Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM SIMPOSIUM TEOLOGI INTERNASIONAL TENTANG IMAMAT 17 Februari 2022 : EMPAT PILAR KEHIDUPAN IMAMAT

Saudara-saudara terkasih, selamat siang!

 

Saya bersyukur memiliki kesempatan untuk berbagi denganmu permenungan ini yang berkenaan dengan beberapa hal di mana secara bertahap Tuhan telah membantu kesadaran saya selama lebih dari lima puluh tahun imamat saya. Dalam peringatan penuh syukur ini, saya ingin menyertakan semua imam yang, melalui kehidupan dan kesaksian mereka, menunjukkan kepada saya sejak tahun-tahun awal saya apa artinya merenungkan wajah Sang Gembala yang baik. Ketika memikirkan apa yang harus dibagikan mengenai kehidupan imamat dewasa ini, saya menyimpulkan bahwa hal terbaik adalah berbicara tentang kesaksian yang telah saya terima dari begitu banyak imam selama bertahun-tahun. Apa yang sekarang saya tawarkan adalah buah dari pemikiran saya tentang mereka, serta pengakuan dan penghargaan saya atas apa yang menjadi keistimewaan mereka serta memberi mereka kekuatan, sukacita dan harapan yang luar biasa dalam misi pastoral mereka.

 

Pada saat yang sama, saya juga harus berbicara tentang saudara para imam yang harus saya sertai karena mereka telah kehilangan nyala api cinta pertama mereka dan pelayanan mereka menjadi mandul, mengulang-ulang dan tidak berarti. Ada perbedaan waktu dan situasi dalam kehidupan setiap imam. Saya pribadi telah melewati berbagai waktu dan situasi dan, dengan "memamahbiakkan" gerakan Roh, saya menyadari bahwa dalam beberapa situasi tersebut, yang mencakup saat-saat pencobaan, kesulitan dan kehancuran, entah bagaimana selalu ada yang tersisa. rasa damai dalam hidup saya. Saya menyadari bahwa kita dapat berbicara dan berspekulasi tanpa henti tentang imamat, tetapi hari ini saya ingin berbagi denganmu “album kecil” ini, agar para imam dewasa ini, di mana pun mereka berada, dapat mengalami kedamaian dan kesuburan yang menjadi kehendak Roh. Mungkin permenungan ini adalah "lagu angsa" kehidupan imamat saya, tetapi saya dapat meyakinkanmu bahwa permenungan tersebut merupakan buah pengalaman saya sendiri.

 

Waktu yang kita sedang jalani tidak hanya menuntut kita untuk mengalami perubahan, tetapi untuk menerimanya dalam kesadaran bahwa waktu kita adalah waktu perubahan yang hakiki. Jika kita memiliki keraguan tentang hal ini, Covid telah membuatnya sangat jelas : memang, wabah virus tidak dapat dibatasi pada masalah obat-obatan dan perawatan kesehatan.

 

Kita dapat menanggapi tantangan perubahan dengan berbagai cara. Masalahnya yakni meskipun banyak tindakan dan sikap dapat membantu dan baik adanya, tidak semuanya memiliki cita rasa Injil. Misalnya, mencari cara yang mapan dalam melakukan sesuatu, sangat sering berlabuh di masa lalu, yang "menjamin" semacam perlindungan dari risiko, melindungi kita di dunia atau masyarakat yang tidak ada lagi (jika pernah ada), seolah-olah tatanan yang ditentukan ini dapat memadamkan pertikaian yang telah ditetapkan sejarah di hadapan kita.

 

Sikap lain mungkin adalah optimisme yang berlebihan – “Semuanya akan baik-baik saja” – yang pada akhirnya mengabaikan kepedihan yang terlibat dalam perubahan rupa ini dan gagal menerima ketegangan, kerumitan dan kemenduaan saat ini, “menguduskan” kebaruan terbaru sebagai kenyataan tertinggi dan dengan demikian mengabaikan kebijaksanaan bertahun-tahun.

 

Keduanya adalah sejenis penerbangan. Keduanya adalah tanggapan dari tentara bayaran yang melihat serigala datang dan melarikan diri : baik menuju masa lalu atau menuju masa depan. Keduanya tidak dapat mengarah pada penyelesaian yang matang.

 

Saya lebih suka tanggapan yang lahir dari penerimaan kenyataan yang penuh kepercayaan, yang ditambatkan dalam Tradisi Gereja yang bijaksana dan hidup, yang memungkinkan kita untuk keluar tanpa rasa takut. Pada momen sejarah ini, saya merasa bahwa Yesus sekali lagi mengundang kita untuk "bertolak ke tempat yang dalam" (bdk. Luk 5:4) dengan mempercayai bahwa Ia adalah Tuhan atas sejarah dan, dengan bimbingan-Nya, kita dapat membedakan arah yang harus diambil. Keselamatan kita bukan bersifat "suci hama", produk sebuah laboratorium atau spiritualisme tanpa tubuh. Membedakan kehendak Allah berarti belajar melihat kenyataan dengan mata Tuhan. Ini berarti tidak menghindari kenyataan yang dialami umat kita, atau dengan cemas mencari jalan keluar yang cepat dan tenang yang disediakan oleh ideologi dewasa ini atau jawaban yang dibuat-buat. Tak satu pun dari hal ini mampu menghadapi saat-saat yang lebih sulit dan bahkan gelap dalam sejarah kita. Kedua jalan ini akan membawa kita menyangkal “sejarah kita sebagai sebuah Gereja yang menjadi mulia justru karena berjalan sejarah pengorbanan, sejarah pengharapan dan perjuangan sehari-hari, dan sejarah kehidupan yang dijalani dalam pelayanan dan kesetiaan pada pekerjaan” (Evangelii Gaudium, 96).

 

Tantangan-tantangan ini juga mempengaruhi kehidupan para imam; salah satu gejalanya adalah krisis panggilan yang dialami oleh komunitas kita di beberapa tempat. Akan tetapi, seringkali hal ini disebabkan oleh tidak adanya semangat kerasulan yang menjaangkit dalam komunitas, sehingga panggilan kekurangan antusiasme dan tidak menarik. Di mana ada kehidupan dan semangat, dan keinginan untuk membawa Kristus kepada orang lain, di sana panggilan yang tulus muncul. Bahkan di paroki-paroki yang para imamnya tidak secara khusus terlibat dan penuh sukacita, kehidupan komunitas yang aktif dan persaudaraan dapat membangkitkan keinginan untuk membaktikan hidup sepenuhnya bagi Allah dan pewartaan Injil. Hal ini terutama terjadi jika komunitas itu terus-menerus mendoakan panggilan dan memiliki keberanian untuk menawarkan kepada kaum mudanya jalan bakti tertentu.

 

Kehidupan seorang imam terutama adalah sejarah keselamatan dari satu orang yang dibaptis. Kita tidak boleh lupa bahwa setiap panggilan khusus, termasuk Tahbisan Suci, adalah penyempurnaan baptisan. Selalu merupakan godaan besar untuk menjalani imamat tanpa baptisan, dengan kata lain, melupakan bahwa panggilan utama kita adalah kekudusan. Menjadi kudus berarti menyelaraskan diri kita dengan Yesus, membiarkan hati kita bergetar dengan perasaan yang sama (bdk. Flp 2:5). Hanya ketika kita berusaha untuk mengasihi sesama seperti Yesus, barulah kita membuat Allah terlihat dan memenuhi panggilan kita menuju kekudusan. Benar sekali, Santo Yohanes Paulus II mengingatkan kita bahwa, “Imam, seperti setiap anggota Gereja lainnya, harus bertumbuh dalam kesadaran bahwa ia sendiri terus-menerus membutuhkan evangelisasi” (Pastors Dabo Vobis, [25 Maret 1992], 26).

 

Setiap panggilan khusus harus tunduk pada jenis kearifan ini. Panggilan kita terutama adalah tanggapan terhadap Dia yang lebih dulu mengasihi kita (bdk. 1 Yoh 4:19). Ini adalah sumber harapan kita, karena bahkan di tengah krisis, Tuhan tidak pernah berhenti mengasihi kita dan memanggil kita. Kita masing-masing dapat bersaksi tentang hal ini : suatu hari Tuhan menemukan kita, di mana kita berada dan sebagaimana adanya, dalam keadaan yang tidak menentu atau situasi keluarga yang rumit; namun hal ini tidak menyurutkan Dia menggunakan kita masing-masing untuk menulis sejarah keselamatan. Jadi sejak awal – kita dapat memikirkan Petrus, Paulus dan Matius, cukup beberapa nama. Yesus tidak memilih mereka karena mereka sempurna, tetapi karena Ia secara nyata berketetapan hati untuk mereka masing-masing. Dengan melihat kemanusiaan, sejarah, kepribadian kita, kita masing-masing harus bertanya, bukan apakah menanggapi panggilan itu menyenangkan atau tidak, tetapi apakah, dalam hati nurani, panggilan itu menerangi di dalam diri kita potensi kasih yang kita terima pada hari pembaptisan kita.

 

Di zaman yang sedang berubah ini, banyak pertanyaan yang harus dihadapi dan banyak godaan dapat muncul. Dalam sambutan ini, saya hanya akan berbicara tentang apa yang saya anggap menentukan bagi kehidupan seorang imam dewasa ini. Santo Paulus memberitahu kita bahwa, "di dalam Kristus tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan" (Ef 2:21). Setiap bangunan, untuk tetap berdiri, membutuhkan landasan yang kokoh. Karena alasan ini, saya ingin berbicara tentang sikap yang menopang kita sebagai imam. Saya akan mengacu pada empat pilar kehidupan imamat kita sebagai "empat bentuk kedekatan", karena keempatnya meniru "gaya" Allah sendiri, yang pada dasarnya adalah kedekatan (bdk. Ul 4:7).

 

Saya telah menyebutkan ini di masa lalu, tetapi hari ini saya ingin membahasnya lebih lengkap karena, melebihi resep atau teori, para imam membutuhkan sarana nyata untuk melaksanakan pelayanan, perutusan dan kegiatan mereka sehari-hari. Santo Paulus menasihati Timotius untuk mengobarkan kembali karunia Allah yang telah diterimanya melalui penumpangan tangannya : "bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban" (bdk. 2 Tim 1:6-7). Saya yakin bahwa keempat “bentuk kedekatan” ini dapat membantu kita dengan cara yang praktis, nyata, dan penuh harapan untuk menghidupkan kembali karunia dan buah yang pernah dijanjikan kepada kita.

 

Kedekatan dengan Allah

 

Pertama, kedekatan dengan Allah, yaitu dengan sang empunya kedekatan. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar. Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya" (Yoh 15:5-7).

 

Seorang imam dipanggil terutama untuk memupuk kedekatan ini, keintiman dengan Allah ini, dan dari hubungan ini, ia akan dapat menarik seluruh kekuatan yang dibutuhkan untuk pelayanannya. Hubungan kita dengan Allah, bisa dikatakan, apa yang “mencangkokkan” kita kepada-Nya dan membuat kita berbuah. Tanpa hubungan yang berarti dengan Allah, pelayanan kita tidak akan membuahkan hasil. Kedekatan dengan Yesus dan kontak sehari-hari dengan sabda-Nya, memungkinkan kita untuk mengukur hidup kita dengan hidup-Nya, belajar untuk tidak tersinggung oleh apa pun yang menimpa kita dan melindungi diri kita dari "batu sandungan". Seperti Sang Guru, kamu akan mengalami sukacita, pesta pernikahan, mukjizat dan penyembuhan, penggandaan roti dan istirahat, saat-saat pujian. Tetapi kamu juga akan mengalami perasaan tidak bersyukur, penolakan, keraguan dan kesendirian, sampai-sampai berteriak : “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat 27:46).

 

Kedekatan dengan Yesus membuat kita tidak takut pada saat-saat itu – bukan karena kita mengandalkan kekuatan kita sendiri tetapi karena kita memandang kepada-Nya, berpegang teguh pada-Nya dan berseru: “Tuhan, jauhkan aku dari pencobaan! Sadarkan aku bahwa aku sedang mengalami saat kritis dalam hidupku dan Engkau besertaku, menguji iman dan kasihku” (C.M. MARTINI, Ketekunan dalam Pencobaan. Permenungan Kitab Ayub, Collegeville, 1996). Kedekatan dengan Allah ini kadang-kadang bisa berbentuk perjuangan : perjuangan bersama Tuhan, terutama pada saat-saat ketika ketidakhadiran-Nya paling terasa dalam hidup kita dan dalam kehidupan umat yang dipercayakan kepada kita. Sebuah perjuangan yang berlangsung sepanjang malam, dan di tengahnya kita memohon berkat-Nya (bdk. Kej 32:25-7), yang akan menjadi sumber kehidupan bagi banyak orang.

 

Banyak krisis imamat justru berasal dari kehidupan doa yang buruk, kurangnya keintiman dengan Tuhan, pengurangan kehidupan rohani menjadi praktik keagamaan belaka. Saya dapat memikirkan saat-saat penting dalam hidup saya, di mana kedekatan dengan Tuhan terbukti menentukan dalam menopang saya. Keintiman yang lahir dari doa, kehidupan rohani, kedekatan nyata dengan Allah melalui mendengarkan sabda-Nya, perayaan Ekaristi, keheningan adorasi, kepercayaan kepada Maria, pendampingan yang bijaksana dari seorang pembimbing dan sakramen Tobat… Tanpa “bentuk-bentuk kedekatan” ini, seorang imam hanyalah seorang pekerja upahan yang lelah yang tidak bermanfaat bagi sahabat-sahabat Tuhan.

 

Terlalu sering, misalnya, dalam kehidupan para imam, doa dilakukan hanya sebagai suatu kewajiban; kita lupa bahwa persahabatan dan kasih tidak datang dari mengikuti aturan, tetapi merupakan pilihan hati yang dasariah. Imam yang berdoa, pada akhirnya, tetap menjadi seorang Kristiani yang telah menghargai sepenuhnya pemberian yang diterima saat pembaptisan. Seorang imam yang berdoa adalah seorang anak yang terus-menerus mengingat bahwa ia seperti itu, dan ia memiliki seorang Bapa yang sangat mengasihinya. Seorang imam yang berdoa adalah seorang anak yang terus dekat dengan Tuhan.

 

Namun, semua ini tidak mudah, kecuali jika kita terbiasa menemukan saat-saat hening sepanjang hari kita dan mengesampingkan kegiatan Marta untuk mempelajari kontemplasi tenang Maria. Kita merasa sulit untuk melepaskan paham kegiatan itu, karena begitu kita berhenti berlarian, yang langsung kita rasakan bukanlah kedamaian melainkan semacam kekosongan; dan untuk mempertahankan perasaan itu, kita tidak mau melambat. Namun begitu kita menerima kesedihan yang lahir dari keheningan, puasa dari kegiatan dan kata-kata kita, serta menemukan keberanian untuk melihat diri kita dengan tulus, semuanya menjadi ringan dan damai tidak lagi berdasarkan kekuatan dan kemampuan kita. Kita perlu belajar untuk membiarkan Tuhan mewujudkan karya-Nya dalam diri kita masing-masing dan “memangkas” semua yang tidak berbuah, mandul atau tidak layak untuk panggilan kita. Ketekunan dalam doa lebih dari sekadar tetap setia pada pelaksanaannya : Ketekunan dalam doa berarti tidak melarikan diri pada saat-saat ketika doa menarik kita ke padang gurun. Jalan padang gurun adalah jalan yang menuju keintiman dengan Allah, asalkan kita tidak lari atau mencari jalan untuk menghindari perjumpaan ini. Di padang gurun “Aku berbicara menenangkan hatinya”, sabda Tuhan kepada umat-Nya melalui kata-kata nabi Hosea (Hos 2:14).

 

Kedekatan dengan Allah memungkinkan imam untuk menjamah luka di hati kita, yang jika dipeluk, melucuti diri kita bahkan sampai memungkinkan sebuah perjumpaan. Doa yang, laksana api, membangkitkan kehidupan imamat kita adalah permohonan dari hati yang menyesal dan rendah hati, yang, seperti dikatakan Kitab Suci, tidak dipandang hina oleh Tuhan (bdk. Mzm 51:19). “Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka Tuhan mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mzm 34:18-19).

 

Seorang imam perlu memiliki hati yang cukup "diperbesar" untuk memperluas dan merangkul kesesakan dari umat yang dipercayakan kepada pemeliharaannya seraya, pada saat yang sama, seperti seorang penjaga, mampu mewartakan fajar rahmat Allah yang terungkap dalam kesesakan itu. Merangkul, menerima dan menunjukkan kemiskinannya dalam kedekatan dengan Allah adalah cara terbaik untuk belajar secara bertahap bagaimana merangkul kebutuhan dan kesesakan yang ia jumpai setiap hari dalam pelayanannya, dan dengan demikian menjadi semakin serupa dengan hati Kristus. Hal itu, pada gilirannya, akan mempersiapkan imam kepada jenis kedekatan lain : kedekatan dengan umat Allah. Dalam kedekatan dengan Allah, imam tumbuh dalam kedekatan dengan umatnya; dan sebaliknya, dalam kedekatan dengan umatnya, ia mengalami kedekatan dengan Tuhannya.

 

Mengutip kata-kata Santo Yohanes Pembaptis, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30). Keintiman dengan Allah memungkinkan semua ini, karena dalam doa kita menyadari bahwa kita luar biasa di mata-Nya, dan oleh karena itu, bagi para imam yang dekat dengan Allah, mudah untuk menjadi kecil di mata dunia. Di sana, dalam kedekatan itu, kita tidak lagi takut untuk dibentuk menjadi Yesus yang tersalib, seperti yang dituntut dari kita dalam Ritus Tahbisan Imam.

 

Kedekatan dengan Uskup

 

Bentuk kedekatan yang kedua ini sudah lama dimaknai secara sepihak. Sebagai Gereja, terlalu sering, bahkan dewasa ini, pandangan kita tentang ketaatan jauh dari pengertian Injil. Ketaatan bukanlah atribut disiplin tetapi tanda terdalam dari ikatan yang menyatukan kita dalam persekutuan. Taat berarti belajar bagaimana mendengarkan, mengingat bahwa tidak ada seorang pun yang “memiliki” kehendak Allah, yang harus dipahami hanya melalui penegasan. Ketaatan adalah mendengarkan dengan penuh perhatian kehendak Allah, yang dilihat secara tepat dalam suatu ikatan, suatu hubungan dengan sesama. Sikap mendengarkan yang penuh perhatian seperti itu membuat kita menyadari bahwa tidak seorang pun di antara kita adalah awal dan akhir kehidupan, tetapi kita masing-masing harus berinteraksi dengan sesama. “Nalar batin” kedekatan – dalam hal ini dengan Uskup, tetapi juga dengan sesama – memungkinkan kita untuk menaklukkan semua godaan pada pikiran yang tertutup, pembenaran diri dan menjalani hidup kita sebagai “lajang”. Sebaliknya, kita diundang untuk mendengarkan sesama, menemukan jalan menuju kebenaran dan kehidupan.

 

Uskup, siapa pun dia, tetap bagi masing-masing imam dan masing-masing Gereja partikular suatu ikatan yang membantu membedakan kehendak Allah. Namun kita tidak boleh lupa bahwa Uskup sendiri dapat menjadi sarana untuk pembedaan ini hanya jika ia sendiri memperhatikan kehidupan para imamnya dan umat Allah yang kudus yang dipercayakan kepadanya. Sebagaimana saya tulis dalam Evangelii Gaudium, “kita perlu mempraktikkan seni mendengarkan, yang lebih dari sekadar mendengar. Hal pertama dari komunikasi dengan sesama adalah kapasitas hati yang terbuka akan keakraban. Tanpa hal tersebut, tidak akan terjadi perjumpaan spiritual yang sejati. Mendengarkan itu membantu kita menemukan gerak-gerik serta sabda yang tepat guna menunjukkan bahwa kita lebih dari sekadar penonton. Hanya dengan mendengarkan secara penuh hormat dan penuh perasaan itulah kita bisa mulai menjalani pertumbuhan yang benar, lalu membangkitkan kerinduan untuk mencapai idealitas Kristiani, yakni suatu keinginan menanggapi kasih Allah secara total dan menghasilkan buah yang telah ditaburkan-Nya dalam kehidupan kita” (No. 171).

 

Bukan secara kebetulan kejahatan, untuk menghancurkan hasil karya Gereja, berusaha untuk merusak ikatan yang membangun dan melestarikan kita dalam kesatuan. Untuk mempertahankan ikatan seorang imam dengan Gereja partikularnya, dengan tarekat di mana ia berasal, dan dengan Uskupnya, kehidupan imamat harus dapat dipercaya dan pasti. Ketaatan adalah keputusan dasariah untuk menerima apa yang diminta dari kita, dan untuk melakukannya sebagai tanda nyata sakramen keselamatan semesta yaitu Gereja. Ketaatan juga bisa berupa tukar pendapat, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dalam beberapa kasus ketegangan. Hal ini tentu menuntut agar para imam mendoakan uskup mereka dan merasa bebas untuk mengungkapkan pendapat mereka dengan hormat dan tulus. Para uskup juga dituntut untuk menunjukkan kerendahan hati, kemampuan untuk mendengarkan, mengkritik diri sendiri, dan membiarkan diri mereka dibantu. Jika kita dapat mempertahankan ikatan ini, kita akan maju dengan aman dalam perjalanan kita.

 

Kedekatan dengan sesama imam

 

Justru atas dasar persekutuan dengan Uskup itulah bentuk kedekatan ketiga muncul, kedekatan persaudaraan. Yesus hadir di mana ada saudara dan saudari yang saling mengasihi : “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Persaudaraan, seperti ketaatan, tidak bisa menjadi pemaksaan moral dari luar. Persaudaraan berarti memilih dengan sengaja untuk mengejar kekudusan bersama-sama dengan sesama, dan bukan berkat diri sendiri. Sebagaimana dikatakan pepatah Afrika : “Jika kamu ingin pergi cepat, pergilah sendiri; jika kamu ingin pergi jauh, pergilah bersama orang lain”. Kadang-kadang tampaknya Gereja lambat, dan itu benar. Namun saya suka menganggapnya sebagai kelambatan orang-orang yang telah memilih untuk berjalan dalam persaudaraan.

 

Tanda-tanda persaudaraan adalah tanda-tanda kasih. Santo Paulus, dalam Surat Pertama kepada Jemaat di Korintus (Bab 13), telah memberi kita "peta jalan" yang jelas tentang kasih dan, dalam arti tertentu, telah menunjukkan tujuan persaudaraan. Terutama, mempelajari kesabaran, kemampuan untuk merasa bertanggung jawab atas sesama, menanggung beban mereka, menderita dengan cara tertentu bersama mereka. Lawan dari kesabaran adalah ketidakpedulian, jarak yang kita buat dengan sesama, agar tidak ikut campur dalam kehidupan mereka. Banyak imam mengalami drama kesendirian, kesepian. Kita bisa merasa tidak pantas untuk bersabar atau mempertimbangkan. Memang, dapat terlihat bahwa dari orang lain kita hanya dapat mengharapkan penilaian, bukan kebaikan. Orang lain tampaknya tidak dapat bersukacita atas hal-hal baik yang terjadi dalam hidup kita, atau kita sendiri tampaknya tidak dapat bersukacita ketika melihat hal-hal baik terjadi dalam kehidupan orang lain. Ini adalah kecemburuan, yang sungguh hadir di lingkungan kita; hambatan bagi pedagogi kasih, bukan hanya dosa yang harus diakukan.

 

Guna merasa menjadi bagian dari komunitas atau “kelompok”, tidak perlu memakai topeng untuk membuat diri kita lebih menarik bagi orang lain. Kita tidak perlu, dengan kata lain, menjadi sombong, apalagi menjadi berlebihan atau, lebih buruk lagi, menjadi arogan atau lalim, kurang menghormati sesama kita. Jika ada satu hal yang dapat dibanggakan oleh seorang imam, hal itu adalah belas kasihan Tuhan. Karena sadar akan keberdosaannya, kelemahan dan keterbatasannya, ia tahu dari pengalaman bahwa di mana dosa bertambah, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah" (bdk. Rm 5:20). Ini adalah pesan pertama dan paling meyakinkan yang dibawa seorang imam.

 

Kasih persaudaraan tidak memaksakan caranya sendiri, atau takluk pada kemarahan atau kebencian, seolah-olah saudara atau sesama saya entah bagaimana telah menipu saya tentang sesuatu. Ketika saya menghadapi kekejaman orang lain, saya memilih untuk tidak menyimpan dendam, menjadikannya satu-satunya dasar penilaian saya, bahkan mungkin sampai pada titik bersukacita atas kejahatan dalam kasus mereka yang telah menyebabkan saya menderita. Kasih sejati bersukacita dalam kebenaran dan menganggapnya sebagai dosa besar karena menodai kebenaran dan martabat saudara dan saudari kita melalui fitnah, celaan dan pergunjingan.

 

Kita hendaknya tidak pernah, di sisi lain, membiarkan kasih persaudaraan dianggap bersifat khayalan, apalagi ungkapan basi yang berguna untuk membangkitkan perasaan hangat atau meredakan perselisihan. Tidak! Kita semua tahu betapa sulitnya hidup dalam komunitas, bersama mereka yang telah kita pilih untuk disebut saudara dan saudari kita. Kasih persaudaraan, asalkan kita tidak menjadikannya pemanis buatan, mendefinisikan ulang atau menguranginya, adalah "nubuat agung" yang merupakan panggilan yang harus kita wujudkan dalam masyarakat masa kini. Saya suka memikirkan kasih persaudaraan sebagai "gelanggang olahraga jiwa", di mana kita setiap hari mencatat kemajuan kita dan memeriksa suhu kehidupan rohani kita. Hari ini nubuat persaudaraan belum pudar, tetapi membutuhkan para pewarta, pria dan wanita yang, meskipun sadar akan keterbatasan dan tantangan mereka, membiarkan diri mereka dijamah, ditantang, dan digerakkan oleh sabda Tuhan : “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35).

 

Kasih persaudaraan, bagi para imam, tidak dapat dibatasi pada kelompok kecil, tetapi diungkapkan dalam kasih pastoral (bdk. Pastores Dabo Vobis, 23), yang mengilhami kita untuk menghayati kasih itu secara nyata sebagai misi. Kita dapat mengatakan bahwa kita mengasihi hanya jika kita belajar mengungkapkan kasih dengan cara yang dijelaskan oleh Santo Paulus. Hanya orang yang mencari kasih yang tetap aman. Mereka yang hidup dengan sindrom Kain, yakin bahwa mereka tidak mampu mengasihi orang lain karena mereka sendiri merasa tidak dikasihi dan tidak dihargai, akhirnya hidup selalu sebagai pengembara yang gelisah, tidak pernah merasa cukup di rumah, dan justru karena alasan ini semakin rentan terhadap kejahatan : menyakiti diri sendiri dan menyakiti orang lain.

 

Saya juga ingin menambahkan bahwa ketika persaudaraan imamat berkembang dan ikatan persahabatan sejati ada, mengalami kehidupan selibat dengan semakin tenang menjadi mungkin. Selain sebagai karunia yang dipertahankan Gereja Latin, selibat adalah karunia yang, dihayati sebagai sarana pengudusan, menyerukan hubungan yang sehat, hubungan dengan penghargaan dan kebaikan sejati yang berakar dalam di dalam Kristus. Tanpa sahabat dan tanpa doa, selibat dapat menjadi beban yang tak tertahankan dan kesaksian tandingan keindahan imamat yang sesungguhnya.

 

Kedekatan dengan umat

 

Saya telah sering menekankan bagaimana hubungan kita dengan umat Allah yang kudus bagi kita masing-masing bukanlah suatu kewajiban tetapi rahmat : “Mengasihi sesama menjadi kekuatan rohani yang membawa kita kepada persekutuan dengan Allah” (Evangelii Gaudium, 272). Karena alasan ini, tempat yang tepat dari setiap imam adalah berada di tengah-tengah umat, dalam hubungan yang erat dengan sesama. Dalam Evangelii Gaudium, saya menekankan bahwa “untuk menjadi pewarta otentik Kabar Baik kepada jiwa-jiwa, kita perlu mengembangkan selera rohani supaya bisa tetap dekat dengan kehidupan masyarakat dan menemukan yang menjadi sumber sukacita. Misi merupakan semangat sekaligus kasih kepada Yesus dan kepada umat-Nya. Jika berdiri di hadapan Yesus yang tersalib, kita akan memandang di dalamnya, mengenali kasih-Nya yang mengangkat dan menopang kita. Namun, pada saat yang sama, kita mulai menyadari bahwa tatapan mata Yesus, yang berkobar karena kasih, merangkul semua umat-Nya, kecuali jika kita buta. Kita menyadari sekali lagi bahwa Yesus ingin menggunakan kita untuk menarik lebih dekat dengan umat kesayangan-Nya. Yesus mengambil kita dari antara umat-Nya. Yesus sendiri pula yang mengutus kita ke tengah-tengah umat-Nya. Tanpa rasa memiliki perutusan semacam itu, kita tidak bisa memahami identitas kita yang terdalam” (Evangelii Gaudium, 268).

 

Saya yakin bahwa, demi pemahaman baru tentang identitas imamat, dewasa ini terlibat erat dalam kehidupan nyata umat, hidup berdampingan dengan mereka, tanpa rute pelarian adalah penting. “Kadang kala kita tergoda untuk menjadi orang Kristiani yang terus menerus menatap luka Yesus di sekujur tubuh-Nya dari jarak tertentu. Padahal Yesus ingin supaya kita menyentuh penderitaan manusia dan menyentuh daging sesama yang menderita. Yesus mengharapkan kita supaya menghentikan upaya sekadar mencari tempat nyaman baik untuk pribadi maupun untuk bersama, yang memungkinkan kita tetap berada pada jarak tertentu dari simpul kacau balaunya kemalangan manusia. Padahal, kita diharapkan masuk ke dalam kenyataan kehidupan nyata sesama dan mengenal kekuatan dari kelemahlembutan. Jika kita melaksanakannya, kehidupan kita akan menjadi rumit, tetapi indah. Kita pun akan mengalami secara mendalam arti menjadi umat Allah dan menjadi bagian dari suatu bangsa” (Evangelii Gaudium, 270).

 

Kedekatan dengan Umat Allah, suatu kedekatan yang, diperkaya oleh bentuk-bentuk kedekatan yang lain itu, mengundang dan memang menuntut agar kita meneladan “gaya” Tuhan. Gaya itu adalah gaya kedekatan, kasih sayang dan kelembutan, di mana kita bertindak bukan sebagai hakim, tetapi sebagai Orang Samaria yang Baik yang mengenali luka-luka umat kita, penderitaan mereka yang membisu, penyangkalan diri dan pengorbanan yang dilakukan oleh begitu banyak ayah dan ibu untuk mendukung keluarga mereka. Yang juga mengenali dampak kekerasan, korupsi, dan ketidakpedulian yang, setelahnya, berusaha melumpuhkan segenap harapan. Sebuah gaya kedekatan yang memungkinkan kita untuk menuangkan minyak urapan pada luka dan memberitakan tahun rahmat Tuhan (bdk. Yes 61:2). Sangat penting untuk diingat bahwa umat Allah berharap untuk menemukan para gembala dalam gaya Yesus. Bukan “fungsionaris klerikal” atau “profesional suci”, tetapi para gembala yang dipenuhi dengan belas kasih dan perhatian. Manusia pemberani, siap untuk mendekati mereka yang berada dalam kesesakan dan mengulurkan tangan untuk membantu. Manusia kontemplatif, yang kedekatannya dengan umat memungkinkan mereka untuk memberitakan di hadapan luka-luka dunia kita kuasa kebangkitan justru sekarang sedang bekerja.

 

Salah satu ciri khasnya, masyarakat "jaringan" kita, adalah umat yang tumbuh merasa menjadi "yatim piatu". Meskipun terhubung dengan semua orang dan segalanya, kita tidak memiliki perasaan memiliki, yang lebih dari sekadar konektivitas. Kedekatan seorang gembala memungkinkan untuk mengumpulkan komunitas dan mendorong bertumbuhnya rasa memiliki itu. Karena kita adalah anggota umat Allah yang kudus dan setia, yang dipanggil untuk menjadi tanda pemecah-mecahan kerajaan surga ke dalam sejarah dunia saat ini. Jika gembala mereka tersesat atau menarik diri, domba-domba itu akan tercerai-berai dan berada di bawah belas kasihan setiap serigala manapun.

 

Rasa memiliki ini pada gilirannya akan terbukti sebagai penangkal penyimpangan panggilan yang terjadi setiap kali kita lupa bahwa hidup imamat berutang kepada sesama – kepada Tuhan dan kepada umat yang telah dipercayakan kepada kita. Melupakan hal ini adalah akar dari klerikalisme dan konsekuensinya. Klerikalisme adalah penyimpangan karena tidak didasarkan pada kedekatan tetapi pada jarak. Ketika saya memikirkan klerikalisme, saya juga memikirkan klerikalisasi kaum awam : terciptanya segelintir elit tertentu di sekitar imam yang akhirnya mengkhianati misi utama mereka (bdk. Gaudium et Spes, 44). Marilah kita ingat bahwa “misi untuk berada di hati umat bukan hanya menjadi bagian hidup saya atau seperti sebuah hiasan baju yang bisa saya lepas. Misi itu bukanlah waktu ekstra atau waktu di luar waktu hidup harian saya. Misi itu adalah sesuatu yang tidak bisa saya cabut dari keberadaan diri saya selain dengan cara menghancurkan diri saya. Saya adalah suatu misi di bumi. Itulah alasan saya berada di bumi. Haruslah mengenali dan menyadari diri sebagai yang telah ditandai, bahkan dimetereikan oleh misi untuk membawa cahaya, berkat, kemeriahan, kebangkitan, penyembuhan dan pembebasan” (Evangelii Gaudium, 273).

 

Saya ingin menghubungkan kedekatan dengan umat Allah ini dengan kedekatan dengan Allah, karena doa seorang gembala dipupuk dan menjelma di hati umat Allah. Ketika berdoa, seorang gembala menanggung tanda-tanda dukacita dan sukacita umatnya, yang ia hadirkan kepada Tuhan dalam keheningan, agar diurapi oleh karunia Roh Kudus. Begitulah harapan setiap gembala yang bekerja dengan penuh amanah dan tanpa kenal lelah agar Tuhan memberkati umatnya.

 

Santo Ignatius mengajarkan bahwa “bukan mengetahui banyak hal tetapi secara batiniah menyadari dan menikmati hal-hal yang memenuhi dan memuaskan jiwa” (Latihan Rohani, Penjelasan, 2, 4). Para uskup dan para imam sebaiknya bertanya, “Bagaimana aku melaksanakan bentuk-bentuk kedekatan ini? Bagaimana aku menghayati keempat aspek yang bersinggungan dan membentuk hati imamiku, memungkinkan aku menghadapi ketegangan dan kesenjangan yang kita alami setiap hari?” Keempat bentuk kedekatan tersebut merupakan latihan yang baik untuk “bermain di lapangan terbuka”, di mana imam dipanggil untuk hadir tanpa rasa takut atau kaku, tanpa mengurangi atau memiskinkan misinya.

 

Hati imami tahu tentang kedekatan, karena bentuk kedekatannya yang utama adalah dengan Tuhan. Semoga Kristus mengunjungi para imam-Nya dalam doa mereka, dalam para uskup mereka, dalam saudara-saudara mereka sesama imam dan dalam umat mereka. Semoga Ia mengganggu rutinitas kita, mengganggu hidup kita dan membuat kita gelisah – seperti pada saat cinta pertama kita – dan menuntun kita untuk menggunakan segala talenta dan kemampuan kita untuk memastikan bahwa umat kita dapat memiliki kehidupan dan kehidupan yang berkelimpahan (bdk. Yoh 10: 10). Bentuk-bentuk kedekatan yang dituntut Tuhan bukanlah beban tambahan : bentuk-bentuk kedekatan tersebut adalah karunia yang diberikan-Nya untuk menjaga panggilan kita tetap hidup dan berbuah. Jika kita tergoda untuk terjebak dalam ceramah-ceramah yang tak berkesudahan, diskusi tentang teologi imamat atau teori tentang seperti apa imamat itu, Tuhan dari pihak-Nya hanya memandang kita dengan kelemahlembutan dan belas kasihan. Ia menunjukkan kepada para imam rambu-rambu yang menunjukkan jalan untuk menghargai dan mengobarkan kembali semangat misioner mereka : kedekatan dengan Allah, dengan uskup, dengan saudara sesama imam dan dengan umat yang dipercayakan kepada mereka. Kedekatan dalam “gaya” Allah, yang selalu dekat dengan kita, dengan belas kasih dan cinta yang lembut.

_____

 

*(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi - Bogor, 17 Februari 2022)*