Liturgical Calendar

SURAT PAUS FRANSISKUS UNTUK PARA IMAM DALAM RANGKA 160 TAHUN WAFATNYA SANTO PENYEMBUH ASAL ARS, SANTO YOHANES MARIA VIANNEY


Kepada para imam saudaraku

Saudara-saudara yang terkasih,

Seratus enam puluh tahun telah berlalu sejak wafatnya Santo Penyembuh asal Ars, yang diberikan oleh Paus Pius XI sebagai pelindung para imam paroki di seluruh dunia.[1] Sehubungan dengan hal ini, pada hari pestanya, saya menulis surat ini tidak hanya untuk para imam paroki tetapi juga untuk kamu semua, para imam saudaraku, yang secara diam-diam “meninggalkan segalanya” untuk membenamkan diri dalam kehidupan sehari-hari komunitasmu. Seperti Santo Penyembuh asal Ars, kamu melayani "di parit-parit", sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari (bdk. Mat 20:12), menghadapi berbagai situasi yang tak berujung dalam upayamu untuk memberi perhatian dan menemani umat Allah. Saya ingin mengatakan sepatah kata kepada kamu masing-masing yang, sering tanpa gembar-gembor dan dengan biaya pribadi, di tengah keletihan, kelemahan dan kesedihan, melaksanakan perutusan pelayananmu demi Allah dan demi umatmu. Meskipun berbagai kesulitan dalam perjalanan, kamu sedang menulis halaman-halaman terbaik kehidupan imami.


Beberapa waktu yang lalu, saya mengungkapkan keprihatinan saya dengan para uskup Italia bahwa, di beberapa tempat, para imam kita merasakan diri mereka diserang dan dipersalahkan atas kejahatan yang tidak mereka lakukan. Saya menyerukan bahwa di dalam diri uskupnya para imam perlu menemukan seorang saudara dan seorang bapa yang meyakinkan mereka di masa-masa sulit ini, mendorong dan mendukung mereka di sepanjang jalan.[2]

Sebagai seorang saudara dan seorang bapa, dalam surat ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih atas nama umat Allah yang kudus dan setia atas semua yang telah kamu lakukan untuk mereka, dan mendorong kalian agar tidak pernah melupakan kata-kata yang disabdakan Tuhan dengan penuh cinta kasih kepada kita pada hari tahbisan kita. Sabda itu adalah sumber sukacita kita : "Aku tidak menyebut kamu lagi hamba Aku menyebut kamu sahabat" (Yoh 15:15).[3]

PENDERITAAN
“Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku” (Kel 3:7)

Dalam tahun-tahun ini, kita menjadi semakin memperhatikan jeritan, yang sering kali kelu dan tertekan, dari saudara dan saudari kita yang menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan hati nurani dan pelecehan seksual di pihak para pelayan tertahbis. Hal ini merupakan masa penderitaan besar dalam kehidupan mereka yang mengalami pelecehan semacam itu, tetapi juga dalam kehidupan keluarga-keluarga mereka dan seluruh umat Allah.

Seperti yang kamu ketahui, kita sangat berketetapan hati untuk melaksanakan reformasi yang diperlukan untuk sejak awal mendorong budaya pelayanan pastoral, sehingga budaya pelecehan tidak memiliki ruang untuk berkembang, apalagi berlanjut. Tugas ini tidak lekas dan tidak mudah : tugas ini menuntut ketetapan hati dari semua pihak. Jika di masa lalu, kelalaian itu sendiri mungkin semacam tanggapan, hari ini kita menginginkan pertobatan, kejelasan, ketulusan, dan kesetiakawanan dengan para korban menjadi cara nyata kita untuk melangkah maju. Hal ini pada gilirannya akan membantu membuat kita semakin memperhatikan setiap bentuk penderitaan manusia.[4]

Penderitaan ini juga mempengaruhi para imam. Saya telah melihatnya dalam kunjungan pastoral saya di keuskupan saya sendiri dan di tempat lain, dalam pertemuan saya dan percakapan pribadi dengan para imam. Banyak yang berbagi dengan saya tentang kegeraman mereka atas apa yang terjadi dan frustrasi mereka karena “untuk semua kerja keras mereka, mereka harus menghadapi kehancuran yang telah terjadi, yang menimbulkan kecurigaan dan ketidakpastian, serta keraguan, ketakutan dan kekecewaan dirasakan oleh tidak sedikit imam”.[5] Saya telah menerima banyak surat dari para imam yang mengungkapkan perasaan itu. Pada saat yang sama, saya terhibur dengan berbagai pertemuan saya dengan para gembala yang mengenali dan ikut serta dalam kesengsaraan dan penderitaan para korban dan umat Allah, serta telah berusaha menemukan kata-kata dan tindakan yang mampu mengilhami harapan.

Tanpa menyangkal atau menolak bahaya yang disebabkan oleh beberapa saudara kita, tidak menyatakan rasa terima kasih kita kepada semua imam yang dengan setia dan murah hati menghabiskan hidup mereka untuk melayani sesama (bdk. 2 Kor 12:15) tidaklah adil. Mereka mewujudnyatakan kebapaan rohani yang mampu menangis dengan mereka yang menangis. Tak terhitung banyaknya imam yang menjadikan hidup mereka sebagai karya belas kasih di berbagai wilayah atau situasi yang seringkali memusuhi, mengasingkan, atau menelantarkan, bahkan dengan resiko nyawa mereka. Saya mengakui dan menghargai keteladananmu yang berani dan tegar; di saat-saat yang penuh gejolak, hinaan dan penderitaan ini, kamu menunjukkan bahwa kamu telah dengan penuh sukacita mempertaruhkan nyawamu demi Injil.[6]

Saya yakin bahwa, sejauh kita tetap setia terhadap kehendak Allah, saat-saat penyucian gerejawi dewasa ini akan membuat kita semakin penuh sukacita dan rendah hati, serta membuktikan, di masa mendatang yang tidak lama lagi, berbuah banyak. “Janganlah kita berkecil hati! Tuhan sedang menyucikan mempelai-Nya dan menjadikan kita semua berbalik kepada-Nya. Ia memperkenankan kita diuji untuk membuat kita sadar bahwa tanpa Dia kita hanyalah debu. Ia sedang menyelamatkan kita dari kemunafikan, dari spiritualitas penampilan. Ia sedang menghembuskan Roh-Nya untuk memulihkan kecantikan mempelai-Nya, yang tertangkap basah berzinah. Kita bisa mendapat manfaat dari membaca ulang Kitab Yehezkiel bab enam belas. Kitab Yehezkiel bab enam belas  adalah sejarah Gereja, dan kita masing-masing dapat mengatakan itu adalah sejarah kita juga. Pada akhirnya, melalui rasa hinamu, kamu akan senantiasa bertindak sebagai seorang gembala. Pertobatan kita yang bersahaja, yang terungkap secara diam-diam dalam air mata di hadapan dosa-dosa yang mengerikan dan keagungan pengampunan Allah yang tak terduga ini, adalah awal dari pembaruan kekudusan kita.[7]

PERASAAN SYUKUR

“Aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu” (Ef 1:16).

Panggilan, mengatasi pilihan kita, adalah tanggapan terhadap panggilan Tuhan yang tidak pantas. Kita sebaiknya terus-menerus kembali ke ayat-ayat Injil tersebut di mana kita melihat Yesus sedang berdoa, memilih dan memanggil orang-orang “untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” (Mrk 3:14).

Di sini saya memikirkan seorang guru besar kehidupan imami di negara saya, Pastor Lucio Gera. Berbicara kepada sekelompok imam di masa yang penuh gejolak di Amerika Latin, ia mengatakan kepada mereka, "Senantiasa, tetapi terutama di masa-masa pencobaan, kita perlu kembali ke saat-saat bercahaya ketika kita mengalami panggilan Tuhan untuk mengabdikan hidup kita demi melayani-Nya". Saya sendiri suka menyebutnya "ingatan deuteronomis panggilan kita"; ingatan itu membuat kita masing-masing kembali “ke terang yang membara yang dengannya rahmat Allah menjamahku di awal perjalanan. Dari nyala api itu, aku dapat menyalakan api untuk hari ini dan setiap hari, serta membawa panas serta terang bagi saudara-saudariku. Nyala api itu menyulut sukacita yang bersahaja, sukacita yang tidak bisa dicemaskan oleh kesedihan dan kesusahan, sukacita yang manis dan lembut”.[8]

Suatu hari, kita masing-masing mengatakan dan mengucapkan "ya", sebuah "ya" yang lahir dan berkembang di hati umat kristiani berkat "orang kudus pintu sebelah"[9] yang menunjukkan kepada kita dengan iman mereka yang bersahaja bahwa berketetapan hati sepenuhnya untuk Tuhan dan kerajaan-Nya bermanfaat. Sebuah "ya" yang akibatnya sangat penting sehingga seringkali kita sulit membayangkan segenap kebaikan yang terus dihasilkannya. Betapa indahnya ketika seorang imam yang sudah berusia lanjut dijenguk atau dikunjungi oleh anak-anak – yang sekarang sudah dewasa - yang dahulu dibaptisnya itu dan sekarang dengan penuh syukur memperkenalkan keluarga mereka! Pada saat-saat seperti ini, kita menyadari bahwa kita diurapi untuk mengurapi orang lain, dan pengurapan Allah tidak pernah mengecewakan. Saya dituntun untuk mengatakan bersama Rasul Paulus : "Aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu" (bdk. Ef 1:16) dan atas segenap kebaikan yang telah kamu lakukan.

Di tengah-tengah pencobaan, kelemahan, dan kesadaran akan keterbatasan kita, “godaan terburuk adalah terus merenungi kesulitan-kesulitan kita”[10] karena kemudian kita kehilangan sudut pandang, penilaian baik kita, dan keberanian kita. Pada saat-saat itu, pentingnya - saya bahkan mengatakan sangat penting - menghargai ingatan akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan kita dan tatapan-Nya yang penuh belas kasih, yang mengilhami kita untuk mempertaruhkan nyawa kita untuk-Nya dan untuk umat-Nya. Dan menemukan kekuatan untuk bertahan dan, bersama Pemazmur,  melambungkan madah pujian kita, “bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya” (Mzm 136).

Perasaan syukur selalu merupakan senjata yang ampuh. Hanya jika kita dapat merenungkan dan merasakan syukur yang tulus atas segenap cara kita telah mengalami kasih, kemurahan hati, kesetiakawanan, dan kepercayaan Allah, serta pengampunan, kesabaran, pengendalian diri, dan belas kasih-Nya itu, maka kita sudi memperkenankan Roh Kudus untuk menganugerahkan kepada kita kesegaran yang dapat memperbarui (dan tidak sekadar memulihkan) kehidupan dan perutusan kita. Seperti Petrus pada pagi hari menjala ikan secara ajaib, semoga kita memperkenankan pengakuan atas segenap berkat yang telah kita terima membangkitkan dalam diri kita keheranan dan perasaan syukur yang dapat memungkinkan kita untuk mengatakan : “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa" (Luk 5:8). Kemudian semata mendengarkan Tuhan mengulangi panggilan-Nya : “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia (Luk 5:10). "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

Saudara-saudara yang terkasih, saya bersyukur atas kesetiaanmu terhadap ketetapan hati yang telah kamu buat. Inilah tandanya bahwa, dalam masyarakat dan budaya yang memuliakan yang fana, masih ada orang-orang yang tidak takut membuat janji seumur hidup. Akibatnya, kita menunjukkan bahwa kita terus percaya kepada Allah, yang tidak pernah melanggar perjanjian-Nya, meskipun kita telah berkali-kali melanggar. Dengan cara ini, kita merayakan kesetiaan Allah, yang terus meyakini kita, mempercayai kita dan mengandalkan kita, karena segenap dosa dan kegagalan kita, serta pada gilirannya mengundang kita untuk setia. Menyadari bahwa kita menyimpan harta ini dalam bejana tanah liat (bdk. 2 Kor 4:7), kita tahu bahwa Tuhan berkuasa melalui kelemahan (bdk. 2 Kor 12:9). Ia terus mendukung kita dan memperbarui panggilan-Nya, membayar kita seratus kali lipat (bdk. Mrk 10:29-30). "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

Syukur atas sukacita yang telah kamu berikan terhadap kehidupanmu, mengungkapkan hati yang selama bertahun-tahun telah menolak untuk menjadi tertutup dan getir, tetapi telah bertumbuh setiap hari dalam mengasihi Allah dan umat-Nya. Hati yang, seperti anggur yang baik, tidak berubah masam tetapi menjadi semakin kaya seiring bertambahnya usia. "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

Syukur telah bekerja untuk memperkuat ikatan persaudaraan dan persahabatan dengan para imam saudara-saudaramu dan uskupmu, saling memberi dukungan dan dorongan, merawat orang-orang sakit, mencari orang-orang yang terlantar, mengunjungi para lansia dan mengambil kebijaksanaan mereka, saling berbagi serta belajar untuk tertawa dan menangis bersama-sama. Betapa kita sangat membutuhkan hal ini! Tetapi syukur juga atas kesetiaan dan ketekunanmu dalam melakukan berbagai perutusan yang sulit, atau atas saat-saat ketika kamu harus memanggil seorang imam saudaramu untuk ditugaskan. "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

Syukur atas kesaksian ketekunan dan daya tahan kesabaran (hypomoné)-mu dalam pelayanan pastoral. Seringkali, dengan parrhesía gembala,[11] kita mendapati diri kita tawar-menawar dengan Tuhan dalam doa, seperti Musa yang dengan berani menjadi perantara umat (bdk. Bil 14:13-19; Kel 32:30-32; Ul 9:18-21). "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

Syukur telah merayakan Ekaristi setiap hari dan menjadi gembala yang berbelas kasih dalam Sakramen Rekonsiliasi, tidak kejam atau lalai, tetapi sangat peduli terhadap umatmu dan menyertai mereka dalam perjalanan pertobatan menuju kehidupan baru yang dilimpahkan Tuhan kepada kita semua. Kita tahu bahwa di tangga belas kasih kita dapat turun menuju kedalaman keadaan manusiawi kita - termasuk kelemahan dan dosa - dan pada saat yang sama mengalami ketinggian kesempurnaan ilahi : "Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati".[12] Dengan cara ini, kita "mampu menghangatkan hati orang-orang, berjalan di samping mereka dalam kegelapan, berbicara dengan mereka dan bahkan memasuki malam mereka dan kegelapan mereka, tanpa kehilangan arah".[13] "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

Syukur telah mengurapi dan dengan berapi-api menyatakan kepada semua orang, "baik atau tidak baik waktunya" (bdk. 2Tim 4:2), Injil Yesus Kristus, menyelidiki hati umatmu "supaya memahami kapan dan di mana kerinduan mereka akan Allah mulai hidup dan bernyala, serta mereka harus menyadari bahwa dialog yang awalnya menawarkan kasih, bisa menyakiti dan tidak mampu menghasilkan buah”.[14] "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

Syukur atas saat-saat ketika, dengan penuh perasaan, kamu merangkul orang-orang berdosa, menyembuhkan luka-luka, menghangatkan hati dan menunjukkan kelembutan dan belas kasih Orang Samaria yang Baik Hati (bdk. Luk 10:25-27). Tidak ada yang lebih penting dari hal ini : mudah masuk, kedekatan, kesiapan untuk mendekati raga saudara-saudari kita yang menderita. Betapa kuatnya keteladanan seorang imam yang menjadikan dirinya hadir dan tidak lari dari luka-luka saudara-saudarinya![15] Hal ini mencerminkan hati seorang gembala yang telah mengembangkan cita rasa rohani karena bersatu dengan umatnya,[16] seorang gembala yang tidak pernah lupa bahwa ia berasal dari mereka dan dengan melayani mereka ia akan menemukan dan mengungkapkan jatidirinya yang paling murni dan lengkap. Pada gilirannya hal ini akan mengarah pada mengadopsi cara hidup yang sederhana dan bersahaja, menolak keistimewaan yang tidak ada hubungannya dengan Injil. "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

Akhirnya, marilah kita bersyukur atas kekudusan umat Allah yang setia. Kita dipanggil untuk menggembalakannya serta melaluinya Tuhan juga menggembalakan dan memelihara kita. Ia memberkati kita dengan karunia untuk merenungkan Umat Allah yang setiadalam diri orangtua yang membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang yang sangat besar, dalam diri laki-laki dan perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga mereka, dalam diri mereka yang sakit, dalam diri kaum religious lanjut usia yang tetap tersenyum. Di dalam kegigihan perjuangan mereka untuk terus maju hari demi hari, saya melihat kekudusan dari Gereja yang militan”.[17] Marilah kita bersyukur atas mereka masing-masing, dan dalam kesaksian mereka menemukan dukungan dan dorongan. "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

PENGHIBURAN

"Supaya hati mereka terhibur" (Kol 2:2)
Keinginan besar saya yang kedua adalah, dalam kata-kata Santo Paulus, memberikan penghiburan ketika kita berusaha untuk memperbaharui semangat imamat, yang terutama adalah buah karya Roh Kudus dalam kehidupan kita. Menghadapi pengalaman yang menyakitkan, kita semua perlu dihibur dan didorong. Perutusan yang memanggil kita tidak membebaskan kita dari penderitaan, kesengsaraan, dan bahkan kesalahpahaman.[18] Sebaliknya, kita dituntut untuk menghadapinya dengan jujur dan menerimanya, sehingga Tuhan dapat mengubahnya dan menyelaraskan diri kita semakin dekat dengan diri-Nya. “Akhirnya, kurangnya pengakuan yang tulus, menyakitkan dan penuh doa akan keterbatasan kita menghambat rahmat bekerja secara lebih efektif di dalam diri kita, sebab tidak tersedia ruang untuk membangkitkan potensi kebaikan yang mungkin dipadukan ke dalam perjalanan pertumbuhan yang tulus dan nyata”.[19]

Salah satu cara yang baik untuk menguji hati kita sebagai para gembala adalah dengan bertanya bagaimana kita menghadapi penderitaan. Kita sering dapat bertindak seperti orang Lewi atau imam dalam perumpamaan Injil, minggir dan mengabaikan orang yang terluka (bdk. Luk 10:31-32). Atau kita bisa mendekat dengan cara yang salah, melihat situasi secara abstrak dan berlindung di tempat-tempat umum, misalnya : "Itulah kehidupan ...", atau "Tidak ada yang bisa dilakukan". Dengan cara ini, kita menyerah pada fatalisme yang tidak mudah. Atau kita bisa mendekat dengan semacam sikap acuh tak acuh yang hanya membawa keterasingan dan pengucilan. “Sebagaimana Nabi Yunus, kita sering kali tergoda untuk diam-diam lari ke tempat aman. Tempat aman ini punya banyak nama : individualisme, spiritualisme, hidup dalam dunia sempit ....[20] Hal ini menjauhkan kita untuk berbelas kasih dan akhirnya kita terhambat menghadapi luka-luka kita sendiri, luka-luka orang lain dan sebagai akibatnya luka-luka Yesus sendiri.[21]

Di sepanjang lintasan yang sama, saya akan menyebutkan sikap tidak kasat mata dan berbahaya lainnya, yang, seperti yang suka dikatakan Bernanos, adalah "minuman setan yang sangat dipuja-puja".[22] Sikap itu juga yang paling berbahaya bagi kita yang akan melayani Tuhan, karena melahirkan patah hati, kehancuran dan keputusasaan.[23] Kekecewaan terhadap kehidupan, terhadap Gereja atau terhadap diri kita sendiri dapat menggoda kita untuk terkunci dalam nestapa atau kesedihan yang oleh para Bapa Gereja Timur disebut acedia. Kardinal TomĂĄĆĄ Ć pidlĂ­k menggambarkannya dalam istilah-istilah ini : “Jika kita dilanda kesedihan dalam kehidupan, dalam melayani orang lain atau dalam keterasingan kita, itu karena kita kurang percaya pada pemeliharaan Allah dan karya-karya-Nya … Kesedihan melumpuhkan keinginan kita untuk bertekun dalam karya dan doa kita; kesedihan membuat kita sulit untuk hidup bersama ... Para penggagas monastik yang memperingatkan kebiasaan buruk ini akhirnya menyebutnya musuh terburuk dalam kehidupan rohani.[24]

Kita semua menyadari kesedihan bisa berubah menjadi kebiasaan serta menuntun kita perlahan-lahan untuk menerima kejahatan dan ketidakadilan yang secara diam-diam mengatakan kepada kita : "Selalu seperti ini". Kesedihan yang menghambat segala upaya untuk berubah dan bertobat dengan menabur kebencian dan permusuhan. “Tentu saja, kondisi tersebut bukanlah pilihan untuk memiliki hidup secara bermartabat dan utuh; Hidup semacam itu bukan yang dikehendaki Allah bagi kita. Kondisi semacam itu bukanlah juga hidup dalam Roh yang memancar dari hati Kristus yang bangkit”[25], yang memanggil kita. Saudara-saudara yang terkasih, ketika kesedihan yang membuai itu mengancam untuk mengambil alih hidup kita atau umat kita, dengan tanpa merasa takut atau bermasalah, namun dengan ketetapan hati yang teguh, marilah kita bersama-sama memohon Roh Kudus untuk “membangunkan kita, menggerakkan kita dari mati rasa, membebaskan kita dari kelesuan kita. Baiklah kita memikirkan kembali kebiasaan kita dalam melakukan sesuatu; marilah kita membuka mata dan telinga kita, dan terutama hati kita, agar tergerak oleh apa yang terjadi di sekeliling kita dan oleh seruan Sabda yang hidup dan berdaya dari Tuhan yang bangkit”.[26]

Perkenankan saya mengulangi : di saat-saat sulit, kita semua membutuhkan penghiburan dan kekuatan Allah, dan saudara-saudari kita. Kita semua dapat mengambil manfaat dari kata-kata menyentuh yang disampaikan Santo Paulus kepada umatnya : "Aku minta kepadamu, supaya kamu jangan tawar hati melihat kesesakanku karena kamu" (Ef 3:13), dansupaya hati mereka terhibur” (Kol 2:2). Dengan cara ini, kita dapat mengemban perutusan yang diberikan Tuhan kepada kita setiap hari : memberitakan kabar baik tentang “kesukaan besar untuk seluruh bangsa” (Luk 2:10). Bukan dengan menghadirkan teori-teori intelektual atau aksioma-aksioma moral tentang bagaimana seharusnya hal-hal itu terjadi, tetapi sebagai orang-orang yang di tengah-tengah kesusahan telah diubah rupa oleh Tuhan serta, seperti Ayub, dapat berseru : "Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayb 42:2). Tanpa pengalaman dasariah ini, seluruh kerja keras kita hanya akan mengarah pada frustrasi dan kekecewaan.

Dalam kehidupan kita sendiri, kita telah melihat bagaimana “dengan Kristus, sukacita senantiasa lahir kembali”.[27] Meskipun ada beraneka ragam tahapan dalam pengalaman ini, kita memahami, terlepas dari kelemahan dan dosa kita, “dengan kelembutan yang tak pernah mengecewakan dan selalu mampu memulihkan sukacita kita, Ia membuat kita mampu menegakkan kepala dan memulai lagi".[28] Sukacita itu bukanlah buah dari pemikiran atau keputusan kita, tetapi dari keyakinan yang lahir dari memahami kebenaran abadi perkataan Yesus kepada Petrus. Pada saat-saat ketidakpastian, ingatlah kata-kata tersebut, “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur” (Luk 22:32). Tuhan adalah Orang pertama yang berdoa dan berjuang untukmu dan untuk saya. Dan Ia mengundang kita untuk masuk sepenuhnya ke dalam doa-Nya. Mungkin ada saat-saat ketika kita juga harus masuk ke dalam "doa Getsemani, doa-doa Yesus yang paling manusiawi dan dramatis tersebut ... Karena di sanalah kita menemukan permohonan, kesedihan, penderitaan dan bahkan kebimbangan (Mrk 14:33 dst)".[29]

Kita memahami bahwa tidaklah mudah untuk berdiri di hadapan Tuhan dan memperkenankan tatapan-Nya menjelajahi hidup kita, menyembuhkan hati kita yang terluka dan membersihkan kaki kita dari keduniawian yang terhimpun di sepanjang jalan, yang sekarang membuat kita tidak bergerak maju. Dalam doa, kita mengalami “ketidakamanan” yang terberkati yang mengingatkan kita bahwa kita adalah murid-murid yang membutuhkan pertolongan Tuhan, dan yang membebaskan kita dari kecenderungan promotheanorang-orang yang terserap dalam diri, yang akhirnya hanya percaya pada kekuatannya sehingga merasa lebih tinggi daripada orang lain, karena menaati peraturan-peraturan tertentu”.[30]

Saudara-saudara yang terkasih, Yesus, melebihi siapa pun, menyadari upaya dan pencapaian kita, kegagalan kita, dan kesalahan kita. Dialah Orang pertama yang mengatakan kepada kita : “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat 11:28-29).

Dalam doa ini, kita memahami bahwa kita tidak pernah sendirian. Doa seorang gembala mencakup baik Roh yang berseru “ya Abba, ya Bapa!” (bdk. Gal 4:6)  maupun umat yang telah dipercayakan kepadanya. Perutusan dan jatidiri kita dapat ditentukan oleh dialektika ini.

Doa seorang gembala terpelihara dan terjelma dalam hati Umat Allah. Doa seorang gembala menunjukkan tanda-tanda penderitaan dan sukacita umatnya, yang dengan diam-diam ia persembahkan kepada Tuhan untuk diurapi dengan karunia Roh Kudus. Inilah harapan seorang gembala, yang dengan kepercayaan dan desakan memohon kepada Tuhan untuk peduli dengan kelemahan kita sebagai pribadi maupun sebagai umat. Namun kita juga seharusnya menyadari bahwa dalam doa umat Allah hati seorang gembala mengambil rupa daging dan menemukan tempatnya yang layak. Hal ini membebaskan kita dari mencari jawaban yang cepat, mudah, dan siap pakai; memperkenankan Tuhan menjadi Orang - bukan pedoman dan tujuan kita semata yang menunjukkan jalan harapan. Janganlah kita lupa bahwa pada saat-saat yang paling sulit dalam kehidupan umat perdana, seperti yang kita baca dalam Kisah Para Rasul, doa muncul sebagai kekuatan penuntun yang sejati.

Saudara-saudara, marilah kita mengakui kelemahan kita, tetapi juga memperkenankan Yesus mengubah kelemahan tersebut dan memperbaharui perutusan kita. Marilah kita jangan pernah kehilangan sukacita karena memahami bahwa kita adalah “kawanan domba-Nya” serta Dialah Tuhan dan Gembala kita.

Agar hati kita terhibur, kita tidak boleh mengabaikan dialektika yang menentukan jatidiri kita. Pertama, hubungan kita dengan Yesus. Setiap kali kita berpaling dari Yesus atau mengabaikan hubungan kita dengan-Nya, perlahan tapi pasti ketetapan hati kita mulai memudar dan pelita kita kehilangan minyak yang dibutuhkan untuk menerangi hidup kita (bdk. Mat 25: 1-13) : "Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku ... sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:4-5). Dalam hal ini, saya akan mendorongmu untuk tidak mengabaikan arahan rohani. Carilah seorang saudara yang dapat kamu ajak bicara, merenung, berdiskusi, dan menyadari, berbagi dengan penuh kepercayaan dan keterbukaan dalam perjalananmu. Seorang saudara yang dengan bijak berbagi pengalaman pemuridan. Temukan dia, temui dia dan nikmati bimbingan, pendampingan dan nasihatnya. Inilah bantuan yang sangat diperlukan untuk melaksanakan pelayananmu dalam ketaatan terhadap kehendak Bapa (bdk. Ibr 10:9) dan memperkenankan hatimu berdenyut dengan "menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus" (Flp 2:5). Kita dapat mengambil manfaat dari perkataan Pengkhotbah : “Berdua lebih baik dari pada seorang diri karena yang seorang mengangkat temannya, tetapi wahai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya” (4:9-10).

Segi penting lainnya dari dialektika ini adalah hubungan kita dengan umat kita. Menumbuhkan hubungan itu dan mengembangkannya. Jangan menarik diri dari umatmu, rekan-rekan imammu, dan komunitasmu, apalagi mencari perlindungan dalam kelompok tertutup dan elit. Pada akhirnya, hal ini melumpuhkan dan meracuni jiwa. Seorang pelayan yang "hatinya terhibur" adalah seorang pelayan yang selalu bergerak. Dalam “perjalanan kita keluar”, kita berjalan “kadang di depan, kadang di tengah dan kadang di belakang : di depan, untuk membimbing komunitas; di tengah, untuk mendorong dan menghibur, dan di belakang agar tetap bersatu, sehingga tidak ada yang ketinggalan terlalu jauh ... Ada alasan lain juga : karena umat kita memiliki "hidung" untuk berbagai hal. Mereka mengendus-endus, menemukan, jalan baru yang harus diambil; mereka memiliki sensus fidei (bdk. Lumen Gentium, 12) ... Apa yang bisa lebih indah dari hal ini?”[31] Yesus sendiri adalah model pilihan penginjilan ini yang menuntun kita menuju hati umat kita. Alangkah baiknya kita melihatnya memperhatikan setiap orang! Pengorbanan Yesus di kayu salib tidak lain adalah puncak dari gaya penginjilan yang menandai seluruh hidupnya itu.

Saudara-saudari yang terkasih, penderitaan begitu banyak korban, penderitaan umat Allah dan penderitaan pribadi kita, tidak bisa sia-sia. Yesus sendiri telah membawa beban berat ini ke salib-Nya dan Ia sekarang meminta kita untuk memperbarui perutusan kita dengan mendekati orang-orang yang menderita, mendekati tanpa melecehkan kesengsaraan manusia, dan tentu saja menjadikan semua pengalaman ini sebagai pengalaman kita, sebagai ekaristi.[32] Zaman kita, yang ditandai oleh luka-luka lama dan baru, mengharuskan kita untuk menjadi para pembangun hubungan dan persekutuan, terbuka, percaya dan menantikan dengan harapan kebaruan yang ingin dicapai oleh kerajaan Allah bahkan hari ini. Karena kerajaan para pendosa yang diampuni dipanggil untuk memberikan kesaksian akan kasih sayang Tuhan yang senantiasa ada. "Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya".

PUJIAN

“Jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk 1:46)

Bagaimana kita bisa berbicara tentang perasaan syukur dan penghiburan tanpa memandang Maria? Ia, perempuan yang hatinya tertikam (bdk. Luk 2:35), mengajarkan kita pujian yang mampu mengangkat pandangan kita terhadap masa depan dan memulihkan harapan terhadap masa kini. Seluruh hidupnya terkandung dalam kidung pujiannya (bdk. Luk 1:46-55). Kita juga dipanggil untuk melantunkan kidung itu sebagai janji penggenapan masa depan.

Setiap kali saya mengunjungi sebuah gua Maria, saya suka menghabiskan waktu memandang Bunda Maria dan memperkenankannya menatap saya. Saya berdoa memohon kepercayaan laksana anak kecil, kepercayaan orang miskin dan sederhana yang tahu bahwa ibu mereka berada di sana, dan mereka memiliki tempat di hatinya. Dan dengan memandangnya, kembali terdengar, seperti seorang Indian bernama Juan Diego : “Putra bungsuku, ada apa? Jangan sampai hal itu mengganggu hatimu. Bukankah aku berada di sini, aku yang mendapat kehormatan untuk menjadi ibumu?”[33]

Merenungkan Maria berarti “percaya lagi akan kekuatan revolusioner dari kasih dan kelembutan. Di dalam Maria, kita melihat bahwa kesahajaan dan kelembutan bukanlah kebajikan mereka yang lemah, melainkan mereka yang kuat, yang tidak perlu memperlakukan sesamanya secara buruk supaya dirinya bias merasa penting”.[34]

Mungkin kadang-kadang kita bias mulai sulit menatap, atau kita bisa merasakan kekuatan yang menggoda dari sikap apatis atau mengasihani diri itu baru saja mau berakar dalam hati kita. Atau perasaan kita sebagai bagian yang hidup dan menyeluruh dari Umat Allah mulai melelahkan kita, dan kita merasa tergoda terhadap elitisme tertentu. Pada saat-saat itu, janganlah kita takut untuk berpaling kepada Maria dan melantunkan kidung pujiannya.

Mungkin kadang-kadang kita bisa merasa tergoda untuk menarik diri ke dalam diri kita dan urusan kita sendiri, aman dari jalan kehidupan sehari-hari yang berdebu. Atau penyesalan, keluhan, kritik, dan sarkasme lebih menonjol dan membuat kita kehilangan keinginan untuk terus berjuang, berharap dan mengasihi. Pada saat-saat itu, marilah kita memandang Maria agar ia sudi membebaskan pandangan kita dari seluruh "hingar bingar" yang menghambat kita untuk memberi perhatian dan waspada, dan dengan demikian mampu memandang dan merayakan Kristus yang tetap hidup di tengah umat-Nya. Dan jika kita melihat bahwa kita sedang akan tersesat, atau kita sedang akan gagal dalam upaya pertobatan kita, maka marilah kita berpaling kepadanya seperti seorang imam paroki yang hebat dari keuskupan saya sebelumnya, yang juga seorang penyair. Ia memohon kepada Bunda Maria, dengan sedikit tersenyum : “Malam ini, Bunda yang terkasih / janjiku tulus; / tetapi hanya untuk memastikan, jangan lupa / untuk meninggalkan kunci di luar pintu”.[35] Bunda Maria “adalah sahabat yang senantiasa memperhatikan supaya anggur kehidupan kita tidak habis. Maria adalah perempuan yang hatinya tertikam tombak dan yang memahami semua rasa sakit kita. Sebagai ibu semua umat beriman, Maria adalah tanda pengharapan bagi umat yang menderita karena melahirkan keadilan ... Sebagai ibu sejati, Maria berjalan di sisi kita. Maria ikut berjuang bersama kita dan terus-menerus menemani kita dengan kasih Allah”.[36]

Saudara-saudara yang terkasih, sekali lagi, “Aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu” (Ef 1:16), atas ketetapan hati dan pelayananmu. Karena saya yakin bahwa “Allah mengenyahkan batu yang paling keras sekalipun yang membuat harapan dan pengharapan kita hancur : maut, dosa, ketakutan, keduniawian. Sejarah manusia tidak berakhir di depan batu nisan, karena hari ini ia menjumpai "batu yang hidup" (bdk. 1 Ptr 2:4), Yesus yang bangkit. Kita, sebagai Gereja, dibangun di atas-Nya, dan, bahkan ketika kita berkecil hati dan tergoda untuk menilai segala sesuatu dalam terang kegagalan kita, Ia datang untuk memperbarui segalanya”.[37]

Semoga kita memperkenankan perasaan syukur kita membangkitkan pujian dan semangat baru terhadap pelayanan kita mengurapi saudara-saudari kita dengan harapan. Semoga kita menjadi manusia yang hidupnya memberikan kesaksian tentang kasih sayang dan belas kasih yang hanya dapat diberikan Yesus kepada kita.

Semoga Tuhan Yesus memberkatimu dan Sang Perawan Suci menjagamu. Dan tolong, saya mohon kepadamu untuk jangan lupa mendoakan saya.

Salam persaudaraan,

FRANSISKUS

Basilika Santo Yohanes Lateran, Roma, 4 Agustus 2019, pada Pesta Santo Penyembuh asal Ars


[1]Bdk. Surat Apostolik Anno Iubilari (23 April 1929) : AAS 21 (1929), 312-313.
[2]Wejangan kepada Konferensi Waligereja Italia (20 Mei 2019). Kebapaan rohani menuntut seorang uskup untuk tidak meninggalkan para imamnya sebagai anak yatim; hal itu dapat dirasakan tidak hanya dalam kesiapannya untuk membuka pintu bagi para imam, tetapi juga mencari mereka guna memerhatikan mereka dan menemani mereka.
[3]Bdk. SANTO YOHANES XXIII, Surat Ensiklik Sacerdotii Nostri Primordia pada peringatan 100 tahun wafatnya Santo Penyembuh asal Ars (1 Agustus 1959) : AAS (51 (1959), 548.
[4]Bdk. Surat kepada Umat Allah (20 Agustus 2018).
[5]Pertemuan dengan para imam, para pelaku hidup bakti dan para seminaris, Santiago, Cili (16 Januari 2018)
[6]Bdk. Surat kepada Peziarah Umat Allah di Cili (31 Mei 2018)
[7]Pertemuan dengan para imam Keuskupan Roma (7 Maret 2019)
[8]Homili Malam Paskah (19 April 2014)
[9]Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate, 7.
[10]Bdk. JORGE MARIO BERGOGLIO, Las cartas de la tribulaciĂłn (Herder, 2019), 21.
[11]bdk. Wejangan kepada para imam paroki Keuskupan Roma (6 Maret 2014).
[12]Retret Para Imam. Meditasi Pertama (2 Juni 2016).
[13]A. SPADARO, Wawancara dengan Paus Fransiskus, dalam La CiviltĂ  Cattolica 3918 (19 September 2013), hlm. 462.
[14]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 137.
[15]bdk. Wejangan kepada para imam paroki Keuskupan Roma (6 Maret 2014).
[16]bdk. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 268
[17]Seruan apostolik Gaudete et Exsultate, 7.
[18]bdk. Surat Apostolik Misericordia et Misera, 13.
[19]Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate, 50.
[20]Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate, 134.
[21]bdk. JORGE MARIO BERGOGLIO, Reflexiones en esperanza (Vatikan, 2013), hlm. 14.
[22]Journal d’un curĂ© de campagne (Paris, 1974), hlm. 135; bdk. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 83.
[23]bdk. BARSANUPH OF GAZA, Surat, dalam VITO CUTRO – MICHAƁ TADEUSZ SZWEMIN, Bisogno di paternitĂ  (Warsaw, 2018), hlm. 124.
[24]L’arte di purificare il cuore, Roma, 1999, hlm. 47.
[25]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 2.
[26]Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate, 137.
[27]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 1.
[28]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 3.
[29]JORGE MARIO BERGOGLIO, Reflexiones en esperanza (Vatican City, 2013), hlm. 26.
[30]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 94.
[31]Pertemuan dengan Klerus, Pelaku Hidup Bakti dan Anggota Dewan Pastoral, Asisi (4 Oktober 2013).
[32]bdk. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 268-270.
[33]bdk. Nican Mopohua, 107, 118, 119.
[34]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 288.
[35]bdk. AMELIO LUIS CALORI, Aula FĂșlgida, Buenos Aires, 1946.
[36]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 286.
[37]Homili Malam Paskah (20 April 2019).