Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 7 April 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 27)

Saudara-saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, saya ingin bercermin pada hubungan antara doa dan persekutuan para kudus. Pada kenyataannya, ketika kita berdoa, kita tidak pernah melakukannya sendirian : bahkan jika kita tidak memikirkannya, kita terbenam dalam sungai doa permohonan yang megah yang mendahului kita dan terus berlanjut setelah kita. Sungai yang megah.

 

Dalam doa-doa yang kita temukan di dalam Kitab Suci, yang sering bergema dalam liturgi, terkandung jejak cerita kuno, pembebasan yang menakjubkan, pembuangan dan pengasingan yang menyedihkan, kepulangan yang sarat emosi, pujian yang berceloteh riuh di hadapan keajaiban penciptaan ... Dan dengan demikian, suara-suara ini diwariskan dari generasi ke generasi, dalam jalinan yang terus menerus antara pengalaman pribadi dan pengalaman orang-orang serta umat manusia di tempat kita berada. Tak seorang pun bisa memisahkan diri dari sejarahnya, sejarah bangsanya. Kita selalu menyandang dalam sikap kita warisan ini, bahkan dalam cara kita berdoa. Dalam doa pujian, terutama yang terungkap dari hati orang-orang kecil dan rendah hati, bergemlah kidung Magnificat yang dilantunkan Maria ke hadapan Allah di depan sepupunya Elisabet; atau seruan Simeon yang sudah lanjut usia yang, sambil menatang Bayi Yesus, mengatakan demikian : “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu” (Luk 2:29).

 

Doa yang baik "meluas", seperti segala sesuatu yang baik; doa yang baik terus menerus menyebarkan diri, dengan atau tanpa diunggah di jejaring sosial : dari bangsal rumah sakit, dari saat-saat pertemuan yang meriah hingga saat-saat di mana batin kita menderita … Kesengsaraan seseorang adalah kesengsaraan semua orang, dan kebahagiaan seseorang diteruskan kepada jiwa orang lainnya. Kesengsaraan dan kebahagiaan, semua sebuah cerita, cerita-cerita yang menciptakan cerita hidup kita masing-masing, cerita ini dihidupkan kembali melalui kata-kata kita, tetapi pengalamannya sama.

 

Doa selalu dilahirkan kembali : setiap kali kita bergandengan tangan dan membuka hati kepada Allah, kita menemukan diri ditemani oleh para kudus, baik yang tak dikenal maupun yang dikenal, yang berdoa bersama kita dan menjadi perantara kita sebagai saudara-saudari tua yang telah mendahului kita dalam petualangan manusiawi yang sama ini. Dalam Gereja, tidak ada kesedihan yang ditanggung sendirian, tidak ada air mata yang dilupakan, karena setiap orang bernapas dan ikut serta dalam rahmat yang sama. Bukan kebetulan bahwa dalam gereja kuno orang-orang dimakamkan di taman-taman yang mengelilingi bangunan suci, seolah-olah mengatakan bahwa, dalam beberapa hal, sejumlah besar orang yang telah mendahului kita ikut serta dalam setiap Ekaristi. Para orangtua dan para kakek-nenek kita ada di sana, para wali baptis kita ada di sana, para katekis kita dan para guru lainnya ada di sana… Iman yang diteruskan, diwariskan, yang telah kita terima. Seiring dengan iman, cara berdoa dan doa telah diwariskan.

 

Para kudus masih di sini tidak jauh dari kita; dan keterwakilan mereka dalam Gereja-gereja membangkitkan "awan para saksi" yang selalu mengelilingi kita (lihat Ibr 12:1). Pada permulaan, kita mendengar bacaan Surat kepada orang Ibrani. Mereka adalah para saksi yang tidak kita sembah - artinya kita tidak menyembah para kudus ini - tetapi kita hormati dan dalam ribuan cara membawa kita kepada Yesus Kristus, satu-satunya Tuhan dan Pengantara antara Allah dan umat manusia. "Orang kudus" yang tidak membawamu kepada Yesus bukanlah orang kudus, bahkan bukan orang Kristiani. Orang kudus membuatmu mengingat Yesus Kristus karena ia menempuh jalan hidup sebagai seorang Kristiani. Para kudus mengingatkan kita bahwa bahkan betapapun lemahnya hidup kita dan ditandai oleh dosa, kekudusan dapat diungkapkan. Bahkan saat menjelang ajal. Pada kenyataannya, kita membaca dalam Injil bahwa orang kudus pertama yang dikanonisasi oleh Yesus adalah seorang penjahat, bukan Paus. Kekudusan adalah perjalanan hidup, perjumpaan panjang maupun pendek atau seketika dengan Yesus. Tetapi ia selalu menjadi seorang saksi, orang kudus adalah seorang saksi, seorang manusia yang berjumpa Yesus dan mengikuti Yesus. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat kepada Tuhan yang pengasih dan berlimpah kasih setia (lihat Mzm 103:8).

 

Katekismus menjelaskan bahwa para kudus memandang Allah, memuja Dia dan tanpa henti-hentinya memperhatikan mereka yang ditinggalkannya di dunia ini [...] Doa syafaatnya adalah pelayanan yang tertinggi bagi rencana Allah. Kita dapat dan harus memohon mereka, supaya membela kita dan seluruh dunia” (KGK, 2683). Ada kesetiakawanan penuh misteri di dalam Kristus di antara mereka yang telah meninggal dunia dan kita para peziarah dalam kehidupan ini : dari Surga, orang-orang tercinta kita yang sudah meninggal terus menjaga kita. Mereka mendoakan kita, dan kita mendoakan mereka serta kita berdoa bersama mereka.

 

Hubungan dalam doa antara diri kita dan mereka yang telah tiba - kita telah mengalami hubungan ini dalam doa di sini dalam kehidupan duniawi ini. Kita saling mendoakan, kita memanjatkan permohonan dan berdoa…. Cara pertama mendoakan seseorang adalah dengan berbicara kepada Allah tentang dia. Jika kita sering melakukan hal ini, setiap hari, hati kita tidak tertutup tetapi terbuka terhadap saudara-saudari kita. Mendoakan orang lain adalah cara pertama mengasihi mereka dan menggerakkan kita untuk sungguh mendekat. Bahkan di saat-saat perselisihan, cara menyelesaikan perselisihan, melembutkannya, adalah dengan mendoakan orang yang berselisih denganku. Dan sesuatu berubah dengan doa. Hal pertama yang berubah adalah hati dan sikapku. Tuhan mengubahnya sehingga perselisihan bisa berubah menjadi perjumpaan, perjumpaan baru agar perselisihan tidak menjadi perang yang tidak kunjung berakhir.

 

Cara pertama untuk menghadapi saat kesukaran adalah dengan meminta saudara-saudari kita, terutama para kudus, untuk mendoakan kita. Nama yang diberikan kepada kita saat Pembaptisan bukanlah label atau hiasan! Biasanya nama perawan, atau orang kudus, yang tidak mengharapkan apa pun selain "memberi kita bantuan" dalam hidup, memberi kita bantuan untuk mendapatkan rahmat Allah yang kita butuhkan. Jika pencobaan hidup belum mencapai titik puncaknya, jika kita masih mampu bertahan, jika terlepas dari segalanya kita melanjutkan dengan penuh kepercayaan, terlepas dari jasa kita, mungkin kita berhutang semua ini kepada perantaraan seluruh orang kudus, beberapa telah berada di Surga, lainnya adalah para peziarah seperti kita di bumi, yang telah melindungi dan menemani kita, karena kita semua tahu ada orang-orang kudus di bumi ini, orang-orang kudus yang hidup dalam kekudusan. Mereka tidak mengetahuinya; kita juga tidak menyadarinya. Tetapi ada orang-orang kudus, orang-orang kudus sehari-hari, orang-orang kudus yang tersembunyi, atau seperti yang saya suka katakan, "orang-orang kudus yang tinggal di pintu sebelah", mereka yang berbagi kehidupan dengan kita, yang bekerja dengan kita dan hidup dalam kekudusan.

 

Oleh karena itu, terpujilah Yesus Kristus, satu-satunya Juruselamat dunia, bersama dengan perkembangan luar biasa para kudus ini yang memenuhi muka bumi dan telah memuji Allah melalui kehidupan mereka. Karena - seperti ditegaskan oleh Santo Basilius - "Roh adalah benar-benar tempat para kudus, dan seorang kudus adalah tempat yang cocok untuk Roh, karena ia membiarkan Allah tinggal dalam dirinya dan ia disebut kenisah Roh Kudus" (Tentang Roh Kudus, 26, 62: PG 32, 184A; lihat KGK, 2684).

 

[Salam khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Dalam sukacita Kristus yang bangkit, saya memohonkan atas kalian dan keluarga kalian belas kasihan Allah Bapa kita. Semoga Tuhan memberkati kalian semua!

 

[Seruan]

 

Dalam doa saya ingin mengenang kembali para korban banjir yang melanda Indonesia dan Timor Timur beberapa hari ini. Semoga Tuhan menyambut mereka yang meninggal, menghibur keluarga mereka dan menyokong mereka yang kehilangan tempat tinggal.

 

Kemarin dirayakan Hari Olahraga untuk Pembangunan dan Perdamaian Sedunia, yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya berharap ini dapat menggerakkan sekali lagi pengalaman olahraga sebagai peristiwa beregu, untuk mempromosikan dialog melalui berbagai budaya dan bangsa.

 

Dalam sudut pandang tersebut, dengan senang hati saya mendorong Atletik Vatikan untuk melanjutkan komitmen mereka dalam menyebarkan budaya persaudaraan melalui dunia olahraga, dengan memperhatikan mereka yang paling lemah, sehingga menjadi saksi-saksi perdamaian.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang doa Kristiani, sekarang kita membahas persekutuan para kudus. Kapanpun kita berdoa, kita mendapati diri kita terbenam dalam aliran besar perantaraan masa lalu, masa kini dan masa depan demi kebutuhan individu dan seluruh dunia, karena kita berdoa bersama dengan semua orang kudus dalam persekutuan tubuh Kristus yaitu Gereja. Para kudus - “awan para saksi” yang luar biasa ini (Ibr 12:1) baik yang dikenal maupun yang tak dikenal - berdoa tanpa henti bersama kita dan untuk kita dengan memuliakan Allah. Penghormatan kita terhadap para kudus membawa kita semakin dekat kepada Yesus, satu-satunya Pengantara antara Allah dan manusia. Di dalam Kristus juga, kita merasakan kesetiakawanan yang penuh misteri dengan orang-orang tercinta kita yang telah meninggal, yang terus kita doakan. Kita juga mengalami kesetiakawanan penuh doa ini di sini di bumi ini, saat kita mendoakan satu sama lain serta saudara dan saudari kita yang miskin, menderita dan paling membutuhkan. Di masa-masa yang penuh tantangan ini, marilah kita bersyukur kepada Allah atas karunia agung para kudus dan dengan penuh keyakinan mempercayakan diri kita kepada perantaraan mereka, demi penyebaran Injil dan keselamatan keluarga manusia kita.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 7 April 2021)