Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 10 April 2019 : TENTANG DOA BAPA KAMI - AMPUNILAH KESALAHAN KAMI SEPERTI KAMI PUN MENGAMPUNI YANG BERSALAH KEPADA KAMI (bdk. 1Yoh 1:8-9)

Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi! Hari tidak begitu indah, tetapi bagaimanapun juga selamat pagi!

Setelah memohon rejeki sehari-hari kepada Allah, doa "Bapa Kami" memasuki ranah hubungan kita dengan orang lain. Dan Yesus mengajarkan kita untuk memohon kepada Bapa : "Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah terhadap kami" (Mat 6:12). Sama seperti kita membutuhkan rejeki, kita juga memerlukan pengampunan, dan hal ini setiap hari.


Orang Kristiani yang berdoa memohon agar Allah, pertama-tama, mengampuni kesalahannya, yaitu, dosa-dosanya, hal-hal buruk yang dilakukannya. Inilah kebenaran pertama dari setiap doa : bahkan jika kita adalah orang-orang yang sempurna, bahkan jika kita adalah orang-orang kudus yang laksana kristal yang tidak pernah berbelok dari kehidupan yang baik, kita selalu tetap anak-anak yang berutang segalanya kepada Bapa.

Apa sikap yang paling berbahaya dari setiap kehidupan Kristiani? Kesombongan. Sikap seseorang yang menempatkan dirinya di hadapan Allah berpikir bahwa ia selalu memiliki kisah-kisah yang layak bersama-Nya. Orang yang sombong percaya bahwa ia memiliki segalanya sebagai gantinya. Seperti orang Farisi dalam perumpamaan, yang berpikir untuk berdoa di Bait Allah tetapi dalam kenyataannya memuji dirinya sendiri di hadapan Allah: "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain". Dan orang-orang yang berpikir mereka sempurna, yang mengritik orang lain adalah orang-orang yang sombong. Tidak satu orang pun dari kita yang sempurna, tidak satu orang pun. Pemungut cukai, sebaliknya, yang berada di belakang, di Bait Allah, seorang pendosa yang dihina oleh semua orang, berhenti di ambang pintu Bait Allah dan tidak merasa layak untuk masuk, dan mempercayakan dirinya kepada kerahiman Allah. Dan Yesus berujar, “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak” (Luk 18:14), yaitu, diampuni, diselamatkan. Mengapa? - karena ia tidak sombong; karena ia mengakui keterbatasan-keterbatasan dan dosa-dosanya.

Ada dosa-dosa yang terlihat dan ada dosa-dosa yang tidak terlihat. Ada dosa-dosa yang mencolok mata yang membuat kegaduhan, tetapi ada juga dosa-dosa yang hampir tak kentara, yang bersarang dalam hati tanpa sungguh kita sadari. Yang terburuk dari hal-hal ini adalah kesombongan, yang bahkan dapat menulari orang-orang yang hidup dalam kehidupan keagamaan yang kuat. Pernah ada di sebuah biara para biarawati, pada tahun 1600-1700, terkenal, pada masa Jansenisme : mereka sempurna dan dikatakan bahwa mereka suci seperti para malaikat tetapi sombong seperti iblis. Suatu hal yang mengerikan. Dosa memecah belah persaudaraan; dosa membuat kita menganggap bahwa kita lebih baik daripada orang lain; dosa membuat kita percaya bahwa kita serupa dengan Allah. Dan, sebaliknya, di hadapan Allah, kita semua adalah orang-orang berdosa dan kita memiliki alasan untuk menebah dada kita, - kita semua! seperti pemungut cukai di Bait Allah itu. Dalam Surat Pertamanya, Santo Yohanes menulis, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1 Yoh 1:8). Jika kamu ingin menipu dirimu, katakanlah bahwa kamu tidak memiliki dosa : maka kamu sedang menipu dirimu sendiri.

Kita adalah orang-orang yang berhutang, pertama-tama, karena kita telah menerima begitu banyak dalam kehidupan ini : keberadaan, ayah dan ibu, persahabatan, berbagai keajaiban ciptaan ... Bahkan jika itu semua terjadi untuk melewati hari-hari yang sulit, kita harus selalu ingat bahwa hidup adalah anugerah, hidup adalah sebuah mukjizat yang disarikan Allah dari ketiadaan.

Kedua, kita adalah orang-orang yang berhutang karena, bahkan jika kita berhasil dalam mengasihi, tak seorangpun dari kita yang mampu melakukannya dengan kekuatannya sendiri. Kasih sejati adalah saat kita bisa mengasihi, tetapi dengan rahmat Allah. Tak seorangpun dari kita yang bersinar dengan cahayanya sendiri. Itulah apa yang disebut oleh para teolog zaman dahulu sebagai suatu "mysterium lunae" bukan hanya dalam jatidiri Gereja tetapi juga dalam sejarah kita masing-masing. Apa artinya "mysterium lunae" ini? Artinya seperti bulan, yang tidak memiliki cahayanya sendiri : ia memantulkan cahaya matahari. Kita juga tidak memiliki cahaya kita sendiri : cahaya yang kita miliki adalah pantulan rahmat Allah, pantulan cahaya Allah. Jika kamu mengasihi itu karena seseorang, bukan dirimu, tersenyum padamu ketika kamu masih kecil, mengajarmu untuk menanggapi dengan sebuah senyuman. Jika kamu mengasihi, itu karena seseorang di sebelahmu telah membangunkanmu untuk mengasihi, membuatmu memahami bagaimana makna keberadaan berada di dalam hal tersebut.

Marilah kita mencoba mendengarkan kisah seseorang yang telah melakukan kesalahan : seorang narapidana, seorang yang dijatuhi hukuman, seorang pecandu narkoba ... kita tahu banyak orang yang membuat kesalahan dalam kehidupan. Tanpa mengurangi tanggung jawab, yang selalu bersifat pribadi, kamu terkadang bertanya-tanya siapa yang harus dipersalahkan atas kesalahannya, apakah hanya hati nuraninya atau sejarah kebencian dan pengabaian yang dilakukan seseorang di belakangnya.

Dan inilah misteri bulan : pertama-tama kita mengasihi karena kita telah dikasihi; kita mengampuni karena kita telah diampuni. Dan jika cahaya matahari tidak menyinari seseorang, ia menjadi beku seperti tanah di musim dingin.

Dalam mata rantai kasih yang mendahului kita, bagaimana mungkin kita juga tidak mengenali kehadiran kasih Allah yang tak terbatas? Tak seorang pun dari kita yang mengasihi Allah sebagaimana Ia telah mengasihi kita. Cukuplah menempatkan diri kita di depan salib untuk memahami ketidaksetimpalan tersebut. Ia telah mengasihi kita dan selalu mengasihi kita terlebih dahulu.

Oleh karena itu, marilah kita berdoa : Tuhan, bahkan yang paling kudus di tengah-tengah kita pun tidak henti-hentinya menjadi orang-orang yang berhutang kepada-Mu. Ya Bapa, kasihanilah kami semua!

[Sambutan bahasa Italia]

Sambutan hangat tertuju kepada para peziarah berbahasa Italia.

Saya senang menerima para biarawati yang ambil bagian dalam Kursus Persatuan Para Superior Utama Italia dan Fakultas Ilmu Pendidikan Kepausan Auxilium.

Saya menyapa kelompok-kelompok paroki, terutama Paroki Codivara dan Paroki San Marco di Castellabate; kerabat kalangan militer yang meninggal di luar negeri pada masa damai; Sekolah Musik Santo Nikolas Prato dan lembaga-lembaga sekolah, khususnya Sekolah Grottammare.

Secara khusus saya memikirkan kaum muda, kaum tua, orang-orang sakit, dan para pengantin baru. Kita sedang mengakhiri perjalanan Prapaskah. Cahaya dan penghiburan Paskah Tuhan sekarang sudah dekat. Penuh dengan sukacita dan harapan, marilah kita mempersiapkan diri kita untuk menjadikan kepekaan perasaan Kristus sebagai milik kita dan sepenuhnya menjalaninya pada hari-hari sengsara dan kemuliaan.

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh penutur]

Saudara dan saudari yang terkasih,

Dalam katekese lanjutan kita tentang doa "Bapa Kami", kita sekarang memikirkan bagaimana Yesus mengajarkan kita memohon kepada Allah "ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami" (Mat 6:12).

Sama seperti kita membutuhkan rejeki, kita juga membutuhkan pengampunan. Setiap hari! Dalam bahasa aslinya, dalam bahasa Yunani, kata yang digunakan Injil Matius untuk kata 'kesalahan' mengandung arti berada dalam keadaan berhutang, sehingga umat Kristiani berdoa memohon agar Allah sudi mengampuni hutang mereka.

Kita benar-benar berhutang kepada Allah karena segala yang kita miliki berasal sebagai karunia-Nya : kehidupan kita, orangtua, teman, ciptaan itu sendiri.

Demikian juga, kita hanya mampu mengasihi karena kita lebih dulu dikasihi; kita dapat mengampuni hanya karena kita sendiri telah menerima pengampunan.

Bagaimana kita tidak bisa mengenali, dalam ikatan kasih yang mendahului kita, kehadiran kasih Allah yang layak? Tidak seorang pun dari kita yang dapat mengasihi Allah sebagaimana Ia telah mengasihi kita. Kita hanya perlu menatap salib untuk menyadari hal ini.

Maka marilah kita berdoa agar bahkan yang terkudus di tengah-tengah kita tidak akan pernah berhenti berhutang kepada Tuhan. Ya Bapa, kasihanilah kami semua!

Saya menyambut para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama yang berasal dari Inggris, Irlandia, Belgia, Denmark, Norwegia, Australia, Sri Lanka, dan Amerika Serikat. Semoga perjalanan Prapaskah membawa kita menuju Paskah dengan hati yang dimurnikan dan diperbarui oleh rahmat Roh Kudus. Atas kalian dan keluarga-keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan kedamaian di dalam Kristus Sang Penebus kita!