1. "Betapa indahnya
kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan
berita damai" (Yes 52:7).
Kata-kata Nabi Yesaya berbicara tentang penghiburan; kata-kata tersebut
menyuarakan desahan kelegaan sebuah bangsa yang berada di pembuangan, lelah
akan kekerasan dan penindasan, tak luput dari penghinaan dan kematian. Nabi
Barukh bertanya-tanya : “Apa sebabnya, hai Israel, apa sebabnya maka engkau
berada di negeri musuhmu serta menjadi tua di negeri yang asing dan menajiskan
dirimu dengan yang mati dan terbilang di antara mereka yang turun ke dunia
orang mati?” (3:10-11). Bagi bangsa Israel, kedatangan pembawa berita
perdamaian berarti janji kelahiran kembali dari puing-puing sejarah, awal masa
depan yang cerah.
Dewasa ini jalan perdamaian, yang disebut Santo Paulus VI dengan nama
baru perkembangan seutuhnya,[1]
sayangnya tetap jauh dari kehidupan nyata banyak orang dan dengan demikian dari
keluarga manusiawi kita, yang sekarang sepenuhnya saling terhubung. Meskipun
banyak upaya yang ditujukan untuk dialog membangun antarnegara, suara
peperangan dan pertikaian yang memekakkan telinga semakin meningkat. Seraya
proporsi penyakit akibat pandemi meluas, dampak perubahan iklim dan kemerosotan
lingkungan semakin memburuk, tragedi kelaparan dan kehausan meningkat, dan
model ekonomi yang berlandaskan individualisme dan bukan kesetiakawanan terus
berlaku. Sebagaimana di zaman para nabi dahulu kala, demikian juga di zaman
kita sekarang jeritan kaum miskin dan jeritan bumi[2]
terus-menerus membuat diri mereka terdengar, memohon keadilan dan perdamaian.
Di setiap zaman, perdamaian adalah karunia dari tempat tinggi dan buah
dari komitmen bersama. Memang, kita dapat berbicara tentang sebuah
"arsitektur" perdamaian, di mana berbagai lembaga masyarakat
berkontribusi, dan sebuah "kerja tangan" perdamaian yang secara
langsung melibatkan kita masing-masing.[3]
Semua dapat bekerjasama untuk membangun dunia yang semakin damai, mulai dari
hati pribadi dan hubungan dalam keluarga, kemudian dalam masyarakat dan dengan
lingkungan, serta hingga hubungan antarbangsa dan negara.
Di sini saya ingin menawarkan tiga cara untuk membangun perdamaian
abadi. Pertama, dialog antargenerasi sebagai dasar perwujudan karya bersama.
Kedua, pendidikan sebagai faktor kebebasan, tanggung jawab dan pengembangan. Ketiga,
tenaga kerja sebagai sarana untuk perwujudan sepenuhnya martabat manusia.
Inilah tiga unsur yang sangat diperlukan untuk “memungkinkan terciptanya pakta
sosial”,[4]
yang tanpanya setiap karya perdamaian menjadi tidak berarti.
2. Dialog antargenerasi untuk
membangun perdamaian
Di dunia yang masih dicengkeram oleh pandemi yang telah menciptakan
masalah yang tak terhitung jumlahnya, “beberapa orang mencoba melarikan diri dari realitas dengan
berlindung di dunia pribadi mereka, dan beberapa menghadapinya dengan
menggunakan kekerasan yang merusak, tetapi di antara ketidakpedulian egois dan
protes penuh kekerasan selalu ada kemungkinan pilihan lain: berdialog. Dialog
antargenerasi”.[5]
Segenap dialog yang jujur, selain pertukaran pandangan yang benar dan
positif, menuntut kepercayaan dasariah di antara para peserta. Kita perlu
belajar bagaimana mendapatkan kembali rasa saling percaya ini. Krisis kesehatan
saat ini telah meningkatkan rasa keterasingan kita dan kecenderungan untuk
mementingkan diri sendiri. Kesepian kaum tua diimbangi kaum muda dengan rasa
ketidakberdayaan dan kurangnya visi bersama tentang masa depan. Krisis memang
menyakitkan, tetapi juga membantu mengeluarkan yang terbaik dalam diri masing-masing
orang. Memang, selama pandemi kita menemukan teladan kasih sayang, berbagi, dan
kesetiakawanan yang berlimpah di pelbagai bagian dunia.
Dialog memerlukan saling mendengarkan, berbagi pandangan yang berbeda,
mencapai kesepakatan dan berjalan bersama. Mengembangkan dialog antargenerasi
semacam itu melibatkan pemecahan tanah keras dan tandus pertikaian dan
ketidakpedulian guna menabur benih perdamaian bersama yang langgeng.
Meskipun perkembangan teknologi dan ekonomi cenderung menciptakan
kesenjangan antargenerasi, krisis kita dewasa ini menunjukkan kebutuhan
mendesak akan kemitraan antargenerasi. Kaum muda membutuhkan kebijaksanaan dan
pengalaman kaum tua, sedangkan kaum tua membutuhkan dukungan, kasih sayang,
kreativitas dan kedinamisan kaum muda.
Tantangan sosial yang besar dan proses perdamaian tentu membutuhkan
dialog di antara para pemelihara ingatan – kaum tua – dan mereka yang memajukan
sejarah – kaum muda. Masing-masing pihak harus bersedia memberi ruang bagi
orang lain dan tidak memaksakan untuk memonopoli seluruh adegan dengan mengejar
kepentingan sesekali mereka, seolah-olah tidak ada masa lalu dan masa depan.
Krisis global yang kita alami memperjelas bahwa perjumpaan dan dialog
antargenerasi harus menjadi kekuatan pendorong di balik politik yang sehat,
yang tidak puas mengelola masa kini “dengan solusi cepat yang hanya sesekali”,[6]
tetapi memandang dirinya sebagai bentuk kasih yang luhur untuk sesama,[7]
dalam mengusahakan karya bersama dan berkelanjutan demi masa depan.
Jika, di tengah kesulitan, kita dapat melaksanakan dialog antargenerasi
semacam ini, “kita dapat berakar dengan kokoh di masa
kini, dan dari posisi ini, kita dapat hadir ke masa lalu dan ke masa depan.
Kembali ke masa lalu untuk belajar dari sejarah dan menyembuhkan luka lama yang
kadang mempengaruhi kita. Melihat ke masa depan untuk mengobarkan antusiasme
kita, menumbuhkan mimpi-mimpi, membangkitkan nubuat, dan memungkinkan harapan
berkembang. Dengan demikian, dengan bersatu padu, kita dapat saling belajar”.[8]
Karena tanpa akar, bagaimana pohon bisa tumbuh dan berbuah?
Kita sendiri perlu memikirkan perawatan rumah kita bersama. Sesungguhnya,
lingkungan adalah “pinjaman (utang) yang diterima
setiap generasi dan harus diteruskan kepada generasi berikut”.[9]
Kita harus menghargai dan mendorong segenap kaum muda yang bekerja demi dunia
yang semakin adil, dunia yang dengan seksama memelihara ciptaan yang
dipercayakan kepada pengelolaan kita. Mereka melakukan ini dengan kegelisahan,
antusiasme dan yang terpenting rasa tanggung jawab berhadapan dengan perlunya perubahan
arah[10]
yang dibutuhkan oleh tantangan yang muncul dari krisis etika dan
sosial-lingkungan saat ini.[11]
Di sisi lain, kesempatan untuk membangun jalan perdamaian bersama tidak
dapat mengabaikan pendidikan dan tenaga kerja, yang merupakan pengaturan dan
konteks khusus untuk dialog antargenerasi. Pendidikan menyediakan tata bahasa
untuk dialog antargenerasi, dan dalam pengalaman pekerjaan manusia dari
berbagai generasi menemukan diri mereka mampu bekerjasama dan berbagi keahlian,
pengalaman dan keterampilan dalam sudut pandangan kebaikan bersama.
3. Pengajaran dan pendidikan
sebagai penggerak perdamaian
Dalam beberapa tahun terakhir, di seluruh dunia telah terjadi
pengurangan yang sangat penting dalam pendanaan untuk pendidikan dan pelatihan;
hal ini lebih dilihat sebagai pengeluaran daripada investasi. Pengajaran dan
pendidikan justru merupakan sarana utama untuk mengembangkan pembangunan
manusia seutuhnya; pengajaran dan pendidikan membuat pribadi semakin bebas dan
bertanggung jawab, serta mementingkan pemeliharaan dan peningkatan perdamaian.
Singkatnya, pengajaran dan pendidikan adalah landasan masyarakat sipil yang padu
yang mampu menghasilkan harapan, kemakmuran, dan kemajuan.
Pengeluaran militer, di sisi lain, telah meningkat melampaui tingkatan
pada akhir Perang Dingin dan tampaknya pasti akan tumbuh selangit.[12]
Maka, sudah saatnya pemerintah mengembangkan kebijakan ekonomi yang
bertujuan untuk membalikkan proporsi dana publik yang dihabiskan untuk
pendidikan dan persenjataan. Pengupayaan proses perlucutan senjata
internasional yang sesungguhnya hanya dapat terbukti bermanfaat bagi
pembangunan bangsa dan negara dengan meningkatkan sumber keuangan yang secara
gratis digunakan untuk perawatan kesehatan, sekolah, infrastruktur,
pemeliharaan tanah dan sebagainya.
Saya mengharapkan investasi dalam bidang pendidikan juga akan disertai
dengan upaya yang lebih besar untuk mengembangkan budaya kepedulian,[13]
yang, dalam menghadapi pengelompokkan sosial dan lembaga yang tidak tanggap,
dapat menjadi bahasa umum yang bekerja untuk mendobrak hambatan dan membangun
jembatan. “Sebuah negara tumbuh ketika kekayaan
budayanya yang beragam berinteraksi secara konstruktif : budaya populer, budaya
akademis, budaya orang muda, budaya seni dan teknologi, budaya ekonomi, budaya
keluarga, dan budaya media”.[14] Maka, menempa paradigma
budaya baru melalui “pakta global tentang pendidikan untuk dan dengan generasi yang
akan datang, yang mengikat keluarga, komunitas, sekolah, universitas, lembaga,
agama, pemerintah, dan seluruh keluarga manusia untuk pelatihan pria dan wanita
dewasa” adalah penting.[15]
Sebuah kesepakatan yang dapat mengembangkan pendidikan dalam ekologi seutuhnya,
menurut model budaya perdamaian, pembangunan dan keberlanjutan yang berpusat
pada persaudaraan dan perjanjian antara manusia dan lingkungan.[16]
Dengan berinvestasi dalam pengajaran dan pendidikan generasi muda, kita
dapat membantu mereka – melalui program pembinaan yang terfokus – untuk
mengambil tempat yang layak di pasar tenaga kerja.[17]
4. Menciptakan dan memastikan
tenaga kerja membangun perdamaian
Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat diperlukan dalam membangun dan
memelihara perdamaian. Tenaga kerja adalah ungkapan diri dan karunia kita,
tetapi juga komitmen, investasi diri dan kerjasama kita dengan orang lain,
karena kita selalu bekerja dengan atau untuk seseorang. Tampak jelas dalam
sudut pandang sosial ini, tempat kerja memungkinkan kita untuk belajar
memberikan kontribusi kita menuju dunia yang semakin layak huni dan indah.
Pandemi Covid-19 telah berdampak buruk pada pasar tenaga kerja, yang
sudah menghadapi banyak tantangan. Jutaan kegiatan ekonomi produktif telah
gagal; para pekerja jangka pendek semakin rentan; banyak dari mereka yang
mengampu layanan penting bahkan memiliki riwayat publik dan politik yang
rendah; dan dalam banyak kasus, pengajaran jarak jauh menyebabkan defisit dalam
pembelajaran dan keterlambatan dalam menyelesaikan program studi. Selain itu,
kaum muda yang memasuki pasar kerja dan kaum dewasa yang baru saja kehilangan
pekerjaan saat ini menghadapi masa depan yang suram.
Secara khusus, dampak krisis terhadap perekonomian informal, yang
seringkali melibatkan pekerja migran, sangat menghancurkan. Banyak pekerja
migran bahkan tidak diakui oleh undang-undang nasional; seolah-olah mereka
tidak ada. Mereka dan keluarganya hidup dalam kondisi yang sangat genting,
dimangsa berbagai bentuk perbudakan dan tanpa sistem kesejahteraan untuk
melindungi mereka. Saat ini hanya sepertiga penduduk dunia usia kerja yang
menikmati sistem perlindungan sosial, atau hanya mendapat manfaat darinya
secara terbatas. Kekerasan dan kejahatan terorganisir meningkat di banyak
negara, melanggar kebebasan dan martabat orang, meracuni ekonomi dan menghambat
pembangunan kesejahteraan umum. Satu-satunya jawaban untuk hal ini adalah
perluasan kesempatan kerja yang bermartabat.
Tenaga kerja, pada kenyataannya, adalah landasan untuk membangun
keadilan dan kesetiakawanan di setiap komunitas. Karena alasan ini, tujuan kita
seharusnya bukan “kemajuan teknologi
jangan dipandang untuk menggantikan tenaga kerja manusia, karena dengan
demikian manusia akan merugikan dirinya. Kerja adalah suatu keharusan, bagian
dari makna hidup di bumi, jalan menuju pematangan, pengembangan manusia, dan
perwujudan diri”.[18]
Kita perlu menggabungkan gagasan dan upaya kita untuk menciptakan solusi dan
kondisi yang dapat memberikan kesempatan kepada semua orang usia kerja, melalui
pekerjaan mereka, untuk berkontribusi terhadap kehidupan keluarga mereka dan
masyarakat secara keseluruhan.
Meningkatkan kondisi kerja, di seluruh dunia, yang layak dan
bermartabat, yang berorientasi pada kebaikan bersama dan melindungi ciptaan semakin
mendesak dibanding sebelumnya. Kebebasan prakarsa kewirausahaan perlu
dipastikan dan didukung; pada saat yang sama, pembaruan upaya-upaya untuk
mendorong rasa tanggung jawab sosial harus dilakukan, sehingga mengarah pada
laba tidak akan menjadi satu-satunya kriteria.
Mengingat hal ini, ada kebutuhan untuk mengembangkan, menyambut dan
mendukung prakarsa yang, di semua tingkatan, mendesak perusahaan-perusahaan
untuk menghormati hak asasi manusia pekerja, meningkatkan kesadaran tidak hanya
di pihak lembaga, tetapi juga di antara konsumen, masyarakat sipil dan pelaku
wirausaha. Ketika pelaku wirausaha semakin menyadari peran mereka dalam
masyarakat, mereka akan semakin menjadi tempat martabat manusia dihormati.
Dengan cara ini, mereka akan berkontribusi untuk membangun perdamaian. Di sini,
para pelaku politik dipanggil untuk berperan aktif dengan mengedepankan
keseimbangan yang adil antara kebebasan ekonomi dan keadilan sosial. Semua
orang yang bekerja di bidang ini, mulai dari para pekerja dan pengusaha
Katolik, dapat menemukan kepastian pedoman dalam ajaran sosial Gereja.
Saudara-saudari terkasih, saat kita berupaya menggabungkan upaya kita
untuk keluar dari pandemi, saya kembali berterima kasih kepada semua orang yang
terus bekerja dengan kemurahan hati dan tanggung jawab di bidang pendidikan,
keselamatan dan perlindungan hak, dalam menyediakan perawatan medis, dalam
memfasilitasi pertemuan antara anggota keluarga dan si sakit, serta dalam
memberikan dukungan ekonomi kepada mereka yang membutuhkan dan kehilangan
pekerjaan. Saya terus mengingat para korban dan keluarga mereka dalam doa.
Kepada para pemimpin pemerintahan dan kepada semua orang yang memegang
tanggung jawab politik dan sosial, kepada para imam dan pekerja pastoral, dan
kepada semua orang yang berkehendak baik, saya menyampaikan seruan ini :
marilah kita berjalan bersama dengan keberanian dan kreativitas di jalan dialog
antargenerasi, pendidikan, dan pekerjaan. Semoga setiap hari semakin banyak
orang yang berusaha, dengan kerendahan hati dan keberanian yang teduh, untuk
menjadi pekerja tangan perdamaian. Dan semoga mereka selalu diilhami dan
disertai dengan berkat Allah Sang Damai Sejahtera!
Vatikan, 8 Desember 2021
FRANSISKUS
________________________________________
(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi dari https://www.vatican.va/content/francesco/en/messages/peace/documents/20211208-messaggio-55giornatamondiale-pace2022.html)
[1]Bdk. Ensiklik Populorum
Progressio (26 Maret 1967), 76 dst.
[2]Bdk. Ensiklik Laudato
Si’ (24 Mei 2015), 49.
[3]Bdk. Ensiklik Fratelli
Tutti (3 Oktober 2020), 231.
[4]Ensiklik Fratelli Tutti
(3 Oktober 2020), 218.
[5]Ensiklik Fratelli Tutti
(3 Oktober 2020), 199.
[6]Ensiklik Fratelli Tutti
(3 Oktober 2020), 179.
[7]Bdk. Ensiklik Fratelli
Tutti (3 Oktober 2020), 180.
[8]Seruan Apostolik
Pascasinodal Christus Vivit (25 Maret 2019), 199.
[9]Ensiklik Laudato Si’,
159.
[10]Bdk. Ensiklik Laudato Si’,
163; 202.
[11]Bdk. Ensiklik Laudato Si’,
139.
[12]Bdk. Pesan untuk Para
Peserta Forum Perdamaian Paris ke-4, 11-13 November 2021.
[13]Bdk. Ensiklik Laudato
Si’ (24 Mei 2015), 231; Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia 2021: Budaya
Kepedulian sebagai Jalan Menuju Perdamaian (8 Desember 2020).
[14]Ensiklik Fratelli Tutti
(3 Oktober 2020), 199.
[15]Bdk. Pesan Video untuk
Kesepakatan Global tentang Pendidikan : Bersama-sama Melihat Lebih Jauh (15
Oktober 2020).
[16]Bdk. Pesan Video untuk KTT
Cita-cita Iklim Virtual Tingkat Tinggi (13 Desember 2020).
[17]Bdk. YOHANES PAULUS II,
Ensiklik Laborem Exercens (14 September 1981), 18.
[18]Ensiklik Laudato Si’
(24 Mei 2015), 128.