Saudara-saudari
terkasih, selamat pagi!
Dalam katekese hari ini kita kembali ke perintah ketiga, yaitu hari istirahat. Dasa Firman, yang dicantumkan secara resmi dalam Kitab Keluaran, diulangi dalam Kitab Ulangan (5:12-15) dengan cara yang hampir serupa, dengan pengecualian Firman Ketiga ini, di mana perbedaan berharga muncul : jika dalam Kitab Keluaran alasan untuk beristirahat adalah berkat Penciptaan, maka dalam Ulangan, sebaliknya, berakhirnya perbudakan yang diperingati. Pada hari tersebut budak harus beristirahat sebagaimana majikannya, untuk merayakan kenangan Paskah pembebasan.
Pada
kenyataannya budak, menurut ketentuan, tidak dapat beristirahat. Namun, begitu
banyak jenis perbudakan yang ada, baik perbudakan rohani maupun jasmani. Ada
pembatasan jasmani seperti penindasan, kehidupan yang terculik oleh kekerasan
dan oleh jenis-jenis ketidakadilan lainnya. Kemudian ada penjara-penjara
rohani, yang adalah, misalnya, berbagai penyumbatan psikologis, kerumitan,
keterbatasan akhlak dan lainnya. Apakah ada istirahat dalam berbagai keadaan
ini? Dalam kasus apapun, bisakah seorang manusia yang terpenjara atau tertindas
bebas? Dan bisakah orang yang tersiksa oleh berbagai kesulitan rohani bebas?
Pada
kenyataannya, ada orang-orang yang, bahkan di dalam penjara, hidup dengan
kebebasan roh yang luar biasa. Kita memikirkan, misalnya, Santo Maximilian
Kolbe, atau Kardinal Van Thuan, yang mengubah rupa gelapnya penindasan menjadi
tempat-tempat terang. Ada juga orang-orang yang ditandai oleh berbagai
kerapuhan rohani yang luar biasa yang, bagaimanapun, mengenal istirahat belas
kasihan dan mampu meneruskannya. Belas kasih Allah membebaskan kita. Dan ketika
kita berjumpa belas kasihan Allah, kita memiliki kebebasan rohani yang luar
biasa dan kita juga mampu mentransmisikannya. Oleh karena itu, sangatlah penting
untuk membuka diri kita terhadap belas kasih Allah agar tidak menjadi budak
dari diri kita sendiri.
Jadi,
apakah kebebasan sejati? Apakah kebebasan sejati, mungkin, berupa kebebasan
memilih? Hal ini tentu saja merupakan bagian dari kebebasan, dan kita
bertanggung jawab agar setiap pria dan wanita yakin akan kebebasan sejati (bdk.
Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 73). Namun,
kita mengenal dengan baik bahwa untuk dapat melakukan apa yang diinginkan
tidaklah cukup benar-benar bebas, dan bahkan tidak bahagia. Kebebasan sejati
jauh melebihi.
Pada
kenyataannya, ada perbudakan yang membelenggu lebih dari penjara, yang lebih
dari sekadar krisis panik, yang lebih dari sekadar pengenaan apa pun :
perbudakan ego kita. Ada orang-orang yang menghabiskan seluruh hari dengan
melihat diri mereka pada cermin untuk melihat ego tersebut. Dan ego kita
memiliki perawakan yang lebih tinggi daripada tubuh kita. Mereka adalah
budak-budak ego. Ego dapat menjadi penyiksa yang menyiksa manusia di manapun ia
berada dan menimbulkan baginya penindasan yang paling dalam, apa yang disebut
"dosa", yang bukan pelanggaran undang-undang yang sepele, tetapi
kegagalan keberadaan dan keadaan budak (bdk. Yoh 8:34). Pada akhirnya, dosa
adalah mengatakan dan melakukan ego. “Aku ingin melakukan hal ini dan aku tidak
peduli terhadap batasan, terhadap perintah, aku bahkan tidak peduli terhadap
kasih”.
Mengenai
ego, misalnya, kita memikirkan nafsu manusiawi : orang-orang yang tamak,
orang-orang yang penuh nafsu, orang-orang yang serakah, orang-orang yang lekas
marah, orang-orang yang iri hati, orang-orang yang malas, orang-orang yang
sombong - dan seterusnya - adalah budak dari keburukan mereka, yang bertindak
sewenang-wenang dan menyiksa mereka. Tidak ada gencatan senjata bagi
orang-orang yang tamak, karena tenggorokan adalah kemunafikan perut, yang
kenyang tetapi yang membuat kita berpikir bahwa perut tersebut kosong. Perut
yang munafik membuat kita serakah. Kita adalah budak dari perut yang munafik.
Tidak ada gencatan senjata untuk orang-orang yang serakah dan nafsu yang harus
hidup dengan kesenangan; kecemasan akan harta milik menghancurkan orang-orang
yang tamak, selalu menumpuk uang, menyakiti orang lain; api murka dan cacing
iri hati merusak hubungan. Berbagai penulis mengatakan bahwa iri hati membuat
tubuh dan jiwa menjadi kuning, seperti ketika seseorang menderita hepatitis: ia
menjadi kuning. Orang-orang yang iri hati memiliki jiwa yang kuning, karena
mereka tidak pernah dapat memiliki segarnya kesehatan jiwa. Iri hati
menghancurkan. Kemalasan yang menghindari semua kerja membuat kita tidak mampu
hidup. Pemusatan diri - ego yang saya bicarakan tersebut - bersifat arogan,
menggali parit yang dalam di antara diri kita dan orang lain.
Saudara-saudari terkasih, kemudian siapakah budak yang sesungguhnya? Siapakah ia yang paham tidak beristirahat? Siapakah yang tidak mampu mencintai! Dan semua keburukan ini, dosa-dosa ini, egoisme ini menjauhkan kita dari cinta dan membuat kita tidak mampu mencintai. Kita adalah budak dari diri kita sendiri dan kita tidak dapat mencintai, karena cinta selalu terhadap orang lain.
Perintah Ketiga, yang mengundang untuk merayakan pembebasan dalam keadaan istirahat, adalah bagi kita umat kristiani sebuah nubuat dari Tuhan Yesus, yang menghancurkan perbudakan dosa rohaniah guna membuat manusia mampu mencintai. Cinta sejati adalah kebebasan sejati : cinta sejati melepaskan diri dari harta milik, membangun kembali hubungan, mampu menyambut dan menghargai sesama kuta, mengubah setiap upaya menjadi karunia yang penuh sukacita dan menjadikan kita mampu bersekutu. Cinta membebaskan kita bahkan di dalam penjara, bahkan jika kita lemah dan terbatas.
Inilah kebebasan yang kita terima dari Sang Penebus kita, Tuhan kita Yesus Kristus.
[Sambutan dalam bahasa Italia]
Sambutan
hangat tertuju kepada para peziarah yang berbahasa Italia.
Secara khusus, saya menyambut para Fransiskan dari Maria Dikandung Tanpa Noda; para pembantu Hati Kudus Yesus dan kelompok-kelompok paroki, khususnya Paroki San Siro di Sanremo, dengan sang Uskup, Monsignor Antonio Suetta; paroki Santa Lusia di Uzzano dan Paroki Santi Yakobus dan Filipus di Merone.
Saya
menyapa para peserta dalam Pertemuan National Para Jurnalis, yang didampingi
oleh sang Uskup, Monsinyur Carlo Bresciani; Federasi Para Pecinta Anjing
Italia; kelompok ACLI dari Provinsi Brescia; Federasi Lembaga Abad Ketiga dan
Lembaga Onkologi Medis.
Saya
secara khusus memikirkan orang-orang muda, orang-orang tua, orang-orang sakit,
dan para pengantin baru. Kepada para pengantin baru saya mengatakan bahwa
kalian berani, karena saat ini keberanian menikah diperlukan. Dan, oleh karena
itu, mereka baik. Hari ini adalah peringatan liturgi Nama Tersuci Santa Perawan
Maria. Kita semua umat kristiani diundang untuk menerima dalam nama Maria,
rencana besar yang dimiliki Allah untuk ciptaan yang luhur ini dan, pada saat
yang sama, tanggapan cinta yang, sebagai Ibu, ia berikan kepada Putranya Yesus,
bekerjasama secara tak terkatakan, untuk karya keselamatan-Nya.
[Ringkasan dalam bahasa Inggris]
Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese kita tentang Dasa Firman, kita telah merenungkan perintah ketiga : kuduskanlah Hari Tuhan. Dalam versi Dasa Firman yang ditemukan dalam Kitab Ulangan, perintah untuk beristirahat pada hari Sabat dikaitkan dengan kenangan akan pembebasan Israel dari perbudakan Mesir. Para budak, seperti yang kita ketahui, tidak bisa beristirahat. Di zaman kita sendiri, begitu banyak saudara dan saudari kita menderita berbagai bentuk perbudakan, ketidakadilan dan siksaan batin; mereka merindukan istirahat dan kebebasan. Namun, seperti teladan yang ditunjukkan para martir kepada kita, bahkan di dalam penjara-penjara yang paling gelap, adalah mungkin untuk mengalami kebebasan batin yang mendalam dan istirahat. Kebebasan sejati lebih dari sekadar pilihan. Kebebasan sejati adalah pembebasan dari belenggu keegoisan, dosa dan kebencian; dari perbudakan seperti itu tidak akan ada istirahat. Sebagai umat kristiani, kita membaca, dan mengamati, perintah ketiga dalam terang kedatangan Kristus. Dengan pengorbanan-Nya di kayu Salib, Yesus menebus kita dari perbudakan dosa dan memungkinkan kita untuk beristirahat di dalam kebebasan yang lahir dari kebenaran-Nya, belas kasih-Nya dan cinta-Nya yang tak pernah padam.
Saya menyambut para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang berasal dari Inggris, Irlandia, Denmark, Norwegia, Swedia, Nigeria, Australia, Malaysia, Kanada, dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyambut pertemuan Siswa Muda Katolik Internasional di Roma sebagai persiapan untuk Sinode tentang Orang Muda yang akan datang. Saya juga menyambut para jurnalis dan para guru yang ambil bagian dalam seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Kepausan Santa Croce. Saya juga menyambut para anggota Proyek Perumahan Ramah Lingkungan dari Amerika Serikat. Atas kalian semua, dan keluarga-keluarga kalian, saya memohonkan berkat sukacita dan damai Tuhan. Tuhan memberkati kalian!