanya ini Gereja telah menerima, dan dengan
sebuah rasa tanggung jawab atas tugas yang ada di depan, kita akan melewati
ambang Pintu Suci dengan penuh keyakinan bahwa kekuatan Tuhan yang bangkit,
yang terus-menerus mendukung kita pada jalan peziarahan kita, akan mendukung
kita. Semoga Roh Kudus, yang membimbing langkah-langkah dari orang-orang
percaya dalam bekerja sama dengan karya keselamatan yang diakibatkan oleh
Kristus, membimbing jalan tersebut dan mendukung Umat Allah sehingga mereka
dapat merenungkan wajah kerahiman.[4]
5.
Tahun Yubileum akan ditutup dengan Hari Raya liturgi Kristus Raja pada tanggal
20 November 2016. Pada hari itu, ketika kita menyegel Pintu Suci, kita akan
dipenuhi, terutama, dengan rasa syukur dan terima kasih kepada Tritunggal
Mahakudus karena telah menganugerahi kita masa rahmat yang luar biasa. Kita
akan mempercayakan kehidupan Gereja, seluruh umat manusia, dan seluruh alam
semesta kepada Ketuhanan Kristus, meminta-Nya untuk mencurahkan kerahiman-Nya
atas kita seperti embun pagi, sehingga setiap orang dapat bekerja sama untuk
membangun sebuah masa depan yang lebih cerah. Betapa banyak saya ingin agar
tahun yang akan datang akan didalami dengan kerahiman, sehingga kita bisa pergi
kepada setiap pria dan wanita, membawa kebaikan dan kelembutan Allah! Semoga
minyak urapan kerahiman menjamah semua orang, baik orang percaya maupun orang-orang
yang jauh, sebagai sebuah tanda bahwa Kerajaan Allah sudah hadir di
tengah-tengah kita!
6.
"Tepatlah bagi Allah untuk menjalankan kerahiman, dan Ia mengejawantahkan
kemahakuasaan-Nya terutama dengan cara ini".[5]
Kata-kata Santo Thomas Aquino menunjukkan bahwa kerahiman Allah, ketimbang
sebuah tanda kelemahan, adalah tanda kemahakuasaan-Nya. Karena alasan ini
liturgi, dalam salah satu kumpulannya yang paling kuno, mendapati kita berdoa:
"Ya Allah, yang menyatakan kuasa-Mu terutama dalam kerahiman dan pengampunan-Mu
..."[6]
Sepanjang sejarah umat manusia, Allah akan selalu merupakan Dia yang hadir,
dekat, ingat akan hari esok, suci, dan penuh kerahiman.
"Sabar
dan penuh kerahiman". Kata-kata ini sering berjalan bersama-sama dalam
Perjanjian Lama untuk menggambarkan sifat Allah. Penuh kerahiman-Nya secara
nyata ditunjukkan dalam banyak tindakan-Nya sepanjang sejarah keselamatan di
mana kebaikan-Nya menang atas hukuman dan kehancuran. Dalam cara khusus Mazmur
mengedepankan kemegahan tindakan-Nya yang penuh kerahiman : "Dia yang
mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang
menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia
dan rahmat" (Mzm 103:3-4). Mazmur lain, dengan cara yang lebih eksplisit,
membuktikan tanda-tanda nyata kerahiman-Nya : "Ia yang menegakkan keadilan
untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang
lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung, TUHAN membuka mata
orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi
orang-orang benar. TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda
ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya" (Mzm
146:7-9). Berikut adalah beberapa ungkapan lain dari pemazmur: "Ia
menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka; TUHAN
menegakkan kembali orang-orang yang tertindas, tetapi merendahkan orang-orang
fasik sampai ke bumi" (Mzm 147:3,6). Singkatnya, kerahiman Allah bukanlah
sebuah gagasan tak berwujud, tetapi sebuah realitas nyata yang melaluinya Ia
menyatakan kasih-Nya seperti yang dilakukan oleh seorang ayah atau seorang ibu,
yang bergerak menuju kedalaman demi kasih bagi anak mereka. Tidaklah berlebihan
dikatakan bahwa ini adalah sebuah kasih "mendalam". Ia menyembur
keluar dari kedalaman secara alami, penuh kelembutan dan kasih sayang,
indulgensi dan kerahiman.
7.
"Karena kasih setia-Nya untuk selama-lamanya". Ini adalah refren yang
diulangi setelah setiap ayat dalam Mazmur 136 karena ia menceritakan sejarah
pewahyuan Allah. Oleh keutamaan kerahiman, seluruh peristiwa Perjanjian Lama
dilengkapi dengan pendatangan keselamatan yang mendalam. Kerahiman menjadikan
sejarah Allah bersama Israel sebuah sejarah keselamatan. Mengulangi
terus-menerus "karena kasih setia-Nya untuk selama-lamanya",
sebagaimana yang dilakukan pemazmur, tampak menerobos dimensi ruang dan waktu,
memasukkan segala sesuatu ke dalam misteri kasih yang abadi. Hal ini
seolah-olah mengatakan bahwa tidak hanya dalam sejarah, tetapi untuk seluruh keabadian
manusia akan selalu berada di bawah tatapan Bapa yang penuh kerahiman. Bukan
kebetulan bahwa orang-orang Israel ingin memasukkan mazmur ini - "Hallel
Agung", sebagaimana ia disebut - dalam hari-hari raya liturginya yang
paling penting.
Sebelum
Sengsara-Nya, Yesus berdoa dengan mazmur kerahiman ini. Matius membuktikan hal
ini dalam Injilnya ketika ia mengatakan bahwa, "Sesudah menyanyikan
nyanyian pujian" (26:30), Yesus dan murid-murid-Nya pergi ke Bukit Zaitun.
Seraya Ia melembagakan Ekaristi sebagai peringatan abadi bagi diri-Nya dan
pengorbanan Paskah-Nya, Ia secara simbolis menempatkan tindakan tertinggi
pewahyuan ini dalam terang kerahiman-Nya. Dalam konteks kerahiman yang sama,
Yesus masuk pada sengsara dan wafat-Nya, sadar akan misteri agung kasih yang
akan Ia wujudkan di kayu salib . Mengetahui bahwa Yesus sendiri mendoakan
mazmur ini menjadikannya bahkan lebih penting bagi kita sebagai orang-orang
Kristiani, menantang kita untuk mengambil refren tersebut dalam kehidupan
sehari-hari kita dengan mendoakan kata-kata pujian ini : "karena kasih
setia-Nya untuk selama-lamanya".
8.
Dengan mata yang tertuju kepada Yesus dan tatapan-Nya yang penuh kerahiman,
kita mengalami kasih Tritunggal Mahakudus. Perutusan Yesus yang diterima dari
Bapa adalah perutusan pengungkapan misteri kasih ilahi dalam kepenuhannya.
"Allah adalah kasih" (1 Yoh 4:8,16), Yohanes menegaskan untuk pertama
dan satu-satunya dalam seluruh Kitab Suci. Kasih ini sekarang telah dibuat
terlihat dan nyata dalam seluruh kehidupan Yesus. Pribadi-Nya hanyalah kasih,
sebuah kasih yang diberikan secara cuma-cuma. Hubungan-hubungan yang Ia bentuk
dengan orang-orang yang mendekati-Nya mengejawantahkan sesuatu yang nyata
sepenuhnya unik dan tak dapat diulang. Tanda-tanda yang Ia kerjakan, terutama
dalam menghadapi orang-orang berdosa, orang-orang miskin, kaum marjinal,
orang-orang sakit, dan orang-orang menderita, semua dimaksudkan untuk
mengajarkan kerahiman. Segala sesuatu di dalam diri-Nya berbicara tentang
kerahiman. Tidak ada satupun dalam diri-Nya sama sekali tanpa belas kasihan.
Yesus,
melihat kerumunan orang-orang yang mengikuti-Nya, menyadari bahwa mereka sudah
lelah dan letih, tersesat dan tanpa panduan, dan Ia merasakan belas kasihan
yang mendalam terhadap mereka (bdk. Mat 9:36). Atas dasar kasih yang penuh
belas kasihan ini Ia menyembuhkan orang-orang sakit yang dibawa kepada-Nya
(bdk. Mat 14:14), dan hanya dengan beberapa potong roti dan ikan Ia memuaskan
kerumunan besar orang (bdk. Mat 15:37). Apa yang menggerakkan Yesus dalam semua
situasi ini adalah tidak lain kerahiman, yang dengannya Ia membaca hati
orang-orang yang dijumpai-Nya dan menanggapi kebutuhan terdalam mereka. Ketika
Ia menjumpai janda dari Nain yang membawa anaknya untuk dimakamkan, Ia
merasakan belas kasihan yang besar terhadap penderitaan besar dari ibu yang
berduka ini, dan Ia memberi kembali anaknya dengan membangkitkannya dari antara
orang mati (bdk. Luk 7:15). Setelah membebaskan orang kerasukan di desa Gerasa,
Yesus mempercayakan dia dengan perutusan ini: "Pulanglah ke rumahmu,
kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu
yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu dan bagaimana Ia telah mengasihani
engkau!" (Mrk 5: 19). Panggilan Matius juga dihadirkan dalam konteks belas
kasih. Melewati gerai pemungut cukai, Yesus menatap Matius. Ia adalah sebuah
tampilan penuh kerahiman yang mengampuni dosa-dosa orang itu, seorang berdosa
dan seorang pemungut cukai, dia yang dipilih Yesus - berlawanan dengan
keragu-raguan dari para murid - untuk menjadi salah seorang dari Kelompok Dua
Belas. Santo Bede Venerabilis, mengomentari perikop Injil ini, menulis bahwa
Yesus memandang Matius dengan kasih yang penuh kerahiman dan memilihnya : miserando atque eligendo[7].
Ungkapan ini begitu mengesankan saya sehingga saya memilihnya untuk motto
episkopal saya.
9.
Dalam perumpamaan-perumpamaan yang ditujukan untuk kerahiman, Yesus menyatakan
sifat Allah seperti sifat seorang Bapa yang tidak pernah menyerah sampai ia
telah mengampuni anaknya yang bersalah dan mengatasi penolakan dengan kasih
sayang dan kerahiman. Kita mengenal perumpamaan-perumpamaan ini dengan baik,
khususnya tiga perumpamaan : domba yang hilang, dirham yang hilang, dan ayah
dengan dua anak laki-laki (bdk. Luk 15:1-32). Dalam perumpamaan-perumpamaan
ini, Allah selalu disajikan sebagai penuh sukacita, terutama ketika Ia
mengampuni. Dalam mereka kita menemukan inti dari Injil dan inti dari iman
kita, karena kerahiman disajikan sebagai sebuah kekuatan yang mengatasi segala
sesuatu, memenuhi hati dengan kasih dan membawa penghiburan melalui
pengampunan.
Dari
perumpamaan lain, kita menyisihkan suatu ajaran penting bagi kehidupan
Kristiani kita. Dalam menjawab pertanyaan Petrus tentang berapa kali perlu
mengampuni, Yesus berkata : "Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh
kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali" (Mat 18:22). Ia
kemudian melanjutkan menceritakan perumpamaan tentang "hamba yang
kejam", yang, dipanggil oleh tuannya untuk mengembalikan sejumlah besar,
memohon kepadanya sambil berlutut untuk kerahiman. Tuannya membatalkan
utangnya. Tetapi ia kemudian bertemu sesama hamba yang berutang kepadanya
beberapa sen dan yang pada gilirannya memohon sambil berlutut untuk kerahiman,
tetapi hamba pertama menolak permintaannya dan mencampakkannnya ke dalam
penjara. Ketika sang tuan mendengar tentang hal itu, ia menjadi marah dan,
memanggil pelayan pertama kembali kepadanya, mengatakan, "Bukankah engkau
pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?" (Mat
18:33). Yesus menyimpulkan, "Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat
demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni
saudaramu dengan segenap hatimu" (Mat 18:35).
Perumpamaan
ini berisi ajaran yang mendalam bagi kita semua. Yesus menegaskan bahwa kerahiman
bukan hanya suatu tindakan Bapa, ia menjadi sebuah kriteria untuk memastikan
siapa anakanak-Nya yang sejati. Singkatnya, kita dipanggil untuk menunjukkan
kerahiman karena kerahiman pertama-tama telah ditampilkan kepada kita.
Mengampuni pelanggaran-pelanggaran menjadi ungkapan yang paling jelas dari
kasih yang penuh kerahiman, dan bagi kita orang-orang Kristiani ia sangat
penting yang daripadanya kita tidak bisa memaafkan diri kita sendiri.
Kadang-kadang betapa sulit tampaknya mengampuni! Namun pengampunan adalah alat
yang ditempatkan ke dalam tangan kita yang rapuh untuk mendapatkan ketenangan
hati. Melepas amarah, murka, kekerasan, dan balas dendam adalah kondisi-kondisi
yang diperlukan untuk hidup dengan penuh sukacita. Karena itu marilah kita
mengindahkan nasihat Rasul Paulus : "Janganlah matahari terbenam, sebelum
padam amarahmu" (Ef 4:26). Terutama, marilah kita mendengarkan kata-kata
Yesus yang menjadikan kerahiman sebagai sebuah ideal kehidupan dan sebuah
kriteria untuk kredibilitas iman kita : "Berbahagialah orang yang murah
hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan" (Mat 5:7) : sabda bahagia
yang kepadanya seharusnya secara khusus kita cita-citakan di Tahun Suci ini.
Seperti
yang kita lihat dalam Kitab Suci, kerahiman adalah sebuah kata kunci yang
menunjukkan tindakan Allah terhadap kita. Ia tidak membatasi diri-Nya hanya
untuk menegaskan kasih-Nya, namun membuatnya terlihat dan nyata. Kasih,
terutama, jangan hanya sebuah keniskalaan. Pada dasarnya, ia menunjukkan
sesuatu yang nyata : niat, sikap, dan perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan
sehari-hari. Kerahiman Allah adalah perhatian-Nya yang penuh kasih kepada kita
masing-masing. Ia merasa bertanggung jawab; yaitu, Ia menginginkan
kesejahteraan kita dan Ia ingin melihat kita bahagia, penuh sukacita, dan penuh
damai. Ini adalah jalan yang juga harus diarungi kasih yang penuh kerahiman
dari orang-orang Kristiani. Sebagaimana Bapa mengasihi, demikian juga
anak-anak-Nya. Sama seperti Ia penuh kerahiman, demikian juga kita dipanggil
untuk penuh kerahiman satu sama lain.
10.
Kerahiman merupakan dasar dari kehidupan Gereja. Seluruh kegiatan pastoralnya
harus terjebak dalam kelembutan yang dihadirkannya bagi orang-orang percaya;
tidak ada dalam pewartaannya dan dalam kesaksiannya kepada dunia dapat kurang
dalam kerahiman. Kredibilitas Gereja terlihat dalam bagaimana ia menunjukkan
kasih yang penuh kerahiman dan berbelas kasihan. Gereja "memiliki sebuah
keinginan tak berujung untuk menunjukkan kerahiman".[8]
Mungkin kita sudah lama lupa bagaimana menunjukkan dan menghayati jalan
kerahiman. Godaan, di satu sisi, untuk berfokus secara eksklusif pada keadilan
membuat kita lupa bahwa ini hanya langkah pertama, meskipun perlu dan sangat
diperlukan. Tetapi Gereja perlu melampaui dan berjuang untuk tujuan yang lebih
tinggi dan lebih penting. Di sisi lain, sedih untuk mengatakan, kita harus
mengakui bahwa praktek kerahiman memudar dalam budaya yang lebih luas. Dalam
beberapa kasus kata tersebut tampaknya telah keluar dari penggunaannya. Namun,
tanpa sebuah kesaksian kerahiman, hidup menjadi sia-sia dan mandul, seolah-olah
diasingkan di sebuah gurun yang tandus. Waktunya telah tiba bagi Gereja sekali
lagi mengambil panggilan penuh sukacita kepada kerahiman. Ini adalah waktu
untuk kembali ke dasar-dasar dan menanggung kelemahan dan perjuangan saudara
dan saudari kita. Kerahiman adalah kekuatan yang membangunkan kita kembali
kepada kehidupan baru dan menanamkan dalam diri kita keberanian untuk melihat
ke masa depan dengan harapan.
11.
Jangan lupa ajaran besar yang ditawarkan oleh Santo Yohanes Paulus II dalam
Ensikliknya yang kedua, Dives in
Misericordia, yang pada saat itu datang secara tiba-tiba, temanya menangkap
banyak orang dengan kejutan. Ada dua perikop khusus yang kepadanya saya ingin
tarik perhatian. Pertama, Santo Yohanes Paulus II menyoroti fakta bahwa kita
sudah lupa tema kerahiman dalam lingkungan budaya hari ini : "Mentalitas
masa kini, lebih mungkin dibandingkan mentalitas orang-orang di masa lalu,
tampaknya bertentangan dengan Allah kerahiman, dan pada kenyataannya cenderung
mengecualikan dari kehidupan dan menghilangkan dari hati manusia gagasan
kerahiman. Kata dan konsep 'kerahiman' tampaknya menyebabkan kegelisahan dalam
diri manusia, yang, berkat perkembangan besar ilmu pengetahuan dan teknologi, belum
pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah, telah menjadi empunya bumi dan telah
menaklukkan dan menguasainya (bdk. Kej 1:28). berkuasa atas bumi ini,
kadang-kadang dipahami secara sepihak dan dangkal, tampak tidak memiliki ruang
bagi kerahiman ... Dan inilah mengapa, dalam situasi Gereja dan dunia saat ini,
banyak individu dan kelompok dipandu oleh perasaan iman yang hidup sedang
beralih, saya akan mengatakan hampir secara spontan, kepada kerahiman
Allah".[9]
Selain
itu, Santo Yohanes Paulus II mendorong sebuah pewartaan yang lebih mendesak dan
kesaksian bagi kerahiman di dunia masa kini : "Hal ini ditentukan oleh
kasih kepada manusia, kepada semua yang bersifat manusiawi dan yang, menurut
intuisi banyak orang sezaman kita, terancam oleh sebuah bahaya besar. Misteri
Kristus ... mewajibkan saya untuk mewartakan kerahiman ketika kasih Allah yang
penuh kerahiman, terungkap dalam misteri Kristus yang sama. Ia juga mewajibkan
saya untuk meminta bantuan kepada kerahiman itu dan meminta-minta kepadanya
pada tahap sulit, kritis dari sejarah Gereja dan sejarah dunia".[10]
Ajaran ini lebih bersangkut-paut daripada sebelumnya dan layak untuk diambil
kembali dalam Tahun Suci ini. Mari kita mendengarkan kata-katanya sekali lagi:
"Gereja menghayati sebuah kehidupan yang otentik ketika ia mengakukan dan
mewartakan kerahiman - sifat yang paling luar biasa dari Sang Pencipta dan Sang
Penebus - dan ketika ia membawa orang-orang dekat dengan sumber kerahiman Sang
Juruselamat, adalah sang wali dan sang pemberi".[11]
12.
Gereja ditugaskan untuk mewartakan kerahiman Allah, detak jantung Injil, yang
dengan caranya sendiri harus menembus hati dan pikiran setiap orang. Sang
Mempelai Kristus harus mencontoh perilakunya menurut Putra Allah yang pergi
keluar untuk semua orang tanpa kecuali. Pada hari ini, ketika Gereja dibebankan
dengan tugas evangelisasi baru, tema kerahiman perlu diusulkan lagi dan lagi
dengan kegairahan baru dan tindakan pastoral yang diperbaharui. Ini sangat
penting bagi Gereja dan bagi kredibilitas pesannya yang ia sendiri hayati dan
lakukan kesaksian bagi kerahiman. Cara bicaranya dan tindakannnya harus
meneruskan kerahiman, sehingga menyentuh hati semua orang dan mengilhami mereka
sekali lagi untuk menemukan jalan yang mengarah kepada Bapa.
Kebenaran
pertama Gereja adalah kasih Kristus. Gereja menjadikan dirinya seorang hamba
dari kasih ini dan mengantarainya kepada semua orang : sebuah kasih yang
mengampuni dan mengungkapkan dirinya sendiri dalam karunia dirinya. Akibatnya,
di mana pun Gereja hadir, kerahiman Bapa harus nyata. Di paroki-paroki,
komunitas-komunitas, lembaga-lembaga dan gerakan-gerakan kita, dengan kata
lain, di mana pun ada orang-orang Kristiani, setiap orang harus menemukan
sebuah oase kerahiman.
13.
Kita ingin menjalani Tahun Yubileum ini dalam terang kata-kata Tuhan : Murah
hatilah seperti Bapa. Penginjil yang mengingatkan kita akan ajaran Yesus yang
mengatakan, "Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah
hati" (Luk 6:36). Ia adalah sebuah program kehidupan yang menghendaki kaya
dengan sukacita dan damai sejahtera. Perintah Yesus ditujukan kepada siapa pun
yang bersedia untuk mendengarkan suara-Nya (bdk. Luk 6:27). Agar mampu bermurah
hati, oleh karena itu, kita pertama-tama harus mengesampingkan diri kita untuk
mendengarkan Sabda Allah. Ini berarti menemukan kembali nilai keheningan dengan
tujuan untuk merenungkan Sang Sabda yang datang kepada kita. Dengan cara ini,
maka akan menjadi mungkin untuk merenungkan kerahiman Allah dan mengadopsinya
sebagai gaya hidup kita.
14.
Praktek peziarahan memiliki sebuah tempat khusus dalam Tahun Kudus, karena ia
merupakan perjalanan kita masing-masing yang dibuat dalam kehidupan ini.
Kehidupan itu sendiri adalah sebuah peziarahan, dan manusia adalah seorang
"viator", seorang peziarah
yang bepergian di sepanjang jalan, membuat jalannya menuju tujuan yang
dikehendaki. Demikian pula, untuk mencapai Pintu Suci di Roma atau di tempat
manapun di dunia, semua orang, masing-masing sesuai dengan kemampuannya, akan
harus membuat sebuah peziarahan. Ini akan menjadi sebuah tanda bahwa kerahiman
juga merupakan sebuah tujuan untuk diraih dan membutuhkan dedikasi dan
pengorbanan. Semoga peziarahan menjadi sebuah dorongan untuk pertobatan :
dengan melintasi ambang Pintu Suci, kita akan menemukan kekuatan untuk
merangkul kerahiman Allah dan mendedikasikan diri kita untuk menjadi penuh
kerahiman dengan orang lain sebagaimana telah dilakukan Bapa bersama kita.
Tuhan
Yesus menunjukkan kepada kita langkah-langkah peziarahan untuk mencapai tujuan
kita : "Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan
janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu
akan diampuni. Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang
dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam
ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan
kepadamu" (Luk 6:37-38) Tuhan meminta kita terutama tidak menghakimi dan
tidak menghukum. Jika ada orang yang ingin menghindari penghakiman Allah, ia seharusnya
tidak membuat dirinya hakim atas saudara atau saudarinya. Manusia, setiap kali
mereka menghakimi, melihat tidak lebih jauh dari permukaan, sedangkan Bapa
melihat ke dalam kedalaman jiwa. Berapa banyak kata-kata membahayakan dilakukan
ketika mereka termotivasi oleh rasa cemburu dan iri hati! Menjelekkan orang
lain menempatkan mereka dalam sebuah terang yang buruk, merusak reputasi mereka
dan menjadikan mereka mangsa keinginan bergosip. Menghindari penghakiman dan
penghukuman berarti, dalam arti positif, mengetahui bagaimana menerima kebaikan
dalam setiap orang dan menghindarkan dia dari setiap penderitaan yang mungkin
disebabkan oleh penilaian sepotong-sepotong dan anggapan kita tahu segalanya
tentang dia. Tetapi ini masih belum cukup untuk mengungkapkan kerahiman. Yesus
meminta kita juga mengampuni dan memberi. Menjadi alat kerahiman karena kitalah
yang pertama kali menerima kerahiman dari Allah. Bermurah hati dengan orang
lain, mengetahui bahwa Allah menghujani kebaikan-Nya atas kita dengan kemurahan
hati yang besar.
Penuh
kerahiman seperti Bapa, oleh karena itu, adalah "motto" Tahun Suci
ini. Dalam kerahiman, kita menemukan bukti bagaimana Allah mengasihi kita. Ia
memberikan seluruh diri-Nya, selalu, dengan bebas, tanpa mengharapkan imbalan.
Ia datang untuk menolong kita setiap kali kita memanggil-Nya. Betapa indahnya
Gereja mengawali doa hariannya dengan kata-kata, "Ya Allah, bersegeralah
melepaskan aku, menolong aku, ya TUHAN!" (Mzm 70:2)! Pertolongan yang kita
minta sudah merupakan langkah pertama dari kerahiman Allah bagi kita. Ia datang
untuk menolong kita dalam kelemahan kita. Dan pertolongan-Nya berupa menolong
kita menerima kehadiran dan kedekatan-Nya pada kita. Hari demi hari, tersentuh
oleh kasih sayang-Nya, kita juga bisa menjadi welas asih terhadap orang lain.
15.
Dalam Tahun Suci ini, kita mengharapkan pengalaman membuka hati kita untuk
mereka yang tinggal di pinggiran terluar masyarakat : pinggiran masyarakat
modern itu sendiri menciptakan. Berapa banyak situasi yang tidak pasti dan
menyakitkan ada di dunia saat ini! Berapa banyak luka-luka yang ditanggung oleh
tubuh mereka yang tidak memiliki suara karena jeritan mereka teredam dan
tenggelam oleh ketidakpedulian orang kaya! Selama Yubileum ini, Gereja bahkan
akan lebih dipanggil untuk menyembuhkan luka-luka tersebut, untuk meredakan
mereka dengan minyak penghiburan, untuk membebat mereka dengan kerahiman dan
menyembuhkan mereka dengan kesetiakawanan dan kepedulian yang perawatan yang
seksama. Janganlah kita jatuh ke dalam ketidakpedulian yang memalukan atau
rutinitas yang monoton yang mencegah kita untuk menemukan apa yang baru! Mari
kita menangkal sinisme yang merusak! Marilah kita membuka mata kita dan melihat
penderitaan dunia, luka-luka saudara dan saudari kita yang diingkari martabat
mereka, dan marilah kita menyadari bahwa kita didorong untuk mengindahkan
jeritan mereka dengan pertolongan! Semoga kita menjangkau mereka dan mendukung
mereka sehingga mereka dapat merasakan kehangatan kehadiran kita, persahabatan
kita, dan persaudaraan kita! Semoga jeritan mereka menjadi jeritan kita, dan
bersama-sama semoga kita mendobrak hambatan-hambatan ketidakpedulian yang
terlalu sering paling menguasai dan topeng kemunafikan dan egoisme kita!
Itulah
keinginan membara saya agar, selama Yubileum ini, orang-orang Kristiani dapat
merenungkan karya jasmani maupun rohani dari kerahiman. Ini akan menjadi cara
untuk membangunkan kembali hati nurani Anda, yang terlalu sering tumbuh
membosankan dalam rupa kemiskinan. Dan marilah kita masuk lebih dalam ke jantung
Injil di mana orang miskin memiliki sebuah pengalaman khusus akan kerahiman
Allah. Yesus memperkenalkan kita kepada karya-karya kerahiman dalam khotbah-Nya
sehingga kita bisa mengetahui apakah kita hidup sebagai murid-murid-Nya atau
tidak. Marilah kita menemukan kembali karya-karya jasmani kerahiman : memberi
makan orang yang lapar, memberi minum kepada orang yang haus, memberi pakaian
orang yang telanjang, menyambut orang asing, menyembuhkan orang sakit,
mengunjungi orang yang dipenjara, dan menguburkan orang mati. Dan janganlah
kita melupakan karya rohani kerahiman : menasehati orang yang bimbang,
mengajari orang bebal, menegur orang-orang berdosa, menghibur orang yang
menderita, mengampuni kesalahan, menanggung dengan sabar mereka yang berbuat
jahat kepada kita, dan mendoakan orang yang hidup dan yang mati.
Kita
tidak bisa meluputkan kata-kata Tuhan kepada kita, dan mereka akan menjadi
kriteria yang atasnya kita akan dihakimi : apakah kita telah memberi makan
orang yang lapar dan memberikan minum kepada orang yang haus, menyambut orang
asing dan memberi pakaian kepada orang yang telanjang, atau menghabiskan waktu
dengan orang sakit dan orang-orang dalam penjara (bdk. Mat 25:31-45). Selain
itu, kita akan ditanya apakah kita telah membantu orang lain untuk meluputkan
keraguan yang menyebabkan mereka jatuh ke dalam keputusasaan dan yang sering
menjadi sebuah sumber kesepian; apakah kita telah membantu untuk mengatasi
kebodohan yang di dalamnya jutaan orang hidup, terutama anak-anak yang
kehilangan sarana yang diperlukan untuk membebaskan mereka dari ikatan
kemiskinan; apakah kita telah dekat dengan orang yang kesepian dan menderita;
apakah kita telah mengampuni orang-orang yang telah menyakiti kita dan telah
menolak segala bentuk kemarahan dan kebencian yang mengarah pada kekerasan;
apakah kita telah memiliki semacam kesabaran yang ditunjukkan Allah, yang
begitu sabar dengan kita; dan apakah kita telah mempercayakan saudara dan
saudari kita kepada Tuhan dalam doa. Dalam masing-masing "anak-anak kecil"
ini, Kristus sendiri hadir. Tubuh-Nya akan terlihat dalam tubuh orang yang
disiksa, orang yang remuk redam, orang yang didera, orang yang kekurangan gizi,
dan orang yang terasing ... yang diakui, dijamah, dan dirawat oleh kita.
Marilah kita tidak melupakan kata-kata Santo Yohanes dari Salib : "ketika
kita bersiap-siap meninggalkan kehidupan ini, kita akan dihakimi atas dasar
kasih".[12]
16.
Dalam Injil Lukas, kita menemukan unsur penting lain yang akan membantu kita
menghayati Yubileum dengan iman. Lukas menulis bahwa Yesus, pada hari Sabat,
kembali ke Nazaret dan, menurut kebiasaan-Nya, masuk ke rumah ibadat. Mereka
memanggil-Nya untuk membaca Kitab Suci dan membahasnya. Perikop ini adalah dari
Kitab Yesaya di mana ada tertulis : "Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena
TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk
memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang
terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN"
(Yes 61:1-2). Sebuah " tahun rahmat
Tuhan" atau "kerahiman" : ini adalah apa yang diwartakan Tuhan
dan ini adalah apa yang ingin kita hayati sekarang. Tahun Suci ini akan membawa
ke depan kekayaan perutusan Yesus yang bergema dalam kata-kata nabi : membawa
sebuah kata dan sikap penghiburan kepada orang miskin, memberitakan kebebasan
kepada mereka terikat oleh bentuk-bentuk baru perbudakan dalam masyarakat
modern, memulihkan penglihatan bagi mereka yang tidak bisa melihat lagi karena
mereka terjebak dalam diri mereka sendiri, mengembalikan martabat bagi semua
orang, yang daripadanya telah dirampok. Pewartaan Yesus dibuat terlihat lagi
dalam tanggapan iman. Orang-orang Kristiani dipanggil untuk menawarkan
kesaksian mereka. Semoga kata-kata Rasul Paulus menyertai kita. Barangsiapa
yang melakukan tindakan kerahiman, biarkan dia melakukannya dengan keceriaan
(bdk. Rm 12:8).
17.
Masa Prapaskah selama Tahun Yubileum ini juga seharusnya dihayati dengan lebih
intens sebagai momen istimewa untuk merayakan dan mengalami kerahiman Allah.
Berapa banyak halaman Kitab Suci sesuai untuk bermeditasi selama minggu-minggu
Prapaskah membantu kita menemukan kembali wajah Bapa yang penuh kerahiman! Kita
dapat mengulangi kata-kata nabi Mikha dan menjadikan kata-kata itu milik kita
: Siapakah Allah seperti Engkau yang
mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya
sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan
berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan
kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir
laut (bdk. 7:18-19).
Halaman-halaman dari nabi Yesaya juga dapat direnungkan
secara nyata selama masa doa, puasa, dan karya
amal
ini : "Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya
engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk,
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar
dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau
melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak
menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan
lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan
kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. Pada waktu
itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak
minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan
kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan
memfitnah,
apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang
kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan
terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan
hatimu di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu; engkau akan
seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah
mengecewakan”
(58:6-11).
Prakarsa "24 Jam bagi Tuhan", yang akan dirayakan pada hari Jumat dan Sabtu sebelum Minggu
Prapaskah IV, harus dilaksanakan di setiap keuskupan. Begitu banyak orang, termasuk kaum muda, sedang kembali kepada Sakramen Rekonsiliasi; melalui pengalaman ini
mereka sedang menemukan kembali sebuah jalan pulang kepada Tuhan, menghayati sebuah saat doa
yang
intens dan menemukan makna dalam kehidupan mereka. Marilah
sekali lagi kita menempatkan Sakramen
Rekonsiliasi di pusat sebuah jalan sedemikian rupa yang akan memungkinkan orang-orang untuk menyentuh kemegahan kerahiman Allah dengan tangan mereka sendiri. Bagi setiap peniten, itu akan menjadi sebuah sumber kedamaian
batin yang sejati.
Saya
tidak akan pernah bosan mendesak agar para bapa pengakuan menjadi tanda-tanda
otentik kerahiman Bapa. Kita tidak menjadi bapa pengakuan yang baik secara
otomatis. Kita menjadi bapa pengakuan yang baik ketika, terutama, kita
membiarkan diri kita menjadi peniten dalam pencarian kerahiman-Nya. Marilah
kita tidak pernah lupa bahwa menjadi bapa pengakuan berarti ikut serta dalam
perutusan Yesus untuk menjadi sebuah tanda nyata dari keteguhan kasih ilahi yang
mengampuni dan menyelamatkan. Kita para imam telah menerima karunia Roh Kudus
untuk pengampunan dosa, dan kita bertanggung jawab untuk hal ini. Tak satu pun
dari kita memegang kekuasaan atas Sakramen ini; sebaliknya, kita adalah hamba-hamba
yang setia dari kerahiman Allah melaluinya. Setiap bapa pengakuan harus
menerima umat seperti sang bapa dalam perumpamaan tentang anak yang hilang:
seorang bapa yang lari keluar untuk bertemu anaknya meskipun faktanya ia telah
menyia-nyiakan warisannya. Para bapa pengakuan dipanggil untuk merangkul anak
yang bertobat yang datang kembali ke rumah dan mengungkapkan sukacita memiliki
dia kembali pulang. Marilah kita tidak pernah bosan juga pergi keluar kepada anak
lainnya yang berdiri di luar, yang tidak mampu sukacita, untuk menjelaskan
kepadanya bahwa penghakiman-Nya kejam dan tidak adil serta tidak berarti dalam
terang kerahiman bapa yang tak terbatas. Semoga para bapa pengakuan tidak
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berguna, tetapi seperti sang bapa
dalam perumpamaan itu, menyela penjelasan yang telah dipersiapkan terlebih
dahulu oleh sang anak yang hilang, sehingga para bapa pengakuan akan belajar
menerima permohonan untuk bantuan dan kerahiman yang memancar dari hati setiap peniten.
Singkatnya, para bapa pengakuan dipanggil untuk menjadi sebuah tanda keutamaan kerahiman
selalu, di mana-mana, dan dalam setiap situasi, tidak peduli apapun juga.
18. Selama Masa Prapaskah Tahun Suci ini, saya berniat mengirimkan Para Misionaris Kerahiman. Mereka akan menjadi sebuah tanda perhatian keibuan Gereja bagi Umat Allah, yang
memungkinkan mereka memasuki kekayaan yang mendalam dari
misteri yang begitu mendasar
bagi iman
ini. Akan ada para imam yang
kepadanya saya akan
memberikan wewenang untuk mengampuni dosa-dosa bahkan yang disediakan untuk Takhta Suci,
sehingga luasnya mandat mereka sebagai para bapa pengakuan bahkan
akan menjadi lebih jelas.
Mereka akan
menjadi, terutama, tanda-tanda hidup kesiapan Bapa untuk menyambut mereka yang mencari pengampunan-Nya. Mereka akan menjadi para misionaris
kerahiman karena mereka akan menjadi para fasilitator sebuah perjumpaan manusia
yang sesungguhnya, sebuah
sumber pembebasan, kaya dengan tanggung jawab untuk
mengatasi rintangan-rintangan dan kembali mengambil kehidupan
baru Baptisan. Mereka akan dituntun dalam perutusan mereka dengan kata-kata Rasul Paulus : "Sebab Allah telah mengurung semua orang dalam
ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua"
(Rm 11:32). Setiap orang, pada kenyataannya, tanpa kecuali,
dipanggil untuk merangkul panggilan kepada kerahiman. Semoga para
Misionaris ini menghayati panggilan ini dengan jaminan bahwa mereka dapat mengarahkan mata mereka pada Yesus, “Imam Besar yang penuh belas
kasihan dan setia dalam pelayanan Allah" (Ibr
2:17).
Saya meminta saudara saya
para uskup untuk mengundang dan menyambut para Misionaris ini sehingga mereka dapat menjadi, terutama, para
pewarta kerahiman yang meyakinkan. Semoga masing-masing
keuskupan mengatur "perutusan-perutusan kepada umat" sedemikian rupa sehingga para misionaris ini dapat menjadi para
pembawa sukacita
dan pengampunan. Para uskup diminta
untuk merayakan Sakramen Rekonsiliasi dengan umat mereka sehingga waktu kerahiman yang ditawarkan oleh Tahun Yubileum
akan menjadikannya mungkin bagi banyak putra dan putri Allah
untuk mengambil kembali perjalanan ke rumah Bapa. Semoga para gembala, terutama selama masa liturgi Prapaskah, rajin memanggil kembali umat "menghampiri takhta kasih karunia,
supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia"
(Ibr 4:16).
19. Semoga pesan
kerahiman
menjangkau semua orang, dan semoga tidak ada yang tidak mempedulikan panggilan untuk mengalami kerahiman. Saya menujukan undangan ini untuk pertobatan lebih sungguh-sungguh
kepada mereka yang
perilakunya menjauhkan mereka
dari rahmat Allah. Saya secara
khusus memiliki dalam pikiran para
pria dan wanita yang
menjadi milik organisasi-organisasi kriminal apapun. Untuk kebaikan mereka sendiri, saya meminta mereka untuk mengubah kehidupan mereka. Saya
meminta mereka hal ini dalam
nama Putra Allah yang,
meskipun menolak dosa,
tidak pernah menolak orang berdosa. Jangan jatuh
ke dalam perangkap berpikir yang mengerikan bahwa
kehidupan tergantung pada uang dan bahwa, dibandingkan
dengan uang, hal apapun tidak bernilai atau bermartabat. Ini tidak lain hanyalah sebuah khayalan! Kita tidak bisa membawa uang bersama kita ke dalam kehidupan alam
baka. Uang tidak membawakan kita kebahagiaan.
Kekerasan yang ditimbulkan demi mengumpulkan kekayaan
yang
direndam dalam darah membuat orang tidak berdaya
maupun tidak abadi. Setiap orang, cepat
atau lambat, akan dikenakan hukuman
Allah, yang
daripadanya tidak ada yang bisa melarikan diri.
Undangan
yang sama diperpanjang kepada mereka yang melanggengkan maupun ikut serta dalam
korupsi. Luka bernanah ini adalah sebuah dosa berat yang berteriak ke surga
untuk balas dendam, karena ia mengancam dasar-dasar kehidupan pribadi dan
sosial. Korupsi mencegah kita dari melihat ke masa depan dengan harapan, karena
keserakahan tiraninya yang menghancurkan rencana orang lemah dan
menginjak-injak orang yang paling miskin dari orang miskin. Ia adalah sebuah
kejahatan yang melekatkan dirinya sendiri ke dalam tindakan kehidupan
sehari-hari dan menyebar, menyebabkan skandal publik yang besar. Korupsi adalah
sebuah pengerasan hati yang penuh dosa yang menggantikan Allah dengan khayalan bahwa
uang adalah sebuah bentuk kekuasaan. Ia adalah sebuah karya kegelapan, yang
diberi makan oleh prasangka dan intrik. Corruptio optimi pessima, Santo
Gregorius Agung mengatakan dengan alasan yang baik, menegaskan bahwa tidak ada
yang bisa menganggap dirinya kebal dari godaan ini. Jika kita ingin
mengendalikannya keluar dari kehidupan pribadi dan sosial, kita perlu
kehati-hatian, kewaspadaan, loyalitas, transparansi, bersama-sama dengan
keberanian untuk mengecam laku kesalahan apapun. Jika ia tidak diperangi secara
terbuka, cepat atau lambat semua orang akan menjadi kaki tangannya, dan ia akan
berakhir menghancurkan keberadaan kita.
Ini adalah saat yang
tepat untuk mengubah kehidupan kita! Ini
adalah waktu untuk memungkinkan hati kita untuk dijamah! Ketika dihadapkan dengan perbuatan-perbuatan jahat, bahkan
dalam rupa kejahatan-kejahatan serius, ia adalah waktu
untuk mendengarkan jeritan orang-orang yang tidak bersalah yang dirampas harta mereka, martabat mereka, perasaan mereka, dan bahkan kehidupan mereka. Melekat kepada
jalan kejahatan hanya akan membiarkan orang terperdaya dan bersedih. Kehidupan sejati adalah
sesuatu yang sama sekali berbeda.
Allah tidak pernah lelah menjangkau kita. Ia selalu siap mendengarkan,
sama seperti saya juga, bersama dengan saudara saya para uskup dan para imam. Yang perlu
dilakukan semua
orang adalah menerima undangan untuk pertobatan dan menyerahkan dirinya kepada keadilan selama waktu khusus kerahiman yang ditawarkan oleh Gereja ini.
20. Pada
titik ini tidak akan keluar tempat untuk
mengingat hubungan antara keadilan
dan kerahiman. Ini bukan dua kenyataan yang saling bertentangan, tetapi dua dimensi
dari
sebuah kenyataan tunggal yang terbentang secara bertahap sampai ia memuncak dalam kepenuhan cinta. Keadilan adalah sebuah konsep dasar bagi masyarakat sipil, yang dimaksudkan untuk
diatur oleh aturan hukum. Keadilan juga dipahami
sebagai sesuatu yang benar berkat setiap individu.
Dalam Alkitab, ada banyak acuan untuk keadilan
ilahi dan untuk Allah sebagai "hakim". Dalam ayat-ayat ini, keadilan dipahami sebagai ketaatan penuh terhadap
Hukum dan perilaku setiap orang Israel yang baik dalam
kesesuaian dengan perintah-perintah
Allah. Visi seperti itu, namun, tidak jarang
menyebabkan legalisme dengan membelokkan makna asli keadilan dan mengaburkan
nilainya yang mendalam. Untuk mengatasi perspektif legalistik ini, kita perlu mengingat
bahwa dalam Kitab Suci, keadilan dipahami pada
dasarnya sebagai pelepasan
diri umat kepada kehendak Allah.
Sementara itu, Yesus berbicara beberapa kali tentang
pentingnya iman atas dan di atas ketaatan hukum. Dalam pengertian inilah kita harus memahami kata-kata-Nya ketika bersandar di meja dengan Matius serta para pemungut
cukai dan orang-orang berdosa lainnya, Ia berkata kepada orang-orang Farisi yang mengajukan keberatan kepada-Nya,
"Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah
belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil
orang benar, melainkan orang berdosa” (Mat 9:13). Berhadapan dengan visi keadilan sebagai ketaatan hukum belaka yang menghakimi orang hanya dengan membagi mereka menjadi
dua kelompok - orang-orang
benar dan orang-orang berdosa - Yesus bertekad untuk mengungkapkan
karunia besar kerahiman yang mencari keluar orang-orang berdosa dan menawarkan
mereka pengampunan dan keselamatan. Orang dapat melihat mengapa, atas dasar
visi kerahiman
yang membebaskan seperti itu sebagai sebuah
sumber kehidupan baru, Yesus ditolak oleh orang-orang
Farisi dan ahli-ahli
Taurat lainnya. Dalam upaya untuk
tetap setia kepada hukum, mereka hanya menempatkan beban di pundak orang lain dan merusak kerahiman Bapa. Seruan untuk menaati
hukum tidak harus mencegah perhatian dari yang diberikan kepada hal-hal yang
menyentuh martabat manusia.
Seruan Yesus membuat teks dari kitab nabi Hosea - "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan" (6:6)
- penting dalam
hal ini. Yesus menegaskan bahwa,
sejak
saat itu dan seterusnya, aturan hidup dari para murid-Nya harus menempatkan kerahiman di pusat, seperti
ditunjukkan
Yesus sendiri dengan berbagi makanan bersama orang-orang berdosa. Kerahiman, sekali
lagi, terungkap sebagai aspek dasariah perutusan Yesus. Ini benar-benar
menantang para pendengar-Nya, yang
akan menarik garis pada
rasa hormat formal
terhadap hukum. Yesus, di sisi lain, melampaui hukum, persekutuan yang Ia jaga dengan orang-orang yang
dianggap
hukum orang-orang berdosa membuat kita menyadari kedalaman kerahiman-Nya.
Rasul
Paulus membuat sebuah perjalanan serupa. Sebelum bertemu Yesus di jalan menuju
Damsyik, ia mendedikasikan hidupnya untuk mengejar keadilan hukum dengan
semangat (bdk. Flp 3:6). Pertobatannya kepada Kristus menuntunnya untuk
mengubah visi yang terbalik itu, ke titik yang akan ia tulis kepada orang-orang
Galatia: "Kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami
dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum
Taurat. Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena
melakukan hukum Taurat" (2:16).
Pemahaman Paulus akan keadilan berubah secara radikal. Dia sekarang menempatkan iman pertama-tama, bukan keadilan.
Keselamatan datang bukan melalui ketaatan hukum, tetapi
melalui iman di dalam Yesus Kristus,
yang dalam kematian dan kebangkitan-Nya membawa
keselamatan bersama-sama dengan
sebuah
kerahiman yang membenarkan. Keadilan Allah sekarang
menjadi kekuatan yang membebaskan bagi mereka yang tertindas oleh perbudakan dosa dan
konsekuensinya. Keadilan Allah
adalah kerahiman-Nya (bdk.
Mzm 51: 11-16).
21. Kerahiman tidak menentang
keadilan melainkan mengungkapkan cara Allah untuk menjangkau orang berdosa, menawarkan kepadanya sebuah kesempatan baru untuk melihat diri-Nya, bertobat, dan percaya. Pengalaman nabi Hosea dapat membantu kita
melihat cara
yang di
dalamnya kerahiman melampaui keadilan. Zaman yang di dalamnya Nabi hidup adalah
salah satu yang paling dramatis dalam sejarah orang-orang Yahudi. Kerajaan sedang terhuyung-huyung di tepi kehancuran; umat tidak tetap setia terhadap perjanjian; mereka telah lari dari Allah dan kehilangan iman nenek moyang mereka. Menurut logika manusia, tampak
masuk akal bagi Allah untuk memikirkan menolak umat yang tidak setia; mereka tidak menaati perjanjian mereka dengan Allah dan karena itu yang pantas hanya hukuman: dengan kata lain, pengasingan.
Kata-kata nabi membuktikan hal ini: "Mereka harus kembali ke tanah Mesir,
dan Asyur akan menjadi raja mereka, sebab mereka menolak untuk bertobat"
(Hos 11:5). Namun, setelah permohonan keadilan ini, nabi secara radikal mengubah
pidatonya dan mengungkapkan wajah Allah yang sesungguhnya
: "Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim,
menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan engkau seperti Adma,
membuat engkau seperti Zeboim? Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku
bangkit serentak.
Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala
itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan
manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk
menghanguskan" (11:8-9). Santo Agustinus, hampir-hampir seolah-olah ia sedang mengomentari kata-kata nabi ini, mengatakan: "Lebih mudah bagi Allah untuk menahan
amarah daripada
kerahiman".[13] Dan sehingga murka Allah berlangsung hanya sekejap mata,
tetapi
kerahiman-Nya selama-lamanya.
Jika Allah membatasi diri-Nya hanya kepada
keadilan, Ia akan
berhenti menjadi Allah, dan sebaliknya akan menjadi seperti manusia yang meminta hanya hukum yang harus dihormati. Tetapi keadilan belaka tidak cukup. Pengalaman menunjukkan bahwa sebuah seruan untuk keadilan saja akan mengakibatkan kehancurannya. Inilah sebabnya mengapa Allah melampaui keadilan dengan
kerahiman dan pengampunan-Nya. Namun ini tidak berarti bahwa
keadilan harus direndahkan atau dijadikan berlebihan. Sebaliknya: siapapun yang melakukan sebuah kesalahan harus membayar harganya. Namun, ini hanya awal pertobatan, bukan akhir, karena orang mulai merasakan kelembutan dan kerahiman Allah. Allah tidak menolak keadilan. Ia malahan
menyelubunginya dan melampauinya dengan sebuah peristiwa yang lebih besar yang di dalamnya kita mengalami kasih sebagai dasar keadilan sejati. Kita harus memperhatikan apa yang dikatakan Santo Paulus jika kita ingin menghindari membuat kesalahan yang sama
yang karenanya
ia mencela orang-orang Yahudi pada zamannya : Sebab, “oleh karena mereka
tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan
kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah. Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga
kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya” (Rm 10:3-4). Keadilan Allah adalah kerahiman-Nya yang diberikan kepada semua orang sebagai rahmat
yang mengalir dari kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Dengan demikian
Salib Kristus adalah penghakiman Allah atas kita semua dan atas seluruh dunia, karena melaluinya Ia menawarkan kita kepastian kasih dan kehidupan baru.
22. Sebuah Yubileum juga memerlukan pemberian indulgensi. Praktek ini akan memperoleh arti
lebih penting dalam Tahun Suci Kerahiman. Pengampunan Allah tidak mengenal batas. Dalam kematian dan kebangkitan
Yesus Kristus, Allah membuat bahkan lebih jelas kasih-Nya dan kekuatannya menghancurkan semua dosa manusia.
Rekonsiliasi dengan Allah dimungkinkan melalui misteri Paskah dan pengantaraan Gereja. Dengan demikian Allah selalu siap untuk mengampuni, dan Ia tidak
pernah lelah
mengampuni dengan cara yang terus-menerus baru dan mengejutkan.
Namun demikian, kita semua mengenal dengan baik pengalaman dosa. Kita tahu bahwa kita dipanggil kepada kesempurnaan (bdk. Mat 5:48), namun kita merasakan beban berat dari dosa. Meskipun kita merasakan kekuatan rahmat
perubahan, kita juga merasakan pengaruh-pengaruh dosa khas keadaan
kejatuhan kita. Meskipun diampuni, konsekuensi yang bertentangan dari dosa-dosa kita tetap
ada. Dalam Sakramen Rekonsiliasi, Allah mengampuni dosa-dosa
kita, yang mana
Ia benar-benar menghapus dosa; namun dosa meninggalkan pengaruh buruk pada cara kita berpikir dan bertindak. Namun kerahiman Allah lebih kuat daripada hal ini. Ia menjadi indulgensi di pihak Bapa yang, melalui Sang Mempelai Kristus, Gereja-Nya, menjangkau orang berdosa yang diampuni dan
membebaskan dia dari setiap sisa yang ditinggalkan
oleh konsekuensi dosa, yang memungkinkan dia untuk bertindak dengan amal,
bertumbuh dalam kasih daripada jatuh kembali ke dalam dosa.
Gereja hidup di dalam persekutuan
para kudus. Dalam
Ekaristi, persekutuan ini, yang merupakan sebuah karunia dari Allah, menjadi sebuah kesatuan rohani yang mengikat kita kepada para santo/santa dan beato/beata yang jumlahnya
sulit
dihitung (bdk. Why 7:4). Kekudusan mereka datang untuk membantu kelemahan kita dengan cara yang memungkinkan Gereja, dengan doa-doa keibuannya dan cara hidupnya,
membentengi kelemahan dari beberapa orang dengan kekuatan
orang lain. Oleh karena itu, menghidupi indulgensi
dari Tahun Kudus berarti menjangkau kerahiman Bapa dengan kepastian bahwa
pengampunan-Nya meluas ke seluruh kehidupan orang
percaya. Mendapatkan sebuah indulgensi adalah mengalami kekudusan
Gereja, yang melimpahkan atas semua orang buah-buah penebusan Kristus, sehingga kasih
dan pengampunan Allah dapat diperpanjang di mana-mana. Marilah kita menghidupi Yubileum ini dengan intens, memohon
Bapa untuk mengampuni dosa-dosa kita dan untuk
memandikan
kita dalam “indulgensi”-Nya yang penuh kerahiman.
23. Ada aspek kerahiman yang melampaui batas-batas Gereja. Ia mengaitkan kita kepada Yudaisme dan Islam, keduanya
menganggap kerahiman adalah salah satu sifat Allah yang paling penting. Israel adalah yang pertama menerima pewahyuan ini yang berlanjut dalam sejarah sebagai sumber dari sebuah kekayaan yang tak habis-habisnya yang
dimaksudkan untuk dibagikan dengan seluruh umat manusia.
Sebagaimana telah kita lihat, halaman-halaman
Perjanjian Lama tenggelam dalam kerahiman, karena
mereka menceritakan karya-karya
yang ditunjukkan
Tuhan dalam
mendukung umat-Nya di saat-saat yang
paling sulit dari sejarah mereka.
Di antara nama-nama istimewa yang dikenakan Islam kepada
Sang Pencipta adalah "Penuh
Kerahiman dan Baik". Permohonan ini sering
berada
di bibir umat Muslim yang
merasakan diri mereka didampingi dan ditopang oleh kerahiman dalam kelemahan mereka sehari-hari. Mereka juga percaya bahwa tidak ada yang dapat menempatkan sebuah batasan pada kerahiman ilahi karena pintunya selalu
terbuka.
Saya percaya bahwa
tahun Yubileum merayakan kerahiman Allah ini akan menumbuhkan
sebuah
perjumpaan dengan agama-agama ini dan dengan tradisi-tradisi agama mulia lainnya; semoga ia membuka kita
untuk lebih kuat berdialog sehingga kita bisa saling mengenal dan memahami dengan lebih baik; semoga ia menghilangkan segala bentuk ketertutupan pikiran dan
ketidakhormatan, dan mengusir setiap
bentuk kekerasan dan diskriminasi.
24. Pikiran saya sekarang
beralih kepada Bunda Kerahiman. Semoga kemanisan roman
mukanya mengawasi kita di Tahun Suci ini, sehingga
kita semua dapat menemukan
kembali sukacita kelembutan Allah. Tidak ada yang telah menembus misteri mendalam dari
Penjelmaan seperti Maria. Seluruh kehidupannya terpola setelah kehadiran
kerahiman yang menjadi manusia. Bunda dari Dia yang Tersalib dan Bangkit telah
memasuki tempat kudus kerahiman ilahi karena ia ikut
serta secara intim dalam misteri kasih-Nya.
Dipilih untuk
menjadi Bunda dari Putra Allah, Maria,
sejak awal, dipersiapkan oleh kasih Allah untuk menjadi Tabut
Perjanjian antara Allah dan
manusia. Ia menyimpan
kerahiman ilahi dalam hatinya dalam keselarasan yang sempurna dengan Putranya Yesus. Kidung pujiannya, yang
dinyanyikan di ambang rumah Elisabet, didedikasikan
bagi
kerahiman Allah yang membentang dari "generasi ke generasi" (Luk 1:50). Kita juga termasukkan dalam kata-kata nubuatan Perawan Maria. Ini akan menjadi sebuah
sumber penghiburan dan kekuatan bagi kita karena kita melintasi ambang Tahun Suci untuk mengalami buah-buah kerahiman ilahi.
Di kaki salib, Maria,
bersama-sama dengan Yohanes, sang murid terkasih, menyaksikan kata-kata
pengampunan
yang diucapkan oleh Yesus. Ungkapan tertinggi kerahiman ini terhadap orang-orang yang menyalibkan Dia menunjukkan kepada kita
titik yang kepadanya dapat dicapai kerahiman Allah. Maria membuktikan bahwa
kerahiman
Putra Allah tidak mengenal batas dan meluas kepada semua orang, tanpa kecuali. Marilah kita menujukan
kepadanya dalam kata-kata Salve Regina,sebuah doa yang
sungguh kuno dan baru, sehingga ia tidak pernah lelah memutar matanya yang penuh kerahiman kepada kita, dan
membuat kita layak untuk merenungkan sang wajah kerahiman, Putranya Yesus.
Doa kita juga meluas kepada para
santo/santa dan para
beato/beata yang menjadikan
kerahiman ilahi perutusan mereka dalam
kehidupan. Saya terutama memikirkan rasul besar kerahiman, Santa Faustina Kowalska. Semoga ia,
yang dipanggil memasuki kedalaman kerahiman ilahi, mengantarai bagi kita dan mendapatkan bagi kita rahmat selalu hidup dan berjalan
sesuai dengan kerahiman Allah dan
dengan kepercayaan yang tak tergoyahkan dalam kasih-Nya.
25. Saya menghadirkan, oleh karena itu, Tahun Yubileum Agung ini yang didedikasikan untuk menghidupi dalam kehidupan sehari-hari
kita kerahiman yang terus menerus diluaskan
Bapa kepada kita semua. Dalam Tahun Yubileum ini, marilah kita memungkinkan Allah untuk mengejutkan
kita. Ia tidak pernah lelah melempar membuka pintu hati-Nya dan mengulangi
bahwa Ia mengasihi kita dan ingin berbagi kasih-Nya dengan kita. Gereja merasa memerlukan kebutuhan mendesak
untuk memberitakan kerahiman
Allah. Hidupnya otentik dan dapat dipercaya hanya ketika ia menjadi pewarta kerahiman
yang meyakinkan. Ia tahu bahwa
tugas utamanya, terutama pada saat penuh harapan-harapan besar dan tanda-tanda pertentangan, adalah
memperkenalkan kepada
semua orang misteri agung kerahiman Allah dengan merenungkan wajah Kristus. Gereja dipanggil terutama untuk menjadi saksi kerahiman yang dapat
dipercaya, mengakukannya dan menghidupinya sebagai inti pewahyuan Yesus Kristus. Dari hati Tritunggal, dari kedalaman misteri Allah, sungai besar kerahiman
menyembul dan meluap tanpa henti. Ia adalah sebuah
mata air yang tidak akan pernah kering, tidak peduli berapa
banyak orang yang
mendekatinya. Setiap kali seseorang membutuhkan, ia bisa
mendekatinya, karena kerahiman
Allah tidak pernah berakhir. Kedalaman misteri yang
mengelilinginya adalah sama tak habis-habisnya
dengan kekayaan yang memancar daripadanya.
Dalam Tahun Yubileum ini, semoga Gereja menggemakan sabda Allah yang
berkumandang kuat dan jelas sebagai sebuah
pesan dan sebuah tanda pengampunan, kekuatan, bantuan,
dan kasih. Semoga ia
tidak pernah lelah memperluas kerahiman, serta senantiasa sabar dalam menawarkan kasih
sayang dan kenyamanan. Semoga
Gereja menjadi suara
setiap pria dan wanita, dan mengulanginya dengan
percaya diri tanpa akhir: "Ingatlah
segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada
sejak purbakala" (Mzm 25:6).
Diberikan di Roma, di Santo Petrus, pada tanggal 11 April, Vigili Hari Minggu Paskah II, atau Hari Minggu Kerahiman Ilahi, dalam tahun Tuhan kita 2015, tahun ketiga Pontifikat saya.
FRANSISKUS
[1]bdk. Konsili
Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Pewahyuan Ilahi Dei Verbum, 4.
[2]Amanat Pembukaan
Konsili Ekumenis Vatikan II Gaudet Mater
Ecclesia, 11 Oktober 1962, 2-3.
[3]Pidato pada Sesi
Umum Akhir Konsili Ekumenis Vatikan II, 7 Desember 1965.
[4]Bdk. Konsili
Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 16: Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia
Modern Gaudium et Spes, 15.
[5]Santo Thomas
Aquino, Summa Theologiae, II-II, q. 30, a. 4.
[6]Hari Minggu
Biasa XXVI. Koleksi ini telah muncul pada abad ke-8 di antara teks-teks ekologis
dari Sakramentariun Gelasian (1198).
[7]bdk. Homili 22
CCL, 122, 149-151.
[8]Seruan Apostolik
Evangelii Gaudium, 24.
[9]No. 2.
[10]Santo Yohanes
Paulus II, Surat Ensiklik Dives in
Misericordia, 15.
[11]Idem, 13.
[12]Sabda Terang dan
Kasih, 57.
[13]Homili-homili
tentang Mazmur,76, 11.
Dialihbahasakan dari : http://w2.vatican.va/content/francesco/en/apost_letters/documents/papa-francesco_bolla_20150411_misericordiae-vultus.pdf
Dialihbahasakan dari : http://w2.vatican.va/content/francesco/en/apost_letters/documents/papa-francesco_bolla_20150411_misericordiae-vultus.pdf