Saudara-saudari
terkasih,
Selamat
pagi!
Dalam
perikop Injil hari Minggu ini (bdk. Mat 13:1-23), Yesus mengatakan kepada orang
banyak tentang Perumpamaan - yang dikenal kita semua dengan baik - tentang
Penabur, yang menaburkan benih pada empat jenis tanah yang berbeda. Sabda
Allah, yang dilambangkan dengan benih bukanlah Sabda yang abstrak, tetapi
adalah Kristus sendiri, Sabda Bapa yang menjadi daging dalam rahim Maria. Oleh
karena itu, merangkul Sabda Allah berarti merangkul pribadi Kristus; pribadi
Kristus sendiri.
Ada
banyak cara untuk menerima Sabda Allah. Kita dapat melakukannya seperti jalan
setapak, tempat burung segera datang dan memakan benih tersebut. Ini akan
menjadi gangguan, bahaya besar zaman kita. Diliputi oleh banyak obrolan ringan,
oleh banyak ideologi, oleh kesempatan terus menerus untuk dialihkan ke dalam
dan ke luar rumah, kita dapat kehilangan semangat kita untuk hening, bercermin,
berdialog dengan Tuhan, sehingga kita berisiko kehilangan iman kita, tidak
menerima Sabda Allah, seperti kita sedang melihat segalanya, terganggu oleh
segalanya, oleh hal-hal duniawi.
Kemungkinan
lain: kita dapat menerima Sabda Allah seperti permukaan berbatu-batu, dengan
sedikit tanah. Di sana benih tumbuh dengan cepat, tetapi segera layu, karena
tidak dapat membenankan akarnya sampai kedalaman tertentu. Inilah gambaran dari
orang-orang yang menerima Sabda Allah dengan antusiasme sesaat, meskipun tetap
dangkal; tidak mencerna Sabda Allah. Dengan cara ini, pada kesulitan pertama,
seperti ketidaknyamanan atau gangguan kehidupan, iman yang masih lemah itu
luluh, seperti benih layu yang jatuh di antara bebatuan.
Sekali
lagi - kemungkinan ketiga yang dibicarakan Yesus dalam perumpamaan - kita dapat
menerima sabda Allah seperti tanah tempat tumbuhnya semak duri. Dan duri adalah
tipu daya kekayaan, kesuksesan, kekhawatiran duniawi ... Di sana, Sabda tumbuh
sedikit, tetapi menjadi terhimpit, tidak kuat, dan mati atau tidak menghasilkan
buah.
Terakhir
- kemungkinan keempat - kita dapat menerimanya seperti tanah yang baik. Di
sini, dan hanya di sini benih itu berakar dan menghasilkan buah. Benih yang
jatuh di atas tanah yang subur ini melambangkan mereka yang mendengar Sabda,
merangkulnya, menjaganya dalam hati mereka dan melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Perumpamaan
tentang Penabur ini agaknya merupakan 'induk' dari semua perumpamaan, karena
berbicara tentang mendengarkan Sabda. Mendengarkan Sabda mengingatkan kita
bahwa Sabda Allah adalah benih yang di dalam dirinya sendiri berbuah dan ampuh;
dan Allah menghamburkannya ke mana-mana, tidak mau membuang waktu. Demikianlah
hati Allah! Kita masing-masing adalah tanah tempat jatuhnya benih Sabda; tidak
ada yang dikecualikan! Sabda diberikan kepada kita masing-masing. Kita bisa
bertanya pada diri kita : medan macam apakah aku? Apakah aku menyerupai jalan
setapak, tanah berbatu-batu, semak belukar? Tetapi, jika kita mau, kita bisa
menjadi tanah yang baik, membajak dan mengolahnya dengan seksama, untuk
membantu mematangkan benih Sabda. Benih Sabda sudah ada di hati kita, tetapi
membuatnya berbuah tergantung pada diri kita; membuatnya berbuah tergantung
pada pelukan yang kita cadangkan untuk benih ini.
Seringkali
kita terganggu oleh terlalu banyak kepentingan, oleh terlalu banyak godaan, dan
sulit untuk membedakan, di antara banyak suara dan banyak kata, suara Tuhan,
satu-satunya yang membuat kita bebas. Inilah mengapa membiasakan diri untuk
mendengarkan Sabda Allah, membacanya, adalah penting. Dan saya kembali lagi ke
saran itu : selalu membawa salinan Injil, dalam sakumu, dalam dompetmu ... dan
setiap hari, bacalah sebuah perikop singkat, sehingga kamu menjadi terbiasa
membaca Sabda Allah, memahami dengan baik benih yang ditawarkan Allah kepadamu,
dan memikirkan bumi yang menerimanya.
Semoga
Perawan Maria, model sempurna dari tanah yang baik dan subur, membantu kita,
dengan doanya, untuk tanpa ragu-ragu menjadi tanah yang tak berduri atau
berbatu-batu, sehingga kita dapat menghasilkan buah yang baik untuk diri kita
sendiri dan untuk saudara-saudari kita.
[Setelah
pendarasan Doa Malaikat Tuhan]
Saudara-saudari
yang terkasih
Hari
Laut Internasional jatuh pada hari Minggu kedua di bulan Juli ini. Saya
menyampaikan salam hangat kepada semua orang yang bekerja di laut, terutama
bagi mereka yang jauh dari orang-orang yang mereka cintai dan negara mereka.
Saya menyapa semua orang yang berkumpul pagi ini di pelabuhan Civitavecchia-Tarquinia
untuk Perayaan Ekaristi.
Dan
laut membawa saya sedikit lebih jauh dalam pikiranku : ke Istanbul. Saya
memikirkan Hagia Sophia, dan saya sangat sedih.
Saya
menyapa kalian semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara, khususnya
keluarga-keluarga dari Gerakan Focolare. Saya menyapa dengan penuh rasa terima
kasih para wakil Pelayanan Pastoral untuk Kesehatan dari Keuskupan Roma,
memikirkan banyak imam, kaum rohaniwan dan umat awam yang telah, dan tetap,
berada di sisi orang sakit, pada masa ini. pandemi. Terima kasih! Terima kasih
atas apa yang telah kalian lakukan, dan atas apa yang sedang kalian lakukan.
Terima kasih!
Dan
kepada kalian semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa
untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makanan kalian dan arrivederci.