Perikop
Kitab Suci yang baru saja kita dengar mengakhiri Kitab Ayub, sebuah karya
sastra klasik yang mendunia. Dalam rangkaian katekese kita, kita bertemu Ayub
ketika ia sudah tua. Kita menjumpainya sebagai saksi iman yang tidak menerima
"karikatur" Allah, tetapi menghadapi kejahatan dengan memprotes keras
sampai Allah menanggapi dan mengungkapkan wajah-Nya. Dan pada akhirnya, Allah
menanggapi, seperti biasa, dengan cara yang mengejutkan - Ia menunjukkan
kemuliaan-Nya kepada Ayub tanpa menghancurkannya, atau lebih baik lagi, dengan
kelembutan yang berdaulat, dengan lembut, sebagaimana senantiasa diperbuat
Allah. Halaman-halaman buku ini perlu dibaca dengan baik, tanpa prasangka,
tanpa stereotip, untuk memahami kekuatan jeritan Ayub. Alangkah baiknya kita menempatkan
diri kita di sekolahnya untuk mengatasi godaan moralisme akibat pedih dan
getirnya penderitaan kehilangan segalanya.
Dalam
perikop penutup kitab ini – kita ingat ceritanya, bukan? Ayub kehilangan
segalanya dalam hidupnya, ia kehilangan kekayaannya, ia kehilangan keluarganya,
ia kehilangan putranya dan ia bahkan kehilangan kesehatannya, dan di sanalah
ketika ia merasa terusik dalam dialog dengan ketiga sahabatnya, sahabatnya yang
keempat, datang untuk menyapanya : inilah ceritanya – dan hari ini dalam
perikop ini, perikop penutup kitab ini, ketika Allah akhirnya melantai (dan
dialog antara Ayub dan sahabat-sahabatnya ini bagaikan jalan menuju saat di
mana Allah mengucapkan sabda-Nya), Ayub dipuji karena ia memahami misteri
kelembutan Allah yang tersembunyi di balik kesunyian-Nya. Allah menegur
sahabat-sahabat Ayub yang menganggap mereka tahu segalanya, mengetahui tentang
Allah dan penderitaan, dan, setelah datang untuk menghibur Ayub, akhirnya
menghakiminya dengan paradigma mereka yang telah terbentuk sebelumnya. Allah
lindungilah kami dari religiusitas munafik dan lancang ini! Tuhan melindungi
kita dari keagamaan moralistik serta keagamaan ajaran yang memberi kita
anggapan tertentu dan membawamu kepada kefarisian dan kemunafikan ini.
Beginilah
cara Tuhan mengungkapkan diri-Nya dalam persoalan mereka. Beginilah sabda Tuhan
: “Murka-Ku menyala terhadap engkau […] karena kamu tidak berkata benar tentang
Aku seperti hamba-Ku Ayub”, inilah apa yang dikatakan Tuhan kepada
sahabat-sahabat Ayub. “Hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, karena hanya
permintaannyalah yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap
kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub”
(42:7-8). Pernyataan Allah mengejutkan kita karena kita telah membaca
halaman-halaman yang berapi-api dengan protes Ayub yang membuat kita kecewa.
Namun, Tuhan mengatakan Ayub berbicara dengan baik, bahkan ketika ia marah, dan
bahkan marah kepada Allah, bahkan ia berbicara dengan baik karena ia menolak
untuk menerima bahwa Allah adalah "Penganiaya". Allah adalah sesuatu
yang lain. Dan apa itu? Ayub mencari hal itu. Dan sebagai ganjarannya, Allah
memulihkan keadaan Ayub dengan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari
segala kepunyaannya dahulu, setelah memintanya untuk mendoakan
sahabat-sahabatnya yang jahat itu.
Titik
balik percakapan iman tersebut datang tepat pada puncak pelampiasan Ayub, di
mana ia berkata, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan
bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku
pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku;
mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain” (19:25-27). Bagian ini
benar-benar indah. Bagian ini membuat saya berpikir tentang akhir dari oratorio
brilian Handel, Sang Mesias, setelah perayaan Hallelujah, penyanyi sopran
tersebut perlahan menyanyikan bagian ini : "Aku tahu Penebusku
hidup", dengan damai. Jadi, setelah pengalaman Ayub yang menyakitkan dan
menyenangkan ini, suara Tuhan adalah sesuatu yang lain. “Aku tahu Penebusku
hidup” – benar-benar hal yang indah. Kita bisa memaknainya seperti ini : “Ya
Allah, aku tahu Engkau bukan Penganiaya. Allahku akan datang dan melakukan
keadilan kepadaku”. Iman sederhana dalam kebangkitan Allah, iman sederhana
dalam Yesus Kristus, iman yang sederhana bahwa Tuhan senantiasa sedang menunggu
kita dan akan datang.
Perumpamaan
Kitab Ayub secara dramatis menggambarkan dengan cara yang patut diteladani apa
yang sebenarnya terjadi dalam hidup – pencobaan yang sangat berat yang menimpa
seseorang, sebuah keluarga, sebuah bangsa, pencobaan tidak proporsional
dibandingkan dengan kerendahan dan kelemahan manusiawi. Sering terjadi dalam
hidup bahwa "ketika hujan turun", seperti kata pepatah. Dan beberapa
orang dikuasai oleh akumulasi kejahatan yang benar-benar tampak berlebihan dan
tidak adil. Hal seperti inilah terjadi pada banyak orang.
Kita
semua tahu orang-orang seperti ini. Kita terkesan dengan jeritan mereka, tetapi
kita juga mengagumi keteguhan iman dan cinta mereka dalam keheningan mereka.
Saya memikirkan orangtua yang memiliki anak-anak dengan cacat serius, apakah
kamu memikirkan orangtua yang memiliki anak-anak dengan cacat serius? Sepanjang
hidup mereka… Saya juga memikirkan mereka yang hidup dengan penyakit permanen,
atau mereka yang membantu anggota keluarga mereka…. Situasi ini sering
diperparah oleh kelangkaan sumber daya ekonomi. Pada titik-titik tertentu dalam
sejarah, akumulasi beban memberi kesan bahwa mereka diberi janji temu kelompok.
Inilah yang terjadi di tahun-tahun ini dengan pandemi Covid-19, dan sekarang
terjadi dengan perang di Ukraina.
Dapatkah
kita membenarkan "kelebihan beban" ini hingga kecerdasan alam dan
sejarah yang semakin tinggi? Dapatkah kita secara keagamaan memberkati mereka
sebagai tanggapan yang dibenarkan atas dosa-dosa para korban, seolah-olah
mereka layak menerimanya? Tidak, kita tidak dapat. Ada jenis hak yang harus
diprotes para korban vis-à-vis misteri kejahatan, hak yang dianugerahkan Allah
kepada semua orang, yang memang, bagaimanapun juga diilhami-Nya sendiri.
Kadang-kadang saya bertemu orang-orang yang mendekati saya dan berkata,
“Tetapi, Bapa, saya memprotes Allah karena saya memiliki masalah ini dan itu
….” Tetapi tahukah sahabat, melakukan protes adalah cara berdoa bila dilakukan
seperti itu. Ketika anak-anak, ketika orang muda keberatan terhadap orangtua
mereka, melakukan protes adalah cara untuk menarik perhatian dan meminta
orangtua untuk peduli terhadap mereka. Jika kamu memiliki luka di hatimu, rasa
sakit, dan kamu ingin berkeberatan, berkeberatan bahkan kepada Allah, Allah
akan mendengarkanmu. Allah adalah Bapa. Allah tidak takut dengan doa protes
kita, tidak! Allah mengerti. Tetapi bebaslah, bebaslah dalam doamu. Jangan
memenjarakan doamu dalam paradigma yang sudah terbentuk sebelumnya! Jangan! Doa
harus seperti ini : spontan, seperti seorang anak dengan ayahnya, yang
mengatakan segala sesuatu yang keluar dari mulutnya karena ia tahu ayahnya
memahaminya. Pada saat pertama drama, “keheningan” Allah menandakan hal ini. Allah
tidak menghindar dari konfrontasi, tetapi, sejak awal, membiarkan Ayub
melampiaskan protesnya, dan Allah mendengarkan. Kadang-kadang, mungkin kita
perlu belajar rasa hormat dan kelembutan ini dari Allah. Dan Allah tidak
menyukai ensiklopedia itu – sebut saja ini – penjelasan, renungan yang
dilakukan sahabat-sahabat Ayub. Ini adalah hal-hal tidak benar yang keluar dari
ujung lidah mereka – jenis keagamaan yang menjelaskan segalanya, tetapi hati
tetap dingin. Allah tidak berkenan terhadap hal ini. Ia lebih berkenan terhadap
protes Ayub dan lebih banyak hening.
Pengakuan
iman Ayub – yang muncul justru dari jeritannya yang tiada henti kepada Allah,
kepada keadilan tertinggi – diakhiri pada akhirnya dengan pengalaman yang
hampir mistis yang membuatnya berkata, “Hanya dari kata orang saja aku
mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”
(42:5). Berapa banyak orang, berapa banyak dari kita setelah pengalaman yang
agak buruk, agak gelap, mengambil langkah dan mengenal Allah dengan lebih baik
dari sebelumnya! Dan kita dapat mengatakan seperti Ayub : “Hanya dari kata
orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri
memandang Engkau”. Kesaksian ini khususnya dapat dipercaya jika dipetik pada
masa tua, dalam kelemahan dan kehilangan yang berkembang. Orang-orang yang
sudah tua telah menyaksikan begitu banyak pengalaman ini dalam hidup! Dan
mereka juga telah melihat ketidakkonsistenan janji-janji manusiawi. Pengacara,
ilmuwan, bahkan pemeluk agama, yang merancukan penganiaya dengan korban,
menyindir bahwa mereka bertanggung jawab penuh atas penderitaan mereka sendiri.
Mereka keliru!
Para
orang tua yang menemukan jalan kesaksian ini, yang mengubah dendam karena
kehilangan menjadi kegigihan untuk menunggu janji Allah – ada perubahan dari
dendam karena kehilangan menuju kegigihan mencari janji Allah – para orang tua
ini adalah garnisun yang tak tergantikan bagi masyarakat berkenaan dampak
kejahatan. Orang percaya yang pandangannya terarah kepada Salib belajar akan
hal itu. Semoga kita juga mempelajari hal ini, dari banyak kakek-nenek, yang
seperti Maria, mempersatukan doa-doa mereka yang terkadang memilukan, dengan
doa Sang Putera Allah yang menyerahkan diri-Nya kepada Bapa di kayu salib.
Marilah kita memandang orang tua, marilah kita memperhatikan pria dan wanita
tua, orang tua. Marilah kita menjaga mereka dengan kasih. Marilah kita
memandang pengalaman pribadi mereka. Mereka telah begitu banyak menderita dalam
hidup, mereka telah belajar begitu banyak dalam hidup, mereka telah melalui
begitu banyak, tetapi pada akhirnya mereka memiliki kedamaian ini, kedamaian,
menurut saya, yang hampir mistis, yaitu kedamaian berjumpa Allah sampai-sampai
mereka bisa berkata, "Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang
Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau". Para orang tua
ini menyerupai kedamaian Sang Putra Allah yang di kayu salib diserahkan kepada
Bapa.
[Sapaan
Khusus]
Saya
menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian
dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang berasal dari Inggris, Denmark,
Israel dan Timur Tengah, Kanada dan Amerika Serikat. Dalam sukacita Kristus
yang bangkit, saya memohonkan atasmu dan keluargamu belas kasihan Allah Bapa
kita. Semoga Tuhan memberkatimu!
[Ringkasan
dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]
Saudara-saudari
terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang makna dan nilai usia tua dalam
terang sabda Allah, sekarang kita beralih ke sosok Ayub yang luar biasa dalam
Kitab Suci. Iman Ayub yang gigih di tengah penderitaan yang mendalam membuatnya
memahami bahwa Allah, yang sering tampak diam di hadapan kejahatan, namun
secara misterius hadir dengan belas kasihan dan kasih penebusan-Nya. Dalam
penderitaannya, Ayub menolak penjelasan halus tentang kejahatan yang ditawarkan
oleh sahabat-sahabatnya dan mencurahkan semua rasa sakit dan protesnya yang
kejam di hadapan Allah. Pada saat yang sama, ia mengungkapkan kepercayaannya
pada keadilan Allah, yang akan terungkap pada waktunya. Kita semua tahu situasi
di mana orang baik menanggung penderitaan yang tampak tidak adil dan tak
tertahankan, namun, seperti Ayub, terus menaruh iman mereka pada janji-janji
Allah. Para orang tua, dengan visi yang lahir dari iman dan pengalaman panjang,
dapat memberikan kesaksian yang istimewa dalam hal ini. Melalui teladan doa
yang penuh kepercayaan, mereka dapat mengajar kita untuk mempersatukan diri
kita dengan Yesus yang disalibkan, yang di kayu salib menyerahkan diri-Nya
sepenuhnya ke dalam tangan Bapa surgawi-Nya, yang kasih-Nya yang tak terbatas
mengubah kematian menjadi kehidupan dan kejahatan terbesar menjadi kebaikan
yang berlimpah.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 19 Mei 2022)