Saya
bersyukur memiliki kesempatan untuk berbagi denganmu permenungan ini yang
berkenaan dengan beberapa hal di mana secara bertahap Tuhan telah membantu
kesadaran saya selama lebih dari lima puluh tahun imamat saya. Dalam peringatan
penuh syukur ini, saya ingin menyertakan semua imam yang, melalui kehidupan dan
kesaksian mereka, menunjukkan kepada saya sejak tahun-tahun awal saya apa
artinya merenungkan wajah Sang Gembala yang baik. Ketika memikirkan apa yang
harus dibagikan mengenai kehidupan imamat dewasa ini, saya menyimpulkan bahwa
hal terbaik adalah berbicara tentang kesaksian yang telah saya terima dari
begitu banyak imam selama bertahun-tahun. Apa yang sekarang saya tawarkan
adalah buah dari pemikiran saya tentang mereka, serta pengakuan dan penghargaan
saya atas apa yang menjadi keistimewaan mereka serta memberi mereka kekuatan,
sukacita dan harapan yang luar biasa dalam misi pastoral mereka.
Pada saat
yang sama, saya juga harus berbicara tentang saudara para imam yang harus saya
sertai karena mereka telah kehilangan nyala api cinta pertama mereka dan
pelayanan mereka menjadi mandul, mengulang-ulang dan tidak berarti. Ada
perbedaan waktu dan situasi dalam kehidupan setiap imam. Saya pribadi telah
melewati berbagai waktu dan situasi dan, dengan "memamahbiakkan"
gerakan Roh, saya menyadari bahwa dalam beberapa situasi tersebut, yang
mencakup saat-saat pencobaan, kesulitan dan kehancuran, entah bagaimana selalu
ada yang tersisa. rasa damai dalam hidup saya. Saya menyadari bahwa kita dapat
berbicara dan berspekulasi tanpa henti tentang imamat, tetapi hari ini saya
ingin berbagi denganmu “album kecil” ini, agar para imam dewasa ini, di mana
pun mereka berada, dapat mengalami kedamaian dan kesuburan yang menjadi kehendak
Roh. Mungkin permenungan ini adalah "lagu angsa" kehidupan imamat
saya, tetapi saya dapat meyakinkanmu bahwa permenungan tersebut merupakan buah
pengalaman saya sendiri.
Waktu yang
kita sedang jalani tidak hanya menuntut kita untuk mengalami perubahan, tetapi
untuk menerimanya dalam kesadaran bahwa waktu kita adalah waktu perubahan yang hakiki.
Jika kita memiliki keraguan tentang hal ini, Covid telah membuatnya sangat
jelas : memang, wabah virus tidak dapat dibatasi pada masalah obat-obatan dan
perawatan kesehatan.
Kita dapat
menanggapi tantangan perubahan dengan berbagai cara. Masalahnya yakni meskipun
banyak tindakan dan sikap dapat membantu dan baik adanya, tidak semuanya
memiliki cita rasa Injil. Misalnya, mencari cara yang mapan dalam melakukan
sesuatu, sangat sering berlabuh di masa lalu, yang "menjamin" semacam
perlindungan dari risiko, melindungi kita di dunia atau masyarakat yang tidak
ada lagi (jika pernah ada), seolah-olah tatanan yang ditentukan ini dapat
memadamkan pertikaian yang telah ditetapkan sejarah di hadapan kita.
Sikap lain
mungkin adalah optimisme yang berlebihan – “Semuanya akan baik-baik saja” –
yang pada akhirnya mengabaikan kepedihan yang terlibat dalam perubahan rupa ini
dan gagal menerima ketegangan, kerumitan dan kemenduaan saat ini, “menguduskan”
kebaruan terbaru sebagai kenyataan tertinggi dan dengan demikian mengabaikan
kebijaksanaan bertahun-tahun.
Keduanya
adalah sejenis penerbangan. Keduanya adalah tanggapan dari tentara bayaran yang
melihat serigala datang dan melarikan diri : baik menuju masa lalu atau menuju
masa depan. Keduanya tidak dapat mengarah pada penyelesaian yang matang.
Saya lebih
suka tanggapan yang lahir dari penerimaan kenyataan yang penuh kepercayaan,
yang ditambatkan dalam Tradisi Gereja yang bijaksana dan hidup, yang
memungkinkan kita untuk keluar tanpa rasa takut. Pada momen sejarah ini, saya
merasa bahwa Yesus sekali lagi mengundang kita untuk "bertolak ke tempat
yang dalam" (bdk. Luk 5:4) dengan mempercayai bahwa Ia adalah Tuhan atas
sejarah dan, dengan bimbingan-Nya, kita dapat membedakan arah yang harus
diambil. Keselamatan kita bukan bersifat "suci hama", produk sebuah
laboratorium atau spiritualisme tanpa tubuh. Membedakan kehendak Allah berarti
belajar melihat kenyataan dengan mata Tuhan. Ini berarti tidak menghindari
kenyataan yang dialami umat kita, atau dengan cemas mencari jalan keluar yang
cepat dan tenang yang disediakan oleh ideologi dewasa ini atau jawaban yang
dibuat-buat. Tak satu pun dari hal ini mampu menghadapi saat-saat yang lebih
sulit dan bahkan gelap dalam sejarah kita. Kedua jalan ini akan membawa kita
menyangkal “sejarah kita sebagai sebuah Gereja yang menjadi mulia justru karena
berjalan sejarah pengorbanan, sejarah pengharapan dan perjuangan sehari-hari,
dan sejarah kehidupan yang dijalani dalam pelayanan dan kesetiaan pada
pekerjaan” (Evangelii Gaudium, 96).
Tantangan-tantangan
ini juga mempengaruhi kehidupan para imam; salah satu gejalanya adalah krisis
panggilan yang dialami oleh komunitas kita di beberapa tempat. Akan tetapi,
seringkali hal ini disebabkan oleh tidak adanya semangat kerasulan yang menjaangkit
dalam komunitas, sehingga panggilan kekurangan antusiasme dan tidak menarik. Di
mana ada kehidupan dan semangat, dan keinginan untuk membawa Kristus kepada
orang lain, di sana panggilan yang tulus muncul. Bahkan di paroki-paroki yang
para imamnya tidak secara khusus terlibat dan penuh sukacita, kehidupan
komunitas yang aktif dan persaudaraan dapat membangkitkan keinginan untuk membaktikan
hidup sepenuhnya bagi Allah dan pewartaan Injil. Hal ini terutama terjadi jika
komunitas itu terus-menerus mendoakan panggilan dan memiliki keberanian untuk
menawarkan kepada kaum mudanya jalan bakti tertentu.
Kehidupan
seorang imam terutama adalah sejarah keselamatan dari satu orang yang dibaptis.
Kita tidak boleh lupa bahwa setiap panggilan khusus, termasuk Tahbisan Suci,
adalah penyempurnaan baptisan. Selalu merupakan godaan besar untuk menjalani
imamat tanpa baptisan, dengan kata lain, melupakan bahwa panggilan utama kita
adalah kekudusan. Menjadi kudus berarti menyelaraskan diri kita dengan Yesus,
membiarkan hati kita bergetar dengan perasaan yang sama (bdk. Flp 2:5). Hanya
ketika kita berusaha untuk mengasihi sesama seperti Yesus, barulah kita membuat
Allah terlihat dan memenuhi panggilan kita menuju kekudusan. Benar sekali,
Santo Yohanes Paulus II mengingatkan kita bahwa, “Imam, seperti setiap anggota
Gereja lainnya, harus bertumbuh dalam kesadaran bahwa ia sendiri terus-menerus
membutuhkan evangelisasi” (Pastors Dabo Vobis, [25 Maret 1992], 26).
Setiap
panggilan khusus harus tunduk pada jenis kearifan ini. Panggilan kita terutama
adalah tanggapan terhadap Dia yang lebih dulu mengasihi kita (bdk. 1 Yoh 4:19).
Ini adalah sumber harapan kita, karena bahkan di tengah krisis, Tuhan tidak
pernah berhenti mengasihi kita dan memanggil kita. Kita masing-masing dapat
bersaksi tentang hal ini : suatu hari Tuhan menemukan kita, di mana kita berada
dan sebagaimana adanya, dalam keadaan yang tidak menentu atau situasi keluarga
yang rumit; namun hal ini tidak menyurutkan Dia menggunakan kita masing-masing
untuk menulis sejarah keselamatan. Jadi sejak awal – kita dapat memikirkan
Petrus, Paulus dan Matius, cukup beberapa nama. Yesus tidak memilih mereka
karena mereka sempurna, tetapi karena Ia secara nyata berketetapan hati untuk
mereka masing-masing. Dengan melihat kemanusiaan, sejarah, kepribadian kita,
kita masing-masing harus bertanya, bukan apakah menanggapi panggilan itu
menyenangkan atau tidak, tetapi apakah, dalam hati nurani, panggilan itu
menerangi di dalam diri kita potensi kasih yang kita terima pada hari
pembaptisan kita.
Di zaman yang
sedang berubah ini, banyak pertanyaan yang harus dihadapi dan banyak godaan dapat
muncul. Dalam sambutan ini, saya hanya akan berbicara tentang apa yang saya
anggap menentukan bagi kehidupan seorang imam dewasa ini. Santo Paulus
memberitahu kita bahwa, "di dalam Kristus tumbuh seluruh bangunan, rapi
tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan" (Ef 2:21). Setiap
bangunan, untuk tetap berdiri, membutuhkan landasan yang kokoh. Karena alasan
ini, saya ingin berbicara tentang sikap yang menopang kita sebagai imam. Saya
akan mengacu pada empat pilar kehidupan imamat kita sebagai "empat bentuk
kedekatan", karena keempatnya meniru "gaya" Allah sendiri, yang
pada dasarnya adalah kedekatan (bdk. Ul 4:7).
Saya telah
menyebutkan ini di masa lalu, tetapi hari ini saya ingin membahasnya lebih
lengkap karena, melebihi resep atau teori, para imam membutuhkan sarana nyata
untuk melaksanakan pelayanan, perutusan dan kegiatan mereka sehari-hari. Santo
Paulus menasihati Timotius untuk mengobarkan kembali karunia Allah yang telah
diterimanya melalui penumpangan tangannya : "bukan roh ketakutan,
melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban" (bdk. 2
Tim 1:6-7). Saya yakin bahwa keempat “bentuk kedekatan” ini dapat membantu kita
dengan cara yang praktis, nyata, dan penuh harapan untuk menghidupkan kembali
karunia dan buah yang pernah dijanjikan kepada kita.
Kedekatan
dengan Allah
Pertama, kedekatan
dengan Allah, yaitu dengan sang empunya kedekatan. “Akulah pokok anggur dan
kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam
dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.
Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan
menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu
dibakar. Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu,
mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya" (Yoh
15:5-7).
Seorang imam
dipanggil terutama untuk memupuk kedekatan ini, keintiman dengan Allah ini, dan
dari hubungan ini, ia akan dapat menarik seluruh kekuatan yang dibutuhkan untuk
pelayanannya. Hubungan kita dengan Allah, bisa dikatakan, apa yang
“mencangkokkan” kita kepada-Nya dan membuat kita berbuah. Tanpa hubungan yang
berarti dengan Allah, pelayanan kita tidak akan membuahkan hasil. Kedekatan
dengan Yesus dan kontak sehari-hari dengan sabda-Nya, memungkinkan kita untuk
mengukur hidup kita dengan hidup-Nya, belajar untuk tidak tersinggung oleh apa
pun yang menimpa kita dan melindungi diri kita dari "batu sandungan".
Seperti Sang Guru, kamu akan mengalami sukacita, pesta pernikahan, mukjizat dan
penyembuhan, penggandaan roti dan istirahat, saat-saat pujian. Tetapi kamu juga
akan mengalami perasaan tidak bersyukur, penolakan, keraguan dan kesendirian,
sampai-sampai berteriak : “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan
Aku?" (Mat 27:46).
Kedekatan
dengan Yesus membuat kita tidak takut pada saat-saat itu – bukan karena kita
mengandalkan kekuatan kita sendiri tetapi karena kita memandang kepada-Nya,
berpegang teguh pada-Nya dan berseru: “Tuhan, jauhkan aku dari pencobaan!
Sadarkan aku bahwa aku sedang mengalami saat kritis dalam hidupku dan Engkau
besertaku, menguji iman dan kasihku” (C.M. MARTINI, Ketekunan dalam
Pencobaan. Permenungan Kitab Ayub, Collegeville, 1996). Kedekatan dengan
Allah ini kadang-kadang bisa berbentuk perjuangan : perjuangan bersama Tuhan, terutama
pada saat-saat ketika ketidakhadiran-Nya paling terasa dalam hidup kita dan
dalam kehidupan umat yang dipercayakan kepada kita. Sebuah perjuangan yang
berlangsung sepanjang malam, dan di tengahnya kita memohon berkat-Nya (bdk. Kej
32:25-7), yang akan menjadi sumber kehidupan bagi banyak orang.
Banyak krisis
imamat justru berasal dari kehidupan doa yang buruk, kurangnya keintiman dengan
Tuhan, pengurangan kehidupan rohani menjadi praktik keagamaan belaka. Saya
dapat memikirkan saat-saat penting dalam hidup saya, di mana kedekatan dengan
Tuhan terbukti menentukan dalam menopang saya. Keintiman yang lahir dari doa,
kehidupan rohani, kedekatan nyata dengan Allah melalui mendengarkan sabda-Nya,
perayaan Ekaristi, keheningan adorasi, kepercayaan kepada Maria, pendampingan
yang bijaksana dari seorang pembimbing dan sakramen Tobat… Tanpa “bentuk-bentuk
kedekatan” ini, seorang imam hanyalah seorang pekerja upahan yang lelah yang
tidak bermanfaat bagi sahabat-sahabat Tuhan.
Terlalu
sering, misalnya, dalam kehidupan para imam, doa dilakukan hanya sebagai suatu
kewajiban; kita lupa bahwa persahabatan dan kasih tidak datang dari mengikuti
aturan, tetapi merupakan pilihan hati yang dasariah. Imam yang berdoa, pada
akhirnya, tetap menjadi seorang Kristiani yang telah menghargai sepenuhnya
pemberian yang diterima saat pembaptisan. Seorang imam yang berdoa adalah
seorang anak yang terus-menerus mengingat bahwa ia seperti itu, dan ia memiliki
seorang Bapa yang sangat mengasihinya. Seorang imam yang berdoa adalah seorang
anak yang terus dekat dengan Tuhan.
Namun, semua
ini tidak mudah, kecuali jika kita terbiasa menemukan saat-saat hening
sepanjang hari kita dan mengesampingkan kegiatan Marta untuk mempelajari
kontemplasi tenang Maria. Kita merasa sulit untuk melepaskan paham kegiatan
itu, karena begitu kita berhenti berlarian, yang langsung kita rasakan bukanlah
kedamaian melainkan semacam kekosongan; dan untuk mempertahankan perasaan itu,
kita tidak mau melambat. Namun begitu kita menerima kesedihan yang lahir dari
keheningan, puasa dari kegiatan dan kata-kata kita, serta menemukan keberanian
untuk melihat diri kita dengan tulus, semuanya menjadi ringan dan damai tidak
lagi berdasarkan kekuatan dan kemampuan kita. Kita perlu belajar untuk
membiarkan Tuhan mewujudkan karya-Nya dalam diri kita masing-masing dan
“memangkas” semua yang tidak berbuah, mandul atau tidak layak untuk panggilan
kita. Ketekunan dalam doa lebih dari sekadar tetap setia pada pelaksanaannya :
Ketekunan dalam doa berarti tidak melarikan diri pada saat-saat ketika doa
menarik kita ke padang gurun. Jalan padang gurun adalah jalan yang menuju
keintiman dengan Allah, asalkan kita tidak lari atau mencari jalan untuk
menghindari perjumpaan ini. Di padang gurun “Aku berbicara menenangkan hatinya”,
sabda Tuhan kepada umat-Nya melalui kata-kata nabi Hosea (Hos 2:14).
Kedekatan
dengan Allah memungkinkan imam untuk menjamah luka di hati kita, yang jika
dipeluk, melucuti diri kita bahkan sampai memungkinkan sebuah perjumpaan. Doa
yang, laksana api, membangkitkan kehidupan imamat kita adalah permohonan dari
hati yang menyesal dan rendah hati, yang, seperti dikatakan Kitab Suci, tidak
dipandang hina oleh Tuhan (bdk. Mzm 51:19). “Apabila orang-orang benar itu
berseru-seru, maka Tuhan mendengar, dan melepaskan mereka dari segala
kesesakannya. Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia
menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mzm 34:18-19).
Seorang imam
perlu memiliki hati yang cukup "diperbesar" untuk memperluas dan
merangkul kesesakan dari umat yang dipercayakan kepada pemeliharaannya seraya,
pada saat yang sama, seperti seorang penjaga, mampu mewartakan fajar rahmat
Allah yang terungkap dalam kesesakan itu. Merangkul, menerima dan menunjukkan
kemiskinannya dalam kedekatan dengan Allah adalah cara terbaik untuk belajar
secara bertahap bagaimana merangkul kebutuhan dan kesesakan yang ia jumpai
setiap hari dalam pelayanannya, dan dengan demikian menjadi semakin serupa
dengan hati Kristus. Hal itu, pada gilirannya, akan mempersiapkan imam kepada
jenis kedekatan lain : kedekatan dengan umat Allah. Dalam kedekatan dengan
Allah, imam tumbuh dalam kedekatan dengan umatnya; dan sebaliknya, dalam
kedekatan dengan umatnya, ia mengalami kedekatan dengan Tuhannya.
Mengutip
kata-kata Santo Yohanes Pembaptis, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus
makin kecil” (Yoh 3:30). Keintiman dengan Allah memungkinkan semua ini, karena
dalam doa kita menyadari bahwa kita luar biasa di mata-Nya, dan oleh karena
itu, bagi para imam yang dekat dengan Allah, mudah untuk menjadi kecil di mata
dunia. Di sana, dalam kedekatan itu, kita tidak lagi takut untuk dibentuk
menjadi Yesus yang tersalib, seperti yang dituntut dari kita dalam Ritus
Tahbisan Imam.
Kedekatan
dengan Uskup
Bentuk
kedekatan yang kedua ini sudah lama dimaknai secara sepihak. Sebagai Gereja,
terlalu sering, bahkan dewasa ini, pandangan kita tentang ketaatan jauh dari
pengertian Injil. Ketaatan bukanlah atribut disiplin tetapi tanda terdalam dari
ikatan yang menyatukan kita dalam persekutuan. Taat berarti belajar bagaimana
mendengarkan, mengingat bahwa tidak ada seorang pun yang “memiliki” kehendak
Allah, yang harus dipahami hanya melalui penegasan. Ketaatan adalah
mendengarkan dengan penuh perhatian kehendak Allah, yang dilihat secara tepat
dalam suatu ikatan, suatu hubungan dengan sesama. Sikap mendengarkan yang penuh
perhatian seperti itu membuat kita menyadari bahwa tidak seorang pun di antara
kita adalah awal dan akhir kehidupan, tetapi kita masing-masing harus
berinteraksi dengan sesama. “Nalar batin” kedekatan – dalam hal ini dengan
Uskup, tetapi juga dengan sesama – memungkinkan kita untuk menaklukkan semua
godaan pada pikiran yang tertutup, pembenaran diri dan menjalani hidup kita
sebagai “lajang”. Sebaliknya, kita diundang untuk mendengarkan sesama,
menemukan jalan menuju kebenaran dan kehidupan.
Uskup, siapa
pun dia, tetap bagi masing-masing imam dan masing-masing Gereja partikular
suatu ikatan yang membantu membedakan kehendak Allah. Namun kita tidak boleh
lupa bahwa Uskup sendiri dapat menjadi sarana untuk pembedaan ini hanya jika ia
sendiri memperhatikan kehidupan para imamnya dan umat Allah yang kudus yang
dipercayakan kepadanya. Sebagaimana saya tulis dalam Evangelii Gaudium, “kita
perlu mempraktikkan seni mendengarkan, yang lebih dari sekadar mendengar. Hal
pertama dari komunikasi dengan sesama adalah kapasitas hati yang terbuka akan
keakraban. Tanpa hal tersebut, tidak akan terjadi perjumpaan spiritual yang
sejati. Mendengarkan itu membantu kita menemukan gerak-gerik serta sabda yang
tepat guna menunjukkan bahwa kita lebih dari sekadar penonton. Hanya dengan
mendengarkan secara penuh hormat dan penuh perasaan itulah kita bisa mulai
menjalani pertumbuhan yang benar, lalu membangkitkan kerinduan untuk mencapai
idealitas Kristiani, yakni suatu keinginan menanggapi kasih Allah secara total
dan menghasilkan buah yang telah ditaburkan-Nya dalam kehidupan kita” (No.
171).
Bukan secara
kebetulan kejahatan, untuk menghancurkan hasil karya Gereja, berusaha untuk
merusak ikatan yang membangun dan melestarikan kita dalam kesatuan. Untuk
mempertahankan ikatan seorang imam dengan Gereja partikularnya, dengan tarekat
di mana ia berasal, dan dengan Uskupnya, kehidupan imamat harus dapat dipercaya
dan pasti. Ketaatan adalah keputusan dasariah untuk menerima apa yang diminta
dari kita, dan untuk melakukannya sebagai tanda nyata sakramen keselamatan
semesta yaitu Gereja. Ketaatan juga bisa berupa tukar pendapat, mendengarkan
dengan penuh perhatian, dan dalam beberapa kasus ketegangan. Hal ini tentu
menuntut agar para imam mendoakan uskup mereka dan merasa bebas untuk
mengungkapkan pendapat mereka dengan hormat dan tulus. Para uskup juga dituntut
untuk menunjukkan kerendahan hati, kemampuan untuk mendengarkan, mengkritik
diri sendiri, dan membiarkan diri mereka dibantu. Jika kita dapat
mempertahankan ikatan ini, kita akan maju dengan aman dalam perjalanan kita.
Kedekatan
dengan sesama imam
Justru atas
dasar persekutuan dengan Uskup itulah bentuk kedekatan ketiga muncul, kedekatan
persaudaraan. Yesus hadir di mana ada saudara dan saudari yang saling mengasihi
: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada
di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Persaudaraan, seperti ketaatan, tidak
bisa menjadi pemaksaan moral dari luar. Persaudaraan berarti memilih dengan
sengaja untuk mengejar kekudusan bersama-sama dengan sesama, dan bukan berkat
diri sendiri. Sebagaimana dikatakan pepatah Afrika : “Jika kamu ingin pergi
cepat, pergilah sendiri; jika kamu ingin pergi jauh, pergilah bersama orang
lain”. Kadang-kadang tampaknya Gereja lambat, dan itu benar. Namun saya suka
menganggapnya sebagai kelambatan orang-orang yang telah memilih untuk berjalan
dalam persaudaraan.
Tanda-tanda
persaudaraan adalah tanda-tanda kasih. Santo Paulus, dalam Surat Pertama kepada
Jemaat di Korintus (Bab 13), telah memberi kita "peta jalan" yang
jelas tentang kasih dan, dalam arti tertentu, telah menunjukkan tujuan
persaudaraan. Terutama, mempelajari kesabaran, kemampuan untuk merasa
bertanggung jawab atas sesama, menanggung beban mereka, menderita dengan cara
tertentu bersama mereka. Lawan dari kesabaran adalah ketidakpedulian, jarak
yang kita buat dengan sesama, agar tidak ikut campur dalam kehidupan mereka.
Banyak imam mengalami drama kesendirian, kesepian. Kita bisa merasa tidak
pantas untuk bersabar atau mempertimbangkan. Memang, dapat terlihat bahwa dari
orang lain kita hanya dapat mengharapkan penilaian, bukan kebaikan. Orang lain
tampaknya tidak dapat bersukacita atas hal-hal baik yang terjadi dalam hidup
kita, atau kita sendiri tampaknya tidak dapat bersukacita ketika melihat
hal-hal baik terjadi dalam kehidupan orang lain. Ini adalah kecemburuan, yang
sungguh hadir di lingkungan kita; hambatan bagi pedagogi kasih, bukan hanya
dosa yang harus diakukan.
Guna merasa
menjadi bagian dari komunitas atau “kelompok”, tidak perlu memakai topeng untuk
membuat diri kita lebih menarik bagi orang lain. Kita tidak perlu, dengan kata
lain, menjadi sombong, apalagi menjadi berlebihan atau, lebih buruk lagi,
menjadi arogan atau lalim, kurang menghormati sesama kita. Jika ada satu hal
yang dapat dibanggakan oleh seorang imam, hal itu adalah belas kasihan Tuhan.
Karena sadar akan keberdosaannya, kelemahan dan keterbatasannya, ia tahu dari
pengalaman bahwa di mana dosa bertambah, di sana kasih karunia menjadi
berlimpah-limpah" (bdk. Rm 5:20). Ini adalah pesan pertama dan paling
meyakinkan yang dibawa seorang imam.
Kasih
persaudaraan tidak memaksakan caranya sendiri, atau takluk pada kemarahan atau
kebencian, seolah-olah saudara atau sesama saya entah bagaimana telah menipu
saya tentang sesuatu. Ketika saya menghadapi kekejaman orang lain, saya memilih
untuk tidak menyimpan dendam, menjadikannya satu-satunya dasar penilaian saya,
bahkan mungkin sampai pada titik bersukacita atas kejahatan dalam kasus mereka
yang telah menyebabkan saya menderita. Kasih sejati bersukacita dalam kebenaran
dan menganggapnya sebagai dosa besar karena menodai kebenaran dan martabat
saudara dan saudari kita melalui fitnah, celaan dan pergunjingan.
Kita
hendaknya tidak pernah, di sisi lain, membiarkan kasih persaudaraan dianggap
bersifat khayalan, apalagi ungkapan basi yang berguna untuk membangkitkan
perasaan hangat atau meredakan perselisihan. Tidak! Kita semua tahu betapa
sulitnya hidup dalam komunitas, bersama mereka yang telah kita pilih untuk
disebut saudara dan saudari kita. Kasih persaudaraan, asalkan kita tidak menjadikannya
pemanis buatan, mendefinisikan ulang atau menguranginya, adalah "nubuat
agung" yang merupakan panggilan yang harus kita wujudkan dalam masyarakat
masa kini. Saya suka memikirkan kasih persaudaraan sebagai "gelanggang
olahraga jiwa", di mana kita setiap hari mencatat kemajuan kita dan
memeriksa suhu kehidupan rohani kita. Hari ini nubuat persaudaraan belum pudar,
tetapi membutuhkan para pewarta, pria dan wanita yang, meskipun sadar akan
keterbatasan dan tantangan mereka, membiarkan diri mereka dijamah, ditantang,
dan digerakkan oleh sabda Tuhan : “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa
kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35).
Kasih
persaudaraan, bagi para imam, tidak dapat dibatasi pada kelompok kecil, tetapi
diungkapkan dalam kasih pastoral (bdk. Pastores Dabo Vobis, 23), yang
mengilhami kita untuk menghayati kasih itu secara nyata sebagai misi. Kita
dapat mengatakan bahwa kita mengasihi hanya jika kita belajar mengungkapkan
kasih dengan cara yang dijelaskan oleh Santo Paulus. Hanya orang yang mencari
kasih yang tetap aman. Mereka yang hidup dengan sindrom Kain, yakin bahwa
mereka tidak mampu mengasihi orang lain karena mereka sendiri merasa tidak
dikasihi dan tidak dihargai, akhirnya hidup selalu sebagai pengembara yang
gelisah, tidak pernah merasa cukup di rumah, dan justru karena alasan ini
semakin rentan terhadap kejahatan : menyakiti diri sendiri dan menyakiti orang
lain.
Saya juga
ingin menambahkan bahwa ketika persaudaraan imamat berkembang dan ikatan
persahabatan sejati ada, mengalami kehidupan selibat dengan semakin tenang
menjadi mungkin. Selain sebagai karunia yang dipertahankan Gereja Latin,
selibat adalah karunia yang, dihayati sebagai sarana pengudusan, menyerukan
hubungan yang sehat, hubungan dengan penghargaan dan kebaikan sejati yang
berakar dalam di dalam Kristus. Tanpa sahabat dan tanpa doa, selibat dapat
menjadi beban yang tak tertahankan dan kesaksian tandingan keindahan imamat
yang sesungguhnya.
Kedekatan
dengan umat
Saya telah
sering menekankan bagaimana hubungan kita dengan umat Allah yang kudus bagi
kita masing-masing bukanlah suatu kewajiban tetapi rahmat : “Mengasihi sesama
menjadi kekuatan rohani yang membawa kita kepada persekutuan dengan Allah” (Evangelii
Gaudium, 272). Karena alasan ini, tempat yang tepat dari setiap imam adalah
berada di tengah-tengah umat, dalam hubungan yang erat dengan sesama. Dalam
Evangelii Gaudium, saya menekankan bahwa “untuk menjadi pewarta otentik Kabar
Baik kepada jiwa-jiwa, kita perlu mengembangkan selera rohani supaya bisa tetap
dekat dengan kehidupan masyarakat dan menemukan yang menjadi sumber sukacita.
Misi merupakan semangat sekaligus kasih kepada Yesus dan kepada umat-Nya. Jika
berdiri di hadapan Yesus yang tersalib, kita akan memandang di dalamnya,
mengenali kasih-Nya yang mengangkat dan menopang kita. Namun, pada saat yang
sama, kita mulai menyadari bahwa tatapan mata Yesus, yang berkobar karena
kasih, merangkul semua umat-Nya, kecuali jika kita buta. Kita menyadari sekali
lagi bahwa Yesus ingin menggunakan kita untuk menarik lebih dekat dengan umat
kesayangan-Nya. Yesus mengambil kita dari antara umat-Nya. Yesus sendiri pula
yang mengutus kita ke tengah-tengah umat-Nya. Tanpa rasa memiliki perutusan
semacam itu, kita tidak bisa memahami identitas kita yang terdalam” (Evangelii
Gaudium, 268).
Saya yakin
bahwa, demi pemahaman baru tentang identitas imamat, dewasa ini terlibat erat
dalam kehidupan nyata umat, hidup berdampingan dengan mereka, tanpa rute
pelarian adalah penting. “Kadang kala kita tergoda untuk menjadi orang
Kristiani yang terus menerus menatap luka Yesus di sekujur tubuh-Nya dari jarak
tertentu. Padahal Yesus ingin supaya kita menyentuh penderitaan manusia dan
menyentuh daging sesama yang menderita. Yesus mengharapkan kita supaya menghentikan
upaya sekadar mencari tempat nyaman baik untuk pribadi maupun untuk bersama,
yang memungkinkan kita tetap berada pada jarak tertentu dari simpul kacau
balaunya kemalangan manusia. Padahal, kita diharapkan masuk ke dalam kenyataan
kehidupan nyata sesama dan mengenal kekuatan dari kelemahlembutan. Jika kita
melaksanakannya, kehidupan kita akan menjadi rumit, tetapi indah. Kita pun akan
mengalami secara mendalam arti menjadi umat Allah dan menjadi bagian dari suatu
bangsa” (Evangelii Gaudium, 270).
Kedekatan
dengan Umat Allah, suatu kedekatan yang, diperkaya oleh bentuk-bentuk kedekatan
yang lain itu, mengundang dan memang menuntut agar kita meneladan “gaya” Tuhan.
Gaya itu adalah gaya kedekatan, kasih sayang dan kelembutan, di mana kita
bertindak bukan sebagai hakim, tetapi sebagai Orang Samaria yang Baik yang
mengenali luka-luka umat kita, penderitaan mereka yang membisu, penyangkalan
diri dan pengorbanan yang dilakukan oleh begitu banyak ayah dan ibu untuk
mendukung keluarga mereka. Yang juga mengenali dampak kekerasan, korupsi, dan
ketidakpedulian yang, setelahnya, berusaha melumpuhkan segenap harapan. Sebuah
gaya kedekatan yang memungkinkan kita untuk menuangkan minyak urapan pada luka
dan memberitakan tahun rahmat Tuhan (bdk. Yes 61:2). Sangat penting untuk
diingat bahwa umat Allah berharap untuk menemukan para gembala dalam gaya
Yesus. Bukan “fungsionaris klerikal” atau “profesional suci”, tetapi para
gembala yang dipenuhi dengan belas kasih dan perhatian. Manusia pemberani, siap
untuk mendekati mereka yang berada dalam kesesakan dan mengulurkan tangan untuk
membantu. Manusia kontemplatif, yang kedekatannya dengan umat memungkinkan
mereka untuk memberitakan di hadapan luka-luka dunia kita kuasa kebangkitan
justru sekarang sedang bekerja.
Salah satu
ciri khasnya, masyarakat "jaringan" kita, adalah umat yang tumbuh
merasa menjadi "yatim piatu". Meskipun terhubung dengan semua orang
dan segalanya, kita tidak memiliki perasaan memiliki, yang lebih dari sekadar
konektivitas. Kedekatan seorang gembala memungkinkan untuk mengumpulkan
komunitas dan mendorong bertumbuhnya rasa memiliki itu. Karena kita adalah
anggota umat Allah yang kudus dan setia, yang dipanggil untuk menjadi tanda
pemecah-mecahan kerajaan surga ke dalam sejarah dunia saat ini. Jika gembala
mereka tersesat atau menarik diri, domba-domba itu akan tercerai-berai dan
berada di bawah belas kasihan setiap serigala manapun.
Rasa memiliki
ini pada gilirannya akan terbukti sebagai penangkal penyimpangan panggilan yang
terjadi setiap kali kita lupa bahwa hidup imamat berutang kepada sesama –
kepada Tuhan dan kepada umat yang telah dipercayakan kepada kita. Melupakan hal
ini adalah akar dari klerikalisme dan konsekuensinya. Klerikalisme adalah
penyimpangan karena tidak didasarkan pada kedekatan tetapi pada jarak. Ketika
saya memikirkan klerikalisme, saya juga memikirkan klerikalisasi kaum awam :
terciptanya segelintir elit tertentu di sekitar imam yang akhirnya mengkhianati
misi utama mereka (bdk. Gaudium et Spes, 44). Marilah kita ingat bahwa
“misi untuk berada di hati umat bukan hanya menjadi bagian hidup saya atau
seperti sebuah hiasan baju yang bisa saya lepas. Misi itu bukanlah waktu ekstra
atau waktu di luar waktu hidup harian saya. Misi itu adalah sesuatu yang tidak
bisa saya cabut dari keberadaan diri saya selain dengan cara menghancurkan diri
saya. Saya adalah suatu misi di bumi. Itulah alasan saya berada di bumi.
Haruslah mengenali dan menyadari diri sebagai yang telah ditandai, bahkan
dimetereikan oleh misi untuk membawa cahaya, berkat, kemeriahan, kebangkitan,
penyembuhan dan pembebasan” (Evangelii Gaudium, 273).
Saya ingin
menghubungkan kedekatan dengan umat Allah ini dengan kedekatan dengan Allah,
karena doa seorang gembala dipupuk dan menjelma di hati umat Allah. Ketika
berdoa, seorang gembala menanggung tanda-tanda dukacita dan sukacita umatnya,
yang ia hadirkan kepada Tuhan dalam keheningan, agar diurapi oleh karunia Roh
Kudus. Begitulah harapan setiap gembala yang bekerja dengan penuh amanah dan
tanpa kenal lelah agar Tuhan memberkati umatnya.
Santo
Ignatius mengajarkan bahwa “bukan mengetahui banyak hal tetapi secara batiniah
menyadari dan menikmati hal-hal yang memenuhi dan memuaskan jiwa” (Latihan
Rohani, Penjelasan, 2, 4). Para uskup dan para imam sebaiknya bertanya,
“Bagaimana aku melaksanakan bentuk-bentuk kedekatan ini? Bagaimana aku
menghayati keempat aspek yang bersinggungan dan membentuk hati imamiku,
memungkinkan aku menghadapi ketegangan dan kesenjangan yang kita alami setiap
hari?” Keempat bentuk kedekatan tersebut merupakan latihan yang baik untuk
“bermain di lapangan terbuka”, di mana imam dipanggil untuk hadir tanpa rasa
takut atau kaku, tanpa mengurangi atau memiskinkan misinya.
Hati imami
tahu tentang kedekatan, karena bentuk kedekatannya yang utama adalah dengan
Tuhan. Semoga Kristus mengunjungi para imam-Nya dalam doa mereka, dalam para uskup
mereka, dalam saudara-saudara mereka sesama imam dan dalam umat mereka. Semoga
Ia mengganggu rutinitas kita, mengganggu hidup kita dan membuat kita gelisah –
seperti pada saat cinta pertama kita – dan menuntun kita untuk menggunakan
segala talenta dan kemampuan kita untuk memastikan bahwa umat kita dapat
memiliki kehidupan dan kehidupan yang berkelimpahan (bdk. Yoh 10: 10).
Bentuk-bentuk kedekatan yang dituntut Tuhan bukanlah beban tambahan :
bentuk-bentuk kedekatan tersebut adalah karunia yang diberikan-Nya untuk
menjaga panggilan kita tetap hidup dan berbuah. Jika kita tergoda untuk
terjebak dalam ceramah-ceramah yang tak berkesudahan, diskusi tentang teologi
imamat atau teori tentang seperti apa imamat itu, Tuhan dari pihak-Nya hanya
memandang kita dengan kelemahlembutan dan belas kasihan. Ia menunjukkan kepada
para imam rambu-rambu yang menunjukkan jalan untuk menghargai dan mengobarkan
kembali semangat misioner mereka : kedekatan dengan Allah, dengan uskup, dengan
saudara sesama imam dan dengan umat yang dipercayakan kepada mereka. Kedekatan
dalam “gaya” Allah, yang selalu dekat dengan kita, dengan belas kasih dan cinta
yang lembut.
_____
*(dialihbahasakan oleh Peter
Suriadi - Bogor, 17 Februari 2022)*