Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM DI LAPANGAN SAN DAMASO, ROMA, 9 Juni 2021 : KATEKESE TENTANG DOA (BAGIAN 36) - BERTEKUN DALAM DOA

Saudara dan saudari yang terkasih, selamat pagi!

 

Dalam katekese kedua dari akhir tentang doa ini kita akan berbicara tentang ketekunan dalam berdoa. Ketekunan dalam berdoa adalah undangan, perintah yang memang datang kepada kita dari Kitab Suci. Perjalanan spiritual peziarah Rusia dimulai ketika ia menemukan ungkapan Santo Paulus dalam Surat Pertama kepada jemaat di Tesalonika : "Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu" (5:17-18). Kata-kata Rasul Paulus tersebut mengejutkan orang itu dan ia mempertanyakan bagaimana mungkin berdoa tanpa gangguan, mengingat hidup kita terpenggal-penggal menjadi begitu banyak momen yang berbeda, yang tidak selalu memungkinkan untuk berkonsentrasi. Dari pertanyaan ini ia memulai pencariannya, yang akan menuntunnya untuk menemukan apa yang disebut doa hati. Doa hati berupa pengulangan dengan iman : "Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, kasihanilah aku, orang berdosa!". "Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, kasihanilah aku, orang berdosa!" Doa yang sederhana, tetapi sangat indah. Sebuah doa yang, sedikit demi sedikit, menyesuaikan diri dengan irama nafas dan meluas sepanjang hari. Apa itu? “Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, kasihanilah aku, orang berdosa!”. Saya tidak bisa mendengarmu. Lebih keras! “Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, kasihanilah aku, orang berdosa!”. Dan ulangi, ulangi, eh! Ini penting. Memang, nafas tidak pernah berhenti, bahkan saat kita tidur; dan doa adalah nafas kehidupan.

 

Lalu, bagaimana mungkin untuk selalu memelihara keadaan doa? Katekismus menawarkan kutipan-kutipan indah dari sejarah spiritualitas, yang menekankan perlunya tetap doa, agar doa dapat menjadi tumpuan keberadaan Kristiani. Saya akan melihat beberapa di antaranya.

 

Rahib Evagrius Ponticus menyatakan demikian : “Kita tidak diwajibkan untuk tetap bekerja, berjaga-jaga, dan berpuasa. Tetapi adalah satu hukum bagi kita, supaya berdoa dengan tidak putus-putusnya" (2742). Hati dalam doa. Oleh karena itu ada sebuah hasrat dalam kehidupan Kristiani, yang tidak boleh gagal. Hasrat tersebut sedikit seperti api suci yang disimpan di kuil-kuil kuno, yang menyala tanpa henti dan yang harus dijaga oleh para imam agar tetap menyala. Jadi harus ada api suci di dalam diri kita juga, yang menyala terus menerus dan tidak ada yang bisa memadamkannya. Dan itu tidak mudah. Tetapi memang harus seperti ini.

 

Santo Yohanes Krisostomus, imam lainnya yang memperhatikan kehidupan nyata, berkhotbah : “Malahan di pasar atau waktu berjalan-jalan dalam kesunyian kamu dapat sering dan dengan rajin berdoa. Juga, apabila kamu duduk di dalam perusahaan, atau waktu menjual atau membeli, malahan juga waktu kamu memasak” (2743). Doa-doa kecil : "Tuhan, kasihanilah kami", "Tuhan, tolonglah aku". Jadi, doa adalah semacam tongkat musik, tempat kita menorehkan melodi kehidupan kita. Doa tidak bertentangan dengan pekerjaan sehari-hari, doa tidak bertentangan dengan banyak kewajiban dan janji kecil; jika ada, doa adalah tempat di mana setiap tindakan menemukan maknanya, alasannya dan kedamaiannya. Dalam doa.

 

Tentu saja, menerapkan prinsip-prinsip ini tidak mudah. Seorang ayah dan ibu, yang terjebak dalam seribu tugas, mungkin merasakan nostalgia mudahnya menemukan waktu dan ruang yang teratur untuk berdoa pada suatu waktu dalam kehidupan mereka. Kemudian datanglah anak-anak, pekerjaan, kehidupan keluarga, orang tua yang sudah lanjut usia… Kita memiliki kesan bahwa tidak akan mungkin untuk melewati itu semua. Maka ada baiknya kita memikirkan bahwa Allah, Bapa kita, yang harus menjaga seluruh alam semesta, selalu mengingat kita masing-masing. Oleh karena itu, kita pun harus selalu mengingat-Nya!

 

Kita juga dapat mengingat bahwa dalam monastisisme Kristiani, pekerjaan selalu dijunjung tinggi, bukan hanya karena kewajiban moral untuk menafkahi diri sendiri dan orang lain, tetapi juga untuk semacam keseimbangan, keseimbangan batin – kerja, bukankah? Menumbuhkan minat yang begitu abstrak sehingga ia kehilangan kontak dengan kenyataan berbahaya bagi manusia. Pekerjaan membantu kita untuk tetap berhubungan dengan kenyataan. Tangan rahib yang bergabung dalam doa menanggung kapalan orang-orang yang menggunakan sekop dan cangkul. Dalam Injil Lukas (bdk. 10:38-42), ketika Yesus memberitahu Santa Marta bahwa satu-satunya hal yang benar-benar diperlukan adalah mendengarkan Allah, Ia sama sekali tidak bermaksud meremehkan banyak pelayanan yang sedang dilakukannya dengan usaha seperti itu.

 

Segala sesuatu dalam diri manusia adalah "biner" : tubuh kita setangkup, kita memiliki dua tangan, dua mata, dua tangan ... Jadi, bekerja dan berdoa juga saling melengkapi. Doa - yang merupakan "nafas" segala sesuatu - tetap menjadi latar pekerjaan yang hidup, bahkan pada saat-saat di mana hal ini tidak tersurat. Begitu asyik dengan pekerjaan sehingga kamu tidak dapat lagi menemukan waktu untuk berdoa tidak manusiawi.

 

Pada saat yang sama, doa yang terasing dari kehidupan tidak sehat. Doa yang mengasingkan diri dari kenyataan hidup menjadi spiritualisme, atau lebih buruk lagi, ritualisme. Marilah kita ingat bahwa Yesus, setelah menunjukkan kemuliaan-Nya kepada para murid di Gunung Tabor, tidak ingin memperpanjang momen luapan sukacita tersebut, tetapi malah turun dari gunung bersama mereka dan melanjutkan perjalanan sehari-hari. Karena pengalaman itu harus tetap berada di hati mereka sebagai terang dan kekuatan iman mereka; juga terang dan kekuatan untuk hari-hari yang akan datang : terang dan kekuatan hari-hari Sengsara. Dengan cara ini, waktu yang didedikasikan untuk tinggal bersama Allah menghidupkan kembali iman, yang membantu kita dalam pengamalan kehidupan, dan iman, pada gilirannya, memelihara doa, tanpa gangguan. Dalam lingkaran iman, kehidupan dan doa ini, kita terus menyalakan api kehidupan Kristiani yang diharapkan Allah dari diri kita.

 

Dan marilah kita ulangi doa sederhana yang sangat bagus untuk diulangi sepanjang hari. Marilah kita lihat apakah kamu masih dapat mengingatnya. Semua bersama-sama : "Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, kasihanilah aku, orang berdosa!". Mengucapkan doa ini terus-menerus akan membantumu dalam persatuan dengan Yesus. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan hormat saya menyapa umat berbahasa Inggris. Saya mengundang semua orang untuk bertumbuh dalam semangat doa yang terus-menerus, mampu menyatukan kehidupan kita sehari-hari dan menjadikannya sebagai pengorbanan yang berkenan kepada Tuhan. Atas kalian dan keluarga kalian, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Tuhan memberkati kalian!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara dan saudari yang terkasih, dalam katekese lanjutan tentang doa, kita sekarang membahas pentingnya ketekunan dalam doa. Berkaca pada dorongan Santo Paulus untuk berdoa tanpa henti (bdk. 1 Tes 5:17), para penulis spiritual Gereja mempertanyakan bagaimana mungkin untuk tetap berada dalam keadaan terus menerus berdoa. Tradisi rahib Rusia mengembangkan doa hati, berlandaskan pengulangan kata-kata, "Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, kasihanilah aku orang berdosa", sampai menjadi seperti udara yang kita hirup. Rahib Yunani Evagrius membandingkan doa dengan nyala api yang terus menyala di hati kita bahkan saat kita melakukan tugas sehari-hari. Dengan demikian doa menjadi latar di mana setiap tindakan hidup kita menemukan maknanya yang terdalam. Jika Allah dapat menemukan waktu untuk kita masing-masing, pasti kita dapat menemukan waktu untuk-Nya! Tradisi monastik mengajarkan kesuburan spiritual dari menyeimbangkan doa dan kerja. Dengan menjaga keseimbangan itu dalam hidup kita, kita juga dapat bertumbuh dalam persatuan kita dengan Allah dan menjaga api kasih ilahi tetap menyala di hati kita setiap hari.

____


(Peter Suriadi - Bogor, 9 Juni 2021)